Efektifitas Mediasi Dalam Menekan Angka Perceraian Di Pengadilan Agama Depok

(1)

EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM MENEKAN ANGKA

PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Ole h: LUKM ANUL HAKIM NIM : 106044101415

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji dan Syukur bagi Allah swt atas berkat rahmat, nikmat, hidayah serta ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Shalawat serta salam dihaturkan pada Nabiyullah Muhammad saw, beserta keluarga dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya syari’at Islam, yang pengaruh dan manfaatnya dapat kita rasakan sampai saat ini.

Tanpa penulis lupakan bahwa keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah atas berkat bimbingan, bantuan, dorongan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Tanpa partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi

di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta terutama dalam

menyelesaikan skripsi ini tentu akan terasa lebih sulit terwujud. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dalam kesempatan ini penulis mengucapakan banyak-banyak terima kasih yang kepada yang terhormat Bapak:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA, Selaku Ketua Program Studi Ahwal


(6)

ii

Studi Ahwal Al-Syakhshiyah yang telah banyak membatu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Pembimbing Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA., yang begitu peduli dan

senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran, nasehat, semangat dan bimbingan kepada penulis serta memberikan sumbangan besar dengan kejernihan pemikiran keagamaannya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Fakultas Syariah dan

Hukum yang telah mentransfer sebagian ilmu pengetahuannya kepada penulis sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini.

6. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Para Hakim dan Para Pegawai di Pengadilan Agama Depok sebagai nara sumber

yang telah meluangkan waktu dan memberi informasi kepada penulis seputar permasalahan yang penulis angkat.

8. Teristimewa ucapan terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada

Ayahanda Moh. Idris dan Ibunda Siti Rodiah tercinta yang telah memberikan banyak bantuan terutama dari segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a dan pengorbanan kalian yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas


(7)

iii

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. “hanya Allah yang Mampu membalas jasa kalian, semoga kalian berada dalam rahmat Allah swt.” Amin

9. Kakak-kakak dan adik-adikku tercinta yang juga ikut andil memberikan motivasi

kepada penulis, sehingga penulis lebih semangat lagi dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Hamba Allah yang telah banyak mewarnai kehidupan penulis, terima kasih

banyak atas motivasi dan dukungannya sehingga penulis bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman-teman seperjuanganku keluarga besar mahasiswa Peradilan Agama B

Angkatan 2006 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terima kasih banyak teman-teman atas bantuan dan inspirasinya. Kalian banyak membantu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga persaudaraan kita tidak akan pernah terputus.

12.Teman-teman seperjuanganku keluarga besar alumni Pon-Pes Darul Salam

Parung-Bogor Angkatan 2000 yang tidak mungkin juga penulis sebutkan satu persatu, terima kasih banyak teman-teman atas segala-galanya. Kalian banyak membantu penulis dalam kehidupan ini, terutama dalam menyelesaikan studi dan menyelesaikan skripsi ini. Semoga persaudaraan kita tidak akan pernah terputus.

13.Seluruh pihak/instansi terkait, yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam


(8)

iv

Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua dicatat oleh Allah SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti. Amin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Jakarta, 30 Juni 2010


(9)

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5

D. Metode penelitian 6

E. Tinjauan Kajian Terdahulu 8

F. Sistematika Penulisan 10

BAB II PROSEDUR MEDIASI

A. Pengertian Mediasi 12

B. Sejarah Singkat dan Legalitas Mediasi 14

C. Prosedur Mediasi di Pengadilan 21

D. Tahap Pelaksanaan Mediasi 28

BAB III MEDIASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Dasar Hukum Mediasi 32

B. Konsep Perdamaian (as-shulhu) Dalam Penyelesaian Perselisihan

Suami Istri 34

C. Konsep Perdamaian (as-shulhu) Dalam Sistem Perjanjian Hukum

Islam 44

BAB IV IMPLEMENTASI MEDIASI DALAM PENYELESAIAN

PERCERAIAN

A. Profil Pengadilan Agama Depok 50

B. Praktek Mediasi di Pengadilan Agama Depok 55

C. Faktor-faktor Yang Menghambat Mediasi 57


(10)

vi

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 65

B. Saran-saran 65

DAFTAR PUSTAKA 66

LAMPIRAN

A. Surat Keterangan Penelitian

B. Surat Pernyataan wawancara Hakim

C. Wawancara pribadi

D. Rekap Mediasi Bulan Mei 2010

E. Rekap Mediasi Bulan Juni 2010

F. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Depok

G. Laporan Keadaan Perkara Diterima dan Diputus Bulan Mei 2010

H. Laporan Keadaan Perkara Yang Diputus Pada Pengadilan


(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Menurut hukum Islam pernikahan merupakan suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia. Pernikahan dalam islam tidaklah hanya semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amat tepat jika kompilasi menegaskan sebagai akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan nilai ibadah.

Perkawinan merupakan salah satu ketentuan dari berbagai macam ketentuan Allah SWT. Dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. perkawinan bersifat umum, menyeluruh berlaku tanpa terkecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan arti perkawinan itu sendiri adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan ialah perkawinan untuk selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling mencintai. Karena itu islam mengharamkan perkawianan yang tujuannya untuk sementara, dalam waktu yang tertentu sekedar untuk melepas hawa nafsu saja, seperti nikah mut’ah, nikah muhallil, dan sebagainya.

Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan pernikahan, dapat mengurangi maksiat


(12)

2

penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara pembekalan untuk memasuki pernikahan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan keji, yaitu perzinahan.

Melakukan perkawinan bukan pula semata-mata untuk kesenangan lahiriah melainkan juga membentuk suatu lembaga yang denganya kaum pria dan wanita dapat memelihara diri dari kesesatan dan perbuatan yang tidak senonoh, melahirkan dan merawat anak untuk melanjutkan keturunan manusia serta memenuhi kebutuhan seksual yang wajar dan diperlukan untuk menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan.

