PERBANDINGAN KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK IMAM AL GHAZALI DAN K.H. IMAM ZARKASYI.

(1)

PERBANDINGAN KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK IMAM AL-GHAZALI DAN IMAM ZARKASYI

SKRIPSI

Oleh :

RISKI AYU OKTAVIANTI NIM : D01212093

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS ILMU TARBIYAH dan KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Riski Ayu Oktavianti, Perbandingan Konsep Pendidikan Akhlak Imam

al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi Program Studi Pendidikan Agama Islam,

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Keyword: Perbandingan, Pendidikan Akhlak, Imam al-Ghazali, K.H. Imam

Zarkasyi

Skripsi ini mengkaji tentang perbandingan konsep pendidikan akhlak Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi. Rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana perbandingan konsep hakikat pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi, bagaimana perbandingan konsp tujuan pendidikan akhlak menurut Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi, Bagaimana perbandingan konsep metode pendidikan akhlak Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi, dan Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak dalam perspektif Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi dengan perkembangan pendidikan akhlak di era modern.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), sedangkan metode pengumpulan datanya menggunakan menggunakan studi pustaka dan dokumentasi. Dalam analisis atau pengolahan data, penulis menggunakan metode analisis isi, analisis deskriptif, dan metode komparatif.

Hasil penelitian ini adalah adanya perbedaan dari kedua tokoh (Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi) dalam perumusan pengertian hakikat pendidikan akhlak dan metode pendidikan akhlak, al-Ghazali menggunakan metode Tazkiyah an-Nafs dan riyadloh. Sedangkan Zarkasyi menggunakan metode keteladanan, penciptaan lingkungan, pengarahan, dan pelatihan. Disamping itu adanya persamaan dalam tujuan pendidikan akhlak yaitu menciptakan manusia yang sempurna yang mampu mendekatkan diri kepada Allah agar tercapainya kebagahagiaan di dunia dan akhirat. Serta relevansinya konsep pendidikan akhlak dari kedua tokoh dalam pembinaan akhlak masyarakat di era modern.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

ABSTRAK ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Msaalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8

F. Definisi Istilah atau Definisi Operasional ... 8

G. Penelitian Terdahulu ... 9

H. Metode Penelitian ... 11

I. Sistematika Penelitian ... 15

BAB II: LANDASAN TEORI A. Hakikat Pendidikan Akhlak ... 17

B. Tujuan Pendidikan Akhlak ... 27

C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ... 32

D. Proses Pembentukan Akhlak... 45


(7)

F. Metode Pendidikan Akhlak ... 54

BAB III: BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI DAN K.H. IMAM ZARKASYI A. Imam al-Ghazali... 62

1. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali ... 62

2. Riwayat Pendidikan Imam al-Ghazali ... 63

3. Karya-karya Imam al-Ghazali... 65

B. K.H. Imam Zarkasyi ... 69

1. Riwayat Hidup K.H. Imam Zarkasyi ... 69

2. Riwayat Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi ... 71

3. Karya-karya K.H. Imam Zarkasyi ... 79

BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI DAN K.H. IMAM ZARKASYI A. Perbandingan Konsep Hakikat Pendidikan Akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi ... 84

B. Perbandingan Konsep Tujuan Pendidikan Akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi ... 100

C. Perbandingan Konsep Metode Pendidikan Akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi ... 104

D. Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi dengan Perkembangan Pendidikan Akhlak Era Modern ... 131

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 134

B. Saran ... 136


(8)

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan berkembangnya zaman, syariat Islam semakin tenggelam dan manusia disibukkan dengan kesibukan dunia. Akibatnya lenyaplah peranan akhlak yang telah membentuk generasi pertama yang mulia dari umat ini. Para Shalaf al-Shalih memotivsi manusia untuk berpegang teguh kepada al-Kitab dan al-Sunnah serta menjauhi bid’ah. Bahkan mereka mengkhwatirkan apa yang diperolehnya baik itu berupa pakaian, kendaraan, pernikahan bahkan jabatannya. Mereka takut bila kenikmatan dunia termasuk kenikmatan akhirat yang dipercepat hanya dirasakan didunia saja. Jika dilihat dari kacamata pendidikan, hal yang demikian itu sangat mungkin terjadi, karena memang selama ini pendidikan kita di Indonesia lebih berkonsentrasi kepada pembangunan ekonomi pragmatis dengan orientasi keuntungan jangka pendek yang lebih kasat mata. Selama ini pendidikan kita lebih banyak menggunakan literature barat yang steril dan terlepas dari nilai-nilai, penanaman keimanan dan keislaman. Oleh karena itu, sumber-sumber informasi perlu diseimbangkan dengan banyak menulis literature ilmu pengetahuan berdasarkan nilai-nilai Islam, tapi hal itu bukan berarti mendikotomikan antara umum dan ilmu agama. Pendidikan yang hanya terbatas pada belantara kulit-kulit teori hanya akan melahirkan pendidikan yang bersifat dogmatis.


(10)

2

Pendidikan perlu diartikan sebagai upaya sadar mengembangkan seluruh potensi kepribadian individu manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, guna mencapai kehidupan pribadi sebagai Nafsun Thayyibun Wa Rabbun Ghafur.1 Gambaran ini akan terjadi jika acuan pendidikan adalah pendidikan akhlakul karimah. Semua itu akan tercapai dengan pendidikan Islam yang menanamkan kemuliaan dan perasaan terhormat kedalam jiwa manusia. Tujuan pendidikan Islam itu sendiri adalah untuk menekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kehebatan, kemegahan, kegagahan atau mendapatkan keduudkan dan menghasilkan uang. Karena kalau pendidikan tidak diarahkan kepada mendekatkan diri kepada Allah, akan menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan.

Akhlak menempati posisi yang sangan penting dalam Islam. Ia dengan takwa yang akan dibicarakan nanti, merupakan buah pohon Islam yang berakaran akidah, bercabang dan berdaun syari’ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad). Dari hadits diatas telah dijelaskan bahwa akhlak Nabi Muhammad yang diutus menyempurnakan alkhal manusia itu disebut akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur’an yang

1 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,


(11)

3

menjadi sumber uatma agama dan ajaran Islam.2 Dalam hal ini Allah berfirman dalam Al-Qur’an: 3

َ لَ ق

َ دََ

َ ك

َ نا

ََ ل

َ ك

َ مَ

َ ِفَ

َ رَ س

َ وَِل

َ

َِل

ََ ا

َ سَ و

َ ةَ

َ ح

َ سَ ن

َ ةََِل

َ مَ ن

ََ

َ ك

َ نا

ََ يَ ر

َ جَ و

َ

َ لا

َ َََ

َ لاَ يَ

وَِم

َ

َ لا

َِخ

َِرَ

َ َََ

ذَ ك

َ رَ

َ لَ

َ

َ كَِث

َ يَريا

Artinya:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik

bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)

hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab:21)

Akhlak adalah sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia. Karena itu, selain dengan akidah, akhlak tidak dapat dipisahkan dengan syari’ah. Dalam garis besarnya akhlak dibagi menjadi dua. Pertama adalah akhlak terhadap makhluk semua ciptaan Allah. Akhlak terhadap Allah dijelaskan dan dikembangkan oleh ilmu tasawuf dan tarikat-tarikat, sedang akhlak terhadap makhluk dijelaskan oleh ilmu akhlak.4

Dari problematika di atas, penulis ingin mengangkat seorang figure klasik yaitu Imam Ghazali. Dikenal sebagai seorang teolog, filosof teoritik dan aplikatif. Sebelum diselami secara mendalam pemikiran Al-Ghazali tentang pendiidkan akahlak, penting bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu beberapa pemikirannya. Hal ini untuk memudahkan menganalisis pemikiran

2 Ibid, h. 348

3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Surabaya : Mahkota,

2010), h. 420


(12)

4

tentang pendiidkan akhlak. Pertama tentang tujuan manusia. Mengenai tujuan hidup manusia, Al-Ghazali menyatakan:

“Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama

tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah bagi orang yang mau memperbuatnya menjadi tempat tetap dan

tanah air abadi”.

