PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA MELALUI INTEGRASI MATA PELAJARAN IPS BERBASIS KEARIFAN LOKAL BALI (Studi Etnografi Pendidikan di SMP Negeri 1 Singaraja, Kabupaten Buleleng-Provinsi Bali).

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN…... ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR ... UCAPAN TERIMA KASIH ... vii ix DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi Masalah Penelitian... 12

1. Latar konteks sosial dan harapan masyarakat yang turut mewarnai iklim pendidikan sekolah ... 12

2. Pembudayaan/pembiasaan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa di sekolah ... 15

3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui PIPS... 17

C. Rumusan masalah penelitian ... 21

D. Tujuan Penelitian... 23

E. Manfaat Penelitian/signifikansi penelitian... 25

F. Struktur organisasi disertasi... 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN PE-NGEMBANGAN PENELITIAN A. Kajian Konseptual tentang Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ... 28

1.Hakikat pendidikan budaya dan karakter bangsa ... 28

2.Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa ... 37

3. Nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa... 38

4. Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa di sekolah ... 40

5. Model-model pembelajaran pendidikan budaya dan karak-ter bangsa... 53

6. Penilaian hasil belajar ... 58 B.Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa berbasis Kearifan


(2)

Budaya Lokal... 63

1. Pengertian Kearifan Lokal ... 63

2. Kajian tentang kearifan lokal masyarakat Bali yang dapat dijadikan sebagai landasan memperkuat karakter bangsa ... 68

C.Pendidikan IPS sebagai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ... 75

1. Dimensi konseptual pendidikan IPS ... 75

2. Pendidikan IPS dalam KTSP ... 83

3. Pembelajaran IPS sebagai wahana pendidikan budaya dan karakter bangsa ... 87

D.Kajian Teori tentang Pengaruh Konteks Sosial Budaya terhadap Peranan Sekolah dalam Pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa... 92

1.Pendidikan sebagai proses budaya melalui proses enkulturasi dan akulturasi budaya ... 92

2.Idiologi, hegemoni, dan budaya ... 95

3.Filosofi dan idiologi pendidikan ... 100

4.Pemahaman kapabilitas belajar siswa yang powerful... 107

E.Temuan Penelitian Terdahulu Yang Masih Relevan ... 110

F. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 113

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 118

1. Lokasi penelitian ... 118

2. Subjek penelitian ... 120

B. Desain Penelitian yang Digunakan ... 121

C. Prosedur Penelitian ... 122

D.Data yang Dikumpulkan... ... 124

E. Metode Pengumpulan Data ... 127

F. Pedoman/instrumen penelitian ... 136

G.Teknik Analisis Data ... 138

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Konteks sosial budaya, sejarah dan kondisi geografis sekolah yang turut mempengaruhi iklim pendidikan di SMP Negeri 1 Singaraja... 140

1. Konteks masyarakat Buleleng dan visi pembangunan pendidikannya ... 140 2. Upaya-upaya sekolah mengakomodasi dan

mengintegrasi-kan pengaruh konteks sosial budaya serta harapan-harapan


(3)

masyarakat (lokal, nasional, dan global) ... 162

2. Nilai-nilai kearifan lokal Bali yang dapat dijadikan sebagai landasan memperkuat pendidikan karakter bangsa... 171

3. Dukungan sarana-prasarana, sumber daya, kebijakan dan kepemimpinan kepala sekolah ... 177

B.Model/pendekatan pengembangan pendidikan budaya dan karakter Bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja ... 189

1. Pembudayaan nilai-nilai karakter bangsa melalui penataan lingkungan sekolah dan kelas ... 189

2. Pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui integrasi dalam kurikulum sekolah ... 199

3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui program ekstrakurikuler dan aktivitas OSIS ... 204

C.Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa melalui Pembel-ajaran IPS ... 248

1. Pandangan guru dan siswa tentang status/posisi PIPS ... 249

2. Pengembangan materi pempelajaran IPS ... 254

3. Pendekatan dan metode pembelajaran IPS ... 259

4. Evaluasi/penilaian dalam pembelajaran IPS ... 266

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A.Kesimpulan Penelitian ... 284

B.Rekomendasi/Saran-saran ... 288

1. Rekomendasi untuk SMP Negeri 1 Singaraja ... 288

2. Rekomendasi untuk sekolah secara umum... 289

3. Rekomendasi untuk Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng dan Provinsi Bali ... 291

4. Rekomendasi untuk pengembangan kompetensi guru IPS... 291

5. Rekomendasi untuk penelitian lanjut... 292

C. Perumusan Teori... ... 293

DAFTAR PUSTAKA ... 295

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 309


(4)

Gambar 2.01: Desain induk pendidikan karakter bangsa ... 34

Gambar 2.02: Pendekatan pendidikan karakter bangsa di sekolah... 45

Gambar 2.03: Pengembangan nilai budaya dan karakter bangsa... 48

Gambar 2.04: Pengembangan nilai budaya dan karakter bangsa dalam mata pelajaran ... 48

Gambar 2.05: Paradigma penelitian ... 117

Gambar 3.01: Diagram proses analisis data... 139

Gambar 4.01: Denah Lokasi SMP Negeri 1 Singaraja ... 151

Gambar 4.02: Kantor Lurah Kampung Bugis (kiri) dan Balai Banjar Banjar Bali (kanan)... 155

Gambar 4.03: Tugu Pahlawan Yuda Mandala Tama ... 156

Gambar 4.04: Patung Singa sebagai Maskot Kota Singaraja... 157

Gambar 4.05: Aktivitas Siswa di Perpustakaan SMP Negeri 1 Singaraja. 182

Gambar 4.06: Kantin Kejujuran SMP Negeri 1 Singaraja ... 186

Gambar 4.07: Denah Tata Ruang SMP Negeri 1 Singaraja ... 190

Gambar 4.08: Papan Nama SMP Negeri 1 Singaraja... 191

Gambar 4.09: Padmasana/Pelinggih Utama di SMP Negeri 1 Singaraja... 192

Gambar 4.10: Tampak Depan Bangunan Utama SMP 1 Singaraja ... 194

Gambar 4.11: Spanduk tentang pesan moral dan nilai-nilai karakter ... 195

Gambar 4.12: Apel bendera memperingati Huultah. Kemerdekaan RI. yang ke-62 ... 196

Gambar 4.13: Siswa melakukan aktivitas pengembangan diri ... Gambar 4.14: Koprasi dan kantin sekolah ... 197

Gambar 4.15: Taman sekolah dan ruang BK... 198

Gambar 4.16: Proses penghitungan suara dalam pemilihan ketua OSIS SMP Negeri 1 Singaraja Peride 2013-2014 ... 198

Gambar 4.17: Model/pendekatan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja 247


(5)

Tabel 2.01: Nilai dan deskripsi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa... 39

Tabel 2.01: Sinopsis pemikiran filosofis pendidikan; Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme ... 102

Tabel 4.01: Pimpinan SMP Negeri 1 Singaraja sejak tahun 1958-sekarang... 150

Tabel 4.02: Data siswa berdasarkan agama yang dianut tahun 2013/2014... 183

Tabel 4.03: Muatan lokal di SMP Negeri 1 Singaraja ... 201

Tabel 4.04: Struktur kurikulum untuk kelompok siswa penggemar mata pelajaran (KSP)... 202

Tabel 4.05: Ketuntasan belajar (KKM) ... 203

Tabel 4.06: Kegiatan pengembangan diri secara terprogram ... 205

Tabel 4.07: Kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram ... 205

Tabel 4.08: Nilai karakter yang ditanamkan dan strategi pelaksanaannya ... 209


(6)

Lampiran 01: Permohonan ijin melakukan studi lapangan ... 309 Lampiran 02: Surat keterangan/ijin melakukan penelitian... 310 Lampiran 03: Susunan pengurus OSIS SMPN 1 Singaraja tahun 2012/2013.. 311 Lampiran 04: Instrumen Penelitian ... 315 Lampiran 05: SMP/MTs. di Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng-

Provinsi Bali Tahun 2012/2013 ...

331 Lampiran 06: Data Guru di SMP Negeri 1 Singaraja... 332 Lampiran 07: Amanat Kepala sekolah dalam rangka HUT ke-55 SMPN 1

Singaraja ...

333 Lampiran 08: Pemetaan nilai-nilai karakter yang diintegrasikan dalam Mata

Pelajaran IPS (SK, KD, dan Indikator) 336 Lampiran 09: Contoh RPP mata pelajaran IPS yang dikembangkan guru... 342 Lampiran 10: Foto Penataan Lingkungan Sekolah berbasis Tri Mandala di

SMP Negeri 1 Singaraja... 346 Lampiran 11: Foto pranata, ekonomi, sosial, budaya, pemerintahan, politik

yang melingkupi SMP Negeri 1 Singaraja... 347 Lampiran 12: Foto praktik pembudayaan nilai-nilai karakter di SMP Negeri

1 Singaraja... 348 Lampiran 13: Foto kondisi pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Singaraja ... 349 Lampiran 14: Riwayat hidup penulis... 350


(7)

1 BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan ini disajikan secara berturut-turut tentang: (a) latar belakang penelitian; (b) identifikasi masalah penelitian; (c) rumusan masalah penelitian; (d) tujuan penelitian; (e) manfaat atau signifikansi penelitian; dan (f) struktur organisasi disertasi. Uraian secara detail dari masing-masing bagian, sebagai berikut.

A. Latar Belakang Penelitian

Gejala modernisasi dan globalisasi dewasa ini telah merambah ke seluruh pelosok dunia. Masyarakat dan kebudayaan di Indonesia tidak luput dari pengaruh liberalisme global tersebut. Gejala masyarakat dengan banyak masuknya nilai-nilai asing karena proses globalisasi dan menguatnya primordialisme menimbul-kan berbagai benturan nilai-nilai dan kepentingan dalam masyarakat (Tilaar, 1999). Hal ini berdampak pada munculnya berbagai permasalahan, seperti: (1) terjadinya disorientasi nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa; (2) bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (3) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; (4) ancaman disintegrasi bangsa; dan (5) melemahnya kemandirian bangsa (Pemerintah Republik Indonesia, 2010a: 16-19).

