8 Studi Kasus Lapangan Panas Bumi Non Vulkanik di Sulawesi

(1)

STUDI KASUS LAPANGAN PANAS BUMI NON VULKANIK

DI SULAWESI: PULU, MAMASA, PARARA, DAN MANGOLO

Oleh:

Edi Suhanto dan Bakrun SUBDIT. PANAS BUMI

ABSTRACT

Geology, geochemistry, and geophysic surveys were carried out in four non-volcanic geothermal areas in Sulawesi. Three of them, Pulu, Luwu, and Mamasa are located in the southern-arm of Sulawesi and mostly covered by granitic rocks. The other area, Mangolo is located in the southeastern-arm of Sulawesi and mostly covered by metamorphyc rock units.

All areas have geothermal manifestations of hot springs and the hot waters have temperatures ranging from 40 to 95 oC, and neutral pH, and are grouped into bicarbonate and chloride-bicarbonate water types. No low resistivity anomalies correlating to argilic hydrothermal alterations is indicated by resistivity data. However, geochemical data shows high anomalies that coincide with the geothermal features. Geology, gravity, and magnetic data recognize deep penetrating structures that control the existing geothermal system of the areas. In general, the results of the surveys indicate that the geothermal system of the non-volcanic areas are controlled by deep penetrating structures where the reservoirs form as fracture zones along the fault planes. The geothermal fluids is of meteoric water origin that penetrate down into the deep through structures and heated by hot igneous body in the deep. The estimate reservoir temperatures are about 170 oC mostly from silica geothermeter.

SARI

Penyelidikan terpadu geologi, geokimia, dan geofisika telah dilakukan di empat daerah panas bumi non-vulkanik di Sulawesi. Tiga daerah panas bumi yaitu Pulu, Luwu, dan Mamasa yang terletak di lengan selatan Sulawesi didominasi oleh batuan granit, sedangkan daerah Mangolo yang terletak di lengan tenggara Sulawesi didominasi oleh batuan metamorfik.

Manifestasi panas bumi permukaan hanya berupa mata air panas, dengan suhu air panas bervariasi antara 40 – 95 oC, bertipe bikarbonat dan klorida-bikarbonat dan pH netral.. Data tahanan jenis listrik tidak mengindikasikan adanya anomali rendah yang berhubungan dengan batuan ubahan hidrotermal argilik yang umum dijumpai di daerah vulkanik. Namun, data anomali geokimia berkorelasi positif dengan sebaran manifestasi permukaan. Data geologi, gaya berat dan magnetik mengindikasikan struktur-struktur yang mengontrol keberadaan sistem panas bumi. Hasil penyelidikan mengindikasikan bahwa sistem panas bumi di daerah-daerah non-vulkanik ini dikontrol oleh struktur-struktur dalam, dimana reservoar-reservoar panas bumi terbentuk dalam zona-zona kekaran sepanjang bidang struktur, dan fluida panas bumi berasal dari air meteorik masuk kedalam melalui struktur dan terpanasi oleh batuan beku panas di kedalaman. Dan geotermometer mengindikasikan suhu bawah permukaan sekitar 170 oC.

1. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki sekitar 250 daerah kenampakan panas bumi dengan potensi sekitar 27.000 MWe, yang sebagian besar tersebar sepanjang jalur gunungapi Sunda – Banda yang terentang mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusatenggara, Banda, Maluku, Sulawesi Utara,

dan kepulauan Sangir (Gambar 1). Namun demikian, sekitar 20 persennya terletak di luar jalur gunungapi dan sebagian besarnya tersebar di Sulawesi Tengah, Selatan dan Tenggara.

Pengembangan sumber daya panas bumi yang ada, selain sebagian besar masih bertumpu di wilayah barat Indonesia, semuanya masih terjadi di daerah-daerah berlingkungan vulkanik.


(2)

Malahan, dari sekitar 1000 MWe total potensi panas bumi wilayah Sulawesi Tengah, Selatan dan Tenggara baru sekitar 160 MWe (atau < 20%) yang merupakan potensi terduga (status 2003). Dari segi kandungan energi, potensi panas bumi di ketiga kabupaten ini tergolong rendah dibandingkan dengan potensi panas bumi dari daerah vulkanik. Sebagai perbandingan, dari sekitar 40 daerah panas bumi di ketiga wilayah tersebut memberikan potensi sekitar 1000 MWe, sedang dari 5 daerah panas bumi di wilayah Sulawesi Utara, yang sebagian besar merupakan daerah vulkanik, memberikan potensi sekitar 850 MWe.