Corak dan perkembangan Peradilan Islam sejalan dengan struktur, pola budaya, dan perkembangan masyarakat Islam di Negara-negara yang bersangkutan. Demikian halnya di Indonesia, peradilan mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan umat Islam, komunitas terbesar dalam dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini didasarkan atas aspek variasi dari berbagai unsure Peradilan Islam. Tetapi di balik itu, terdapat persamaan yang esensial yakni teralokasinya hukum Islam untuk ditegakkan dalam proses penerimaan sampai penyelesaian perkara di

pengadilan. Khususnya di kalangan umat Islam terutama dalam bidang Ahwalus

Syakhsiyyah.1

Salah satu cara penyelesaian perkara perselisihan atau persengketaan dalam perkawinan adalah proses mediasi sebagai upaya perdamaian antara pihak yang berselisih agar mendapat kesepakatan bersama tanpa ada pihak yang merasa

1

Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, PT. RemajaRosdakarya, Bandung, 1997, hlm. 97.


(13)

3

“terkalahkan” (win-win solution). Keuntungan ini tidak hanya diperoleh para pihak yang menyelesaikan sengketa melalui mediasi saja, namun juga bagi dunia peradilan yakni dapat mengatasi masalah penumpukan perkara yang ada guna meningkatkan mutu putusan.

Hal ini bertujuan agar manusia selalu menghadapi permasalahan dengan kepala dingin dan bukan dengan kekerasan sehingga akan terciptanya ketentraman dalam

kehidupan manusia, khususnya permasalahanyang terjadi dalam rumah tangga2.

Pemerintah menyediakan lembaga khusus menyelesaikan permasalahan dalam rumah tangga, yakni dengan konseling BP4 dan Pengadilan Agama sebagai alternatif terakhir.

Namun sayangnya, tidak seperti Negara-negara yang sukses menerapkan

mediasi di pengadilan, seperti Hongkong3, USA, Thailand, Jepang, Singapura, dll.

Upaya yang dikehendaki Perma di Indonesia tidak efektif. Hal ini disebabkan oleh kurangnya fasilitas dan distribusi yang sangat minim.

Seorang advokat yang juga aktif di pusat Mediasi Nasional, David Tobing menyatakan bahwa faktor penyebab ketidakefektifan mediasi di Indonesia juga disebabkan oleh minimnya tenaga mediator yang disediakan oleh Mahkamah Agung hingga berpengruh pada ketidakefektifan pelaksanaan mediasi, khususnya di dunia peradilan. Hal ini tidak hanya terjadi di Pengadilan Negeri saja, tetapi juga di Pengadilan Agama. Keberhasilan mediasi dalam menekan perkara yang masuk hanya

2

(Q.S.An-Nissa (4):35) : “Artinya : “Dan jika kamu khwatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allahmemberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

3

Peter d’Ambrumenil, Mediation And Arbitration, (London: Cavendish Publishing,)1988), hal.86


(14)

4

mencapai 10%. Fakta ini ketinggalan jauh dengan peradilan keluarga (family court) yang berada di California dan Sidney yang telah berhasil menyelesaikan perkara melalui mediasi hingga 80%. Padahal mediasi itu sendiri sangat sejalan dengan budaya masyarakat Indonesia yang selalu menyelsaikan masalah dengan bermusyawarah.

Pengadilan Agama Depok adalah tercatat sebagai salah satu pengadilan yang menerima kasus terbanyak dibanding kota lainya. Untuk itu penyusun merasa perlu mengkaji dan meneliti sejauhmana upaya mediasi di pengadilan agama Depok, bagaimana pula efektifiasnya dalam menekan angka perceraian, bagaimana mekanisme hakim dalam mendamaikan pasangan yang ingin bercerai dipengadilan agama.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penyusun merasa perlu meneliti dan membahasnya dalam suatu karya ilmiah yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul

“EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM MENEKAN ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membatasi masalah yang berkisar pada Mediasi di Pengadilan Agama Depok dalam menerapkan PERMA NO.1 TAHUN 2008 pada putusannya. Pengadilan Agama depok sebagai salah satu

pelaksana mediasi yang merupakan alternatif penyelesaian sengketa (alternative


(15)

5

mewajibkan para pihak yang berperkara agar terlebih dahulu menempuh jalur mediasi

sebelum melanjutkan proses pemeriksaan perkara.4

2. Rumusan Masalah

Masalah dalam skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut:

“Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 yakni adalah untuk memperkecil angka perceraian, akan tetapi kenyataannya di lapangan dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung tersebut angka perceraian tidak menurun sebagaimana yang diinginkan. Hal ini yang ingin penulis telusuri dalam penulisan skripsi ini”.

Dari rumusan di atas penulis merinci dalam bentuk beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah mediasi berpengaruh signifikan terhadap angka perceraian di Pengadilan

Agama Depok?

2. Apakah Peradilan Agama Depok telah melaksanakan mediasi sesuai dengan prosedur

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008?

3. Faktor apa saja yang menyebabkan Peraturan Mahkamah Agung No.01 Tahun 2008

tidak berjalan efektif?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan utama yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian adalah diharapkan dapat digunakan sebagai barometer oleh hakim khususnya hakim Pengadilan Agama Depok dalam menegakan keadilan.

Adapun tujuan ilmiah adalah:

4

Bab I Pasal (2) ayat (1) Perma No.2 tahun 2003, dinyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Dan pada bab V Pasal 16 dinyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, selain di pergunakan dalam lingkungan peradilan umum dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan lainnya.


(16)

6

1. Mengembangkan dan menguji kebenaran ilmu pengetahuan tentang konsep

perdamaian di muka persidangan yang diperoleh selama kuliah.

2. Untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan mediasi Pengadilan Agama Depok

dengan prosedur Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008

3. Mengetahui berhasil atau tidaknya peran mediasi dalam menekan angka

perceraian

4. Mengetahui faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelaksanaan

mediasi di Pengadilan Agama Depok. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini selain bermanfaat sebagai sumbangan informasi terhadap

perbendaharaan ilmu pengetahuan, juga diharafkan bermanfaat untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwasanya penyelesaian sengketa tidak harus ditempuh lewat jalur litigasi (Pengadilan) semata tetapi melalui mediasi dengan tujuan perdamain.

2. Agar dapat dijadikan bahan kajian bagi mahasiswa akademisi dalam

mengembangkan teori-teori mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa.

