PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH.

(1)

SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH

SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA DAERAH (APBD) DALAM RANGKA

PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH

A.A. NGURAH WISNU SARI BUANA KALERAN NIM. 1103005136

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH

SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA DAERAH (APBD) DALAM RANGKA

PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH

A.A. NGURAH WISNU SARI BUANA KALERAN NIM. 1103005136

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH

SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA DAERAH (APBD) DALAM RANGKA

PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

A.A. NGURAH WISNU SARI BUANA KALERAN NIM. 1103005136

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 MEI 2016

Pembimbing I

Dr. I Nyoman Suyatna, S.H., M.H. NIP.195909231986011001

Pembimbing II

Kadek Sarna, S.H.,M.Kn NIP.198104242008121002


(5)

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 20 MEI 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor: 217/UN14.1.11/PP.05.02/2015 Tanggal: 20 Mei 2016 Ketua : Dr. I Nyoman Suyatna, S.H., M.H. ( )

Sekretaris : Kadek Sarna, SH.,M.Kn ( )

Anggota : 1. Ketut Suardita, SH.,MH ( )

: 2. Cokorde Dalem Dahana, SH.,M.Kn ( )


(6)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademikdan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 20 Mei 2016 Yang menyatakan,

A.A Ngr Wisnu Sari Bhuana K NIM 1103005136


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, skripsi yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN

KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANAAN ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH” dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak I Ketut Suardita, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(8)

6. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I atas waktu, bimbingan, masukan serta motivasinya selama penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Kadek Sarna, S.H., M.Kn., Dosen Pembimbing II atas waktu, bimbingan, dan masukan yang telah diberikan selama penyelesaian skripsi. 9. Keluargaku tercinta, kepada kedua orang tuaku tersayang A.A Ngurah Manik Kaleran dan Ni Luh Sekar Ariani. Terima kasih atas dukungan dan doanya selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10. Para teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan motivasi.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini, meskipun demikian penulis tetap bertanggung jawab terhadap isi skripsi ini dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat.

Denpasar, 20 Mei 2016 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul Depan ……….………... i

Halaman Sampul Dalam ……..………..………….. ii

Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum …….……..……….….... iii

Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi .………. iv

Halaman Pengsahan Ujian Skripsi ………...………. v

Halaman Surat Pernyataan Keaslian ………. vi

Kata Pengantar ……….………...……….. vii

Daftar Isi ……….………..………. ix

Abstrak ……….. xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ………. 1

1.2Rumusan Masalah ………. 11

1.3Ruang Lingkup Masalah ……… 11

1.4Orisinalitas Penelitian ……… 11

1.5Tujuan Penelitian ……… 12

1.5.1Tujuan Umum ... 12

1.5.2Tujuan Khusus ... 13

1.6Manfaat Penelitian ... 13

1.6.1. Manfaat Teoritis ... 13

1.6.2. Manfaat Praktis ... 14

1.7 Landasan Teoritis ... 14

1.8 Metode Penelitian ... 20

1.8.1 Jenis Penelitian ... 20

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 21

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 22

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 23


(10)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN

KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)

2.1Pertanggungjawaban Kepala Daerah Berdasarkan Perundang Undangan Indonesia ... 28 2.2Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah

... 43 2.3Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah ... 44

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DIATUR DALAM PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA

3.1Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

………... 48 3.2Laporan Pertanggungjawaban Akuntansi Berbasis Akrual .. 55 3.3Analisis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam

Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah … 68

BAB IV MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)

4.1Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance (GFG).. 75 4.2Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Oleh Kepala Daerah Dalam

Mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) ……… 91

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 102 B. Saran ………... 104 DAFTAR PUSTAKA


(11)

(12)

Abstrak

Indonesia merupakan bangsa yang besar terdiri dari berbagai macam wilayah, ras dan suku, dalam hal menyikapi heterogenitas bangsa ini maka diaturlah sebuah corak system pemerintahan di Indonesia, dengan membagi kekuasaan baik di tingkat pusat dan pada tingkat daerah. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD. APBD adalah Rencana Pendapatan dan Belanja suatu Daerah untuk satu tahun berjalan (1 periode) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Memang harus diakui bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang sebelumnya, maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD,yang pada akhirnya membawa kekaburan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD dan kedudukan DPRD sebagai lembaga pengawas.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah Bagaimana pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam peraturan perundang undangan di indonesia, dan bagimana mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut per undang undangan di indonesia. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian Hukum Normatif (yuridis normative) dengan mengumpulkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research). Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Mekanisme-mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2014 meliputi Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance (GFG), Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), dan Analisis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD). Demikian juga dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa yang menjadi Faktor Penghambat yang dihadapi Kepala Daerah Dalam Mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja


(13)

Daerah adalah hambatan yang bersifat politis, hambatan yang bersifat prosedural, dan hambatan yang bersifat ekonomis.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Kepala Daerah, Pemerintah Daerah Abstract

Indonesia is a nation composed of a variety of regions, races and tribes, in terms of addressing the heterogeneity of this nation then was arranged a pattern of system of Government in Indonesia, by dividing the power both at central level and at the local level. In the framework of the Organization of the local government is characterized by the presence of the regional heads of liability towards the implementation of the BUDGETS. GRANT income and Expenditure Plan is an area for a one-year run (1st period) which is set by local regulations (Perda). Given that the financial report of the Government as a means of financial accountability of Government submitted to PARLIAMENT every year end budget is one manifestation of the democratic system of Government. Indeed it must be admitted that at the time of the enactment of Act No. 32 of 2004 was marked by the existence of accountability of the head of the region to the DPRD is a deviation from the presidensil system of Government. However, after the enactment of Act No. 23 of 2014 as a substitute against the Act before, then head of the area was no longer responsible to PARLIAMENT, which ultimately brought the haze toward the accountability of the head of the region in the implementation of BUDGETS and the position of PARLIAMENT as an institution Trustees.

The issue raised in this thesis is how the accountability of the head of the region in the implementation of the budget of income and Expenditure area (BUDGETS) in laws invitation in indonesia, and how mechanisms of accountability in the implementation of the budget of area head of income and Expenditure area (BUDGETS) according to per invitation. This thesis research is the normative legal research (juridical normative) by collecting a wide range of legislation relating to the Liability of the head area as implementing Budget income and Expenditure area (BUDGETS) in the framework of the Organization of the local government. Data collection was done through the research libraries (Library Research). Legislation relating to the Liability of the head area as implementing Budget income and Expenditure area (BUDGETS) in the framework of the Organization of local governments, namely Act No. 23 of 2014.