Daerah panas bumi Pulu di Kabupaten Donggala - Sulawesi Tengah, Luwu di Kabupaten Luwu Utara - Sulawesi Selatan, Mamasa di Kabupaten Polmas - Sulawesi Selatan, dan Mangolo di Kabupaten Kolaka - Sulawesi Tenggara adalah empat dari sekitar 43 daerah panas bumi non-vulkanik di Sulawesi. Kami telah melakukan penyelidikan geologi, geokimia, dan geofisika di empat daerah panas bumi tersebut. Tulisan ini menyajikan hasil-hasil penyelidikan tersebut serta membandingkannya dengan prospek-prospek lain di daerah vulkanik. 2. GEOLOGI

Sulawesi dengan bentuk-K nya yang khas terletak di suatu dearah dimana terjadi interaksi dan tumbukan antara lempeng-lempeng tektonik Eurasia, India-Australia, dan Pasifik (Gambar 1). Interaksi ini menimbulkan proses geologi yang komplek di daerah ini. Daerah panas bumi Pulu, Parara-Luwu, dan Mamasa terletak di lengan selatan Sulawesi yang umum dijumpai granit dan asosiasinya granodiorit. Sementara Mangolo terletak di lengan tenggara Sulawesi yang umum ditemui batuan metamorfik dan ofiolit (Katili, 1978).

2.1 Daerah panas bumi Pulu terletak di zona sesar Palu-Koro, membentuk suatu depresi berarah NNW-SSE sehingga struktur sesar utama (sesar normal) secara umum mengikuti arah ini. Batuan yang tersebar di daerah ini dapat dibagi menjadi 6 satuan (Gambar 2): batuan Sekis hijau, batuan Granit geneis, batuan Sabak-Filit, batuan granit, Coluvium, dan Aluvium. (1) Batuan metamorfik sekis hijau yang merupakan batuan tertuan setara dengan Formasi Wana berumur Trias (Simanjuntak,

1991), bertindak sebagai batuan dasar dan menempati sekitar 20%. (2) Granit geneis diperkirakan merupakan bagian dari tubuh intrusi granitoid regional yang berumur Trias. Sebagian dari granit ini terlihat telah terubah menjadi batuan metamorfik; (3) Satuan batuan filit dan batusabak dan batu tanduk yang tersingkap di selatan baratdaya daerah penyelidikan yang mencirikan adanya perlapisan dan kontak dengan batuan granit dibagian utara yang merupakan tipe khas satuan batuan formasi Latimojong berumur Kapur Atas; (4) Satuan batuan granit mempunyai penyebaran paling luas terdapat dibagian barat didaerah penyelidikan. Satuan granit (batholit) mengintrusi batuan yang telah ada seperti batuan metamorfik, yang merupakan intrusi besar secara regional yang berumur Miosen. (5) Satuan koluvium terdiri dari konglomerat, batu pasir, setempat-setempat berselingan dengan batu lempung karbonatan dan terlihat terlas dengan baik. (6) Satuan Aluvium dijumpai daerah dataran rendah dibagian tengah daerah penyelidikan yaitu sepanjang aliran sungai besar Palu dan cabang-cabang yang alirannya menyatu dengan sungai besar.

Ada sekitar delapan buah sesar utama yang berkembang pada daerah penelitian, meliputi kelurusan, sesar geser normal yang berarah baratdaya – timurlaut, serta sesar-sesar normal berarah hampir utara-selatan. Sesar utama yang melewati daerah peralihan merupakan bagian dari sesar utama Palu-Koro yang berarah barat laut – tenggara, berupa sesar geser sinistral yang telah membentuk suatu depresi sebagai graben Palu. Pada beberapa tempat akibat dari proses tektonik daerah ini menghasilkan sesar-sesar sekunder yaitu sesar-sesar Pulu, Rogo, Suluri, Bangga Pakuli, Pandere, dan Binanga.

2.2 Daerah panas bumi Parara-Luwu terletak dekat dengan sesar Palu-Koro. Batuan di daerah ini adalah batuan granodiorit, granit dan batuan malihan, yang tersingkap baik di beberapa lokasi pada kelurusan struktur, kontak tektonik di Salu Paku dan Salu Rongkong (Gambar 3). Lapisan penutup didapati sebagai endapan aluvium tersebar luas di bagian timur wilayah penyelidikan. (1) Batuan malihan merupakan batuan tertua dan batuan dasar daerah penyelidikan, dapat dipisahkan menjadi batu sabak, filit, sekis dan (2) Batuan granit, berdasarkan struktur, tekstur dan susunan


(3)

litologi batuan dapat dipisahkan menjadi tiga satuan: a) Granit porfir, yang oleh penyelidik terdahulu dinyatakan sebagai sebaran masif Granit Kambuno yang sebagian kecil tersebar di daerah penyelidikan; b) Granit Pararra yang dari pentarikhan jejak belah contoh tersingkap di

Salu Hili Hulu, berumur 1.72 ± 0.08 Ma atau

Pliosen Atas; c) Granodiorit yang dari pentarikhan jejak belah contoh di lokasi

penorehan Sungai Turunan, berumur 0,784 ±

0,003 Ma atau berumur Plistosen Bawah, sedangkan contoh di lokasi Salu Basisi berumur 0,762 ± 0,003 Ma.