Dari pernyataan Imam Ghazali diatas, dapat dipahami bahwa manusia mempunyai dua tujuan hidup. Pertama, sebagai perantara yang harus tercapai di dunia. Kedua, sebagai tujuan akhir yang akan dicapai setelah hancurnya dunia.5

Dari permasalahan diatas dapat ditarik benag merah antara permasalahan pendidikan yang kurang baik dengan penglaman Al-Ghazali dan pemikiran-pemikiran beliau yang berkaitan dengan akhlak, yaitu kosongnya pendidikan dari nilai-nilai akhlakul karimah dan suri tauladan dari guru.

Sejalan dengan itu, tokoh modern dalam pendidikan Islam di Indonesia, KH. Imam Zarkasyi pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor yang merumuskan pemikiran tentang pembentukan karakter (akhlak) yang disebutnya dengan panca jiwa Adapun panca jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang pertama: Jiwa keikhlasan adalah jiwa yang berarti sepi ing pamrih, yakni bebrbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat

5 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendiidkan, (Yogyakarta: Pustaka


(13)

5

semata-mata untuk ibadah lillah. Kedua: Jiwa kesederhanaan adalah sederhana yang tidak berarti pasif atau nerimi, tidak juga berarti miskin dan melarat. Ketiga: Kemandirian (berdikari) yaitu kesanggupan menolong diri sendiri tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri akan tetapi pesantren sebagai lembaga juga harus berdikari agar tidak mengharapkan belas kasih. Panca jiwa keempat: Ukhuwwah Islamiyyah yaitu kehdupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyyah akan tetapi tidak hanya d pesantren, ketika keluar para santri juga dapat memberikan pengaruh terhadap persatuan umat dalam masyarakat. Dan yang kelima: Jiwa bebas yaitu bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negative dari luar masyarakat.6

Imam Zarkasyi dengan Panca Jiwanya menjadikan landasan sebagai pembentukan karakter (akhlak). Selain panca jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor, Imam Zarkasyi juga menekankan pada pembentukan pribadi mukmin muslim yang berbudi tinngi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berfikiran bebas. Kriteria atau sifat-sifat utama ini dikenal sebagai Motto Pondok Gontor.

6 Panitia Penulisan Riwayat Hidup dan Perjuangan KH. Imam Zarkasyi, KH. Imam Zarkasyi


(14)

6

Melihat pemaaran latar belakang di atas, melalui judul “Perbandingan

Konsep Pendidikan Akhlak Imam Al-Ghazali dan Imam Zarkasyi”.

B. Rumusan Masalah

Berpijak pada latar belakang di atas, serta untuk membatasi penulisan ini, maka penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan konsep hakikat pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi?

2. Bagaimana perbandingan konsep tujuan pendidikan akhlak menurut Imam

al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi?

3. Bagaimana perbandingan konsep metode pendidikan akhlak menurut Imam

al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi?

4. Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak dalam perspektif Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi dengan perkembangan pendidikan Modern?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui secara mendalam tentang perbandingan konsep hakikat pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi

2. Mengetahui secara mendalam tentang perbandingan konsep tujuan


(15)

7

3. Mengetahui perbandingan konsep metode pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi

4. Mengetahui relevansi konsep pendidikan akhlak perspektif Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi dan relevansinya dengan Pendidikan Islam.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Menambah khazanah ilmu pengetahuan dan memperdalam teori pendidikan Islam yang berhubungan dengan kajian konsep pemikiran dua tokoh pendidikan Islam dalam menanamkan akhlak mulia. Serta sebagai sumber informasi yang dapat digunakan untuk refrensi penelitian-peneltian berikutnya yang masih berhubungan dengan topic penelitian ini.

2. Adapun secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan:

a. Bagi penulis, diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

menambah wawasan penulis tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kontribusi pendiidkan Islam, khususnya dalam menanamkan akhlak mulia menurut Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi

b. Bagi lembaga pendidikan, hasil dri penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam menanamkan akhlak mulia secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang maksimal demi kemajuan bangsa.


(16)

8

c. Bagi pihak lain yang membaca tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan mengenai kontribusi pendiidkan Islam (perspektif Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi) dalam menanamkna akhlak mulia, ataupun sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti berikutnya.

E. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah dipaparkan di atas. Peneliti ingin memberikan batasan masalah dengan fungsi sebagai penyempit obyek yang akan diteliti agar fokus dalam penelitian ini tidak melebar luas. Dalam hal ini yang menjadi tolak ukur dalam pembatasan masalah adalah kontribusi pendidikan Islam dalam menanmkan akhlak mulia perspektif Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi.

F. Definisi Istilah atau Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami karya tulis ini, agar semua pihak mempunyai konsep yang sama terhadap istilah yang digunakan, maka perlu dijelaskan istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut :

1. Pendidikan : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.7

7 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:


(17)

9

2. Akhlak : budi pekerti8

3. Perspektif : sudut pandang.9

4. Studi : penelitian ilmiah, kajian telaahan.10

5. Komparatif : berkenaan atau berdasarkan perbandingan.11

Dari definisi di atas, maka yang dimaksud dengan Pendidikan Islam Perspektif Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi (Studi Komparatif Dalam Pendiidkan

Akhlak) adalah untuk mengetahui bentuk sumbangan Pendidikan Islam dalam

menanamkan akhlak mulia melalui sudut pandang yang berbeda yaitu menuurut Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi.

G. Penelitian terdahulu

Pada dasarnya segala sesuatu yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sesuatu yang telah ada sejak dulu. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan saat ini bukanlah penelitian yang murni baru, melainkan penelitian yang pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Sehingga penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, penelitian yang berjudul Konsep Pendidikan Akhlak : Studi

Komparasi Pendidikan Akhlak Menurut Imam Ghazali dan Syed Muhammad

8 Ibid, 20 9 Ibid, 864 10 Ibid, 1093 11 Ibid, 584


(18)

10

Naquib Al Attas. Dari skripsi ini dapat disimpulkan terdapat perbedaan di antara

dua pemikiran tokoh (Imam Al Ghazali dan Syed Muhammad Naquib Al Attas) tentang konsep Pendidikan Akhlak. Menurut Imam Al Ghazali konsep pendidikan akhlak melalui metode tazkiyah al nafs, mujahadah, dan riyadhoh. Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al Attas konsep pendiidan akhlak melalui konsep ta’dib yang mana sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan penyuluhan yang baik. Dan penekanannya cenderung lebih banyak pada perbaikan budi pekerti, sebagai upaya pembentukan akhlakul karimah guna mendekatkan diri kepada Allah demi mencapai keselamatan di dunia dan di akhirat.

Kedua skripsi yang berjudul, Konsep Pemikiran Imam Al Ghazali dan

Ki Hadjar Dewantara (Studi Komparasi Pendidikan Karakter). Dari skripsi ini

telah dipaparkan tentang perbedaan dua tokoh tentang pendidikan karakter. Menurut Imam Ghazali pendidikan karakter di mulai dari akhlak yang baik. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara pendiidkan karakter berupa pengajaran pembiasaan yang bersifat global dan spontan.

Dari uraian kajian kepustakaan diatas penulis dapat memberikan simupulan bahwa masih belum ada penelitian yang mengkaji tentang konsep pendiidkan akhlak Imam Al Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi sebagai suatu kajian komparatif.


(19)

11

H. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang dipergunakan adalah sebagai berikut : 1. Jenis penelitian

Berdasarkan sumber data, maka penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kualtatif karena data yang terkumpul dan disajikan dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka.12 Sedangkan jenis penelitian ini

dalam penelitian kualtatif, termasuk penelitian kepustakaan

(library/research) yaitu penelitian yng dilaksanakan dengan menggunakan

literatur (kepustakaan), membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu. 13 Jadi studi teks peustaka disini adalah study teks yang seluruh subsatnsinya diolah secara filosofis atau teoritis.14

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.15 Ditinjau dari segi sumbernya, data penelitian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder.

