Perwujudan janji perkawinan pada pasangan suami-istri dengan usia perkawinan 5-15 tahun demi menjaga keutuhan perkawinan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

(1)

viii

Judul skripsi ini adalah PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA

PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Janji perkawinan belum begitu dihidupi oleh pasutri dengan

usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Bertolak dari kenyataan itulah maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para keluarga madya untuk bisa mewujudkan janji perkawinan yang merangkum seluruh proses hidup perkawinan. Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah belum dihidupinya janji perkawinan oleh keluarga madya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah penelitian yang bisa mengungkapkan fakta mengenai sejauh mana janji perkawinan pada pasutri tersebut sudah dihidupi. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pasutri melihat sejauh mana janji perkawinan dihidupi oleh keluarga madya tersebut melalui penelitian, untuk tindak lanjutnya akan dipilih program pendampingan yang sesuai dengan kondisi pasutri.

Perkawinan merupakan sebuah ikatan yang luhur antara laki-laki dan perempuan dengan melibatkan Tuhan. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia mengikuti tata cara agama yang dianut oleh masing-masing orang sehingga tata pelaksanaannya pun beragam. Dalam perkawinan Katolik, perkawinan identik dengan diucapkannya janji perkawinan. Janji perkawinan memuat 3 pokok janji yakni yang pertama setia dalam suka dan duka, untung dan malang serta sehat maupun sakit, yang kedua mencintai dan menghormati pasangan seumur hidup dan yang ketiga mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik. Tuhan sendirilah yang memeteraikan janji tersebut sehingga dalam perkawinan Katolik tidak ada perceraian sebab yang dipersatukan oleh Tuhan tidak bisa diceraikan manusia. Oleh sebab itu, suami ataupun istri memiliki perannya sendiri-sendiri untuk saling melengkapi satu sama lain.

Hasil akhir menunjukkan bahwa pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran masih kurang baik dalam mewujudkan janji perkawinannya. Walaupun hasil akhir menunjukkan bahwa secara umum mereka lebih banyak yang berusaha mewujudkan, namun kebanyakan persentasenya masih kurang dari 50%. Hasil ini berarti harus dijawab dengan sebuah program pendampingan pasutri yang sesuai dengan keadaan yang mereka alami. Sebenarnya paroki sudah mengusahakan sebuah pendampingan keluarga yakni dengan rekoleksi, namun pendampingan tersebut kurang tepat melihat jumlah pasutri tersebut terlalu banyak dan kesibukan mereka yang beragam.

Mengingat hal itu, penulis menyumbangkan suatu program katekese bagi pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Daerah Istimewa Yogyakarta.


(2)

ix

This thesis entitles THE REALIZATION OF MARRIAGE VOWS FOR MARRIAGE COUPLES IN THEIR 5-15 YEAR OF MARRIAGE FOR BUILDING THEIR MARRIAGE UNITY AT SACRED HEART OF JESUS’ PARISH, GANJURAN, YOGYAKARTA. For the newly married couple, marriage vows are still in the process of growing and maturing. Based on this situation, this thesis aims to help the newly married couple to strengthen their marriage vows. The core problem addressed in this thesis is the fact that the marriage vows among the newly marriage couples are not fully realized and actualized in their daily life. Therefore, there is a need for a thorough research which can enclose the facts on this problem. The research conducted in this thesis is meant for achieving the data of the newly married couples’ perspective on the marriage vow that they have professed during the holy matrimony. Further, this thesis also proposes an appropriate model for them.

Marriage is a holy union between a man and a women in God’s present. Marriage in Indonesia follows the religious rites of the couples. In Catholic marriage, marriage is identically related to the profession of marriage vows. Marriage vows have three promises. First, to promise to be a faithful couple in in good times and in bad, in sickness and in health. Second, to love and honor the bride all the days of my life. Third, to raise the children entrusted by God Himself in a Catholic way.

The final result of the research shows that married couple in their 5-15 year of marriage are still struggling to realize their marriage vows in the daily life. Those who are successfully realizing their marriage vows are less than 50 percent. It means that a supportive program is undeniably needed to help them. The parish have been working on this problem by giving accompaniment through recollection. However, this program does not give a satisfying result due to the lack of people who attend this program. Not many couples interest in this program as well.

Seeing this fact, the writer wants to contributeby giving a catechetical program for the married couple in their 5-15 years of marriage at Sacred Heart Parish, Ganjuran Yogyakarta.


(3)

DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS

GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Florentina Puji Hastriyani

NIM: 101124060

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS

GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Florentina Puji Hastriyani

NIM: 101124060

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

(6)

(7)

iv

Skripsi ini kupersembahkan kepada: Ibuku yang terlalu kucintai Anastasia Kartinah


(8)

v

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya”


(9)

(10)

(11)

viii

Judul skripsi ini adalah PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA

PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Janji perkawinan belum begitu dihidupi oleh pasutri dengan

usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Bertolak dari kenyataan itulah maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para keluarga madya untuk bisa mewujudkan janji perkawinan yang merangkum seluruh proses hidup perkawinan. Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah belum dihidupinya janji perkawinan oleh keluarga madya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah penelitian yang bisa mengungkapkan fakta mengenai sejauh mana janji perkawinan pada pasutri tersebut sudah dihidupi. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pasutri melihat sejauh mana janji perkawinan dihidupi oleh keluarga madya tersebut melalui penelitian, untuk tindak lanjutnya akan dipilih program pendampingan yang sesuai dengan kondisi pasutri.

Perkawinan merupakan sebuah ikatan yang luhur antara laki-laki dan perempuan dengan melibatkan Tuhan. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia mengikuti tata cara agama yang dianut oleh masing-masing orang sehingga tata pelaksanaannya pun beragam. Dalam perkawinan Katolik, perkawinan identik dengan diucapkannya janji perkawinan. Janji perkawinan memuat 3 pokok janji yakni yang pertama setia dalam suka dan duka, untung dan malang serta sehat maupun sakit, yang kedua mencintai dan menghormati pasangan seumur hidup dan yang ketiga mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik. Tuhan sendirilah yang memeteraikan janji tersebut sehingga dalam perkawinan Katolik tidak ada perceraian sebab yang dipersatukan oleh Tuhan tidak bisa diceraikan manusia. Oleh sebab itu, suami ataupun istri memiliki perannya sendiri-sendiri untuk saling melengkapi satu sama lain.

Hasil akhir menunjukkan bahwa pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran masih kurang baik dalam mewujudkan janji perkawinannya. Walaupun hasil akhir menunjukkan bahwa secara umum mereka lebih banyak yang berusaha mewujudkan, namun kebanyakan persentasenya masih kurang dari 50%. Hasil ini berarti harus dijawab dengan sebuah program pendampingan pasutri yang sesuai dengan keadaan yang mereka alami. Sebenarnya paroki sudah mengusahakan sebuah pendampingan keluarga yakni dengan rekoleksi, namun pendampingan tersebut kurang tepat melihat jumlah pasutri tersebut terlalu banyak dan kesibukan mereka yang beragam.

Mengingat hal itu, penulis menyumbangkan suatu program katekese bagi pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Daerah Istimewa Yogyakarta.


(12)

ix

This thesis entitles THE REALIZATION OF MARRIAGE VOWS FOR MARRIAGE COUPLES IN THEIR 5-15 YEAR OF MARRIAGE FOR BUILDING THEIR MARRIAGE UNITY AT SACRED HEART OF JESUS’ PARISH, GANJURAN, YOGYAKARTA. For the newly married couple, marriage vows are still in the process of growing and maturing. Based on this situation, this thesis aims to help the newly married couple to strengthen their marriage vows. The core problem addressed in this thesis is the fact that the marriage vows among the newly marriage couples are not fully realized and actualized in their daily life. Therefore, there is a need for a thorough research which can enclose the facts on this problem. The research conducted in this thesis is meant for achieving the data of the newly married couples’ perspective on the marriage vow that they have professed during the holy matrimony. Further, this thesis also proposes an appropriate model for them.

Marriage is a holy union between a man and a women in God’s present. Marriage in Indonesia follows the religious rites of the couples. In Catholic marriage, marriage is identically related to the profession of marriage vows. Marriage vows have three promises. First, to promise to be a faithful couple in in good times and in bad, in sickness and in health. Second, to love and honor the bride all the days of my life. Third, to raise the children entrusted by God Himself in a Catholic way.

The final result of the research shows that married couple in their 5-15 year of marriage are still struggling to realize their marriage vows in the daily life. Those who are successfully realizing their marriage vows are less than 50 percent. It means that a supportive program is undeniably needed to help them. The parish have been working on this problem by giving accompaniment through recollection. However, this program does not give a satisfying result due to the lack of people who attend this program. Not many couples interest in this program as well.

Seeing this fact, the writer wants to contributeby giving a catechetical program for the married couple in their 5-15 years of marriage at Sacred Heart Parish, Ganjuran Yogyakarta.


(13)

x

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI

DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA

KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS

GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

Penyusunan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis akan perwujudan janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Bertolak dari keprihatinan tersebut, penulis menyusun skripsi ini dengan maksud agar tingkat perwujudan janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus dapat diketahui dan penulis dapat merekomendasikan jenis pendampingan yang sesuai berdasarkan situasi konkrit pasutri.

Penulis sungguh berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pasutri terutama pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran demi menjaga keutuhan perkawinan melalui perwujudan janji perkawinan dalam kehidupan perkawinannya.