Struktur-struktur yang muncul akibat perkembangan segmen tektonik Limbong dan peristiwa tektonik Palu-Koro dan Sarasin. Pola struktur yang terdapat di daerah ini adalah sesar, kekaran dan perlipatan. Sesar terdiri dari sesar normal Rongkong dan Salu Paku, dan sesar mendatar Panglimbong, Sese, Lena, Malalin, Makadede, dan Monto. Struktur kekar dan rekahan merupakan struktur minor yang terdapat pada persilangan sistim sesar normal dengan sesar yang bergerak mendatar, akibat pertumbuhan gaya gerak struktur. Bentuk kekar dan rekahan membuka dan berkembang dalam tubuh terobosan granit dan granodiorit yang setempat-setempat terlihat di permukaan. Struktur-struktur ini berperan dalam pembentukan sistem panas bumi di daerah tektonik Limbong dan Salu Paku.

2.3 Daerah panas bumi Mamasa memiliki

strtigrafi yang terdiri dari lima satuan batuan (Gambar 4) : (1) Satuan andesit, merupakan batuan tertua yang diperkirakan berumur Miosen Awal-Tengah; (2) Satuan Piroklastik Aliran yang umumnya belum terpadatkan, yang diperkirakan hasil letusan celah (fissure

eruption); (3) Satuan Granit, menempati daerah

paling luas, mengintrusi batuan andesit dan piroklastik berupa intrusi besar (batholit); (4) Satuan Batuan Riolit, merupakan intrusi permukaan yang menyatu dengan intrusi granit. Di bawahnya adalah batuan granit dengan tekstur porfiritik-faneritik dan di atasnya riolit dengan tekstur afanitik; (5) Satuan aluvial, menempati daerah aliran sungai dan pedataran dengan tebal antara 0,2 – 5 m.

Struktur yang berkembang berupa sesar normal (sesar Kepa, Tambolang, Mamasa, dan

Rante Kamiri) dan mendatar (sesar Pakasasan, Bue, dan Tambun) akibat kegiatan tektonik terakhir sekitar Pliosen setelah intrusi granit pada Miosen-Pliosen. Sesar normal terjadi terlebih dahulu disusul sesar mendatar.

2.4 Daerah panas bumi Mangolo didominasi oleh sebaran batuan metamorfik. Dari muda ke tua, satuan-satuan litologi terdiri dari Gneis Mekongga, Skis Mekongga, Batu Gamping Hablur Mekongga, Skis Pampangeo and Alluvium (Gambar 5). Penyebaran batu gamping meskipun setempat di daerah manifestasi panas bumi namun mempengaruhi karakteristik kimia air panas bumi. Struktur geologi di daerah ini sebagian besar berbentuk kelurusan-kelurusan yang diakibatkan oleh pengaruh pembentukan pegunungan, perlipatan secara intensif dan sesar naik pada lengan tenggara pulau Sulawesi.

3. MANIFESTASI DAN GEOKIMIA PANAS BUMI

3.1 Daerah panas bumi Pulu, mempunyai manifestasi panas bumi permukaan berupa 8 mata air panas yang tersebar pada lima lokasi

dengan suhu bervariasi antara 25 – 95 oC, pH

netral 6,5 – 8,5 dan debit antara 0,1 – 4 Lt/detik.

Suhu tertinggi sekitar 95 oC mendekati suhu

didih, terdapat di air panas Dusun Pakuli, muncul pada endapan Kolovium, dikontrol oleh perpotongan sesar normal Pandere dan sesar mendatar Pakuli dan sesar mendatar Palu. Air panas Pakuli dicirikan oleh kandungan yang relatif tinggi dari silika (~ 200 mg/L), natrium (~550 mg/L), klorida (~450 mg/L), dan bikarbonat (~600 mg/L) (Tabel 1), termasuk dalam tipe air klorida-bikarbonat (Gambar 6a) dan dalam kesetimbangan parsial (Gambar 6b) dengan suhu kesetimbangan kimia dari silika sekitar 170 – 180 oC. Distribusi Hg soil (Gambar

7) dan gas CO2 udara soil (Gambar 8) keduanya

memperlihatkan anomali tinggi yang saling berimpitan di sebelah timur sesar Rogo yang membentuk kelurusan NNW-SSE. Ini memperlihatkan luasnya zona sesar Rogo, sisi timur dari struktur depresi.