D. Metode penelitian

Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung suatu kebenaran yang objektif, penyusunan menggunakan metode ilmiah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian dan pendekatanya.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berlokasi pada kantor Pengadilan Agama Depok. Penelitian ini menggunakan pendekatan


(17)

perundang-7

undangan (statute approach) yang mana dikaji dalam interpresentasi menurut kata-kata yang tertuang didalam undang-undang tersebut. Undang-undang yang dimaksud disini adalah peraturan mengenai mediasi yaitu Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003, Surat Edaran Mahkamah Agung No.1 tahun 2002,dan Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 serta Undang-undang lainnya yang terkait dengan upaya damai di dalam maupun diluar persidangan.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari data primer dan data sekunder, yakni :

a. Data Primer

Data primer adalah data-data yang didapat langsung dari lapangan yakni berupa laporan buku tahunan Pengadilan Agama Depok, surat putusan hakim, maupun informasi-informasi yang di dapat dari hasil wawancara penyusun dengan penelitian yang dituju.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapat secara langsung dari bahan-bahan pustaka. Data sekunder dapat di kelompokan pada tiga bahan hukum yakin;

1. Bahan Hukum Primer

Dalam penelitian hukum, bahan hukum primer adalah yang bersifat autoritatif yang bersifat otoritas. Sebagai suber hukum primer diantaranya adalah Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan Mahakamah Agung No.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan selain perundang-undangan yang terkait


(18)

8

dengan subjek yang akan di bahas, bahan hukum primer lainya adalah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan penguat bahwa upaya perdamaian adalah wajib dilakukan.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, yakni berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, artikel-artikel, jurnal-jurnal hukum,dll.

3. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer dapat berupa kamus-kamus, ensiklopedia, dsb. Sumber bahan hukum tertier sementara adalah berupa kamus politik dan kamus bahasa Indonesia, dan kamus bahasa Arab.

E. Kajian Tinjauan Terdahulu

Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa skripsi tersebut ada perbedaan pembahasan yang cukup signifikan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak ada timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan 3 buah skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai berikut :

NO JADWAL DAN

PENULIS

FOKUS PERSAMAAN PERBEDAAN


(19)

9

Menjadi Hakim Dalam Perselisihan Suami Istri Menurut Hukum Islam” tahun

2002 oleh Syarif

Rahman Hakim. Di bawah bimbingan Ibu Hj. Halimah Ismail

membahas tentang siapa

saja yang

berhak untuk diajukan

menjadi juru

damai dalam

perselisihan suami istri

masalah juru

damai

tentang data perceraian

●Tidak membahas

teori mediasi

●Judul yang penulis

angkat membahas tentang mediasi berdasrkan Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan

2. “kedudukan Hakim dan Hakamain Dalam Perkara Syiqaq Di Penagdilan Jakarta Timur” tahun 2004

oleh Sofi

Rahmawat,di bawah bimbingan Ibu Hj. Halimah Ismail

Membahas bagaimana seharusnya

hakim dan

hakamain

hanya dalam

masalah percekcokan suami istri

●peran juru

damai dalam

proses perdamaian

●tidak membahas

teori mediasi

●tidak menganalisa

faktor penghambat mediasi.

●Judul yang penulis

angkat menganalisa faktor-faktor


(20)

10

3. “ Upaya Hakim Dalam Mendamaikan Perceraian (cerai Gugat di Pengadilan Agama Bogor), tahun 2004. Oleh Ahmad fauzan. Pembimbing

Bapak H. Odjo

Kusnara N.

Upaya

mendamaikan perselisihan

suami istri

(khusus

kasus-kasus cerai

gugat)

●pembahasan

proses tentang pendamaian

●tidak membahas

teori mediasi

●tidak menganalisa

faktor penghambat

mediasi

●Judul yang penulis

angkat membahas

prosedur mediasi

dan faktor-faktor

penghambat mediasi

Karena dapat ditarik kesimpulan tentang perbedaan pembahasan skripsi ini dengan skripsi-skripsi diatas yakni, selain dari lokasi penelitiannya itu sendiri, penulis juga mencoba mengkaji secara mendalam mengenai sejarah legalisasi mediasi di Indonesia di Pengadilan Agama Depok, dan meneliti kefektifan mediasi – sebagaimana seharusnya – dalam menekan angka perceraian, serta faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan mediasi.

F. Sistematika penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:

Bab pertama berisikan latar belakang masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Tujuan dan Kegunaan serta Sistematika Penulisan.

Bab kedua berisikan pengertian mediasi, sejarah singkat dan legalitas mediasi, dan prosedur mediasi di pengadilan.


(21)

11

Bab ketiga berisikan mediasi dalam perspektif hukum islam, bab ini mengulas konsep perdamaian (as-shulhu) dalam penyelesaian perselisihan suami istri serta konsep perdamaian (as-shulhu) dalam perjanjian hukum Islam.

Bab keempat berisikan tentang profil Pengadilan Agama Depok, faktor-faktor yang menghambat perkembangan mediasi, serta analisa penulis tentang hasil penelitian skripsi ini.

Bab kelima, penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran-saran.


(22)

12 BAB II

PROSEDUR MEDIASI A. Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan

sengketa antara para pihak.5

Dalam kamus besar Indonesia mediasi diartikan sebagai suatu proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Sedang kata mediator itu sendiri adalah berarti penengah, perantara (penghubung atau

penengah). 6

Mediasi dalam bahasa Inggris di sebut “mediation”, yang berarti penyelesaian sengketa dengan menengahi permasalahan untuk di damaikan, dan mediator adalah orang yang jadi penengah.

Mediasi dalam literature hukum Islam bisa disamakan dengan konsep

“Tahkim”. Kata Tahkim berasal dari bahasa Arab yang artinya ialah menyerahkan

putusan pada seseorang dan menerima putusan itu, yang secara etimologis berarti menjadikan seseorang atau pihak ketiga atau yang disebut “Hakam” sebagai penengah suatu sengketa.

Tahkim digunakan sebagai istilah bagi orang atau kelompok yang ditunjuk untuk mendamaikan sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak tahkim

5

Syahrizal Abbas, M ediasi Dalam perspekt if Hukum Syariah, Hukum Adat , dan Hukum Nasional, (Jakart a: kencana Prenada M edia Group, 2009, h. 1-2.

