03.KAJIAN PANAS BUMI NON VULKANIK

I.3

BUKU 1 : BIDANG ENERGI

KAJIAN PANAS BUMI NON VULKANIK
DAERAH SULAWESI BAGIAN TENGGARA

Dudi Hermawan, Asep Sugianto, Anna Yushantarti,
Dahlan, Arif Munandar, Sri Widodo
Kelompok Penyelidikan Panas Bumi,
Pusat Sumber Daya Geologi

SARI

”Daerah Sulawesi bagian tenggara memiliki potensi panas bumi yang tersebar dari daratan Sulawesi

hingga Pulau Buton. Lingkungan geologi daerah ini berasosiasi dengan lingkungan non-vulkanik yang
data dan pemahaman pembentukan sistem panas buminya masih kurang memadai. Kajian ini bertujuan
untuk lebih memahami karakteristik sistem panas bumi non-vulkanik di daerah Sulawesi bagian tenggara.

Manifestasi panas bumi di daerah kajian pada umumnya berupa mata air panas bertipe bikarbonat, yang

telah mengalami pencampuran dengan air permukaan, dan terbentuk pada lingkungan batuan sedimen.
Pendugaan temperatur bawah permukaan mengindikasikan bahwa temperatur bawah permukaan berkisar antara 160-270oC, yang termasuk dalam zona temperatur sedang sampai tinggi.
Pembentukan sistem panas bumi di daerah kajian dapat dibedakan menjadi dua sistem. Sistem panas
bumi di daratan Sulawesi bagian tenggara lebih dipengaruhi oleh gabungan antara pengaruh pola struktur
geologi dan sisa panas dari aktivitas magmatik di kedalaman. Sedangkan di Pulau Buton, pembentukan
sistem panasnya merupakan gabungan antara pola struktur geologi dan cekungan sedimen sebagai basement-nya.
Lapisan reservoir yang membentuk sistem panas bumi di daerah kajian diperkirakan terdapat pada
kedalaman lebih dari 450 m pada batuan metamorf dan sedimen, sedangkan batuan penudungnya diperkirakan merupakan batuan yeng telah mengalami ubahan hidrotermal pada kedalaman 100-300 m.



Kata kunci: Sulawesi bagian tenggara, non vulkanik, sistem panas bumi, reservoir

PROSIDING HASIL KEGIATAN PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI TAHUN 2011

BUKU 1 : BIDANG ENERGI

PENDAHULUAN

GEOLOGI


Potensi panas bumi di Indonesia tersebar
pada dua lingkungan geologi, yaitu lingkungan geologi vulkanik dan non-vulkanik. Pada
daerah panas bumi yang berasosiasi dengan
lingkungan vulkanik, saat ini sudah banyak
yang dikembangkan dan menghasilkan energi
listrik yang bisa dimanfaatkan. Sedangkan pada
daerah panas bumi yang terdapat pada lingkungan non-vulkanik masih belum dikembangkan
dengan optimal. Salah satu kendalanya adalah
masih kurangnya data geosains dan pemahaman tentang karakteristik dan pembentukan
sistem panas buminya. Oleh karena itu, kajian
ini berupaya untuk mengumpulkan dan mengevaluasi data dan informasi kepanasbumian
terutama data geosain dengan tujuan untuk
memahami karakteristik sistem panas bumi
non-vulkanik di Indonesia.

Geologi Regional Daerah Kajian

Kajian pada tahun 2011 ini dilakukan di
daerah Sulawesi bagian tenggara yang merupakan kelanjutan dari kajian serupa di daerah

Sulawesi bagian tengah pada tahun 2010.
Pulau Sulawesi dalam hal ini daerah Sulawesi
bagian tenggara memiliki potensi panas bumi
yang berasosiasi dengan lingkungan non-vulkanik. Manifestasi panas bumi tersebar dari
daratan Sulawesi bagian tenggara hingga Pulau
Buton yang pada umumnya muncul di lingkungan batuan metamorf dan sedimen.

I.3

Secara regional di daerah kajian terdapat dua
mandala (terrain) geologi sangat berbeda yang
saling bersentuhan, yaitu Mandala Sulawesi
Timur dan Anjungan Tukangbesi-Buton. Mandala Geologi Sulawesi Timur dicirikan oleh
gabungan batuan ultramafik, mafik, dan malihan, sedangkan Anjungan Tukangbesi-Buton
dicirikan oleh batuan malihan berumur PermKarbon sebagai alasnya, berupa kelompok
batuan sedimen pinggiran benua. Batuan ultramafik terdiri dari peridotit, serpentinit, diorit,
wherlit, hazburgit, gabro, basal, mafik malih
dan magnetit. Batuan penyusunnya berupa
sekis mika, sekis kuarsa, sekis klorit, sekis
mika-amfibol, sekis grafit, dan gneiss.