Mechanisms of accountability in the implementation of the budget of area head of income and Expenditure area (BUDGETS) according to law No. 23 of 2014 include a mechanism for preparing the Budget income and Expenditure area (BUDGETS) based on the principles of Good Financial Governance (GFG), head of the Accountability Mechanisms in the implementation of Regional Budget of income and Expenditure area (BUDGETS), and an analysis of the Accountability of the head of the region in the implementation of the budget of income and Expenditure area (BUDGETS). Likewise in this research it can be known that that becomes a barrier Factor facing the head of the Region In Charge of budget revenue and Shopping Area are the barriers are political, obstacles that are procedural obstacles that are economical.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945, Ini berarti bahwa negara yang bersusunan negara Kesatuan, maka segenap kekuasaan/kewenangan serta tanggung jawab pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup bangsa berada dibawah kendali satu pemegang kekuasaan terpusat yang terdapat pada pemerintah pusat. Dengan demikian corak pemerintahan yang cenderung bersifat sentralisasi. Berbeda halnya dengan negara bersusunan serikat (Federasi) dimana corak pemerintahannya lebih cenderung bersifat Desentralisasi.1 Namun karena wilayah negara Republik Indonesia sedemikian luasnya dan didiami berbagai jenis suku bangsa yang beraneka ragam (Bhineka Tunggal Ika) serta diperkaya lagi dengan latar belakang sejarah perjuangan dalam melepaskan diri dari belenggu kekuasaan penjajahan bangsa selama berabad-abad lamanya.2

Para pendiri negara (founding fathers) kita menyadari keadaan alamiah yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam tersebut. Dalam menyikapi heterogenitas bangsa tersebut maka diaturlah masalah corak pemerintahan di Indonesia berdasarkan sistem pembagian kekuasaan antara menyebabkan corak

1

Bambang Yudoyono, 2001, Otonomi Daerah:Disentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,), hlm. 18.

2


(15)

pemerintahan sentralisasi bukanlah merupakan tipe ideal sistem pemerintahan yang cocok buat mengatur wilayah dan penduduk yang demikian banyak dan beragam itu. Pemerintah pusat dengan kelompok-kelompok masyarakat didaerah yang akhirnya menciptakan Pemerintahan daerah berdasarkan sistem desentralisasi sebagaimana yang tercemin dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.

Secara Ketatanegaraan pengertian desentralisasi adalah dimaksudkan untuk menggambarkan usaha dalam melepaskan diri dari pusat pemerintahan dengan jalan pelimpahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasan kepada daerah-daerah untuk dapat mengurus kepentingan rumah tangga daerah itu sendiri. Dalam hal ini sudah tentu usaha untuk pelimpahan kewenangan dari pusat bukanlah berarti lepas sama sekali dari ikatan negara (apalagi dalam negara Indonesia), melainkan dengan diserahkannya beberapa kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah dimaksudkan agar tidak terlalu bergantung sama sekali kepada pusat. Beberapa urusan yang telah dapat dan lebih tepat diurus sendiri oleh daerah dan bersifat khas daerah,sudah tentu akan lebih efektif dan memberikan hasil guna yang lebih baik bila dipercayakan kepada masing-masing daerah untuk mengurusnya, dibandingkan jika urusan tersebut masih ditangani oleh pemerintah pusat.3

Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintah daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan wewenang

3

Faisal Akbar Nasution, 2009, Pemerintah Daerah dan sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah, (Jakarta: PT. Sofmedia,), hlm. 10.


(16)

atau kekuasaan dan hak kepada nasyarakat didaerah-daerah untuk mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik) sebagai urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur lagi oleh Pemerintah Pusat yang pada perkembangan selanjutnya menurunkan pengertian otonomi daerah. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini pemerintah pusat menyerahkan kepada masyarakat daerah (pemerintah daerahnya) sejumlah urusan yang kelak akan menjadi urusan rumah tangganya sendiri dengan mengingat kondisi dan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan (hankam), serta faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, dari daerah yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksana pembangunan secara merata diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan diserahkannya sesuatu urusan menjadi urusan rumah tangga daerah, mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan daerah adalah menjadi urusan pemerintah daerah kecuali yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang sebagai wewenang pemerintah pusat. Salah satu yang paling esensial dalam Undang-Undang. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan menjadi urusan pemerintahan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun


(17)

2004. Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sesuai isi Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan pemerintah yang tidak menjadi urusan pemerintahan daerah adalah :

a. Pertahanan; b. Keamanan;

c. Politik luar negeri; d. Yustisi;

e. Moneter dan fiskal nasional;dan f. Agama

Berarti bidang-bidang lain diluar 6 (enam) diatas menjadi urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi luas dan nyata. Kemudian untuk mewujudkan dan menyelenggarakan pemerintahan daerah sebagaimana tersebut diatas secara efektif dan efesien tidaklah mudah, karena selain dibutuhkannya lembaga eksekutif daerah tetapi juga keterlibatan lembaga legislatif daerah dan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang baik (good local government) akan sangat ditentukan oleh format lain dan pola hubungan antara lembaga eksekutif daerah dan lembaga legislatif daerah serta seluruh elemen masyarakat. APBD adalah anggaran keuangan dalam satu tahun kerja yang terdiri atas penerimaan dan pengeluaran daerah, yang mencerminkan RKPD dan bagi satuan kerja perangkat daerah, anggaran satuan kerjanya merupakan bagian dari pelaksanaan Renstra SKPD dan Renja SKPD nya. APBD ditetapkan dengan peraturan daerah setelah mendapat evaluasi; bagi APBD


(18)

provinsi mendapat evaluasi dari Menteri Dalam Negeri, bagi APBD Kabupaten/Kota mendapat evaluasi dari Gubernur.4

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menempatkan Pemerintah Daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan daerah. Sesama unsur pemerintahan daerah pada dasarnya kedudukan Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) adalah sama, yang membedakannya adalah fungsi, tugas dan wewenang serta hak dan kewajibannya. Karena itu hubungan yang harus dibangun antara Pemerintah Daerah dan DPRD mestinya adalah hubungan kemitraan dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang baik (good local

governance). Dalam hal pengelolaan keuangan daerah, pada tahap perencanaan

pemerintah daerah dan DPRD duduk bersama-sama sebagai mitra untuk merumuskan suatu kebijakan mengenai rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Kemudian setelah rencana anggaran tersebut disahkan menjadi APBD, pemerintah daerah yang akan melaksanakan pengelolaan dari APBD tersebut. Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang baik diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan keuangan daerah yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPRD). Adapun proses penyusunan APBD sebagai berikut: Kepala daerah menetapkan prioritas dan platfon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kemudian kepala SKPD menyusun rencana kerja dan anggaran SKPD dengan pendekatan berdasarkan prestasi

4


(19)

kerja yang akan dicapai. Rencana kerja dan anggaran SKPD tersebut disampaikan kepada Pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan perda tentang APBD tahun berikutnya.5

Kepala daerah mengajukan rancangan perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Kemudian dibahas Pemda bersama DPRD berdasarkan kebijakan umum APBD, serta prioritas dan platfon anggaran. Selambat-lambatnya 1 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan, DPRD telah mengambil keputusan untuk menyetujui rancangan perda diatas. Atas dasar persetujuan DPRD, kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah (PKD) tentang penjabaran APBD dan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran SKPD. Langkah selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang APBD oleh instansi atasan yaitu kabupaten/kota oleh Gubernur dan provinsi oleh Menteri Dalam Negeri.

