PenerapanElectronic Voting Sebagai Perwujudan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia

(1)

PENERAPAN ELECTRONIC VOTING SEBAGAI PERWUJUDAN ASAS LANGSUNG, UMUM, BEBAS, RAHASIA, JUJUR, DAN ADIL DALAM

PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

DIAJUKAN OLEH :

110200526 TRI MARILANDO

HUKUM TATA NEGARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2015


(2)

ABSTRAK *) Tri Marilando **) Armansyah, S.H.,M.H

***) Yusrin Muhammad Nazief, S.H.,M.Hum

Pemilihan umum merupakan bagian tidak terpisahkan dari Indonesia selaku negara demokrasi.Hal tersebut merupakan amanah dari konstitusi yang kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Perkembangan pemilihan umum di Indonesia terbagi dalam beberapa bagian yakni, pemilihan umum legislatif (DPR, DPD & DPRD) dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta pemilihan umum kepala daerah. Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah menjadi bahasan utama dalam skripsi ini karena dalam pemilihan umum kepala daerah harus berpatokan pada beberapa asas yaitu, asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai pasal 22 E ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Salah satu penilaian penting dalam pelaksanaan pemilihan ialah pemungutan suara serta penghitungan suara.Sejak tahun 1955 (pemilihan umum pertama kali) sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan penghitungan suara dengan metode konvensional yakni menggunakan kertas suara yang dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan masalah.Untuk meminimialisir kesalahan dalam pemilihan dengan konvensional, perlu adanya inovasi dengan menerapkan pemungutan suara secara elektronik.Pemungutan secara elektronik atau biasa disebut e-voting adalah sebuah sistem yang memanfaatkan perangkat elektronik untuk melakukan pemungutan suara.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menggali informasi tentang berlakunya e-voting dalam konteks pemilihan kepala desa di Kabupaten Jembrana.Hal ini merupakan sebuah miniatur pemilihan kepala daerah dalam suatu negara bercirikan demokrasi.Beberapa hal yang menjadi kajian peneliti yaitu landasan filosofis, landasan hukum serta mekanisme e-voting yang sedang berkembang di Kabupaten Jembrana dan diimplementasikan dalam pemilihan Kepala Desa untuk kemudian dapat dikembangkan dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah di Indonesia.Penelitian yang dilakukan secara empiris dan normatif berguna untuk melihat praktik pelaksanaan e-voting di Indonesia serta landasan hukum yang dipergunakan.

(Kata Kunci : Demokrasi, pemilihan umum Kepala Daerah, E-voting) *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(3)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Keaslian Penulisan ... 8

1.6 Tinjauan Pustaka ... 9

1.7 Metode Penelitian ...20

1.8 Sistematika Penulisan ...20

BAB II Pola Pemilihan Kepala Daerah 2.1 Sejarah PemilihanKepala Daerah di Indonesia ... 23

2.2 Lahirnya Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung ... 37

2.3 Komisi Pemilihan Umum Daerah Dan Panitia Pengawas Sebagai Penyelenggaran Pemilihan Umum Kepala Daerah ... 43

BAB III Electronic Voting 3.1 Landasan Hukum Penerapan Electronic Voting 3.1.1 Putusan Mahkamah Konstitusi No: 147/PUU-VII/2009 ... 48


(4)

3.1.2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik ...52

3.2 Sistem Electronic Voting 3.2.1 Mekanisme Electronic Voting ... 55

3.2.2 Aplikasi Pemungutan Suara dan penghitungan Hasil ... 58

3.2.3 Aplikasi Rekapitulasi, Pengiriman dan Penayangan Hasil ...60

3.2.4 Desain Mesin Electronic Voting ...61

3.3 Proses Penyelenggaraan E-voting 3.3.1 Proses Non Tahapan ...62

3.3.2 Proses Pra Pemungutan Suara ... 63

3.3.3 Proses Pemungutan Suara ... 64

3.3.4 Proses Pasca Pemungutan Suara ... 67

BAB IV PelaksanaanElectronic Voting Dalam Pemenuhan Azas Langsung, Umum,Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. 4.1 Penerapan Electronic Voting Di Indonesia ( Studi Kasus Dalam Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Jembrana) ... 69

4.2 Implementasi Asas Luber dan Jurdil Dalam Electronic Voting..74

4.3 Keunggulan dan Kelemahan Penerapan Metode Electronic Voting Dibanding Metode Konvensional 4.3.1 Keunggulan Metode Electronic Voting...79

4.3.2 Kelemahan Metode Electronic Voting... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 83

5.2 Saran ...84


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan rahmat, pertolongan serta kuasa-Nya kepada hamba-Nya selaku penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh-Nya. Rasa syukur ini juga diiringi dengan segenggam harapan agar di masa akan datang penulis dapat mempersembahkan karya yang lebih baik.

Penulisan skripsi sebagaimana yang dikerjakan penulis merupakan salah satu bentuk kewajiban yang harus diselesaikan demi memperoleh gelar sarjana hukum dari program S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapaun yang menjadi judul dari skripsi ini adalah “ PenerapanElectronic Voting

Sebagai Perwujudan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia”.

Secara khusus, skripsi ini penulis persembahkan untuk keluarga sederhana penulis yang menjadi salah satu tiang kekuatan penulis hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terimakasih kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Muda Alexander S.H.,M.H dan Ibunda Demi Manurung serta kedua abangku tersayang, Thio Rencus Sinaga S.H dan Ricardo Sinaga S.H yang telah mendukung penulisan ini melalui materi, motivasi, nasehat serta doa yang tiada henti agar skripsi yang penulis kerjakan dapat terselesaikan dengan baik. Terimakasih juga buat tiap pelajaran dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis masih bisa bertahan dalam segala situasi dan kondisi.


(6)

Dalam kesempatan yang sangat tepat ini penulis juga memberikan rasa hormat kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan. Ucapan terimakasih tersebut disampaikan kepada :

1. Prof.Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof.Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, S.H.,M.H.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. O.K.Saidin, S.H.M.Hum, selakuPembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Yusrin Muhammad Nazief selaku sekretaris departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing II penulis.

7. Bapak Armansyah S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis. 8. Bapak Ramli Siregar S.H.M.Hum, selaku dosen Penasehat Akademik

Penulis.

9. Seluruh dosen dan staff pegawai di Fakultas Hukum terutama Departemen Hukum Tata Negara yang telah mengajar dan mengasuh penulis selama masa kuliah.


(7)

10.Seluruh teman-teman penulis yang tergabung dalam Departemen Hukum Tata Negara Stambuk 2011 (Benny, Yeremia, Ulan, Todi, Saprizal, Gerry, Herry, Farrah, Dina, Juanda).

11.Seluruh anggota UKM Sepakbola Fakultas Hukum USU tercinta.

12.Seluruh teman-teman di Grup F stambuk 2011 yang telah menemani penulis dari semester I sampai dengan semester VII untuk berjuang meraih gelar Sarjana Hukum

13.Seluruh keluarga besar Sinaga dan Manurung yang terus berdoa agar penulis dapar menyelesaikan studi dengan baik dan tepat waktu

14.Bapak I Gusti Ngurah Bagus Putra Riyadi, S.H.,M.Si selaku Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Kabupaten Jembrana beserta staff yang telah memberikan berbagai fasilitas untuk mendukung penelitian terkait penulisan skripsi.

15.Panti Asuhan Alas Kasih yang telah memberikan dukungan dalam bentuk doa dan semangat kepada penulis.

16.Kepada teman-teman seperjuangan pada waktu praktik peradilan semu pidana, perdata dan tata usaha negara.

17.Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu karena telah memberi dorongan dan doa untuk menyelesaikan penulisan ini.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.Oleh karena itu, penulis juga mengharapkan segala kritikan dan saran yang positif.

“Banyak hal penting di dunia ini telah dicapai oleh orang-orang yang terus mencoba ketika tampaknya tidak ada harapan sama sekali.”(Dale Carnegie).


(8)

Akhirnya, penulis berharap agar penulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi solusi untuk terciptanya demokrasi yang selaras dengan konstitusi.

Medan, Juni 2015 Penulis


(9)

ABSTRAK *) Tri Marilando **) Armansyah, S.H.,M.H

***) Yusrin Muhammad Nazief, S.H.,M.Hum

Pemilihan umum merupakan bagian tidak terpisahkan dari Indonesia selaku negara demokrasi.Hal tersebut merupakan amanah dari konstitusi yang kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Perkembangan pemilihan umum di Indonesia terbagi dalam beberapa bagian yakni, pemilihan umum legislatif (DPR, DPD & DPRD) dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta pemilihan umum kepala daerah. Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah menjadi bahasan utama dalam skripsi ini karena dalam pemilihan umum kepala daerah harus berpatokan pada beberapa asas yaitu, asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai pasal 22 E ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Salah satu penilaian penting dalam pelaksanaan pemilihan ialah pemungutan suara serta penghitungan suara.Sejak tahun 1955 (pemilihan umum pertama kali) sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan penghitungan suara dengan metode konvensional yakni menggunakan kertas suara yang dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan masalah.Untuk meminimialisir kesalahan dalam pemilihan dengan konvensional, perlu adanya inovasi dengan menerapkan pemungutan suara secara elektronik.Pemungutan secara elektronik atau biasa disebut e-voting adalah sebuah sistem yang memanfaatkan perangkat elektronik untuk melakukan pemungutan suara.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menggali informasi tentang berlakunya e-voting dalam konteks pemilihan kepala desa di Kabupaten Jembrana.Hal ini merupakan sebuah miniatur pemilihan kepala daerah dalam suatu negara bercirikan demokrasi.Beberapa hal yang menjadi kajian peneliti yaitu landasan filosofis, landasan hukum serta mekanisme e-voting yang sedang berkembang di Kabupaten Jembrana dan diimplementasikan dalam pemilihan Kepala Desa untuk kemudian dapat dikembangkan dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah di Indonesia.Penelitian yang dilakukan secara empiris dan normatif berguna untuk melihat praktik pelaksanaan e-voting di Indonesia serta landasan hukum yang dipergunakan.