3.2 Daerah panas bumi Luwu, memiliki manifestasi panas bumi permukaan berupa 5 kelompok mata air panas dengan suhu bervariasi antara 40 – 96 oC, pH netral 6,5 – 8,0 dan debit


(4)

antara 0,5 – 2 Lt/detik. Suhu tertinggi sekitar 75 o

C, terdapat di air panas Dusun Salu Paku, muncul pada rekahan granit, terdapat endapat karbonat tipis (< 1 cm), dan dikontrol oleh sesar normal Salu Paku. Air panas ini dicirikan oleh kandungan yang signifikan dari silika (~ 115 mg/L), natrium (~170 mg/L), klorida (~76 mg/L), dan bikarbonat (~450 mg/L) (Tabel 1), termasuk dalam tipe air klorida-bikarbonat (Gambar 6a) dan termasuk ‘immature water’ (Gambar 6b) dengan suhu kesetimbangan kimia

dari silika sekitar 170 oC. Sampling merkuri

tanah dan gas CO2 udara tanah dilakukan hanya

melingkupi kelompok air panas Kanan. Distribusi Hg soil (Gambar 9) membentuk anomali-anomali tinggi setempat-setempat namun mengindikasikan beberapa kelurusan

NNW-SSE dan NW-SE. Distribusi CO2

(Gambar 10) memperlihatkan anomali tinggi yang membentuk kecenderungan baratlaut-tenggara, namun berharga rendah di daerah manifestasi Kanan.

Tabel 1. Data kimia air panas

KodeConto PULU LUWU MAMASA MANGOLO

Elevasi,(m) 137 1150

Temperatur,(oC) 94.2 75.0 57.0 58.0

pH 8.1 7.57 8.6 7.5

DHL/EC, 2768 866 260 1560

(umhos/cm)

SiO2 (mg/L) 195.29 116.2 78.67 82.38

B (mg/L) 16.97 1.6 0.90 26.10

Al3+

(mg/L) 0.00 0.15 - -

Fe3+

(mg/L) 0.08 0.15 0.50

Ca2+

(mg/L) 2.26 32 2.34 203.81

Mg2+

(mg/L) 0.19 4.8 0.77 26.29

Na+

(mg/L) 552.86 169.2 54.09 681.25

K+

(mg/L) 57.14 18.5 1.40 55.56

Li+

(mg/L) 2.58 0.36 0.14 0.49

As3+

(mg/L) 0.10 0 0.00

NH4+ (mg/L) 24.42 0 0.30

Cl

-(mg/L) 454.90 76.24 20.54 289.33

F

-(mg/L) 1.00 0 2.00

SO42+ (mg/L) 68.00 116.2 1.33 35.86

HCO3- (mg/L) 618.20 450.9 104.34 2087.18

CO32- (mg/L) 68.40

3.3 Daerah panas bumi Mamasa, memiliki manifestasi panas bumi permukaan berupa 5 kelompok mata air panas yang membentuk kelurusan setengah lingkaran, dengan suhu bervariasi antara 42 – 57 oC, pH netral sekitar 8,5 dan debit masing-masing sekitar 1 Lt/detik. Air panas Kanan Sale Bok, di Dusun Makao, yang muncul pada area persawahan, memiliki

suhu tertinggi 57 oC, dan dicirikan oleh

kandungan yang signifikan dari silika (~ 79 mg/L), natrium (~54 mg/L), klorida (~21 mg/L), dan bikarbonat (~104 mg/L) (Tabel 1), termasuk dalam tipe air bikarbonat (Gambar 6a) dan ‘immature water’ (Gambar 6b). Estimasi suhu bawah permukaan dengan geotermometer silika sekitar 120 oC. Distribusi Hg soil (Gambar 11)

dan CO2 udara soil (Gambar 12) keduanya

membentuk suatu anomali tinggi yang saling berimpit dengan pola yang mengikuti kelurusan setengah lingkaran mata air panas.

3.4 Daerah panas bumi Mangolo, memiliki manifestasi panas bumi permukaan berupa dua kelompok mata air panas, Bumi Perkemahan dan Goa yang muncul pada rekahan-rekahan batu gamping hablur, dengan suhu air panas masing-masing 58 oC dan suhu 40 oC, pH netrla sekitar 7,5 dan terdapat endapan karbonat tipis (tebal < 1 cm). Kimia air panas dicirikan oleh kandungan yang signifikan dari bikarbonat (~2087 mg/kg), natrium (~680 mg/kg), klorida (~290 mg/kg), dan kalsium (~200 mg/kg) (Tabel 1), dan termasuk dalam tipe air bikarbonat (Gambar 6a) dan ‘immature water’ (Gambar 6b). Estimasi suhu bawah permukaan dengan

geotermometer Na-K-Ca sekitar 170 oC.