12 Burhan Bungin, Peneltian Kualitatif, (Jakarta: Putra Grafika, 2007), h. 112

13 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004),

h.3

14 Noeng Muhajir, Metodelogi Penelitian Kualtatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1986), h. 158 15 Suharsimi Ariknto, Prosedur Penelitian (Jakarta : Rineke Cipta, 2006), h. 129


(20)

12

a. Data primer adalah data yang diperoleh atau bersumber dari tangan pertama atau sumber utama sebagai informasi yang dicari. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru. Sumber data primer yang digunakan penulis sebagai berikut :

1) Kitab Ihya’ l Ulumuddin. (Semarang: PT. Toha Putra, 2004)

2) Imam Zarkasyi dan Zainudin Fananie, Pedoman Pendidikan

Modern, (Ponorogo: Fananie Center, 1934)

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau bersumber dari tangan kedua, yaitu karya-karya lain yang mendukung dan melengkapi pembahasan penelitian yaitu buku-buku yang relevan dengan pembahasan penelitian ini, serta data berupa transkip, artikel, serta internet. Adapun data sekunder yang digunakan adalah :

1) Abdullah bin Nuh, Mendaki Tanjakan Ilmu dan Tobat, Jakarta: Mizan, 2014

2) Muhammad Al-Baqir, Mengobati Penyakit Hati Membentuk

Akhlak Mulia, Jakarta: Mizan, 2014

3) Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 cetakan ke-1

4) A. Mudjab Mahali, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghazali, Yogyakarta: BPFE, 1984

5) Misbach, dkk, K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis


(21)

13

6) Misbach, dkk, KH. Imam Zarkasyi di Mata Umat,Ponorogo: Gontor Press, 1996

7) Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan

Pesantren, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005

8) Kafrawi Ridwan, Santri Inklusif, Jakarta: Penamadani,2006 cetakan ke-2

9) Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren, Ponorogo: Trimurti Press, 2005

10)Mardiyah, Kepemimpinan Kiyai Dalam Memelihara Budaya

Organisasi, Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012

11)Staf Sekretariat Pondok Modern, Serba-serbi Singkat Tentang

Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo: Darussalam, 1997

Edisi ke-5

3. Teknik Pengumpulan Data

Pekerjaan mengumpulkan data bagi penelitian kualitatif harus langsung diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan, mereduksi dan menyajikan atau dengan kata lain memilih dan meringkas dokumen-dokumen yang relevan. Adapun tehnik-tehnik yang digunakan


(22)

14

sebagai tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan tehnik:16

a. Studi pustaka, dimulai denga mengumpulkan kepustakaan yaitu mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di ruang perpustakaan mengenai tokoh dan topic yang bersangkutan.17

b. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable18 dan mengumpulkan data melalui penggalan tertulis, seperti arsip-arsip, artikel-artikel, serta juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang yang lain.19

Analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga

16 Noeng, Metodologi, Ibid, h.30

17 Anton Bakker, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:

Kanisius, 1992), h. 63

18 Ibid, h. 70

19 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika,


(23)

15

memperoleh ganbaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan sebaliknya.20 Jadi, bentuk anlisis ini dilakukan merupakan penjelasan-penjelasan, bukan berupa angka-angka statistic atau bentuk angka lainnya.

Data yang diperoleh merupakan bahan mentah yang harus dianalisis. Adapun tehnik analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Metode content analysis (analisis isi) yakni analisis alamiah tentang isi pesan suatu komunikasi.21 Tehnik penelitian ini untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru, dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya.22

b. Metode dokumentasi, yaitu mencari data atau informasi mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, terbitan pemerintah dan lain-lain. Serta dalam mengelolah data tersebut peneliti lebih memfokuskan pada isi buku atau pemikiran yang ada kaitannya dengan wacana pemikiran yang penulis bahas, yang selanjutnya data kualitatif tersebut dipaparkan secara sistematis.23

20 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta ,

2004), cet, 4, h. 89

21 Noeng, Metodologi, Ibid. h. 49

22 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001),

h. 172-173


(24)

16

c. Metode analisis deskriptif, yaitu suatau metode yang menguraikan secara teratur seluruh konsepsi dari tokoh yang dibahas dengan lengkap tetapi ketat.24

d. Metode analisis historis, dengan metode ini penulis bermaksud untuk menggambarkan sejarah biografis meliputi riwayat hidup, latar belakang pemikiran serta karya-karyanya.25

e. Metode komparasi, yaitu metode dengan cara menggunakan logika perbandingan teori dengn teori lain untuk mendapatkan keberagaman teori, yang mempunyai persamaan dan perbedaan dan berkonsentrasi pada deskripsi yang rinci mengenai sifat atau ciri dari data yang dikumpulkan untuk menghasilkan pernyataan teoritis secara umum.26

I. Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab untuk mempermudah dalam mengarahkan penulisan skripsi dan agar dapat dipahami secara sitematis.

Bab pertama berisi pendahuluan. Bab ini sebagai pengantar penelitian yang mempunyai unsur-unsur latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

24 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), h. 100 25 Anton, Metodologi, Ibid. h. 70-86

26 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kulitatif, (Yogyakarta : Graha Ilmu,


(25)

17

Bab kedua berisi tinjauan umum tentang konsep pendidikan akhlak dalam perspektif pendidikan Islam. Pembahasan ini meliputi, pengertian pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, proses pembentukan akhlak, metode pendidikan akhlak, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan akhlak.

Bab ketiga berisi tinjauan umum tentang profil kedua tokoh, meliputi biografi dan karya-karya penting kedua tokoh Imam Al-Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi. Serta tentang pemikiran kedua tokoh tentang konsep pendidikan akhlak.

Bab keempat adalah analisis. Merupakan pokok pembahasan dari seluruh pembahasan dalam skripsi ini, oleh karenanya dalam bab ini dikemukakan analisis relevansi pemikiran kedua tokoh, yaitu Imam Al-Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi. Dalam bab ini dilakukan analisa komparatif (persamaan dan perbandingan) serta relevansi dari kedua pemikiran tokoh dalam perspektif pendidikan Islam.

Bab kelima yaitu bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran penulis.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hakikat Pendidikan Akhlak

1. Pengertian Pendidikan

Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan yaitu tarbiyah,

ta’lim dan ta’dib. Istilah tarbiyah berakar pada tiga kata. Pertama kata

raba yarbu, yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, kata rabia

yarba, yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata rabba

yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga,

dan memelihara. Istilah lain yang digunakan untuk menuju konsep pendidikan Islam ialah ta’lim. Menurut Dr. H. Veithzal Rivai Zainal,

ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan, dan hati. Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dan wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotorik dan afeksi.1 Dari al-Attas, Dr. H. Veithzal Rivai Zainal telah mengutip istilah ta’dib untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam berasal dari kata adab dan pada pendapatnya, berrarti pengenalan dan pengakuan tntang hakikat bahwa pngetahuan dan wujud bersifat teratur

1 Veithzal Rivai Zainal, Islamic Education Management, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hal.


(27)

19

secara hierarki sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian, kata adab mencakup pengertian ilmu dan amal. Kata ta’dib dinyatakan sebagai cara Tuhan dalam mendidik Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian, pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam dalam konotasi tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang harus diketahui secara bersama-sama. Ketiga Istilah itu mengandung makna yang amat dalam, menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungan dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: formal, informal, dan nonformal.2

Menurut KH. R. Zainudin Fananie yang dimaksud dengan pendidikan bukanlah hanya yang di tangan guru-guru sekolah atau ibu bapak dalam rumah tangga saja, tetapi mengandung segala yang dapat mempengaruhi kebaikan kepada roh manusia semenjak kecil sampai dewasa, sehingga menjadi orang tua sekalipun.3

2 Ibid, hal. 74

3 KH. Zainudin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, (Jakarta: PT. Arya Surya Perdana,


(28)

20

Ki Hajar Dewantara menyatakan yang dikutip oleh Veithzal Rivai: “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.