Skripsi ini berhasil diselesaikan karena peran serta banyak pihak yang dengan tulus mengulurkan tangannya untuk membantu baik secara langsung ataupun tidak langsung. Penulis yakin, kemurahan hati banyak pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini merupakan kemurahan hati dan wujud kasih


(14)

xi

bantuan yang telah diterima penulis dalam bentuk apapun, penulis menyampaikan ucapan terimakasih. Ucapan terimakasih ini khususnya penulis sampaikan kepada: 1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed. selaku Kaprodi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

2. Dr. C.B. Kusmaryanto, S.C.J. selaku dosen pembimbing skripsi yang sungguh sabar, selalu memberikan semangat serta memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Drs. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji kedua yang telah dengan senang hati memberikan banyak masukan yang membangun dan sangat bermanfaat.

4. P. Banyu Dewa H.S., S.Ag., M.Si. selaku dosen penguji yang ketiga yang berkenan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi.

5. Segenap staf dosen dan karyawan prodi IPPAK yang telah memberikan semangat kepada penulis sehingga penulisan skripsi dapat berjalan lancar. 6. Ibuku tercinta yang dengan sabar menemaniku, mendoakanku, memberikan

semangat dan menjadi tempat mencurahkan segala suka maupun dukaku. 7. Romo Herman Yoseph Singgih Sutoro, Pr selaku Romo Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di paroki serta berkenan memberikan masukan demi kelancaran penulisan skripsi.


(15)

(16)

xiii

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAM PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Prakris ... 9

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. JANJI PERKAWINAN PASUTRI ... 13

A. Perkawinan ... 13

1. Perkawinan Secara Umum ... 13

2. Perkawinan Katolik ... 14

3. Tujuan Perkawinan ... 16

4. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan... 18


(17)

xiv

a. Perkawinan sakramen ... 22

b. Perkawinan non sakramen ... 23

B. Janji Perkawinan ... 24

1. Rumusan Janji Perkawinan ... 24

2. Makna Janji Perkawinan ... 27

a. Setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan ... 27

b. Selalu mencintai dan menghormati sepanjang Hidup ... 30

c. Bersedia menjadi Bapak/Ibu yang baik serta mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik ... 32

C. Perwujudan Janji Perkawinan ... 33

1. Arti Perwujudan Janji Perkawinan ... 34

2. Arah Perwujudan Janji Perkawinan ... 35

a. Menyadari, menghayati serta menghidupi peran sebagai seorang suami ataupun istri ... 35

b. Membangun komunikasi yang baik antara suami-istri ... 39

c. Menjadi anugerah bagi pasangan ... 40

3. Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan ... 43

4. Pentingnya Usaha Perwujudan Janji Perkawinan ... 45

a. Faktor intern ... 45

b. Faktor ekstern ... 46

5. Manfaat Perwujudan Janji Perkawinan ... 47

D. Keutuhan Keluarga ... 48

1. Pengertian Utuh ... 48

2. Pengertian Keutuhan Keluarga ... 49

BAB III. PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DIPAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 50


(18)

xv

2. Letak Geografis Paroki ... 57

3. Situasi Umum Umat Paroki ... 58

a. Situasi sosial ... 58

b. Situasi relasional ... 58

c. Situasi ekonomi ... 59

4. Pembagian Wilayah dan Lingkungan ... 60

5. Gambaran Umum mengenai keluarga dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun ... 62

B. Metodologi Penelitian ... 63

1. Penelitian ... 63

2. Latar Belakang Penelitian ... 64

3. Tujuan Penelitian ... 64

4. Jenis Penelitian ... 65

5. Metode Penelitian ... 65

6. Instrumen Penelitian ... 66

7. Responden Penelitian... 67

8. Tempat dan Waktu Penelitian ... 68

9. Variabel ... 68

C. Hasil Penelitian ... 69

1. Janji Perkawinan ... 70

2. Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 75

3. Keutuhan Perkawinan ... 79

D. Kesimpulan Hasil Penelitian... 81

1. Perwujudan Janji Perkawinan ... 80

2. Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 85

3. Keutuhan Perkawinan ... 88

E. Refleksi Kritis Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 90


(19)

xvi

a. Kebebasan Memilih Pasangan dan Rasa Cinta

terhadap Pasangan ... 90

b. Kesetiaan dalam Untung dan, Suka dan Duka, Sehat Maupun Sakit ... 92

c. Kesatuan antara Suami-istri ... 94

d. Perwujudan Cinta dan Menghormati Pasangan ... 95

e. Menjadi Orangtua yang Baik ... 97

2. Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 tahun di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 99

a. Kebiasaan Pasutri di rumah ... 99

b. Kebiasaan Pasutri di Lingkungan ... 102

c. Kebiasaan Pasutri di Paroki ... 102

F. Keutuhan Perkawinan ... 103

1. Hubungan antar Keluarga ... 103

2. Perhatian untuk Mengutamakan Keluarga... 104

BAB. IV USULAN PROGRAM PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 106

A. Latar Belakang Penyusunan Program ... 106

B. Katekese ... 107

C. Usulan Program ... 108

D. Rumusan Tema dan Tujuan ... 110

E. Penjabaran Program ... 111

F. Contoh Pelaksanaan Program Pendampingan Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki HKTY Ganjuran Bantul ... 114

1. Identitas... 114

2. Pemikiran dasar ... 115

3. Pengembangan langkah-langkah ... 116

BAB. V PENUTUP ... 128

A. Kesimpulan ... 128


(20)

xvii

2. Bagi para Pendamping Keluarga di Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran ... 131

a. Keterlibatan secara umum ... 132

b. Keterlibatan secara khusus ... 132

3. Bagi Romo Paroki... 133

a. Keterlibatan secara umum ... 133

b. Keterlibatan secara khusus ... 133

4. Bagi Para Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun .. 134

DAFTAR PUSTAKA ... 135

LAMPIRAN ... 137

Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian pada Romo Paroki ... (1)

Lampiran 2: Surat Permohonan Ijin Penelitian pada Ketua Lingkungan ... (2)

Lampiran 3: Surat Bukti Melaksanakan Penelitian ... (3)

Lampiran 4: Pedoman Wawancara dengan Ketua Dewan Paroki ... (4)

Lampiran 5: Rangkuman Hasil Wawancara dengan Ketua Dewan Paroki ... (5)

Lampiran 6: Contoh Kuesioner untuk Penelitian ... (7)

Lampiran 7: Contoh Hasil Kuesioner ... (10)

Lampiran 8: Kumpulan Lagu... (13)


(21)

xviii

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia dan Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes

Paulus II kepada uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes

Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman seluruh Gereja Katolik tentang peranan Keluarga Kristen dalam dunia modern, 22 November 1981.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II

tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan

oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 7 Desember 1983.


(22)

xix

Youcat : Youcat Indonesia-Katekismus Populer, disahkan oleh Paus

Benedictus XVI, tahun 2010. Dokumen asli diteritkan tahun 2010, R.D. Yohanes Dwi Harsanto, dkk. (Penerjemah).

C. Singkatan Lain

Art : Artikel

CB : Carolus Boromeus

CU : Credit Union

Dll : Dan lain-lain

DPA : Dosen Pembimbing Akademik

Dr : Doktor

Hal : Halaman

HKTY : Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

Ir : Insinyur

Kan : Kanon

KAS : Keuskupan Agung Semarang

KB : Keluarga Berencana

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

KK : Kepala Keluarga

Km : Kilo meter


(23)

xx Pasutri : Pasangan suami-istri

PHK : Pemutusan Hubungan Kerja

PNS : Pegawai Negri Sipil

POLRI : Kepolisian Republik Indonesia

PPK : Pedoman Pastoral Keluarga

Rm : Romo

SD : Sekolah Dasar

SJ : Serikat Jesus

SMA : Sekolah Menengah Atas

Sr : Suster

St : Santo/Santa

TNI : Tentara Nasional Indonesia


(24)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Perkawinan dapat dilihat secara umum maupun secara khusus, secara umum KWI (2011, 6) mengatakan “Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera”. Perkawinan juga dapat dilihat secara khusus melalui kacamata agama-agama yang ada. Secara Kristiani perkawinan merupakan sebuah konsensus atau kesepakatan. Selain itu perkawinan adalah salah satu wujud panggilan umat beriman Kristiani yang berasal dari Allah sendiri. Melalui perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan dipersatukan. Pemahaman ini selaras dengan arti dari kesepakatan perkawinan dalam KHK, kan. 1057 § 2

yang mengatakan bahwa “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”. Maka di dalam perkawinan ini terdapat janji yang mengikat dan mempersatukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Janji yang mengingkat seorang laki-laki dan seorang perempuan ini tidak dapat diputuskan karena melalui janji ini seorang laki-laki dan seorang perempuan dipersatukan oleh Allah menjadi satu daging. Janji perkawinan ini meliputi janji setia dalam


(25)

suka dan duka, untung dan malang, sehat maupun sakit serta menerima kekurangan dan kelebihan pasangan; mencintai dan menghormati seumur hidup; menjadi ayah/ibu yang baik untuk anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan dengan mendidik anak secara Katolik.

Janji perkawinan bersifat mengikat seumur hidup sehingga tidak selesai begitu saja ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan mengucapkannya saat saling menerimakan sakramen perkawinan ataupun saat pemberkatan perkawinan. Janji ini terus melekat pada suami-istri sampai selama-lamanya. Karena janji ini terus melekat, maka harus selalu dihidupi dalam penyelenggaraan hidup perkawinan sepasang suami-istri. Untuk menghidupi janji perkawinan inilah yang tidak mudah, karena jika sebuah perkawinan diibaratkan seperti sebuah bahtera pasti akan ada banyak badai dan gelombang yang melandanya. Oleh sebab itulah, maka perkawinan merupakan sebuah komitmen yang sangat penting (Smalley, 2008: 11).