Rancangan Perda Kab/Kota (Provinsi) tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota (Gubernur) paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur/Menteri Dalam negeri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur (Mendagri) kepada Bupati/Walikota (Gubernur) paling lama 15 hari terhitung sejak diterimanya rancangan perda Kab/Kota (Provinsi) dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD.

5


(20)

Apabila Gubernur (Mendagri) menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota (Gubernur) menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota (Gubernur). Dan apabila Gubernur (Mendagri) menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/ Walikota (Gubernur) bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi.

Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota (Gubernur) dan DPRD, dan Bupati/ Walikota (Gubernur) tetap menetapkan rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur), Gubernur (Mendagri) membatalkan perda dan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya APBD tahun sebelumnya. Apabila 1 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan, DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD.


(21)

Rancangan peraturan kepala daerah tersebut dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Mendagri bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota. Untuk memperoleh pengesahan, RPKD tentang APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 15 hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan Kepala Daerah terhadap rancangan perda tentang APBD. Apabila dalam batas waktu 30 hari Mendagri atau Gubernur tidak mengesahkan RPKD tersebut. Kepala Daerah menetapkan RPKD tersebut menjadi peraturan Kepala Daerah. Salah satu format dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah ditandai dengan adanya penanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyar daerah (DPRD) setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Tanpa sarana seperti itu hilanglah arti demokrasi karena pemerintah telah berubah menjadi penguasa yang tidak perlu memberikan pertanggungjawaban keuangan. Hal dianggap perlu karena ciri khas dari demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya, pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi.


(22)

Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh seorang ahli sejarah Inggris yang bernama Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termashur

bunyinya sebagai berikut: “power tends to corrupt, but absolute power corrupts

absolutely”, yang berarti bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung

untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.6

Oleh karena itu, dari berbagai ukuran penilaian keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonominya, maka yang menjadi pusat perhatian adalah masalah efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah, khususnya yang terkait dengan masalah keuangan daerah. Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara, disebabkan pengaruhnya yang demikian menentukan terhadap kompleksitas kelangsungan hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari aspek keuangan antara lain juga mencerminkan kualitas kenegaraannya.

Apabila keberadaan keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah dalam menjalankan keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan dalam melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan semakin stabil. Sebaliknya, suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi


(23)

problema pelik dalam memperlancar pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi keuangan yang baik pula.

Mengingat eksistensi keuangan demikian vital bagi Negara, maka segala daya upaya akan dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan dan memanfaatkan segenap sumber keuangan yang ada. Hasil-hasil yang diperoleh selanjutnya akan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Menanggapi akan arti pentingnya keuangan dalam mencapai keberhasilan suatu daerah,maka dalam pelaksanaannya harus pula dibarengi dengan pertanggungjawaban sebagai bentuk pengawasan agar tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang. Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan yang terjadi setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan. Untuk itulah, pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran perlu dilaksanakan sedini mungkin, agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan apabila terdapat kekeliruan atau penyimpangan sebelum menjadi lebih buruk dan sulit diperbaiki.

Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk membahas dan memilih skripsi dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA DAERAH (APBD) DALAM RANGKA


(24)

Dimana penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut tentang pertanggungjawaban kepala daerah sebagai pelaksana APBD dalam tugasnya menyelanggarakan pemerintahan daerah.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka terdapat beberapa rumusan masalah yang dianalisa yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Perundang undangan di Indonesia ?

2. Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Perundang undangan di Indonesia?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :

1. Pertama akan membahas tentang pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dalam Perundang undangan di Indonesia.

2. Kedua akan membahas tentang mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Perundang undangan di Indonesia


(25)

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis kali ini penulis menampilkan dua skripsi yang penelitiannya hampir mirip dengan penelitian penulis. Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di indonesia, maka mahasiswa di wajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian skripsi yang terdahulu sebagai pembanding. Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis terjamin orisinalitasnya.

Pembanding kedua dengan judul Perbandingan pengaturan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.atas nama Andhika Putra Negara, asal Universitas Islam Indonesia, dengan permasalahan, Bagaimana perbedaan pertanggungjawaban Kepala Daerah menurut UU No.22 Tahun 1948, UU No.1 Tahun 1957, UU No.18 Tahun 1965. Berdasarkan dari bentuk pertanggungjawaban Kepala Daerah yang diatur Dalam Undang-undang pemerintahan daerah yang pernah berlaku dan sedang berlaku manakah yang lebih sejalan dalam bentuk konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis terjamin orisinalitasnya, dikarnakan aspek penelitian penulis bertitik pada Pertangungjawaban Kepala Daerah dalam mengelola APBD dalam melaksanakan Pemerintahan Daerah.


(26)

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain:

1.5.1 Tujuan umum

Tujuan umum penulisan adalah sebagai berikut;

1. Untuk menganalisis lebih mendalam mengenai pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam mengelola Anggaran.

2. Untuk menganalisis mengenai pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dalam Perundang undangan di Indonesia.

1.5.2 Tujuan khusus

Sedangkan yang menjadi tujuan penulisan yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berdasarkan dengan Perundang undangan di Indonesia

2. Untuk mengetahui mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Perundang undangan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh kepala daerah


(27)

1.6.Manfaat Penelitian

1.6.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum administrasi negara (pemerintahan), khususnya pemahaman teoritis mengenai pertanggungjawaban yang dilakukan oleh kepala daerah dalam mengelola APBD dalam rangka melaksanakan pemerintahan daerah berdasarkan Perundang undangan di Indonesia.

1.6.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi kepada elemen pemerintahan baik Daerah maupun Pusat.

