Faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan Indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun di wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM

UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN

INDISSOLUBILITAS BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA, dipilih penulis untuk membantu pasangan suami istri Katolik yang kurang menghayati perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Dalam perkawinan Katolik, pasangan suami istri mengikrarkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit, dalam upaya mewujudkan ciri/ sifat perkawinan Katolik, yakni unitas dan indissolubilitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun, ditemukan pasangan suami istri menghayati janji perkawinan untuk tetap setia seumur hidup didukung oleh beberapa faktor antara lain: faktor kepribadian, faktor internal keluarga, faktor budaya, faktor kesehatan dan faktor fisik dalam upaya dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas; sedangkan faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang indissolubilitas, yakni: faktor iman, ekonomi dan sosial. Faktor-faktor di atas membantu pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan perkawinan yang bahagia bersama pasangan dan tidak ingin bercerai.

Dalam penelitian juga ditemukan pasangan mengalami hambatan dalam upaya mewujudkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup, ketika mengalami suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit. Hambatan dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas menyebabkan perkawinan yang tidak bahagia bersama pasangan dan ingin bercerai. Beberapa hambatan yang dialami antara lain: kurang puas dalam hubungan seks dengan pasangan dan masalah anak; menyimpan dan sukar melupakan kesalahan pasangan yang menyakitkan hati serta kurang mengampuni dan tidak menerima pasangan yang telah berselingkuh untuk hidup bersatu kembali; tidak terlibat dalam kegiatan doa di lingkungan bersama pasangan dan anak-anak; pasangan lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan keluarga dan keterlibatan di lingkungan dan masyarakat kadang membuat keluarga harmonis.

Penulis dalam skripsi ini mengusulkan program pendampingan iman yang sesuai, yakni rekoleksi untuk mengingatkan kembali pasangan suami istri Katolik akan janji pernikahannya dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Dengan demikian kebahagiaan dan kesetiaan dalam hidup perkawinan di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran semakin terwujud.


(2)

ABSTRACT

This thesis entitled SUPPORTING FACTOR IN AN EFFORT TO FORM THE UNITAS AND INDISSOLUBILITAS MARRIAGE FOR CATHOLIC COUPLES AGE 15-30 YEARS OF MARRIAGE IN PATANGPULUHAN AREA OF SECRED HEART OF JESUS PUGERAN PARISH. It is chosen by the writer to help catholic couples who have less understanding of the unity and inseparable of marriage. In catholic marriage, a husband and a wife states their marriage vow to live faithfully in good and bad, in sickness and healthy, in an effort to form the feature/nature of catholic marriage, that is unity and inseparable.

Based on research done to catholic couples ages15-30 years of marriage, it was found that couples experience to the full their marriage vow to be always faithful a long their life, supported by some factors such as: personality factor, family internal factor, cultural factor, health factor, and physical factor for the unity marriage. However, the supporting factors for the inseparable marriage are: faith, economic and social factors. The above factors help the catholic couples to form a happy family and far from divorce. In the research it is also found that couples experience obstacles in the effort to form their marriage vow to live faithfully a long their life when they experience the good and bad, sickness and healthy.

Those Obstacles causes unhappy marriage and willingness to divorce. Those obstacles are: unsatisfied sexual intercourse with spouse and children problem, keeping and uneasy to forget hurting mistake of the spouse, uneasy to forgive and to receive back unfaithful spouse to be reunited; not participate in prayer activity in the community together with the spouse and children; the spouse chooses job more than the family and to participate actively in the community and society maybe to build a harmony family.

The writer in the thesis suggests a suitable faith assistance program, that is recollection to remind catholic couples for their marriage vows in effort to form unity and inseparable marriage. Thus, happiness and faithfulness of marriage in Patangpuluhan area of Sacred Heart of Jesus Pugeran Parish could be realized.


(3)

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS

BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN

PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Njo Mei Fang NIM: 121124056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada


(7)

v MOTTO

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia, dan kepada Dia; Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.”


(8)

(9)

(10)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM

UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN

INDISSOLUBILITAS BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA, dipilih penulis untuk membantu pasangan suami istri Katolik yang kurang menghayati perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Dalam perkawinan Katolik, pasangan suami istri mengikrarkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit, dalam upaya mewujudkan ciri/ sifat perkawinan Katolik, yakni unitas dan indissolubilitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun, ditemukan pasangan suami istri menghayati janji perkawinan untuk tetap setia seumur hidup didukung oleh beberapa faktor antara lain: faktor kepribadian, faktor internal keluarga, faktor budaya, faktor kesehatan dan faktor fisik dalam upaya dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas; sedangkan faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang indissolubilitas, yakni: faktor iman, ekonomi dan sosial. Faktor-faktor di atas membantu pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan perkawinan yang bahagia bersama pasangan dan tidak ingin bercerai.

Dalam penelitian juga ditemukan pasangan mengalami hambatan dalam upaya mewujudkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup, ketika mengalami suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit. Hambatan dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas menyebabkan perkawinan yang tidak bahagia bersama pasangan dan ingin bercerai. Beberapa hambatan yang dialami antara lain: kurang puas dalam hubungan seks dengan pasangan dan masalah anak; menyimpan dan sukar melupakan kesalahan pasangan yang menyakitkan hati serta kurang mengampuni dan tidak menerima pasangan yang telah berselingkuh untuk hidup bersatu kembali; tidak terlibat dalam kegiatan doa di lingkungan bersama pasangan dan anak-anak; pasangan lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan keluarga dan keterlibatan di lingkungan dan masyarakat kadang membuat keluarga harmonis.

Penulis dalam skripsi ini mengusulkan program pendampingan iman yang sesuai, yakni rekoleksi untuk mengingatkan kembali pasangan suami istri Katolik akan janji pernikahannya dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Dengan demikian kebahagiaan dan kesetiaan dalam hidup perkawinan di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran semakin terwujud.


(11)

ix ABSTRACT

This thesis entitled SUPPORTING FACTOR IN AN EFFORT TO FORM THE UNITAS AND INDISSOLUBILITAS MARRIAGE FOR CATHOLIC COUPLES AGE 15-30 YEARS OF MARRIAGE IN PATANGPULUHAN AREA OF SECRED HEART OF JESUS PUGERAN PARISH. It is chosen by the writer to help catholic couples who have less understanding of the unity and inseparable of marriage. In catholic marriage, a husband and a wife states their marriage vow to live faithfully in good and bad, in sickness and healthy, in an effort to form the feature/nature of catholic marriage, that is unity and inseparable.

Based on research done to catholic couples ages15-30 years of marriage, it was found that couples experience to the full their marriage vow to be always faithful a long their life, supported by some factors such as: personality factor, family internal factor, cultural factor, health factor, and physical factor for the unity marriage. However, the supporting factors for the inseparable marriage are: faith, economic and social factors. The above factors help the catholic couples to form a happy family and far from divorce. In the research it is also found that couples experience obstacles in the effort to form their marriage vow to live faithfully a long their life when they experience the good and bad, sickness and healthy.

Those Obstacles causes unhappy marriage and willingness to divorce. Those obstacles are: unsatisfied sexual intercourse with spouse and children problem, keeping and uneasy to forget hurting mistake of the spouse, uneasy to forgive and to receive back unfaithful spouse to be reunited; not participate in prayer activity in the community together with the spouse and children; the spouse chooses job more than the family and to participate actively in the community and society maybe to build a harmony family.

The writer in the thesis suggests a suitable faith assistance program, that is recollection to remind catholic couples for their marriage vows in effort to form unity and inseparable marriage. Thus, happiness and faithfulness of marriage in Patangpuluhan area of Sacred Heart of Jesus Pugeran Parish could be realized.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih, atas segala rahmat dan kasih-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA. Skripsi ini diajukan guna memberikan sumbangan pemikiran, gagasan, dan inspirasi bagi siapapun yang memilki kerinduan dalam mengembangkan Gereja Katolik di manapun berada.

Proses penyusunan skripsi ini, berjalan dengan lancar karena dukungan dan kebaikan dari banyak orang, sehingga memampukan penulis untuk tetap semangat meskipun mengalami banyak kesulitan. Penulis mengalami pendampingan, dukungan, motivasi, serta perhatian, yang diyakini sebagai karya Tuhan dalam membimbing serta memampukan penulis menyelesaikan skripsi dengan penuh kesetiaan. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ, selaku dosen pembimbing utama dan dosen

penelitian yang telah setia meluangkan waktu untuk membimbing dan mendampingi penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran, memberi masukan-masukan dan kritikan-kritikan, sehingga penulis termotivasi dalam penyusunan skripsi dari awal hingga akhir.


(13)

xi

dan dosen penguji II yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.

3. P. Banyu Dewa HS, S. Ag., M. Si., selaku dosen penguji III yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan demi semakin baiknya skripsi ini.

4. Para dosen Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini dengan penuh kasih dan sepenuh hati.

5. Staf dan karyawan Prodi PAK yang turut memberi perhatian dan dukungan bagi penulis.

6. Sr. Yosepha Bahketah, KKS sebagai Pemimpin Umum Kongregasi Suster Dina Keluarga Suci dari Pangkalpinang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalani studi di Prodi PAK.

7. Para Suster KKS yang selalu mendukung, mendoakan dan memberi semangat kepada penulis selama menjalani masa studi.

8. RD. F. Ngadiyono, RP. Sarto Mitakda SVD, dan Br. Rein Sihura BM, yang menyemangati, mendoakan, memotivasi dan mendukung penulis selama menjalani studi.