Banyaknya badai yang melanda sebuah bahtera rumah tangga sangat berpengaruh terhadap penghayatan ataupun pemaknaan terhadap janji perkawinan yang pernah diucapkan sewaktu saling menerimakan sakramen perkawinan/pemberkatan perkawinan. Ada fase-fase/masa-masa dalam perkawinan berdasarkan usia perkawinan yang sudah dijalani. Pasutri (pasangan suami-istri) yang belum lama berumah tangga (0-5 tahun) biasanya berada dalam fase/masa romantis dengan cinta yang masih berkobar. Usia perkawinan antara 0-5 tahun berdasarkan materi kursus persiapan perkawinan berada dalam masa yang tidak realistis. Masa tidak realistis ini ditandai dengan gejala-gejala berumah


(26)

tangga yang dapat terlihat, antara lain: semua hal dalam rumah tangga dikerjakan secara bersama-sama, hal buruk/sifat buruk yang dimiliki sebisa mungkin tidak ditampakkan, semua masalah dapat diselesaikan dengan cepat, setiap hari bercinta dan bermesraan, berusaha menjadikan pasangan sesuai dengan yang diinginkan, selalu saling memahami kekurangan apapun yang dimiliki pasangan. Berbeda dengan pasutri yang usia perkawinannya berada pada tahun ke-6 hingga ke-25, pada masa ini pasutri biasanya masuk pada fase kekecewaan hingga kebosanan. Pasutri dengan usia perkawinan 6-25 tahun harus benar-benar merefleksikan segala yang dialami dan selalu berpedoman pada janji perkawinan yang mereka ucapkan karena ketika tidak bisa bersikap bijaksana sebagai seorang suami maupun istri, bahtera rumah tangga yang telah dibangun bisa hancur menabrak karang dan karam. Sedangkan pasutri yang berada pada usia perkawinan di atas 25 tahun biasanya sudah masuk dalam masa berhasil mengatasi situasi yang kurang baik (KWI, 2011: 77-78).

Janji perkawinan selalu berlaku dalam situasi dan kondisi apapun, termasuk dalam kondisi perkawinan yang sedang mengalami surut. Janji perkawinan menuntun setiap pasangan suami-istri dalam menghidupi perkawinannya. Keegoisan yang terbangun di saat masing-masing pribadi masih lajang sering dibawa dan diterapkan dalam situasi hidup berumah tangga yang tentu saja tidak tepat. Hal-hal semacam inilah yang sering menjadi bibit-bibit perpecahan dalam kesatuan antara suami dan istri. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan membangun sikap mau mengerti dan mau menerima satu sama lain, apapun yang ada dan melekat dalam diri pasangan diterima dengan


(27)

rela hati merupakan salah satu upaya terhindar dari konflik (Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” KAS, 2007: 75).

Janji perkawinan diibaratkan seperti kerangka dalam menulis sebuah karangan dan kerangka dalam membangun sebuah bangunan. Ketika seorang penulis menulis di luar kerangka yang telah dibuat, maka tulisan tersebut tidak akan menjadi indah. Sama halnya seorang tukang bangunan yang hendak membangun sebuah rumah, ketika ia membangun rumah itu di luar kerangkanya, maka rumah itu tidak akan kokoh. Dalam sebuah perkawinan, janji adalah kerangka yang menjadi gambaran dalam menjalani sebuah perkawinan. Perubahan zaman yang sangat cepat mengakibatkan pola hidup juga berubah. Di zaman yang serba modern dan cepat ini mengakibatkan gaya hidup instan menjadi gaya hidup yang “ngetren” dan banyak dianut oleh masyarakat modern. Zaman yang semakin canggih ini membawa berbagai macam tantangan zaman dan mempengaruhi tingkah laku banyak orang termasuk di dalamnya pasutri yang membina biduk perkawinan. Hal ini selaras dengan yang ada dalam FC, art.4 yang berbunyi:

Perlu ditambahkan refleksi lebih lanjut yang secara khas penting bagi masa kini. Tidak jarang berbagai ide dan pemecahan soal yang menarik sekali, tetapi dengan kadar yang berbeda-beda mengeruhkan kebenaran tentang pribadi manusia serta martabatnya, disajikan kepada pria maupun wanita zaman sekarang, sementara mereka secara tulus dan mendalam mencari jawaban soal-soal harian yang penting berkenaan dengan hidup pernikahan dan keluarga mereka. Kerap kali pandangan-pandangan itu didukung oleh koordinasi media komunikasi sosial yang besar dampak-pengaruhnya dan cukup “meyakinkan”, tetapi secara halus membahayakan kebebasan dan kemampuan menilai secara obyektif.

Tantangan zaman yang ada saat ini tidak secara nyata menampakkan diri namun menempel dalam hal-hal yang kelihatannya baik dan dengan cerdik mengambil kesempatan untuk mempengaruhi manusia untuk melakukan hal-hal yang


(28)

kelihatannya benar. Ketika seseorang tidak dapat mengendalikan diri dan hanyut dalam tantangan-tantangan zaman tersebut maka akan menyebabkan kehidupan seseorang tidak akan mendalam lagi dan akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, termasuk kehidupan perkawinannya.

Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa Paroki HKTY (Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran) adalah sebuah paroki yang besar, tidak hanya wilayahnya namun juga jumlah umatnya sangat besar. Di antara jumlah umat yang besar ini, sebagian besar di antaranya memilih panggilan hidup berumah tangga. Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran merupakan sebuah Paroki yang umatnya sudah bergaya hidup modern dan rentan terseret dalam tantangan zaman sehingga pada akhirnya bisa membawa dampak yang negatif pada kehidupan perkawinan terlebih perkawinan yang masuk dalam fase/masa yang banyak mengalami kekecewaan serta kebosanan. Akibat yang lebih buruk lagi dapat mengakibatkan keretakan ataupun kehancuran dalam hidup perkawinan. Berdasarkan observasi yang dilakukan dapat diketahui adanya gejala perilaku pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun yang bisa menjadi bibit-bibit permasalahan hidup berumah tangga dan mengancam keutuhan perkawinan. Gejala perilaku ini misalnya seperti tidak pernah pergi ke gereja bersama, sibuk dengan masing-masing pekerjaan, tidak adanya waktu makan bersama, dll. Usia perkawinan ini (6-15 tahun) masuk dalam fase/masa krisis, sedangkan secara khusus usia perkawinan 5 tahun di Paroki HKTY masuk dalam masa peralihan dari masa romantis menuju masa krisis. Gereja (khususnya sebagai katekis ataupun calon katekis) mempunyai tugas khusus yang diemban, hal ini selaras dengan KHK, kan. 210 yang mengatakan


(29)

bahwa “Semua orang beriman Kristiani sesuai dengan kedudukan khasnya, harus mengerahkan tenaganya untuk menjalani hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya yang berkesinambungan”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang beriman Kristiani pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang tidak mudah untuk selalu menjalani hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya. Ini berarti kekhasan kedudukan setiap orang beriman Kristiani apapun itu harus dihidupi dan dibawa serta diarahkan untuk perkembangan Gereja. Kekhasan kedudukan setiap umat beriman Kristiani ini menyangkut segala profesi yang dijalani termasuk sebagai seorang katekis maupun calon seorang katekis. Sebagai calon seorang katekis berarti harus mampu menghayati dan menghidupi panggilannya. Cara untuk menghidupi panggilan ini bermacam-macam salah satunya dengan terlibat dalam perkembangan Gereja. Hal yang mendesak berdasarkan pengamatan yang dilakukan adalah adanya gejala-gejala perilaku pasutri (5-15 tahun) yang perlu mendapatkan perhatian khusus.

Berpijak dari pemikiran inilah, perhatian khusus bagi pasutri yang usia perkawinannya 5-15 tahun harus segera diwujudkan secara nyata. Untuk mewujudkan perhatian ini tidaklah mudah terlebih untuk menentukan perhatian apa yang paling tepat bagi mereka karena gambaran kehidupan perkawinan mereka terlebih dalam menghayati janji perkawinan belum bisa dilihat dengan pasti. Untuk melihat gambaran perkawinan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun ini diperlukan sebuah penelitian. Melalui skripsi ini diharapkan ada sebuah gambaran yang jelas mengenai perwujudan janji perkawinan yang sudah


(30)

dilakukan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY yang selama ini sudah terjadi sehingga perhatian pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun bisa segera diwujudkan atau bisa lebih ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehingga keutuhan perkawinan akan tercapai. Keutuhan perkawinan inilah yang membawa kebahagiaan dalam hidup berkeluarga. Oleh karena itu penulis mengangkat judul skripsi PERWUJUDAN JANJI

PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI DENGAN USIA

PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN

PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN,

BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam hal ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan janji perkawinan?

2. Bagaimana kehidupan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran?

3. Bagaimana usaha pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran dalam mewujudkan janji perkawinan?

4. Kegiatan seperti apa yang dapat membantu pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran dalam mewujudkan janji perkawinan mereka?


(31)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini berdasarkan judulnya “Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasangan Suami-Istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun Demi Menjaga Keutuhan Perkawinan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta” yaitu:

1. Mendalami maksud janji perkawinan

2. Menggambarkan bagaimana kehidupan pasutri dengan usia 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran.

3. Menggambarkan sejauh mana perwujudan janji perkawinan serta mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi pada pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran.

4. Memberikan usulan program yang berupa kegiatan pendampingan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran agar pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun (keluarga madya) semakin mampu mewujudkan janji perkawinan mereka.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoristis

Hasil penelitian mengenai “Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasangan Suami-Istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun demi Menjaga Keutuhan Perkawinan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta” diharapkan bisa menambah juga memperkaya kajian


(32)

mengenai penghayatan janji perkawinan pada pasutri, khususnya pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang pentingnya perwujudan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga.

b. Membantu pasutri (khususnya pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun) yang berada dalam Paroki HKTY Ganjuran untuk menyadari pentingnya mewujudkan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga.

c. Memberikan sumbangan pada Paroki HKTY Ganjuran agar para penggembala umat di sana dapat memiliki gambaran mengenai program yang sesuai untuk pendampingan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun.