6

Jhon Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet. XXV Pust aka Ut am a, 2003), h. 377


(23)

13

dimaksud sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa dimana para pihak yang terlibat dalam sengketa diberi kebebasan untuk memilih seorang Hakam (mediator) sebagai penengah atau orang yang dianggap netral yang mampu mendamaikan kedua

belah pihak yang bersengketa.7

Banyak pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak ketiga. peranan pihak ketiga tersebut adalah dengan mengedintifikasi masalah-masalah yang disengketakan dan mengembangkan sebuah proposal. Proposal tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Dalam Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 butir 7, yaitu: “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan

para pihak dengan dibantu oleh mediator.”8 Disini disebutkan kata mediator, yang

harus mencari “berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa” yang di terima para pihak, sedang pengertian mediator disebutkan dalam pasal 1 butir 6, yaitu: mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”.

Dalam praktik, sebagai bagian dati proses mediasi, mediator berbicara secara rahasia dengan masing-masing pihak di sini mediator perlu membangun kepercayaan para pihak yang bersengketa lebih dahulu. Banyak cara yang dapat dilakukan mediator

7

Siti Juwairiyah, “Potret Mediasi Dalam Islam”, artikel di akses pada 26 juli 2010 dari

http://badilag.net/2009/02/ Potret-mediasi-dalam-islam.html.

8

Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 Tentang pelaksanaa Mediasi di Pengadilan pada Pasal 1 ayat (7).


(24)

14

untuk menanamkan kepercayaan, misalnya dengan memperkenalkan diri dan melakukan penelusuran kesamaan dengan para pihak. Kesamaan tersebut mungkin dari segi hubungan kekeluargaan, pendidikan, agama, propesi, hobi, dan apasaja yang dirasa dapat memperdekat jarak dengan para pihak yang bersangkutan.

Cara praktik itu tampaknya kemudian dituangkan dalam Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pasal 15 ayat (3): Apabila di anggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.” Pengertian kaukus di sebutkan dalam pasal 1 ayat 4: “…pertemuan antara mediator dengan dengan salah satu pihak tanpa dihadiri pihak lainnya.” Pembicaraan atau diskusi-diskusi tersebut dilakukan tanpa adanya prasangka. Berdasarkan uraian di atas, mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak netral tersebut tugas pertamanya adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi.

B. Sejarah Singkat dan Legalitas Mediasi

Penyelesaian konflik (sengketa) telah di praktikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan (komunikasi) dalam masyarakat.


(25)

15

Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip kebebasan yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Penyelesaian yang dapat memuaskan para pihak (walaupun tidak 100%) dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.

Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah mufakat sebagai nilai filosofi bangsa dijelmakan dalam dasar Negara, yaitu Pancasila. Dalam sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Nilai tertinggi ini, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945 dalam sejumlah peraturan

perundang-undangan dibawahnya.9

Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musayawarah mufakat yang berujung damai juga di gunakan di lingkungan peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah satu asas peradilan di Indonesia bahkan akhir-akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memperteguh prinsip damai

melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa.10 Dorongan-dorongan ini

didasarkan pada sejumlah pertimbangan antara lain; penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang cukup lama, melahirkan pihak menag kalah,

9

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: kencana, 2009, hal284

10

Stephen B. Green, Arbitration: A viable Alternative for Solving Commercial Dispute in Indonesia, dalam Timothy Lindsey (ed.), hal 291.


(26)

16

cenderung mempersulit hubungan para pihak pasca lahirnya putusan hakim, dan para pihak tidak leluasa mengupayaka opsi penyelesaian sengketa mereka.

Berikut akan dikemukakan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar yuridis bagi penerapan mediasi dipengadilan maupun diluar pengadilan. Mediasi dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia-Belanda maupun dalam produk hukum setelah Indonesia merdeka sampai hari ini.

a. Masa Kolonial Belanda

Pada masa kolonial Belanda pengaturan penyelesaian sengketa melalui upaya damai lebih banyak ditujukan pada proses damai dilingkungan peradilan, sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, kolonial Belanda cenderung memberikan kesempatan pada hukum adat. Belanda meyakini bahwa hokum adat mampu menyelesaikan sengketa kaum pribumi secara damai, tanpa memerlukan intervensi pihak kolonial Belanda. Hukum adat adalah hukum yang hidup (living law) dan keberadaannya menyatu dengan masyarakat pribumi. Masyarakat Indonesia (pribumi) tidak dapat dilepaskan dari kehidupan adat mereka termasuk dalam penyelesaian kasus

hukum.11

Pada masa kolonial Belanda lembaga pengadilan diberikan kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Kewenangan mendamaikan kasus-kasus keluarga dan perdata pada umumnya seperti perjanjian, jual beli, sewa menyewa, dan

berbagai aktivitas bisnis lainnya.12

11

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: kencana, 2009, hlm, 286.

12


(27)

17

Dalam pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad

1941:44), atau pasal 154 R.Bg (Rechts reglement Buitingwesten, Staatsblad, 1927: 227), atau Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvonrdering, Staatsblad 1874: 52), disebutkan bahwa hakim atau majlis hakim akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara mereka diputuskan. Secara lebiih lengkap ketentuan pasal ini adalah: (1) Jika pada hari yang ditentukan, kedua pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka; (2) Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menempati perjanjian yang perbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai keputusan biasa; (3) Keputusan yang demikian itu tidak dapat diijinkan banding; dan (4) Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai juru bahasa, maka

peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.13

Ketentuan dalam Pasal 30 HIR/154 R.Bg/31 Rv menggambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui damai merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa sengketa di pengadilan. Upaya damai menjadi kewajiban hakim, dan ia tidak boleh memutuskan perkara sebelum upaya mediasi dilakukan terlebih dahulu. Bila kedua belah pihak bersetuju menempuh jalur damai, maka hakim harus segera melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak, sehingga mereka sendiri menemukan bentuk-bentuk kesepakatan yang dapat menyelesaikan sengketa mereka. Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta perdamaian, sehingga memudahkan para pihak melaksanakan isi kesepakatan itu. Akta damai memiliki kekuatan hukum sama

13

Reno Soeharjo, Reglement Indonesia yang Dibaharui s. 1941 No. 44 HIR, (Bogor: Politeia,1955), hlm.43


(28)