(Kata Kunci : Demokrasi, pemilihan umum Kepala Daerah, E-voting) *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara bercirikan demokrasi yang menjadikan pemilihan umum 1 sebagai sebuah bukti nyata bahwa Indonesia sangat konsisten dengan demokrasi.Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2 bahwa Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional dimana kekuasaan dipegang oleh rakyat.3

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945.4 Pemilu juga merupakan salah satu proses demokrasi untuk mencapai tujuan nasional. Untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilu itu. Ketiga macam tujuan pemilu itu adalah :5

1

Untuk selanjutnya, penulisan pemilihan umum akan disingkat menjadi pemilu 2

Untuk selanjutnya, penulisan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akan disingkat menjadi UUD NRI 1945

3

Pasal 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 4

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 5

Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia,,Jakarta, 1983, Sinar Bakti, Hal. 330

a. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib; b. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan


(11)

2 Selain itu pemilu memiliki tujuan untuk menjaga agar demokrasi di Indonesia tetap bertahan secara konstitusional. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sebuah proses yang baik dan benar sesuai konstitusi.

Kegiatan pemilu juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil.6

c.) Pemilu Kepala Daerah

Dalam hal ini setiap warga negara yang berdasarkan kelahirannya atau memperoleh kewarganegaraan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan telah berusia 17 tahun berhak untuk menyalurkan hak pilihnya melalui pemilu.

Di Indonesia sendiri ada beberapa pemilu yang dilaksanakan yaitu antara lain sebagai berikut :

a.) Pemilu legislatif yang meliputi pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

b.) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

7

Dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang pemilu dalam konteks pemilukada. Pemilukada adalah pemilu8 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Mulai bulan Juni 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, maupun Walikota/Wakil Walikota, dipilih secara langsung oleh rakyat.9

6

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,Jakarta, Rajawali Pers,2009, Hal. 416 7

Untuk selanjutnya pemilihan umum kepala daerah disingkat menjadi pemilukada 8

Pemberlakuan pemilukada sebagai rezim pemilu mulai diberlakukan sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum

9

Joko .J. Prihatmoko, Pilkada Langsung,Semarang, Pustaka Pelajar,2005, Hal.1

Secara eksplisit ketentuan tentang pemilukada langsungtercermin dalam cara pemilihan dan


(12)

asas-3 asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilukada. Dalam pasal 56 ayat (1) disebutkan : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”10

Sampai pada saat ini pemilu yang diterapkan di Indonesia masih dilaksanakan dengan cara mencoblos atau mencontreng sesuai perintah dari undang-undang.Pemilu dengan cara mencoblos atau mencontreng ternyata masih banyak memiliki nilai negatif dalam pelaksanaannya. Permasalahan awal pemilu terjadi pada tahapan pendataan pemilih.Pemilih merupakan unsur yang sangat penting dalam pemilu.Pemilih mempunyai banyak persyaratan agar bisa menggunakan hak pilihnya sebaik mungkin.Pemilih yang sudah memenuhi persyaratan harus terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT)11

Dalam kenyataannya, banyak pemilih yang seharusnya mempunyai hak memilih tidak terdaftar dalam DPT, sedangkan pemilih yang sudah hilang hak suaranya masih terdaftar dalam DPT. Setiap ada perubahan pada jumlah kependudukan Indonesia harusnya bisa ditangani dan dicatat cepat mengikuti perubahan yang terjadi karena jumlah pemilih berhubungan dengan jumlah kertas suara yang disediakan.

.Petugas yang melakukan pendataan harus selektif dan benar dalam melakukan pendataan karena hal ini berpengaruh pada jumlah suara.

12

10

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

11

Untuk selanjutnya, Daftar Pemilih Tetap akan disingkat menjadi DPT

Selain itu, permasalahan selanjutnya dalam pemilu dengan cara mencoblos atau mencontreng ialah yaitu lamanya proses pemilihan yang dilakukan pemilih, masih banyaknya pemilih yang mengalami kesalahan


(13)

4 dalam mencoblos atau mencontreng serta lamanya proses penghitungan suara di tempat pemungutan suara 13

Banyaknya perselisihan dalam Pemilu di antaranya disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi ;

.Dengan sistem seperti yang telah dijelaskan ternyata masih banyak kecurangan yang terjadi dalam pemilu dengan cara mencoblos atau mencontreng.

14

13

Untuk selanjutnya, tempat pemungutan suara akan disingkat menjadi TPS

a.) Banyak terjadi kesalahan dalam proses pendaftaran pemilih. Permasalahan ini sangat mengemuka pada Pemilu tahun 2009 terutama pada pemilihan presiden danwakil presiden.Banyak terjadi kasus penduduk yang sudah meninggal dunia masih tercatat dalam daftar pemilih, dan sebaliknya penduduk asli yang telah berdomisili lama di suatu desa ternyata tidak tercatat dalam daftar pemilih, atau sangat mungkin seorang pemilih tercatat sebagai daftar pemilih pada lebih dari suatu Tempat Pemungutan Suara (TPS). Permasalahan ini muncul karena sistem informasi kependudukan yang masih belum berjalan dengan baik.Fenomena penggunaan kartu identitas ganda juga menyebabkan banyaknyapemilih yang memiliki kartu suara lebih dari satu buah.Keadaan ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meningkatkan jumlah suara sehingga dapat menjadi sarana untuk menang dalam pemilu.

b.) Ketika pemungutan suara banyak pemilih yang melakukan kesalahan dalam memberi tanda pada kertas suara akhirnya banyak kartu suara yang dinyatakan tidak sah.

c.) Proses pengumpulan kartu suara yang berjalan lambat, karena perbedaan kecepatan pelaksanaan pemungutan suara di masing-masing daerah. Hal ini ditambah dengan kondisi geografis negara kita yang heterogen sehingga dapat menghambat distribusi kartu suara.

d.) Proses penghitungan suara yang dilakukan di setiap daerah juga berjalan lambat karena proses tersebut harus menunggu semua kartu suara terkumpul terlebih dahulu. Keterlambatan yang terjadi pada proses pengumpulan, akan berimbas kepada proses penghitungan suara.

e.) Keterlambatan proses pengiriman hasil perhitungan suara. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya infrastruktur teknologi komunikasi di daerah.Oleh karena itu, seringkali pusat tabulasi harus menunggu data penghitungan yang dikirimkan dari daerah dalam jangka waktu yang lama. Akibat dari hal tersebut, maka pengumuman hasil pemilu akan memakan waktu yang lama.


(14)

5 f.) Sangat mungkin terjadi “jual beli” kertas suara demi untuk kepentingan

partai tertentu yang dilakukan secara sistematis dan terselubung.

Berbagai permasalahan tersebut telah menurunkan kualitas dari penyelenggaraan pemiludan sekaligus menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.Untuk mengatasi permasalahan di atas salah satu solusi yang dapat dilakukan ialah dengan menyelenggarakan pemilu secara elektronik.15

Pengertian dari pemungutan suara secara elektronik atau biasa disebut dengan electronic voting

Penulis berpendapat bahwa pemanfaatan informasi dan teknologi menjadi inovasi baru dalam pelaksanaan pemiludi Indonesia. Hal tersebut juga diharapkan mampu secara perlahan untuk mengubah pemilu yang sejak tahun 1955 (pemilu pertama kali dilaksanakan) sampai pada sekarang ini yang masih dilakukan dengan cara mencoblos atau mencontreng.

16

secara umum adalah penggunaan teknologi komputer pada pelaksanaan voting, menjelaskan secara umum sejarah, jenis e-voting keuntungan dan kerugian dalam penggunaannya. Pilihan teknologi yang digunakan dalam implementasi dari e-votingsangat bervariasi, seperti penggunaan smart card untuk otentikasi pemilih, penggunaan internet sebagai sistem pemungutan suara, penggunaan touch screen sebagai pengganti kartu suara, dan masih banyak variasi teknologi yang digunakan.17

Hal sebagaimana dijelaskan diatas seperti yang terjadi pada Kabupaten Jembrana, Bali.Sebuah Kabupaten yang secara geografis terletak di ujung barat Pulau Dewata.Dengan kearifan lokal yang sedemikian rupa mampu menciptakan

15

http://reflyharun.blogspot.com/2009/07/menggagas-e-voting.html, diakses pada 18 Maret 2015 16

Untuk selanjutnya , penulisan electronic voting akan disingkat menjadi e-voting

Februari 2014


(15)

6 suatu pemilihan Kepala Desa18

Visi seperti yang dijelaskan diatas adalah salah satu program yang diprakarsai oleh Komisi Pemilihan Umum di Indonesia dan Badan Pengkajian dan penerapan Teknologi (BPPT) bersama dengan Departemen Dalam Negeri, di mana pemilih ditawarkan cara baru yang digunakan untuk menjamin hak suara mereka. Visi ini juga wujud dari permintaan publik untuk mendapat hasil perhitungan suara segera, tekanan dari public untuk pemilu yang berasas Luber Jurdil, dan kebutuhan untuk biaya yang lebih rendah mendorong negara ke arah sistem pemungutan suara elektronik.

dengan metode e-votingyang mampu mengakomodir hak pilih tiap warga di Kabupaten Jembrana, baik warga yang masih berusia muda bahkan sampai warga yang berusia tua. Alangkah baiknya kalau metode e-votingditerapkan dalam pemilukada di Indonesia karena pemilihan kepala dusun merupakan miniatur demokrasi yang dapat diterapkan dalam wilayah yang cakupannya lebih luas lagi seperti dalam hal pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dan Gubernur/Wakil Gubernur

19

18

Untuk selanjutnya, pemilihan kepala desa akan disingkat menjadi pilkades

Oleh karena itu penulis berinisitiaf untuk mengangkat “Penerapan Electronic Voting Sebagai Perwujudan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia” menjadi bahasan bagi penulis.