E. Metode Penulisan

Dalam tugas akhir ini penulis menggunakan metode penulisan deskriptif-analisis. Teknis dalam penggunaan metode ini pertama-tama penulis hendak mendalami perkawinan secara Katolik beserta janji yang diucapkan, lalu menggali perwujudan janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran. Penulis ingin mengetahui sejauh mana janji perkawinan itu diwujudkan oleh pasutri dan hambatan-hambatan apa sajakah yang sering ditemui dalam mewujudkan janji perkawinan terutama pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran. Setelah itu, berpedoman pada data yang diperoleh itulah penulis hendak mengusulkan program pendampingan


(33)

yang menjawab kebutuhan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan keadaan dan kesibukannya.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai skripsi yang hendak ditulis, maka penulis membagi pokok-pokok tulisan sebagai berikut:

Bab I berisi Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II menguraikan tentang Janji Perkawinan yang di dalamnya terdiri dari lima bagian yaitu yang pertama adalah Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Perkawinan secara Umum, Perkawinan Katolik, Tujuan Perkawinan, Ciri-ciri Hakiki Perkawinan, Hakikat Perkawinan, Perkawinan yang Sakramen dan Non Sakramen. Kedua adalah Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Rumusan Janji Perkawinan, Makna Janji Perkawinan. Ketiga adalah Perwujudan Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Arti Perwujudan Janji Perkawinan, Arah Perwujudan Janji Perkawinan, Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan, Pentingnya Usaha Mewujudkan Janji Perkawinan, Manfaat Mewujudkan Janji Perkawinan. Keempat adalah Keutuhan Keluarga, diuraikan lagi menjadi Keutuhan, Keutuhan Keluarga.

Bab III menguraikan tentang Pasangan Suami-istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang terdiri


(34)

dari lima bagian, yang pertama adalah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Yogyakarta, diuraikan lagi menjadi Sejarah Paroki, Letak Geografis Paroki, Situasi Umum Umat Paroki, Pembagian Wilayah dan Lingkungan, Gambaran Umum mengenai Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun. Kedua adalah Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Penelitian, Latar Belakang Penelitian, Tujuan Penelitian, Jenis Penelitian, Metode Penelitian, Instrument Penelitian, Responden Penelitian, Tempat dan Waktu Pelaksanaan, Variabel. Ketiga adalah Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan Keutuhan Perkawinan. Keempat adalah Kesimpulan Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan Keutuhan Perkawinan. Kelima adalah Refleksi Kritis Perwujudan Janji Perkawinan Pada Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Perwujudan Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dan Keutuhan Perkawinan.

Bab IV berisi tentang Usulan Program Pendampingan Keluarga Katolik Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang terbagi dalam enam bagian. Pertama adalah Latar Belakang Penyusunan Program, kedua adalah Katekese, ketiga adalah Usulan Program, keempat adalah Rumusan Tema dan Tujuan, kelima adalah Penjabaran Program, keenam adalah Contoh Pelaksanaan Program


(35)

Pendampingan Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Yogyakarta.

Bab VI berisi tentang Penutup yang terdiri dari tiga bagian, yang pertama adalah Kesimpulan. Kedua adalah Saran yang masih dibagi lagi menjadi Bagi Para Pendamping, Keluarga pada Umumnya, Bagi Para Pendamping Keluarga di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bagi Romo Paroki, Bagi Para Pasangan Suami-istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun. Ketiga adalah Penutup secara Umum.


(36)

BAB II

JANJI PERKAWINAN PASUTRI

A. Perkawinan

1. Perkawinan secara Umum

Secara umum perkawinan bertujuan menyatukan dua pribadi untuk membentuk sebuah keluarga baru yang bahagia dan juga sejahtera. Hal senada dengan UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN yang berbunyi

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti perkawinan secara umum dilihat sebagai ikatan lahir batin (persatuan) antara pria dan seorang wanita dalam segala segi kehidupannya baik secara lahir ( kelihatan) ataupun batin (tidak kelihatan). Kesatuan ini juga menerangkan kesatuan seluruh pribadi dan seluruh hidup. Dari pernyataan ini juga dapat kita lihat dengan jelas bahwa di Negara Indonesia hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta tidak mengakui adanya perkawinan homogen antara sesama jenis kelamin. Perkawinan di Indonesia juga akan menjadi sah bila dilangsungkan berdasarkan tata cara agama pelaku perkawinan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu). Bahagia dan kekal berarti tujuan dari perkawinan itu adalah kebahagiaan dan sifat dari perkawinan itu adalah kekal/seumur hidup. Arti kekal lebih luas lagi sebenarnya negara pun tidak mendukung tindakan perceraian walaupun bisa dilakukan.


(37)

2. Perkawinan Katolik

Sejak kapankah perkawinan itu ada di dalam Gereja Katolik? Pertanyaan ini memiliki jawaban yang tidak sederhana karena kita harus melihat kembali kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian Kitab Suci Perjanjian Lama. Dari kisah penciptaan Kej 2:21-22 ditulis:

Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.

Dari perikop tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dari sejak semula laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai satu daging. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki sehingga memang ada kesatuan antara laki-laki dan perempuan. Kesatuan itulah yang membuat laki-laki dan perempuan saling membutuhkan. Tuhan Allah menciptakan perempuan sebagai patner yang seimbang untuk laki-laki. Laki-laki dan perempuan saling melengkapi dalam melaksanakan kehidupan sesuai dengan kodradnya yang khas, fungsi ini sama dengan fungsi kesatuan antara laki-laki dengan perempuan dalam perkawinan Katolik yang kita kenal saat ini. Bedanya jika kesatuan antara laki-laki dan perempuan dalam kisah penciptaan lebih difungsikan sebagai teman dalam melaksanakan kehidupan yang paling mendasar (mempertahankan hidup dan merawat ciptaan Tuhan), sedangkan kesatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan saat ini mencakup segala segi kehidupan yang lebih luas sesuai dengan perkembangan zaman (di dalamnya mencakup kewajiban mendidik anak dan sebagainya).


(38)

Perkawinan merupakan sebuah kesepakatan, hal ini selaras dengan KHK, kan. 1057 § 2 “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”. Jadi jelaslah bahwa perkawinan merupakan sebuah kesepakatan yang di dalamnya terdapat penyerahan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta sikap terbuka untuk saling menerima kehadiran pasangan seluruhnya tanpa syarat dalam hidup perkawinan dengan perjanjian yang tidak dapat dibatalkan lagi/ditarik lagi. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali sebab menyangkut 3 pihak yakni seorang laki-laki, seorang perempuan dan Allah sendiri yang menjadi pengikat perjanjian tersebut. Karena alasan ini pula perkawinan Katolik merupakan sebuah proses yang panjang mulai dari masa persiapan, pelaksanaan hingga pasca perkawinan. Hal ini juga senada dengan yang ada dalam GS, art. 48 yang berbunyi:

Allah sendirilah penyelenggara perkawinan yang dilengkapi dengan

berbagai nilai dan tujuan …. Cinta kasih suami istri yang sejati diangkat

sebagai sakramen dalam cinta kasih ilahi dan dipimpin serta diperkaya oleh daya penyelamat Kristus dan karya keselamatan Gereja, agar suami istri diantar kepada Allah untuk mendapatkan kasih karunia dan kekuatan dalam tugas luhur sebagai ayah dan ibu.

Jadi penyelenggara perkawinan adalah Allah sendiri, perkawinan yang didasari cinta kasih ini oleh Allah diangkat dalam cinta kasih yang ilahi, cinta kasih yang ilahi adalah cinta kasih yang paling tinggi dan sempurna. Dalam perkawinan Katolik, Kristus sendirilah yang memimpin dan menuntun perkawinan. Dia melengkapi celah-celah dalam perkawinan, selain daya Kristus, karya keselamatan Gereja juga menjadi bagian di dalamnya. Perkawinan adalah sebuah


(39)

jawaban yang luhur manusia terhadap panggilan Allah. Dari sejak dahulu perkawinan merupakan sebuah hal yang sakral dan harus selalu dihayati dan dihidupi. Banyak perikop di dalam Kitab Suci yang berbicara mengenai perkawinan. Dalam Injil Yoh 15:9-12, ada sebuah pesan inti yang sangat baik yakni “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu”. Kasih sangat dekat dengan hubungan suami-istri dalam perkawinan. Kasih pulalah yang menjadi dasar bagi kehidupan orang Kristiani. Selain Injil Yohanes masih ada banyak perikop lain yang berbicara mengenai perkawinan.

Perkawinan Katolik memiliki kekhasan yang menyebabkannya berbeda dengan perkawinan pada umumnya. Kekhasan ini adalah perkawinan Katolik diteguhkan dalam tata-peneguhan kanonik (forma canonica) dan perkawinan Katolik merupakan sebuah sakramen.

3. Tujuan Perkawinan

Sebuah hal dilakukan pasti memiliki sebuah tujuan tertentu. Misalnya saja sebuah organisasi dibangun dengan merumuskan tujuan organisasi yang hendak dicapainya dan yang menjadi alasan mengapa organisasi tersebut ada. Hal ini tidak berbeda dengan sebuah perkawinan. Perkawinan diselenggarakan karena ada tujuan tertentu yang hendak dicapai. KHK, kan. 1055 mengatakan bahwa:

§1. Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.