Distribusi Hg soil (Gambar 13) dan CO2 udara

soil (Gambar 14) membentuk suatu zona anomali anomali tinggi dengan pola memanjang berarah hampir baratlaut-tenggara yang saling berimpit dan melingkupi kedua mata air panas. 4. GEOFISIKA

4.1 Sebaran tahanan jenis semu

Pengukuran dilakukan dengan metode tahanan jenis dc konfigurasi Schlumberger.

a. Di daerah panas bumi Pulu, sebaran tahanan jenis rendah untuk bentangan arus AB/2 = 1000 m (Gambar 15) memperlihatkan suatu anomali rendah (< 40 Ohm-m) dengan pola memanjang berarah hampir utara-selatan mengikuti sisi depresi timur (searah sesar Rogo), kemudian di selatan, sebelum mata air panas Suluri, menyebar ke timur ke arah mata air panas Pakuli dan Simoro di selatannya. Secara umum, sebaran tahanan jenis semu rendah ini berhubungan dengan keberadaan manifestasi mata air panas namun kontrol zona sesar sepertinya lebih dominan. Suatu pola kontur rapat (gradien tinggi) terlihat jelas sejajar dengan sesar Rogo yang juga


(5)

memisahkan satuan granit di barat dan skis di timurnya.

b. Daerah panas bumi Luwu, memperlihatkan nilai tahanan jenis yang tinggi > 400 Ohm-m dengan kecenderungan liniasi kontur berarah hampir baratlaut-tenggara. Namun demikian, jika diambil suatu zona > 700 Ohm-m untuk AB/2 = 1000m (Gambar 16), maka dua kelompok mata air panas, yakni Kanan dan Paku, yang terlingkup oleh daerah survei tahanan jenis terletak di zona ini. Seluruh daerah survei tahanan jenis berada di atas batuan granit.

c. Daerah panas bumi Mamasa, juga memperlihatkan nilai tahanan jenis semu yang tinggi > 100 Ohm-m (Gambar 17) dengan pola sebaran yang terbagi dua, tinggi di timurlaut (>1000 Ohm-m) dan lebih rendah di baratdaya (<1000 Ohm-m). Dua blok sebaran ini kemungkinan mengikuti pola sebaran batuan dimana di baratdaya banyak ditemukan batuan vulkanik tua dan lebih tebal daripada di bagian timurlaut. Daerah manifestasi bertepatan dengan nilai tahanan jenis > 500 Ohm-m. Pola lineasi kontur secara umum cenderung berarah baratlaut tenggara, tidak mengikuti kelurusan struktur utama geologi yang berarah timurlaut-baratdaya.

d. Daerah panas bumi Mangolo, memperlihatkan adanya nilai tahanan jenis semu yang < 100 Ohm-m, yang untuk bentangan AB/2 = 1000 m terlokalisasi pada tiga daerah (Gambar 18). Namun hanya satu yang berhimpitan dengan manifestasi mata air panas dan dengan pola yang memanjang berarah hampir baratlaut-tenggara. Harga rendah ini kemungkinan tidak berkaitan dengan proses ubahan hidrotermal. Pola memanjang berarah hampir baratlaut-tenggara ini bersesuaian dengan pola anomali tinggi Hg dan CO2.

4.2 Gaya Berat

a. Di daerah Pulu, anomali gaya berat (Gambar 19) memperlihatkan suatu pola struktur depresi berarah hampir utara-selatan yang bersesuaian dengan kondisi geologi dari daerah penyelidikan yang berupa suatu struktur depresi sepanjang sesar Palu-Koro. Bagian terendah dari anomali ini berada di tengah daerah survei menerus ke utara disejajarkan dengan zona rekahan sekis dan tebalnya sedimen kolavium. Di selatan, anomali meninggi dan pola depresi menciut dan membelok ke tenggara yang disejajarkan

dengan keberadaan batuan filit-sabak dan keadaan geologi struktur depresi yang menyempit dan membelok ke tenggara.

b. Di daerah Luwu, data gaya berat (Gambar 20) dicirikan oleh kecenderungan regional yang kuat berarah timurlaut-baratdaya dengan harga yang cenderung merendah ke baratlaut. Keseragaman pola ini sesuai dengan luasnya penyebaran batuan granit di daerah penyelidikan sampai ke kedalaman. Kecenderungan regional berarah timurlaut-baratdaya ini kemungkinan mencerminkan dominasi struktur-struktur sesar pada arah tersebut. Anomali-anomali rendah muncul setempat-setempat kemungkinan berkaitan dengan struktur-struktur dangkal berupa zona-zona rekahan di batuan granit.