9. Keluarga yang senantiasa memberikan cinta dan perhatian serta dukungan doa kepada penulis.

10. RD. Paulus Supriyo selaku Romo Kepala Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan


(14)

(15)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C.Tujuan Penulisan ... 5

D.Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penulisan... 7

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II. FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT MEMPENGARUHI UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN KATOLIK YANG UNITAS DAN INDIS SOLUBILITAS ... 10

A.Perkawinan Katolik ... .... 10

1. Hakikat ... ... 10

2. Tujuan ... ... 13

a. Kesejahteraan Suami Istri (Bonum Coniugum) ... ... 15

1) Pengertian Kesejahteraan ………... ... 15


(16)

xiv

3) Kesejahteraan Suami Istri ... 16

4) Beberapa Upaya Menyejahterakan Pasangan ... ... 19

b. Kelahiran Anak (Prokreasi) ... ... 19

c. Pendidikan Anak ………... ... 20

3. Ciri/Sifat Perkawinan Katolik ... ... 22

a. Unitas (kesatuan) ..………... .... 24

1) Dasar Unitas ………... ... 24

2) Pengertian Unitas ... ... 26

3) Implikasi atau konsekuensi Unitas …………..…... ... 27

b. Indissolubilitas (tak terputuskan) ... ... 28

1) Dasar Indissolubilitas ..……... ... 28

2) Pengertian Indissolubilitas ... ... 30

3) Implikasi atau konsekuensi Indissolubilitas .……... ... 32

4. Sakramental ……….………... 34

5. Janji Perkawinan Katolik …... ... 36

B. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Mempengaruhi Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Unitas ... 38

a) Faktor Kepribadian …..……... ... 38

b) Faktor Internal Keluarga ………... ... 40

c) Faktor Budaya ... ... 43

d) Faktor Kesehatan ………. ... 44

e) Faktor Fisik ………. ... 45

C.Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Mempengaruhi Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Indissolubilitas ……….. 46

a) Faktor Iman/ Agama ..…... 46

b) Faktor Ekonomi .……….………... .. 48

c) Faktor Sosial (relasi dengan orang lain)... .. 50

BAB III. PENELITIAN TERHADAP PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS DI WILAYAH PATANG-PULUHAN PAROKI HKTY PUGERAN-YOGYAKARTA ... 52


(17)

xv

A.Gambaran Umum Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta ... 52

1. Sejarah Paroki ….……… ... 52

2. Keadaan Geografis ………... 55

3. Keadaan Demografis ... 58

4. Visi Misi Gereja ... 59

5. Situasi Umum Umat Paroki ... 63

a. Situasi Kependudukan ………... ... 63

1) Gambaran Umum ………... ... 63

2) Keadaan Umat ..………... ... 64

3) Jenis Kelamin dan Hubungan Kekeluargaan ... ... 66

4) Kesukuan (Etnis) ……... ... 69

5) Struktur Usia ………..………... ... 70

b. Situasi Sosial Ekonomi …………... 72

1) Keadaan Ekonomi Keluarga …... ... 72

2) Kegiatan Ekonomi …………... ... 74

c. Tingkat Pendidikan ………....……... ... 77

d. Situasi Perkawinan ..……….……….. ... 78

1) Perkawinan Katolik …... ... 80

2) Perkawinan Beda Gereja ... ... 80

3) Perkawinan Beda Agama ... ... 80

4) Perkawinan Bermasalah ……… ... 81

B. Gambaran Umum Perwujudan Perkawinan Yang Unitas dan Indissolubilitas Di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran- Yogyakarta ... ... 81

C.Penelitian Tentang Faktor-Faktor Pendukung Dalam Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Unitas dan Indissolubilitas Di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta ………… 82

1. Metodologi Penelitian ……….………... ... 82

a. Latar Belakang Penelitian ………. ... 82

b. Tujuan Penelitian ………... 83


(18)

xvi

d. Jenis Penelitian ………... ... 84

e. Tempat dan Waktu Penelitian ………... ... 85

f. Responden Penelitian ………... ... 85

g. Instrumen Penelitian ………... ... 86

h. Variabel Penelitian ………... ... 86

2. Laporan Hasil dan Pembahasan Penelitian ... ... 87

a. Gambaran Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada Perkawinan Yang Unitas dan Indissolubilitas Di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta ... ... 87

1) Faktor-faktor yang berpengaruh pada unitas perkawinan ... 88

a) Faktor Kepribadian ... 88

b) Faktor Internal Keluarga ... 91

c) Faktor Budaya ... 95

d) Faktor Kesehatan ... 99

e) Faktor Fisik ... 103

2) Faktor-faktor yang berpengaruh pada indissolubilitas per- kawinan ... 107

a) Faktor Iman ... 107

b) Faktor Ekonomi ... 111

c) Faktor Sosial ... 115

3) Bahagia Bersama Pasangan ... 119

4) Keinginan Tidak Bercerai ... 121

b. Keterbatasan Penelitian ……….………... .. 123

c. Kesimpulan Penelitian ... 124

BAB IV. PENGOLAHAN HASIL PENELITIAN DALAM UPAYA ME-WUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDIS-SOLUBILITAS ... 126

A.Unitas (Kesatuan) ... 127

1. Faktor Pendukung ... 127

a. Faktor Kepribadian ... 127


(19)

xvii

c. Faktor Budaya ... 129

d. Faktor Kesehatan ... 129

e. Faktor Fisik ... 130

2. Faktor Penghambat ... 131

B. Indissolubilitas (Tak Terputuskan) ... 132

1. Faktor Pendukung ... 133

a. Faktor Iman ... 133

b. Faktor Ekonomi ... 134

c. Faktor Sosial ... 134

2. Faktor Penghambat ... 135

C.Bahagia Dengan Pasangan ... 136

D.Tidak Ingin Bercerai ... 136

BAB V. PROGRAM PEMBINAAN IMAN: REKOLEKSI BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PER- KAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HKTY PUGERAN- YOGYAKARTA ... 138

A.Latar Belakang Pemilihan Program Dalam Bentuk Rekoleksi ... 139

B. Usulan Program Dalam Bentuk Rekoleksi Bagi Pasangan Suami Istri Katolik Yang Usia Perkawinan 15-30 Tahun Di Wilayah Pantang- puluhan Paroki HKTY Pugeran – Yogyakarta ... 142

C.Tema Dan Tujuan Rekoleksi ... 143

D.Matriks Program ... 148

E. Gambaran Pelaksanaan Program ... 152

F. Contoh Salah Satu Pelaksanaan Program ... 154

BAB VI. PENUTUP ... 166

A.Kesimpulan ... 166

B. Saran ... 168

DAFTAR PUSTAKA ... 171

LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian ... (1)


(20)

xviii

Lampiran 2 : Surat Telah Melakukan Penelitian ... (2)

Lampiran 3 : Kuisioner Penelitian ... (3)

Lampiran 4 : Salah Satu Contoh Jawaban Responden Penelitian ... (10)


(21)

xix

DAFTAR SINGKATAN

A.Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

Kej : Kejadian Ul : Ulangan Mal : Malaekhi Hos : Hosea Mat : Matius Mrk : Markus Luk : Lukas Kor : Korintus Ef : Efesus

B.Singkatan Dokumen Resmi Gereja

KGK : Katekismus Gereja Katolik. Dicetak oleh Percetakan Arnoldus, Ende, 1995.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II, 25 Januari 1983.


(22)

xx

GE : Gravissimum Educationis. Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen, 28 Oktober 1965.

GS : Gaudium Et Spes. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang GerejaDewasa ini, 7 Desember 1965.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1965.

FC : Familiaris Consortio. Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II tentang Peran Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern, 22 November 1981.

CC : Casti Cannubii. Ensiklik Paus Pius XI tahun 1930. HV : Humanae Vitae. Ensiklik Paus Paulus VI tahun 1968. C. Singkatan Lain

Art. : Artikel Bdk. : Bandingkan Kan. : Kanonik

UU : Undang-Undang RI : Republik Indonesia No : Nomor

Th : Tahun

PIL : Pria Idaman Lain WIL : Wanita Idaman Lain TTM : Teman Tapi Mesra


(23)

xxi KSPB : Kitab Suci Perjanjian Baru PMI : Palang Merah Indonesia LCD : Liquid Crystal Display RT : Rukun Tetangga RW : Rukun Warga SJ : Serikat Yesus Pr : Projo

dsb. : dan sebagainya km : kilometer PS : Puji Syukur


(24)

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Hidup perkawinan merupakan panggilan dari Allah. Oleh karena itu hidup perkawinan adalah sakral dan kudus, yang mendorong pasangan suami istri menghayati kesucian persatuan laki-laki dan perempuan. Hal ini ditegaskan Susianto Budi (2015: 9) mengatakan “Hubungan cinta kasih suami istri bersifat luhur, mulia, dan ilahi, dikehendaki Allah dan menunjuk kepada kesatuan Kristus dan Gereja-Nya” (bdk. Ef 5:11-22).

Dalam menjalani hidup panggilan berkeluarga, penulis mengamati adanya pasangan suami istri Katolik yang mengalami hambatan dalam hidup perkawinan, sehingga mengakibatkan ketidak-setiaan pasangan suami istri terhadap komitmen untuk saling menyerahkan diri seutuhnya dan perceraian, seperti terdapat dalam Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes artikel 47 mengatakan:

Akan tetapi tidak dimana-mana martabat lembaga itu bersama-sama berseri semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat cedera lainnya. Selain itu cinta perkawinan sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tidak ringan terhadap keluarga (GS, art. 47). Yohannes Paulus II dalam Amanat Apostolik Familiaris Consortio artikel 6 menggambarkan situasi keluarga dalam dunia dewasa ini sebagai berikut:

Tidak sedikit tanda-tanda merosotnya berbagai nilai yang mendasar: salah pengertian teoretis maupun praktis tentang tidak saling tergantungnya suami istri; salah faham yang serius mengenai hubungan kewibawaan antara orangtua dan anak-anak; kesukaran-kesukaran konkret yang dialami oleh keluarga sendiri dalam menyalurkan nilai-nilai; makin banyaknya


(25)

perceraian; malapetaka pengangguran; makin kerapnya sterilisasi; tumbuhnya mentalitas yang jelas-jelas kontraseptif (FC, art. 6).