(40)

Jadi pada intinya, perkawinan itu memiliki tiga tujuan yang utama yakni kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum), terbuka terhadap keturunan (prokreasi) serta pendidikan anak. Bonum coniugum atau kesejahteraan suami-istri dapat tercapai jika masing-masing pribadi menghargai dan menempatkan pasangan hidup sebagai patner cinta kasih dalam mewujudkan keluarga yang baik dan harmonis. Kesejahteraan suami istri ini berlandaskan cinta kasih yang semakin hari hendaknya semakin diteguhkan dan semakin dipupuk agar tumbuh subur. Menjadi suami-istri berarti menjadi satu pribadi sehingga hendaknya masing-masing pribadi bisa menjadi belahan jiwa bagi pasangannya. Bonum prolis adalah kelahiran baru/terbuka terhadap keturunan. Dalam sebuah perkawinan Katolik, suami-istri memiliki tugas yang luhur untuk melestarikan kehidupan dengan terbuka terhadap kelahiran baru. Terbuka terhadap keturunan inilah yang menjadi alasan utama Gereja menolak alat kontrasepsi dalam wujud apapun. Gereja hanya melegalkan KB alamiah berdasarkan siklus alami perempuan. Tujuan perkawinan dalam Gereja Katolik tidak berhenti pada kelahiran baru. Perkawinan yang terbuka bagi kelahiran manusia baru tersebut harus pula disertai dan dilanjutkan dengan pendidikan anak sebab keluarga adalah tempat yang pertama dan utama dalam mendidik anak. Sebelum anak berinteraksi dengan dunia luar, ia berinteraksi terlebih dahulu dengan keluarganya. Keluarga merupakan instansi pendidikan non formal yang memberikan jati diri pada anak untuk dibawa hingga mati. Keluargalah yang paling banyak membentuk pribadi dan kualitas pribadi seorang anak. Sebuah keluarga yang menanamkan nilai kasih pada anak sejak kecil maka anak tersebut akan tumbuh pula dengan kasih yang


(41)

akan dibagikannya pada setiap pergaulannya. Hal tersebut juga berlaku untuk sikap-sikap negatif yang mungkin dibentuk oleh keluarga pada seorang anak.

4. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan

Perkawinan Katolik adalah sebuah perkawinan yang khas terlebih dilihat dari ciri-ciri hakikinya. Kekhasan inilah yang membedakan perkawinan Katolik dengan perkawinan lain dan menyebabkan perkawinan Katolik tidak bisa dibandingkan dengan perkawinan lain. Kekhasan perkawinan Katolik ini diungkapkan dalam KHK, kan.1056 yang berbunyi “Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen". Jadi, ciri-ciri perkawinan Katolik adalah unitas dan indissolubilitas. Ciri-ciri perkawinan ini bisa dijabarkan kembali menjadi monogami, tak terceraikan dan terbuka bagi keturunan. Monogami artinya perkawinan hanya bisa dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan saja. Perkawinan yang monogami berarti jumlah suami/istri hanya satu selama kurun waktu perkawinan (sampai salah satu suami/istri meninggal). Perkawinan monogami menjaga keutuhan cinta dan tidak pernah membagi-baginya. Selain tidak membagi-bagi cinta, perkawinan monogami juga mencerminkan kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan. Tak terceraikan menggambarkan cinta kasih Allah kepada umat-Nya yang berlangsung terus menerus sampai selamanya. Sifat tak bisa diceraikan ini juga dapat dilihat sebagai kekhasan perkawinan kristiani yang membedakan dengan perkawinan lainnya.


(42)

Hubungan suami-istri juga harus berpolakan sama seperti hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Hal ini senada dengan perikop Kitab Suci dalam Ef 5:22-23 yang berbunyi:

Hai isteri, tunduklahkepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya..

Suami diibaratkan seperti Kristus yang harus terus menerus mengasihi jemaat. Istri diibaratkan sebagai jemaat yang harus menghormati suaminya seperti jemaat yang harus menghormati Kristus yang terlebih dahulu mencintainya. Hubungan Kristus dengan jemaat yakni hubungan yang didasarkan pada cinta kasih yang terus menerus tanpa terputus hingga maut memisahkan sehingga dalam perkawinan Katolik tidak mengenal kata cerai. Perkawinan merupakan salah satu panggilan luhur terhadap tugas menjaga kelangsungan hidup. Suami-istri dipanggil oleh Allah untuk saling bekerjasama menciptakan kehidupan baru yang membawa harapan bagi kelangsungan dunia. Alasan ini pulalah yang menyebabkan Gereja Katolik dengan keras menolak aborsi, sebab kehidupan baru mestinya dipelihara. Ciri-ciri perkawinan ini menunjuk pada semua jenis perkawinan sakramen ataupun bukan sakramen.

5. Hakikat Perkawinan

Perkawinan Katolik pada intinya atau hakikatnya adalah persatuan seluruh hidup antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berpegang pada perjanjian cinta kasih dengan pasangan dan Allah dengan maksud mencapai


(43)

kebahagiaan serta kesejahteraan bersama. I Ketut Adi Hardana dalam Persiapan Kursus Perkawinan (2010: 10) menuliskan beberapa inti/hakikat dalam perkawinan, yaitu:

 Perkawinan adalah sebuah perjanjian. Istilah perjanjian atau kesepakatan mau membarui istilah hukum: “kontrak”. Kata “Perjanjian” dipilih karena lebih bernuansa rohani yang mengingatkan akan perjanjian antara Allah dan manusia yang bernuansa cinta kasih.

 Bentuk perkawinan: perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup antara pria dan wanita. Persekutuan seluruh hidup ini menyangkut: kesatuan hati dan perasaan walaupun mereka adalah dua pribadi yang berbeda; tempat tinggal, artinya tinggal di rumah yang sama; kesatuan ekonomi atau keuangan, artinya penghasilan dan pendapatan antara suami-istri disatukan dan dikelola secara bersama demi kesejahteraan seluruh keluarga; kesatuan badan yang diungkapkan dalam hubungan seks antara suami-istri.

 Subyek yang mengadakan perkawinan itu adalah seorang pria dan seorang wanita yang sungguh-sungguh; artinya pria dan wanita yang normal, baik secara fisik maupun psikis. Karena itu, Gereja Katolik menolak mengakui keabsahan perkawinan antara dua orang yang sesama jenis atau antara orang yang melakukan pergantian kelamin.

 Dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta kasih yang tampak dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Secara yuridis, persetujuan bebas itu menjadi prasyarat dari sebuah perjanjian perkawinan yang sah.  Tujuan dari sebuah perkawinan: kebahagiaan bersama suami-istri dan

keluarga dalam seluruh aspek hidupnya serta kelahiran dan pendidikan anak.

 Dalam Gereja Katolik, hakikat perkawinan dipahami secara lebih mendalam sebagai Sakramen yaitu ikatan cinta mesra dalam hidup bersama antara suami dan istri yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi dengan hukum-hukum-Nya yang menampakkan cinta kasih Allah kepada umat-Nya (GS, 48).

Berdasarkan beberapa hakikat perkawinan yang ditulis oleh Timotius I Ketut Adi Hardana tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sehubungan dengan hakikat/inti perkawinan. Perkawinan pada masa lalu diistilahkan sebagai sebuah kontrak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Istilah kontrak saat ini diganti dengan istilah janji dengan alasan lebih bernuansa rohani, selain alasan tersebut istilah janji sudah sering kita jumpai dalam Kitab Suci, baik Perjanjian


(44)

Lama maupun Perjanjian Baru sehingga kita dapat dengan baik mengistilahkan kata janji tersebut dalam perkawinan terlebih janji dalam perkawinan tidak jauh berbeda dengan istilah janji dalam Alkitab yang melibatkan Allah sebagai pengikat janji. Perkawinan merupakan sebuah bentuk persekutuan seluruh hidup dan seumur hidup. Dalam perkawinan segala sisi yang ada pada seorang laki-laki maupun seorang perempuan tidak terkecuali melebur menjadi satu dan membentuk persekutuan hidup bersama yang hanya dapat dipisahkan oleh Allah dengan adanya maut. Gereja Katolik tidak mendiskriminasi pribadi yang memiliki kelainan seksual seperti homoseksual melainkan justru menerima dan memberikannya tempat. Sikap mau menerima pribadi yang memiliki kelainan homoseksual bukan berarti setuju serta menerima perkawinan sesama jenis ataupun perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan perempuan namun salah satunya sudah melakukan operasi pergantian kelamin. Gereja Katolik menolak karena sudah melanggar keluhuran ciptaan Tuhan dan kodrat sebagai seorang laki-laki maupun seorang perempuan. Ada berbagai ketentuan yang mengawali sebuah perkawinan, salah satu yang mutlak adanya unsur kebebasan yang dimiliki masing-masing pribadi sebelum melangsungkan perkawinan. Keterpaksaan menjadikan perkawinan yang dilangsungkan secara Katolik menjadi tidak sah (Rubiyatmoko, 2011: 80).

Perjanjian dalam perkawinan juga memiliki tujuan dalam melangsungkan kehidupan bersama, tujuan dari perkawinan secara umum adalah kesejahteraan pasangan dan pendidikan anak. Ada 7 (tujuh) sakramen dalam Gereja Katolik dan salah satunya adalah Sakramen Perkawinan. Perkawinan bisa menjadi sebuah


(45)

Sakramen jika dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang telah dibabtis secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang salah satunya dibabtis secara Katolik dengan orang yang pembabtisannya diterima secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang pembabtisannya diterima secara Katolik, sehingga dalam perkawinan Katolik ada 2 (dua) jenis perkawinan, yakni perkawinan yang sakramen dan yang non sakramen (KWI, 2011: 8-10).