c. Di daerah Mamasa, anomali gaya berat (Gambar 21) dicirikan oleh kecenderungan regional yang kuat berarah hampir utara-selatan dengan harga yang cenderung menurun ke timur. Kelurusan gaya berat dominan pada arah hampir utara-selatan. Kelurusan-kelurusan minor mengindikasikan dominasi arah hampir timurlaut-baratdaya. Beberapa anomali rendah yang setempat-setempat dihubungkan dengan sedimen vulkanik tua. Di baratdaya, dimana satuan andesit tersebar cukup luas, ditempati oleh anomali tinggi.

d. Di daerah Mangolo, peta gayaberat (Gambar

22) memperlihatkan pola anomali dengan

kecendrungan berarah baratlaut-tenggara dengan suatu zona anomali rendah di tengah yang membentuk suatu struktur seperti depresi dengan arah yang sama. Dengan demikian, data gaya berat memperlihatkan pola-pola struktur gaya berat dominan berarah baratlaut-tenggara yang beberapa diantaranya memotong kedua mata air panas. Pola dan arah struktur gaya berat ini sama dengan pola dan arah baik anomali tahanan jenis maupun anomali geokimia. Di antara kedua mata air panas terdapat suatu anomali positif yang menandakan keberadaan suatu kontras densitas tinggi di bawah permukaan (batuan intrusi?).

4.3 Magnetik

a. Di daerah Pulu, secara umum anomali magnetik total (Gambar 23) memperlihatkan pola tinggi di selatan dan rendah di utara. Anomali tinggi yang isolatif di selatan ini berhimpitan dengan anomali tinggi gaya berat.


(6)

Secara geologi, di daerah selatan tersebut di permukaan didominasi batuan kolavium dan di bawahnya diperkirakan batuan sekis. Namun demikian, anomali magnet positif ini mengindikasikan adanya suatu batuan magnetis di bawah permukaan yang relatif dangkal yang boleh jadi suatu batuan intrusif yang lebih muda (?).

b. Di daerah Luwu, anomali magnetik total (Gambar 24) seperti halnya anomali gaya berat dicirikan oleh kecenderungan regional yang kuat berarah timurlaut-baratdaya dengan harga yang cenderung merendah ke baratlaut. Daerah manifestasi yang terlingkup oleh survei magnetik, yaitu mata air panas Kanan dan Paku, secara umum dilingkup anomali magnet rendah. Di tenggara, anomali tinggi dihubungkan dengan keberadaan sebaran batuan granit porpiri. Sementara anomali rendah di baratlaut mungkin dipengaruhi juga oleh adanya sebaran batuan metamorf.

c. Di daerah Mamasa tidak dilakukan pengukuran magnetik.

d. Di daerah Kolaka, anomali magnetik total (Gambar 25) seperti halnya anomali gaya berat memperlihatkan kecenderungan regional yang kuat berarah baratlaut-tenggara dengan harga yang cenderung merendah ke timurlaut. Di antara kedua mata air panas terdapat suatu bipol yang sangat menonjol yang dari gaya berat menunjukkan suatu anomali positif terisolasi. Anomali bipol ini mendukung kemungkinan akibar adanya suatu tubuh magnetis dekat permukaan, yang lebih magnetis daripada batuan metamorf (batuan intrusif?).

5. DISKUSI DAN KESIMPULAN

Keempat daerah panas bumi dicirikan oleh keberadaan manifestasi panas bumi permukaan yang hanya berupa mata air panas dan air panasnya bertipe bikarbonat atau klorida-bikarbonat dengan pH netral, tidak ada jenis manifestasi yang bersifat asam seperti fumarola atau tidak ada tipe air sulfat seperti yang umum ditemui di lapangan panas bumi berlingkungan vulkanik. Ini berarti tidak signifikannya gas-gas yang seperti H2S dan CO2 (sering disebut gas-gas magmatis dalam lapangan panas bumi vulkanik) dalam sistem panas bumi di daerah-daerah non-vulkanik tersebut.

Data tahanan jenis secara umum menunjukkan harga yang tinggi dan tidak menunjukkan korelasi yang positif dengan sebaran manifestasi, kecuali di Pulu dimana terdapat suatu anomali < 40 Ohm namun kemungkinan kontrol zona struktur lebih dominan. Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak ada indikasi yang jelas tentang adanya anomali tahanan jenis rendah yang berhubungan dengan ubahan hidrotermal argilik (asosiasi dengan lapisan tudung dalam parameter sistem panas bumi) pada keempat daerah panas bumi tersebut.