Di tengah kesulitan dan tantangan zaman, ditemukan semakin meningkat presentase jumlah perceraian dan sikap-sikap egois lainnya yang merusak relasi dan komunikasi keluarga merupakan fenomena yang memprihatinkan dan membuat keluarga masuk dalam kegelisahan (bdk. GS, art. 47 dan FC, art. 1). Agung Prihartana (2013: 27) mengatakan bahwa “Keluarga mengabaikan bahkan tidak setia pada rahmat pengudusan dan sakramen baptis dan perkawinan (bdk. FC, art. 58).

Selain itu ditemukan pasangan suami istri Katolik yang mampu mewujudkan hidup perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Cinta perkawinan itu setia dan eksklusif dari semua yang lain dan itu sampai mati (HV, art. 12). Hello (2006: 16-17) mengatakan bahwa “Walaupun kesetiaan suami istri seringkali memberikan kesulitan-kesulitan, namun bukan hal yang mustahil, sebab kesetiaan merupakan sesuatu yang terhormat dan berguna serta memperoleh penghargaan tertinggi.” Barang siapa setia sampai akhir, ia akan menuai kebahagiaan. Kesetiaan dalam perkawinan bagi seorang Kristiani dipahami sebagai tak terceraikan dan tak terbatalkan.

Penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian kepada pasangan suami istri Katolik mengenai faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas, alasannya: pertama pasangan suami istri Katolik lebih mudah untuk memberikan jawaban secara jujur, sehingga penelitian yang dilaksanakan lebih akurat; kedua membantu pasangan suami istri Katolik semakin menghayati janji perkawinan dan mewujudkan perkawinan yang unitas dan


(26)

indissolubilitas; ketiga membantu pasangan suami istri Katolik semakin mewujudkan kesetiaan dan kebahagian dalam hidup perkawinan.

Faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas, antara lain: faktor iman, pada saat pasangan suami istri Katolik menghayati perkawinan sebagai lambang cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya bersifat total, penuh, tidak terbatas dan berlangsung kekal abadi, sehingga mereka mampu menghayati perkawinan yang bersifat unitas dan indissolubilitas (bdk. Ef 5:21-32); faktor sosial, pada saat pasangan suami istri terus menerus menjaga keutuhan dalam cinta yang eksklusif dan sepenuhnya sepanjang hidup atau kekal tak terceraikan (bdk. Mat 19:6), sehingga praktek poligami, apapun alasannya bertentangan dengan kehendak Allah sendiri (bdk. GS, art. 49).

Penulis memilih usia perkawinan antara 15-30 tahun, alasannya: pertama pada usia perkawinan 15-30 tahun dianggap pasangan suami istri Katolik sudah matang dalam menjalani hidup perkawinan; kedua usia sekitar 40-55 tahun, saat itu pasangan suami istri Katolik telah melewati masa krisis dalam perkawinan; ketiga pasangan suami istri masih lengkap atau keduanya masih hidup.

Penulis memilih tempat di Wilayah Patangpuluhan, Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY) Pugeran-Yogyakarta, alasannya: pertama tempat penulis berdomisili, sehingga lebih mudah dalam melaksanakan penelitian; kedua Gereja di Wilayah Patangpuluhan bernaung dalam perlindungan Keluarga Kudus Nazaret, Yesus, Maria, Yosef yang menjadi teladan bagi keluarga Kristiani; ketiga jumlah pasangan suami istri Katolik yang akan diteliti sebanyak 46 pasang dari 8 lingkungan.


(27)

Rubiyatmoko (2015: 20) menjelaskan ciri-ciri hakiki perkawinan ialah unitas dan indissolubilitas, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen (bdk. kan. 1056). Kedua kekhasan ini esensial, karena terlekat dan terkandung dalam setiap perkawinan sebagai realitas natural. Kedua sifat ini merupakan data hukum ilahi kodrati, yang sudah tertanam dalam kodrat manusia sebagai tatanan fundamental bagi kebaikan umat manusia. Catur Raharso (2014: 100) mengatakan bahwa “Kesetiaan adalah konsekuensi langsung dan logis dari kesatuan atau monogami.”

Penulis tertarik melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas, dengan mengambil judul skripsi “Faktor-Faktor Pendukung Dalam Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Unitas Dan Indissolubilitas Bagi Pasangan Suami Istri Katolik Yang Usia Perkawinan 15-30 Tahun Di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.”

B.RUMUSAN MASALAH

Penulis mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang muncul sebagai berikut:

1. Apa pengertian perkawinan Katolik yang berciri unitas dan indissolubilitas? 2. Apa faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta?


(28)

3. Bagaimana upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta?

C.TUJUAN PENULISAN

Beberapa tujuan dari penulisan sebagai berikut:

1. Menambah wawasan mengenai ciri perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

2. Mengetahui faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.

3. Memberikan sumbangan program pendampingan iman kepada tim kerasulan keluarga untuk membantu pasangan suami istri Katolik agar semakin mewujudkan perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

4. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata I Program Studi Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

D.MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah: 1. Bagi Pasangan Suami Istri Katolik

a. Pasangan suami istri Katolik diharapkan semakin memahami sifat perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.


(29)

dalam upaya mewujudkan perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas. c. Pasangan suami istri Katolik diharapkan semakin mengupayakan penghayatan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas dalam hidup sehari-hari.

d. Pasangan suami istri Katolik diharapkan semakin meningkatkan kekudusan hidup perkawinan.

2. Bagi penulis

a. Penulis sebagai seorang biarawati semakin diperkaya dalam pemahaman mengenai perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

b. Penulis dibantu dalam melaksanakan tugas perutusan Kongregasi yang fokusnya pada Kerasulan Keluarga.

3. Bagi Pembaca

a. Pembaca semakin memahami perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

b. Pembaca semakin mengetahui faktor pendukung dalam mewujudkan perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

4. Bagi Kampus

Memberikan ide-ide dan pengetahuan bagi mahasiswa prodi PAK dalam mencari bahan mengenai faktor-faktor pendukung bagi pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas.


(30)

E.METODE PENULISAN

Metode Penulisan yang akan digunakan penulis dengan penelitian kualitatif dan studi pustaka. Penulis mengumpulkan data dengan menyebarkan kuisioner kepada pasangan suami istri Katolik berupa pertanyaan tertutup (memilih jawaban yang sudah tersedia) dan pertanyaan terbuka (jawaban menurut pendapat sendiri), agar memperoleh data yang lengkap mengenai faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan Indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.

Defenisi metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 1989: 3). Studi Pustaka digunakan untuk memperkuat teori mengenai ciri hakiki perkawinan Katolik.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Gambaran umum mengenai sistematika penulisan yang akan dibahas di dalam penulisan skripsi, sebagai berikut:

Bab I berisikan pendahuluan, meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II berisikan faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas, meliputi deskripsi perkawinan Katolik: hakikat perkawinan, tujuan perkawinan, ciri-ciri perkawinan yang unitas dan indissolubilitas menyangkut dasar, pengertian dan implikasinya, sakramental, janji perkawinan. Kemudian faktor pendukung dan faktor


(31)

penghambat mempengaruhi upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas, antara lain: faktor kepribadian, internal keluarga, budaya, kesehatan, fisik, iman/agama, ekonomi dan sosial atau relasi dengan orang lain.

Bab III berisikan penelitian terhadap pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta, meliputi gambaran umum Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta; gambaran umum perwujudan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta; penelitian tentang faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta.

Bab IV berisikan pengolahan hasil penelitian dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas, meliputi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas, bahagia dengan pasangan dan tidak ingin bercerai.

Bab V berisikan program pembinaan iman: rekoleksi bagi pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta, meliputi: latar belakang pemilihan program, usulan program dalam bentuk rekoleksi, tema dan tujuan rekoleksi, matriks program, gambaran pelaksanaan program, contoh pelaksanaan program.

Bab VI Penutup berisikan kesimpulan dan saran.

Demikian proses berpikir penulis yang dituangkan dalam skripsi ini. Penulis berharap penulisan mengenai faktor pendukung dalam upaya mewujudkan


(32)

perkawinan yang Unitas dan Indissolubilitas berguna bagi pasangan suami istri khususnya dan Gereja pada umumnya.


(33)

BAB II

FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT

MEMPENGARUHI UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN KATOLIK YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS

Bab ini secara khusus mendalami ciri/sifat dari perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas menyangkut: dasar, pengertian dan implikasinya. Namun sebelum membahas mengenai ciri/sifat perkawinan, terlebih dahulu disampaikan mengenai perkawinan Katolik, menyangkut hakikat perkawinan; tujuan perkawinan antara lain kesejahteraan suami istri (bonum coniugum), kelahiran anak (prokreasi) dan pendidikan anak; janji perkawinan untuk setia pada pasangan dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit; dan sakramen perkawinan.

Kemudian mendalami faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas antara lain: kepribadian, internal keluarga, budaya, kesehatan, fisik, iman/agama, ekonomi dan sosial atau relasi dengan orang lain. Hal ini menjadi pokok pembahasan mengenai faktor pendukung bagi pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas.

A.PERKAWINAN KATOLIK 1. Hakikat

Hakikat perkawinan menurut Kej 1:26-28 merupakan persatuan antara seorang pria dan seorang wanita, yang diberkati oleh Allah sendiri, dan diberi


(34)

tugas bersama oleh-Nya untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia. Kemudian menurut Kej 2:18-25 mengatakan bahwa kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, atas dorongan Allah sendiri, yang mendorong suami mampu dan mau meninggalkan ayah ibunya serta hidup bersatu dengan istrinya sedemikian erat, sehingga keduanya menjadi satu manusia baru (Hadiwardoyo, 2004: 13-14).