Batuan malihan ini secara tak selaras ditindih batuan sedimen klastika, yaitu Formasi
Meluhu dan sedirnen karbonat Formasi Laonti.
Keduanya diperkirakan berumur Trias Akhir
hingga Jura Awal. Formasi Laonti terdiri atas
batugamping hablur bersisipan filit di bagian
bawahnya dan setempat sisipan kalsilutit rijangan. Formasi Meluhu tersusun dari batu sabak,
filit dan kuarsit, setempat sisipan batugamping
hablur.
Struktur geologi yang terbentuk di daerah
ini didominasi oleh pola sesar berarah relatif
baratlaut-tenggara yang merupakan pengaruh
dari aktivitas sesar Palu-Koro dan pertumbuhan jalur tektonik Palu-Mekongga yang
berhubungan dengan pembentukan pegunungan Verbeek dan Moliowo. Berdasarkan
sejarahnya daerah Sulawesi bagian tenggara

PROSIDING HASIL KEGIATAN PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI TAHUN 2011

BUKU 1 : BIDANG ENERGI

merupakan wilayah yang terpisah dari Sulawesi

bagian barat (bagian kerak benua Eurasia). Fase
tektonik dari Sulawesi bagian tenggara berawal
dari pergerakan lempeng mikro Australia ke
arah utara pada Zaman Jura yang membentuk
subduksi dengan Sulawesi bagian barat. Pada
akhir Oligosen lempeng mikro Australia ini bertubrukan dengan daratan (mintakat) Sulawesi
Tenggara yang menyebabkan terjadinya perlipatan kuat dan patahan naik pada batuan
pra-Miosen di Pulau Buton. Struktur geologi
Pulau Buton banyak ditandai oleh adanya patahan maupun antiklinorium yang berarah hampir
utara - selatan atau timurlaut - baratdaya. Fase
tersebut berlanjut hingga Miosen sehingga
membentuk kaki bagian tenggara sampai saat
ini. Fase selanjutnya setelah periode tersebut
adalah mulai terbentuknya sesar – sesar mendatar dengan arah mengiri

Geologi Panas Bumi Daerah Kajian
Lingkungan geologi yang terbentuk di daerah
kajian pada umumnya dicirikan oleh batuan
malihan yang menjadi batuan dasar (basement)
dalam susunan stratigrafinya. Pergerakan

lempeng Australia ke arah barat yang bertumbukan dengan lempeng Asia bagian timur dan
lempeng Pasifik menghasilkan pergerakan tektonik yang berarah relatif baratlaut – tenggara.
Aktivitas tektonik ini mengakibatkan terjadinya
cekungan-cekungan baru yang terisi oleh
endapan batuan sedimen terutama sedimen
karbonat pada zaman Tersier. Batuan sedimen
karbonat ini lebih berkembang di Pulau Buton
dikarenakan pada waktu pengendapannya
daratan Sulawesi bagian tenggara lebih dekat
ke arah darat dibandingkan Pulau Buton. Periode selanjutnya adalah proses eksogen yang

menghasilkan produk sedimentasi dari batuan
malihan dan batuan sedimen yang dikelompokkan menjadi batuan konglomerat berumur
Kuarter awal. Aktivitas sedimentasi masih
terbentuk hingga saat ini berupa endapan di
permukaan dalam bentuk aluvium sungai dan
pantai.
Pola stuktur geologi yang berkembang di daratan Sulawesi bagian tenggara didominasi oleh
pola yang sama dengan sesar Palu – Koro yang
berarah baratlaut-tenggara. Pola struktur ini

diakibatkan oleh pergerakan kepingan benua
Banggai-Sula ke arah barat. Struktur-struktur
besar di daerah kajian yang berhubungan dengan sesar Palu-Koro dan juga berjenis sesar
mendatar mengiri diantaranya adalah sesar
Kolaka, sesar Matano dan sesar Lawanopo.
Sesar-sesar ini setempat juga bersifat sesar
normal yang membentuk zona-zona depresi
yang memungkinkan terbentuknya zonazona rekahan yang intensif dan membentuk
permeabilitas sekunder di kedalaman. Zona
permeabilitas inilah yang membentuk reservoir dalam sistem panas bumi daerah Sulawesi
bagian tenggara. Manfestasi panas bumi yang
muncul pada umumnya dikontrol oleh sesarsesar berarah baratlaut-tenggara ini.
Adapun pola struktur geologi yang berkembang
di Pulau Buton relatif berbeda. Pola struktur
geologi di Pulau Buton lebih didominasi struktur
lipatan dan sesar berarah relatif utara-selatan
dan timurlaut-baratdaya yang pada umumnya
berupa sesar naik. Hal ini dikarenakan posisi
Pulau Buton terletak di zona tumbukan antara
Anjungan Tukangbesi-Buton dengan daratan

Sulawesi bagian Tenggara. Struktur-struk-

PROSIDING HASIL KEGIATAN PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI TAHUN 2011

I.3

BUKU 1 : BIDANG ENERGI

tur berarah utara-selatan ini juga megontrol
pemunculan manifestasi panas bumi di Pulau
Buton.

langsung dari kedalaman dengan temperatur
sedang serta menunjukkan bahwa kondisi mata
air panas ini sedikit sekali mendapat pengaruh
dari air permukaan atau pengenceran air meteorik.