19

http://smartmaticindonesiaevotingproject.blogspot.com/2011/10/visi-e-voting-untuk-rakyat-indonesia-di.html, diakses pada 12 Februari 2014


(16)

7 1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah pokok yang akan diteliti adalah :

1. Bagaimana sejarah pemilihan umum Kepala Daerah di Indonesia ?

2. Bagaimana dasar hukum pelaksanaan e-voting dalam pemilihan umum Kepala Daerah di Indonesia ?

3. Bagaimana penerapan e-voting untuk mendukung asas Luber dan Jurdil dalam pemilihan umum Kepala Daerah di Indonesia ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui tentang sejarah pemilukada di Indonesia

2. Untuk mengetahui tentang dasar hukum tentang penerapan e-votingdi Indonesia

3. Untuk mengetahui tentang penerapan e-voting dalam mendukung asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

1.4 MANFAAT PENELITIAN Manfaat Teoritis

A. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum Tata Negara khususnya yang berkaitan dengan pemilu.

B. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan solusi dalam bidang Hukum Tata Negara kepada masyarakat,


(17)

8 pemerintah, dan para anggota lembaga perwakilan rakyat di Indonesia terkait dengan pemiludilaksanakan tiap 5 tahun sekali, baik pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden

Manfaat Praktis

A. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa, masyarakat, maupun pihak lain dalam penulisan-penulisan lainnya yang memiliki keterkaitan.

B. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi terciptanya suatu perubahan dalam Undang-Undang serta peraturan perundang-undangan mengenai pemilukada..

C. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi peningkatan kualitas dalam pelaksanaan pemiluyang lebih demokratis di Indonesia pada tahun 2019 nanti.

D. Memenuhi syarat guna menyelesaikan studi strata 1 (S1) di bidang hukum dan meraih gelar Sarjana Hukum.

1.5 Keaslian Penulisan

Dengan ini saya menyatakan bahwa, penulisan skripsi dengan judul “ PenerapanElectronic Voting Sebagai Perwujudan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia ” ini sepengetahuan penulis belum pernah ditulis oleh siapapun di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila dikemudian hari terdapat permasalahan terkait kesamaan judul dan objek pembahasan sebelum tulisan ini dibuat, maka penulis dengan siap akan mempertanggungjawabkannya baik secara moral dan ilmiah.


(18)

9 1.6 TINJAUAN PUSTAKA

Sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia terhitung telah mengalami sepuluh kali pemilu.20Indonesia merupakan negara bercirikan demokrasi yang konsisten melaksanakan pemilu.Di kebanyakan negara demokrasi, pemilu dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu.21

Dalam tataran pengaplikasiannya hingga saat ini, pemilu di Indonesia memakan waktu yang begitu lama terutama dalam hal penetapan hasil pemilu yang memakan waktu hingga 30 hari sejak penghitungan suara dilakukan.Hal ini menjadi sebuah ketidakpastian dalam pemilu berlangsung sangat lama. Yang paling memprihatinkan, apa yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah

Berbagai dinamika yang terjadi melahirkan perubahan yang cukup signifikan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia dari masa ke masa.

22

bisa jadi tak semuanya mencerminkan pilihan rakyat. Setiap sistem pemilu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam praktiknya yang sering menjadi permasalahan adalah bukan pada sistem pemilu (election system) yang dipilih, tetapi lebih pada proses pelaksanaan pemilu mulai dari penentuan calon, kepanitiaan, saksi, kampanye, dan rekapitulasi perhitungan suara.23

Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem & kualitas dalam penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan demokratis.Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu ada suatu perubahan dalam pemiludi Indonesia yaitu dengan menerapkan metode e-voting dalam pemungutan

20

Janedjri Gaffar, Demokrasi dan Pemilu Di Indonesia, Jakarta, Konpress,2013, Hal.93

21

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2008, Hal. 461 22

Untuk selanjutnya , penulisan Komisi Pemilihan Umum Daerah akan disingkat menjadi KPUD 23


(19)

10 suara serta penghitungan suara dalam pemilu khususnya pemilukada. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut ialah dengan melaksanakan pemilu dengan menggunakan e-voting.

E-voting berasal dari kata e-voting yang mengacu pada penggunaan teknologi informasi pada pelaksanaan pemungutan suara.24Pengertian dari e-voting secara umum adalah penggunaan teknologi komputer pada pelaksanaan voting, menjelaskan secara umum sejarah, jenis e-voting, keuntungan dan kerugian dalam penggunaannya. Pilihan teknologi yang digunakan dalam implementasi dari e-voting sangat bervariasi, seperti penggunaan smart card untuk otentikasi pemilih, penggunaan internet sebagai sistem pemungutan suara, penggunaan touch screen sebagai pengganti kartu suara, dan masih banyak variasi teknologi yang digunakan.25

Yang dimaksudkan sebagai e-voting bukanlah online voting.E-votinghanyalah menggantikan fungsi surat suara. Sebelumnya pemilih diberi surat suara dan harus melakukan pencontrengan, sedangkan dengan e-voting mereka hanya datang ke bilik suara dan melakukan “pemencetan”. Di bilik suara akan ada semacam mesin yang menggantikan surat suara. Para pemilih tinggal memencet atau menyentuhparpol dan calon yang tertera dalam mesin elektronik tersebut. Mesin inilah yang kemudian akan dibawa ke KPUD untuk dilakukan rekapitulasi dalam penghitungan suara saat pemilihanKepalaDaerah26

berlangsung.

Dengan e-voting, rantai penghitungan suara bisa dipangkas secara signifikan.Penghitungan suara tidak perlu dilakukan di tiap TPS, begitu pula tidak

25

http://cucusukmana.wordpress.com/Perencanaan- E-Voting, diakses pada 26 Februari 2015

26


(20)

11 perlu ada penghitungan di Panitia Pengawas Kecamatan.Untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, penghitungan pertama dan terakhir cukup di KPU kabupaten/kota. Untuk DPR, DPD, dan DPRD provinsi, penghitungan pertama dan terakhir cukup dilakukan di KPUD provinsi. KPU hanya mengumumkan perolehan yang telah ditetapkan oleh KPUD kabupaten/kota dan KPUD provinsi tersebut, tanpa melakukan rekapitulasi lagi.27

Selain itu e-votingmemiliki kriteria dalam hal sistem keamanan. Keamanan sistem ini memiliki beberapa kriteria yaitu:28

1.Eligibility :Hanya pemilih yang terdaftar yang dapat melakukan pemilihan.

2.Unreusability :Setiap pemilih hanya bisa memberikan satu kali pilihan. 3.Anonymity :Pilihan pemilih dirahasiakan

4. Accuracy :Pilihan tidak bisa diubah atau dihapus selama atau setelah pemilihan dan juga tidak bisa ditambahkan setelah pemilihan ditutup.

5.Fairness :Perhitungan suara sebelum pemilihan ditutup tidak bisa dilakukan.

6.Vote and Go :Pemilih hanya dapat melakukan pemilihan saja. 7. Public Verifiability: Setiap orang dapat melakukan pengecekan pada

berjalannya proses pemilihan.

Dilihat dari potensi manfaat penerapan teknologi untuk pemilu, dapat dilihat dari berbagai segi, misalnya kemudahan, kecepatan, dan dapat mengurangi resiko kecurangan.“Intinya e-votingni harus dapat meningkatkan kualitas.Artinya, semua penduduk harus melakukan pemilihan dan tidak ada yang memilih lebih dari satu kali kali, serta dapat meminimalkan anggaran dalam melaksanakan pemilu.

28

http://smartmaticindonesiaevotingproject.blogspot.com Februari 2014


(21)

12 Tiap-tiap asas-asas pemilu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan harus terpenuhi agar tercipta pemiluyang konstitusional.Mahkamah Konstitusi telah menyatakan penggunaan e-voting konstitusional sepanjang tidak melanggar asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa membatasi pemberian suara hanya dengan mencoblos berarti melanggar pasal 28C ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa setiap negara berhak memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan kualitas hidup.

Di Indonesia sendiri, praktik penerapan e-votingtelah dilaksanakan di beberapa wilayah seperti Kabupaten Boyolali, Kabupaten Bantaeng serta Kabupaten Jembrana. Apa yang terjadi dalam penggunaan e-voting di Indonesia merupakan kooptasi dari luar negeri. Pemilihan elektronik di tempat pemungutan suara (TPS) sudah dilaksanakan di beberapa negara demokrasi terbesar di dunia, dan pemilihan melalui Internet digunakan di beberapa negara terutama pada awalnya di negara kecil dan secara historis bebas konflik. Banyak negara yang kini mempertimbangkan untuk mengenalkan sistem e-voting dengan tujuan meningkatkan beragam aspek terhadap proses pemilu.29

E-voting sendiri merupakan sebuah solusi untuk melaksanakan proses pemilu yang lebih baik pada saat ini dan sudah mulai diterapkan di beberapa negara di dunia. E-voting secara umum adalah penggunaan teknologi komputer pada pelaksanaan voting.30

29

Memperkenalkan Pemilihan Elektronik: Pertimbangan Esensial.