18

dengan vonnis hakim, sehingga ia dapat dipaksakan kepada para pihak jika salah satu dari mereka enggan melaksanakan isi kesepakatan tersebut. Para pihak tidak dibenarkan melakukan banding terhadap akta perdamaian yang dibuat dari hasil mediasi. Dalam sejarah hukum, penyelesaian sengketa melalui proses damai dikenal

dengan “dading”.14

Menurut ketentuan HIR penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan bila memenuhi persyaratan;

1. Para pihak ketika membuat perjanjian menyebutkan bahwa bila terjadi

perselisihan di kemudian hari, maka penyelesaian diserahkan kepada arbitrase (compromisioir beding);

2. Para pihak bersepakat ketika terjadi perselisihan untuk menyerahkan

perkaranya kepada wasit (arbiter), dan tidak mengajukan perkara tersebut kepada

hakim pengadilan. 15

b. Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang

Dalam pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuatan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 24 mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa yang

terjadi di kalangan masyarakat dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi). Badan

peradilan adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang mewujudkan hukum dan

14

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: kencana, 2009, hlm. 288.

15


(29)

19

keadilan. Meskipun demikian, sistem hukum Indonesia juga membuka peluang menyelesaikan sengketa di luar jalur pengadilan (nonlitigasi).

Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktik peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota. Penumpukan perkara tidak hanya terjadi pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya hukumnya, baik upaya hukum banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan kesulitan

mengakses (acces to justice) guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini

tentu tidak dapat dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia.

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa (perkara) dalam kehidupan masyarakat Indonesia. ketentuan mediasi baru di temukan dalam pasal ini yaitu tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yang juga di atur oleh Peraturan Agung No. 02 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan. Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayangkan adalah pengadilan. Pandangan ini tidak salah, karena pengadilan memang memberi otoritas oleh Negara untuk menyelesaikan sengketa. Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para pihak yang bersengketa menghadapi persoalan waktu, biaya dan mungkin persoalan mereka diketahui publik.


(30)

20

Dalam kontek ini, masyarakat berada dalam kondisi ambivalen. Pada satu sisi,

masyarakat ingin perkaranya selesai, namun pada sisi lain mereka tidak bersedia berhadapan dengan pengadilan.

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa diluar pengadilan. Prinsip win-win solution dan penyelesaian secara cepat telah menjadi pilihan dan memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukan itikad baik, karena tanpa itikad baik apa pun yang diputuskan diluar pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan, berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan di mana prinsip yang dianut adalah menang atau

kalah.

Peraturan Mahkamah Agung RI NO. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ditemukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan.

Kehadiran Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaika para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Dalam Perma


(31)

21

No. 1 Tahun 2008 mendapat kedudukan penting, karena proses mediasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

C. Dasar Hukum Mediasi dalam Litigasi

Yang menjadi dasar hukum diberlakunya mediasi dalam proses litigasi:

1. Pancasila.

Dasar hukum dari mediasi yang merupakan salah satu sistem ADR di Indonesia adalah dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah mufakat, hal tersebut juga dalam Undang-undang Dasar 1945. Hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang mediasi adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat 2 menyatakan “ Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan beradasarkan Pancasila”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyatakan: ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan perkara

dilakukan diluar pengadilan Negara melalui perdamaian atau Arbitrase.16

Kini telah jelas diakui secara hukum tentang adanya suatu lembaga alternatif di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk

16

Susant i Adi Nugroho, Naskah Akademis: M EDIASI (Jakart a: Peslit bang Hukum Dan Peradilan M A-RI, 2007), h.36.


(32)

22

menyelesaikan sengketanya. Karena selama ini yang dikenal dan diatur dengan peraturan perundang-undangan adalah Arbitrase saja. Yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2. Pasal 130 HIR/154 Rbg

Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:

Jika pada hari sidang yang di tentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka.17

Selanjutnya ayat (2) menyatakan:

Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat suatu surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menanti perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum acara yang berlaku baik pasal 130 Heirzein Indonesis Reglement (HIR) maupun pasal 154 Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat di intensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini.

3. Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo UU No.3 Tahun

2006 Tentang Peradilan Agama Pasal 82 berbunyi:

17


(33)

23

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak ada yang mengahadap secara pribadi dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. (3) Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka

pengugat pada sidang perdamaian tersebut menghadap secara pribadi. (4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat

dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Karena perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci Allah, walaupun perbuatan itu halal. Maka, peraturan ini menetapkan bahwa seorang hakim dalam menangani kasus (pasal ini menyebutkan gugat cerai) berkewajiban untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

Usaha mendamaikan (mediasi tidak hanya dilakukan pada peradilan tingkat pertama saja tapi juga pada tingkat banding maupun tingkat kasasi. Oleh karena itu, hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan pihak yang berperkara.

4. Penjelasan pasal 31 ayat (2) PP No,9 Tahun 1975

Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 berbunyi:

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Dimana penjelasan pasal tersebut adalah:

“Usaha untuk mendamaikan suami-istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada siding pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang


(34)

24

perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak dapat

meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu.18

5. PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Sebagaimana dalam Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa semua perkara yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.

Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum pembacaan gugatan dari penggugat. Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan pemeriksaan perkara.

6. Al Qur’an: Al Nisa’ (4) ayat: 128 “ wal shulhu khair”

Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan istilah Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut Syara’ adalah suatu akad dengan untuk maksud mengakhiri suatu persengketaan antara

dua pihak yang saling bersengketa.19

Dasar hukum dalam Al-qur’an, termaktub dalam surat An-Nisa’ ayat 128:



































































ءﺎﺴﻨﻠﻟ)

١٢٨

(

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang

18

Direkt orat Pembinaan Badan Peradilan Agam a Islam , Him punan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agam a (Jakarta: Depag RI, 2001), h. 178.

19


(35)

25

sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisa : 128)

Makna “wal shulhu khair” yakni “dan perdamaian itu lebih baik”. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: “yaitu memeberikan pilihan”. Maksudnya apabila suami memberikan pilihan kepada istri antara bertahan atau bercerai, itu lebih baik daripada si suami terus menerus mengutamakan istri yang lain

dari pada dirinya.20

Dzahir ayat ini bahwa perdamaian di antara keduanya dengan cara istri merelakan sebagian haknya bagi suami dan suami menerima hal tersebut, lebih baik daripada terjadi perceraian secara total.

