PERILAKU SEKS PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA KOTA SURAKARTA.

PENDAHULUAN
Manusia sesungguhnya adalah makhluk yang tidak bisa dilepaskan dari seks.
Karena sejak awal, manusia terlahir kedunia ini merupakan akibat adanya hubungan seks
antara seorang laki-laki dengan perempuan. Bagi pemuka atau (ajaran) agama, masalah
seks adalah masalah yang suci dan tidak boleh dikotori dengan tujuan yang sudah
ditetapkan oleh agama. Seks antara laki-laki dengan perempuan juga tidak boleh
dilakukan sembarangan kecuali dengan perkawinan. Karena hubungan seks akan
membawa akibat-akibat lanjutan yang perlu diatur agar kelangsungan dan kesejahteraan
umat manusia terjamin bila ketentuan itu di langgar akan membawa bencana bagi
pelakunya dan masyarakat (Armaidi, 2007).
Seks bebas dan cinta bebas mengakibatkan banyak kerusakan /destruksi di
kalangan orang-orang muda, baik pria maupun wanita. Seandainya pemuasan seks itu
bisa dimisalkan dengan segelas air, dimana orang bisa memuaskan rasa dahaganya
(akibat kebutuhan seks), maka dapatkah dibenarkan orang tersebut minum segelas air
comberanyang kotor untuk memuaskan kehausanya atau minum segelas air dengan jalan
merampas milik orang lain. Dalam kehidupan ini segala sesuatu sudah diatur oleh irama
dan regulasi alam. Maka seyogyanya cinta dan seks itupun harus diatur oleh kontrol diri
dan disiplin diri. Hanya dengan cara demikian manusia bisa mencapai kebahagiaan dan
menikmati vitalitasnya, lalu mencapai keseimbangan hidup dan kepuasan yang
merupakan dua atribut esensil bagi kehidupan (Kartini Kartono, 2005:237).


Akibat perkembangan ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan peradaban manusia,
hubungan seks laki-laki dan perempuan juga mengalami perubahan. Kehidupan free sex
(seks bebas) kini makin marak di tengah masyarakat. Perilaku seks bebas ini antara lain
mengakibatkan rendahnya derajat manusia, hilangnya kehormatan perempuan, anak lahir
tanpa ayah, terjadinya aborsi, hancurnya rumah tangga, berjangkit penyakit kelamin,
mematiakn rasa cinta, terputusnya wali nikah dan larangan kawin dengan pezina
(Armaidi,2007).

Variasi dari regulasi penyelengaraan seks bisa kita lihat tradisi-tradisi seksual
pada bangsa-bangsa primitive di bagian-bagian dunia kita yang berbeda-beda. Dengan
semakin pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta komunikasi,
terjadilah banyak perubaan sosial yang serba cepat pada hampir semua kebudayaan
manusia. Perubahan sosial tersebut mempengarui kebiasaan hidup manusia, sekaligus
juga mempengarui pola-pola seks yang konvensional. Maka, pelaksanaan seks itu banyak
dipengarui oleh penyebab dari perubahan sosial. Sebagai efek sampingnya terjadi proses
ontrailing (keluar dari rel) dari pola-pola seks, yaitu keluar dari jalur-jalur konvensional
kebudayaan. Pola seks itu lalu dibuat menjadi hypermodern dan radikal, sehingga
bertentangan dengan system regulasi seks yang konvensional, menjadi seks bebas dan
cinta bebas yang tidak ada bedanya dengan pelacuran. Pada hakikatnya, dalam
eksesivitas (sangat banyak) seks bebas itusama dengan promiskuitas atau campur aduk