Masing-masing negara memiliki sistem e-voting

30


(22)

13 tersendiri yang telah disesuaikan dengan keadaan dan infrastruktur yang dimiliki negara tersebut.31

Banyak negara yang telah lama menerapkan e-voting.Namun demikian penerapan e-voting pada negera-negara tersebut berdasarkan pada strategi, tahap-tahap dan metode yang berbeda-beda.Ada negara yang menyelenggarakan e-voting secara online melalui jaringan Internet, dan ada pula negara yang penerapannya berbasis mesin pemngutan suara yang ditempatkan pada TPS. Berikut ini adalah negara-negara yang telah menerapkan e-votingyaitu antara lain sebagai berikut :32

• Australia

Penggunaan e-voting pertama kali dikenal dengan nama CyberVote oleh Midac (Microprocessor Intelligent Data Acquisition and Control) pada tahun 1995 pada suatu pemungutan suara berbasis web untuk jajak pendapat (petisi) mengenai uji coba nuklir Perancis di wilayah Pasifik. Hasil petisi dikirimkan ke pemerintah Perancis melalui Syquest removable hard disk. Pada oktober 2001 e-votingtelah digunakan pertama kali dalam pemilihan anggota parlemen Australia.Pemilu tersebut diiikuti oleh 16.559 pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara elektronik di empat tempat pemungutan suara (TPS).Kemudian Pemerintah Negara Bagian Victoria memperkenalkan e-voting sebagai uji coba pada tahun 2006. Pada tahun 2007 para personil angkatan bersenjata Australia yang ditempatkan di Irak, Afghanistan, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon telah diberi kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya melalui jaringan khusus oleh

31

http://cucusukmana.wordpress.com/Perencanaan- E-Voting, diakses pada 26 Februari 2015

32

http://smartmaticindonesiaevotingproject.blogspot.com Februari 2015


(23)

14 departemen pertahanan sebagai bagian dari proyek kerjasama antara departemen pertahanan dengan komisi pemilu Australia. Setelah mereka menggunakan hak pilih kemudian datanya dienskripsi dan dikirimkan melalui Citrix server ke database.Sebanyak 2.012 personil terdaftar sebagai pemilih dan dari jumlah tersebut 1.511 orang berhasil menggunakan hak pilihnya.33

• Brazil

E-voting di Brazil diperkenalkan pertama kali pada tahun 1996 yakni ketika dilakukan uji coba di Negara Bagian Santa Catarina.Sejak tahun 2000 semua pemilu di Brasil telah dilakukan secara elektronik. Pada tahun 2002 lebih dari 400.000 mesin e-voting telah digunakan di seluruh wilayah Brazil dan selanjutnya data hasil pemilu dihitung secara elektronik yang hasilnya dapat diketahui dengan cepat setelah pemilu selesai dalam hitungan menit.34

• Estonia

E-Voting di Estonia telah dimulai pada bulan Oktober 2005 pada pemilu lokal.Estonia menjadi negara pertama yang menyelenggarakan pemilu melalui Internet dan telah dinyatakan berhasil oleh pejabat pemilu Estonia.Sebanyak 9.317 orang telah menggunakan hak pilihnya secara online.Pada tahun 2007 Estonia dinobatkan sebagai negara yang menyelenggarakan e-voting melalui Internet secara nasional.Pemilu telah dilaksanakan selama dua hari pada 26-28 Februari dan telah berhasil menjaring 30.275 orang yang menggunakan hak pilih melalui Internet.Tahun 2009 pada pemilu lokal kotapraja telah berhasil memfasilitasi 104.415 orang yang menggunakan hak pilih melalui Internet. Hal

33

Ibid

34


(24)

15 ini berarti 9,5% dari total pemilih telah menggunakan hak pilihnya melalui internet. Tahun 2011 pada pemilihan anggota parlemen pada tanggal 24 Februari sampai dengan 2 Maret, sebanyak 2.140.846 orang telah memilih secara online. 95% pemilih menggunakan hak pilih di dalam negeri dan sisanya memilih dari luar negeri yang tersebar di 106 negara.35

• Perancis

Januari 2007 Partai Union for a Popular Movement (UMP) menyelenggarakan pemilihan presiden dengan menggunakan remote e-voting dan juga melalui 750 TPS yang menyediakan layar sentuh.Pemilihan telah diikuti 230.000 suara yang mewakili hampir 70% dari daftar pemilih. Pemilu di Perancis diselenggarakan secara online melalui Internet untuk pertama kali pada tahun 2003 ketika warga negara Perancis yang berdomisili di Amerika Serikat memilih wakil mereka yang akan duduk dalam Majelis Warga Perancis di luar negeri. Lebih dari 60% pemilih menggunakan haknya melalui Internet dan bukan menggunakan pemilihan berbasis kertas. 36

• India

Tidak ada negara di dunia ini yang telah menggunakan e-voting untuk skala besar selain India. Hal ini terjadi karena India adalah negara dengan penduduk terbesar kedua di dunia, dan karena itu penyelenggaraan e-voting di India patut mendapatkan perhatian. E-voting diperkenalkan pertama kali pada tahun 1982 dan digunakan pada waktu uji coba untuk pemilihan Majelis Bort Parur di Negara Bagian Kerala. Namun demikian Mahkamah Agung India

35

Ibid

36


(25)

16 membatalkan hasil pemilu tersebut karena tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di sana. Atas dasar ini kemudian dilakukan amandemen terhadap undang-undang Perwakilan Rakyat untuk mengesahkan pemilu yang diselenggarakan melalui Electronic Voting Machine (EVMs).Pada tahun 2003 semua pemilu di negara bagian telah menggunakan EVMs.Alat ini juga telah digunakan pada pemilu nasional untuk memilih anggota parlemen India pada tahun 2004 dan 2009. Menurut data statistik yang bersumber dari media massa utama di India, lebih dari 400 juta pemilih (60% dari pemilih yang terdaftar) telah menggunakan hak mereka melalui EVMs pada pemilu tahun 2009.

Keberhasilan penerapan e-voting di India bukan semata-mata karena soal teknologi, tapi juga karena sistem pemilunya yang sederhana.India menggunakan system first past the post atau sistem distrik yang merupakan varian paling sederhana dan mudah dalam keluarga sistem mayoritas/pluralitas. Yaitu, hanya ada satu kandidat dari setiap partai di surat suara (single member distric). Jika yang diterapkan adalah sistem proporsional terbuka seperti Indonesia, di mana setiap partai mengirimkan 120 persen caleg dari total kursi yang diperebutkan di sebuah daerah pemilihan (distrik), problemnya tentulah tak sederhana. Panel elektronik atau layar sentuhnya harus dibuat luar biasa besar.

• Italia

Pada tanggal 9 dan 10 April 2006 Kotamadya Cremona telah menerapkan mesin pemungutan suara pada pemilu nasional. Pilot proyek ini melibatkan tiga ribu pemilih dan empat TPS yang difasilitasi dengan sistem Nedap. Partisipasi pemilih sangat tinggi dan pilot proyek dinyatakan berhasil.37

37


(26)

17

• Filipina

Pada bulan Mei 2010 Pemerintah Filipina telah merencanakan untuk menyelenggarakan pemilu secara eletronik untuk pertama kali dengan menggunakan optical scan voting system. Pemerintah telah mengeluarkan dana sebesar $160 juta untuk pembiayaan sistem baru. Dana ini termasuk untuk pengadaan EVMs, printer, server, genset, memoery card, baterai, dan peralatan transmisi satelit dan broadband.Penerapane-voting secara nasional dimaksudkan untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan dalam penghitungan suara.Juga diharapkan dapat mengurangi kecurangan dan korupsi sebagaimana ditemukan pada pemilu-pemilu di Filipina yang telah diadakan sebelumnya.Pada tanggal 3 Mei 2010, Filipina telah melakukan pre-test terhadap sistem e-voting. Komisi Pemilu (Comelec) telah menemukan 76.000 dari total 82.000 mesin scan optik terdapat kegagalan dalam kartu memori. Mesin telah salah menghitung dan memberikan suara kepada kandidat lawan.Setelah dilakukan penyesuaian antara penghitungan manual dan elektronik, kartu memori kemudian diganti untuk seluruh wilayah.Akhirnya banyak pemilih yang skeptis terhadap penerapan e-voting setelah kejadian tersebut.Tanggal 10 Mei 2010 rakyat Filipina telah memilih presiden menggunakan e-voting untuk kali pertama.KPU Filipina melaporkan bahwa hanya 400 dari 82.000 mesin e-voting yang tidak berfungsi.Kebanyakan pemilih mengeluhkan panjangnya antrian dan butuh waktu lama untuk mempelajari teknologi baru.

• Amerika Serikat

Menurut data Aceproject, di Amerika e-voting baru mencakup sepertiga jumlah pemilih.Pada pemilihan presiden tahun 2004, muncul kegagalan di


(27)

18 sejumlah tempat pemungutan suara.Pemilih tidak bisa memverifikasi apakah mesin e-votingbenar-benar mencatat suara seperti yang mereka maksudkan, dan petugas pemilu pun tidak mungkin melakukan penghitungan ulang.Maka timbullah kekhawatiran terhadap keamanan penggunaan mesin e-voting.Muncul pula perdebatan serius soal bagaimana menjamin integritas hasil pemilihan presiden yang digelar saat itu dimana pada 2004 pemilu presiden diikuti George W Bush dari Republik, dan John Kerry dari Demokrat.Buntut dari kasus tersebut, tercetus gagasan untuk melengkapi mesin e-voting, dengan teknologi tambahan yang memungkinkan suara yang telah diberikan diverifikasi.Bentuknya berupa struk yang keluar dari mesin e-votingsebagai bukti.Teknologi ini kemudian dikenal dengan sebutan (voter verifiable paper audit trail, VVPAT). Saat itu, sebanyak tujuh negara bagian langsung mengajukan undang-undang mengadopsi VVPAT, dan 14 negara bagian lain mengajukan legislasi yang sama. Anggota House of Representatives (DPR federal) pun akhirnya mempertimbangkan untuk mereformasi e-voting, dengan menambahkan VVPAT.38

Meski demikian persoalan e-voting di Amerika bukan hanya pada mesinnya.Seperti dilaporkan Electronic Frontier Foundation (EFF), persoalan lainnya adalah pada SDM-nya yang tidak terlatih.Selain itu, lembaga ini, dalam situsnya, eff.org, menyatakan teknisi dari vendor mesin e-voting pun masih memiliki akses tak terawasi terhadap peralatan e-voting. Staf KPU lokal pun, kerap menolak audit data. Problem juga terjadi pada teknologi internet voting (remote e-voting).Teknologi ini digunakan 100 ribu orang Amerika yang berada di luar negeri (ekspatriat). Tapi, teknologi yang disebut sebagai Secure Electronic

38


(28)

19 Registration and Voting Experiment (SERVE), itu, dihentikan pada tahun 2004, setelah petugas dari Departemen Pertahanan AS menemukan bahwa sistem itu tidak cukup aman untuk mentransfer suara pemilih.