Sebagaimana mana yang di lakukan Nabi Muhammad SAW, beliau tetap mempertahankan Saudah binti Zam’ah dengan memberikan memberikan malam gilirannya kepada ‘Aisyah RA. Beliau tidak menceraikannya dan tetap[

menjadikannya sebagai istri.21

Beliau melakukan itu agar diteladani oleh umatnya, bahwasanya hal tersebut disyariatkan dan di bolehkan. Hal itu lebih utama pada hak Nabi Muhammad SAW. Kesepakatan itu lebih dicintai oleh Allah daripada perceraian. Firman Allah “wal shulhu khair” dan perdamaian itu lebih baik’, bahkan perceraian sangat dibenci oleh

Allah SWT.22 Ayat ini berkaitan dengan perdamaian masalah perkawinan.

20

Syaikh Shafiyyurrahm an al-M ubarakfuri, Tafsir Ibnu Kat sir, jilid 2,cet.2 (Bogor: Pust aka Ibnu Kat sir,2008). H.683

21

Syaikh Shafiyyurrahm an al-M ubarakfuri, Tafsir Ibnu Kat sir, jilid 2,cet.2 (Bogor: Pust aka Ibnu Kat sir,2008). H.684

22

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir,2008). H.470


(36)

26

Selain ayat tersebut, ada ayat lain yang secara langsung menganjurkan agar diadakan perdamaian yakni surat Al-Hujurat ayat 9:





















































































: ثاﺮﺠﺤﻟا) ٩ (

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. Al-Hujurat: 9)

Allah berfirman seraya memerintahkan untuk mendamaikan dua kubu kaum mukmin yang saling bertikai. Mereka tetap disebut sebagai orang-orang beriman

meski saling menyerang satu sama lain.23

Bila Al-Qur’an membolehkan perdamaian dalam masalah-masalah seperti diatas, maka perdamaian dalam masalah keperdataan yang menyangkut dengan harta bendapun dibolehkan pula. Bahkan bila di telaah dengan seksama kajian sulh dalam kitab-kitab fiqh klasik, objek kajiannya tertuju pada bidang perjanjian atau perikatan yang menyangkut harta benda.

7. Al Sunnah

Dalam penelesaian sengketa, langkah pertama yang Rasulullah tempuh adalah jalan damai. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Dari Abu Hurairah berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Perdamaian antara orang-orang

23

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir,2008). H.470.


(37)

27

muslim itu dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkanyang haram dan

mengharamkan yang halal’ (HR. Abu Daud)24

Tirmidzi menambahkan:

Artinya: dan orang-orang islam itu menurut perjanjian mereka, kecuali perjanjianyang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (Tirmidzi

berkata, hadits ini Hasan Shohih). 25

Perdamaian yang dikandung oleh Sabda ini bersifat umum, baik mengenai hubungan istri, transaksi maupun politik. Selama tidak melanggar hak-hak Allah dan

Rasul-Nya, perdamaian hukumnya boleh.26

8. Doktrin Umar ibn Khattab

Umar dalam suatu peristiwa pernah berkata:

“Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara

melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka”.27

D. Tahap Pelaksanaan Mediasi

Sama halnya dengan penyelesaian konflik yang lain mediasi juga mempunyai beberapa tahapan yang harus dilalui agar dapat menempuh tujuan yang di tuju dapat tercapai. Secara global tahapan mediasi bisa dibagi kedalam 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Tahap persiapan

24

Abu Daud, Kitab sunan Abu Daud (Beirut: karoban Hazm, 1974), h.553. dapat juga di lihat Li ‘Ala Addin Samarqandi, Tuhfah al-fuqaha Juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h.249.

25

Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad Syaukani, Nailul Authar Juz5 (Kairo: Al-Babi al-Holbi, t.th), h.378.

26

“Sulh”, dalam Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi HUkum Islam, jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), h.1653.

27


(38)

28

Dalam sebuah proses mediasi dibutuhkan bagi seorang mediator untuk terlebih dahulu mendalami terhadap apa yang menjadi pokok sengketa para pihak yang dibicarakan dalam mediasi tersebut. Dan tahap ini juga biasanya mengkonsultasikan dengan para pihak tentang tempat dan waktu mediasi, identitas pihak yang akan hadir, durasi waktu dan sebagainya.

2. Tahapan Pelaksanaan

Dalam tahap pelaksanaan yang pertama dilakukan adalah pembentukan forum yaitu dimana sebelum dimulai antara mediator dan para pihak menciptakan atau membentuk forum. Setelah forum terbentuk diadakan rapat bersama dan mediator

mengeluarkan pernyataan pendahuluan.28 Yang harus dilakukan mediator pada tahap

ini adalah:

a. Melakukan perkenalan diri dan dilanjutkan perkenalan para pihak.

b. Menjelaskan kedudukan peran dan wewenangnya sbagai mediator.

c. Menjelaskan aturan dasr tentang proses aturan kerahasiaan

(confidentiality) dan ketentuan rapat.

d. Menjawab pertanyaan-pertanyaan para pihak.

e. Bila pihak sepakat untuk melanjutkan mediator harus meminta

komitmen para pihak untuk mengikuti semua aturan yang berlaku.29

Setelah itu tahap kedua dilanjutkan dengan pengumpulan dan pembagian imformasi, dimana mediator memberikan kesempatan kepada pihak untuk berbicara

28

Yasardin. M ediasi di Pengadilan Agam a. Upaya Pelaksaan SEM A no. 1 Tahun 2002. M im bar Hukum. No. 63, h. 21.

29

Ahm ad Syarhuddin. Pet unjuk Teknis Pelaksanaan M ediasi M enurut Peraturan M ahkam ah Agung RI No. 1 Tahun 2008, h. 4.


(39)

29

tentan fakta dan posisi menurut versinya masing-masing. Mediator sebagai pendengar yang aktif dan dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan harus juga menerapkan aturan keputusan dan sebaliknya mengontrol interaksi para pihak. Dalam tahap ini mediator harus memperhatikan semua informasi yang disampaikan masing-masing pihak, karena masing-masing-masing-masing informasi tentulah merupakan kepentingan-kepentingan yang selalu dipertahankan oleh masing-masing pihak agar pihak lain

menyetujuinya.30 Dalam menyampaikan para pihak juga mempunyai gaya yang

berbeda-beda, hal-hal seperti itulah yang harus diperhatikan oleh mediator. Setelah pengumpulan dan pembagian data maka langkah ketiga dilanjutkan negosiasi pemecah masalah. Yaitu diskusi dan tanggapan terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak. Para pihak mengadakan tawar-menawar (negosiasi diantara mereka).