Muhammah Natsir juga mengatakan yang dikutip oleh Veithzal Rivai: “Yang dinamakan pendidikan adalah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.

Seementara itu menurut Marimba dikutip oleh Veithzal Rivai, yang dimaksud dengan pendidikan adalah: “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”. Sedangkan Shaliba dari lembaga bahasa Arab Damaskus mengemukakan bahwa, “Pendidikan adalah pengembangan fungsi-fungsi psikis melalui latihan sehingga mencapai kesempurnaannya sedikit demi sedikit”.4

Pengertian pendidikan sangat erat kaitannya dengan pengertian pengajaran, sehingga sulit untuk dipisahkan dan dibedakan. Pendidikan tidak dapat dilaksanakan tanpa ada pengajaran, pengajaran tidak akan berarti jika tanpa diarahkan ketujuan pendidikan. Selain itu pendidikan merupakan uasaha pembinaan pribadi secara utuh dan lebih


(29)

21

menyangkut masalah citra dan nilai. Sedang pengajaran merupakan usaha mengembangkan kapasitas intelektual dan berbagai keterampilan fisik.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani dan rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dab berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia.

2. Pengertian Akhlak

Perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab

akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khuluq, yang secara bahasa

berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at.5 Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak adalah sebuah sistem yang lengkap yang terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang membuat seseorang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik ini membentuk kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam

5 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998),


(30)

22

kondisi yang berbeda-beda.6 Menurut Ibnu Miskawaih akhlak adalah keadaan jiwa sseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dulu. Karakter yang merupakan suatu keadaan jiwa itu menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir atau dipertimbangkan secara mendalam, dan keadaan ini ada dua jenis. Pertama, alamiah bertolak dari watak, misalnya pada orang yang mudah sekali marah hanya karena masalah terlalu kecil, atau yang takut menghadapi insiden hanya perkara sepeleh. Orang terkesiap berdebar-debar disebabkan suara amat lemah yang menerpa gendang telinganya, atau ketakutan lantaran mendengar suatu berita. Atau tertawa berlebih-lebihan hanya karena sesuatu yang amat sangat biasa telah membuatnya kagum, atau sedih sekali hanya karena masalah tidak terlalu memprihatinkan yang telah menimpanya. Kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan, dan pada mulanya keadaan ini terjadi karena dipetimbangkan dan dipikirkan namun kemudian melalui praktik terus-menerus akhirnya menjadi karakter yang tidak memerlukan pertimbangan pemikiran lebih dahulu.7

Menurut Abdullah Dirraj yang dikutip oleh Mansur, akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak

6 Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 26 7 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)


(31)

23

berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak jahat). Menurutnya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya apabila dipenuhi dua syarat.

Pertama, perbuatan itu dilakukan berulang-ulang kali dalam bentuk

yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. Jadi apabila terdapat perbuatan namun hanya dilakukan sekali dan setelah itu tidak pernah dilakukan kembali, perbuatan tersebut tidak dinamakan akhlak. Kedua, perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain, sehingga menimbulkan ketakutan atau bujukan dengan harapan yang indah-indah dan sebagainya. Dapat dikatakan, apabila perbuatan itu dilakukan karena adanya paksaan yang dipengaruhi oleh unsur dari luar dirinya, maka perbuatan itu tidak dapat dikategorikan akhlak. 8

Menurut definisi para ulama, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawali berpikir panjang, merenung dan memaksaakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tak tertanam kuat dalam diri, seperti kemarahan seseorang yang asalnya pemaaf, maka itu bukan akhlak. Demikian juga, sifat kuat yang justru melahirkan


(32)

24

perbuatan kejiwaan dengan sulit dan berpikir panjang, seperti orang bakhil. Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin dipandang orang. Jika demikian maka tidaklah dapat dinamakan akhlak.9

Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama Islam dengan titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada Tuhan dan mengakuinya bahwa Dia-lah Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pelindung, Pemberi Rahmat, Pengasih dan Penyayang terhadap segala makhluk-Nya. Segala apa yang ada di dunia ini, dari gejala-gejala yang bermacam-macam dan segala makhluk yang beraneka wrna, dari biji dan binatang melata di bumi sampai kepada langit yang berlapis semuanya milik Tuhan dan diatur oleh-Nya. Selain itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yag menuntun umat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Semua ini terkandung dalam ajaran Al-Qur’an yang diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang didatangkan dari Nabi

Muhammad SAW.10

Keseluruhan definisi akhlak tersebut di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara satu dan lainnya. Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling

9 Ali Abdul Halim Mahmud,hal. 34


(33)

25

melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:11

Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam

kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika kita mengatakan bahwa si A misalnya sebagai orang yang berakhlak dermawan, maka sikap dermawan tersebut telah mendarah daging, kapan dan dimanapun sikapnya itu dibawanya, sehingga menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Jika si A tersebut kadang-kadang dermawan, dan kadang-kadang bakhil, maka si A tersebut belum dikatakan sebagai seorang yang dermawan. Demikian juga si B kita mengatakan bahwa ia termasuk orang yang taat beribadah, maka sikap taat beribadah tersebut telah dilakukannya di manapun ia berada.

Kedua, perbuatan akhlak adalah yang dilakukan dengan mudah dan

tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa dan


(34)

26

sebagainya bukanlah perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran lagi. Hal yang demikian tak ubahnya dengan seseorang yang sudah mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka pada saat dating panggilan shalat ia sudah tidak merasa berat lagi mengerjakannya, dan tanpa pikir-pikir lagi ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya.

Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari

dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu jika ada seseorang yang melakukan suatu perbuatan, tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan, tekanan atau ancaman dari luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk kedalam akhlak dari orang yang melakukannya.

Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan

dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Jika kita meyaksikan orang berbuat kejam, sadis, jahat dan seterusnya, tapi perbuatan tersebut kita lihat dalam pertunjukan film, maka perbuatan


(35)

27

tersebut tidak dapat disebut perbuatan akhlak, karena perbuatan tersebut bukan perbuatan yang sebenarnya. Berkenaan dengan ini, maka sebaiknya seseorang tidak cepat-cepat menilai orang lain sebagai berakhlak baik atau berakhlak buruk, sebelum diketahui dengan sesungguhnya bahwa perbuatan tersebut memang dilakukan dengan sebenarnya. Hal ini perlu dicatat, karena manusia termasuk makhluk yang pandai bersandiwara, atau berpura-pura. Untuk mengetahui perbuatan yang sesungguhnya dapat dilakukan melalui cara yang kontinyu dan terus-menerus.

Kelima, sejalan dengan ciri yaang keempat, perbuatan akhlak adalah

perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin di puji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap yang dikehendaki manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan al-Qur’an dan hadits yang akan timbul perbuatan atau kebiasaan secara mudah tanpa mmerlukan perbuatan dan kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan dan kebiasaan yang buruk maka disebut akhlak tercela.


(36)

28

3. Pendidikan Akhlak

Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Disamping terbiasa melakukan akhlak mulia.12

B. Tujuan Pendidikan Akhlak

Dalam qawaid ushul fiqh dinyatakan bahwa: “al-umur bi maqashidiha”, bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Hal ini menunujukkan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata-mata berorientasi pada sederetan materi. Karena itulah, tujuan pendidikan Islam

12 Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Fakultas


(37)

29

menjadi komponen pendidikan yang harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan komponen-komponen pendidikan yang lain.

Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha, agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting lagi adalah dapat memberi penilaian atau evaluasi pada usaha-usaha pendidikan.13

Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorintasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidupbukan karena kebetukan dan sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertent. Tujuan diciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Indikasi tugasnya berupa ibadah dan menjadi khalifah di muka bumi. Firman Allah SWT:

لق

َنِمَلَٰعلٱ ِِبَر َِِ ِاََََو َياَيَََو يِك س نَو ِ َََص نِإ

١٦٢

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. [QS. Al-An’am: 162]14

13 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2006), cet.1, h. 72 14 Ahmad Hatta, Tafsi Qu ’a Pe kata Dile gkapi de ga Asbabu Nuzul da Te jemah,


(38)

30

Upaya dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin, walaupun pda kenyataannya manusia tidak mungkin menemukan kesempurnaan dalam berbagai hal.

Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Irsan al-Kaylani dalam buku karangan Abdul Mujib, tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu: (1) tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT., dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik dan psikis; (2) mengetahui ilmu Allah SWT., melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya; (3) mengetahui kekuatan Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan kreatifitas makhluk-Nya; dan (4) mengetahui apa yang diperbuat Allah tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.

Tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu:15

1. Tujuan pendidikan jasmani

Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui keterampilan-keterampilan fisik. Fisik memang bukan tujuan utama dan segala-galanya, namun ia sangat berpengaruh dan memegang peran penting, sampai-sampai kecintaan Allah terhadap


(39)

31

orang mukmin lebih diprioritaskan untuk orang yang mempunyai keimanan yang kuat dan fisik yang kuat dibanding dengan yang mempunyai keimanan yang kuat tetapi fisiknya lemah.16

2. Pendidikan Rohani

Orang yang menerima ajaran Islam dengan baik akan menerima seluruh cita-cita ideal Al-Qur’an secara utuh. Peningkatan kualitas jiwa yang hanya setia kepada Allah serta melaksanakan moral Islam yang dicontohkan Nabi merupakan bagian pokok tujuan umum pendidikan.17 Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua, berupaya memurnikan dan menyucikan diri manusia secara individual dari sikap negatif.18

3. Pendidikan Akal

Tujuan pendidikan akal, terikat perhatiannya dengan perkembangan intelegensi yang mengarahkan manusia sebagai individu untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya yang mampu memberi pencerahan diri. Memahami pesan ayat-ayat Allah akan membawa iman kepada Pencipta. Kegagalan dalam ketegori ini dipandang sebagai model penyimpangan akal manusia dari kebenaran.19 Tahapan pendidikan akal ini adalah:

16 M. Suyudi, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qu ’a , (Yogyakarta: Mikraj, 2005), h. 64 17 Ibid

18 Abdul Mujib, h. 79 19 M. Suyudi, h. 65


(40)

32

a. Pencapaian kebenaran ilmiah. b. Pencapaian kebenaran empiris.

c. Pencapaian kebenaran metaempiris atau mungkin lebih tepatnya sebagai kebenaran filosofis.

4. Pendidikan Sosial

Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang menjadi bagian dari komunitas sosial. Identitas individu di sini tercermin sebagai “al-nas” yang hidup bermasyarakat yang plural (majemuk).

Tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sewaktu hidupnya, yaitu pembentukan moral yag tinggi karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan ilmu praktis. Tujuan tersebut berpijak pada hadits Nabi SAW.:

ِق ََْخََْا َنْس ح َمَِِت ِۡ تْيِع ب

“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Malik bin Anas dari Anas bin Malik).20


(41)

33

C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak

Secara garis besar, lapangan pendidikan akhlak Islami amatlah luas, seluas ajaran agama Islam itu sendiri, karena esensi dari akhlak adalah ketentuan kebaikan dan keburukan dari perbuatan manusia. Padahal, perbuatan manusia tersebut jelas tidak statis. Dengan demikian, seluruh ajaran Islam pun pada dasarnya bermuatan akhlak. Penegasan seperti itu dapat ditarik dari pemahaman tentang hadits nabi, bahwa pilar Islam adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Tiga pilar tersebut dapat diilustrasikan sebagai sebuah sistem menyeluruh ajaran Islam. Kalau iman sebagai pondasi, Islam sebagai ketundukan nyata berupa perbuatan konkret terhadap norma-norma, maka ihsan adalah sifat atau kualitas dari pelaksanaan ajaran Islam yang didasarkan pada iman dan Islam tersebut. Dengan demikian, akhlak adalah kualitas pelaksanaan atau aplikasi ajaran Islam itu sendiri. Sebagai contoh, kalau orang berhaji ada akhlaknya, orang beriman kepada Allah ada akhlaknya, orang meyakini hari pembalasan ada akhlaknya, dan seterusnya.21

Ruang lingkup pendidikan Islam adalah sama dengan ruang lingkup Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak

21 TIM Penyusun MKD UIN SA Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UIN SA Press, 2013)


(42)

34

terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa). Berbagai bentuk dan ruang lingkup pendidikan akhlak yang dmikian itu dapat dijelaskan sebagai berikut:22

1. Akhlak Terhadap Allah

Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Sikap atau perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan akhlaki sebagaimana telah disebut diatas. Ada beberapa alasan mengapa manusia harus berakhlak kepada Allah.

Pertama, karena Allah-lah yang telah menciptakan manusia. Dia

menciptakan manusia dari air yang ditumpahkan ke luar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk. Kedua, karena Allah yang telah

memberikan perlengkapan pancaidera, berupa pendengaran,

penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Ketiga, Karena Allah telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia. Keempat, Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan.


(43)

35

Namun demikian sungguhpun Allah telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia sebagaimana disebutkan di atas. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah di antaranya dengan tidak menyekutukan-Nya.

Dari penjelasan diatas terhadap beberapa kewajiban kepada Allah yang harus dilaksanakan, diantaranya:23

a. Beriman kepada Allah

مَِِ ْاو دَهَٰجَو ْاو بََرَ ي ََ ُ ِهِلو سَرَو َِٱِب ْاو نَماَء َنيِذلٱ َنو نِمؤ ملٱ اََِإ

ِِ مِهِس فنَأَو مَِِِٰو

َنو قِدٰصلٱ م َكِئَٰٓلْو أ َِۚٱ ِليِبَس

١٥

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah

orang-orang yang benar,” (Q.S al-Hujurat: 15)24

Pengertian beriman kepada Allah disini adalah meyakini keberadaan Allah beserta sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Maka dari itu kita harus yakin bahwa Allah itu ada serta Dia memiliki sifat-sifat yang mulia. Beriman kepada Allah merupakan dasar utama keimanan, dari sinilah melahirkan ketaatan terhadap yang lainnya.

23 Heri Juhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), cet. 3,

hal. 26


(44)

36

Hanya ketaatan yang berdasarkan keimanan kepada Allah sajalah yang benar dan akan diterima. Kebaikan dari beriman kepada Allah adalah musyrik, meyakini adanya Tuhan atau kekuasaan selain Allah. Perbuatan musyrik adalah dosa besar yang tidak akan diampuni Allah, kecuali bertaubat dengan sungguh-sungguh. b. Taat kepada Allah

قَ ي نَأ م هَ ن يَ ب َم كحَيِل ِهِلو سَرَو َِٱ ََِإ ْآو ع د اَذِإ َنِنِمؤ ملٱ َلوَ ق َناَك اََِإ

اَنعََِ ْاو لو

َطَأَو

َنو حِلف ملٱ م َكِئَٰٓلْو أَو

ۚاَنع

٥١

“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan

kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

(Q.S an-Nur: 51)25

Buah dari beriman kepada Allah adalah ketaatan terhadap-Nya orang yang benar-benar beriman kepada Allah akan taat kepada semua perintah-Nya serta menjauhi semua larangan-Nya. Kebalikan dari taat kepada Allah adalah ingkar terhadap-Nya. Orang yang melakukan perbuatan kufur disebut kafir. Orang kafir menolak keberadaan Allah serta menolak semua perintah-Nya.