6. Perkawinan yang Sakramen dan Non Sakramen

Perkawinan dalam Gereja Katolik dibedakan menjadi dua, yakni perkawinan yang sakramen dan yang bukan sakramen (non sakramen).

a. Perkawinan sakramen

Perkawinan disebut sakramen apabila dilangsungkan oleh dua orang yang dibabtis hal ini selaras dengan yang ada dalam KHK, kan. 1055§ 2 “Karena itu antara orang-orang yang dibabtis, tidak ada kontrak perkawinan sah yang tidak sendirinya sakramen”. Jadi perkawinan yang dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang telah dibabtis secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang salah satunya dibabtis secara Katolik dengan orang yang pembabtisannya diterima secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang pembabtisannya diterima secara Katolik secara langsung diangkat menjadi sakramen. Perkawinan yang sakramen menjadi gambaran dari pengambilan bagian dalam persatuan kasih abadi antara Kristus dengan Gereja-Nya. Ini yang membedakan Sakramen Perkawinan dengan sakramen yang


(46)

lainnya. Sakramen Perkawinan bukan diterima dari Imam atau dari pelayan Gereja serta siapapun itu, namun Sakramen Perkawinan saling diterimakan oleh pasangan melalui janji perkawinan yang mereka ucapkan. Janji perkawinan juga merupakan janji yang diucapkan kepada Allah dan juga Injil Suci.

b. Perkawinana non sakramen

Perkawinan non sakramen adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang yang dibabtis secara Katolik dan yang tidak dibabtis. Perkawinan non sakramen bisa dilangsungkan dalam Gereja Katolik dan sah. Hal ini selaras dengan yang ada dalam KWI (2011: 8-10) yang mengatakan bahwa “Secara yuridis perkawinan antara seorang yang dibabtis secara Katolik adalah sah jika diteguhkan dengan forma canonica (di depan pejabat Gereja Katolik dan dua orang saksi), namun bukanlah sakramen”. Karena salah satu pasangan tidak dibabtis maka tidak bisa disebut saling menerimakan sakramen”. Jadi jelaslah ada perbedaan antara perkawinan orang yang keduanya dibabtis secara Katolik dan hanya salah satu yang dibabtis secara Katolik. Perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya dibabtis secara Katolik akan membawa dampak sakramen pada perkawinannya, sedangkan perkawinan yang dilangsung antara seorang laki-laki dan perempuan yang hanya salah satunya saja yang dibabtis secara Katolik maka perkawinan tersebut bukanlah sakramen. Namun yang perlu diingat adalah kedua perkawinan tersebut sah karena diteguhkan di depan pejabat Gereja Katolik dan dua orang saksi. Jadi jelas bahwa tidak semua perkawinan yang dilakukan secara Katolik adalah sakramen.


(47)

B. Janji perkawinan

1. Rumusan Janji Perkawinan

Janji perkawinan memiliki rumusan yang di dalamnya memperlihatkan kesediaan untuk menjadi satu bukan hanya satu daging namun satu roh hal ini selaras dengan rumusan yang direkomendasikan oleh Komisi Liturgi Keuskupan Se-Regio Jawa Plus Tanjungkarang (2009: 17) yang berbunyi:

MP: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini, saya … MP memilih engkau … MW menjadi istri saya.

Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya.

MW: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini

saya, … MW memilih engkau MP menjadi suami saya.

Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya. Pada intinya, dalam janji perkawinan ada 3 janji pokok. Janji yang pertama ialah janji untuk setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan. Janji yang kedua adalah selalu mencintai dan menghormati sepanjang hidup. Janji yang ketiga yang selalu melekat pada kedua janji tersebut dan sering dilupakan oleh pasutri adalah bersedia menjadi Bapak/Ibu yang baik serta mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik. Saat ini banyak sekali orang tua yang mempercayakan seluruh pendidikan anaknya pada sekolah tempat mereka belajar. Rumusan kalimat perjanjian dalam perkawinan dikembangkan berdasarkan/bersumber dari Kitab Perjanjian Lama bukan sekedar karangan spontanitas dari manusia. Oleh karena itu memiliki makna yang mendalam. Agung Prihartana dalam bukunya Menjadi Anugerah Bagi Pasangan (2009: 85)


(48)

merumuskan akar kata dalam janji perkawinan dengan membandingkannya dengan Kitab Hos 2:18-19 dalam sebuah tabel:

Janji Perkawinan (sekarang)

Janji Allah-Israel (Hosea 2:18-19) di hadapan imam, para

saksi dan saudara-saudari yang hadir,

Aku akan mengikat perjanjian

bagimu… Aku akan menjadikan

saya (nama) menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa engkau (nama) mulai sekarang menjadi suami/istri saya

engkau isteriKu untuk selama-lamanya

Saya berjanji akan setia kepadamu baik dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat maupun sakit

dan Aku akan menjadikan engkau IsteriKu dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang.

Aku akan menjadikan engkau istri-Ku dalam kesetiaan

Saya berjanji akan menjadi ayah/ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya, dan saya akan mendidiknya menjadi orang katolik yang setia

Sehingga engkau akan mengenal TUHAN

Dari tabel tersebut dapat kita ketahui bahwa rumusan kata dalam janji perkawinan berakar dari Kitab Hos 2:18-19. Janji tersebut merupakan janji yang diucapkan oleh Allah sendiri untuk orang Israel. Hal tersebut berarti bahwa tidaklah mengada-ada bila perkawinan disebut sebagai sebuah sakramen karena berasal dari Allah sehingga janji perkawinan memuat kesakralan yang mengikat seumur hidup sebab Allah adalah Allah yang setia terhadap janji-Nya. Ketika janji perkawinan sudah diucapkan maka membawa dampak kesetiaan pula dalam pemenuhannya. Dari kitab Hosea ini, terlebih ketika dilihat dalam ayat sebelumnya yakni Hos 2:17, nampak Allah memang telah mengikat perjanjian kepada Israel dan menjadikannya istri-Nya. Allah telah menjanjikan

bermacam-berak ar


(49)

macam hal untuk mensejahterakan istri-Nya dan untuk melindungi serta membahagiakan istri-Nya. Perjanjian yang dilakukan oleh Allah ini juga memiliki saksi yakni bintang-bintang di padang, burung-burung di udara serta binatang-binatang melata di bumi. Dalam ikatan perjanjian ini juga ada sebuah komunikasi yang baik yang diibaratkan Allah dengan Aku akan mendengarkan langit dan langit akan mendengarkan bumi. Rumusan perjanjian dalam Kitab Suci Perjanjian Lama juga akan banyak ditemukan dalam Kitab-Kitab lain, misalnya dalam Yeh 16:60,62; Yes 54:6-8; dan lain-lain.

Dalam seluruh perjanjian Allah kepada Israel, Tuhan Allah menjadikan Israel sebagai istri-Nya dan mengasihinya sepanjang waktu. Allah selalu setia terhadap janji-Nya itu dan terus mengasihi istri-Nya dengan nyata lewat pertolongan-Nya serta lewat belah kasih-Nya yang selalu memaafkan kesalahan Israel walaupun berulang kali Israel berselingkuh dari diri-Nya. Rumusan janji perkawinan adalah inti dari sakramen perkawinan dan ketika laki-laki serta perempuan mengucapkan janji tersebut maka saat itu juga seorang laki-laki menyerahkan dirinya sebagai suami kepada istrinya dan seorang perempuan menyerahkan dirinya sebagai istri kepada suaminya (Agung Prihartanta, 2009: 84). Penyerahan diri ini tidak bisa ditarik kembali dan berlaku untuk seumur hidup karena sifat perjanjian ini sama dengan sifat perjanjian Kristus dengan mempelai-Nya yakni Gereja. Oleh sebab itu perkawinan di dalam Gereja Katolik tidak dapat diceraikan. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan mengapa proses perkawinan dalam Gereja Katolik sangat mendetail sehingga prosesnya membutuhkan waktu yang lama.


(50)

2. Makna Janji Perkawinan

Kesatuan antara perkawinan bukan hanya soal “kontrak” atau janji saja (Iman Katolik, 1996: 436). Perkawinan melebihi makna kata kontrak ataupun janji namun dalam Gereja Katolik sekarang menggunakan istilah janji yang lebih mendalam tafsirannya daripada kontrak.

a. Setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan

Kesetiaan dalam janji ini maknanya bukan hanya untuk tidak melirik pria/wanita lain. Setia di dalam janji ini maknanya lebih luas yakni setia untuk berpartisipasi dalam setiap perasaan dan keadaan pasangan. Menjadi suami-istri artinya menanggapi panggilan untuk saling menyempurnakan. Bila pasangan cerewet, pelupa, tidak bisa masak maka tetap harus diterima dan dicintai (Didik Bagiyowinadi 2006: 25). Ketika seseorang berbisnis, dia akan sangat senang ketika memperoleh keuntungan. Keuntungan yang ia dapatkan akan sangat mudah ia syukuri dan akan sangat mempengaruhi perilakunya terhadap orang lain (terlebih orang-orang terdekatnya) sehingga orang lain pun akan merasakan kebahagiaan yang dirasakan akibat keuntungan itu. Namun ketika seseorang mengalami kemalangan, misalnya kerugian dalam berbisnis tentunya tidak akan mudah ia terima dan ia jadikan sebagai rasa syukur termasuk untuk orang-orang yang berada di dekatnya. Orang kecenderungan akan datang di saat seseorang berada dalam situasi yang bahagia dan berkelimpahan tetapi di saat seseorang terpuruk biasanya hanya orang yang benar-benar mencintainya yang selalu ada di


(51)

dekatnya dengan turut berbela rasa, waktu, tenaga serta pikiran. Hal ini juga berlaku dalam keadaan sehat maupun sakit serta berlaku dalam setia terhadap kelebihan maupun kekurangan. Kelebihan seseorang yang kita cintai secara khusus akan terasa lebih luar biasa dari pada kelebihan seseorang yang tidak kita cintai secara khusus. Begitu pula dengan kekurangan orang yang kita cintai secara khusus akan tampak jauh lebih sederhana daripada seseorang yang tidak kita cintai secara khusus. Pandangan inilah yang harus selalu dipertahankan.