Pendahuluan dalam Konsili Trente yang mengatakan bahwa “Sejak awal mula perkawinan merupakan suatu ikatan tetap dan tak terputuskan (indissolubilitas),” yang didasarkan pada Kej 2:23-24; Mat 19:5 dan Mrk 10:8. Penegasan Konsili bukan penegasan historis atau seolah-olah begitulah nyatanya awal perkawinan di antara manusia, melainkan suatu keterangan teologis atau apa yang dimaksud Pencipta (Groenen, 1993: 249). Hal ini ditegaskan kembali dalam ensiklik Humanae Vitae artikel 8 mengatakan bahwa “Perkawinan itu lembaga yang didirikan oleh Pencipta.”

Ajaran Gereja mengenai hakikat perkawinan mulai zaman Bapa-bapa Gereja sampai zaman ini mengatakan perkawinan mempunyai martabat suci, karena diberkati oleh Allah dan direstui oleh Tuhan Yesus. Setelah suami istri mengungkapkan janji nikah, maka perkawinan menjadi sah. Perkawinan sah antara dua orang Kristen merupakan sebuah Sakramen. Perkawinan sebagai lembaga Ilahi dan komunitas seluruh hidup berdasarkan kasih serta lambang dari partisipasi dalam hubungan kasih Kristus dan Gereja (Hadiwardoyo, 2015: 48-61).

Hakikat perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup terdapat dalam Kitah Hukum Kanonik kan. 1055§ 1:


(35)

Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk diantara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

Beberapa defenisi perkawinan antara lain: pertama perkawinan adalah sebuah persekutuan hidup suami istri yang penuh, total dan eksklusif, tak terputuskan, yang melibatkan seluruh pribadi dalam semua aspek kehidupan dan aktivitas: material-ekonomis, cinta kasih, afeksi, pelayaanan dan perhatian, relasi seksual (Catur Raharso, 2014: 47); kedua perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita, atas dasar ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali, dengan tujuan antara lain: kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan keluarga” (Gilarso, 2015: 9); ketiga Abineno (1982: 28-38) mengatakan bahwa “Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup antara suami dan istri yang total, eksklusif, dan kontinyu.

Gaudium et Spes art. 48 mengatakan bahwa “Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta kasih yang mesra, yang diciptakan oleh pencipta dan dilengkapi dengan hukumnya, diwujudkan oleh perjanjian nikah atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali.” Kemudian seorang teolog keluarga bernama M. Foley yang dikutip oleh Hello (2006: 16) mengatakan bahwa “Dalam perkawinan seorang pria ditambah seorang wanita berkembang menjadi satu kesatuan yang menghasilkan dua pribadi yang lebih kaya dan lebih mendalam.”

Beragamnya wujud perkawinan, maka C. Groenen (1993: 19) mengusulkan defenisi perkawinan dari segi sosio-antropoligis, yakni “Perkawinan ialah hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara pria dan wanita (seorang


(36)

atau beberapa orang) justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual, yang oleh masyarakat yang bersangkutan (kurang lebih luas) sedikit banyak diatur, diakui dan dilegalisasikan.”

Hadiwardoyo (2007: 5-7) melihat hakikat perkawinan dari tiga sudut pandang yang berbeda, yakni: pertama sudut pandang yuridis bahwa perkawinan pada hakikatnya merupakan suatu ikatan sah antara seorang pria dan seorang wanita, sebagai suami istri; kedua sudut pandang psikologis bahwa perkawinan pada hakikatnya merupakan persatuan menyeluruh antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing tetap unik; ketiga sudut pandang religius bahwa setiap perkawinan yang sah merupakan lambang dari “Perkawinan Suci” antara Allah dan umat-Nya.

Beberapa pendapat di atas mengenai hakikat perkawinan, maka penulis memilih persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang didasarkan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.

2. Tujuan

Tujuan perkawinan menekankan unitif dari perkawinan, yakni kesatuan erat antara suami-isteri itu sendiri (bdk. Kej 2:18-25) dan ditegaskan dalam Mat 19:6 bahwa “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Dengan demikian di dalam tujuan perkawinan secara inplisit mengandung unsur unitif dan indissolubilitas, kesatuan yang erat bersifat indissolubilitas.


(37)

Ajaran Gereja mengenai tujuan perkawinan mulai zaman Bapa-bapa Gereja sampai zaman ini, sebagai berikut: memudahkan pembagian warisan dan menurunkan anak-anak yang sah serta sehat, membentuk kesatuan jiwa suami istri dalam kasih rohaniah dan menurunkan anak-anak, pengaturan nafsu seksual dan terbuka pada keturunan (Hadiwardoyo, 2015: 63-78).

Pedoman Pastoral Keluarga art. 7 mengatakan bahwa “Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera.” Kemudian Pedoman Pastoral Keluarga art. 8 mengatakan bahwa “Perkawinan adalah suatu ikatan suci demi kesejahteraan suami istri dan kelahiran anak serta pendidikannya itu tidak hanya tergantung pada kemauan manusiawi semata-mata, tetapi juga pada kehendak Allah.”

Setiap keputusan yang dipilih mengandung tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana seorang laki-laki dan seorang perempuan memutuskan untuk menikah. Rubiyatmoko (2012: 19) dengan sederhana menunjukkan adanya 3 tujuan utama perkawinan (bdk. kan. 1055§ 1) yakni: kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum), kelahiran anak (prokreasi) dan pendidikan anak (bonum prolis). Kemudian Catur Raharso (2014: 60) melihat tujuan perkawinan dalam dua aspek, yaitu kesejateraan suami istri dan kesejahteraan anak. Selanjutnya Gilarso (2015: 11-12) mengatakan:

Tujuan perkawinan yang layak dikejar oleh suami istri ialah: pertama pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami istri; kedua kelahiran dan pendidikan anak; ketiga pemenuhan kebutuhan seksual dan keempat lain-lain seperti kesejahteraan keluarga, jaminan perlindungan dan keamanan,


(38)

demi ketenangan, nama baik, kerukunan keluarga, jaminan nafkah/ ekonomi, sah dan sehatnya keturunan dan sebagainya.

Beberapa pendapat di atas mengenai tujuan perkawinan, maka penulis memilih kesejahteraan dan kebahagiaan suami istri menyangkut relasi inter-personal antara suami istri, persekutuan jiwa dan hati untuk saling menolong dan membantu, terbuka bagi kelahiran anak serta mendampingi dan mendidik anak sesuai dengan iman Katolik.

a. Kesejahteraan Suami Istri (Bonum Coniugum) 1) Pengertian Kesejahteraan

Kesejahteraan menurut pandangan Gereja terdapat dalam surat apostolik Paus Yohanes Paulus II “Familiaris Consortio” bagian II art. 11-16 merumuskan bahwa “Keluarga sejahtera dalam kesetiaan kepada rencana Allah.” Kemudian kesejahteraan menurut pandangan negara pasal 1 ayat 11 UU RI no. 10 th. 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejatera merumuskan sebagai berikut:

“Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.”

Selain itu dirumuskan dalam Piagam Hak-Hak Keluarga mengenai kesejahteraan keluarga yang terdapat dalam mukadimahnya yang isinya:

“bahwa hak-hak, kebutuhan mendasar, kebaikan dan nilai-nilai keluarga seringkali diingkari dan tak jarang digerogoti oleh undang-undang, lembaga-lembaga dan program-program sosio-ekonomis, maka Gereja Katolik mulai menyadari bahwa kesejahteraan pribadi, masyarakat dan Gereja sendiri itu juga melewati jalan keluarga. Oleh karena itu Gereja selalu menganggap bahwa pewartaan tentang rencana Allah tentang pernikahan dan keluarga merupakan bagian dari perutusannya, dan


(39)

berjuang untuk mengembangkannya serta membelanya melawan semua yang menyerangnya.”

Beberapa pengertian di atas, maka keluarga disebut sejahtera bukan hanya dilihat dari segi jasmani, ketika segala materi terpenuhi, namun juga segi rohani, ketika hubungan dengan Tuhan dan relasi pasangan, relasi dengan keluarga dan masyarakat terjalin dengan baik dan harmonis.

2) Aspek-Aspek Sejahtera Seutuhnya

Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa “Keluarga sejahtera seutuhnya dalam segala aspeknya berpegang pada visi dan paham manusia seutuhnya, termasuk dalam kehidupan keluarga.” Keanekaragaman aspek keluarga sejahtera itu tidak bisa berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan di dalam keutuhan manusia dan keluarga yang sama. Dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga utuh meliputi berbagai aspek yang saling berkaitan dan merupakan upaya terus menerus dalam mewujudkannya di tengah dunia yang terbatas ini. Aspek-aspek keluarga sejahtera meliputi Aspek Fisik, Psikis, Intelektual, Kultural, Religius, Moral, Sosial.

3) Kesejahteraan Suami Istri

Ukuran kesejahteraan suami istri menurut Kej 2:18-25 adalah penghargaan seseorang terhadap pasangan nikahnya (Bambang Alriyanto, 1996: 3); ketika pasangan suami istri sadar akan pemenuhan secara terus menerus dalam diri mereka sendiri hingga cinta timbal balik mereka tetap ada dan total (Eminyan, 2005: 34); ketika pasangan suami istri dapat memenuhi kebutuhan akan sandang,


(40)

pangan, papan serta pendidikan yang memadai (Eminyan, 2005: 21); ketika pasangan suami istri bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebahagiaan pasangannya (Gilarso, 2015: 11); ketika masing-masing pihak memahami hak dan kewajiban, saling berkorban dan saling memberi (Haskim dan Laendra, 1980: 19).