(45)

37

c. Berdzikir kepada Allah

ِنو ر فكَت َََو ِِ ْاو ر كشٱَو م كر كذَأ ِّٓو ر كذٱَف

١٥٢

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu

mengingkari (nikmat)-Ku”. (Q.S al-Baqarah: 152)26

Berdzikir artinya megingat Allah. Berdzikir bisa dilakukan dengan mengingat Allah dalam hati atau menyebutnya dengan lisan. Kebalikan dari berdzikir adalah menolak dari mengingat Allah. Orang seperti itu akan selalu gampang gelisah, mudah putus asa, serta mudah disesatkan oleh setan.

d. Berdo’a kepada Allah

ِإ ۚم كَل بِجَتسَأ ِّٓو عدٱ م كبَر َلاَقَو

َبِع نَع َنو ِِكَتسَي َنيِذلٱ ن

َمنَهَج َنو ل خدَيَس َِدا

َنيِرِخاَد

٦٠

“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka

Jahannam dalam keadaan hina dina”. [Q.S. Ghafir: 60]27

26 Ibid, h. 23 27 Ibid, h. 499


(46)

38

Berdo’a artinya mengajukan permohonan kepada Allah. Berdo’a merupakan bukti pengakuan kita terhadap kekuasaan Allah, karena dengan kekuasaan dan bantuan-Nya lah semua permintaan dan kebutuhan bisa terpenuhi.

e. Bersyukur kepada Allah

ِباَذَع نِإ رَفَك نِئَلَو م كنَديِزََۡ رَكَش نِئَل م كبَر َنذَََ ذِإَو

ديِدَشَل

٧

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka

sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".”[Q.S. Ibrahim:7]28

Bersyukur secara sederhana dapat diartikan sebagai ungkapan terima kasih kita kepada Allah, yaitu dengan cara melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Serta memanfaatkan semua yang dianugrahkan Allah secara benar. Syukur merupakan ciri utama dari iman, dengan demikian orang yang tidak pernah bersyukur kepada Allah berarti ia kurang beriman kepada Allah.

2. Akhlak terhadap Sesama Manusia

Lingkup akhlak ini berangkat dari keimanan bahwa semua manusia adalah sama dan selevel dalam pandangan Allah swt.


(47)

39

Keimanan dan tauhilah yang mengharuskan manusia untuk berbuat baik terhadap sesama. Dalam nuansa tauhid jugalah manusia disadarkan bahwa semua manusia adalah keluarga besar Allah. Artinya, semua manusia diurus, ditanggung, dan dirawat oleh Allah. Rasulullah SAW., menjelaskan bahwa Allah tidak menengok pada bentuk rupa dan tubuh kalian, tetapi menengok pada hati dan perbuatan kalian.

Disini dapat dilihat, bahwa hati dan perbuatan itu tidak lain adalah akhlak itu sendiri. Akhlak adalah sifat batin yang melekat sehingga menjadi bentuk rohani tiap-tiap orang. Bentuk inilah yang menjadi sumber perbuatan akhlak setiap manusia dan dinilai oleh Allah. Tentunya sudah menjadi keyakinan setiap muslim bahwa rohanilah yang abadi dari manusia, bukan jasmaninya. Dengan demikian, maka jelaslah betapa penting membentuk rohani dan ilmu untuk upaya ini adalah akhlak. Akhlak yang akan menentukan keadaan manusia di akhirat kelak.

Terkait dengan lingkup akhlak terhadap sesama manusia, maka konsep yang muncul adalah hak dan kewajiban sesama manusia. Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang harus berjalan seimbang. Artinya disamping menikmati hak-haknya manusia harus juga melaksnakan kewajibannya.29


(48)

40

3. Akhlak terhadap Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala sesuatu yang di sektar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan di Ai-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia tehadap alam. Kekhalifahan mngandung arti pengayom, pemeliharaan, serta bimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan pnciptanya.30

Menurut pandangan agama Islam, seseorang tidak

diperbolehkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan. Karena dengan adanya perusakan terhadap lingkungan berarti manusia telah mekakukan kerusakan terhadap

30 Abudin Nata,hal.150


(49)

41

dirinya sendiri. Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT., dan menjadi miik-Nya, serta semuanya memiki ketergantugan kepada-Nya. Hal ini mngantarkan seorang muslim untuk menyadari bahwa semua yang ada di bumi ini adalah makhluk ciptaan Tuhan yang harus diperlakukan secara baik. Dari penjelasana diatas Allah telah berfirman:

َيِزخ يِلَو َِٱ ِنذِإِبَف اَِِو ص أ ٰٓىَلَع ًةَمِئٓاَق اَو م تكَرَ ت وَأ ٍةَنيِِل نِِم م تعَطَق اَم

َنِقِسَٰفلٱ

٥

“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang

kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak

memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik”. [Q.S. al-Hasr:5]31

Dari ayat di atas di jelaskan bahwa alam dengan segala isinya telah ditundukkan Tuhan kepada manusia, sehingga dengan mudah manusia dapat memanfaatkannya. Jika demikian, manusia tidak akan mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat.

4. Akhlak terhadap Diri Sendiri

Sebagai makhluk ciptaan Allah di antara makhluk-makhluk lain, manusia harus memikirkan apa yang ada di dalam dirinya sendiri, disamping juga harus mau memperhatikan makhluk-makhluk di luar dirinya, termasuk alam semesta. Tujuan dari berpikir dan perhatian


(50)

42

tersebut adalah mengetahui kebesaran Sang Pencipta yang memberikan anugrah terhadap hamba-hamba-Nya. Aktivitas seperti itu di dalam agama disebut dengan zikir. Manusia yang baik adalah manusia yang mau berdzikir seperti itu. Iman kepada Allah berkonsekuensi agar manusia berdzikir kepada makhluk-makhluk ciptaan Allah sebagai sarana meneladani kebaikan dan keagungan Allah SWT. Bahkan Allah pun menganjurkan seorang hamba agar mau memikirkan dirinya sendiri. Dan ini mendapatkan penekanan kuat sebagaimana diperintahkan dalam bentuk sindiran, yaitu kata افا

مهسفنا ِ نوركفتي

(apakah mereka tidak mau memikirkan diri mereka). Hamba yang tidak mau berdzikir dengan mrenungkan diri sendiri akan mendapat kerugian, karena kehilangan berbagai hikmahnya, sehingga menjadi manusia yang keras dan kasar batinnya.32

Diantara hikmah memikirkan dan berdzikir adalah menjadikan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran diri dan akhlak yang mulia. Di antara kesadaran tersebut adalah kesadaran manusia bahwa dirinya adalah ciptaan Allah yang sangat ajaib, unik, dan menyimpan seribu satu rahasia Illahi. Puncak dari kegiatan ini adalah


(51)

43

menyadari bahwa di dalam diri manusia ada beragam anugerah dan nikmat Allah baik yang dimensi dohir dan batin.

Manusia merupakan makhluk unik yang berbeda dengan makhluk Allah yang lain, karena ia terdiri dari dua esensi yang menyatu, yaitu tersusun dari bentuk dohir (khalq) dan bentuk batin (khuluq). Kedua dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, manusia dapat memposisikan dirinya menjadi dua entitas, sebagaimana kemampuannya untuk individualisasi. Kemampuan individualisasi ini telah dinyatakan oleh Allah sendiri sebagaimana himbauannya agar manusia selalu introspeksi.

Memeriksa diri sendiri adalah melibatkan upaya membagi diri ini menjadi dua: diri sebagai subjek, dan diri sebagai objek. Hal ini dilakukan dalam dua pola. Pertama, pola subjektifikasi, yaitu dengan cara membayangkan dirinya berperilaku di tengah-tengah masyarakat sebagai sosok orang lain. Orang tersebut dikoreksi, bahwa selama melakukan sesuatu pada saat tertentu dan tempat tertentu apakah sudah baik dan benar, atau melakukan kesalahan dan seterusnya. Kedua, pola objektifikasi, yaitu dirinya diimaginerkan sebagai orang lain sebagai warga masyarakat yang selalu memantau dan mengoreksi dirinya tersebut, bahwa selama ini telah melakukan apa, bagaimana dan seterusnya.