Bali, juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dan primordial tersebut. Banyak nilai budaya asli daerah Bali yang telah terkontaminasi oleh nilai-nilai asing, sehingga nilai-nilai budaya asli semakin kabur. Kalangan pakar budaya berpendapat bahwa masyarakat Bali dewasa ini sedang mengalami masa transisi budaya sebagai dampak ekternal dari pengembangan industri pariwisata, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Beratha, 1993). Bagi masyarakat Bali, yang terpenting adalah bagaimana menjaga kelestarian budaya Bali, sehingga tidak pudar akibat globalisasi. Dalam kaitan ini masyarakat Bali menaruh harapan


(8)

2

kepada lembaga pendidikan, khususnya pendidikan formal sebagai garda terdepan dalam menjaga kelestarian budaya Bali.

Berbagai permasalahan sebagaimana yang dipaparkan di atas, merupakan gambaran realita kehidupan yang menunjukkan masih lemahnya karakter kebangsaan masyarakat Indonesia. Kondisi ini tampak dari adanya berbagai penyimpangan sosial, seperti: korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, tawuran di kalangan siswa dan mahasiswa, perkelahian masal, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, penyalahgunaan narkotika, melemahnya nilai-nilai kebersamaan dan gotong-royong, melemahnya sopan santun dan budi pekerti, dan masih banyak permasalahan sosial lainnya. Kenyataan tersebut tidak saja terjadi di kalangan masyarakat awam di tingkat akar rumput, tetapi juga sudah merambah pada kalangan profesional, tokoh masyarakat, para pendidik, elit politik, bahkan hingga para pemuka/tokoh agama, pemimpin bangsa dan negara (Kemendiknas, 2010).

Kondisi-kondisi seperti di atas, oleh Thomas Lickona (1992) dikatakan sebagai indikator kehancuran suatu bangsa. Menurutnya, kehancuran suatu bangsa dikarenakan oleh perilaku manusia (individu, kelompok dan masyarakat) dari suatu bangsa yang ditandai dengan meningkatnya budaya kekerasan, ketidak-jujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada sesamanya, melemahnya kohesi sosial, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri, dan semakin kaburnya pedoman moral. Brooks dan Goble dalam buku "The Case for Character Education" (l997), menyebutkan bahwa gelombang proses melemahnya karakter suatu komunitas, berhubungan erat dengan melemahnya standar moral dalam masyarakat.

Diduga kuat hal tersebut disebabkan oleh dominasi dan hegemoni praktik pendidikan nasional yang cenderung mengabaikan nilai-nilai humanisme-religius,


(9)

3

sehingga roh pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai moral yang suci kian waktu semakin cenderung menampakkan gejala sekulerisasi (Widja, 2001:74-87). Praktik pendidikan seperti itu, ditengarai akan menjauhkan dunia pendidikan dari tujuan pembentukan manusia lndonesia seutuhnya, dan makin menggelincirkan generasi masa depan bangsa lndonesia ke arah pengambilan tindakan pragmatis yang dibawa oleh faham dunia sekuler, cenderung memisahkan antara kepentingan ideologi agama dan ideologi ilmu pengetahuan (Kaelan, 2003; Hadis, 2006).

Kelemahan dalam praktik pendidikan di Indonesia selama ini terjadi, ketika pendidikan karakter dipersepsi dalam pemahaman yang tidak integrated pada setiap mata pelajaran dan kurikulum sekolah. Sementara itu, dalam pembelajaran terjadi proses yang lebih menekankan pada pemberian pengetahuan (transfer of knowledge) dibandingkan dengan kegiatan yang memungkinkan terjadinya internalisasi nilai (Pasandaran, 2010). Praktik pendidikan yang demikian itu, juga tampak dalam pembelajaran IPS yang menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya cenderung hanya melibatkan aktivitas kognisi tingkat rendah yang kering dari aktivitas-aktivitas mental yang berdimensi moralitas. Lebih lanjut dikatakan bahwa, pembelajaran IPS hanya mampu membuat siswa pintar menghafal fakta-fakta, konsep, dan peristiwa, tetapi kering dan tidak bermakna (Budimansyah dan Sapriya, 2012; Sukadi dan Kertih, 2007; Supriatna, 2011; Suwarma, 2001).

Situasi dan kondisi bangsa yang memprihatinkan tersebut, mendorong pemerintah Indonesia mengambil inisiatif untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa sebagai arus utama pembangunan nasional. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global (Pemerintah Republik Indonesia, 2010a: 5-7). Gagasan tentang pentingnya pembangunan karakter bangsa, sesungguhnya telah lama dikumandangkan oleh para pendiri bangsa. Ir. Sukarno,


(10)

4

presiden pertama NKRI adalah salah seorang dari sekian banyak tokoh di Indonesia yang menggagas pentingnya membangun karakter bangsa dalam konsep

“Nation and character building”. Sayangnya, ide mulia untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab dan bermartabat sebagaimana yang digagas oleh para pendiri bangsa, hingga saat ini tampaknya masih jauh panggang dari api (jauh dari harapan). Hal ini menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan dalam usaha membangun karakter bangsa selama ini kurang, bahkan dapat dikatakan tidak efektif. Dunia pendidikan, termasuk pendidikan formal di sekolah pun dianggap gagal melaksanakan fungsi utama pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yakni: "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa" (Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003).

Dalam kondisi yang demikian itu, muncullah kesadaran dan komitmen masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari para pakar pendidikan, birokrasi, praktisi, hingga masyarakat umum tentang pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa diprioritaskan dan dimantapkan pelaksanaannya pada semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan di seluruh Indonesia (Kemendiknas, 2010:2). Pengejawantahan komitmen tersebut secara kolektif telah dinyatakan sebagai kesepakatan nasional pada serasehan nasional pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, tanggal 14 Januari 2010, sebagai berikut: (1) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh; (2) Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara koprehensif sebagai proses pembudayaan; (3) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua; (4) Dalam upaya merevitalisasi pendidikan budaya dan karakter bangsa, diperlukan gerakan nasional (Winataputra, 2010: 7-8).


(11)

5

dimantapkan dalam bingkai sistem pendidikan nasional, mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Pencanangan program Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa oleh Pemerintah c/q Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono pada Peringatan Hardiknas 2 Mei 2010, merupakan wujud nyata perhatian dan kepedulian pemerintah tersebut. Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional ketika memberikan sambutan pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2010 yang bertema "Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa", menegaskan bahwa pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan, karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, tetapi juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun masyarakat pada umumnya.

Sebagai bagian integral dalam kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan formal, Pendidikan IPS tentunya juga bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan karakter dalam rangka memajukan keberadaban bangsa Indonesia yang bermartabat dan untuk keutuhan NKRI. Untuk itu, Pendidikan IPS mestilah menjadi studi integratif yang dapat memberdayakan seluruh potensi peserta didik agar memiliki kapabilitas untuk mengatasi masalah kehidupan manusia dalam berbagai dimensi ruang, waktu, aktivitas, dan nilai-nilai di lingkungannya (Hasan, 2010:2). Pendidikan IPS sesuai dengan hakikatnya sebagai studi integratif dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, agama, dan budaya, haruslah mampu mengantarkan peserta didik mencapai kebenaran dan juga kebahagiaan hidup, menghasilkan warga negara yang baik, memiliki pengetahuan yang kuat, dan mampu memimpin kehidupan yang bermakna (Somantri, 2001).

Masalahnya, pembelajaran IPS di sekolah selama ini yang lebih berorientasi pada penguasaan materi pelajaran tentu tidaklah memungkinkan bagi guru untuk mengintegrasikan misi pendidikan karakter dan nilai budaya bangsa secara optimal. Ada dua kendala yang dihadapi guru-guru di sekolah. Pertama, kurikulum sekolah, khususnya mata pelajaran IPS, dalam mengembangkan


(12)

6

konsep nation and character buildingnya lebih didominasi oleh konsep nasionalisme Negara (lihat Widja, 1993). Dalam konsep ini, nasionalisme lebih dipandang sebagai unity, yaitu kesatuan yang tunggal dari kekuasaan Negara, sehingga nasionalisme harus dipandang benar dari definisi kekuasaan. Secara ideologi dan hegemoni, nasionalisme Indonesia dianggap sebagai wacana tunggal kekuasaan Negara yang harus bisa diterima semua golongan walaupun mereka sesungguhnya memiliki latar belakang multikultur. Dalam kurikulum IPS, wacana ini memunculkan pelajaran IPS yang seragam bagi seluruh siswa di Indonesia yang memiliki keragaman budaya. Makna nasionalisme dianggap seakan-akan satu perspektif tentang keIndonesiaan yang tunggal, bukan sebagai keIndonesiaan yang beragam budayanya. Jika benar lingkungan sosial turut mewarnai cara pandang manusia tentang dunianya (Pai, 1990), maka konsep nasionalisme negara yang diintervensikan ke dalam kurikulum akan menjadi kendala bagi guru dalam membangun karakter dan nilai budaya bangsa yang bersifat pluralistik dan multikultur. Kedua, kurikulum IPS yang masih merupakan konsep social sciences education, dan kurang bermakna sebagai social studies, menyulitkan guru untuk mengintegrasikan misi pendidikan karakter dan nilai budaya bangsa. Hal ini karena nilai-nilai keilmuan yang melandasi kurikulum IPS yang berorientasi pada penguasaan materi keilmuan bidang studi cenderung juga bersifat tunggal, dan kurang menghargai nilai-nilai budaya masyarakat yang pluralistik dan multikultur yang riil hidup di tengah-tengah lingkungan siswa.

Untuk bisa melakukan integrasi pendidikan karakter dan nilai budaya bangsa ke dalam pembelajaran IPS di sekolah, tentu diperlukan upaya merekonstruksi kebijakan dan implementasi praktik Pendidikan IPS di sekolah. Dalam kaitan dengan upaya tersebut, perlu dimulai dari merekonstruksi konteks input (kebijakan dan lingkungan sosial sekolah), proses pendidikan, dan hasil belajar siswa dalam pendidikan IPS. Inilah sesungguhnya alasan utama penelitian ini dilakukan menjadi sebuah upaya merekonstruksi program Pendidikan IPS di sekolah dalam rangka Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa berbasis kearifan


(13)

7

local masyarakat. Hal ini senada dengan pandangan kaum rekonstruksionis, yang mengatakan, sebagai berikut.

Sekolah semestinya diabdikan kepada pencapaian tatanan demokratis yang mendunia. Secara filosofis, seorang rekonstruksionis yakin bahwa teori pada puncaknya tak terpisahkan dari latar belakang sosial dalam suatu era kesejarahan tertentu. Pikiran, dengan begitu, adalah sebuah keluaran atau produk dari kehidupan di sebuah masyarakat tertentu di suatu waktu (O’neil, 2001:23).