Kesejahteraan pasangan secara abstrak bisa didefenisikan sebagai suami istri itu sendiri yang saling menyerahkan dan menerima diri pribadi (Catur Raharso, 2014: 62). Hal ini ditegaskan oleh St.Thomas Aquino yang dikutip oleh Catur Raharso (2014: 63) mengatakan bahwa “Cinta selalu mengarahkan seseorang kepada dua objek sekaligus, kepada apa yang baik dan bernilai (bonum), dan kepada orang yang dicintai itu.” Dengan demikian pengertian kesejahteraan suami istri dalam perkawinan bukanlah kesejahteraan individualistik dua bujangan yang hidup bersama, melainkan kesejahteraan dualistik dan altruistik sebagai pasangan.

Kesejahteraan suami istri mengandung pengertian yang sangat kompleks dan dinamis, karena konsep kesejateraan sangat kontekstual, ditentukan oleh faktor budaya, mentalitas, pandangan dan gaya hidup, hukum, serta latar belakang pendidikan serta situasi sosial ekonomi (Catur Raharso, 2014: 63). Jadi kesejahteraan suami istri dapat tercapai jika masing-masing pribadi pasangan saling menghargai dan menempatkan pasangannya sebagai patner cinta kasih dalam mewujudkan kesejateraan keluarga.

Kesejahteraan suami istri adalah komunitas intim hidup dan cinta pasangan itu sendiri, yang mereka bangun, pertahankan dan upayakan selalu dan bersama-sama. Hal ini menuntut secara konkret pada masing-masing pihak beberapa karakteristik kehendak yakni: hidup dan tinggal bersama, mencukupi


(41)

kebutuhan-kebutuhan hidup pasangan, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan mengenai hidup perkawinan dan keluarga (Catur Raharso, 2014: 63-64).

Dalam mengupayakan bonum coniugum terdapat dua aspek yakni: pertama aspek eksternal dan lahiriah, diwujudkan dengan membangun kehidupan sebagai pasangan; kedua aspek internal, diwujudkan dengan integrasi spiritual dan afektif (Catur Raharso, 2014: 64). Hal ini tidak boleh dimengerti sekadar sebagai kehidupan bersama secara fisik, melainkan lebih-lebih solidaritas (pelayanan dan bantuan timbal balik) dan partisipasi pada setiap situasi kondisi vital pasangan. Catur Raharso (2014: 65-66) mengatakan bahwa “Kesejahteraan suami istri dibangun atas dasar kemampuan untuk saling menyesuaikan dan menyempurnakan diri demi pasangannya, yang juga diwujudkan dalam relasi seksual sebagai wujud penyerahan diri mereka secara timbal balik” (bdk. kan. 1057§ 2).

Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa “Dalam mewujudkan dan menghayati kesatuan hati dan jiwa yang dicita-citakan, sehingga terciptalah kebahagiaan hidup berkeluarga, pada suami istri melekat beberapa pokok tanggungjawab yang meliputi membina dan mengembangkan hidup bersama, membina dan mengembangkan kesetiaan satu sama lain, mengembangkan komitmen seumur hidup, menghormati nilai pribadi manusia, mengembangkan relasi dan komunikasi serta saling mendukung dan menghayati iman.”

Dalam membangun kesejahteraan, pasangan suami istri mengalami hambatan karena perilaku egosentris, ketika pasangan tidak mampu melihat atau memahami suatu hal atau peristiwa di sekitarnya menurut pikiran dan perasaan pasangannya (Raharso, 2014: 66).


(42)

4) Beberapa Upaya Menyejahterakan Pasangan

Beberapa upaya menyejahterakan pasangan antara lain: memberikan nafkah lahiriah (sandang, pangan dan papan) dan nafkah batiniah (hubungan seksual), memberikan kebebasan kepada pasangannya untuk memelihara imannya dan melaksanakan kewajiban agamanya, memberikan kebebasan-kebebasan lain yang sewajarnya kepada pasangan lainnya untuk mengembangkan dirinya, tidak berlaku kasar (secara fisik, moral atau psikologis) atau bahkan menyiksa pasangannya (Raharso. 2014: 64).

b. Kelahiran Anak (Prokreasi)

Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) dalam Kej 2:18 mengatakan bahwa Tuhan Allah berfirman "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia," dan Kej 2:23 mengatakan bahwa “Allah menciptakan manusia dari awal pria dan wanita,” serta Kej 1:28 mengatakan bahwa Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu.” (bdk. GS, art. 50).

Paus Paulus VI dalam ensiklik Human Vitae artikel 12 mengatakan bahwa “Hubungan seks suami istri itu mempunyai dua makna yang tak terpisahkan, yakni menyatukan suami istri dan menurunkan anak (unitif dan prokreatif).” Kemudian Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes art. 50a mengatakan bahwa “Perbuatan khas pernikahan, dari kodratnya terarah kepada kelahiran dan pendidikan anak.”

Pedoman Pastoral Keluarga art. 13 mengatakan bahwa dengan melahirkan kehidupan baru (prokreasi), secara istimewa suami istri mengambil bagian dalam


(43)

karya penciptaan-Nya (bdk. FC, art. 28) dan Kej 1:28 memperlihatkan dengan jelas bahwa Allah sendirilah yang mengangkat mereka menjadi rekan kerja dalam karya penciptaan. Catur Raharso (2014: 68) menegaskan bahwa “Agar ada kesepakatan nikah, perlulah mempelai sekurang-kurangnya mengetahui bahwa perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara pria dan wanita yang terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerjasama seksual.”

Hasil dari relasi intim suami istri saling memberi diri dan menikmati cinta secara sempurna adalah mengadakan, membesarkan dan mendidik anak. Anak adalah buah kasih orangtua. Anak adalah milik Allah yang dititipkan pada orangtua “membuat mereka menjadi lebih manusia” (Hello, 2006: 18).

Perkawinan adalah lembaga yang ditetapkan secara bijaksana oleh Allah Pencipta untuk mewujudkan rencana kasih-Nya bagi umat manusia, melalui penyerahan diri timbal balik yang khas, personal dan eksklusif, suami istri membentuk persekutuan hidup untuk saling membantu mencapai kesempurnaan pribadi, serta kerjasama dengan Allah dalam menciptakan generasi baru dan mendidiknya. Cinta kasih suami istri yang mengantar mereka untuk saling mengenal hingga menjadikan mereka “satu daging,” tidak hanya untuk suami istri berdua, melainkan memampukan mereka untuk pemberian diri setinggi mungkin sebagai rekan kerja Allah dalam meneruskan kehidupan baru dan menumbuh-kembangkannya menjadi pribadi manusia (Catur Raharso, 2014: 69-70).

c. Pendidikan Anak

Tanggungjawab menyejahterakan anak, terkandung pula kewajiban untuk mendidik anak-anak. Dalam Gravissimum Educationis art. 3 mengatakan:


(44)

Karena telah memberikan kehidupan kepada anak-anak mereka, orangtua terikat kewajiban yang sangat berat untuk mendidik anak-anak mereka, dan karena itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak mereka. Tugas mendidik ini begitu berat, sehingga kalau tidak ada sulit untuk dilengkapi.”

Kemudian dalam FC, art. 36 mengatakan:

“Tugas mendidik berakar dalam panggilan utama suami istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Dengan membangkitkan dalam dan demi cinta kasih seorang pribadi yang baru yang dalam dirinya mengembangkan diri, orangtua sekaligus bertugas mendampinginya secara efektif untuk menghayati hidup manusiawi sepenuhnya.”

Catur Raharso (2014: 75) menegaskan kembali pernyataan di atas dengan mengutip KHK kan. 1136 mengatakan bahwa “Orangtua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultur, maupun moral dan religius.” Pendidikan anak harus mengarah pada pendidikan demi masa depan anak-anak terdapat dalam GS, art. 52a mengatakan:

“Anak-anak harus dididik sedemikian rupa sehingga setelah mereka dewasa, dapat mengikuti dengan penuh rasa tanggungjawab panggilan mereka termasuk juga panggilan khusus, dan memilih status hidup, bila mereka memilih status hidup pernikahan, semoga mereka dapat membangun keluarganya sendiri dalam situasi moral, sosial dan ekonomi yang menguntungkan mereka.”

Pedoman Pastoral Keluarga art. 9 mengatakan bahwa “Berkat rahmat sakramen perkawinan, suami istri menerima rahmat istimewa yang membuat mereka lebih mampu menjadi suci dan mendidik anak-anak secara Katolik” (bdk. LG, art. 11). Kemudian Pedoman Pastoral Keluarga art. 10 mengatakan bahwa “Kehadiran anak-anak dalam keluarga merupakan anugerah sangat berharga dan sekaligus mahkota cinta kasih dalam perkawinan.”


(45)

Maka anak-anak selayaknya dicintai, dihargai, diterima sepenuhnya dan dikembangkan sebaik mungkin oleh kedua orangtua. Tugas mendidik anak bersumber dari panggilan asli orangtua untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah. Karena cinta dan demi cinta orangtua telah melahirkan kehidupan baru. Selanjutnya kelahiran baru (anak) ini terpanggil untuk berkembang dan bertumbuh menjadi pribadi manusia yang utuh dan dewasa. Karena itu, sangatlah logis dan natural bahwa orangtua memiliki tugas dan tanggungjawab utama dan langsung untuk membantu secara efektif anak-anak mereka agar dapat hidup sepenuhnya sebagai pribadi manusia (Catur Raharso, 2014: 75).

Hello (2006: 19) mengatakan bahwa “Orangtua dapat melakukan tugasnya sebagai pembimbing utama yang mengarahkan, menuntun, memberikan pengertian dan pemahaman yang benar tentang sesuatu hal sesuai kaidah-kaidah iman kristiani.” Keluarga menjadi tempat pertama dan utama dalam pendidikan iman (bdk. Ul 6:7).

3. Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB) dalam Mrk 10:8; Mat 19:5 dan 1Kor 7 mengajarkan ciri/sifat perkawinan Katolik yakni monogami dan sifat tak terputuskan.

