Perkembangan Pariwisata di buleleng Bali

Perkembangan Pariwisata di Bali
Pesatnya pembangunan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak
positif seperti peningkatan pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja, dan
peningkatan kesejasteraan tetapi juga menimbulkan dampak negatif seperti
pencemaran, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan pengalihan fungsi
lahan terutama lahan pertanian yang dijadikan sebagai tempat pengembangan
fasilitas dan sarana pariwisata seperti hotel, restoran, objek wisata dan lain-lain.
Pengembangan pariwisata di Bali telah berkontribusi banyak terhadap kerusakan
dan keseimbangan lingkungan khususnya pembangunan pariwisata yang
memanfaatkan lahan pertanian baik lahan basah maupun kering. Di Kawasan
Seminyak-Kabupaten Badung, banyak lahan pertanian sawah telah dialihkan
fungsinya untuk pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel, villa, bungalow,
café, art shop dan lain-lain. Dengan pembangunan sarana-sarana tersebut maka
secara otomatis sistem penyaluran atau distribusi air terhalangi oleh beton-beton
yang melintang dengan kokoh di wilayah tersebut yang mengakibatkan air tidak
bisa mengalir dengan baik ke seluruh areal persawahan. Terhambatnya saluran air
di daerah tersebut juga telah mengakibatkan masalah baru “banjir” khususnya
pada musim hujan. Air meluap ke permukaan saluran-saluran air yang kecil dan
tidak lancar dan tumpah ke jalan. Sistem distribusi air yang dikenal sebagai
“subak” dan sawah yang dulunya merupakan sumber penghasilan utama
masyarakat setempat akan punah ditelan jaman dan derasnya laju pembangunan

pariwisata. Melihat fakta ini, mungkinkah lingkungan, sawah dan subak bisa
lestari? Dengan kerusakan ini pula, mungkinkah budaya luhur masyarakat Bali
khususnya pertanian bisa Ajeg?

Pemanfaatan

lahan

pertanian

untuk

kepentingan

pariwisata

juga

telah


mengakibatkan kesenjangan antara industri pariwisata dengan pertanian.
Permasalahan ini dilatarbelakangi oleh tidak seimbangnya pembagian hasil
pemanfaatan pertanian untuk kepentingan pariwisata. Kasus pemasangan seng
agar nampak berkilau di areal persawahan warga yang terjadi di CekingKabupaten

Gianyar

merupakan

bukti

nyata

yang

menggambarkan

ketidakharmonisan hubungan antara petani dan industri pariwisata. Sawah warga
yang elok dan indah dijadikan pemandangan bagi sejumlah restoran, café dan
hotel, tetapi petani yang memiliki sawah yang indah tersebut tidak mendapatkan

keuntungan sehubungan dengan pemanfaatan sawah dan aktivitas pertaniannya
sebagai atraksi wisata. Kekesalan petani pemilik sawah tersebut berujung pada
pemasangan seng di sawahnya yang mengakibatkan wisatawan mengeluh karena
tidak bisa melihat pemandangan yang indah sebagaimana yang dijanjikan.

Contoh lain yang memiliki permasalahan yang hampir sama adalah di objek Desa
Wisata Jatiluwih-Kabupaten Tabanan. Keindahan bentang alam persawahan di
tempat ini bukan hanya diminati oleh wisatawan domestik dan manca negara,
tetapi juga bagi para anggota tim panitia pemilihan warisan alam dan budaya
international. Karena keindahannya, Desa Wisata Jatiluwih dinominasikan sebagai
salah satu warisan alam dunia (world natural heritage) dan merupakan satusatunya objek wisata alam yang dinominasikan di Bali. Fakta yang terjadi di
lapangan, warga desa setempat dan pemilik sawah tersebut belum mendapatkan
hasil dan keuntungan dari kegiatan wisata yang dilakukan di daerahnya. Operatoroperator tour yang menjual paket wisata seperti sightseeing, cycling dan trekking
di Desa Wisata Jatiluwih secara langsung membawa pemandu wisata (tour guide),
keperluan makanan dan minuman dan peralatan kegiatan wisata tersebut dari
kantornya masing-masing sehingga masyarakat lokal sama sekali tidak
mendapatkan keuntungan dan sebaliknya masyarakat lokal hanya menerima sisasisa sampah dan jejak kaki para wisatawan saja.