(52)

44

Yang jelas, manusia memiliki dua lapis kewaiban, kewajiban syar’iyah-formal dan kewajiban moral. Adapun kewajiban moral seseorang terhadap dirinya sendiri adalah kewajibannya untuk memperlakukan dirinya secara baik. Misalnya, dengan menerima dirinya dengan penuh optimisme, apa adanya, tidak pernah menyesali keberadaannya, bahkan menggunakan segala potensi yang ada baik jasmani, maupun rohani untuk dikembangkan sebagaimana seharusnya. Dalam hal ini, manusia harus mempertimbangkan dirinya dalam dua dimensi, yaitu jasmani dan rohani.

Terkait dengan rohani, batin atau jiwa, manusia harus berakhlak dan berbuat baik. Disini, agama memberikan norm-norma, etiket atau adab sebagaimana prinsipnya yang telah diberikan oleh al-Qur’an. Di antara norma-norma itu adalah sebagai berikut:

a. Menggunakan akalnya untuk berpikir dengan baik, merawatnya dan mengokohkannya dengan ilmu-ilmu berpikir yang benar, memberikan asupan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, tidak boleh merusaknya atau dengan membiarkannya sia-sia, seperti melamun, dan berangan-angan kosong atau berpikir ke arah khurafat dan takhayyul, maupun dirusak dengan makanan dan minuman yang memabukkan.

b. Menggunakan daya rasa hatinya denga baik, merawat dan


(53)

45

hati dari penyakit-penyakitnya, semisal, sombong, keras hati, dengki/hasad, mengancam, berdusta, menipu, berprasangka buruk baik kepada sesama manusia ataupun kepada Allah. Sebaliknya seseorang harus menghiasinya dengan baerbaik sangka, bersyukur, menerima kenyataan yang ada, berkehendak baik yang kuat, dan lain sebagaimana.

c. Menggunakan daya nafsu (hawa dan syahwatnya) dengan

proporsional. Didalam ajaran agama Islam hawa dan dorongan nafsu, baik berupa keinginan terhadap makanan dan minuman, maupun seksusal, pangkat, jabatan, dan kekayaan tidaklah dilarang adanya. Sebab semua itu menjadi unsur dari manusia itu sendiri. karena jika tidak ada hawa nafsu, maka manusia tidak akan punya keinginan terhadap apapun di dunia ini, seperti keinginan mempunyai pasangan hidup, dan memiliki anak, sehinga pada akhirnya tidak ada kegiatan duniawi. Oleh sebab itu, Islam melarang untuk dihilangkannya hawa nafsu dari diri manusia secara total. Dan ibadah puasa dalam Islam bukanlah pemicu untuk mnghilangkan hawa nafsu, tetapi dimaksudkan untuk mengontrol hawa nafsu dan menggunakannya untuk kebaikan berdasarkan tuntunan akal dan hati nurani manusia. Di dalam Islam, manusia dilarang keras membunuh potensi-potensi rohani karena semuanya adalah anugrah


(54)

46

dari Allah. Kewajiban manusia adalah menggunakan semuanya dengan baik sesuai dengan tuntunan hukum akhlak Islam.

Dari sini ada hal penting yang harus diketahui dan disadari oleh orang beriman, dimana pandangan moralnya tentang harga diri manusia itu sangatlah berbeda dengan orang barat. Dimana moral seorang muslim harus berdasarkan sistem moral Islam yang sesuai dengan ajaran yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi.

D. Proses Pembentukan Akhlak

Pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk kepribadian manusia dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Tujuan dari pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan pmbentukan akhlak itu sendiri, yaitu membangun mental dan pribadi Muslim yang ideal. Citra Muslim ideal harus terpenuhi, paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi, yakni: kokoh pada rohaninya, kokoh ilmu pengetahuannya, dan kokoh fisiknya. Jika tiga hal diatas sudah terpenuhi, berarti sudah tercapai cita-cita Nabi dalam menginginkan citra manusia beriman yang benar, bertubuh sehat dan berilmu pengetahuan yang benar dan berguna.

Tiga hal diatas penting diwujudkan karena beberapa hal. Pertama, akhlak adalah bingkai atau wadah agama. Agama yang tidak ditanamkan di dalam bingkai (wadah) yang baik tidak akan mudah tumbuh sehat dan


(55)

47

bermanfaat. Kedua, Allah senantiasa menyeru kepada manusia agar selalu berkeinginan untuk menmbah ilmu pengetahuan. Ilmu dapat menyuburkan rohani dan keimanan. Ketiga, badan atau jasmani yang sehat, karena badan yang sehat dapat memaksimalkan kerja organ tubuh dan fungsi fisio-psikis yang membawa pengaruh positif terhadap kerja rohani.33

Dengan demikian, pendidikan akhlak tersebut dimaksudkan agar potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di dalamnya akal, nafsu, amarah, nafsu syahwat, pembawaan fitrah dan ghazirah, kata hati, hati nuranidan intuisi dibina, ditumbuhkan dan diarahkan secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.

Muhammad Athiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh Marimba mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam.34 Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap muslim, yaitu untuk mnjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.35

Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu di bentuk, karena akhlak adalah insting yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini

33 Mansur Ali Rajab, Ta’amulat fi Falsafat al Akhla , (Mesir Baru: Maktabah al-Anjalu, 1961)

hal. 78-79

34 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1974), cet.2, hal.15

35 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, ), cet.


(56)

48

bahwa masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kcenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau instuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan. Kelompok ini lebih lanjut menduga dengan bahwa akhlak adalah gambaran batin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak akan sanggup mengubah perbuatan batin. Orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat dengan sendirinya meninggikan senidirinya. Demikian sebaliknya.36

Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh.37 Kelompok yang mendukung pendapat yang kedua ini umumnya datang dari Ulama-ulama Islam yang cenderung pada akhlak. Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, al-Ghazali dan lain-lain termasuk kepada kelompok yang mengatakan akhlak adalah hasil usaha. Imam Ghazali mengatakan sebagai berikut:

36 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, juz III, (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 54 37 Ibid., hal.90


(57)

49

َل ْو

َك

َنا

ْت

ََْا

ْخ

ََ

ق

ََ

َ ت ْق

َب ل

تلا

َغ ي

َر َل

َب َط

َل

ْت

ْلا

َو َص

َيا

َو

َ

لا َو

ِعا

َظ

َتلا و

ْأ ِد

ْ ي َب

تا

و

َل َم

َلاق ا

َر

س ْو

ل

ِه

َص ل

ه ي

َع َل

ْي ِه

َو

َس ل

َح م

ِِس ن

َا او

ْخ

ََ

َق

ك

ْم .

Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batalah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis

nabi yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian”.38

Pada kenyataan di lapangan, usaha-usaha pembinaan melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ia menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk Tuhan dan seterusnya. Sebaliknya keadaan juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya, atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, ternyata menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela dan seterusnya. Ini menunjukkan akhlak memang perlu dibina. Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tentangan dan godaan sebagai dampak dari kemajuan di bidang iptek. Saat ini misalnya orang akan dengan mudah berkomunikasi dengan apapun yang ada di dunia


(58)

50

ini, yang baik atau yang buruk, karena ada alat telekomunikasi. Peristiwa yang baik dan yang buruk dapat dilihat melalui pesawat televisi, internet, faximil, dan lainnya. Film, buku-buku, tempat-tempat hiburan, yang menyuguhkan adegan maksiat juga banyak. Demikian pula produk obat-obat terlarang, minuman keras, dan pola hidup materialistik dan hedonistik semakin menggejala. Semua ini jelas membutuhkan akhlak.

Dari uraian diatas dapat dikatan bahwa akhlak merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak itu dirancang dengan baik, sistematik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghaasilkan anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaknya. Disinilah letak peran dan fungsi lembaga pendidikan.39 Dengan demikian pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya.. potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk didalamnya akal, nafsu


(59)

51

amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani, dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak

Untuk menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah populer:

Pertama, aliran nativeisme, menurut aliran ini bahwa faktor yang

paling berpengaruh terhadap pembentkan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapt berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik. Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia, dan hal ini kelihatannya erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisisme dalam hal penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diruraikan di atas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peranan pembinaan dan pendidikan.