1.7.Landasan Teoritis

Pertanggungjawaban kepala daerah adalah Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD yang selanjutnya disebut LKPJ adalah laporan yang berupa informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran atau akhir masa jabatan yang disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD (Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintahan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat). Sebagaimana kita


(28)

ketahui bersama bahwa penyampaian LKPJ Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan pelaksanaan dari amanat Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah termuat dalam Pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan bahwa

“Kepala Daerah mempunyai kewajiban untuk memberikan Laporan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, dan memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban kepada DPRD serta menginformasikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat”. Selanjutnya sesuai Pasal 184 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 jo Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah Kota juga berkewajiban menyampaikan Raperda tentang Pertanggung jawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa Laporan Keuangan setelah dilakukan audit oleh BPK. Laporan keuangan tersebut sekurang-kurangnya meliputi laporan realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, dilampirkan dengan Laporan Keuangan BUMD, yang disusun sesuai Standar Akuntansi Pemerintah. Pelaksanaan laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah secara teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Peraturan Pemerintah inilah yang menjadi acuan dalam penyusunan LKPJ.


(29)

Amanat dari peraturan tersebut di atas menyatakan LKPJ Pemerintah Daerah merupakan progress report pelaksanaan tugas atau laporan pencapaian kinerja dalam satu tahun anggaran. Dalam perspektif amanah dan substansi kepemerintahan, penyampaian progress report kepada DPRD, sekaligus merefleksikan akuntabilitas bersama antara kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD. Progress report pada DPRD sifatnya mengikat, karena progress report merupakan bahan masukan bagi DPRD dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemda sebagai manifestasi dari fungsi kontrol yang dilakukan oleh DPRD. Progress report sangat penting oleh DPRD agar bisa memberikan rekomendasi atau catatan-catatan strategis terhadap penyempurnaan kinerja pengelolaan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan LKPJ ini juga diharapkan dapat terwujud adanya akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Pertanggungjawaban kepala daerah dalam pengelolaan keuangan daerah, dapat dikatakan tujuan umumnya adalah:

1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban


(30)

2. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.7

Secara khusus, tujuan pertanggungjawaban keuangan daerah oleh kepala daerah adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi keuangan guna menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah.

2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya.

3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan.

4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasional.

5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.8

7

Soekarwo, 2005, Hukum Pengelolaan keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial Governance, (Surabaya: Airlangga University Press), hlm. 243.


(31)

Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada pemerintahan yang selanjutnya disebut LPPD adalah laporan atas penyelenggaraan pemerintah daerah selama 1 (satu) tahun anggaran berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan oleh kepala daerah kepada pemerintah (Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat).

Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dianggap diterima apabila sampai dengan 1 (satu) bulan sejak penyerahan dokumen, penilaian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum dapat diselesaikan, maka pertanggungjawaban ahkir tahun anggaran tersebut dianggap diterima. Apabila pertanggungjawaban kepala daerah terdapat perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA, maka pertanggungjawaban kepala daerah tersebut dapat ditolak. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat diartikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan

8


(32)

peraturan daerah (Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah).

Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) adalah merupakan suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD.9 Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:

a. Pendapatan Daerah; b. Belanja Daerah; c. Pembiayaan.

Sebagai satu kesatuan, dokumen APBD merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja, dan sumber-sumber pembiayaannya.10 Dari struktur APBD diatas ada kemungkinan surplus atau defisit. Surplus anggaran terjadi jika terdapat selisih lebih Pendapatan Daerah terhadap Belanja Daerah. Sebaliknya defisit terjadi jika terdapat selisih kurang Pendapatan Daerah terhadap Belanja Daerah, sedangkan jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran.11

Didalam Penyususnan APBD terdapat formalitas yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran yang terdiri atas :

1. Transparansi dan akuntabilitas;

9

Ahmad Yani, 2002, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah DI Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,). Hal 54

10

Ibid, hlm 240 11


(33)

2. Disiplin anggaran; 3. Keadilan anggaran;

4. Efisiensi dan efektivitas anggaran; 5. Format anggaran.12

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah dalam penyusunan Rancangan APBD (RAPBD) menetapkan prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja (RKASK) perangkat daerah. Berdasarkan prioritas dan plafon anggaran tersebut kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun (RKASK) perangkat daerah dengan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. RKSAK perangkat daerah disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya.13

Setiap perangkat Daerah yang mempunyai tugas memungut atau menerima Pendapatan Daerah wajib melaksanakan intensifikasi pemungutan pendapatan tersebut adalah orang/lembaga pada pemerintah Daerah yang bertanggungjawab kepada Daerah dan membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah yang terdiri atas sekretaris daerah dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan sesuai dengan kebutuhan Daerah.

12

Muhamad Djumhana, 2007, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, (Bandung: Citra Aditya Bakti,), hlm.96.

13


(34)

1.8.Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perUndang undangan yang berlaku dalam praktek hukum.14

Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma kabur, yaitu kekaburan dalam formulasi mengenai bagaimana alur pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daeerah sebagai pelaksana APBD, yang mana dari perkembangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, tidak adanya kejelasan alur pertanggungjawabannya Ke DPRD atau secara mandiri, terkait juga dengan system otonomi daerah dalam sistem pemerintahan Presidensial.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Skripsi ini ingin menganalisis aspek pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dalam Perundang undangan di Indonesia dalam melaksanakan pemerintahan daerah, sehingga metode pendekatan yang relevan dipergunakan

14Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13.


(35)

dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang undangan (satutory approach).

a) Pendekatan PerUndang undangan (statutory approach).

Pendekatan perUndang undangan (statutory approach), yang oleh Peter Mahmud Marzuki disebut pendekatan Undang undang (satute

approach)15 dilakukan dengan menelah semua undang undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang undang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang undang, peneliti sebenarnya mampu menangkap kandungan filosofi yang ada di belakang undang undang itu. Memahami kandungan filosofi yang ada di belakang Undang undang itu, peneliti tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang undang dengan isu yang dihadapi.16 Pendekatan ini digunakan in casu terhadap Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

b) Pendekatan Analitis (analitical conseptual approach).17

15 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Penerbit Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan ke-6, hlm 93.

16 Ibid., hlm 93-94.

17 Johlmny Ibrahlmim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, Cetakan Ke-dua, 2006, hlm. 301.


(36)

Pendekatan analitis ini diperlukan terutama dikarenakan penulisan skripsi ini terutama menggunakan data-data sekunder yang berwujud bahan-bahan hukum, yaitu Undang undang.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :

1. Sumber bahan hukum primer18

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah :

- Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

- Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014.

- Ditulislah peraturan perencanaan terkait lainnya. 2. Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum (buku-buku hukum

(textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer),


(37)

pendapat para sarjana, maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi.

Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.


(38)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN

BELANJA DAERAH (APBD)

Semenjak lahirnya Negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah telah menjiwai ketatanegaraan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara Demokratis.