seksual tanpa aturan, alias pelacuran (Kartini Kartono, 2005:230-231)
Memang banyak saluran dimana wanita yang hidup semata-mata dalam
kemiskinan kembali menjadi pelacur untuk memperoleh makanan, pakaian dan
perlindungan. Gadis-gadis yang menjadi pelacur disebabkan karena adanya perbuatan
yang mendurhakai kesuciannya oleh kejadian-kejadian yang tak bertanggung jawab, lebih
sedikit di banding dengan mereka yang memasuki mata pencaharian dengan alasan
mencari nafkah. Perlu diperhatikan bahwa semula pada tahun 1882, humanis terbesar
Charles Loring Brace dari pelindung pekerja kanak-kanak, mendukung ketetapan dengan
menyatakan masyarakat wanita dalam jenis ini adalah tidak umum sebagai mana
diperkirakan dari penipuan dan kesalahan kaum pria.
Tetapi di samping itu banyak pula terdapat pula wanita-wanita atau gadis-gadis yang
main-main denga laki-laki atas dasar suka sama suka dan iseng sama iseng di luar
perkawinan, tanpa menerima sesuatu bayaran. Mereka ini walaupun bukan wanita
pelacur, juga merupakan sumber dan penghubung dari pada penularan penyakit-penyakit
kelamin. Sumber penyakit-penyakit kelaminnya sendiri bukan berasal dari mereka
sendiri, tapi dari laki-laki dengan siapa merek berhubungan kelamin. Laki-laki itulah
menularkan penyakitnya kepada mereka, sebab lali-laki yang suka main-main dengan
wanita atau gadis-gadis baik-baik bukanlah mereka dapat ketularan penyakit-penyakit

kelamin yang kemudian ditularkan kepada teman-temannya wanita dan gadis baik-baik

bukan pelacur. (Soedjono, 1970: 112-113).
Banyak remaja yang terjerumus pada perilaku seks pranikah dan seks pranikah
tersebut dilakukan oleh kebanyakan orang tanpa mengenal usia banyak dari mereka
tinggal di satu tempat yang sama tanpa ada status pernikahan yang sah, Oleh karena itu
tidak heran jika seks pranikah tumbuh pesat pada saat ini karena mereka menganggap
bahwa seks bisa dilakukan tanpa adanya pernikahan, tetapi bagi kebanyakan remaja yang
memikirkan pentingnya pernikahan sebelum melakukan hubungan seks karena adanya
keinginan menghindari masalah yang akan timbul pada kemudian hari dan menghindari
adanya gangguan dari masyarakat.
Ancaman perilaku seks pranikah di kalangan remaja khususnya di Kota Surakarta dan
sekitarnya berkembang semakin serius karena terus terjadi peningkatan. Jumlah remaja
yang mengalami masalah perilaku seks pranikah terus bertambah akibat pola hidup seks
bebas yang semulanya tidak melakukan seks bebas kemudian ikut terjerumus karena rasa
ingin tau yang tinggi. pada kenyataannya pengaruh seks bebas yang mereka terima jauh
lebih kuat dari pada kontrol yang mereka lakukan baik dari orang tua maupun lingkungan
dimana remaja tersebut berada.

Aktivitas seks pra-nikah di kalangan remaja dan pelajar dari tahun ke tahun tidak
pernah menurun, bahkan sebaliknya terus mengalami peningkatan Banyak kasus yang
terjadi di berbagai daerah seperti yang dikutip oleh Susanto, dkk (2002) yang mengutip

dari harian Bernas 18 Januari 2001 bahwa seorang peneliti senior Pusat Penelitian
Kependudukan UGM menyatakan bahwa pada tahun 2000 terdapat sebanyak 700 orang
remaja dan pelajar putri yang hamil di luar nikah datang ke Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta untuk berkonsultasi tentang masalah kehamilan
mereka. Secara nominal, angka itu tentu mengejutkan karena jumlah itu belum terhitung
bagi mereka yang tidak hamil, tetapi melakukan hubungan seksual. Seperti digambarkan
hasil riset dan survey yang dilakukan oleh LPM Manunggal UNDIP Semarang pada
Februari 2003 yang hasilnya aktivitas yang dilakukan saat pacaran : ngobrol 6,98%,
pegangan tangan 11,63%, kissing 44,8%, necking 9,77%, petting 8,84%, intercourse

15,58 dan lainnya 2,32%. Dan dari PILAR PKBI Jawa Tengah tahun 2004 dalam
aktivitas pacaran : 100% ngobrol, 93,3% pegang tangan, 84,6% cium pipi/kening, 60,9%
cium bibir, 36,1% cium leher, 25% meraba/petting, 7,6% intercourse (Asti, 2005:57).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat diketahui apa saja aktifitas yang
dilakukan remaja saat melakukan hubungan seks pranikah dan aktifitas tersebut yang
menyebabkan banyak remaja putri hamil di luar nikah bahkan seks pranikah pada remaja
dan kehamilan di luar nikah selalu mengalami peningkatan pada setiap tahunnya.