Berpegang pada fakta, fenomena, serta asumsi-asumsi sebagaimana yang diuraikan di atas, dan belajar dari kelemahan-kelemahan pelaksanaan program pendidikan karakter bangsa selama ini, maka penelitian ini penting dilakukan. Hal ini dilandasi atas sejumlah alasan dan pertimbangan, sebagai berikut.

Pertama, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, peneliti merasakan kerisauan yang amat mendalam, ke mana arah yang akan dituju oleh perubahan sosial budaya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bali. Hal ini terutama setelah melihat perkembangan program-program pendidikan sekolah yang tampak tidak relevan lagi dengan karakteristik kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bali yang religius, hidup dengan solidaritas sosial yang tinggi, kreatif dan sangat menghargai kesenian, ramah dan sangat terbuka dan toleran tetapi juga cerdas terhadap masyarakat dan kebudayaan lain yang masuk ke Bali, menghargai dan melestarikan lingkungan, cinta hidup damai, bekerja selalu dilandasi sikap yadnya, bekerja dengan semangat jengah dan metaksu, serta selalu mengejar keseimbangan kehidupan lahir dan bathin dan kesejahteraan sekala dan niskala. Karakteristik seperti ini sudah mulai tampak kontras terjadi pada berbagai lingkungan sekolah di Bali, yang pola-pola pendidikannya sudah mengarah kepada pendidikan sosial budaya modern yang lebih berorientasi kepada kepentingan orientasi nilai-nilai nasional dan global dengan mengabaikan usaha-usaha pelestarian nilai-nilai sosial budaya dan agama Hindu yang fundamental.


(14)

8

pendidikan di sekolah pada umumnya, dan Pendidikan IPS pada khususnya yang menekankan pada prioritas pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai kebijakan yang relatif baru dalam sistem pendidikan di Indonesia, tentulah diperlukan model-model pendekatan terbaik pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa agar pelaksanaannya menjadi efektif dan berdayaguna. Kajian ini sangat penting dilakukan agar dapat ditemukan strategi pendidikan dan pembelajaran nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam rangka membangun kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang unik-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang dalam kehidupan kelompok berbangsa yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban (Pemerintah Republik Indonesia, 2010: 5-7).

Ketiga, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dijadikan sebagai lokasi atau subjek sasaran penelitian, karena pada jenjang ini permasalahan nilai-nilai dan moral sebagai inti dari pendidikan karakter merupakan persoalan yang krusial. Hal ini disebabkan oleh siswa pada jenjang SMP, menurut teori psikologi perkembangan, berada pada tahap transisi dari masa anak-anak menuju masa remaja/dewasa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa terjadinya pelanggaran-pelanggaran moral, pelanggaran-pelanggaran disiplin, perilaku menyimpang, seperti: membolos, nyontek, merokok, bahkan tawuran dan sejenisnya sering terjadi pada siswa SMP. Bunyamin Maftuh dalam bukunya: “Bunga rampai Pendidikan Umum dan Pendidikan Nilai” (2009: 92-93) mengemukakan hasil penelitiannya tentang perkembangan moral siswa SLTP, yang secara umum berada pada tingkat “orientasi menjadi anak baik” atau “moralitas kerja sama antar pribadi”, yang termasuk dalam tahap konvensional. Ini berarti bahwa sekolah sangat perlu


(15)

9

menciptakan suasana sekolah yang dapat memfasilitasi terjadinya pembiasaan untuk menguatkan karakter kerjasama antar pribadi tersebut di sekolah. Bagaimana sekolah membangun suasana yang demikian itu, penting untuk dikaji secara lebih mendalam melalui penelitian ilmiah.

Keempat, kajian tentang Pendidikan IPS dalam wacana pendidikan budaya dan karakter bangsa penting dilakukan, karena sebagai bagian integral dalam kurikulum persekolahan, dan sesuai misinya sebagai program pendidikan sosial di sekolah, mata pelajaran IPS tentulah memiliki tanggung jawab dalam pengembangan program pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sementara itu, pelaksanaan program Pendidikan IPS di sekolah, khususnya pada jenjang SMP, masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan/kendala, baik internal maupun eksternal. Secara internal, IPS masih dihadapkan pada persoalan jati diri dan statusnya dalam kurikulum persekolahan. Sampai saat ini di antara para ahli/pakar IPS maupun praktisi belum semuanya memiliki pandangan yang sama, terutama tentang jati diri IPS itu sendiri.

Masalah ekternal dan sekaligus juga internal Pendidikan IPS adalah terkait dengan statusnya dalam kurikulum, khususnya pada jenjang SMP/MTs. Sejak diberlakukannya kebijakan Kurikulum 2006 atau yang lazim disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), secara yuridis (de jure) status Pendidikan IPS diposisikan sebagai program pendidikan terpadu. Para ahli Pendidikan IPS pun kebanyakan sepakat mengenai hal itu. Diantaranya, Sapriya (2009) mengatakan mata pelajaran IPS di SMP lebih cocok diberikan dengan pendekatan terpadu, karena sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Namun, dalam kenyataannya di lapangan belum bisa sepenuhnya mewujudkan gagasan tentang IPS terpadu tersebut. Banyak faktor yang diduga menjadi penyebabnya. Diantaranya, belum adanya guru yang benar-benar berlatar belakang Pendidikan IPS. Masalah kekurangan jam mengajar jika pembelajaran dilakukan secara ber-tim karena tuntutan sertifikasi, dan sebagainya. Adanya permasalahan tersebut menjadikan penelitian ini penting dilakukan, agar diperoleh gambaran tentang status


(16)

10

Pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, serta peran dan kontribusinya dalam konteks pembangunan karakter bangsa di sekolah.

Kelima, kajian tentang kearifan budaya lokal penting dilakukan, disebabkan oleh keberadaannya masih tetap diperlukan, baik oleh dunia pendidikan maupun oleh masyarakat. Bagi masyarakat Bali, nilai-nilai kearifan budaya lokal dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengatur keseimbangan hidup dalam masyarakat. Karena itu, masyarakat memiliki harapan pada lembaga pendidikan untuk dapat berperan dalam proses pelestarian nilai-nilai budaya lokal agar eksistensinya tetap terjaga. Satu-satunya institusi yang masih bisa berperan untuk menyelamatkan potensi kearifan lokal dan menjadikannya sebagai kekuatan modal sosial untuk meningkatkan daya saing bangsa hanyalah lembaga pendidikan (Abdullah, 2008; Fukuyama; 1985).

Kajian tentang kearifan lokal ini juga penting dilakukan, karena masih terbatasnya gagasan-gagasan yang mengembangkan kearifan-kearifan budaya lokal dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah, khususnya dalam pembelajaran IPS. Hal ini penting, karena selama ini pembelajaran IPS di sekolah dianggap kurang menarik bagi siswa, tidak kontekstual, dan kurang berbasis konteks sosial dan budaya masyarakat. Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa pembelajaran, termasuk di dalamnya pembelajaran IPS yang mengintegrasikan kearifan-kearifan budaya lokal masyarakat Bali dapat menjadikan pembelajaran lebih kontekstual dan bermakna (powerful) bagi siswa, lebih menyenangkan, dapat menambah wawasan dan meningkatkan literasi sosial budaya siswa (Hermanto, 2012; Lasmawan, 2005; Maryani, 2011; Merdana, 2000; Subagia dan Wiratma; 2008).

Sukadi (2006) dalam disertasinya yang berjudul: “Pendidikan IPS sebagai Rekonstruksi Pengalaman Budaya berbasis Idiologi Tri Hita Karana pada SMU Negeri 1 Ubud Gianyar Bali”. menyimpulkan bahwa adanya pandangan dan keyakinan yang kuat dari responden untuk tetap menjadikan Tri Hina Karana sebagai core values masyarakat Bali yang berlandaskan pada nilai-nilai Agama


(17)

11

Hindu sebagai landasan utama dalam penyelenggaraan program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud Gianyar-Bali. Sayangnya, penelitian penelitian yang dilakukan Sukadi (2006) hanya melibatkan subjek sasaran yang homogin pada sekolah yang keseluruhan sivitasnya beragama Hindu, sehingga belum dapat menjelaskan tentang bagaimana penerapan nilai-nilai Tri Hita Karana dalam komunitas yang lebih heterogin. Ini menunjukkan masih pentingnya dilakukan penelitian dalam skup yang lebih luas dengan kajian yang lebih koprehensif. Penelitian yang penulis lakukan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian pada subjek sasaran yang lebih heterogin dilihat dari latar belakang sosial ekonomi, budaya, dan agama, yang lebih mencerminkan suasana kehidupan multikultur, dengan substansi dan subjek sasaran yang juga berbeda. Dengan asumsi bahwa, sekolah-sekolah di Bali ke depan akan semakin mengarah ke tatanan kehidupan yang semakin heterogen dan semakin kompleks sebagai dampak dari perkembangan pariwisata di era globalisasi ini. Dengan demikian, penelitian ini menjadi penting dilakukan dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa, yakni: membangun tatanan kehidupan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Dengan pengkajian permasalahan seperti ini, diharapkan dapat digambarkan bagaimana pengaruh konteks sosial budaya masyarakat Bali dalam lingkup kehidupan masyarakat lokal, nasional, dan global dalam membangun visi dan misi serta pelaksanaan program sekolah, termasuk tentunya Pendidikan IPS di SMP Negeri 1 Singaraja. Tujuan yang terakhir dalam rangka rekonstruksi sosial dalam pendidikan ini dinilai amat urgen dan mendesak seiring dengan perubahan paradigma pendidikan di Indonesia yang berorientasi pada pendidikan berbasis masyarakat luas (broad-based education). Harapan ini menekankan perlunya materi-materi pendidikan berbagai kecakapan hidup (life skills) diberdayakan kepada generasi muda agar mereka tidak tercabut dari akar kehidupan sosial budaya mereka sendiri (Suryadi, 2002).


(18)

12

Melalui penelitian ini diharapkan terungkap dan ditemukan jawaban mengapa dan bagaimana praktik pendidikan di Bali umumnya, dan khususnya pendidikan IPS memiliki keunikan yang membedakannya dengan praktik pendidikan pada daerah lain di Indonesia. Diharapkan juga melalui penelitian ini dapat ditemukan pengalaman terbaik (best practices) dalam rangka menemukan suatu model pendekatan yang efektif dan bermakna sebagai model alternatif dalam pelaksanaan dan pengembangan program pendidikan budaya dan karakter bangsa untuk dapat dikembangkan di sekolah. Untuk mengungkap berbagai fenomena di atas, dalam penelitian ini digunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi etnografi pendidikan (Creswell, 1988). Pendekatan penelitian ini dipilih agar dapat mengungkap secara lebih mendalam dan koprehensif secara alamiah atau natural berbagai hal yang terjadi di SMP Negeri 1 Singaraja, yang berlokasi di Kabupaten Buleleng-Provinsi Bali.