(39)

5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, menunjukkan adanya perhatian yang

sangat besar dari para “founding fathers” terhadap bentuk dan susunan pemerintahan daerah sebagaimana yang tertuang dalam amanat konstitusi, termasuk lembaga legislatif daerah dan lembaga eksekutif daerah yang dipandang sangat penting dalam mewujudkan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara demokratis atas dasar pemusyawaratan. Dengan perkataan lain, keberadaan lembaga legislatif daerah dan lembaga eksekutif daerah merupakan wujud untuk menegakkan dan membina kehidupan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

secara tegas menganut prinsip demokrasi yang diberi nama “kedaulatan rakyat” atau “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusayawaratan

perwakilan” atau “kedaulatan ditangan rakyat”.1

Dari konstelasi diatas menunjukkan bahwa lembaga eksekutif daerah adalah merupakan bahagian integral dalam sistem

1

Hal ini dapat diperhatiakn dari rumusan Pancasila (sila ke 4) dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Alinea IV) serta Pasal 1 ayat (2).


(40)

demokrasi Pancasila, yang pada hakekatnya merupakan perwujudan keikutsertaan masyarakat daerah melalui pemilihan umum kepala daerah yang diadakan secara langsung.

Berdasarkan realitas tersebut diatas, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka mengatur dan mengurus dirinya sendiri, membawa konsekuensi diharuskannya kepala daerah sebagai pelaksana penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tersebut yang dalam hal ini sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Davey mempunyai fungsi-fungsi yaitu:

1. Penyediaan pelayanan.

Kelompok pertama dari fungsi-fungsi,yang secara tradisonal yang diasosiasikan dengan Pemerintahan Daerah adalah penyediaan pelayanan-pelayanan yang berorientasi pada pengendalian lingkungan dan kemasyarakatan.

2. Fungsi pengaturan.

Yakni perumusan dan penegakan (enfocement) peraturan-peraturan. 3. Fungsi pembangunan.

Pemerintah daerah mungkin terlibat langsung dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi.


(41)

Untuk menyatakan pendapat daerah atas dasar hal-hal diluar bidang tanggungjawab eksekutif yang dilakukan oleh legislatif.

5. Fungsi koordinasi dan perencanaan.

Misalnya dalam investasi dan tata guna tanah.2

Dalam perkembangannya, kedudukan pertanggungjawaban kepala daerah sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah mengalami berbagai pergeseran sesuai dengan perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah. Pergeseran dan perubahan ini merupakan gambaran proses perkembangan dan pertumbuhan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dalam pelaksanaan desentralisasi dan tugas pembantuan. Berikut akan diuraikan tentang pengaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah era reformasi:

2.1. Pertanggungjawaban Kepala Daerah Berdasarkan Perundang Undangan di Indonesia.

Agenda reformasi yang dilaksanakan secara bertahap oleh pemerintah sejak beberapa waktu yang lalu, telah dan akan terus membuahkan banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai perubahan tersebut menyangkut segi-segi substansial pada tataran struktural dan fungsional yang diharapkan dapat

2

Rahardjo Adisasmita,2011, Pengelolaan Pendapatan Dan Anggaran Daerah, (Yogyakarta: Graha Ilmu), hlm. 14.


(42)

membawa bangsa Indonesia bergerak menuju kearah kehidupan yang lebih baik di segala bidang kehidupan.3

Dari sisi pemerintahan daerah, satu perubahan fundamental dibanding sistem yang berlaku sebelumnya adalah dipisahkannya lembaga eksekutif yaitu Kepala Daerah beserta perangkat Daerah yang kemudian disebut Pemerintah Daerah, dan lembaga legislatif daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. 4

Perubahan ini dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan demokrasi dan demokratisasi yang merupakan saripati dari agenda reformasi. Kepada Pemerintah Daerah diberikan fungsi-fungsi implementasi kebijakan publik yang meliputi aspek pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan kepada DPRD diberikan fungsi legilasi, anggaran, dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Kepala Daerah.5Substansi sasaran vital yang ingin dicapai melalui perubahan sistem pemerintahan daerah ini adalah:

1. Pembangunan sistem, iklim dan kehidupan politik demokratis.

2. Penciptaan pemerintahan daerah yang bersih dan berwibawa serta bernuansa desentralisasi.

3. Pemberdayaan masyarakat agar mampu berperan serta secara optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

4. Penegakan supremasi hukum.

3

Bambang Yudoyono, op.cit, hlm .48. 4

Ibid, hlm. 49 5


(43)

Dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut, dalam konteks ini, kepada DPRD disamping diberikan fungsi-fungsi juga diberikan tugas, wewenang dan hak-hak yang sama seperti DPR dalam ruang lingkup sebagai lembaga legislatif daerah. Dengan pemberian tugas, wewenang dan hak-hak secara luas kepada DPRD tersebut, perlu adanya langkah-langkah konkrit yang mampu mendorong agar dapat berperan secara optimal dalam pemerintahan daerah.

Salah satu aspek reformasi yang mendapat perhatian hingga kini adalah persoalan kebijakan otonomi daerah. Pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan desentralisasi (politik dan fiskal) dengan mengunakan kerangka hukum UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 lalu diganti lagi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan landasan tersebut membawa perubahan yang cukup berarti terhadap hubungan pusat dan daerah. Perubahan perundang-undangan pemerintahan daerah di Indonesia mengakibatkan sistem pemerintahan bergerak dari sistem pemerintahan yang sebagian besar tersentralisasi ke sistem yang sebagian besar terdesentralisasi. Diharapkan melalui kebijakan tersebut dapat menyuburkan reformasi pada tingkat lokal dan memberi ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber-sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah


(44)

dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dimaksud dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.

Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Upaya konkrit dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi di lingkungan pemerintah mengharuskan setiap pengelola keuangan negara untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dengan cakupan yang lebih luas dan tepat waktu.

Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, diantaranya yaitu: Pasal 44 : (1) Kepala daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama dengan DPRD. (2) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD. (3) Kepala daerah wajib


(45)

menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada presiden melalui menteri dalam negeri dengan tembusan kepada gubernur bagi kepala daerah kabupaten/kota, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun, atau jika perlu oleh kepala daerah atau apabila diminta oleh presiden. Pasal 45 : (1) Kepala daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran. (2) Kepala daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk hal tertentu atas permintaan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2). Pasal 46 : (1) Kepala daerah yang ditolak pertanggungjawabannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, baik pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun pertanggungjawaban keuangan, harus melengkapi dan/atau menyempurnakan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari.6

(2) Kepala daerah yang sudah melengkapi dan/atau menyempurnakan pertanggungjawaban menyampaikannya kembali kepada DPRD, sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagi kepala daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada presiden. (4) Tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan ketentuan pasal diatas, maka menurut kurun waktunya ada 3 (tiga) jenis pertanggungjawaban kepala daerah dalam menjalankan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:

6

HAW. Widjaja, 2004 Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 191


(46)

1. Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran; yaitu pertanggungjawaban kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama satu tahun anggaran yang merupakan tanggungjawab pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berdasarkan tolak ukur RENSTRA.