Sampai saat ini, Amerika Serikat masih digolongkan sebagai negara yang bermasalah dalam penerapan e-voting. Bahkan, Penasihat Pemilu Senior International Foundation for Electoral System (IFES), Peter Erben, menyebut Amerika gagal. Negara gagal lainnya adalah Jerman, Belanda, dan Irlandia.Adapun negara-negara yang sukses menerapkan e-voting menurut Peter, antara lain India dan Brazil.

Menurut data IFES, sampai dengan tahun 2004 lalu, dari 50 negara bagian di Amerika, 80 persen diantaranya masih menggunakan surat suara manual. Sebanyak 18 negara bagian menggunakan surat suara manual tanpa teknologi electronic voting, hanya penghitungan suaranya menggunakan pemindai optik yang biasa dikategorikan e-counting. Negara bagian lainnya memadukan penggunaan surat suara manual dengan e-voting. Satu Negara bagian menggunakan surat suara manual dan punch card; 10 negara bagian menggunakan surat suara manual dan teknologi DRE plus VVPAT; empat negara bagian memadukan surat suara manual dengan teknologi DRE dengan atau tanpa VVPAT; tujuh negara bagian memadukan surat suara manual dengan teknologi DRE tanpa VVPAT. Yang benar-benar murni menerapkan teknlogi DRE dengan VVPAT hanya dua negara bagian, yaitu Nevada dan Utah.Sedangkan, tujuh negara bagian yang menerapkan DRE tanpa VVPAT, antara lain Lousiana, Georgia, dan South Carolina.


(29)

20 Beberapa negara sudah menerapkan e-voting dalam pemilu mereka.Diantaranya India, Filipina dan Amerika Serikat.Indonesia pun mencoba belajar dari kesuksesan tersebut.Pemerintah India menganggarkan sekitar US$ 286 juta untuk pemilu dengan sistem e-votingAdapun Filipina, dengan jumlah penduduk hanya 90 juta jiwa memerlukan sekitar 82 ribu mesin e-voting.39

1.5 Keaslian Penulisan 1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian secara empiris berdasarkan studi kasus dalam pilkades di lingkungan Kabupaten Jembrana dan penelitian secara normatif dengan menggunakan peraturan perundang-undangan.

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Manfaat Penelitian

pada 18 Februari 2015


(30)

21 1.6 Tinjauan Pustaka

1.7 Metode Penelitian

1.8 Sistematika Penulisan

BAB II Pola Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

2.1 Sejarah Pilkadadi Indonesia

2.2 Lahirnya PilkadaSecara Langsung

2.3 Komisi Pemilihan Umum Daerah Dan Panitia Pengawas Sebagai Penyelenggaran Pilkada

BAB III Electronic Voting

3.1 Landasan Hukum Penerapan Electronic Voting

3.1.1 Putusan Mahkamah Konstitusi No: 147/PUU-VII/2009

3.1.2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik

3.2 Sistem Electronic Voting

3.2.1 Mekanisme Electronic Voting


(31)

22 3.2.3 Desain Mesin Electronic Voting

BAB IV PelaksanaanElectronic Voting Dalam Pemenuhan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil.

4.1 Penerapan Electronic Voting Di Indonesia ( Studi Kasus Dalam Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Jembrana)

4.2 Implementasi Asas Luber dan Jurdil Dalam Electronic Voting 4.3 Keunggulan dan Kelemahan Penerapan Metode Electronic Voting

Dibanding MetodeKonvensional 4.3.1 KeunggulanMetode Electronic Voting 4.3.2 KelemahanMetode Electronic Voting

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran


(32)

23 BAB II

POLA PEMILIHANKEPALA DAERAH DI INDONESIA

2.1 Sejarah Pilkada di Indonesia

Pilkada di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dengan mekanisme yang berbeda-beda, ada yang menggunakan pola penunjukkan, pilkada melalui DPRD, dan pilkada secara langsung.Pilihan masing-masing pola tersebut sangat bergantung pada pemegang kekuasaan.Pergantian pemegang kekuasaan maupun masuknya rezim baru dalam suatu kekuasaan memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pilkada selama ini.Masing-masing penguasa atau rezim mengambil kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda.40

40

Joko. J. Prihatmoko, Pilkada Langsung, Pustaka Pelajar, Semarang, 2005 Hal. 37

Perjalanan pelaksanaan pilkada di Indonesia apabila dikaji secara historis dibagi menjadi 3 zaman.Hal ini berdasarkan zaman sebelum Indonesia merdeka sampai memperoleh kemerdekaan. Berikut ini penjelasan 3 zaman tersebut :

Eksistensi pilkada di Indonesia dibagi menjadi 3 zaman, yaitu antara lain sebagai berikut :

a. Kepala Daerah Pada Zaman Belanda b. Kepala Daerah Pada Zaman Jepang c. Kepala Daerah Zaman Indonesia Merdeka


(33)

24 Pada zaman Belanda, pengaturan tentang pemerintahan di daerah umumnya dibedakan menjadi 2 bagian yang saling terkait satu sama lain. Pertama, daerah Jawa dan Madura.Kedua, daerah di luar Jawa dan Madura seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya.Pembagian wilayah ini dimaksudkan untuk membagi sebagian kewenangan yang dimiliki pusat kepada daerah-daerah.

Ada beberapa tingkat-tingkat pemerintahan dalam zaman Belanda yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Daerah Jawa dan Madura

Tingkatan pemerintahan di Jawa dan Madura pada masa kolonial Belanda terbagi dalam beberapa tingkatan, yang dapat dikelompokkan menjadi pemerintahan pangreh praja dan pamong praja.Pemerintahan pangreh praja pada tingkat tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur.Selanjutnya, tiap-tiap provinsi dibagi menjadi Karesidenan yang dipimpin oleh Residen.Tiap-tiap Keresidenan dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Afdelling yang dipimpin oleh Asisten Residen.Dalam pemerintahan pamong praja, terdiri dari Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati.Kemudian tiap Kabupaten dibagi menjadi beberapa Kawedanan yang dipimpin oleh seorang Wedana.Tiap-tiap Kawedanan dibagi menjadi Kecamatan yang masing-masing dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana.Kecamatan meliputi beberapa desa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa.41

41

J.Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah (Pola Kegaiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daearh), Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Hal.25


(34)

25 Adapun untuk daerah luar Jawa dan Madura susunan tingkat-tingkat pemerintahan daerah agak berbeda sedikit dibandingkan dengan daerah Jawa dan Madura.Tingkat pemerintahan yang tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur.Tiap-tiap provinsi dibagi menjadi beberapa Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Residen.Tiap-tiap Karesidenan dibagi menjadi beberapa Afdeling yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen.Tiap-tiap Afdeling dibagi menjadi beberapa Onder-Afdeling yang dikepalai oleh seorang Kontrolir.Tiap-tiap Onder Afdeling dibagi menjadi Kewedanan atau District yang dikepalai oleh Wedana atau Demang. Selanjutnya tiap-tiap Kewedanan dibagi menjadi beberapa kecamatan atau Onder-District yang dikepalai oleh seorang Camat atau Asisten Demang dan tiap-tiap Kecamatan meliputi beberapa Desa atau Marga atau Kuria Nagari atau nama lainnya, yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa atau nama lainnya.42

Pada zaman Belanda dapat dikatakan bahwa praktik penyelenggaraan pilkada sudah dilakukan dengan cara penunjukan secara langsung. Politik kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan menerapkan sistem pemerintah daerah yang bertujuan untuk kepentingan mereka.43

Untuk tiap-tiap jabatan pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan diatas ,pilkada dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Hal ini terjadi karena tidak Oleh sebab itu, baik untuk daerah Jawa dan Madura atau daerah luar Jawa dan Madura, jabatan-jabatan Gubernur, Residen, Asisten Residen dan Kontrolir dipegang dan dijabat langsung oleh orang-orang Belanda, sedang untuk jabatan-jabatan lainnya seperti Camat dan Kepala Desa diberikan kepada pribumi bangsa Indonesia untuk mendudukinya.