Dalam perkawinan seorang istri dan seorang suami tentunya bukan seorang yang sempurna seutuhnya baik dari fisik, kepribadian, dan lain-lain. Kenyataan ketidaksempurnaan inilah yang menjadi panggilan bagi seorang suami atau istri untuk saling menyempurnakan. Ketika seorang suami/istri sudah merasa bisa melakukan segala sesuatunya seorang diri dan merasa sudah memiliki segalanya dalam kehidupan, lalu apa gunanya ia menikah. Seorang istri diciptakan Tuhan untuk menjadi seorang penolong yang sepadan bagi seorang suami, hal ini sama ketika Allah menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan bagi Adam (Kej 2:18). Allah menganugerahkan Hawa kepada Adam dan sebaliknya Adam dianugerahkan Allah untuk Hawa. Menjadi penolong sepadan itu artinya suami serta istri memiliki tugas saling menyempurnakan satu sama lain yang bisa dikatakan mau senantiasa menjadi sakramen antara yang satu terhadap yang lainnya. Menjadi sakramen bagi pasangan artinya bisa menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah dalam seluruh kehidupan bersama/seluruh kehidupan perkawinan. Bisa menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah dalam seluruh kehidupan berarti termasuk dalam kepahitan serta kemalangan serta keberdosaan.


(52)

Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus dalam 1 Kor 7:14 dikatakan bahwa seorang suami yang tidak beriman akan dikuduskan istrinya yang beriman dan seorang istri yang tidak beriman akan dikuduskan suami yang beriman. Suami-istri harus mau menjadi sakramen bagi yang lainnya melalui seluruh hidup perkawinannya sehingga seluruh kehidupannya bisa berkenan bagi Allah.

Setia berarti tidak hanya setia terhadap pasangan saja, hal inilah yang sering dilupakan oleh banyak pasangan. Setia itu berarti setia pula terhadap Pribadi yang telah memeteraikan cinta antara sepasang pria dan wanita sehingga menjadi satu tubuh dalam ikatan perkawinan. Janji memberikan harapan dan rasa aman, terlebih janji yang diikat pada Pribadi yang menjadi sumber cinta kasih. Hal ini selaras dengan Smalley (2008: 28) yang mengatakan “Berjanji kepada Allah akan memberikan rasa aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan rasa aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan landasan yang mantap pada pernikahan Anda dengan menyediakan sumber otoritas tertinggi, di mana Anda

berdua hidup di bawah naungannya”. Janji merupakan sebuah pemberian harapan

terhadap orang lain dalam bentuk apapun. Yang membedakan janji biasa dengan janji yang diucapkan di hadapan Allah adalah janji biasa sangat mungkin diingkari karena hanya melibatkan 2 pribadi (pihak pertama dan pihak kedua). Manusia adalah pribadi yang lemah, oleh karena itu sangat mungkin melanggar janji. Janji yang diucapkan dihadapan Allah melibatkan 3 pribadi (pihak pertama dan pihak kedua dengan Allah sebagai pengikat janji tersebut). Walaupun masih memungkinkan manusia untuk mengingkari janji tersebut, namun Allah selalu ada dan hadir sebagai pengikat janji tersebut.


(53)

b. Selalu mencintai dan menghormati sepanjang hidup

Mencintai dan menghormati mudah dilakukan bila sesekali, lalu bagaimana jika harus selalu dilakukan? Apakah akan menjadi mudah? Pertanyaan ini memang sederhana namun ketika kita dihadapkan pada pertanyaan seperti ini kita akan memilih untuk berhenti sejenak dan berfikir. Berfikir untuk sebuah cinta itu kurang tepat karena cinta sesungguhnya lebih melibatkan rasa. Cinta itu tidak pernah memperhitungkan untung dan rugi, cinta itu akan merasakan rugi sebagai sebuah keuntungan. Hal ini terjadi bukan karena tidak realistis namun memang cinta itu sabar dan murah hati. Di dalam cinta terdapat kasih yang luar biasa besar. Kasih itu memiliki banyak alasan untuk membuat orang yang dikasihi bahagia. Hal ini selaras dengan perikop dalam 1 Kor 13:1-8 yang berbunyi:

Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.

Dari perikop tersebut jelaslah, hal paling tinggi dan yang paling luhur itu cinta kasih, kasih akan menyempurnakan segala kekurangan yag dimiliki oleh masing-masing pasangan. Memiliki kasih itu sama artinya bisa mengalahkan diri


(54)

sendiri dan memberikan segala cinta kasih yang dimiliki untuk orang lain dan khususnya dalam konteks ini untuk pasangan. Di saat kita belum memberikan seluruh cinta dan belum membagikan seluruh kasih yang kita miliki sampai sehabis-habisnya hingga merasa terluka maka belum bisa disebut cinta, hanya seperti gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing. Itu berarti cinta bisa disebut sebagai pemberian.

Kasih yang paling sempurna adalah kasih seseorang yang bersedia menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya (Yoh 15:13). Cinta kasih itu luhur dan tinggi, mencintai kelebihan seorang itu sangat mudah namun mencintai segala kekurangan seorang itu yang sulit dan bahkan ketika kita bertahan untuk mencintai seseorang yang akan kita rasakan adalah luka dalam hati. Hal ini sama seperti ketika kita memberikan jawaban “ya” untuk kebahagiaan yang hendak kita dapatkan namun ketika kita harus berkorban bahkan hingga nyawa kita harus

dikorbankan bagi orang lain, apakah jawaban “ya” akan mudah keluar dari bibir

kita walaupun kita mengaku mencintainya? Itulah cinta, kesetiaan yang membawa luka dan juga pengorbanan itulah kasih yang total. Mencintai seseorang dengan total akan membawa kita pada sikap menghormatinya. Menghormati di sini bermakna secara dua arah baik dari istri kepada suami atau dari suami kepada istri. Menghormati berarti mau mendengarkan pendapat, mau menerima keputusan yang dianggap paling baik, mau menghormati hak sebagai suami ataupun istri. Menghormati secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memberi arti dan nilai pada orang lain. Hal ini selaras dengan Smalley (2008: 17) yang mengatakan “Kehormatan sungguh sederhana. Kehormatan berarti sangat


(55)

menghargai orang lain sebagai pribadi yang sangat penting dan bernilai”. Menghormati seluruh jiwa dan raga pasangan seumur hidup, itulah yang harus dilakukan dalam sebuah ikatan perkawinan karena ketika cinta kepada pasangan dan hormat kepada pasangan itu tidak diwujudkan maka artinya menodai janji perkawinan yang diucapkan di hadapan Allah. Mencintai serta menghormati itu artinya bisa menjadi anugerah bagi pasangannya.

c. Bersedia menjadi Bapak/Ibu yang baik serta mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik

Menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan pada kita berarti mau menghormati anak dan mendidiknya secara Katolik dan bukan sekedar menyekolahkan anak yang dipercayakan Tuhan di sekolak Katolik saja. Hal ini selaras dengan Ef 6:4 “Dan kamu bapa-bapa, jangan bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan

nasihat Tuhan”. Dari ketiga janji perkawinan yang ada, janji yang terakhir ini

yang banyak dilanggar. Yohanes Paulus II dalam buku Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern (1994: 25) mengatakan:

Seorang suami dipanggil untuk menjamin perkembangan semua anggota keluarga secara selaras dan bersatu: ia akan menunaikan tugas ini dengan memikul tanggung jawab yang berjiwa besar atas hidup yang dikandung di bawah jantung ibunya, dengan melibatkan diri lebih giat dalam tugas mendidik, yang dipikulnya bersama dengan istrinya, dengan melakukan kerja yang tidak pernah menjadi sebab perpecahan dalam keluarga tetapi justru meningkatkan kesatuan dan kemantapannya, dan dengan memberikan kesaksian hidup seorang Kristiani yang dewasa, yang secara efektif mengantar anak-anak ke dalam pengalaman hidup Kristiani dan Gereja.


(56)

Kutipan tersebut jelas bahwa yang bertugas mencari nafkah dalam kehidupan berkeluarga adalah ayah atau suami. Selain bertugas mencari nafkah, suami juga bertugas mendidik anaknya bersama dengan istrinya dan membawa anak dan istrinya ke dalam pengalaman hidup Kristiani. Kenyataan istri yang juga bekerja dan terkadang penghasilannya melebihi suami itu tidak salah, namun jangan pernah melupakan kewajiban utama sebagai seorang istri yakni sebagai patner suami dalam mendidik anak. Dalam kehidupan dunia dewasa ini dapat kita saksikan pelanggaran terhadap tugas utama dan terutama sebagai orang tua. Orang tua masa kini cenderung sibuk dengan urusan pekerjaan dan dunia mereka sendiri sehingga mempercayakan pengasuhan anak pada pembantu maupun baby sister. Jika anak diasuh oleh pembantu maupun baby sister maka pendidikan iman anak akan sangat dikesampingkan. Pendidikan iman anak akan lebih parah lagi ketika sang pembantu maupun baby sister bukan seorang Katolik karena kecenderungan anak akan meniru kebiasaan orang yang ada di dekatnya. Tugas mendidik anak yang paling utama merupakan tugas orang tua (Ul 6:7). Orang tua harus bisa mengarahkan, menuntun serta memberikan pengertian dan pemahaman yang benar tentang kaidah-kaidah iman Kristiani (Hello, 2004: 19).