Terdapat 12 faktor yang menyebabkan proses mediasi menjadi efektif, yaitu:

1) Para pihak memiliki sejarah pernah bekerja sama dan berhasil

menyelesaikan beberapa masalah mengenai beberapa hal.

2) Para pihak yangbersengketa (terlibat dalam proses mediasi) tidak

memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan sebelum melakukan proses mediasi.

3) Jumlah piahk yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada

pihak yang berada diluar masalah.

30

Ahm ad Syarhuddin. Pet unjuk Teknis Pelaksanaan M ediasi M enurut Peraturan M ahkam ah Agung RI No. 1 Tahun 2008, h. 5


(40)

30

4) Pihak-pihak yang terlibat sengketa telah sepakat untuk membatasi

permasalahan yang akan di bahas.

5) Para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah

mereka.

6) Para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih

lanjut dimasa yang akan datang.

7) Tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal.

8) Para pihak bersedia menerima bantuan pihak ketiga.

9) Terdapat alasan-alasan yang kuat untuk menyelsaikan sengketa.

10) Para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar

menggangu hubungan mereka.

11) Terdapat sumber daya untuk tercapainya sebuah kompromi.

12) Para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai31.

Alokasi yang terbear dalam mediasi biasanya terjadi pada tahap negosiasi,

karena dalam negosiasi ini membicarakan masala krusial yang diperselisihkan32. Pada

tahap ini terbuka kemungkinan terjadi perdebatan bahkan dapat terjadi keributan antara para pihak yang bersengketa. Seorang mediator harus bisa menjalin kerja sama dengan para pihak secara bersama-sama dan terpisah untuk mengidentifikasikan

31

Rachm adi Usm an, Pilihan Penyelesaian Sengket a di Luar Pengadilan (Bandung: PT Adit ya bakt i, 2003), h.102-103.

32


(41)

31

isu, memberikan pengarahan para pihak dari posisi masing-masing menjadi

kepentingan bersama33. Yang bisa dilakukan mediator pada tahap ini, ialah:

1) Membantu para pihak menaksir, menilai dan memprioritaskan

kepentingan masing-masing.

2) Memperluas atau mempersempit sengketa bilaman perlu.

3) Membuat agenda negosiasi.

4) Memberikan penyelesaian alternatif.

3. Tahap Pengambilan Keputusan

Pada tahap ini para pihak saling berkerja sama denga bentuan mediator untuk mengevaluasi pilihan, mendapatkan trade off dan menawarkan paket, memperkecil perdebatan-perdebatan dan mencari basis yang adil bagi alokasi bersama. Dalam tahap penentuan keputusan mediator dapat juga menekan para pihak, mencarikan rumusan-rumusan untuk menghindari rasa malu, membantu para pihak dalam menghadapi para

pemberi kuasa (kalau dikuasakan)34.

33

Rachm adi Usm an, Pilihan Penyelesaian Sengket a di Luar Pengadilan, h. 105. 34


(42)

32 BAB III

MEDIASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Dasar Hukum Mediasi

Dasar hukum mediasi terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw. Prinsip-prinsip untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara damai termaktub dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya:



















































:ءﺎﺴﻨﻟا)



(

Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakamdari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa Ayat 35)

















































































































ثاﺮﺠﺤﻟا)

:

١٠

-٩ (

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 9-10)


(43)

33





































































:ءﺎﺴﻨﻟا) ٨٢

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Q.S. An-Nisa: 128)

B. Konsep Peradamaian (As-Sulhu) Dalam Penyelesaian Perselisihan Suami Isteri

As-Sulhu berasal dari kata Sholuha, yang berarti perdamaian.35 Wahbah

Zuhaily mengartikan secara bahasa berarti memutus pertikaian atau persengketaan.36

Sedangkan secara syara’, as-Sulhu adalah akad yang bertujuan untuk mengakhiri

persengketaan yang terjadi antara dua belah pihak yang berselisih.37 Sedangkan

musholih berarti juru damai atau pendamai.38

Rukun-rukun as-sulhu adalah adanya orang atau pihak yang berakad untuk

melakukan perdamaian disebut mushalih, adanya objek yang disengketakan disebut mushalih ‘anhu. Adanya tindakan yang dilakukan salah satu pihak untuk memutuskan

35

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hal 1186. Lihat juga Ahmad Warson

Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,1997). Hal.788.

36

Wahbah zuhaily, al-Fiqh al-islami wa aadilatuhu, (Syiria: Dar-alfikr, 1985), juz V, Cet.II. h.293

37

Wahbah zuhaily, al-Fiqh al-islami wa aadilatuhu, (Syiria: Dar-alfikr, 1985), juz V, Cet.II. h.293

38

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hal 1186


(44)

34

perselisihan dengan jalan damai yang disebut dengan Masalih ‘alaihi atau Badalush

sulh, dan adanya ijab dan qabul dari kedua pihak yang melakukan perdamaian.

Adapun syarat-syarat Mashalih bih atau barang-barang yang disengketakan

adalah berbentuk harta yang dapat dinilai, dapat diserah terimkan dan bermanfaat, dan barang haruslah diketahui secara jelas agar memperkecil kemungkinan timbulnya perselisihan kembali. Selain itu barang yang disengketakan tidak terdapat hak orang lain didalamnya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa tidak sah untuk bentuk

kesepakatan, jika terdapat hak orang lain dalam benda/harta yang disengketakan. 39

Mushalih ‘anhu tidak sah jika terkait dengan hak Allah seperti perbuatan zina, mencuri atau minum khamar kemudian berdamai dengan orang yang menangkapnya atau berdamai dengan memberikan sejumlah uang kepada hakim agar melepasnya, dan

lain-lain. karena syarat utama dari sulhu adalah bukan menghalalkan yang haram dan

bukan mengharamkan yang halal.40

Syarat ini di dukung dengan sabda Rasulullah SAW :

Artinya: dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu boleh

(diadakan/dilakukan) diantara sesama muslim, kecuali perdamaian yang

mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (Hadis Riwayat Ibnu

HIbban). 41

39

Tenngku M uhamm ad Hasbi Ash Shiddiqy, Hukum -hukum Fiqh Islam : Tinjauan Ant ar M azhab, (Sem arang: PT. Pust aka Rizky Putra,2001), h.55.