GEOKIMIA

Lingkungan pembentukan sistem panas bumi

di daerah kajian terletak pada lingkungan
batuan sedimen yang ditunjukkan oleh posisi
semua mata air panas terletak pada zona yang
cenderung ke arah B, sebagai indikasi adanya
interaksi dengan sistem hidrotermal dan pengaruh batuan sedimen sebelum mencapai ke
permukaan.

Air panas daerah kajian pada umumnya termasuk ke dalam tipe air panas bikarbonat
dan hanya sebagian kecil bertipe klorida yaitu
daerah Konawe (air panas Toreo, Parora, dan
Amohola). Tipe air bikarbonat di daerah kajian
ini menunjukkan bahwa naiknya fluida panas
bumi yang mengandung gas terutama CO 2
mengalami kondensasi di dalam akuifer dangkal. Hal ini didukung hasil analisis isotop yang
cenderung mendekati meteoric water line, yang
mencerminkan bahwa mata air panas dominan dipengaruhi pencampuran air permukaan.
Sedangkan tipe air klorida mengindikasikan
bahwa ketiga air tersebut kemungkinan berhubungan dengan deep water. Hal ini didukung
pula oleh hasil analisis isotop (daerah Amohola) yang cenderung menjauhi meteoric water
line, yang mengindikasikan fluida berasal dari

kedalaman (deep water). Sedangkan Toreo dan
Parora cenderung mempunyai tren ke arah
SMOW (Standard Mean Oceanic Water) yang
mengindikasikan adanya mixing dengan air laut.
Keberadaan mata air panas pada umumnya
berada pada zona immature water, yang menggambarkan kondisi pencampuran dengan air
permukaan yang dominan, namun ada juga yang
berada pada partial equilibrium (mata air panas
Parora dan Toreo) yang memberikan gambaran
bahwa kondisi air panas kemungkinan berasal

I.3

Dari sebaran nilai Hg tanah di daerah kajian
memperlihatkan bahwa anomali relatif tinggi
hanya terletak di sekitar lokasi manifestasi air
panas dengan cakupan yang tidak terlalu luas.
Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan sistem panas buminya hanya berupa spots kecil di
sekitar pemunculan manifestasi.
Berdasarkan karakteristik air panas di daerah

kajian yang pada umumnya bertipe bikarbonat
dan sebagian kecil bertipe klorida, dominan
terletak pada zona immature water dan hanya 2
air panas pada partial equilibrium, perhitungan
temperatur bawah permukaan menggunakan
geotermometer air NaK, yang mengacu kepada
Giggenbach, 1988, melalui persamaan: ToC =
[1390/((log Na/K + 1.75]-273. Dari hasil perhitungan diperoleh temperatur berkisar antara
160-270 oC (termasuk temperatur sedangtinggi).

PROSIDING HASIL KEGIATAN PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI TAHUN 2011

BUKU 1 : BIDANG ENERGI

tahanan jenis tinggi, seperti di daerah Lainea.

GEOFISIKA
Data gaya berat secara umum memperlihatkan
pola kelurusan yang diperkirakan berasosiasi
dengan kemunculan manifestasi di permukaan.
Selain itu, di daerah sekitar sebaran manifestasi umumnya memiliki nilai anomali Bouguer/
Sisa yang relatif tinggi. Anomali tinggi ini
diperkirakan berasosiasi dengan batuan yang
memiliki densitas tinggi dan diperkirakan berhubungan dengan aktivitas magmatik di bawah
permukaan. Oleh karena itu, anomali tinggi ini
dapat diinterpretasikan sebagai indikasi adanya
sumber panas di bawah permukaan.
Data magnetik memperlihatkan sebaran
anomali rendah di sekitar manifestasi panas
bumi permukaan. Anomali magnet rendah ini
umumnya dijadikan indikator adanya batuan
ubahan di dekat permukaan yang biasanya
berasosiasi dengan adanya aktivitas panas
bumi di sekitar daerah tersebut.
Secara umum, data tahanan jenis DC di daerah
Sulawesi bagian tenggara memperlihatkan pola
lineasi tahanan jenis yang umumnya selaras
dengan arah struktur yang berkembang di daerah tersebut. Untuk daerah Lainea, kelurusan
tersebuat cenderung berarah baratlaut-tenggara, untuk daerah Sampolawa kelurusan
tersebut cenderung berarah hampir utara-selatan dan barat-timur, sedangkan untuk daerah
Mangolo kelurusan tersebut berarah baratlaut-tenggara dan baratdaya-timurlaut. Selain
itu, lineasi ini juga berasosiasi dengan kemunculan manifestasi panas bumi permukaan
yang umumnya muncul di sepanjang struktur.
Lineasi-lineasi ini umumnya ditandai dengan
adanya kontras nilai tahanan jenis rendah dan

Tahanan jenis rendah yang berada di daerah
non vulkanik umumnya memiliki nilai tahanan
jenis lebih tinggi dari nilai tahanan jenis rendah di lingkungan vulkanik yang umumnya
memiliki nilai tahanan jenis rendah