42

Ibid

43


(35)

26 ada mekanisme dan persyaratan yang jelas dalam rekrutmen jabatan untuk pemerintahan di daerah.Mekanisme pengisian jabatan dalam tingkat-tingkat pemerintahan zaman Belanda dilakukan dengan sistem penunjukkan langsung oleh Belanda melalui Gubernur Jenderal untuk menempati posisi kepala pemerintahan di daerah-daerah dan memberi beberapa posisi kepada pribumi melalui sejumlah kewajiban.44 Kewajiban pribumi yang akan menduduki jabatan dalam pemerintahan yakni harus memberikan upeti.45

Setelah zaman Belanda berakhir maka Jepang berkuasa atas Indonesia untuk menjalankan pemerintahan.Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Jepang memaklumatkan 3 Osamu Sirei, yang dalam teks berbahasa Indonesia disebut (dalam ejaan aslinya) Oendang-Oendang

b.) Kepala Daerah Pada Zaman Jepang

46.Ketiga Oendang-Oendang itu

adalah Oendang-Oendang Nomor27Tahun 1902 Tentang Peroebahan Pemerintahan; Oendang-Oendang Nomor28 Tentang Atoeran Pemerintahan Syuu; dan Oendang-Oendang Nomor30 Tahun 1902 Tentang Mengoebah Nama Negeri dan Nama Daerah.Undang-undang 47 (ejaan sekarang) sebagaimana telah dijelaskan merupakan landasan hukum bagi pemerintahan Jepang untuk menjalankan kekuasaan.48

44

Kalau dicermati proses penentuan kepala daerah tersebut sesungguhnya dalam proses tersebut tidak terjadi pilkada namun yang dilakukan adalah penerapan pola penunjukkan langsung.

45

Ibid

46

Penggunaan terminologi oendang-oendang dibuat berdasarkan ejaan asli yang berlaku pada zaman penjajahan di Indonesia.

47

Penulisan undang-undang yang memiliki kesamaan makna dengan “oendang-oendang” berdasarkan pada ejaan yang telah disempurnakan

48


(36)

27 Pada zaman Jepang yang menggantikan penjajahan di Indonesia dari Belanda, Jepang masih meneruskan asas dekonsentrasi 49 sebagaimana dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda.Asas ini dilaksanakan Jepang dengan mengadakan perubahan-perubahan dalam praktik penyelenggaraannya. Perubahan yang jelas terlihat ialah tentang nama daerah beserta pejabatnya diganti dengan Bahasa Jepang, jabatan yang semula diduduki oleh orang-orang Belanda digantikan oleh para pembesar Jepang, sedangkan bangsa Indonesia hanya diberikan kesempatan sedikit mungkin. Wilayah provinsi beserta gubernurnya baik Jawa maupun di luar Jawa dihapus, serta Afdelling beserta asisten residennya untuk wilayah Jawa dihapus.50

Sistem pengangkatan dan/atau penunjukkan sebagaimana telah dijelaskan diatas dilakukan secara hierarkis.Hal ini mengakibatkan sistem rekrutmen Kepala Daerah tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan masa zaman Belanda.

Seperti halnya saat pemerintah Belanda menguasai wilayah Indonesia dan memegang kekuasaan atas pemerintahan, sistem rekrutmen Kepala Daerah saat zaman Jepang mengabaikan nilai-nilai demokrasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan tiap-tiap pejabat yang akan diangkat dan/atau ditunjuk oleh penguasa Jepang selaku pemerintah pusat.

51

49

Makna dekonsentrasi dapat ditemui definisinya di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

Pasal 1 angka 9 UU tersebut memberikan makna dekonsentrasi sebagai pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.

Makna dekonsentrasi secara umum dapat kita pahami sebagai pelimpahan wewenang kepada daerah oleh pemerintah pusat untuk menjalankan pemerintahan. Lihat. J.Kaloh. Op.Cit hal 29

50

Ibid

51


(37)

28 c.) Kepala Daerah Pada Zaman Kemerdekaan

Kepala Daerah pada zaman ini dibagi menjadi 3 bagian besar yakni : era orde lama, era orde baru, dan era reformasi. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang ketiga era tersebut.52

Produk hukum yang melandasi berlakunya sistem pemerintahan daerah dalam orde baru ialah undang-undang.Undang-undang pertama yang diterbitkan pada masa kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.Undang-Undang ini bermaksud mengubah sifat Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang diketuai oleh Kepala Daerah. Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : “Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya”.

1. Era Orde Lama

53

Dalam poin penjelasan dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa Kepala Daerah juga sebagai Komite Nasional Daerah yang hendak menjadi Badan Legislatif 54. Selain itu seorang Kepala Daerah harus menjalankan fungsi sebagai wakil Badan Perwakilan Rakyat Daerah.55

52

Ketiga era ini didasarkan pada era yang pernah berlangsung di Indonesia setelah masa pendudukan zaman Belanda dan zaman Jepang.

53

Lihat pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

54

Lihat bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

55

Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah


(38)

29 Dalam pasal sebagaimana telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala Daerah duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Berkaitan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepala Daerah pada masa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 adalah Kepala Daerah yang diangkat pada masa sebelumnya yakni masa pendudukan Jepang. Akibat berbagai situasi yang muncul, seperti situasi politik, keamanan dan hukum ketatatanegaraan pada saat itu maka Kepala Daerah diangkat begitu saja untuk menjamin berlangsungnya pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan pusat yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus mencegah kekosongan jabatan dalam pemerintahan.56

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 hanya berusia 3 tahun. Pada tahun 1948, lahir penggantinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945.57Pada masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah diusahakan untuk mengadakan keseragaman antar Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia.Secara hierarki, pada saat berlakunya undang-undang tersebut, wilayah Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan. Dalam pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Salah satu hal diatur dalam undang-undang tersebut adalah peran Kepala Daerah dalam mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 58

56

Joko. J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 47

57

Undang-UndangNomor22 tahun 1948 ini terdapat dalam Lembaran Negara .. Tambahan Negara ..

58

Untuk selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan disingkat menjadi DPRD


(39)

30 Pemerintah Daerah 59 serta berhak menahan pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil oleh DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.60

Undang-undang sebagaimana telah dijelaskan menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh dan dari DPRD.Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.Kepala Daerah bertugas mengawasi pekerjaan DPRD dan Pemerintah Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 18 ayat (1) yang berbunyi

Hal ini ditegaskan dalam pasal 36 ayat (1) undang-undang tersebut, yakni bahwa :

“Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dan berhak menambah dijalankan putusan-putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, bila dipandangnya putusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan undang-undang atau peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan daerah yang lebih atas, bila putusan-putusan itu diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah di bawah Propinsi”.

61

Presiden juga berwenang mengangkat Kepala Daerah Istimewa, sebagaimana tercantum dalam pasal 18 ayat (5) yang menyatakan bahwa

: “Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi”

62

59

Untuk selanjutnya Dewan Perwakilan Daerah akan disingkat menjadi DPD

60

J.Kaloh, Op.Cit,Hal. 32

61

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 62

Ibid, Pasal 18 ayat (5)

“Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat daerah itu”.


(40)

31 Sementara itu, Menteri Dalam Negeri berwenang mengangkat Kepala Daerah Kabupaten atau Kota.Calon Kepala Daerah diusulkan oleh DPRD. Dalam pasal 18 ayat (2) disebutkan :63 “Kepala Daerah Kabupaten(kota besar) diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya

empat calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten (kota besar)”.Adapun Kepala Daerah Desa atau kota kecil diangkat oleh Gubernur. Dalam pasal 18 ayat (3) disebutkan :64

Pada kenyataannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengalami revisi dan menghasilkan produk hukum baru yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

“Kepala Daerah Desa(kota kecil) diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan DPRD Desa (kota kecil)”.

Satu hal yang menjadi catatan penting dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 ialah undang-undang ini mampu memberikan ketegasan tentang pemisahan antara fungsi eksektutif dan legislatif. Kepala Daerah tidak lagi menjadi ketua DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945.

65

63

Ibid, Pasal 18 ayat (2) 64

Ibid, Pasal 18 ayat (3) 65

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1143)

Hal yang menjadi pembeda dalam undang-undang ini dibandingkan dengan undang-undang lainnya terkait pemerintahan daerah ialah adanya tingkatan-tingkatan daerah.Secara hukum tingkatan ini mulai dikenalkan dalam undang-undang ini.Sesuai hierarki, undang-undang ini membagi 3 tingkatan, Gubernur memimpin daerah tingkat I (termasuk Kotapraja Jakarta Raya), Bupati/Walikota memimpin Daerah Tingkat II


(41)

32 (termasuk Kotapraja), dan Camat untuk Daerah Tingkat III.66

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Pemerintah Daerah terdiri atas DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. Pasal 6 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Kepala Daerah karena jabatannya adalah ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah”.

Dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa : “Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan sebanyak-banyaknya (3) tiga tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah sebagai berikut :

a. Daerah tingkat ke I, termasuk Kotapraja, Jakarta Raya, b. Daerah tingkat ke II, termasuk Kotapraja,

c. Daerah tingkat III.

67

Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 23 ayat (1) 68 bahwa “Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dalam undang-undang”.Pada praktiknya undang-undang yang maksudkan untuk memilih Kepala Daerah dalam pasal tersebut belum dibuat.Atas beberapa pertimbangan maka untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Daerah.Selain itu, seorang Kepala Daerah merupakan alat daerah yang menjalankan Pemerintahan daerah dan bertindak kolegial, yaitu bersama-sama dengan anggota Dewan Pemerintah Daerah lainnya.69

66

Joko.J. Prihatmoko, Op.Cit,Hal 51

67

Lihat pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

68

Lihat pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

69


(42)

33 Undang-undang yang selanjutnya berlaku terkait pemerintahan daerah ialah Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965.70 Di dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 mengatur tentang Kedudukan Kepala Daerah baik sebagai alat pemerintah pusat maupun sebagai dan alat pemerintah daerah.71 Sebagai alat pemerintah pusat, Kepala Daerah menjadi pemegang kebijaksanaan politik di daerahnya dengan mengindahkan wewenang yang ada pada pejabat-pejabat sebagaimana diatur berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan pemerintah pusat di daerah antara jawatan-jawatan tersebut dengan pemerintah daerah melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah dan menjalankan tugas-tugas yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.72

Perkembangan politik yang terjadi dalam masa peralihan dari orde lama ke orde baru telah membawa nuansa baru dalam kepemimpinan Kepala Daerah. Hal ini tentu membawa nuansa baru dalam kepemimpina Kepala Daerah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang

Pokok-Berlakunya undang-undang sebagaimana telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala Daerah masih dipilih oleh DPRD yang pengangkatannya dilakukan oleh Presiden dalam wilayah daerah tingkat I. Daerah tingkat II pengangkatan Kepala Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.Selanjutnya, Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I melalui persetujuan Menteri Dalam Negeri.