Mungkin saja para operator tour yang menjual paket wisata ke objek Desa Wisata
Jatiluwih tidak mengetahui bahwa kegiatan pertanian padi sawah yang mencakup

pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan
memerlukan biaya tinggi. Biaya yang dikeluarkan oleh petani tersebut sama sekali
tidak ditanggung oleh para operator tour. Semestinya, para operator tour yang
menjual objek Desa Wisata Jatiluwih memberikan insentif kepada para petani agar
tetap melakukan aktifitas pertanian dan membantu mengurangi beban biaya yang

dikeluarkan petani. Untuk menutupi kekurangan biaya yang dikeluarkan untuk
kegiatan pertanian, beberapa petani sudah mulai mengembangkan sayapnya ke
sektor peternakan ayam. Di sekitar kawasan Desa Wisata Jatiluwih telah tampak
dibangun beberapa kandang ayam yang mengurangi keindahan di objek wisata
tersebut dan tidak menutup kemungkinan bahwa di seluruh areal persawahan
tersebut akan dibagun usaha peternakan ayam juga di masa yang akan datang
yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara yang disebabkan oleh
bau kotoran ayam tersebut.
World Tourism Organization (WTO) sebenarnya telah menggariskan kebijakan
pengembangan pariwisata berkelanjutan yang menitikberatkan pada tiga hal yaitu
keberlanjutan alam, sosial dan budaya, dan ekonomi. Konsep ini secara jelas
menjabarkan bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh merusak alam,
lingkungan, dan lahan terutama lahan pertanian. Agrotourism merupakan model
pengembangan pariwisata memiliki keterkaitan yang erat antara pertanian dan

pariwisata.
Bagaimana

mensinergikan

pertanian

dengan

pariwisata?

Pengembangan

agrotourism merupakan model pengembangan yang tepat dan melengkapi model
pengembagan pariwisata budaya yang dikembangkan sekarang ini di Bali.
Agrowisata merupakan pengembangan pariwisata yang berbasis pertanian, baik
pemanfaatan aktivitas pertanian seperti membajak, menanam padi dan memanen
sebagai objek wisata, daya tarik wisata dan atraksi wisata maupun pemanfaatan
hasil-hasil pertanian seperti beras, sayur dan buah untuk keperluan industri
pariwisata seperti hotel dan restoran di suatu daerah tujuan wisata. Bagus

Agrowisata di Plaga-Kabupaten Badung, merupakan salah satu contoh objek
agrowisata yang memanfaatkan kegiatan pertanian organik sebagai daya tarik
wisatanya. Wisatawan secara langsung bisa melihat beraneka ragam tanaman
(sayuran dan buah) dan aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat lokal
di tempat tersebut. Selain itu, wisatawan juga bisa memetik buah-buahan secara
langsung di sekitar areal Bagus Agrowisata sambil melihat pemandangan
perbukitan yang indah dan menakjubkan. Sedangkan hasil pertaniannya
digunakan untuk kepentingan hotel dan restoran yang secara khusus menjual

makanan organik yang merupakan makanan sehat dan menjadi trend bagi
kalangan wisatawan baik wisatawan domestik maupun manca negara.