Ajaran Gereja mengenai ciri-ciri perkawinan mulai zaman Bapa-bapa Gereja sampai zaman ini sebagai berikut: ikatan perkawinan antara orang-orang Kristen bersifat monogam dan tak terputuskan setelah diucapkannya “janji nikah” dan setelah dilakukan “consummatio” oleh suami istri karena perkawinan


(46)

merupakan lambang hubungan kasih antara Kristus dan Gereja. Perkawinan sah antara dua orang kristen benar-benar merupakan sebuah sakramen dan ikatannya bersifat tak terputus, monogami dan menolak poligami berdasarkan hukum ilahi HV, art. 9 dan GS, art. 49 mengatakan bahwa “Cinta suami istri adalah setia dan eksklusif sampai akhir hidup, demikianlah mempelai dan pengantin memahaminya pada hari mereka dengan bebas dan sadar saling mengikat dengan janji nikah mereka.” Kemudian FC, art. 19 mengatakan bahwa “Perjanjian kasih perkawinan suami isteri „bukanlah dua, melainkan satu‟ dan dipanggil untuk senantiasa tumbuh dalam kesatuan dan kesetiaan setiap hari, dengan berpegang teguh pada janji perkawinan untuk penyerahan diri timbal balik.”

Perkawinan Katolik memiliki ciri-ciri hakiki, yang membedakannya dengan perkawinan lain. Rubiyatmoko (2012: 20) mengungkapkan kekhasan perkawinan Katolik dengan mengutip KHK kan. 1056 mengatakan “Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (tak terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen”. Dua ciri hakiki perkawinan, yaitu kesatuan (unitas) dan tak terputuskan (indissolubilitas) yang merupakan ciri esensial karena melekat dan terkandung dalam setiap perkawinan sebagai realitas natural (Catur Raharso, 2014: 94). Perkawinan yang baik harus memiliki dan memperjuangkan ciri-ciri berikut: monogami, tak terceraikan, terbuka bagi keturunan dan keluarga Kristiani adalah “Gereja mini” (Gilarso, 2015: 12-13).

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai ciri perkawinan Katolik, maka penulis memilih monogami artinya perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menolak adanya poligami; dan tak


(47)

terceraikan artinya suatu perkawinan yang berlangsung seumur hidup dan tidak dapat diputuskan dengan alasan apapun dan oleh siapapun, kecuali oleh kematian. a. Unitas (kesatuan)

1) Dasar Unitas

Dasar unitas terungkap dalam KSPL dan KSPB menjadi “satu daging” (Kej 2:24; Mrk 10:8; Mat 19:5; Ef 5:31) yang isinya “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Cinta kasih suami isteri sungguh-sungguh merupakan cinta kasih perjanjian yang bersifat eksklusif dan tetap (bdk. Ams 5:15-20).

Kej 1:27 dan Kej 2:24 dengan tegas dan berwibawa merestui cita-cita suci perkawinan monogam sebagai perkawinan yang memenuhi kehendak Allah, karena melambangkan kesetiaan kasih antara Yahwe dan umat-Nya (Bambang Alriyanto, 1996: 3, 5). Kemudian St. Paulus dalam 1Kor 7 dan Ef 5 dengan sikap yang cukup keras dan tegas memperjuangkan nilai perkawinan yang monogam tak terceraikan, dengan berpegang pada faham penciptaan (Bambang Alriyanto, 1996: 58).

Paus Pius XI dalam ensiklik “Casti Cannubii” mengatakan bahwa ikatan perkawinan bersifat monogami dan tak terputus berdasarkan hukum ilahi dan perlu dilaksanakan dengan kasih yang teguh. Kemudian Konsili Vatikan II dalam konstitusi “Gaudium et Spes” bahwa praktik poligami dan perceraian mengaburkan martabat perkawinan, dan sifat monogami dan tak terputusnya ikatan perkawinan muncul dari sifat kodrati kasih suami istri, diajarkan oleh Kristus sendiri, dan mengungkapkan kesetaraan derajat pria dan wanita.


(48)

Selanjutnya Paus Pius VI dalam ensiklik “Humanae Vitae” menghubungkan sifat monogami dan tak terputusnya ikatan perkawinan dengan sifat-sifat khas kasih suami istri yang eksklusif dan setia. Akhirnya Paus Yohanes Paulus II dalam amanat apostoliknya “Familiaris Consortio” mengajarkan bahwa sifat monogam dan tak terputusnya ikatan perkawinan bersumber pada kasih suami istri dan disempurnakan oleh Roh Kudus dalam Sakramen Perkawinan.

Rubiyatmoko (2012: 21) menegaskan kembali dengan mengutip kan. 1056 “Ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan) menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan”. Dengan unsur unitif dimaksud sebagai unsur yang menyatukan suami istri secara lahir dan batin. Sedangkan unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 1645 mengatakan bahwa “Kesatuan perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan tampak secara jelas dari martabat pribadinya yang sama baik pria maupun wanita, yang harus diterima dalam cinta kasih timbal balik dan penuh.”

Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita saling menyerahkan dan menerima diri dalam cinta kasih total tanpa syarat dan secara eksklusif. Hal ini mau menegaskan bahwa pasangan suami istri saling menyerahkan diri secara total dan eksklusif, sehingga tidak ada alasan untuk poligami (Go, 2005: 17).

Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa “Persekutuan suami istri berakar dalam sifat saling melengkapi secara kodrati, yang terdapat antara pria dan wanita, dan makin dikukuhkan oleh kerelaan pribadi suami istri untuk bersama-sama melaksanakan seluruh rencana hidup mereka,


(49)

saling berbagi apa yang dimiliki dan seluruh kenyataan mereka.” Hal ini mau mengatakan bahwa dalam perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan cinta yang penuh, total, dan tidak terbagi-bagi, saling menyerahkan diri seutuhnya, sehingga mendorong suami istri untuk mewujudkan persatuan yang semakin kaya di antara mereka.

Dalam kehidupan di masyarakat, dapat ditemukan pasangan suami istri yang tidak setia pada dasar monogami perkawinan dengan melakukan tindakan poligami, karena alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tentu hal ini bertentangan dengan monogami, karena istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu dan tidak menurut martabatnya sebagai manusia. bdk. dengan gagasan janji perkawinan: kasih-setia dalam suka-duka, untung-malang, sehat-sakit (Go, 2005: 17).

2) Pengertian Unitas

Pandangan Gereja mengenai unitas sebagai perjanjian pernikahan pria dan wanita “Bukan lagi dua melainkan satu” (Mat 19:6; bdk. Kej 2:24), yang dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam persekutuan melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji pernikahan untuk saling menyerahkan diri seutuhnya. Pandangan Negara mengenai unitas terdapat dalam UU RI no. 1/1974 bab 1 pasal 3 mendefenisikan perkawinan sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.”

Kesatuan atau unitas menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan. Dengan unsur unitif dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami istri


(50)

secara lahir batin. Sedangkan unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Rubiyatmoko, 2012: 21).

Perkawinan adalah kesatuan (unitas, unity) relasi antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup sebagai suami istri sepanjang hayat melalui perjanjian yang bersifat eksklusif (Catur Raharso, 2014: 95). Tindakan atau perilaku yang bertentangan dengan kesatuan relasi suami istri, yaitu poligami (poligini artinya seorang pria beristri lebih dari satu perempuan atau poliandri artinya seorang wanita bersuami lebih dari satu laki-laki), sekaligus kontra ketidaksetiaan, karena ketidaksetiaan melanggar kesatuan perkawinan karena kesetiaan adalah konsekuensi langsung dan logis dari kesatuan atau monogami (Catur Raharso, 2014: 97, 100). Selanjutnya Go (2005: 16) mengatakan bahwa “Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang perempuan, jadi lawan dari poligami atau poliandri.”

Keseluruhan defenisi mengenai unitas mengandung pengertian bahwa perkawinan itu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersatu lahir batin seumur hidup secara eksklusif.

3) Impikasi atau konsekuensi Unitas

Pasangan suami istri dengan mengikrarkan janji perkawinan menyadari konsekuensi dari perkawinan untuk tetap setia dan mencintai pasangannya dengan tidak poligami. Implikasi atau konsekuensi unitas dengan mengesampingkan poligami simultan dan poligami suksesif serta hubungan intim dengan pihak ketiga (Go, 2005: 16-17). Selain itu mewujudkan tanggungjawab membina perkawinan


(51)

dengan kesetiaan (Go, 1990: 7). Dalam hal ini menolak poligami simultan maksudnya dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama dan poligami suksesif artinya berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah.

KHK kan.1056 mengenai ikatan perkawinan yang unitas, eksklusif dan indissolubilitas. Kemudian ditegaskan dalam Gaudium et Spes artikel 49 mengatakan bahwa “Sebagai pemberian diri timbal balik antara dua pribadi, persatuan yang mesra itu, begitu pula kepentingan anak-anak menuntut kesetiaan seutuhnya dari suami istri, dan meminta kesatuan yang tak terceraikan antara mereka.”

b. Indissolubilitas (tak terputuskan) 1) Dasar Indissolubilitas

Go (2005: 18) mengatakan dasar indissolubilitas terungkap dalam KSPB misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5:31-32; 19:2-12; Luk 16:18. Dalam Kitab Suci dikisahkan orang Farisi bertanya kepada Yesus “Apakah diperbolehkan suami menceraikan istrinya?” Yesus menegaskan “Apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah itu diceraikan manusia” (Mat 19:6) dan pasangan suami istri yang bercerai serta kawin lagi melakukan perbuatan zinah (bdk. Mat 19:9; Mrk 10:12). Jelas dalam teks Mat 19:2-12 dan Mrk 10:2-12 menyatakan penolakan Yesus terhadap perceraian. Ia memahami izin perceraian yang diberikan oleh hukum Musa sebagai suatu hal yang terpaksa diberikan karena ketegaran hati orang-orang Israel dan sebagai suatu hal yang melawan rencana Allah, alasannya karena Allah


(52)

sendiri yang telah menyatukan suami-istri, agar mereka menjadi “satu daging”. Dengan perkataan lain Yesus mengajarkan bahwa perkawinan itu menurut kehendak Allah harus bercirikan “tak terceraikan” (Hadiwardoyo, 2004: 22).

Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa “Pasangan suami istri Katolik menyadari bahwa perkawinan itu dikehendaki dan diberkati oleh Allah, sehingga tidak ada satu alasanpun dapat memutuskan perkawinan.” Bila terjadi perceraian kemudian menikah lagi, mereka hidup dalam perzinahan. Sifat perkawinan yang tak dapat diputuskan berakar pada panggilan Allah yang mempersatukan seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, sehingga apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (bdk. Mat 19:6) dan memperoleh dasar kebenarannya dalam rencana yang diwahyukan oleh Allah, Ia menghendaki serta menganugerahkan sifat tak terbatalkan pernikahan sebagai buah hasil, sebagai lambang dan tuntutan cinta yang mutlak setia, kasih Allah terhadap manusia dan kasih Tuhan Yesus terhadap Gereja.

Dalam perkawinan pasangan suami istri selain dituntut untuk hidup dalam persekutuan (kesatuan), juga hidup dalam penyerahan diri seumur hidup, demi kesejahteraan pasangan maupun demi kepentingan anak-anak, sehingga tidak ada alasan apapun untuk bercerai. Ajaran Kitab Suci dengan tegas mengatakan kepada pasangan suami istri untuk setia dan menolak percerian maupun perzinahan, yang menjadi tantangan dalam menghayati janji perkawinan jaman sekarang, sebab perceraian dan perselingkuhan zaman ini dianggap hal yang biasa, sehingga orang kurang menghayati janji perkawinan yang diikrarkan untuk setia seumur hidup dengan pasangannya.


(53)

Ajaran Gereja dalam Konsili Trente Denzinger artikel 1801 mengatakan bahwa “Perkawinan sebagai sakramen, tandanya perkawinan itu sendiri, yang merupakan kesatuan kehendak dan kesatuan tubuh.” Tanda ini menghasilkan apa yang ditandakan yakni kesatuan yang tak terceraikan di antara dua pribadi dan menunjuk kepada realitas yang lebih dalam yaitu kesatuan Kristus dan Gereja-Nya.”

Hal ini ditegaskan kembali oleh Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes art. 48 mengatakan:

“Persekutuan mesra hidup perkawinan dan cinta itu telah ditegakkan oleh Pencipta sendiri dan diaturnya dengan undang-undang-Nya, dan sudah jauh berakar di dalam janji perkawinan dengan kesepakatan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Karenanya dengan tindakan kemanusiaan itu, dengan mana suami istri saling memberi dan menerima, timbullah suatu perkerabatan yang menurut kehendak Ilahi maupun di mata masyarakat merupakan sesuatu yang bersifat kekal.”

Kemudian Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio art. 20 mengatakan bahwa “Cinta suami istri juga berciri tak terputus, karena penuhnya cinta itu, maka perceraian ditolak secara tegas oleh Kristus.” Selanjutnya dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) art. 1644-1645 mengajarkan tentang unitas dan indissolubilitas.

Keseluruhan ajaran Gereja menegaskan bahwa perkawinan yang telah diikarkan itu sifatnya kekal dan tak terputuskan, kecuali kematian.

2) Pengertian Indissolubilitas

Kitab Suci Perjanjian Baru menegaskan bahwa seorang pria dan seorang wanita, yang telah dipersatukan oleh Allah dalam ikatan perkawinan, tidak boleh


(54)

diceraikan manusia (bdk. Mat 19:6). Hal ini mengatakan persekutuan suami istri tidak hanya bercirikan kesatuan, tetapi juga tak terbatalkan.

GS, art. 49 mengatakan bahwa “Sebagai pemberian diri timbal balik antara dua pribadi itu, begitu pula kepentingan anak-anak menuntut kesetiaan seutuhnya dari suami istri, dan meminta kesatuan yang tak terceraikan antara mereka.” UU RI no. 1/1974 bab 1 pasal 1 mencita-citakan perkawinan yang bahagia dan kekal.

Rubiyatmoko (2012: 21) mengutip KHK 1983 kan. 1056 mengatakan “Ciri hakiki perkawinan adalah perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak dapat diceraikan atau diputuskan oleh kuasa manapun kecuali kematian.” Kemudian Catur Raharso (2014: 101) mengatakan bahwa “Sifat tak terputuskan (Indissolubilitas) menunjukkan bahwa ikatan perkawinan bersifat absolut, eksklusif dan berlangsung seumur hidup, serta tidak dapat diputuskan oleh kuasa apapun kecuali kematian.”

Pemahaman perkawinan sifatnya absolut, eksklusif, seumur hidup dan tak terputuskan, maka hendaknya pasangan suami istri Katolik bersikap kontra perceraian (indissolubility) yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif khususnya bagi anak-anak yang menjadi korban dari perceraian. Indissolubility merupakan sebuah nilai fundamental yang perlu dibela, karena perceraian membawa dampak negatif yang tak tersembuhkan, khususnya terhadap anak-anak (Catur Raharso, 2014: 109).

Go (2005: 17) mengatakan bahwa “Sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan artinya ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini.”


(55)

Dua kategori indissolubilitas yakni interna atau relativa, yaitu ikatan perkawinan yang tidak dapat diputuskan atas dasar konsensus (persetujuan) dan kehendak (kemauan) suami istri, namun diputuskan oleh kuasa gerejawi yang berwenang dan externa atau absoluta, jika perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun, kecuali oleh kematian (Susianto Budi, 2015: 13-14). Ikatan perkawinan dapat diputuskan oleh kuasa Gereja, karena diyakini kuasa yang telah diberikan dari Yesus Kristus kepada Petrus dan para rasul lainnya, sekali untuk selamanya demi melaksanakan misi yakni keselamatan manusia, termasuk kuasa untuk menetapkan dan melepaskan ikatan nikah (bdk. kan. 1143-1149).

Eminyan (2005: 42-43) mengutip pendapat etnolog besar W. Schmidt bahwa perkawinan bersifat indissolubilitas sudah diakui sejak awal budaya manusia ada dan indissolubilitas dihargai begitu tinggi oleh Homerus dalam cerita-cerita kepahlawanannya. Indissolubilitas tidak hanya merupakan bentuk perkawinan yang memberikan kondisi-kondisi yang sangat menguntungkan bagi keluarga, tetapi juga bahwa indissolubilitas sama sekali esensial baginya.

Indissolubilitas menentang perceraian yang merusak keutuhan dan kesejahteraan pasangan suami istri serta kebahagiaan anak-anak yang telah dipercayakan Tuhan untuk dipelihara dan dididik, karena ketidaksetiaan dan egoisme.

3) Implikasi atau Konsekuensi Indissolubilitas

Indissolubilitas dapat bersifat interna, yaitu ikatan perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kemauan dan persetujuan suami istri (karena mereka tidak


(56)

mempunyai hak dan kuasa untuk mencabut kembali konsensus perkawinan yang telah mereka ikrarkan). Namun dapat diputuskan atas intervensi kuasa gerejawi yang berwenang. Hal ini disebut Indissolubilitas relativa yaitu ikatan perkawinan tersebut memang tidak dapat diputuskan atas dasar konsensus dan kehendak suami istri itu sendiri, namun dapat diputuskan oleh kuasa grejawi yang berwenang. Sedangkan indissolubilitas bersifat externa, jika perkawinan tersebut tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun. Hal ini disebut Indissolubilitas absoluta yaitu jika ikatan perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kuasa manapun kecuali oleh kematian (Rubiyatmoko, 2012: 22).

Indissolubilitas menunjukkan bahwa ikatan nikah bersifat absolut, eksklusif dan berlangsung seumur hidup, serta tidak dapat diputuskan selain oleh kematian (Catur Raharso, 2014: 101). Hal ini sejalan dengan Visi Allah Pencipta bahwa ikatan perkawinan merupakan kehendak Ilahi (Kej 1:27; Kej 2:24) dan konsekuensi kodrat manusia dari perkawinan natural dan perkawinan sakramen (Balun, 2011: 52-61).

KHK kan. 1099 mengatakan bahwa “Kekeliruan mengenai unitas dan indissolubilitas atau mengenai martabat sakramental perkawinan asalkan tidak menentukan kemauan, tidak meniadakan kesepakatan perkawinan.” Hal ini menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk membatalkan perkawinan, baik yang dilangsungkan secara sakramen, yakni perkawinan antara dua orang yang dibaptis; maupun secara non sakramen, yakni perkawinan dimana salah satunya dibaptis atau keduanya tidak dibaptis (Rubiyatmoko, 2012: 21).


(57)

4. Sakramental

Kitab Kejadian memberikan gambaran bahwa Allah sungguh memberkati perkawinan (bdk. Kej 1:28). Campur tangan Allah itulah yang menjadi dasar yang kuat untuk menjadikan perkawinan sebagai sakramen. Sebagaimana Pedoman Pastoral Katolik art. 6 mengatakan bahwa “Dengan Sakramen Perkawinan, suami istri Katolik menandakan misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja dan ikut serta menghayati misteri itu” (bdk. Ef 5:32).