Menyekolahkan anak di sekolah Katolik memang sangat baik dan sangat membantu perkembangan iman anak namun yang perlu digaris bawahi adalah tanggungjawab untuk mendidik anak yang paling utama dan terutama adalah orang tua bukan orang lain ataupun pihak lain. Orang tua sering lupa bahwa mereka bekerja untuk menghidupi anak bukan hidup untuk bekerja. Keluarga adalah prioritas dalam sebuah perkawinan yang lebih penting dari hal lainnya.


(57)

C. Perwujudan Janji Perkawinan

1. Arti Perwujudan Janji Perkawinan

Mewujudkan itu artinya menjadikan sesuatu yang belum ada ataupun belum terjadi menjadi ada ataupun terjadi. Janji perkawinan dalam sebuah upacara penerimaan Sakramen Perkawinan atau pemberkatan perkawinan berbentuk pengucapan janji minimal di depan seorang pejabat gereja dan dua orang saksi (KHK, kan.1108). Janji perkawinan yang telah diucapkan saat penerimaan Sakramen Perkawinan/pemberkatan perkawinan belum memiliki bentuk ketika belum diwujudnyatakan dalam seluruh hidup perkawinan.

Usaha untuk mewujudkan janji perkawinan berarti usaha yang mencakup seluruh proses yang panjang mulai dari pengucapan hingga kematian memisahkan suami-istri. Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Burtchaell (1990: 32) “Perkawinan Kristen merupakan bentuk pelayanan serta janji yang menuntut banyak dari manusia untuk melayani: dalam untung dan malang, seumur hidup!” Sepanjang waktu itulah janji perkawinan harus diwujudkan dengan bertolok ukur dari visi bersama yang telah dibentuk menjadi misi yang siap dikerjakan dan dituntaskan bersama sehingga seluruh kehidupan perkawinan semakin membawa bahtera perkawinan lebih dekat dengan pelabuhan yang selama ini hendak dituju.

Dalam usaha perwujudan janji perkawinan ini hal penting yang harus selalu diingat adalah suami-istri sejak pengucapan janji perkawinan sudah harus menentukan tujuan akhir yang hendak dicapai bersama melalui seluruh kehidupan perkawinannya. Ketika suami-istri dalam seluruh hidupnya berusaha mewujudkan janji perkawinannya maka mereka berdua atau salah satu dari mereka tidak boleh


(58)

tiba-tiba berubah halauan memiliki tujuan yang lain. Suami-istri dengan menghidupi janji tersebut maka akan menuju pada usaha menyenangkan pasangan dan membahagiakannya (1 Kor 7:33-34).

Usaha perwujudan janji perkawinan ini ditandai dengan kesetiaan yang terus menerus diusahakan, selalu menghormati pasangan, menerima pasangan apa adanya dan mau senantiasa memaafkan kesalahan pasangan. Usaha perwujudan ini juga harus lebih luas diwujudkan dalam menyayangi anak, mendidik anak, menghormati hak pasangan serta anak, menghormati dan menyayangi keluarga besar pasangan dan lain sebagainya. Artinya, perwujudan janji perkawinan selain menyangkut dua pribadi, perwujudannya juga menyangkut relasi yang lebih luas lagi yakni yang berhubungan dengan anak, keluarga, Tuhan dan masyarakat juga (Purwo Hadiwardoyo, 2007: 9-13).

2. Arah Perwujudan Janji Perkawinan

Janji perkawinan harus diwujudkan. Dalam mewujudkan janji perkawinan, pasutri harus memiliki arah yang jelas dan juga konkret demi mencapai tujuan perkawinan. Beberapa hal yang harus diusahakan dalam menentukan arah perwujudan janji perkawinan yakni:

a. Menyadari, menghayati serta menghidupi peran sebagai seorang suami ataupun seorang istri

Janji perkawinan diucapkan oleh laki-laki serta perempuan. Isinya secara garis besar yakni akan setia dalam segala keadaan, akan mencintai dan


(1)

(9)

No Pertanyaan Jawaban

S KK J TP

18. Apakah Anda dan pasangan mengikuti Perayaan Ekaristi mingguan bersama?

19. Apakah Anda menjalin komunikasi yang baik dengan pasangan dan anak-anak Anda? 20. Apakah Anda lebih mengutamakan keluarga

dibandingkan dengan pekerjaan Anda?

II. Jawablah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan keluarga Anda saat ini!

1. Apa saja yang sudah Anda lakukan kepada pasangan Anda sebagai wujud kesetian?

2. Apa saja yang sudah Anda lakukan kepada pasangan Anda sebagai wujud rasa hormat?

3. Apa saja yang sudah Anda lakukan kepada pasangan Anda sebagai wujud rasa cinta?

4. Apa saja yang sudah Anda lakukan kepada Anak sebagai usaha mendidik secara Katolik?

5. Bagaimana cara Anda menjalin komunikasi dengan pasangan Anda?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

(3)

(11)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

(5)

(13) Lampiran 8: Kumpulan Lagu

Kasih

Kasih pasti lemah lembut Kasih pasti memaafkan

Kasih pasti murah hati KasihMu kasihMu Tuhan

(2x) Ajarilah kami ini Saling mengasihi Ajarilah kami ini Saling mengampuni

Ajarilah kami ini KasihMu ya Tuhan KasihMu kudus tiada batasnya.

Melayani Lebih Sungguh

Melayani melayani lebih sungguh 2x Tuhan lebih dulu melayani kepadaku Melayani melayani lebih sungguh

*Mengasihi mengampuni

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

(14) Lampian 9: Teks Cerita

Merawatmu di Usia Senja

Robeson Mc Quilkin mengudurkan diri dari kedukannya sebagai rektor di Universitas Internasional Columbia dengan alasan hendak merawat istrinya, Mauriel, yang sakit Alzheimer, yaitu ganguan fungssi otak. Muriel ibarat seorang bayi. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk makan, mandi, dan buang air pun ia harus dibantu. Robertson memutuskan untuk merawai istrinya dengan tangannya sendiri karena Mauriel adalah wanita yang sangat istimewa baginya.

Pernah suatu kali ketika Robertson membersihkan ompol Mauriel, di luar kesadaran, Mauriel malah menyerakkan air seninya sendiri. Robertson kehilangan kendali, ia lalu menepis tangan Mauriel dan memukul betisnya guna menghentikannya. Setelah itu, Robertson menyesal dan berkata dalam hatinya, “Apa gunanya saya memukulnya, walaupun tidak keras, tetapi itu cukup membuatnya terkejut. Selama 44 tahun kami menikah, saya belum pernah menyentuhnya karena marah. Namun, kini di saat dia membutuhkan saya, saya malah memperlakukannya demikian. Ampuni saya, ya Tuhan. “Tanpa peduli Mauriel mengerti atau tidak, Robertson meminta maaf atas hal yang telah dilakukannya. 14 Februari adalah hari yang istimewa bagi Robertson dan Mauriel karena di tanggal itu Roberson melamar Mauriel. Pada hari istimewa itu, Robertson memandikan Mauriel, lalu menyiapkan makan malam dengan menu kesukaan Mauriel. Menjelang tidur ia mencium dan menggenggam tangan Mauriel, lalu berdoa, “Allah yang baik, Engkau mengasihi Mauriel lebih daripada aku mengasihinya karena itu jagalah kekasih hatiku sepanjang malam dan biarlah ia mendengar nyanyian malaikat-Mu. Amin.”

Pagi harinya, ketika Robertson berolahraga menggunakan sepeda statisnya, Mauriel terbangun dari tidurnya. Ia berusaha untuk mengambil posisi yang nyaman, lalu melempar senyum manis kepada Robertson. Untuk pertama kalinya setelah selama berbulan-bulan Mauriel tidak berbicara, ia memanggil Robertson dengan suara yang lembut dan bening, “ Sayangku... sayangku...” Robertson melompat dari sepedanya dan segera memeluk wanita yang sangat dikasihinya itu. “ Sayangku, kau benar-benar mencintaiku bukan?” tanya Mauriel. Setelah melihat anggukan dan senyuman di wajah Robertson, Maurel berbisik, “Aku bahagia!” Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Mauriel kepada Robertson.

Roswita Oktaviani. (2008). Beautiful Moment: 55 Kisah yang Memperkaya Hidup Keluarga. Jakarta: Obor, hal. 107-108.


Dokumen yang terkait

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PASANGAN BEDA USIA (Studi Pada Istri Yang Berusia Lebih Tua Daripada Usia Suami)

3 26 18

Faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan Indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun di wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.

0 0 222

Peranan pembinaan lektor untuk meningkatkan motivasi pelayanan sebagai lektor di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 1 2

Faktor faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan Indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15 30 tahun di wilayah Patangpuluhan Paroki Hati K

0 0 220

Usulan program pendampingan keluarga muda Katolik di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran demi kebahagiaan dan keutuhan perkawinan.

2 17 117

Perancangan Dan Pelaksanaan Modul Treatment Pelatihan Psikologi Berdasarkan Gaya Resolusi Konflik Untuk Meningkatkan Penyesuaian Perkawinan Pasangan Suami Istri Katolik (Studi Pada Pasangan Suami Istri Katolik Dengan Usia Perkawinan 1 2 Tahun).

0 0 1

kawasan ziarah candi hati kudus tuhan yesus ganjuran bantul

0 0 7

PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA PASANGAN PERKAWINAN BEDA USIA (SUAMI LEBIH MUDA DARI ISTRI) SKRIPSI

0 0 18

PENERIMAAN KAS Studi Kasus Pada Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran SKRIPSI

0 0 173

Usulan program pendampingan keluarga muda Katolik di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran demi kebahagiaan dan keutuhan perkawinan - USD Repository

0 2 115