2. Era Orde Baru

70

1965 tentang Pokok-Undang-Undang Nomor8 tahun Pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2778)

71

Ibid

72


(43)

34 Pokok Pemerintahan di Daerah.73Dapat dikatakan bahwa produk hukum yang lahir pada era ini memuat tentang mekanisme pemilihan calon Kepala Daerah yang dalam hal ini masih dilaksanakan oleh DPRD namun pengangkatan dan pemberhentiannya berbeda secara hierarki.74

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor5 Tahun 1974, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan berarti sebab DPRD memegang komando dalam melaksanakan pemilihan dan pencalonan Kepala Daerah. Pemilihan dan pencalonan Kepala Daerah tercantum dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa :75

Kemudian ditambahkan dalam pasal 16 ayat (1) bahwa

“Kepala Daerah tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri”

76

73

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037)

74

Suharizal, Op.Cit,Hal.16

75

Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

76

Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

: “Kepala Daerah tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarhkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Untuk selanjutnya, Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan


(44)

35 oleh Menteri Dalam Negeri.Mekanisme diatas menggambarkan bahwa pilkada dilakukan secara hierarki.77

77


(45)

36 3. Era Reformasi

Di era reformasi sampai saat ini telah terdapat beberapa undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut ialah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah beberapa kali dieubah dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, serta Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,78pilkada (pilkada)79 dilakukan dengan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. DPRD masih memiliki kewenangan yang cukup besar dalam menentukan Kepala Daerah serta wakil Kepala Daerah. Pengaturan tentang pengisian Kepala Daerah terdapat dalam pasal 34 ayat 1 yang menyebutkan bahwa :80 “Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan”. Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan :81

Dalam perjalanan era reformasi, berbagai kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian direvisi melalui Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

”Calon Kepala Daerah dan calon wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”.

82

78

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839)

79

Untuk selanjutnya, penulisan pilkada akan ditulis dengan Pilkada

80

Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

81

Ibid, Pasal 34 ayat 2

82

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)


(46)

37 lagi dilakukan oleh DPRD namun telah berubah menjadi sistem pemilihan langsung dimana rakyat selaku pemegang kedaulatan berperan secara aktif dalam melaksanakan pemilihan. Pasal 24 ayat 5 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”.83

Selanjutnya dalam upaya untuk memperbaiki pola demokrasi di Indonesia maka sejak tahun 2008, pemerintah bersama DPR telah menyetujui dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.Undang-Undang tersebut merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 56 ayat 1 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.

Hal ini memberikan perubahan dalam pelaksanaan pilkada yang berbeda dengan yang pernah dilakukan sebelumnya.

84

Pada perkembangan selanjutnya, lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Pada pengaplikasiannya, pasangan calon sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 56 ayat (1) diusulkan atau didaftarkan oleh partai politik atau non partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang.

85

83

Pasal 24 ayat 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

84

Pasal 56 ayat 1Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 85

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

Undang-undang tersebut tidak mengatur secara jelas tentang pilkada.Hal ini bisa terlihat dalam pasal-pasal dalam undang-undang sebagaimana telah disebutkan diatas tidak memberi penjelasan tentang mekanisme dalam


(47)

38 memilih Kepala Daerah.Dalam pasal 62 dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai pilkada diatur dengan undang-undang”.86

Pilkada secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan daerah yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945. Pilkada secara langsung muncul sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kepastian pilkada secara langsung terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada bagian penjelasan angka 4 “Pemerintahan Daerah” yang berbunyi sebagai berikut :

Undang-undang yang dimaksud dalam pasal tersebut mengacu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu.Undang-undang tersebut memberi pesan bahwa rakyat masih berperan dalam memilih Kepala Daerah di daerahnya.

2.2 Lahirnya Pilkada Secara Langsung

87

Hal ini juga terbukti dalam bagian kedelapan undang-undang tersebut, yakni dari pasal 56 hingga pasal 119. Pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa : “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasrkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan “Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis.Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan mengingati bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan KedudukanMajelisPermusyawaratanRakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam undang- undang ini dilakukan oleh rakyat secara langsung.

86

Pasal 62 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

87

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bagian Penjelasan Umum angka 4”Pemerintahan Daerah”


(48)

39 adil”.88 Dijelaskan lagi dalam ayat (2) bahwa : “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”.89Pasal-pasal tersebut pada pokoknya mengatur tentang pilkada secara langsung. Pilkada secara langsung sesuai dengan undang-undang ini terlaksana pertama kali pada bulan Juni 2005 untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2004 sampai dengan bulan Juni 2005. 90

Pada pelaksanaannya, pilkada secara langsung merupakan hasil dari proses pembelajaran demokrasi di Indonesia yang berlangsung sejak zaman kemerdekaan sampai pada saat ini. Dalam penerapannya, masih terdapat beberapa kekurangan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan terkait pilkada secara langsung yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.Kekurangan yang terdapat undang-undang tersebut yakni mengharuskan pasangan calon Kepala Daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.Hal ini menjadi masalah bagi calon Kepala Daerah yang bukan berasal dari partai politik. Atas dasar itu, seorang anggota DPRD Kabupaten Lombok bernama lalu Ranggalawe mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materiil pasal 56, 59 dan 60 terkait persyaratan calon Kepala daerah melalui partai politik dari undang-undang tersebut. Pada akhirnya, keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 yang menganulir pasal-pasal yang dimohonkan oleh pemohon tentang persyaratan calon Kepala

88

Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

89

Ibid, Pasal 56 ayat (2) 90

Pilkada secara langsung dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 233 ayat (1) menyatakan bahwa Kepala Daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2004 sampai bulan Juni 2005 diselenggarakan pilkada secara langsung sebagaimana maksud dalam undang-undang ini pada bulan Juni 2005.

Dengan demikian pilkada secara langsung telah resmi diperkenalkan dalam menentukan calon Kepala Daerah.


(49)

40 daerah.Putusan Mahkamah Konstitusi ternyata membuka peluang bagi calon kepala daerah independen untuk maju dalam pilkada.91

Pada kenyataannya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengalami perubahan pada beberapa pasal karena pada tahun 2008 undang-undang ini mengalami revisi dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Salah satu hal berbeda yang diatur dalam undang-undang tersebut ialah mengenai pilkada. Dalam undang-undang sebelumnya dinyatakan bahwa calon Kepala Daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam undang-undang ini tiap calon Kepala Daerah dapat mencalonkan diri secara perseorangan tanpa melalui partai politik. Syarat tambahan yang harus dipenuhi tiap-tiap calon perseorangan ialah dukungan tertulis dari masyarakat setempat serta fotokopi KTP.92

Tiap tahun terdapat beberapa perkembangan undang-undang yang dibuat oleh DPR dan ditandai dengan munculnya undang-undang baru.Pada tahun 2007 lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu.93Dalam undang-undang ini, pilkada langsung mulai dimasukkan menjadi rezim pemilu.Masuknya pilkada langsung menjadi rezim pemilu memunculkan terminologi baru yakni Pemilukada.94

91

Lihat lebih lanjut dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 pada hal. 61

92

IbidLihat pasal dalam UU 12 tahun 2008

93

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721)

94

Makna pemilukada dapat ditemui definisinya di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu pasal 1 angka 4.

Pasal 1 angka 4 undang-undang tersebut memberikan makna pemilukada dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian, hal lain yang muncul ialah terkait penyelesaian perkara hasil pemilukada. Perkara hasil pilkada


(50)

41 langsung sebelum berlakunya undang-undang ini diselesaikan oleh Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tinggi, namun seiring dengan masuknya pilkada langsung menjadi rezim pemilu maka penyelesaian perkara pemilukada dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Masuknya pilkada langsung menjadi rezim pemilu sejalan dengan pandangan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi. Mengutip pendapat Laica Marzuki di dalam putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/200495

Pilkada langsung sebenarnya merupakan alternatif untuk menjawab segala konflik dan buruknya pelaksanaan maupun hasil pilkada secara tidak langsung lewat DPRD dibawah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah.Pilkada langsung jadi kebutuhan mendesak guna mengoreksi sesegera mungkin segala kelemahan dalam pilkada secara tidak langsung yang dilaksanakan melalui DPRD. Pilkada secara langsung akan bermanfaat untuk menegakkan kedaulatan rakyat yang hilang sejak adanya pemilukada melalui yang menyatakan pemilukada secara langsung merupakan (disamakan) dengan pemilu, diantaranya sebagai berikut :

“dari sudut pandang konstitusi, pemilukada secara langsung adalah pemilihan umum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 E ayat 2 UUD 1945. Tatkala pemilihan anggota DPRD tergolong pemilihan umum (pemilu) dalam makna general election menurut pasal 22E ayat 2 UUD NRI 1945, mengapa nian pemilukada langsung tidak termasukdalam pasal konstitusidimaksud ? haldimaksud harus diamati dari sudut penafsiran sejarah (historische interpretatie). Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 berlaku kalaperubahan ketiga (3), yang diputuskan dalam rapat paripurna MPR-RI ketujuh (7) pada tanggal 9 November 2001. Disisi lain, pasal 18 merupakan hasil amandemen yang kedua (2).Dikala itu, pemilukada langsung belum merupakan gagasan ide konstitusi dari pembuat perubahan konstitusi.Pembuat perubahan konstitusi belum merupakan idee drager ataspemilukadalangsung”.