Sakramen yaitu tanda mata atau tanda cinta dari Tuhan kepada manusia. Setiap sakramen adalah tanda kehadiran Tuhan dan sarana dalam tangan Tuhan untuk menghubungi manusia, agar kita selalu dekat dengan-Nya dan merasa dicintai oleh-Nya. Dalam Sakramen Perkawinan, tanda kehadiran Tuhan mencintai umat-Nya diwujudkan melalui manusia sendiri, ketika kedua mempelai di hadapan imam dan para saksi mengucapkan janji setia. Sekali mereka “dipersatukan oleh Allah” dengan “saling menerimakan” Sakramen Perkawinan, Tuhan menetapkan manusia pria untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi si wanita, dan Tuhan mengangkat manusia wanita untuk menampakkan kehadiran-Nya, demikian pula pria dan wanita, sebagai suami istri menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk menampakkan kebaikan-Nya dan semakin mendekatkan hidup mereka kepada Tuhan (Gilarso, 2015: 156-157).

Sakramen adalah lambang atau simbol kelihatan yang menghadirkan karya keselamatan Allah. Perkawinan Katolik adalah sakramen artinya perkawinan Katolik melambangkan serta menghadirkan Allah yang menyelamatkan. Paham perkawinan sebagai sakramen berasal dari ajaran Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus 5:11-22 dijelaskan bahwa hubungan cinta kasih suami


(58)

istri bukan hanya luhur dan mulia, tetapi bersifat Ilahi, karena dikehendaki oleh Allah dan menunjuk kepada kesatuan Kristus dan Gereja-Nya (Susianto Budi, 2015: 9).

Gereja Katolik mengenal Sakramen Perkawinan sebagai salah satu dari ketujuh Sakramen. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan adalah suatu hal yang luhur. Dengan adanya Sakramen Perkawinan secara lahiriah ada tanda yang menyatakan bahwa Allah hadir dalam kehidupan perkawinan dan Allah menjadi saksi cinta kasih sang suami dan istri (bdk. Mal 2:14). Perkawinan dijadikan sakramen karena Kitab Suci menjunjung tinggi perkawinan, bahkan St.Paulus menegaskan supaya suami-istri saling mencintai seperti Kristus mencintai umat-Nya atau jemaat/ Gereja-umat-Nya (bdk. Ef 5:21-33).

Hubungan suami istri dalam perkawinan Katolik digambarkan dengan sikap Yahwe yang penuh cinta kasih dan setia kepada Israel (bdk. Ul 24:1-4). Kemudian Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus menggambarkan perkawinan seperti cinta kasih Kristus sebagai penyelamat dengan Gereja sebagai isteri-Nya, dan ketaatan penuh cinta kasih dari Gereja terhadap Kristus sang mempelai (bdk. Ef 5:21-32). Hal ini ditegaskan kembali dalam “Familiaris Consortio” artikel 13 mengatakan bahwa “Perkawinan antara dua orang terbaptis merupakan simbol nyata dari perjanjian baru dan kekal antara Kristus dan Gereja, merupakan sakramen, peristiwa keselamatan.”

Kitab Hukum Kanonik mengatakan bahwa perkawinan sakramen, apabila perkawinan itu dilaksanakan secara sah antara dua orang yang dibaptis (bdk. Kan. 1055§ 2, KGK art. 1240). Rubiyatmoko (2012: 20) mengutip kan. 1055§ 1 menyebutkan “Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen, sehingga


(59)

sifat perkawinan di antara orang-orang yang telah dibaptis adalah sakramen (§ 2).” KHK kan. 1055§ 1 diakhiri dengan frasa “antara orang-orang yang dibaptis diangkat oleh Kristus ke martabat sakramen”. Hal ini menegaskan bahwa perkawinan antara dua orang yang dibaptis secara sah, baik dibaptis dalam Gereja Katolik ataupun dalam Gereja Kristen non Katolik diangkat ke martabat sakramen. Maka sakramen perkawinan adalah cinta kasih suami istri kristiani yang dinyatakan dalam kesepakatan nikah timbal balik dalam sebuah ritus liturgis (Catur Raharso, 2014: 81, 84).

Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa “Sakramen berarti tanda efektif yang menunjukkan dan menyalurkan rahmat.” Sakramen Perkawinan, artinya suami istri diberi anugerah dan tugas untuk memperjelas dalam dirinya sendiri kasih Tuhan kepada dunia.

Beberapa pendapat mengenai Sakramen Perkawinan, maka penulis memilih Sakramen Perkawinan sebagai lambang kehadiran Kristus yang mencintai Gereja-Nya, dihayati oleh pasangan suami istri Kristiani dalam perkawinan.

5. Janji Perkawinan Katolik

Janji atau sumpah berarti memilih untuk melayani orang lain, mengabdikan diri seutuhnya pada seseorang. Bila orang mengikat diri pada seorang lain maka berarti ia terikat secara ganda. Dengan demikian ia harus melayani, apapun yang akan terjadi pada dirinya atau partnernya. Mengikat janji merupakan persetujuan, suatu jaminan yang diberikan menyangkut diri seseorang, merupakan keharusan yang membebaskan dan memberikan keleluasaan. Dengan berupaya memenuhi


(60)

janji, orang semakin rela untuk melayani. Perkawinan Kristen merupakan bentuk pelayanan serta janji yang menuntut banyak dari manusia untuk melayani: dalam untung dan malang, seumur hidup (Burtchell, 1990: 32).

Janji perkawinan memiliki rumusan yang di dalamnya memperlihatkan kesediaan untuk menjadi satu bukan hanya satu daging, namun satu roh. Hal ini selaras dengan rumusan dari Komisi Liturgi KAS (2012: 42) isinya:

MP: Dihadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini, saya MP memilih engkau … MW menjadi istri saya.

Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya. MW: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini saya … MW memilih engkau MP menjadi suami saya.

Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya.

Dalam janji perkawinan terdapat 3 janji pokok, yakni: pertama janji untuk setia dalam untung dan malang, sehat dan sakit, suka dan duka, dalam kelebihan dan kekurangan; kedua janji untuk mengasihi dan menghormati sepanjang hidup; ketiga janji untuk mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik.

Janji perkawinan mengandung makna secara inplisit tujuan dari perkawinan untuk kesejahteraan suami istri dan sifat perkawinan yang unitas dan indissolubilitas yakni untuk setia pada pasangan dalam situasi apapun.

Janji perkawinan berakar dari kitab Hos 2:18-19 yang merupakan janji Allah kepada Israel, yang isinya “Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal TUHAN.” Dalam seluruh perjanjian antara Allah dengan Israel, dimana Allah menjadikan Israel


(61)

sebagai istri-Nya, senantiasa setia dan mengasihinya sepanjang waktu, walaupun Israel tidak setia dan menghianati Allah.

B.FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT

MEM-PENGARUHI UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS 1. Faktor Kepribadian

Dalam perkawinan, dua pribadi yang berbeda sikap dan karakter menjadi satu. Injil Matius memberi gambaran mengenai proses dua pribadi menjadi satu: “Mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (bdk. Mat 19:6; Kej 2:24). Perkawinan merupakan proses menjadi satu, apabila suami istri memiliki pribadi yang matang dan siap memberi diri untuk mencintai pribadi yang lain, sedangkan bagi pasangan yang belum matang, perkawinan hanyalah merupakan tempat pelarian dan persembunyian. Ketika perkawinan menjadi tempat persembunyian bagi pasangan individu-individu yang lemah, yang bersama-sama melarikan diri dari partisipasi aktif, maka perkawinan merugikan pasangan itu maupun masyarakat.” Perkawinan persembunyian dari dua individu yang belum matang tidak akan langgeng. Perkawinan “saling membelakangi” dari dua orang yang disatukan oleh kesamaan paranoia dan pertahanan diri terhadap lingkungan sekitar merupakan perkawinan yang tidak kreatif (Hommes, 1992: 156-157).

Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup antara suami istri artinya antara dua orang yang pada satu pihak berbeda (sebagai pria dan wanita), tetapi dipihak lain sama (sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah). Keduanya merupakan suatu dwitunggal yang hidup bersama dan bekerja bersama. Perbedaan mereka sebagai pria dan wanita dikehendaki oleh Allah, maksudnya


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PASANGAN BEDA USIA (Studi Pada Istri Yang Berusia Lebih Tua Daripada Usia Suami)

3 26 18

Perwujudan janji perkawinan pada pasangan suami-istri dengan usia perkawinan 5-15 tahun demi menjaga keutuhan perkawinan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 1 174

Faktor faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan Indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15 30 tahun di wilayah Patangpuluhan Paroki Hati K

0 0 220

Usulan program pendampingan keluarga muda Katolik di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran demi kebahagiaan dan keutuhan perkawinan.

2 17 117

Perancangan Dan Pelaksanaan Modul Treatment Pelatihan Psikologi Berdasarkan Gaya Resolusi Konflik Untuk Meningkatkan Penyesuaian Perkawinan Pasangan Suami Istri Katolik (Studi Pada Pasangan Suami Istri Katolik Dengan Usia Perkawinan 1 2 Tahun).

0 0 1

Perancangan Dan Pelaksanaan Modul Treatment Pelatihan Psikologi Berdasarkan Gaya Resolusi Konflik Untuk Meningkatkan Penyesuaian Perkawinan Pasangan Suami Istri Katolik (Studi Pada Pasangan Suami Istri Katolik Dengan Usia Perkawinan 1 2 Tahun).

0 1 1

DINAMIKA PSIKOLOGIS PASANGAN SUAMI ISTRI YANG MENJALANI PERKAWINAN BEDA AGAMA DILIHAT DARI SUDUT PANDANG AGAMA KATOLIK

0 0 16

PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA PASANGAN PERKAWINAN BEDA USIA (SUAMI LEBIH MUDA DARI ISTRI) SKRIPSI

0 0 18

SUMBANGAN MODEL PENDAMPINGAN BAGI KOMUNITAS KAUM MUDA KATOLIK DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA SKRIPSI

0 1 210

Usulan program pendampingan keluarga muda Katolik di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran demi kebahagiaan dan keutuhan perkawinan - USD Repository

0 2 115