Anomali Hg dan CO2 secara umum

menunjukkan korelasi yang positif dengan sebaran manifestasi kecuali di Luwu. Namun demikian, karena daerah survei untuk geokimia di Luwu hanya mencakup satu dari lima kelompok manifestasi panas bumi karena daerah sebarannya yang sangat luas, maka tidak dapat dikatakan tidak ada korelasi positif antara anomali geokimia dan sebaran manifestasi. Korelasi yang secara umum positif ini diharapkan mengindikasikan luasnya zona rekahan dari suatu struktur dan bisa digunakan sebagai petunjuk kasar luas prospek suatu daerah panas bumi.

Keberadaan keempat sistem panas bumi sangat dikontrol oleh struktur-struktur dalam (deep penetrating structures) terutama Pulu dan Luwu yang dikontrol oleh sesar aktif Palu-Koro dan Mangolo oleh terusan sesar Palu-Koro. Ini didukung oleh data gaya berat yang mengindikasikan keberadaan struktur-struktur dalam. Sistem panas bumi terbentuk dalam zona-zona sesar sepanjang kedalaman sesar-sesar utama, dimana fluida panas berasal dari air meteorik yang masuk ke bawah permukaan dan terpanaskan oleh batuan beku panas.

DAFTAR PUSTAKA

Bachri, S., dkk. (1975). Inventarisasi kenampakan gejala panas bumi di daerah Sulawesi Selatan. Direktorat Vulkanologi, Bandung.

Fournier, R. O. (1981). Application of water geochemistry in geothermal exploration and reservoir engineering, in “geothermal system: principle and case histories”, John Willey & Sons, New York.


(7)

Giggenbach, W. F. (1988). Geothermal solute equilibria deviation of Na-K-Mg-Ca geoindicator. Geochemica Acta No 52. pp. 2749-2765.

Katili, J. A., (1978). Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia. Elsevier Scientific Publ. Co., Amsterdam. Santoso, M. S., dkk. (1978). Kegiatan

inventarisasi kenampakan gejala panas bumi di daerah Sulawesi Tenggara. Direktorat Vulkanologi, Bandung

Van Kuten, G. K., (1987). Geothermal exploration using surface mercury geochemistry. J. Volc. Geoth. Res. v 31, pp. 269-280.


(8)

Gambar 1. Lokasi daerah

penyelidikan dalam sebaran daerah panas bumi dan gunungapi Indonesia, dan kerangka tumbukan lempeng tektonik di Indonesia (Katili, 1978)

Gambar 2. Peta geologi daerah panas bumi Pulu,

Kab. Donggala, Sulawesi Tengah.

Gambar 3. Peta geologi daerah panas bumi Luwu,

Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Gambar 4. Peta geologi daerah panas bumi

Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 5. Peta geologi daerah panas bumi

Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara


(9)

Im m a tu re w a te rs P a rtia l e q u ilib riu m

F u ll e q u ilib riu m

K /1 0 0

R O C K

N a /1 0 0 0

% N a K

% M g 2 0

2 0

4 0 4 0

6 0 6 0

2 20 °

we ir b

ox

1 6 0 °

1 0 0 °

8 0 8 0

M g

T Km

T Kn % C l

H C O 3 /C l

% S O 4 2 0

2 0

4 0 4 0

6 0 6 0

8 0 8 0

C l

S O 4 H C O 3

(a)

Kolokium Hasil Kegiatan Inventarisasi Sumber Daya Mineral – DIM, TA. 2003

C l

S O 4 H C O 3

(b)

M a

tu re

w a te

rs

P h

e rip

h e

ra l

Vo lca

nic w

ate rs

S t e a m h e a t e d w a t e r s

Gambar 6. Diagram-diagram segitiga pengelompokkan air panas berdasarkan Gigenbach (1988). (a) Air panas di

Pulu dan Luwu termasuk dalam tipe klorida-bikarbonat sedangkan di Mamasa dan Kolaka bertipe bikarbonat. (b) Air panas Pulu masuk dalam kelompok “partial equilibrium” sementara lainnya masuk dalam “immature water”.

Gambar 7. Peta sebaran Hg tanah, daerah panas

bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah

Gambar 8. Peta sebaran CO2 udara tanah, daerah

panas bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah

Gambar 9. Peta sebaran Hg tanah, daerah panas

bumi Luwu, Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Gambar 10. Peta sebaran CO2 udara tanah daerah

panas bumi Luwu, Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan


(10)

Gambar 11. Peta sebaran Hg tanah, daerah panas

bumi Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 12. Peta sebaran CO2 udara tanah, daerah

panas bumi Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 13. Peta sebaran Hg tanah, daerah panas

bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara

Gambar 14. Peta sebaran CO2 udara tanah, daerah

panas bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara

Gambar 15. Peta tahanan jenis semu AB/2 1000m,

daerah panas bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah


(11)