2. Pertanggungjawaban untuk hal tertentu; yaitu pertanggungjawaban atas perbuatan pribadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga menanggung unsur tindak pidana.

3. Pertanggungjawaban akhir masa jabatan; yaitu pertanggungjawaban kepala daerah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berdasarkan tolak ukur RENSTRA di akhir masa jabatan kepala daerah.

A. Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran.

Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam bentuk perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) berikut kinerja berdasarkan tolak ukur RENSTRA. Pertanggungjawaban kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersifat laporan pelaksanaan tugas (progress report). Oleh sebab itu, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bukan merupakan wahana untuk menjatuhkan kepala daerah akan tetapi merupakan wahana untuk penilaian dan perbaikan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah. Laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah terdiri atas:


(47)

33 Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala daerah.

a. Laporan perhitungan APBD. b. Nota perhitungan APBD. c. Laporan aliran kas. d. Neraca daerah.

Keempat aspek tersebut diatas dilengkapi dengan penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur RENSTRA. Penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur RENSTRA didasarkan pada indikator:

a. Dampak, bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai berdasarkan manfaat yang dihasilkan.

b. Manfaat, bagaimana tingkat kemanfaatan yang dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat maupun pemerintah.

c. Hasil, bagaimana tingkat capaian kinerja yang diharapkan terwujud berdasarkan keluaran (out put) kebijakan atau program yang sudah dilaksanakan.

d. Keluaran, bagaimana bentuk produk yang dihasilkan langsung oleh kebijakan atau program berdasarkan masukan (in put) yang digunakan.

e. Masukan, bagaimana tingkat atau besaran sumber-sumber daya manusia, dana, material, waktu, teknologi, dan sebagainya.7

7


(48)

Berdasarkan Pasal 5 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 diatur tentang tata cara pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah, sebagi berikut:

a. Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dibacakan oleh kepala daerah didepan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran. b. Dokumen pertanggungjawaban akhir tahun anggaran yang telah

dibacakan oleh kepala daerah, kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian dilakukan penilaian sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.

c. Penilaian oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas pertanggungjawaban kepala daerah paling lambat selesai 1 (satu) bulan setelah dokumen pertanggungjawaban akhir tahun anggaran diserahkan.

d. Apabila sampai dengan 1 (satu) bulan sejak penyerahan dokumen, penilaian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum dapat diselesaikan, maka pertanggungjawaban akhir tahun anggaran tersebut dianggap diterima.

e. Pertanggungjawaban kepala daerah dapat ditolak apabila terdapat perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang merupakan penyimpangan yang


(49)

alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA.

f. Penilaian atas pertanggungjawaban kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

g. Penolakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang hadir dan mencakup seluruh fraksi.

h. Apabila kepala daerah tidak melengkapi atau menyempurnakan dokumen pertanggungjawaban dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada gubernur dan kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah melalui gubernur bagi bupati/walikota.

i. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan penilaian atas laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran yang telah disempurnakan paling lambat 1 (satu) bulan setelah laporan tersebut diserahkan. j. Pertanggungjawaban kepala daerah yang telah disempurnakan dapat

ditolak apabila dalam laporan yang telah disempurnakan masih tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA.


(50)

k. Apabila laporan pertanggungjawaban kepala daerah ditolak untuk kedua kalinya, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada presiden melaluli menteri dalam negeri dan otonomi daerah begi gubernur dan kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah melaluli gubernur bagi bupati/walikota. l. Dalam hal pertanggungjawaban akhir tahun anggaran ditolak untuk

yang kedua kalinya maka menteri dalam negeri dan otonomi daerah membentuk Komisi Penyelidik Independen untuk provinsi, gubernur membentuk Komisi Penyelidik Independen untuk kabupaten/kota. m. Anggota komisi terdiri dari para ahli yang berkompeten, independent,

non partisan yang kredibilitasnya diakui oleh masyarakat, dan berdomisili di wilayah Indonesia bagi provinsi atau berdomisili di provinsi setempat bagi kabupaten/kota yang angotanya berjumlah 7 (tujuh) orang.

n. Komisi Penyelidik Independen tersebut bertugas membantu pemerintah unruk menilai kesesuaian keputusan penolakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan ketentuan yang berlaku.

o. Hasil penilaian atas keputusan penolakan pertanggungjawaban kepala daerah untuk Komisi Penyelidik Independen disampaikan kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah dengan tembusan kepada presiden untuk gubernur dan disampaikan kepada gubernur dengan


(51)

tembusan kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah untuk bupati/walikota.

p. Masa tugas komisi Penyelidik Independen berakhir setelah proses pertanggungjawaban kepala daerah selesai.

q. Apabila komisi Penyelidik Independen menilai bahwa keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas penolakan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, selanjutnya diteruskan kepada presiden dan disahkan untuk gubernur atau kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah agar disahkan untuk bupati/walikota.

r. Apabila Komisi Penyelidik Independen menilai bahwa keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas penolakan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka presiden membatalkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk gubernur dan menteri dalam negeri dan ontonomi daerah membatalkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk bupati/walikota.

s. Dengan dibatalkannya keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas penolakan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran gubernur, bupati/walikota maka usul pemberhentian yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah dinyatakan ditolak dan selanjutnya Dewan


(52)

Perwakilan Rakyat Daerah merehabilitasi nama baik gubernur, bupati/walikota.

Dengan demikian, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah bentuk analisis, evaluasi, dan penilaian yang dilakukan untuk mengamati apakah kebijakan, program dan kegiatan yang telah dipilih dan ditetapkan masih relevan dengan tuntutan dan kepentingan masyarakat yang harus diwujudkan dalam penyelenggaraan pembangunan pada masa yang kan datang.

B. Pertanggungjawaban Untuk Hal Tertentu.

Pertanggungjawaban dikarenakan hal tertentu merupakan pertanggungjawaban kepala daerah yang berkaitan dengan dugaan atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang oleh Dewan Perwakilan Daerah dinilai dapat menimbulkan krisi kepercayaan publik yang luas (Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000). Sesuai dengan ketentuan Pasal 21 sampai dengan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000, maka tata cara pertanggungjawaban kepala daerah karena hal tertentu adalah sebagai berikut:

i. Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dapat dipanggil oleh Dewan Perwakilan Daerah atau dengan inisiatif sendiri untuk memberikan keterangan atas perbuatan pidana.