40

Tenngku M uhamm ad Hasbi Ash Shiddiqy, Hukum -hukum Fiqh Islam : Tinjauan Ant ar M azhab, (Sem arang: PT. Pust aka Rizky Putra,2001), h.56.

41

Sepert i yang dikut ip oleh Wahbah Zuhaily bahw a menurut At -Tirm idzi hadist ini derajat nya adalah shahih. Lihat Wahbah Zuhaily, al-fiqh al-Islam w a adilat uhu, juz yang ke V, Syira. Dar-al-fikr. Cet .II. 1985.h.294.


(45)

35

Sedangkan Sayyid sabiq42 dan Wahbah Zuhaily43 mengkatagorikan tiga jenis

perdamaian, yakni;

1. Perdamaian ikrar, yakni perdamaian yang terjadi jika pihak tergugat

membenarkan gugatan penggugat dan kemudian mereka berdamai.

2. Perdamaian ingkar, yakni gugatan yang diajukan penggugat

kepengadilan dengan alasan tergugat telah ingkar terhadap suatu perjanjian yag dulu telah mereka sepakati. Apabila mereka berdamai maka disebut perdamaian ingkar

3. Perdamaina sukut yakni jika seorang menggugat orang lain tentang

suatu hal, kemudian ia hanya berdiam diri tanpa membenarkan maupun menyangkal. Apabila kedua belah pihak berdamai maka telah terjadi perdamaian sukut.

Perdamaian sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam Firman Allah dikatakan bahwa;



















































































































:تاﺮﺠﺤﻟا) ٩ -١٠ (

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya

42

Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT.Al-M a’arif, 1987), juz 13, H. 213. 43

Wahbah Zuhaily, al-fiqh al-Islam w a adilat uhu, (Syiria: Dar-al-Fikr, 1985) Juz yang ke V, Cet .II, h. 295-297


(46)

36

bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 9-10)

Berdasarkan ayat diatas , kata حﻼﺻا disebutkan sebanyak dua kali. Menurut

Quraish Shihab ayat kedua dikaitkan dengan kata لﺪﻌﻟﺎﺑ (dengan adil). Menurut beliau,

upaya islah pertama banyak kemungkinan menyinggung perasaan yang mengganggu jalannya proses perdamaian. Untuk itu perlu mengupayakan perdamaian lagidengan

hati-hati hingga lahirlah keadilan bagi kedua belah pihak.44

Kata اﻮﺤﻠﺻ ا berasal dari kata , حﻼﺻا yang asalanya adalah ﺢﻠﺻ yang berarti

mufakat.45 Lawan kata حﻼﺻا adalah ﺪﺴﻓ yang berarti rusak. Sedangkan حﻼﺻا adalah

upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Menurut Quraish Shihab, dalam konteks hubungan sosial, nilai-nilai tersebut tercermin dalam keharmonisan hubungan antara manusia, dan jika hubungan ini terganggu maka terjadilah kerusakan atau paling tidak berkurang manfaat tersebut.

Hal ini menuntut adanya حﻼﺻا yakni perbaikan agar keharmonisan hingga menjadi

pulih kembali. Dengan demikian terpenuhilah nilai-nilai manfaat dalam hubungan

tersebut hingga lahirlah manfaat dan kemaslahatan bagi keduanya.46

Terdapat dua kunci pada ayat ini, yakni kata لﺪﻋ(Al-‘adl) dan kata ﻂﺴﻗ

(Al-Qisth). Kata لﺪﻋ (Al-‘Adl) itu, bermakna lurus atau tidak condong kearah manapun.

Jika dikaitkan dengan salah satu Asma Allah, kata لﺪﻋ( Al-a‘dl) bermakna bahwa Dia

tidak condong kepada nafsu atau keinginan-keinginan yang dapat membuat dia

44

Quraish Shihab, Tafsir Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Volume 13, h.245-246.

45

Munawwir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progresif,1997),Cet,XIII h.788

46


(47)

37

condong kearah lain yang mempengaruhi penetapan-penetapan-Nya.47 Adil dapat juga

dikatakan menepatkan sesuatu pada tempatnya.48 Sebab kata ﻂﺴﻗ (Al-Qisth), banyak

disamakan artinya dengan Al-adl.49 Namun sebenarnya terdapat perbedaan antara

keduanya. Mengenai hal ini Quraish Shihab berpendapat bahwa kata ﻂﺴﻗ (Al-Qist)

dan kata لﺪﻋ (‘Adl) memiliki perbedaan. Kata ﻂﺴﻗ berarti keadilan yang diterapkan

di atas dua pihak atau lebih atau keadilan yang menjadikan mereka semua senang.

Sedangkan لﺪﻋ adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak

menyenangkan salah satu pihak.50 Dengan demikian konsep win-win solution dapat

merupakan salah satu bentuk dari kata ﻂﺴﻗ Ini berarti konsep yang ditawarkan proses

mediasi lebih disukai Allah, karena banyak manfaat bagi kedua belah pihak yang bersengketa.

Lebih lanjut Quraish Shihab menambahkan, bahwa Allah lebih menyukai jika ditegakkannya keadilan walaupun hal tersebut mengakibatkan kerenggangan hubungan diantara kedua belah pihak yang berselisih, tetapi ia lebih menyukai lagi jika keadilan tersebut dirasakan oleh kedua belah pihak sehingga perselisihan tidak

akan menjadi berlarut-larut.51 Dalam hal penyelesaian perselisihan rumah tangga,

47

Munawwir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progresif,1997),Cet,XIII h.904

48

Ibnu Mandzur, Lisan al- ‘Arab, (Beirut:Darul As-Shodir,2000), Juz ke 10, h.60.

49

Munawwir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progresif,1997),Cet,XIII h.1118

50

Quraish Shihab. Tafsir Misbah. Volume 13, h.246.

51


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)