Kedua, aliran empirisme. Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling

berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian jika sebaliknya. Aliran ini tampak


(60)

52

lebih begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.

Ketiga, aliran konvergensi. Menurut aliran ini bahwa pembentukan

akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembianaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fithrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri manusia dibina secara intentif melalui berbagai metode. Aliran ini tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadis di bawah ini:

يَش َنو مَلعَ ت ََ م كِتَٰهم أ ِنو ط ب نِِم م كَجَرخَأ َٱَو

ٗ

ا

َلَعَجَو

َل

م ك

َرَٰصبَۡٱَو َعمسلٱ

فَۡٱَو

َنو ر كشَت م كلَعَل َةَد

٧٨

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan

dan hati, agar kamu bersyukur.” [Q.S an-Nahl:78]40

Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan yang dilakukan Luqmanul Hakim kepada anaknya yang terlihat pada ayat yang berbunyi:


(61)

53

َلاَق ذِإَو

ِظَع ٌمل ظَل َكرِِشلٱ نِإ َِٱِب كِرش ت ََ ََ بَٰي ۥ ه ظِعَي َو َو ِهِنبٱِل نَٰمق ل

مي

١٣

اَن يصَوَو

ن َو ٰىَلَع اًن َو ۥ هم أ هتَلَََ ِهيَدِلَٰوِب َنَٰسنِۡٱ

ه لَٰصِفَو

ِنَماَع ِِ ۥ

َِِإ َكيَدِلَٰوِلَو ِِ ر كشٱ ِنَأ

اِصَملٱ

١٤

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia

memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua

orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” [Q.S. Luqman:

13-14]41

Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Luqman, juga berisi materi pelajaran, dan yang utama di antaranya adalah pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimananlah yang menjadi salah-satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlak. Kesesuaian teori konvergensi tersebut diatas, juga sejalan dengan hadits Nabi yang berbunyi:

َيراخبلا اورُ ِهِناَسِِجَ ُ ْوَا ِهِناَرِِصَن ي ْوَا ِهِناَدِِوَه ي اَوَ بَاَف ِةَرْطِفْلا يَلَع دَلْو ي ٍدْو لْوَم ل ك

“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah (rasa

ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau

Majusi.” (H.R. Bukhari)42

41 Ibid, h. 412


(1)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai pendidikan akhlak perspektif Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi. Maka berikut ini akan dipaparkan kesimpulan dari kajian tersebut.

Pertama, konsep pendidikan akhlak yang menurut Imam al-Ghazali

merupakan proses menghilangkan sifat-sifat tercela yang ada pada diri dan menanamkan sifat-sifat terpuji, yang mana bertujuan untuk menghasilkan insan kamil dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga manusia dapat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan akhlak yang dikemukakan al-Ghazali lebih menekankan pada unsur jiwa yang mana mempunyai kedudukan sentral pada diri manusia sehingga dalam metode pendidikan akhlak, beliau memilih menggunakan metode penyucian jiwa dan pelatihan jiwa.

Kedua, konsep pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh K.H. Imam

zarkasyi adalah suatu proses atau pedoman yang menunjukkan manusia kepada kebaikan yang harus diikuti dalam kehidupan sehari-hari agar tercapainya kebhagiaan di dunia dan akhirat. Pendidikan yang dikemukakan K.H. Imam Zarkasyi lebih menekankan kepada perbaikan moral dan perilaku seseorang agar dapat bergaul dengan baik, serta mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam pembentukan akhlak, K.H. Imam


(2)

135

Zarkasyi menerapkan nilai-nilai panca jiwa melalui metode keteladanan, penciptaan lingkungan, pengarahan, dan pelatihan.

Ketiga, Imam al-Ghazali dan K.H.Imam Zarkasyi sependapat bahwa

tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membentuk manusia yang sempurna melalui keselarasan antara perbuatan, sikap, pikiran, dan hati, sehingga tertanam kepribadian dan perangai yang baik dalam bergaul di kehidupan sehari-hari. Dan menjauhkan diri dari segala sifat-sifat tercela dan segala kejahatan agar mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.

B. SARAN

Terlepas dari hasil-hasil yang dirumuskan di atas, kajian ini sangat memiliki keterbatasan. Mengungkapkan dimensi pemikiran Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi sebagai studi komparasi ternyata cukuplah kompleks. Saran-saran penulis:

1. Penelitian tentang pemikiran tokoh semacam ini telah banyak dilakukan, namun secara akademis hal ini masih relevan karena dapat membuka cakrawala dan wacana intelektual yang luas bagi insan akademik dan non akademik.

2. Penelitian tentang pemikiran tokoh klasik dan kontemporer juga perlu dilakukan sebagai bahan perbandingan, pembaharuan, dan wawasan pemikiran dalam pendidikan Islam.

3. Mengembangkan konsep pemikiran dalam metode pendidikan akhlak Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi dalam pendidikan Islam


(3)

136

harus memerlukan kesabaran, ketekunan, dan komitmen serta proses kesinambungan.

4. Mempersiapkan diri dengan ilmu pengetahuan serta menghias diri dengan akhlak Islam dan senantiasa memberikan teladan dan sikap dalam kehidupan sehari-hari sesuai yang telah diajarkan Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005

Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2006

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendiidkan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997

__________, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005

__________, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:

Al-Ma’arif, 1980

Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan

Terjemah, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011

Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Jakarta: Gema Insani, 1995

Anton Bakker, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1992

Bukhori, Kitab Jenazah, no. hadits 1296

Burhan Bungin, Peneltian Kualitatif, Jakarta: Putra Grafika, 2007

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan,

Surabaya : Mahkota, 2010 Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din juz I

Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, juz III, (Beirut: Dar al-Fikr) Ghazali, Kimiyau as-Sa’adah, (Al-Mishbah),


(5)

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978

Heri Juhari Muchtar, Fikih Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012

Herry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1996

Imam Zarkasyi, Pedoman pendidikn Modern, PT, Arya Surya Perdana, 2010

Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta , 2004

Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kulitatif, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009

Mansur Ali Rajab, Ta’amulat fi Falsafat al Akhlaq, Mesir Baru: Maktabah al-Anjalu, 1961

Mardiyah, Kepemimpinan Kyai dalam Memelihara Budaya dan Organisasi, Malang: Aditya Media Publishing, 2012

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004

Misbach, Muhammad Ghufron, dkk; K.H Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis

Pesantren Modern, Ponorogo: Gontor Press, 1996

Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000

Moh. Zuhri, Terjemahan Ihya’ Ulum al-Din, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 2009 Muhammad al-Baqir, Percikan Ihya’ Ulum al-Din, Mengobati Penyakit Hati

dan Membentuk Akhlak Mulia. Jakarta: Mizania, 2014

Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974


(6)

M. Suyudi, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Yogyakarta: Mikraj, 2005 Noeng Muhajir, Metodelogi Penelitian Kualtatif, Yogyakarta : Rake Sarasin,

1986

Panitia Penulisan Riwayat Hidup dan Perjuangan KH. Imam Zarkasyi, KH.

Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pondok Modern, Ponorogo:

Gontor Press, 1996

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005

Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan

Kontemporer, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1999

Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997 Suharsimi Ariknto, Prosedur Penelitian ,Jakarta : Rineke Cipta, 2006 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2013

TIM Penyusun MKD UIN SA Surabaya, Akhlak Tasawuf, Surabaya: UIN SA

Press, 2013

TIM Penyusun Biografi K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren

Modern, Ponorogo: Gontor Press, 1996

TIM Penyusun, Serba-serbi Singkat Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo: Darussalam Prees, 1997

Veithzal Rivai Zainal, Islamic Education Management, Jakarta: Rajawali Press, 2013

Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Zainudin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, Jakarta: PT. Arya Surya Perdana, 2010