(53)

ii. Pemanggilan kepala daerah tersebut dilakukan atas permintaan sekurang-kurangnya 1/3 (sepertiga) dari seluruh anggota Dewan Perawakilan Daerah.

iii. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengadakan sidang paripurna untuk membahas keterangan yang disampaikan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah paling lambat 1 (satu) bulan sejak kepala daerah dan atau wakil kepala daerah memberikan keterangan.

iv. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membentuk panitia khusus untuk menyelidiki kebenaran keterangan yang disampaikan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah.

v. Berdasarkan hasil penyelidikan panitia khusus, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengambil keputusan untuk menerima atau menolak keterangan kepala daerah untuk hal tertentu.

vi. Apabila Dewan Perwakilan Daerah menolak pertanggungjawban tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

vii. Penyidikan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari presiden bagi gubernur dan menteri dalam negeri dan otonomi daerah bagi bupati/walikota. Apabila gubernur dan atau wakil gubernur berstatus sebagai terdakwa, presiden memberhentikan sementara gubernur dan atau wakil gubernur dari jabatannya.


(54)

viii. Apabila bupati/walikota dan atau wakil bupati/walikota berstatus sebagai terdakwa, menteri dalam negeri dan otonomi daerah memberhentikan sementara bupati/walikota dan atau wakil bupati/wakil walikota dari jabatannya.

ix. Apabila keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menyatakan gubernur dan atau wakil gubernur tidak bersalah, presiden mencabut pemberhentian sementara serta merehabilitasi nama baik gubernur dan atau wakil gubernur tersebut.

x. Apabila keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetep dan menyatakan bupai/walikota dan atau wakil bupati/wakil walikota tidak bersalah maka menteri dalam negeri dan otonomi daerah mencabut pemberhentian sementara serta merehabilitasi nama baik bupati/walikota.

C. Pertangungjawaban Akhir Masa Jabatan.

Pertanggungjawban akhir masa jabatan merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang merupakan penilaian kinerja setiap kepala daerah berdasarkan tolak ukur RENSTRA. Pertangungjawaban akhir masa jabatan dibacakan oleh kepala daerah didepan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah paling lambat 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000, maka tata cara pertanggungjawaban akhir masa jabatan kepala daerah adalah sebagi berikut:


(55)

36 Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala daerah.

Pertanggungjawaban akhir masa jabatan merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang merupakan kinerja setiap kepala daerah berdasarkan tolok ukur Restra.

a. Pertanggungjawaban akhir masa jabatan dibacakan oleh kepala daerah didepan sidang Paripurna DPRD, paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya masa jabatan kepala daerah.

b. Setelah dibacakan kepala daerah, dokumen pertanggungjawaban akhir masa jabatan diserahkan kepada DPRD, untuk selanjutnya dilakukan penilaian sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.

c. Penilaian DPRD atas pertanggungjawaban kepala daerah disampaikan paling lambat 1 bulan setelah dokumen pertanggungjawaban akhir masa jabatan diterima oleh DPRD.

d. Apabila sampai dengan 1 bulan setelah diterimanya dokumen oleh DPRD itu, DPRD belum dapat memutuskan penilaiannya, pertanggungjawaban masa akhir jabatan tersebut dianggap diterima.

e. Petanggungjawaban akhir masa jabatan daerah dapat ditolak apabila terdapat perbedaan yang nyata antara pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolok ukur Restra.


(56)

f. Penilaian atas pertanggungjawaban kepala daerah dilaksanakan dalam rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD.

g. Penolakan DPRD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir, yang terdiri dari seluruh fraksi.

Apabila pertanggungjawaban akhir masa jabatan kepala daerah ditolak kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan tidak dapat dicalonkan kembali sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk masa jabatan berikutnya.

2.2. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah.

Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah yang selanjutnya disebut LPPD adalah laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan oleh kepala daerah kepada Pemerintahan (Pasal 1 angka 8 PP No. 3 Tahun 2007). Mengenai muatan dan tata cara penyampaian LPDP diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 9 : (1) Penyusunan LPPD menganut prinsip transparansi dan Akuntabilitas (2) LPPD provinsi disampaikan oleh gubernur kepada presiden melalui menteri (3) LPPD kabupaten/kota disampaikan oleh bupati kepada menteri melalui gubernur. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disusun dan disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. (5) LPPD akhir masa jabatan disampaikan kepada pemerintah paling lambat


(57)

30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan DPRD. (6) Dalam hal format DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menteri dapat melakukan perubahan format dengan peraturan menteri. Pasal 10 : (1) Apabila kepala daerah berhenti sebelum akhir tahun anggaran, LPPD disampaikan oleh pejabat pengganti atau pelaksana tugas kepala daerah. (2) Materi LPPD yang disampaikan oleh pejabat pengganti atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan laporan dalam memberi memori serah terima jabatan kepala daerah yang diganti ditambah dengan sisa waktu sampai dengan akhir tahun anggaran yang bersangkutan. Pasal 11 : (1) Menteri melakukan evaluasi LPPD provinsi. (2) Ringkasan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada presiden paling lambat 1 (satu) bulan setelah menteri menerima LPPD provinsi. (3) Hasil evaluasi LPPD dijadikan dasar untuk melakukan pembinaan dalam penyelenggaraan pemerintahan provinsi. Pasal 12 : (1) Gubernur melakukan evaluasi terhadap LPPD kabupaten/kota. (2) Ringkasan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada menteri paling lambat 1 (satu) bulan setelah gubernur menerina LPPD kabupaten/kota. (3) Hasil LPPD dijadikan dasar untuk melakukan pembinaan dalam penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota.

2.3. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang selanjutnya disebut LKPJ adalah laporan yang berupa informasi penyelenggaraan


(1)

36 Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala daerah.