95


(51)

42 DPRD. Hal ini menciptakan keadaan demokrasi yang baik pada lingkungan pemerintahan (governance) maupun dalam lingkungan kemasyarakatan (civil society) karena redaulatan rakyat telah dikembalikan secara penuh.96

Pilkada secara langsung memiliki sisi positif dibanding dengan sistem sebelumnya yakni melalui DPRD.Perubahan sistem ini berdampak langsung dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurut M.Ma’ruf (selaku Menteri Dalam Negeri pada saat lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004), ada beberapa pertimbangan penting penyelengaraan pemilukada secara langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia diantaranya :97

a. Pemilukada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, bahkan Kepala Desa selama ini telah dilakukan pemilihan secara langsung.

b. Pemilukada secara langsung merupakan perwujudan konstitusi dan Undang-Undang dasar 1945, khususnya pada pasal 18 ayat 4.

c. Pemilukada secara langsung dipandang sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civil education).

d. Pemilukada secara langsung merupakan sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.

e. Pemilukada secara langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional.

Pilkada secara langsung oleh rakyat dapat dikatakan sebagai suatu proses demokrasi menuju ke arah yang lebih demokratis. Oleh karena itu, pilkada secara langsung harus menjamin terselenggaranya pemilihan yang berkualitas dan berjalan dengan baik.

Pilkada secara langsung merupakan gagasan penting dalam menggabungkan kearifan lokal dalam masyarakat.Kehadiran pilkada secara langsung dipandang memiliki sejumlah keunggulan dibanding dengan sistem

96

Suharizal, Pemilukada: Regulasi, Dinamik, dan Konsep Mendatang,(Jakarta: Raja Grafindo persada, 2011), hal.37

97

M. Ma’ruf dalam Syamsul Wahidin, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008) Hal.138


(52)

43 pemilihan melalui DPRD. Menurut AA GN Ari Dwipayana, setidaknya ada beberapa kondisi yang mendukung pemilukadaa dilakukan secara langsung. Pertama, pengaturan pemilukada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal. Demokrasi langsung melalui pemilukada akan membuka ruang partisipasi yang luas bagi warga dalam proses demokrasi dalam menentukan pemimpin di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekrutmen calon di tangan segelintir orang di DPRD (DPRD).98

Kedua,dari sisi kompetisi politik, pilkada secara langsung memungkinkan munculnya persaingan menarik antar kandidat serta memungkinkan masing-masing kandidat untuk berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka jika dibandingkan sistem tertutup melalui DPRD. Pemilukada langsung juga akan memberikan sejumlah harapan pada upaya pengembalian kedaulatan rakyat kepada rakyat dan bukan kepada DPRD.99

Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk menggunakan hak pilihnya untuk memilih tipe pemimpin yang terbaik tanpa ada intervensi dan tekanan. Setidaknya melalui konsep demokrasi langsung dalam pemilukada, tiap masyarakat lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik, kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik

98

AA GN Ari Dwipayana, Pilkada Langsung dan Otonomi Daerah, dimuat pada http: //www.plod.ugm.ac.id/makalah. Diakses pada 8 januari 2015.

99


(1)

85 sepanjang tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta menggunakan metode e-voting dengan syarat kumulatif yang telah ditetapkan.

3. Bahwa penerapan e-voting sangat baik untuk diterapkan di Indonesia dalam konteks pemilukada sebagai wujud pengimplementasian asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam memilih Kepala Daerah secara demokratis dan berkualitas.

4. Bahwa penerapan metode e-voting merupakan suatu solusi untuk meminimalisir tiap permasalahan atau konflik yang selalu muncul dalam suatu pemilihan yang sejak tahun 1955 dilaksanakan dengan metode konvensional, yaitu dengan cara mencoblos atau mencontreng. Dengan kata lain, harapan untuk melihat pemilihan yang demokratis tercermin dari penerapan metode e-voting. Selain itu, penerapan metode e-voting juga menjanjikan suatu pemilihan yang cepat, akurat serta murah dalam pelaksanaannya.

5. Bahwa dalam pelaksanaannya, metode e-voting memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode konvensional yang telah dilaksakanakan sejak pemilu pertama kali di Indonesia yakni pemilu tahun 1955. Selain keunggulan, e-voting juga memiliki beberapa kelemahan namun tiap kelemahan yang terdapat dalam e-voting telah diberikan solusi berupa manajemen resiko agar pelaksanaanya berjalan dengan baik sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

5.2 Saran


(2)

86 1. Sebagai negara demokrasi, sudah seharusnya Indonesia memajukan

pelaksanaan demokrasi dengan cara melihat dan mengkaji secara mendalam tiap proses demokrasi yang berlangsung di luar negeri agar tercipta inovasi. Salah satunya ialah dengan melakukan pengamatan terhadap negara lain serta masyarakat internasional yang telah berani memasukkan teknologi dalam proses demokrasi yang dewasa ini dikenal dengan metode e-voting. Pemerintah juga harus bersandar pada syarat kumulatif yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi selaku lembaga yang diberi kewenangan untuk menerapkan teknologi demi perkembangan Indonesia diharapkan melakukan sosialisasi ke seluruh daerah agar tiap-tiap daerah mampu melaksanakan e-voting dalam konteks yang kecil, dari pemilihan kepala desa hinga pilkadanya masing-masing. Selain itu, BPPT harus terus melakukan pengembangan alat-alat agar tidak memberikan hambatan dalam proses penerapan metode e-voting. Sebagai contoh, perangkat elektronik yang memiliki ukuran besar dapat direkontruksi ulang agar lebih mudah untuk dibawa.

3. Bahwa untuk mengadakan e-voting di suatu daerah sangat diperlukan dana yang memadai agar tidak ada hambatan dalam proses pelaksanaannya. Untuk itu kiranya pemerintah daerah dan pemerintah pusat bekerja sama untuk memberikan bantuan secara khusus untuk mengembangkan software dalam penerapan metode e-voting.

4. Agar bisa berlaku dalam suatu daerah, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 147/PUU-VII-2009 tidak bisa menjadi landasan yang kuat untuk


(3)

87 dilaksanakan dalam konteks pilkada. Untuk itu, perlu adanya political will dari DPRD untuk merubah pasal dalam peraturan daerah terkait mekanisme pemberian suara serta kemauan KPUD untuk membuat Peraturan KPUD agar memberi jalan e-voting dapat dilaksanakan. Tiap lembaga sebagaimana dijelaskan sebelumnya memiliki fungsi strategis apabila mampu melakukan sinergi demi lancarnya proses pelaksanaan metode e-voting dalam suatu pemilihan.

5. Masyarakat yang telah memiliki hak pilih sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang harus mendukung pelaksanaan pemilukada dengan metode e-voting agar dapat terlaksana di Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku-Buku

Kusnardi, Moh. & Ibrahim, Harmaily. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Sinar Bakti, 1983.

Asshidiqqie, Jimmly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.

Prihatmoko, Joko, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Semarang : Pustaka Pelajar, 2005.

Kaloh, J, Kepemimpinan Kepala Daerah (Pola Kegiatan, Kekuasaan dan Perilaku Kepala Daerah), Jakarta : Sinar Grafika, 2009

Gaffar, Janedjri, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konpress, 2013.

____________, Demokrasi dan Pemilu Di Indonesia, Jakarta: Konpress,2013. Suharizal, Pemilukada (Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang), Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Wahidin, Syamsul, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.

Abdullah, Rozalli, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta: Rajawali pers, 2005.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008.

M.D, Mahfud ,Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999,


(5)

Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Pedoman Penggunaan Aplikasi pemungutan Suara Elektronik Berbasis Dre Layar Sentuh, Jakarta: BPPT, 2012.

Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Rekomendasi Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan pemungutan Suara Secara Elektronik, Jakarta : BPPT, 2012.

Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Alih Teknologi Metode Pemilihan Kepala Desa Menggunakan E-voting dan e-KTP di Kabupaten Jembrana, Jakarta: BPPT, 2011.

II. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-III/2004 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 147/PUU-VII/2009 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah


(6)

Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentangperubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

III. Sumber Internet

AA GN Ari Dwipayana, Pilkada Langsung dan Otonomi Daerah, dimuat pada http: //www.plod.ugm.ac.id/makalah.

http:// yohaneswidodo.blogspot.com/opini-electronic-voting.

http:// map.unsoed.ac.id/2011/11/29/prospek-penerapan-e-voting-di-Indonesia/.

http:// smartmaticindonesiaevotingproject.blogspot.com/

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemungutan_suara_elektronik1


Dokumen yang terkait

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

2 84 93

Pemetaan Daerah Pemilihan

0 52 7

Kebijakan Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus: Kebijakan Partai Demokrat Dalam Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013-2018)

0 51 95

Peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012)

2 58 135

Etnisitas Dan Pilihan Kepala Daerah (Suatu Studi Penelitian Kemenangan Pasangan Kasmin Simanjuntak dan Liberty Pasaribu di Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir)

3 45 67

Perilaku Memilih Birokrat Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010

1 48 200

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004

2 56 119

Peranan Komisi Pemilihan Umum dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Untuk Meningkatkan artisipasi Politik Masyarakat (Studi pada Kantor Komisi Pemilihan umum Tapanuli Utara)

16 168 113

BAB II POLA PEMILIHANKEPALA DAERAH DI INDONESIA 2.1 Sejarah Pilkada di Indonesia - PenerapanElectronic Voting Sebagai Perwujudan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - PenerapanElectronic Voting Sebagai Perwujudan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia

0 0 22