Tidak semua pengembangan agrowisata bisa berjalan dengan baik. Agrotourism di
Sibetan-Kabupaten Karangasem yang memanfaatkan kegiatan dan hasil pertanian
salak-yang merupakan icon buah Bali sebagai objek dan daya tarik wisatanya
tidak beroperasi sebagaimana yang direncanakan. Banyak faktor yang
berkontribusi terhadap kegagalan pengelolaan agrowisata di tempat ini.
Ketidakjelasan manajemen pengelolaan merupakan faktor utama. Objek
agrowisata ini tidak dikelola dengan baik mulai dari penataan areal yang dijadikan
objek, operasional kegiatan tour, dan sumber daya manusia. Faktor lain adalah

pemasaran. Objek Agrowisata Sibeten belum dipasarkan secara maksimal oleh
manajeman pengelolanya sehingga belum banyak dikenal oleh para operator tour
yang menjual paket-paket wisata di Bali. Pemerintah khususnya Dinas Pariwisata
Kabupaten Karangasem semestinya mempetakan kembali objek-objek wisata
yang ada di wilayahnya dan selanjutnya mempromosikan melalui media masa,
televisi, internet dan media publikasi lainnya. Selain manajemen dan pemasaran,
kerjasama antar stakeholder pariwisata (pemerintah, LSM, masyarakat lokal,
industri pariwisata, dan akademisi) belum berjalan dengan baik karena hanya
travel agent yang menjual paket wisata ke daerah Timur Bali saja yang berjalan
sendiri-sendiri tanpa ada dukungan dari stakeholder pariwisata yang lainnya.
Kesimpulannya, pertanian sangat memungkinkan untuk disenergikan dengan
pariwisata yang diwujudkan dalam pengembangan agrowisata. Perlu adanya
komitmen dari seluruh stakeholder pariwisata untuk bersama-sama menerapkan
kosep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau di Bali sering
disebut sebagai Ajeg Bali yaitu keberlanjutan sumber daya alam, sosial-budaya,
dan pemberian manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal.
…….
ndonesia
6 Tip Wisata Seorang Diri →


Mengapa Perencanaan Pariwisata perlu dilakukan di Lingkup Destinasi

Posted on Senin, 24 Februari 2014, 07.55 by Taslim
Perencanaan pariwisata perlu dilakukan karena adanya banyak perubahan dalam
industri pariwisata saat ini. Pariwisata mencakup banyak hal yang melibatkan
banyak pihak, maka dibutuhkan strategi tertentu dalam perencanaan kegiatan
pariwisata sehingga dapat berlangsung dengan baik.
Merencanakan sesuatu dalam hal ini perencanaan pariwisata bila dilakukan
dengan baik tentu akan memberikan manfaat dan dapat memperkecil semua efek
yang tidak menguntungkan. Karena itu pentingnya perencanaan dalam
pengembangan pariwisata sebagai suatu industri agar perkembangan industri
pariwisata sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan berhasil mencapai
sasaran yang dikehendaki, baik itu ditinjau dari segi ekonomi, sosial budaya, dan
lingkungan.
Pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan, akan dapat menimbulkan
masalah-masalah sosial dan budaya, terutama di daerah atau tempat di mana
terdapat perbedaan tingkat sosialnya antara pendatang dan penduduk setempat.
Sebagai akibat tingkah laku penduduk yang suka meniru seperti apa yang
dilakukan wisatawan asing tanpa mengetahui latar belakang kebudayaan
wisatawan asing yang ditirunya. Suatu perencanaan dan pertumbuhan

pembangunan yang tidak direncanakan akan mengakibatkan degradasi atau
penurunan daya tarik suatu atraksi wisata, bahkan dapat menjurus kepada
kerusakan lingkungan.
Merencanakan sesuatu bila dilakukan dengan baik tentu akan memberikan
manfaat dan dapat pula memperkecil semua efek yang tidak menguntungkan.
Karena itu pentingnya perencanaan dalam pengembangan pariwisata sebagai
suatu industri agar perkembangan industri pariwisata sesuai dengan apa yang
telah dirumuskan dan berhasil mencapai sasaran yang dikehendaki, baik itu
ditinjau dari segi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup.

Kita semua menyadari bahwa pengembangan pariwisata sebagai suatu industri
diperlukan biaya yang besar, seperti; perbaikan jembatan dan jalan menuju obyek
wisata, pengembangan hotel dengan segala fasilitasnya, angkutan wisata (darat,
laut, dan udara) yang harus dibangun, penyediaan air bersih yang harus diciptakan
dengan baik, sarana komunikasi yang teratur yang perlu diadakan, bahkan
pendidikan karyawan yang profesional dalam bidangnya. Semuanya itu
memerlukan biaya yang tidak sedikit dan agar uang tidak dihamburkan sia-sia,
maka suatu perencanaan yang matang mutlak diperlukan.
Pertumbuhan kepariwisataan yang tidak terkendali sebagai akibat dari
perencanaan yang tidak baik, pasti akan menimbulkan dampak yang tidak baik

dan tentunya akan tidak menguntungkan semua pihak. Misalnya saja bangunan
hotel yang menjulang tinggi, poster iklan yang merusak pemandangan dan
lingkungan, pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya, pengotoran pantai
yang tidak terkendali sebagai akibat banyaknya wisatawan yang berkunjung,
semuanya dapat saja terjadi sebagai akibat dari perencanaan yang tidak baik.
Dengan kata lain, pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan akan
menimbulkan masalah-masalah sosial dan budaya, terutama di daerah atau tempat
di mana terdapat perbedaan tingkat social antara pendatang dan penduduk
setempat. Hal itu terjadi akibat tingkah laku penduduk yang suka meniru seperti
apa yang dilakukan wisatawan asing tanpa mengetahui latar belakang kebudayaan
wisatawan asing yang ditirunya.
Hal yang serupa ini jika terjadi akan dapat menimbulkan masalah-masalah sosial
seperti hilangnya kepribadian, mundurnya kualitas kesenian tradisional,
menurunnya kualitas barang-barang kerajinan, pencemaran pada candi-candi dan
monumen yang menjadi obyek wisata atau menurunnya moral kaum muda dengan
adanya kebebasan melakukan sesuatu.Oleh karena itu, pengembangan pariwisata
sebagai suatu industry perlu dipertimbangkan dalam segala aspek (tanpa
terkecuali) karena pariwisata sebagai suatu industri tidak dapat berdiri sendiri,
pariwisata berkaitan erat dengan sektor-sektor lainnya, seperti sektor ekonomi,
sosial, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Apabila pengembangan

pariwisata tidak terarah dan tidak direncanakan dengan matang, maka bukan

manfaat yang akan diperoleh, melainkan perbenturan sosial, kebudayaan,
kepentingan yang akan menyebabkan kualitas pelayanan kepada wisatawan pun
menjadi rendah dan selanjutnya akan mematikan usaha-usaha yang telah lama
dibina dengan susah payah.
Hal yang semacam ini tentu tidak diinginkan untuk terjadi, malah sebaliknya kita
harus menghindari hal demikian sedini mungkin. Caranya dengan membuat
perencanaan yang terpadu dan sejalan dengan perencanaan perekonomian negara
secara keseluruhan. Dengan perkataan lain, pengembangan pariwisata harus
sejalan dengan pembangunan nasional seperti yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan.
Perencanaan pariwisata hendaknya harus sejalan dengan sasaran yang hendak
dicapai. Keputusan pertama yang harus diambil oleh suatu daerah ialah; apakah
sudah ada kesepakatan di antara pemuka/pejabat setempat bahwa daerah itu akan
dikembangkan menjadi suatu obyek wisata atau suatu Daerah Tujuan Wisata
(DTW), dan apakah manfaat serta keuntungan langsung bagi penduduk sekitar
DTW sehingga pengembangan pariwisata selanjutnya akan mendapat dukungan
dari masyarakat banyak.
Aspek-aspek yang perlu diketahui dalam perencanaan pariwisata adalah:
1. Wisatawan (tourist); sebagai seorang perencana, kita harus tahu terlebih
dahulu (melalui penelitian atau observasi) mengenai karakteristik
wisatawan yang diharapkan akan datang (target pasar yang dikehendaki)n
misalnya dari daerah atau negara asal wisatawan, usia muda atau tua,
berpenghasilan besar atau kecil, pola perjalanan, apa motivasi melakukan
pariwisata, lama tinggal atau waktu kunjungan dilakukan.
2. Pengangkutan (transportations); seorang perencana harus melakukan
penelitian lebih dahulu, bagaimana fasilitas transportasi yang tersedia atau
dapat digunakan, baik untuk membawa wisatawan dari daerah atau negara
asalnya maupun transportasi menuju ke DTW yang dikehendaki. Selain
itu, bagaimana pula transportasi lokal jika melakukan perjalanan wisata di
DTW yang sedang dikunjungi tersebut.

3. Atraksi/obyek wisata (atractions); bagaimana obyek wisata/atraksi akan
dijual, apakah memenuhi tiga syarat “seperti apa yang dilihat” (something
to see), “apa yang dapat dilakukan” (something to do), “apa yang dapat
dibeli” (something to buy) di DTW yang dikunjungi.
4. Fasilitas pelayanan (services fasilities); fasilitas apa saja yang tersedia di
DTW tersebut, bagaimana akomodasi perhotelan yang ada, restoran,
pelayanan

umum

seperti

bank/money

changers,

kantor

pos,

telepon/teleks/faksimili di DTW yang akan dikunjungi wisatawan.
5. Informasi dan promosi (informations); calon wisatawan perlu memperoleh
informasi tentang DTW yang akan dikunjunginya. Untuk itu perlu
dipikirkan cara-cara publikasi atau promosi yang akan dilakukan. Kapan
iklan harus dipasang, kemanaleaflets/brochures harus disebarkan, sehingga
calon wisatawan mengetahui tiap paket wisata yang akan kita jual
sehingga calon wisatawan lebih cepat mengambil keputusan, berangkat
atau tidak ke DTW yang ditawarkan tersebut.
Pada dasarnya perencanaan dirmaksud untuk memberikan batasan tentang tujuan
yang hendak dicapai dan menentukan cara-cara mencapai tujuan yang
dimaksudkan tersebut. Jadi perencanaan merupakan predeterminasi dari tujuantujuan yang bersifat produktif secara sistematis dengan menggunakan alat-alat,
metode dan prosedur yang perlu untuk mencapai tujuan yang dianggap paling
ekonomis. Bila kita rinci pengertian tersebut di atas, maka dalam batasan
perencanaan terdapat unsur:
1. Suatu pandangan jauh ke depan.
2. Merumuskan

secara

konkret

apa

yang

hendak

dicapai

dengan

menggunakan alat-alat secara efektif dan ekonomis.
3. Menggunakan koordinasi dalam pelaksanaannya.
Menurut G.R. Terry dalam bukunya Principles of Management yang disadur oleh
Dr. Winardi keuntungan-keuntungan dari sebuah perencanaan adalah:

1. Planning menyebabkan aktivitas dilakukan secara teratur dan dengan
tujuan tertentu.
2. Planning meminimalisir pekerjaan yang tidak produktif.
3. Planning membantu penggunaan suatu alat pengukur mengenai hasil yang
akan dicapai.
4. Ada

pendapat

yang

menyatakan

bahwa planning menyebabkan

penggunaan fasilitas-fasilitas yang ada menjadi lebih baik lagi.
5. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa planningmenyebabkan
fasilitas-fasilitas yang ada dipergunakan secara lengkap.
6. Planning juga memberikan suatu keadaan untuk pengawasan (waktuwaktu tertentu serta menyelesaikan setiap aktivitas-aktivitas).
Pariwisata masa kini tidak hanya terkait dalam batas-batas wilayah dalam skala
tertentu. Pariwisata pada masa kini menjadi sangat khas karena melibatkan
paduan budaya dan bentang alam sehingga melibatkan seluruh pihak untuk terkait
didalamnya. Diantaranya ada pemerintah, swasta dan masyarakat lokal. Dalam
pelaksanaannya ketiga unsur ini saling melengkapi di mana pemerintah sebagai
penyelenggara dan pihak swasta sebagai media perantara untuk menyampaikan
produk wisata. Sedangkan masyarakat lokal adalah unsur penting yang terlibat
dalam kepemerintahan atau pihak swasta pun tidak dapat berdiri sendiri sehingga
dalam penyelenggaraan pariwisata pemerintah dan swasta secara bersama-sama
dapat mendayagunakan komunitas dan masyarakat lokal untuk menjadi pelaksana
kegiatan pariwisata. Berikut ini gambar mengenai kompleksitas pariwisata dan
sistem pariwisata.
Lima hal yang harus diperhatikan dalam pariwisata berkelanjutan menurut konsep
Muller (1997) yaitu:
1. pertumbuhan ekonomi yang sehat,
2. kesejahteraan masyarakat lokal,
3. tidak merubah struktur alam dan melindungi sumber daya alam,

4. kebudayaan masyarakat yang tumbuh secara sehat,
5. memaksimalkan kepuasan wisatawan dengan memberikan pelayanan yang
baik karena wisatawan pada umumnya mempunyai kepedulian yang tinggi
terhadap lingkungan.
Teori siklus hidup destinasi wisata yang dikemukakan oleh Butler pada tahun
1980 yang dikenal dengan Tourism Area Life Cycle(TALC). Siklus hidup destinasi
wisata yang dikemukan oleh Butler (1980) terbagi menjadi tujuh tahap, yaitu:
1. Tahap exploration yang berkaitan dengan discovery yaitu suatu tempat
sebagai potensi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku
pariwisata, maupun pemerintah, biasanya jumlah pengunjung sedikit,
wisatawan tertarik pada daerah yang belum tercemar dan sepi, lokasinya
sulit dicapai namun diminati oleh sejumlah kecil wisatawan yang justru
menjadi minat karena belum ramai dikunjungi.
2. Tahap involvement disebut dengan tahap keterlibatan. Pada fase ini,
peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mengakibatkan sebagian
masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas yang memang
khusus diperuntukkan bagi wisatawan. Kontak antara wisatawan dengan
masyarakat lokal masih tinggi dan masyarakat mulai mengubah pola-pola
sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
Disinilah mulai suatu daerah menjadi suatu destinasi wisata yang ditandai
oleh mulai adanya promosi.
3. Tahap development disebut dengan tahap pembangunan. Pada fase ini,
investasi dari luar mulai masuk serta mulai munculnya pasar wisata secara
sistematis. Daerah semakin terbuka secara fisik, advertensi (promosi)
semakin intensif, fasilitas lokal sudah tersisih atau digantikan oleh fasilitas
yang benar-benar touristicdengan standar internasional, dan atraksi buatan
sudah mulai dikembangkan untuk menambahkan atraksi yang asli alami.
Berbagai barang dan jasa impor menjadi keharusan termasuk tenaga kerja
asing untuk mendukung perkembangan pariwisata yang pesat.

4. Tahap consolidation (konsolidasi). Pada fase ini, peristiwa sudah dominan
dalam struktur ekonomi daerah dan dominasi ekonomi ini dipegang oleh
jaringan internasional atau major chains and franchise. Jumlah kunjungan
wisatawan masih naik tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran
semakin gencar dan diperluas untuk mengisi berbagai fasilitas yang sudah
dibangun. Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan.
5. Tahap stagnation (stagnasi). Pada fase ini, kapasitas berbagai faktor sudah
terlampaui di atas daya dukung sehingga menimbulkan masalah ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Kalangan industri sudah mulai bekerja berat untuk
memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki khususnya dengan
mengharapkan repeater guests atau wisata konvensi/bisnis. Selain itu,
atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli alami (baik budaya maupun
alam), citra awal sudah mulai meluntur, dan destinasi sudah tidak lagi
populer.
6. Tahap decline (penurunan). Pada fase ini, wisatawan sudah beralih ke
destinasi wisata baru dan yang tinggal hanya ‘sia-sia’, khususnya
wisatawan yang hanya berakhir pekan. Banyak fasilitas pariwisata sudah
berlatih atau dialihkan fungsinya untuk kegiatan non-pariwisata, sehingga
destinasi semakin tidak menarik bagi wisatawan. Partisipasi lokal mungkin
meningkat lagi terkait dengan harga yang merosot turun dengan
melemahnya pasar. Destinasi dapat berkembang menjadi destinasi kelas
rendah (a tourism slum) atau sama sekali secara total kehilangan diri
sebagai destinasi wisata.
7. Tahap rejuvenation (peremajaan). Pada fase ini, perubahan secara dramatis
dapat terjadi (sebagai hasil dari berbagai usaha dari berbagai pihak)
menuju perbaikan atau peremajaan. Peremajaan ini dapat terjadi karena
adanya inovasi dalam pengembangan produk baru dan menggali atau
memanfaatkan sumber daya alam dan budaya yang sebelumnya belum
dimanfaatkan.
Konsekuensi dari adanya perbedaan karakteristik dalam pembangunan atau
perkembangan pariwisata menuntut seorang perencana pariwisata untuk selalu

mencermati bentuk keterkaitan antara komponen kepariwisataan dengan
karakteristik komponen lingkungan untuk menentukan lingkup pekerjaan.
Perencanaan biasanya dapat membantu meminimalkan konflik yang terjadi
berkaitan dengan penggunaan tanah atau sumber daya lainnya (Glaria and Cenal,
1990). Diperlukannya sebuah perencanaan dapat juga dikaitkan dengan
perkembangan wilayah dan/atau perkembangan kota. Kebutuhan ini terutama
dirasakan setelah perkembangan fisik industri atau usaha kepariwisataan,
khususnya hotel yang teraglomerasi di lokasi-lokasi tertentu, menyebabkan
permasalahan pada skala yang lebih luas.
Dalam perencanaan termasuk perencanaan kepariwisataan perlu dipahami perihal
kebutuhan di satu sisi serta pemahaman cara pemenuhan kebutuhan tersebut di
sisi lain. Memahami bahwa pariwisata mencakup aspek yang amat luas dan
rencana tata ruang wilayah sebagai suatu konsep penataan ruang kegiatan, maka
kebutuhan akan rencana pariwisata yang komprehensif dirasakan sebagai suatu
keharusan. Rencana pariwisata bukan sekedar menyangkut kebutuhan akan
akomodasi, mendandani obyek wisata atau membangun obyek rekaan, melainkan
harus menjadi satu kesatuan yang terpadu dengan rencana umum tata ruang
wilayah; dan sebaliknya, rencana tata ruang wilayah tidak dapat mengabaikan
unsur ‘suka’ yang paling tidak adalah kebutuhan akan rekreasi dan lebih luas
adalah kebutuhan akan pariwisata.
Pengaruh

dari

kurangnya

perencanaan

dalam

sebuah

organisasi

telah

didokumentasikan dalam berbagai literatur, pengaruhnya meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1. Pengaruh fisik; kerusakan atau perubahan tetap sekitar fisik, kerusakan
atau perubahan tetap dalam sejarah/kebudayaan, kekumuhan dan
keterbatasan, polusi, serta masalah-masalah lalu lintas.
2. Pengaruh manusia; kurangnya penerimaan dalam pelayanan dan atraksiatraksi lokal yang mengecewakan para turis, kidaksukaan para turis pada
bagian tempat mereka tinggal, hilangnya identitas budaya, kurangnya
pendidikan para pekerja kepariwisataan dalam hal keterampilan dan

penerimaan tamu, serta kurang sadar akan keuntungan-keuntungan
pariwisata untuk daerah tujuan wisata.
3. Pengaruh organisasi; lemahnya pendekatan pemasaran dan pengembangan
pariwisata, kurangnya kerjasama diantara operator, tidak selarasnya
gambaran dari ketertarikan pariwisata, kurangnya dorongan dari pejabat
daerah, serta tidak adanya tindakan atas isu-isu penting, masalah-masalah
dan kesempatan dari ketertarikan masyarakat pada umumnya.
4. Pengaruh lain; tidak selarasnya isyarat-isyarat, kurang cukupnya atraksiatraksi dan even-even wisata, musim yang tinggi dan pendeknya jangka
tinggal, miskinnya atau menekan kualitas dari fasilitas dan pelayanan,
serta miskinnya atau tidak selarasnya informasi perjalanan.