Pertanggungjawaban akhir masa jabatan merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang merupakan kinerja setiap kepala daerah berdasarkan tolok ukur Restra.

a. Pertanggungjawaban akhir masa jabatan dibacakan oleh kepala daerah didepan sidang Paripurna DPRD, paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya masa jabatan kepala daerah.

b. Setelah dibacakan kepala daerah, dokumen pertanggungjawaban akhir masa jabatan diserahkan kepada DPRD, untuk selanjutnya dilakukan penilaian sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.

c. Penilaian DPRD atas pertanggungjawaban kepala daerah disampaikan paling lambat 1 bulan setelah dokumen pertanggungjawaban akhir masa jabatan diterima oleh DPRD.

d. Apabila sampai dengan 1 bulan setelah diterimanya dokumen oleh DPRD itu, DPRD belum dapat memutuskan penilaiannya, pertanggungjawaban masa akhir jabatan tersebut dianggap diterima.

e. Petanggungjawaban akhir masa jabatan daerah dapat ditolak apabila terdapat perbedaan yang nyata antara pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolok ukur Restra.


(2)

f. Penilaian atas pertanggungjawaban kepala daerah dilaksanakan dalam rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD.

g. Penolakan DPRD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir, yang terdiri dari seluruh fraksi.

Apabila pertanggungjawaban akhir masa jabatan kepala daerah ditolak kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan tidak dapat dicalonkan kembali sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk masa jabatan berikutnya.

2.2. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah yang selanjutnya disebut LPPD adalah laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan oleh kepala daerah kepada Pemerintahan (Pasal 1 angka 8 PP No. 3 Tahun 2007). Mengenai muatan dan tata cara penyampaian LPDP diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 9 : (1) Penyusunan LPPD menganut prinsip transparansi dan Akuntabilitas (2) LPPD provinsi disampaikan oleh gubernur kepada presiden melalui menteri (3) LPPD kabupaten/kota disampaikan oleh bupati kepada menteri melalui gubernur. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disusun dan disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. (5) LPPD akhir masa jabatan disampaikan kepada pemerintah paling lambat


(3)

30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan DPRD. (6) Dalam hal format DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menteri dapat melakukan perubahan format dengan peraturan menteri. Pasal 10 : (1) Apabila kepala daerah berhenti sebelum akhir tahun anggaran, LPPD disampaikan oleh pejabat pengganti atau pelaksana tugas kepala daerah. (2) Materi LPPD yang disampaikan oleh pejabat pengganti atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan laporan dalam memberi memori serah terima jabatan kepala daerah yang diganti ditambah dengan sisa waktu sampai dengan akhir tahun anggaran yang bersangkutan. Pasal 11 : (1) Menteri melakukan evaluasi LPPD provinsi. (2) Ringkasan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada presiden paling lambat 1 (satu) bulan setelah menteri menerima LPPD provinsi. (3) Hasil evaluasi LPPD dijadikan dasar untuk melakukan pembinaan dalam penyelenggaraan pemerintahan provinsi. Pasal 12 : (1) Gubernur melakukan evaluasi terhadap LPPD kabupaten/kota. (2) Ringkasan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada menteri paling lambat 1 (satu) bulan setelah gubernur menerina LPPD kabupaten/kota. (3) Hasil LPPD dijadikan dasar untuk melakukan pembinaan dalam penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota.

2.3. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang selanjutnya disebut LKPJ adalah laporan yang berupa informasi penyelenggaraan


(4)

pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran atau akhir masa jabatan yang disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD (Pasal 1 angka 9 PP No. 3 Tahun 2007). Didalam Laporan Keteranagan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPJ) terdapat mekanisme yang harus dipatuhi yaitu:

1. LKPJ disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD dalam Rapat Paripurna paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir (PP 105 Tahun 2001).

2. Masing-masing Fraksi memberikan tanggapan terhadap LKPJ yang disampaikan Kepala Daerah. Tanggapan bersifat membandingkan antara rencana yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan (APBD, Renstra/RPJMD) dengan pelaksanaannya.

3. Pada bagian akhir, DPRD melalui rapat paripurna menyampaikan pendapat akhirnya yang dituangkan dalam bentuk Keputusan DPRD. 4. Sebagai sebuah Laporan Kinerja, DPRD dapat memberikan penilaian

terhadap LKPJ Kepala Daerah dengan kriteria yang disepakati bersama (baik, cukup, kurang dsb).

5. LKPJ yang disampaikan Kepala Daerah kepada DPRD hanya dalam pelaksanaan desentralisasi saja (pasal 78 ayat 1 huruf f UU 22 Tahun 2003 tentang Susduk).

6. Selain pelaksanaan desentralisasi dilaporkan pula pelaksanaan asas tugas pembantuan dari Kabupaten/Kota ke Desa (pasal 17 ayat 2 PP Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan).


(5)

Sedangkan tugas pembantuan yang datang dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah Propinsi tidak dilaporkan.

7. LKPJ dari Kepala Daerah kepada DPRD bersifat informatif, dengan demikian tidak ada opsi menerima atau menolak LKPJ. Apabila ada hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan yang telah disepakati, DPRD dapat menggunakan hak interpelasi/meminta keterangan dan atau hak angket.

8. Materi yang dibahas oleh DPRD adalah mengenai berbagai kegiatan untuk dilihat kesesuaiannya antara kebijakan yang telah disetujui bersama baik dalam bentuk Rencana Strategis/RPJMD maupun yang tertuang dalam APBD, termasuk dampak langsung yang nampak maupun dampak yang tidak segera nampak. Materi mengenai teknis keuangan akan diaudit oleh BPK.

9. Kepala Daerah menyampaikan Laporan Keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir - bulan Maret. (Pasal 56 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

10.Kepala Daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir - bulan Juni (Pasal 184 ayat 1 UU 32 Tahun 2004).


(6)

Tata cara dalam penyampaian LKPJ diatur dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 23 : (1) LKPJ disampaikan oleh kepala daerah dalam rapat paripurna DPRD. (2) LKPJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas oleh DPRD secara internal sesuai dengan tata tertib DPRD. (3) Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) DPRD menetapkan keputusan DPRD. (4) Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah LKPJ diterima. (5) Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada kepala daerah dalam rapat paripurna yang bersifat istimewa sebagai rekomendasi kepada kepala daerah untuk perbaikan penyelenggaraan pemerintahan daerah kedepan. (6) Apabila LKPJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditanggapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah LKPJ, diterima, maka dianggap tidak ada rekomendasi untuk penyempurnaan. Pasal 24 : LKPJ akhir masa jabatan kepala daerah merupakan ringkasan laporan tahun-tahun sebelumnya dengan LKPJ sisa masa jabatan yang belum dilaporkan. Pasal 25 : Sisa waktu penyelenggaraan pemerintahan daerah yang belum dilaporkan dalam LKPJ oleh kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, dilaporkan oleh kepala daerah terpilih atau pejabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah berdasarkan laporan dalam memori serah terima jabatan. Pasal 26 : Apabila kepala daerah berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, LKPJ disampaikan oleh pejabat pengganti pelaksana tugas kepala daerah.