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Untuk melihat bagaimana pendidikan budaya dan karakter bangsa diimplementasikan di sekolah, perlu diidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan konteks sosial budaya masyarakat, nilai-nilai yang melingkupi sekolah dan harapan-harapan masyarakat pada tujuan-tujuan ideal pendidikan sekolah, bagaimana harapan-harapan itu memberi corak pada pengembangan program dan praktik pendidikan sekolah, serta hasil-hasil atau output program pendidikan yang ditimbulkannya. Oleh karena itulah dalam identifikasi masalah ini dikaji hubungan ketiga setting penelitian ini. Pertama, akan dikaji terlebih dahulu latar konteks sosial budaya masyarakat yang turut mewarnai iklim pendidikan sekolah serta harapan masyarakat Bali dalam rangka “Ajeg Bali”; kedua, pembudayaan nilai-nilai karakter bangsa dalam rangka membangun generasi muda Bali modern berkarakter kebangsaan Indonesia; ketiga, pengembangan program pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui pembelajaran IPS.


(19)

13

1. Latar konteks sosial budaya dan harapan-harapan ideal masyarakat yang turut mewarnai iklim pendidikan sekolah

Suasana kehidupan sekolah sangat dipengaruhi oleh konteks lingkungan sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, sekolah dalam membangun budaya dan menciptakan suasana sekolah tentulah tidak bisa lepas dari konteks sosial budaya masyarakatnya. Dengan kata lain, pendidikan sekolah tidak bisa melepaskan diri dari struktur sosial dan sistem budaya masyarakatnya. Sekolah, dengan dinamika kebudayaannya, haruslah menjadi bagian yang integral dari masyarakat dan budaya Bali. Mengakomodasi pemikiran bahwa pendidikan sebagai proses budaya, maka pendidikan sekolah, termasuk Pendidikan IPS juga tidak dapat dilepaskan dari fenomena budaya yang terjadi dalam proses pendidikan di sekolah atau di kelas. Dengan demikian, pendidikan sekolah tentunya haruslah mencerminkan struktur sosial dan budaya masyarakat.

Di sini pulalah pentingnya nilai-nilai kearifan budaya lokal masyarakat dan ideologi orang Bali (Tri Hita Karana) dalam menanamkan kesadaran kepada setiap anggota masyarakat, termasuk generasi mudanya, bagaimana mereka memandang dunianya, kehidupan sosialnya, kehidupan budayanya, dan bahkan kehidupan dunia religi mereka sebagai suatu sistem. Ideologi dengan demikian, memiliki pula fungsi edukasi dalam rangka integrasi dan pemeliharaan sistem sosial dan budaya dengan menyediakan seperangkat norma dan nilai-nilai yang menjadi dasar motivasi untuk tindakan sosial (lihat Nelson, 1991: 334-335). Sejalan dengan pemikiran tersebut, pada skala kepentingan nasional yang lebih besar ada harapan masyarakat pula bahwa pendidikan juga mampu memajukan kebudayaan nasional dan membentuk rasa identitas budaya nasional kepada generasi muda. Ini tidak berarti bahwa, bagi masyarakat Bali, generasi muda harus kehilangan identitas kebudayaan aslinya (budaya Bali). Tumbuh dan kembangnya kebudayaan nasional bagi masyarakat bangsa Indonesia tidaklah harus diartikan matinya kebudayaan lokal atau daerah. Hal ini karena dalam konteks kebudayaan nasional, kebudayaan daerah justeru menjadi akar kekayaan kebudayaan nasional.


(20)

14

Kebudayaan nasional bahkan dapat didefinisikan sebagai konfigurasi integratif puncak-puncak kebudayaan daerah yang memiliki relevansi pada kepentingan kemajuan bangsa, peradaban, serta persatuan dan kesatuan bangsa (Budhisantoso, 1993; Soebadio, 1993).

Masalahnya justeru sering terletak pada proses pendidikan di sekolah bagaimana hubungan kebudayaan daerah dan nasional dikonsepsikan, diletakkan statusnya pada peran dan fungsi masing-masing, serta diciptakan dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan di sekolah. Di sinilah sesungguhnya awal munculnya masalah dalam menempatkan hubungan-hubungan ideologi, hegemoni, dan kebudayaan. Ada indikasi bahwa program pendidikan di sekolah membonceng politik ideologi nasional dan memegang kendali hegemoni, dengan dalih wacana kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan daerah, telah memberikan kesadaran palsu yang justru makin menjauhkan masyarakat, khususnya generasi muda, dari akar kebudayaan daerahnya (Abdullah, 1999; Widja, 2001). Masalahnya bahkan menjadi lebih pelik lagi, karena baik kebudayaan daerah maupun kebudayaan nasional yang diharapkan mampu membentuk identitas etnik dan identitas nasional, karena perseteruannya dalam dominasi hegemoni ideologi nasional, keduanya justeru makin terhimpit oleh besarnya pengaruh kebudayaan global yang bercirikan kebudayaan komtemporer. Diawali oleh berkembangnya pengaruh kebudayaan modern yang membonceng kepentingan hegemoni kebudayaan kapitalis yang dibawa oleh dunia pendidikan barat untuk diterapkan di Indonesia, dunia pendidikan di Indonesia, termasuk di Bali, kini ternyata makin tidak mampu menciptakan kesinambungan dan makin memperbesar diskontinuitas antara kebudayaan daerah, nasional, dan kebudayaan global. Pendidikan di Indonesia dalam hegemoni wacana kebudayaan global dinilai oleh beberapa kalangan telah menimbulkan alienasi yang menyebabkan generasi muda Indonesia makin kehilangan jati diri etnik dan kebangsaannya, lebih-lebih lagi dengan makin menurunnya secara relatif kualitas pendidikan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia.


(21)

15

Keempat level pembentukan identitas dalam kerangka lingkungan kebudayaannya masing-masing, walau tidak dapat dipisah-pisahkan dalam implementasinya, disadari betul menimbulkan masalah-masalah yang kompleks dalam dinamika fenomena kebudayaan yang dikembangkan dalam proses pendidikan di sekolah pada umumnya dan dalam pelaksanaan program Pendidikan IPS pada khususnya. Kompleksitas masalah tersebut disebabkan oleh (1) belum dapat ditemukan kesesuaian ideologis yang mendasari upaya program pendidikan dalam mencapai harapan-harapan masyarakat seperti di atas, dan (2) harapan-harapan di atas dalam kepentingan aplikasi pengembangan identitas kebudayaan masing-masing memiliki potensi konflik yang besar. Dilihat dari sudut kepentingan masyarakat Bali dalam rangka pembentukan manusia berwatak Bali, maka pendidikan haruslah mampu mengupayakan terjadinya pelestarian kehidupan masyakat dengan sistem sosial dan budaya Balinya yang berlandaskan nilai-nilai Agama Hindu (Dube, 1980; Widja, 1993). Ini tentu tidak berarti bahwa masyarakat harus mengalami stagnasi dalam kehidupan sosial dan budayanya, karena itu memang tidak mungkin. Sekolah dengan demikian, harus dapat berperan sebagai proses budaya.

2. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam rangka membangun generasi muda Bali modern berkarakter kebangsaan Indsonesia

Mengakomodasi pemikiran bahwa pendidikan sebagai proses budaya, maka pendidikan tidak dapat dilepaskan dari fenomena budaya yang terjadi dalam proses pendidikan di sekolah atau di kelas. Oleh karena itu, pendidikan sekolah tentunya haruslah mencerminkan struktur sosial dan budaya masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan sekolah tidak bisa melepaskan diri dari struktur sosial dan sistem budaya masyarakat yang melingkupinya. Sekolah dengan dinamika kebudayaannya haruslah menjadi bagian yang integral dari masyarakat. Dengan begitu, sekolah dapat menyiapkan generasi muda untuk mengambil alih peran-peran dan fungsi-fungsi sosialnya di dalam struktur masyarakat. Yang lebih penting kemudian adalah bagaimana pendidikan sekolah mampu melakukan


(22)

16

sosialisasi dan internalisasi serta mengembangkan secara kritis dan reflektif nilai-nilai sosial dan budaya yang fundamental kepada generasi muda, sehingga tidak saja masyarakat dapat menyerahkan tongkat estafet kebudayaannya kepada generasi muda, tetapi generasi muda sendiri memiliki kemampuan dalam melestarikan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat (Redfield, 1963:13; Spindler, 1974:302).

Menyadari adanya fenomena budaya ini, dalam konteks pelaksanaan program pendidikan, idealnya menjadi harapan masyarakat bahwa terbentuknya nilai-nilai kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia pada peserta didik yang bersumber dari nilai-nilai luhur kearifan lokal yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat, nilai-nilai Pancasila, dan nilai-nilai masyarakat global yang dinamis yang bersesuaian dengan nilai-nilai lokal dan nilai-nilai Pancasila. Keseimbangan pembentukan kecerdasan dan nilai-nilai yang bersifat multi-dimensional, komprehensif, utuh, dan sinergis inilah menjadi harapan pencapaian tujuan pendidikan karakter di Indonesia (Kemendiknas, 2010).

Kehidupan individu dan warga masyarakat yang demikian inilah yang menjadi harapan dan cita-cita ideal yang ingin diwujudkan melalui pelaksanaan program pendidikan budaya dan karakter bangsa. Hal ini senada dengan pandangan Fromm (1955:362), dalam karya besarnya The sane society, yang mengemukakan bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat:

“... di mana manusia berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, di mana ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas, suatu masyarakat yang memberinya kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi kodratnya dengan menciptakan, bukan membinasakan, di mana setiap orang mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subyek dari kemampuan-kemampuannya bukan dengan komformitas, di mana terdapat suatu sistem orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan dan menuja berhala”.

Masyarakat seperti ini pada setiap orang dan kelompok akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusia yang sepenuhnya. Anggota masyarakat yang demikian tidak akan ada rasa kesepian, isolasi, serta keputusasaan. Jika cita-cita ideal Fromm ini dikaitkan dengan pentingnya


(23)

17

pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam rangka integrasi bangsa, hal ini sangat relevan karena dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan individu dalam mengembangan dirinya di satu sisi, dan di lain sisi ia mengingatkan diri sebagai bangsa yang dilandasi oleh ikatan-ikatan persaudaraan serta solidaritasnya. Masyarakat yang demikian itu terhindar dari adanya konflik kepentingan masyarakat lokal, nasional, dan global. Dalam konteks kehidupan masyarakat Bali, adalah terwujudnya kehidupan masyarakat dan generasi muda Bali modern yang berkater kebangsaan Indonesia, yang dicirikan dengan kemnampuan: “think globally, act locally, respect to the nasionalism”.

Untuk mewujudkan tujuan program pendidikan budaya dan karakter bangsa, sekolah harus menjadi lingkungan dan komunitas di mana dapat dikembangkan kultur berkarakter. Sekolah harus menjadi media pembudayaan nilai-nilai budaya yang memungkinkan terjadinya proses karakterisasi yang kuat. Asumsi dasar pentingnya sekolah membangun kultur berkarakter, karena sekolah menjadi media utama lintasan belajar anak. Sejauh mana anak menjadi seorang yang berkarakter kuat akan sangat ditentukan oleh pengalaman dari lintasan yang dilaluinya di sekolah bersama dengan seluruh sivitas sekolah, yakni: kepala sekolah, guru, pegawai, sesama siswa, termasuk dengan orang tua dan lingkungan sekolah itu (Colby, 2008:391; Lickona, 1996:63; Klann, 2007:18-19).

Dalam proses ini, sekolah memiliki peran dalam pembentukan karakter, melalui: (l) Pengembangan visi sekolah; (2) Regulasi dan tata tertib sekolah sebagai instrument dalam karakterisasi nilai-nilai; (3) Pimpinan sekolah dan guru sebagai teladan; (4) Orang tua sebagai mitra pembentukan karakter; dan (5) Memanfaatkan simbol-simbol, seperti lambang dan atribut sekolah, simbol-simbol pemerintahan dan kenegaraan, simbol-simbol keagamaan, simbol budaya. Terry Lovat (2007:51), menggambarkan perubahan komprehensif sekolah dengan mengedepankan empat dimensi utama, yaitu: kejelasan sekolah mengenai visi, pengaruh konteks dari lingkungan strategis sekolah, peranan kepemimpinan dan akuntabilitas sekolah itu sendiri. Lebih lanjut, Terry Lovat (2007:53) menjelaskan


(24)

18

bahwa internasilisasi nilai dapat dilakukan dengan berperilaku secara etis (behaving ethically), membangun komunitas dalam rangka penguatan hubungan (strengthening relationship), peningkatan aktualisasi diri, semangat ilmiah tanpa henti mencari pengetahuan baru (seeking knowledge), dan meningkatkan responsibilitas global sebagai penghargaan atas berbagai hak asasi manusia. 3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui pembelajaran IPS

Dalam wacana historis-akademis, terutama jika dilihat dari visi, misi, dan strateginya, Pendidikan IPS pada hakikatnya bermuatan pengembangan karakter, bertujuan untuk mengembangkan warga negara yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang telah diterima secara baku dalam suatu negara yang ditandai oleh kemampuannya dalam melihat dan mengatasi masalah-masalah sosial dan personal dengan menggunakan metode sesuai dengan cara kerja para ilmuan sosial, dengan ciri pokoknya mampu mengambil keputusan (Barr dkk., 1978; Jarolimek, 1986; Hunt dan Metcalf, 1955; Martorella, 1996).

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, Pendidikan IPS adalah wahana pendidikan dalam rangka nation and character building yang memungkinkan setiap warga negara memiliki kecakapan-kecakapan dan kompetensi kewarga-negaraan yang utuh dan powerful; menjadi warga negara yang baik dan cerdas (to be smart and good citizenship) yang meliputi: civic knowlidge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic commitment, civic competence; yang secara utuh dapat digunakan untuk mewujudkan budaya kewarganegaraan (civic culture) yang bermoral dan bermartabat (humanis, holistik, dan religius) (Wahab, 2007; Somantri, 2001; Budimansyah dan Sapriya, 2012).

Sebagai wahana pendidikan karakter bangsa, maka Pendidikan IPS tidaklah dapat lepas dari hakikat program dan proses pendidikan pada umumnya. Di sini Pendidikan IPS tidak dapat dilepaskan dari hubungan antara pendidikan dengan aktivitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketika mereka bersinergi maka mau tidak mau membawa konsekuensi pada perlunya Pendidikan IPS memiliki landasan filosofis yang jelas yang


(25)

19

menjelaskan pertautan program pendidikan dengan aktivitas masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan landasan filosofis yang jelas itulah nantinya visi, misi, tujuan, program, konten, pembelajaran, dan penilaian Pendidikan IPS itu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan IPS sebagai wahana pendidikan karakter tersebut (CCE, 2002; Djahiri, 1996, 2006; Somantri, 1996; Winataputra, 2010).

Maka munculnya kebutuhan, harapan, dan keinginan-keinginan untuk melakukan pembaharuan pada pelaksanaan sistem pendidikan nasional tampaknya tidak dapat ditawar-tawar. Adanya gagasan pembaharuan sistem pendidikan nasional yang berorientasi pada broad-based education, pengembangan materi pendidikan life skills, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, pengembangan pengelolaan dan peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (school-based management) adalah bukti-bukti munculnya kebutuhan-kebutuhan untuk reformasi pendidikan di Indonesia (Depdiknas, 2002, 2003, 2004, 2006; Suryadi, 2002).

Munculnya gagasan-gagasan seperti di atas tampaknya relevan dan sejalan dengan orientasi filosofi pendidikan rekonstruksi sosial seperti yang berkembang di Amerika dan Jepang sebagai telah dijelaskan di atas. Ini membuktikan bahwa program pendidikan sesungguhnyalah tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan-kebutuhan pragmatis pengembangan struktur sosial dan sistem kebudayaan dalam masyarakat yang melingkupi dalam rangka pembentukan jati diri kemasyarakatan atau kebangsaan (Van Scotter, et al., 1985; O’neil, 2001). Soebadio (1993) menjelaskan bahwa bahkan UNESCO, sebagai badan PBB yang bergerak di bidang sosial budaya, hingga kini masih memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan dan memajukan cultural identity melalui pengembangan program pendidikan yang relevan di negara-negara bekas jajahan.

Pendidikan IPS sebagai bagian integral dari program-program pendidikan sekolah, sejalan dengan pembaharuan-pembaharuan program pendidikan yang berorientasi pada filsafat pendidikan rekonstruksi sosial ini tanpa mengabaikan


(26)

20

keunggulan-keunggulan filsafat pendidikan esensialisme, telah pula melakukan pembaharuan agar lebih sejalan dengan cita-cita perubahan sosial dan budaya masyarakat. Dapat diketahui bahwa penerapan pendidikan budaya lokal, pendidikan multikultural, dan pendidikan perspektif global dalam PIPS ternyata bukanlah harapan masyarakat Indonesia semata. Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Australia, negera-negara Eropa, bahkan di negara-negara Asia lainnya ketiga jenis pendidikan ini ternyata telah diintegrasikan dalam Pendidikan IPS (Social Studies, Social Education, Social Science Education, Social Science and Environment) mereka (Banks, 1981, 1991; Nelson, 1991; Stopsky and Lee, 1994; Waterworth, 1999).

Sayangnya, pelaksanaan IPS sebagai suatu program pendidikan di Indonesia belumlah mencerminkan harapan-harapan seperti telah digambarkan di atas. Jika diterima asumsi bahwa program Pendidikan IPS adalah juga sebuah proses budaya, maka ia tidaklah dapat dilepaskan pula dari proses rekonstruksi pengalaman budaya pendukungnya (guru, murid, kepala sekolah, pejabat berwenang di atasnya, pegawai, orang tua murid dan masyarakat lingkungannya). Dan ini tentunya membutuhkan upaya reformulasi jati diri dan reorientasi serta rekonstruksi tujuan-tujuan Pendidikan IPS (Somantri, 2001).

Jika cita-cita atau harapan dalam rangka pembentukan generasi muda modern berwatak Bali seperti dijelaskan di atas hendak diwujudkan melalui kontribusi dan peran Pendidikan IPS, maka tidaklah naif untuk mereformulasi dan mereorientasi jati diri dan tujuan-tujuan Pendidikan IPS sebagaimana diharapkan. Karena itu, tampaknya perlu untuk mengkaji pelaksanaan program Pendidikan IPS di Indonesia ini sebagai suatu pendekatan budaya. Ada beberapa kelemahan mendasar yang terjadi dalam pelaksanaan program Pendidikan IPS di sekolah selama ini jika diharapkan sebagai suatu proses budaya dalam rangka pencapaian cita-cita perubahan sosial budaya dalam masyarakat.

Pertama, program Pendidikan IPS selama ini tampaknya kurang memiliki landasan filsafat ilmu dan filosofis pendidikan yang jelas, melainkan lebih


(27)

21

dianggap sebagai sosio-political institution yang dapat dijadikan kendaraan bagi negara dalam menanamkan kekuasaan ideologis dan politik nasionalismenya kepada warga negara (Winataputra, 2001). Praktik program Pendidikan IPS juga kurang memiliki landasan-landasan sosial budaya yang jelas dan kokoh karena lebih penting menonjolkan aspek pengajaran konsep-konsep dasar ilmu sosial yang diseleksi, diorganisasikan, serta disajikan secara ilmiah dan psikologis. Pelaksanaan program Pendidikan IPS juga cenderung lepas dari konteks kemasyarakatan dan lebih menekankan penguasaan konsep-konsep keilmuan oleh siswa (Cornbleth, 1991).

Kedua, dalam konteks pengembangan kebudayaan daerah/lokal, nasional, dan global, pengembangan materi Pendidikan IPS di sekolah cenderung lebih berorientasi pada materi ruang lingkup nasional dan kurang proporsional dalam menyajikan materi-materi muatan lokal/kebudayaan daerah dan kebudayaan global atau perspektif global.

Ketiga, Pendidikan IPS lebih menekankan misi sosio-paedagogis dan mengabaikan misi sosio-akademis dan sosio-kulturalnya yang memungkinkan pebelajar dapat berpartisipasi sosial secara aktif dengan cerdas dan bertanggung jawab baik di tingkat lokal, nasional, maupun global (Cogan, et al., 1997). Pendidikan IPS lebih berorientasi pada pandangan fungsionalisme yang statis dan konservatif sehingga mengabaikan segi-segi demokrasi dan pengembangan berpikir kritis dan kreatif (Mulder,2003).

Keempat, Pendidikan IPS dalam pembelajarannya di kelas lebih menekankan pendekatan ekspositori dan kurang memberi arti pada makna pendidikan demokrasi dengan pendekatan-pendekatan belajar secara kelompok kooperatif dan dialog interaktifnya dengan memanfaatkan pengalaman belajar dan konsep-konsep awal siswa (Wahab, 2000).

Kelima, Pendidikan IPS di sekolah kurang mengembangkan kapabilitas belajar yang utuh dan autentik dalam seluruh bentuk kecakapan hidup potensial (personal, sosial, intelektual, akademis, dan vokasional) yang dapat


(28)

22

dikembangkan pada diri siswa melainkan hanya menekankan kemampuan pemahaman tingkat rendah dan kurang powerful (NCSS, 2000).

Berbagai kelemahan dalam penerapan program Pendidikan IPS di atas, tentu memerlukan upaya rekonstruksi dari berbagai komponen pendidikan dengan melakukan reformulasi jati diri dan reorientasi tujuan-tujuan Pendidikan IPS agar lebih sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dengan pemenuhan standar lokal, nasional, dan global. Meminjam konsep Giroux (1981), dalam mengkaji proses pendidikan di sekolah sebagai proses budaya, perlu dianalisis hubungan-hubungan antara ideologi, kebudayaan, dan proses pendidikan di sekolah itu sendiri. Stopsky dan Lee (1994:1) mengatakan bahwa PIPS bukanlah hanya pendidikan ilmu-ilmu sosial atau pelajaran sejarah kehidupan manusia masa lalu saja, tetapi juga sebagai sarana untuk membawa manusia kepada kehidupan masa depan yang menjanjikan. PIPS melibatkan pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan yang memungkinkan siswa berkembang menjadi duta-duta warga negara yang bijaksana, bertanggungjawab dan efektif.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan permasalahan pokok penelitian ini, sebagai berikut: “Bagaimana pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dipengaruhi konteks sosial budaya dan harapan-harapan ideal masyarakat diimplementasikan di SMP Negeri 1 Singaraja, dan bagaimana implikasi/dampaknya terhadap proses dan hasil belajar siswa?”.

Permasalahan pokok tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam tiga fokus permasalahan, sebagai berikut.

1. Bagaimanakah gambaran latar konteks sosial budaya masyarakat (lokal, nasional, dan global) yang turut mempengaruhi iklim pendidikan di SMP Negeri 1 Singaraja?

2. Bagaimanakah model implementasi pendidikan budaya dan karakter bangsa yang mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat, dan bagaimana


(29)

23

implikasinya terhadap proses dan hasil belajar yang berorientasi pada pembentukan karakter siswa?

3. Bagaimanakah peran Pendidikan IPS sebagai wahana pendidikan budaya dan karakter bangsa, dan bagaimana implikasikasinya terhadap proses dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Singaraja?

Pada masing-masing fokus permasalahan dikembangkan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang cenderung bersifat fleksibel dan memungkinkan peneliti dapat bergerak dalam mengkaji realitas sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan (Carspecken, 1996). Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang relevan diajukan terkait dengan permasalahan pertama, antara lain:

1) Bagaimana kondisi geografis dan harapan masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam visi pembangunan Kabupaten Buleleng turut mewarnai praktik pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja?

2) Bagaimana upaya sekolah mengakomodasi dan mengintegrasikan pengaruh konteks sosial budaya serta harapan-harapan masyarakat (lokal, nasional, dan global) dan merumuskannya dalam visi, misi, dan tujuan sekolah?

3) Nilai-nilai kearifan budaya lokal apa saja yang perlu dilestarikan dan dijadikan sebagai landasan untuk memperkuat pembudayaan nilai-nilai karakter bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja?

4) Bagaimana dukungan sarana dan prasarana serta sumber daya sekolah (guru, pegawai, dan siswa) terhadap upaya sekolah dalam menciptakan iklim/suasana sekolah yang berorientasi pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja?

Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang relevan dan perlu diajukan terkait dengan permasalahan kedua, antara lain:

1) Bagaimana upaya sekolah melakukan penataan lingkungan sekolah dan kelas untuk memfasilitasi terjadinya proses pembudayaan nilai-nilai karakter bagi siswa di SMP Negeri 1 Singaraja?


(30)

24

2) Bagaimana strategi kebijakan pengintegrasian nilai-nilai karakter ke dalam kurikulum sekolah dan dalam praktik-praktik pembelajaran di SMP Negeri 1 Singaraja?

3) Bagaimana pengintegrasian nilai-nilai karakter bangsa yang dilakukan melalui program ekstrakurikuler, OSIS dan pengembangan diri di SMP Negeri 1 Singaraja?

Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang relevan dan perlu diajukan terkait dengan permasalahan ketiga, lain:

1) Bagaimanakah pandangan para pendidik dan siswa tentang status Pendidikan IPS serta upaya apa yang dilakukan dalam mewujudkan tujuan PIPS sebagai pendidikan budaya dan karakter bangsa?

2) Bagaimana isi (content), model/pendekatan, strategi, metode, dan sumber-sumber fasilitas belajar yang dikembangkan/digunakan para pendidik untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran IPS sebagai wahana pendidikan budaya dan karakter bangsa?

3) Bagaimanakah model penilaian dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS yang berkaitan dengan penguasaan pengetahuan sosial dan sikap siswa sebagaimana yang tercermin dalam nilai raportnya?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi serta rumusan masalah penelitian di atas, maka secara keseluruhan penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang model penyelenggaraan pendidikan budaya dan karakter bangsa serta implikasinya terhadap pencapaian tujuan pendidikan sekolah secara umum, dan tujuan pembelajaran IPS khususnya dalam penguatan nilai-nilai karakter di SMP Negeri 1 Singaraja.

Secara lebih spesifik/khusus tujuan dilakukannya penelitian ini dapat dijabarkan, sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor eksternal, yang meliputi latar konteks sosial budaya masyarakat yang melingkupi sekolah dan


(31)

nilai-25

nilai/idiologi serta harapan masyarakat yang turut mempengaruhi iklim pendidikan di SMP Negeri 1 Singaraja.

2. Mengidentifikasi dan mengalisis faktor-faktor internal dan dukungan sarana dan prasarana serta sumber daya sekolah dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan, serta program-program pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja.

3. Mengidentifikasi nilai-nilai kearifan budaya lokal masyarakat Bali secara umum, dan masyarakat Buleleng khususnya yang perlu dilestarikan dan dijadikan sebagai landasan untuk memperkuat pembudayaan nilai-nilai karakter bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja.

4. Memperoleh fakta dan data tentang model penataan lingkungan sekolah dan kelas yang dapat dijadikan sebagai media pembudayaan nilai-nilai karakter bangsa bagi sivitas sekolah, khususnya siswa di SMP Negeri 1 Singaraja. 5. Menganalisis model pengintegrasian nilai-nilai budaya dan karakter bangsa

dalam kurikulum sekolah, dan praktik-praktik pembiasaan/pembudayaannya yang dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan program OSIS di SMP Negeri 1 Singaraja.

6. Menganalisis pandangan para pendidik dan siswa tentang Pendidikan IPS, dan menjelaskan dasar-dasar filosofis (ideologis) dan sosiobudaya yang melandasi persepsi dan cara para pendidik memformulasikan hakikat pembelajaran IPS sebagai program pendidikan budaya dan karakter bangsa.

7. Memperoleh gambaran tentang isi (content) dan sumber-sumber belajar yang dikembangkan/digunakan para pendidik untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran IPS sebagai wahana pendidikan budaya dan karakter bangsa. 8. Memperoleh gambaran tentang pendekatan/metode pembelajara yang

dikembangkan para pendidik untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran IPS sebagai wahana pendidikan budaya dan karakter bangsa.


(32)

26

9. Memperoleh gambaran tentang model penilaian yang dikembangkan para pendidik untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran IPS sebagai wahana pendidikan budaya dan karakter bangsa.

10. Mengalisis implikasi/dampak yang ditimbulkan dari penerapan/ pengembangan model pendekatan pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja.

11.Memverifikasi model/pendekatan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai model alternatif dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa sekolah lain di Kabupaten Buleleng dan di Bali sebagai implikasi dari temuan-temuan di atas dengan merekonstruksi pengalaman belajar yang bersumber dari nilai-nilai lokal, nilai-nilai nasional, dan global.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang dapat bermanfaat baik secara praktis maupun teoritis sebagai berikut.

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dan para pendidik di Bali untuk mengembangkan kurikulum dan program pembelajaran yang berbasis konteks sosial budaya masyarakat, baik lokal, nasional, maupun global sejalan dengan kebutuhan dan proses perubahan sosial budaya masyarakat Bali.

2. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan tentang model/pendekatan dalam pengembangan program pendidikan budaya dan karakter bangsa di sekolah yang tidak bisa dipisahkan dari pengaruh kepentingan dan perubahan sosial budaya masyarakat pendukungnya.

3. Penelitian ini secara teoritis juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan baru dalam mengembangkan pembelajaran IPS di Indonesia, yang selama ini cenderung hanya didefinisikan, dimaknai, diimplementasikan,


(33)

27

dan terfokus sebagai proses pentransferan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang disederhanakan di sekolah untuk tujuan-tujuan pengajaran.

4. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lanjut dalam bidang pendidikan, dan khususnya Pendidikan IPS untuk memberikan masukan data, temuan konsep, proposi, dan generalisasi yang dapat digunakan sebagai refleksi awal dalam menemukan masalah-masalah baru dalam kaitannya dengan hubungan antara konteks sosial budaya kemasyarakatan dengan pelaksanaan program pendidikan sekolah, dan khususnya Pendidikan IPS di Indonesia dalam pencapaian visi, misi, dan tujuan-tujuannya mengembangkan kemampuan think globally, act locally, and respect to the nationalism.

F. Struktur Organisasi Disertasi

Secara keseluruhan disertasi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Masing-masing bab memuat hal-hal, sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan, yang menyajikan uraian tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat/signifikasi penelitian, dan struktur organisasi disertasi.

Bab II Kajian Pustaka, yang memuat kajian konseptual dan teoritis tentang: (1) Kajian tentang Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa; (2) Kajian tentang Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa berbasis Kearifan Lokal; dan (3) Pendidikan IPS sebagai Wahana Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Pada bagian ini juga disajikan hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan kerangka model pengembangan penelitian ini.

Bab III Metode Penelitian, yang memuat lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian dan prosedur penelitian, metode pengumpulan data, jenis data penelitian yang dikumpulkan, metode pengumpulan data yang digunakan, dan teknik analisis data penelitian.

Bab IV, memuat hasil penelitian dan pembahasan dari ketiga fokus permasalahan yang dikaji, meliputi: (1) Konteks sosial budaya masyarakat, termasuk ideologi masyarakat yang merupakan rekonstruksi pengalaman budaya


(34)

28

para civitas sekolah, turut mewarnai praktik proses pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMP Negeri 1 Singaraja; (2) Model/pendekatan pembiasaan/ pembudayaan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dilakukan di SMP Negeri Singaraja, dan bagaimana implikasinya terhadap proses dan hasil belajar siswa; dan (3) Pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diintegrasikan dalam pembelajaran IPS, dan bagaimana implikasikasinya terhadap proses dan hasil belajar siswa di SMP Negeri 1 Singaraja.

Bab V, memuat dua hal pokok, yaitu: kesimpulan dan rekomendasi yang diajukan untuk ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait, antara lain: para pengambil kibijakan dan praktisi pendidikan serta peneliti selanjutnya.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bagian ini diuraikan mengenai metode penelitian yang digunakan beserta komponen-komponennya, yang meliputi: (a) Lokasi dan subjek serta justifikasi dari pemilihan lokasi dan subjek penelitian; (b) Desain serta justifikasi dari pemilihan desain penelitian; (c) Metode/prosedur atau langkah-langkah penelitian yang ditempuh; (d) Fokus kajian dan data yang dikumpulkan pada masing-masing fokus kajian; (e) Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpulan data penelitian; (f) Metode/teknik pengumpulan data serta pemeriksaan keabsahan data; dan (g) Teknik analisis data penelitian.

Penjabaran secara rinci masing-masing komponen metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut.

A. Lokasi dan Subjek Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan pada latar (setting) sekolah dan kelas sebagai latar utama dan ditunjang pula pada latar masyarakat di lingkungan sekitar sekolah. Sekolah yang dipilih sebagai setting penelitian adalah SMP Negeri 1 Singaraja yang berlokasi di Jalan Gajah Mada Nomor 109 Singaraja, Desa/Kelurahan Banjar Bali, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Pemilihan SMP Negeri 1 Singaraja sebagai lokasi penelitian dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan, sebagai berikut.

Pertama, SMP Negeri 1 Singaraja merupakan SMP pertama yang ada di Kabupaten Buleleng yang cikal bakalnya berawal dari sekolah kursus B1 yang didirikan tahun 1942 dengan nama Cukago. Dengan perjalanan yang panjang seperti itu, diasumsikan SMP Negeri 1 Singaraja memiliki pengalaman yang mumpuni dalam mengelola program pendidikan sekolah. Dengan demikian, dimungkinkan dapat diperoleh informasi, data, fakta yang berkaitan dengan


(36)

Kedua, dalam perkembangannya, SMP Negeri 1 Singaraja juga menunjukkan kondisi yang semakin mengarah pada kehidupan yang heterogen dilihat dari segi sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan juga agama yang dianut sivitasnya sebagai dampak dari keberadaan sekolah yang berlokasi di pusat kota. Dipihak lain, berdasarkan hasil studi pendahuluan tampak bahwa SMP Negeri 1 Singaraja masih sangat kuat mempertahankan tradisi masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai Agama Hindu dalam pelaksanaan program-program pendidikan sekolah. Hal ini menarik untuk dikaji untuk dapat memahami sistem pendidikan yang dikembangkan sekolah yang dapat menyelaraskan kepentingan sivitas yang heterogen sehingga tidak saling menghegemoni satu sama lain.

Ketiga, SMP Negeri 1 Singaraja termasuk salah satu sekolah yang berstatus RSBI di Bali. Sebagai sekolah berstatus RSBI, tentunya sekolah ini berupaya untuk memenuhi target-target capaian sesuai tuntutan status yang disandangnya. Selain itu, sebagai sekolah yang berada di Bali, SMP Negeri 1 Singaraja juga tidak bisa lepas dari adanya pengaruh perkembangan global sebagai dampak dari perkembangan pariwisata. Ini karena baik di pusat kota maupun pada daerah di sekitarnya terdapat daerah kunjungan wisata, seperti: Kawasan Pantai Lovina, Air Terjun Gigit, Air Sanih, Gedung Kertya dan objek-objek wisata lainnya. Kondisi masyarakat pariwisata seperti ini memungkinkan dapat dikaji hubungan masyarakat industri pariwisata modern dengan program-program pendidikan di sekolah serta dampaknya terhadap hasil belajar siswa.

Keseluruhan alasan atau pertimbangan tersebut diajukan adalah dalam upaya memahami bekerjanya konteks sosial budaya masyarakat dengan level kepentingan yang berbeda-beda antara kepentingan lokal, nasional, dan global yang berpengaruh secara sinergis terhadap pelaksanaan program-program pendidikan budaya dan karakter bangsa di sekolah, serta dampak yang ditimbulkannya. Pertimbangan ini sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, yakni: menemukan pengalaman terbaik (best practice) dalam pelaksanaan dan pengembangan program pendidikan dengan berbagai keunikan yang diharapkan dapat dijadikan sebagai model bagi sekolah lain dalam pelaksanaan program


(37)

2. Subjek penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian kualitatif adalah sumber informasi/data yang dikumpulkan yang sering disebut sebagai responden. Penentuan subjek atau responden dalam penelitian ini dilakukan secara purposif (purposive sampling), serta dipilih berdasarkan tujuan penelitian (Lincoln dan Guba, 1985:201). Tujuannya adalah memperoleh sumber data utama penelitian. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan-tindakan orang, peristiwa atau fenomena yang diamati (Moleong, 1989: 122). Jumlah dan jenisnya ditetapkan secara “snowball sampling technique”, bergulir hingga mencapai titik jenuh di mana informasi telah terkumpul secara tuntas (Nasution, 1988:32).

Subjek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari pihak-pihak yang berdasarkan pertimbangan profesi, pengalaman, kewenangan, dan kemampuan terkait dengan karakteristik masalah dan tujuan penelitian yang dinilai telah memiliki kualitas dan ketepatan untuk berperan sebagai subjek penelitian. Pertimbangan ini penting dilakukan, karena dalam penelitian kualitatif, peneliti lebih memfokuskan pada jenis informasi yang dibutuhkan dalam penelitian Carspecken (1996).

Sesuai dengan permasalahan yang dikaji, dalam penelitian ini sumber data dibagi dalam tiga wilayah/fokus kajian, yaitu:

1) Sumber data terkait dengan wilayah kajian pada setting luar sekolah (konteks sosial, budaya, agama, ekonomi, politik yang melingkupi sekolah, yang diduga turut mempengaruhi pelaksanaan program pendidikan dan pengembangan pendidikan di SMP Negeri 1 Singaraja). Pada fokus masalah pertama ini, subjek penelitian terdiri dari: pihak Pemerinmtah Kabupaten Buleleng, Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng c/q Kepala bagian perencanaan dan Kasubdik SMP/MTs Kabupaten Buleleng sebagai pemegang dan penentu kebijakan pendidikan, Ketua Komite Sekolah yang mewakili stakeholders, tokoh masyarakat dan beberapa orang tua siswa.

2) Sumber data yang terkait dengan wilayah kajian pada setting sekolah (pelaksanaan dan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa di


(38)

(SMP Negeri 1 Singaraja), terutama kepala sekolah sebagai informan kunci (Spradley, 1979). Selanjutnya, dengan bantuan kepala sekolah peneliti menetapkan informan-informan lainnya yang dipilih secara purposif serta berdasarkan prinsip snowball sampling. Selain kepala sekolah yang merupakan informan kunci dalam penelitian ini, peneliti juga menetapkan informan-informan lainnya yang terdiri dari: wakil kepala sekolah (bidang kurikulum, sarana-prasarana, kesiswaan, dan lingkungan hidup), Guru BK, Guru-guru Agama (guru Agama Hindu, guru Agama Islam, guru Agama Budha, guru Agama Kristen dan guru Agama Khatolik), Guru pengampu mata pelajaran muatan lokal dan mata pelajaran kesenian dan keterampilan, Kepala Tata Usaha (KTU), Kepala perpustakaan, pengurus OSIS (SK. Terlampir), staf administrasi/pegawai tata usaha, pegawai perpustakaan, petugas keamanan (scurity) sekolah dan siswa yang dipilih secara purposif random sampling. 3) Sumber data yang berkaitan dengan pelaksanaan dan pengembangan

pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui praktik pembelajaran IPS, yang terdiri dari: Guru pengampu mata pelajaran IPS dan siswa pada tahun pelajaran 2012/2013.

B.Desain Penelitian yang Digunakan

Penelitian ini secara umum menggunakan rancangan penelitian kualitatif, yang dilandasi pada 3 (tiga) alasan, yaitu: (1) berkenaan dengan sifat masalah penelitian; (2) kegiatan penelitian; dan (3) sifat instrumen yang digunakan. Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dalam rangka mengambil makna secara mendalam berdasarkan konteks lingkungan sekolah dan kegiatan yang dilakukan oleh subjek atau responden penelitian. Dalam tradisi penelitian kualitatif, Creswell (1998) mengklasifikasikan adanya lima tradisi studi kualitatif, yaitu: penelitian biografi, fenomenologi, grounded theory, studi etnografi, dan studi kasus. Sesuai dengan masalah dan tujuannya, dalam penelitian ini digunakan desain studi etnografi pendidikan dan studi kasus. Studi kasus (case study) merupakan metode untuk menghimpun dan menganalisis data berkenaan dengan


(39)

berupa program, kegiatan, peristiwa atau kelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu, atau ikatan tertentu.

Penggunaan desain studi etnografi pendidikan, mengingat dalam penelitian ini fokusnya adalah mendeskripsikan dan memberikan eksplanasi secara detail fenomena budaya yang dapat direkonstruksi menurut perspektif partisipan penelitian secara alamiah yang dilakukan terhadap suatu kesatuan sistem yang berupa program, kegiatan, peristiwa yang terjadi di SMP Negeri 1 Singaraja. Fenomena budaya yang dimaksud adalah berkenaan dengan pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma, tradisi-tradisi atau kebiasaan-kebiasaan, simbol-simbol, bahasa, dan praktik kehidupan sehari-hari, yang digunakan dalam pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program pendidikan di SMP Negeri 1 Singaraja sebagai suatu rekonstruksi pengalaman budaya para pendukungnya, dengan kajian-kajian kritis dan interpretatif tanpa mengabaikan telaah unsur-unsur empiriknya (Combleth, 1991).

Ada tiga karakteristik penelitian etnografi, yaitu: pertama, mempelajari pola-pola budaya dalam perilaku sekelompok masyarakat; kedua, memfokuskan pada perspektif emik dari suatu kelompok budaya; dan ketiga, memfokuskan pada setting alamiah di mana fenomena budaya itu terjadi. Dengan demikian, melalui studi seperti ini dimungkinkan untuk melakukan analisis, mendeskripsikan, dan menjelaskan hubungan-hubungan yang terjadi yang membentuk fenomena pendidikan sekolah dan pembelajaran IPS sebagai rekonstruksi pengalaman budaya dari unsur-unsur tindakan sosial yang nyata, pengalaman subjektif yang melandasi tindakan tersebut, serta kondisi-kondisi konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politis serta kondisi-kondisi atau faktor-faktor lain yang turut mempengaruhinya (Carspecken, 1996).

C. Prosedur Penelitian

Berdasarkan sifat masalah, penelitian ini lebih difokuskan pada kajian terhadap aktivitas subjek penelitian dalam melakukan kegiatan sesuai konteks permasalahan yang diteliti. Untuk keperluan tersebut, peneliti berusaha untuk selalu berada secara dekat dengan dan di antara atau bersama subjek penelitian.


(1)

Surpha, I W. (1995). Eksistensi desa Adat di Bali dengan Diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 (Tentang Pemerintahan Desa). Denpasar: Upada Sastra.

Stopsky, F. dan Lee, S. (1994). Social Studies in a Global Society. New York: Delmar Publishers Inc.

Suwarma Al Muchtar. (2001). Epistimologi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.

Szymanski, S. C. dan Marry E. H. (1993). Social Studies and the Elementary/ Middle School Student. Harcourt Brace Jovanovisch College Publishers Fort Worth Philadelphia San Diego: New York Orlando Austin San Antonio Toronto Montreal London Sydney Tokyo.

Terry, L. And Ron, T. (2007). Values Education and Quality Theaching: The Double Helix Effect. David Barlow Publishing Australia.

Tilaar, H.A.R. (1999). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.

Van Scotter, R. D. et al. (1985). Social Foundations of Education. Second Edition. Englewood Cliffs, New jersey: Prentice-Hall, Inc.

W.B & Mc. Aulay, J.D. 1964. Social Studies for Today‟s Children. Appleton-Century-Croft. Meredith Pub, USA.

Wahab, A. (2007). Metode dan Model-model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Albabeta.

Welton, D.A. & Mallan, J.T. (1988). Children and Their World, Strategies for Teaching Social Studies (3rd ed.). Beston, Dallas, Houghton Mifflin Company.

Weber, M. (1958). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. (Translated

by Talcott Parsons). New York: Charles Scribner’s Sons.

Widja. I G. (1993). Pelestarian Budaya: Makna dan Implikasinya dalam proses Regenerasi Bangsa. Dalam T.R. Sudhartha, et al. (ed). Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar: Upada Sastra. Hal: 45 – 63.

... (1991). Continuity and Change in Balinese Society: An Example from Modern Schooling. Indonesia Circle, No. 54 Mar. 91.

...(2001). Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah: Suatu Perspektif dalam Menyongsong Tatanan Baru Kehidupan Berbangsa. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.


(2)

B. Jurnal

Coombs, J. R. (1971). Objectives of Value Analysis. Dalam Lawrence E. Metcalf (Ed.). Values Education: Rationale Strategies and Procedures. 41st Yearbook. Washington, DC. NCSS. Hal.: 1-28.

Coombs, J.R. dan Meux, M. (1971). Teaching Strategies for Value Analysis. Dalam Lawrence E. Metcalf (Ed.). Values Education: Rationale Strategies and Procedures. 41st Yearbook. Washington, DC. NCSS. Ilal.: 29-74.

Fukuyama, F. (1985). Confusianism and democracy, in Journal of Democracy, 6 (3) April, 20-33.

Geertz, C. (1979). “Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota di

Indonesia”. Dalam T. Abdullah (Ed.). Agama, Etos Kerja dan

Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Hal. 154-186.

Giroux, H. and Pennao A. (1979). Social Education in the Classroom: The Dynamics of the Hidden Curriculum. Theory and Research in Social Education, 7,21-42.

Guba, E. (1981). Criteria for Assessing the Trustworthiness of Naturalistic Inquiries. Educational Communication and Technology. Journal, 29, 75- 92.

Kertih dan Sukadi (2007). Konsep Ajeg Bali (Hindu) Berbasis Idiologi Tri Hita Karana Dimaknai di Lingkungan Sekolah (Studi Etnografi Pendidikan pada SMA Negeri I Ubud Bali sebagai Model SMA Berwawasan Hindu). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora 1(2), 143-155. Undiksha: Singaraja-Bali.

Lickona, T. (1996). Eleven Principles of Effective Character Education. Dalam Journal of Moral Education 25 (1).

Litt, E. (1963). Civic Education, Community Norms, and Political Indoctrination. American Sociological Review, 28, 69-75.

Merdhana I N. (2000). Kurikulum Muatan Lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan di Bali. Majalah Ilmiah Aneka Widya. WII (3), 12-21.

NCSS/SCC. (1983). Guidelines for Teaching Science Related Social Issues. Social Education (47). April/May. 258-261 .


(3)

Nelson, J.L. dan Ochoa, A. (1987). Academic Freedom, Censorship and the Social Studies. Social Education, 51, 424-427.

Rochiati W. (1995). Sumbangan Pengajaran Sejarah kepada Pendidikan IPS Selama Tiga kurun Zaman. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 5. Hal. 39-48. Rochiati W. dan Waterworth, P (1996). Renewing Social Studies Teaching. Jurnal

Pendidikan Ilmu Sosial, 8. Hal. 27-31.

Somantri, M.N. (1995). Masalah dan Prospek Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah dan LPTK dalam Pembangunan Nasional dan Era Globalisasi. Jurnal Pendidikan llmu Sosisl, 5. Hal. 5-13.

Subagia, I W. (2000). Balinese Indigenous Worldview and Its Role in The Reforms of Science Education in Bali. Majalah Ilmiah Aneka Widya, XXXIII (3), 71-81.

Wales, H.G.Q. (1948) “The Making of Greater India: A Study in South-East Asia

Culture Change”, Journal of Royal Asiatic Society, halaman 2-32.

C. Disertasi

Hermanto. (2012). Studi Etnopedagogi pada Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan Banten Kidul di Kabupaten Sukabumi tentang Revitalisasi Nilai-nilai Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal. Sekolah Pascasarjana UPI: Bandung.

Maryati, T. (2011). Ajeg Bali: Politik Identitas dan Implementasinya pada Berbagai Agen Sosiallisasi di Desa Pekraman Ubud Gianjyar-Bali Sekolah Pasca Sajana UPl-Bandung.

Sukadi (2006). Pendidikan IPS sebagai Rekonstruksi Pengalaman Budaya berbasis Idiologi Tri Hita Karana pada SMU Negeri 1 Ubud Gianyar Bali. Sekolah Pascasarjana UPI: Bandung.

Wachidi. (1999). Inovasi Kurikulum IPS SMP di Kotamadya Bandung (Studi

tentang Tingkat “Concerns” Guru terhadap Inovasi Kurikulum IPS SMP

di Kotamadya Bandung). Sekolah Panscasarjana UPI: Bandung.

Winataputra, U.S. (2001). Jati diri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi (Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pendidikan IPS). Sekolah Pascasarjana UPI: Bandung.


(4)

Zaini Hasan. (1986). Individual Development-Oriented Modernity and Forces Promoting it among Students at Four Teacher Training Colleges in Malang, Indonesia. Dissertation. Florida: The Florida State University.

D. Publikasi Departemen

Depdiknas. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup (Life Skills). Pendidikan Non Formal. Jakarta: Depdiknas.

... (2003). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pengetahuan Sosial Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.

... (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar Rumpun Pelajaran Ilmu Sosial. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: BSNP. Depdiknas.

Kemendiknas RI. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa; Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kemendiknas.

Kemendiknas RI. (2010). Naskah Akademik Penataan Ulang Kurikulum (Tidak dipublikasikan). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kemendiknas:.

Pemerintah Republik Indonesia (2010a). Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025; Desain Induk. Jakarta: Kemendiknas..

Pemerintah Republik Indonesia (2010b). Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemko. Kesejahteraan rakyat.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI.

E. Makalah

Chourmain, I. (2010). Peran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Membangun Jati Dri Bangsa. Seminar Nasional Strategi, Kebijakan, dan Program HISPISI: Jakarta.


(5)

Hasan, S.H. (2010). Inovasi Pembelajaran IPS dalam Membangun Karakter Peserta Didik. FPIPS-UPI Bandung.

Kertih, I.W. (2011). Pengembangan Model Pembelajaran IPS Terpadu Berbasis Kearifan Lokal. Seminar Nasional HISPISI, 27 Februari 2011, Batu-Malang.

Pasandaran, S. (2010). Integrasi Pendidikan Karakter ke dalam Kurikulum Sekolah. Seminar Nasional dan Forum Pimpinan FIS, FISE, FPIPS, JPIPS se Indonesia 19 November 2010, Menado.

Somantri, M.N. (1996). Pendidikan IPS Ditinjau dari Perspektif Aktualisasinya (Makalah). Disampaikan pada Diskusi Panel Terbatas Pendidikan llmu Pengetahuan Sosial di FPIPS IKIP Jakarta.

Sukadi. (2010). Revitalisasi Idiologi Pancasila dalam Praktik Pendidikan Pancasila untuk Memperkuat Karakter Bangsa. Pusat Studi dan Sumber Belajar PIPS Fakultas Ilmu Sosial Undiksha, 21 Desember 2010, Singaraja-Bali.

Supriatna N. (2011). Pengembangan Pendidikan Karakter melalui Green Curriclum dan Ecopedagogy dalam Pembelajaran IPS. Seminar FPIPS UPI Badung.

Winataputra, U.S. (2010). Peran Pendidikan Ilmu Perngetahuan Sosial (PIPS) dalam Konteks Pembangunan Karakter Bangsa; Kebijakan, Konsep, dan Kerangka Programatik. Jakarta: Universita Terbuka.

Zamroni (2011). Mencari Format Pendidikan IPS Berwajah Indonesia. Seminar Nasional HISPISI, 27 Februari 2011, Batu-Malang.


(6)