Gambar 16. Peta tahanan jenis semu AB/2 1000m,

daerah panas bumi Luwu, Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Gambar 17. Peta tahanan jenis semu AB/2 1000m,

daerah panas bumi Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 18. Peta tahanan jenis semu AB/2 1000m,

daerah panas bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Gambar 19. Peta anomali Bouguer, daerah panas

bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah


(12)

Gambar 20. Peta anomali Bouguer, daerah panas

bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah

Gambar 21. Peta anomali Bouguer, daerah panas

bumi Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 22. Peta anomali Bouguer, daerah panas

bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Gambar 23. Peta anomali magnet total, daerah panas

bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah

Gambar 24. Peta anomali magnet total, daerah panas

bumi Luwu, Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Gambar 25. Peta anomali magnet total, daerah panas

bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara


(1)

Giggenbach, W. F. (1988). Geothermal solute

equilibria deviation of Na-K-Mg-Ca

geoindicator. Geochemica Acta No 52. pp.

2749-2765.

Katili, J. A., (1978). Past and present

geotectonic position of Sulawesi, Indonesia.

Elsevier Scientific Publ. Co., Amsterdam.

Santoso, M. S., dkk. (1978). Kegiatan

inventarisasi kenampakan gejala panas bumi

di daerah Sulawesi Tenggara. Direktorat

Vulkanologi, Bandung

Van Kuten, G. K., (1987). Geothermal

exploration using surface mercury

geochemistry. J. Volc. Geoth. Res. v 31, pp.

269-280.


(2)

Gambar 1. Lokasi daerah penyelidikan dalam sebaran daerah panas bumi dan gunungapi Indonesia, dan kerangka tumbukan lempeng tektonik di Indonesia (Katili, 1978)

Gambar 2. Peta geologi daerah panas bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah.

Gambar 3. Peta geologi daerah panas bumi Luwu, Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Gambar 4. Peta geologi daerah panas bumi Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 5. Peta geologi daerah panas bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara


(3)

Im m a tu re w a te rs P a rtia l e q u ilib riu m

F u ll e q u ilib riu m

K /1 0 0

R O C K N a /1 0 0 0

% N a K

% M g

2 0 2 0 4 0 4 0 6 0 6 0

2 20 °

we ir b

ox

1 6 0 °

1 0 0 ° 8 0 8 0 M g T Km

T Kn % C l

H C O 3 /C l

% S O 4

2 0 2 0 4 0 4 0 6 0 6 0 8 0 8 0 C l

S O 4 H C O 3

(a)

C l

S O 4 H C O 3

(b)

M a tu re w a te rs P h e rip h e ra l Vo lca nic w ate rs

S t e a m h e a t e d w a t e r s

Gambar 6. Diagram-diagram segitiga pengelompokkan air panas berdasarkan Gigenbach (1988). (a) Air panas di Pulu dan Luwu termasuk dalam tipe klorida-bikarbonat sedangkan di Mamasa dan Kolaka bertipe bikarbonat. (b) Air panas Pulu masuk dalam kelompok “partial equilibrium” sementara lainnya masuk dalam “immature water”.

Gambar 7. Peta sebaran Hg tanah, daerah panas bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah

Gambar 8. Peta sebaran CO2 udara tanah, daerah panas bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah

Gambar 9. Peta sebaran Hg tanah, daerah panas bumi Luwu, Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Gambar 10. Peta sebaran CO2 udara tanah daerah panas bumi Luwu, Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan


(4)

Gambar 11. Peta sebaran Hg tanah, daerah panas bumi Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 12. Peta sebaran CO2 udara tanah, daerah panas bumi Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 13. Peta sebaran Hg tanah, daerah panas bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara

Gambar 14. Peta sebaran CO2 udara tanah, daerah panas bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara

Gambar 15. Peta tahanan jenis semu AB/2 1000m, daerah panas bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah


(5)

Gambar 16. Peta tahanan jenis semu AB/2 1000m, daerah panas bumi Luwu, Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Gambar 17. Peta tahanan jenis semu AB/2 1000m, daerah panas bumi Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 18. Peta tahanan jenis semu AB/2 1000m, daerah panas bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Gambar 19. Peta anomali Bouguer, daerah panas bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah


(6)

Gambar 20. Peta anomali Bouguer, daerah panas bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah

Gambar 21. Peta anomali Bouguer, daerah panas bumi Mamasa, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan

Gambar 22. Peta anomali Bouguer, daerah panas bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Gambar 23. Peta anomali magnet total, daerah panas bumi Pulu, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah

Gambar 24. Peta anomali magnet total, daerah panas bumi Luwu, Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Gambar 25. Peta anomali magnet total, daerah panas bumi Mangolo, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara