PEMBINAAN NILAI MORAL AGAMA MELALUI ALAT PENDIDIKAN: Studi Kasus Pembelajaran Tafaqquh Fiddin di MI Asih Putera Cimahi.

(1)

vi DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Metode Penelitian ... 19

F. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 20

G. Definisi Operasional ... 20

BAB II LANDASAN KONSEPTUAL PEMBINAAN NILAI MORAL AGAMA ISLAM MELALUI ALAT PENDIDIKAN A. Konsep Pembinaan Nilai Moral Agama Islam ... 23

1. Makna Pembinaan ... 23

2. Konsep Nilai dan Moral ... 26

3. Pendekatan dalam Pendidikan Nilai ... 29

4. Konsep Agama dan Islam ... 33

5. Pembinaan Nilai Moral Agama Islam ... 37

B. Konsep Alat Pendidikan ... 43

1. Pengertian Alat Pendidikan ... 43


(2)

vii

C. Kajian Hasil Studi Terdahulu tentang Pembinaan Nilai

Moral Agama ... 55

D. Pembinaan Nilai Moral Agama dalam Pendidikan Umum ... 57

1. Definisi Pendidikan Umum ... 57

2. Tujuan Pendidikan Umum ... 59

3. Nilai Moral Agama dalam Perspektif Pendidikan Umum ... 61

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 65

B. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 67

C. Sumber dan Jenis Data ... 69

D. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ... 71

E. Analisis dan Pemeriksaan Keabsahan Data ... 77

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 81

B. Pembahasan ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Umum ... 136

B. Kesimpulan Khusus ... 139

C. Rekomendasi ... 140 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP


(3)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel


(4)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian 2. Kisi-kisi Pengumpulan Data

3. Kisi-kisi Pedoman Wawancara 4. Peraturan Kelas

5. Tata Tertib Pembelajaran Tafaqquh Fiddin 6. Tata Tertib Siswa

7. Tata Tertib Guru

8. Administrasi Kelas yang Harus Dimiliki Guru 9. Standar Pelayanan Minimal


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk Allah yang bertugas sebagai khalifah di bumi. Allah telah memberitahukan kepada para malaikat bahwa Dia akan menciptakan manusia yang diserahi tugas menjadi khalifah, sebagaimana yang tersurat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30. Di samping manusia sebagai khalifah, mereka juga termasuk makhluk paedagogik yaitu makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan mendidik.

Dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78, Allah mengisyaratkan bahwa potensi (pendengaran, penglihatan, dan hati) yang telah dianugerahkan tersebut perlu ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu. Karena dengan potensi itulah ia dapat belajar dari lingkungan, alam, dan masyarakat tempat ia tinggal dengan harapan agar menjadi manusia dewasa yang paripurna (Aly dan Suparta, 2000: 1).

An-Nahlawi (1996: 60) menambahkan komentar terhadap penjelasan ayat tersebut bahwa jika potensi pendengaran, penglihatan, dan hati saling berkesinambungan, maka akan lahir ilmu pengetahuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia lebih memfokuskan pada optimalisasi fungsi ketiga potensi tersebut terhadap ilmu pengetahuan dengan menyatakan bahwa pendengaran berfungsi sebagai pemelihara ilmu pengetahuan yang telah ditemukan oleh orang lain,


(6)

penglihatan memiliki fungsi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menambahkan hasil-hasil penelitian dan pengkajian terhadapnya, serta hati bertugas membersihkan ilmu pengetahuan dari segala noda dan kotorannya.

Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia dan sebaik-baik ciptaan (ahsani taqwim). Pikiran, perasaan, dan kemampuannya berbuat merupakan komponen fitrah Allah yang melengkapi penciptaan manusia, sebagaimana yang tersurat dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 30.

Fitrah Allah yang berupa potensi itu tidak akan mengalami perubahan dengan pengertian bahwa manusia terus dapat berpikir, merasa, bertindak, dan dapat terus berkembang. Fitrah inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk Allah lainnya, dan fitrah ini pulalah yang membuat manusia itu istimewa, yang sekaligus berarti bahwa manusia adalah makhluk paedagogik (Sudiyono, 2009: 2).

Karenanya, fitrah itu harus berinteraksi dengan lingkungan eksternal. Untuk mampu berinteraksi memerlukan suatu proses yang lebih kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Maka pendidikan merupakan suatu proses yang paling strategis untuk mengarahkan fitrah itu sesuai dengan apa yang dimaksud al-Qur’an suci. Konsep fitrah juga menuntut agar pendidikan harus bertujuan mengarahkan dalam terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan Allah (Abdullah, 1990: 64).


(7)

Dalam ajaran Islam, bertakwa itu merupakan kewajiban, tetapi tidak mungkin bertakwa itu tercapai kecuali dengan pendidikan. Maka itu pendidikan juga wajib. Karena manusia adalah makhluk paedagogik (Sudiyono, 2009), maka kewajiban menyelenggarakan pendidikan adalah kewajiban syar’i, yang berarti bahwa perintah bertakwa adalah sekaligus perintah menyelenggarakan pendidikan yang menuju kepada pembinaan manusia bertakwa.

Pendidikan bukan sekedar kemungkinan, melainkan suatu keharusan untuk dapat hidup sebagai manusia (Soelaeman, 1994: 166). Sedangkan menurut John Dewey (Sudiyono, 2009: 35), bahwa pendidikan adalah bagian dari kehidupan, dan hidup adalah sesuatu pertumbuhan dan perkembangan terus menerus, oleh karena itu pendidikan merupakan proses perkembangan itu sendiri. Selain itu, transformasi pendidikan harus dilakukan sepanjang hayat (long life education) tanpa ada batasan usianya (Muhaimin, 2002: 19). Hal ini mengacu pada sebuah Hadits Nabi Saw. (terjemahnya), “Carilah ilmu sejak dari buaian sampai masuk ke liang lahat.”

Dalam pandangan cendekiawan muslim, makna pendidikan lebih cenderung pada segi pembentukan akhlak anak didik dan menghendaki terwujudnya kepribadian muslim. Marimba (1986: 23-24) berpendapat bahwa pendidikan itu merupakan bimbingan jasmani, rohani, berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain, beliau sering menyatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam,


(8)

memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Menurut al-Ghulayaini (1984: 189), bahwa pendidikan itu ialah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya, kemudian buahnya berwujud fadhilah dan kebaikan.

Pendidikan merupakan persoalan penting bagi umat manusia. Oleh karenanya, pendidikan merupakan proses suci dan bertujuan. Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Pendidikan merupakan lokomotif untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat, dan membuat generasi mampu untuk berbuat yang terbaik bagi kehidupannya.

Proses pendidikan tidak semata-mata diwajibkan kepada manusia tanpa adanya sebuah arah, target, dan tujuan yang jelas. Namun dalam proses tersebut ada sebuah misi dan tujuan tertentu yang perlu dicapai oleh setiap individu manusia. Sudiyono (2009: 31) menegaskan bahwa tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu itu hidup.

Untuk mengetahui rumusan-rumusan tujuan pendidikan, dapat disimak dari pendapat para ahli berikut ini. Al-Attas (1992: 48) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah menghasilkan manusia yang beradab yakni, manusia


(9)

yang bijak, yang mampu mengenali dan mengakui tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan.

Sedangkan menurut asy-Syaibani (1979: 536), tujuan pendidikan Islam memiliki empat ciri pokok, yaitu: 1) sifat yang bercorak agama dan akhlak, 2) sifat keseluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi subjek didik, dan semua aspek perkembangan dalam masyarakat, 3) sifat keseimbangan, kejelasan, tidak adanya pertentangan antara unsur-unsur dan cara pelaksanaannya, 4) sifat realistik dan dapat dilaksanakan, serta penekanan pada perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku dan kehidupan.

Sedangkan Mursyi (Tafsir, 1992: 46) menyatakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia sempurna. Selain itu, menurut Jalal (Tafsir, 1992: 46-47), tujuan umum pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah (‘abdullah) yang beribadah kepada-Nya, dan menurut Quthb (Tafsir, 1992: 48), adalah terbentuknya manusia takwa. Al-Abrasyi (1974: 13) menyatakan bahwa tujuan pokok pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak (budi pekerti) dan pendidikan jiwa.

Sementara itu, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab II Pasal 3 dinyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah,


(10)

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Di antara aspek sosok manusia yang diharapkan dan dikehendaki dalam tujuan pendidikan nasional adalah sosok manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Berarti dalam diri sosok manusia Indonesia diharapkan dan dikehendaki tumbuh, berkembang, dan meningkatnya perilaku juga tindakan yang bernilai dan bermoral sesuai dengan ajaran agama. Oleh karena itu, aspek sosok manusia yang bernilai dan bermoral agamis menjadi salah satu sasaran dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Dalam rangka mencapai sosok manusia yang bernilai dan bermoral agama, sekolah dengan segala upaya hendaknya mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh, berkembang, dan meningkatnya nilai moral agama Islam, sehingga anak didik tersebut menjadi muslim kaffah.

Dapat dikatakan bahwa salah satu indikasi suatu sekolah telah tumbuh religiusitas peserta didiknya antara lain terdapatnya perilaku dan tindakan yang mencerminkan pada nilai dan moral agamanya. Sebab nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya (Allport dalam Mulyana, 2004: 9). Sedangkan Djahiri (1996: 17) mendefinisikan nilai sebagai harga yang diberikan oleh seseorang/ sekelompok orang terhadap sesuatu (material-immaterial, personal, kondisional) atau harga yang dibawakan/ tersirat atau menjadi jati diri dari sesuatu.


(11)

Dengan munculnya nilai dan moral agama pada peserta didik akan mewujudkan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang tertib, harmonis, dan tenteram dalam mencapai tujuannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Sumantri (2003: 2) bahwa nilai adalah hal yang terkandung dalam hati nurani manusia yang lebih memberi dasar dan prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati (potensi).

Apabila dianalisis lebih lanjut, fungsi dan tujuan pendidikan dalam UUSPN 2003 dari sudut Taxonomy Bloom maka akan terlihat bobot fungsi dan tujuan pendidikan nasional lebih mengutamakan aspek afektif yang ditunjang oleh aspek kognitif dan psikomotor (Sumantri, 2009: 18). Sedangkan dari sudut pendidikan umum bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional bermuara pada lima profil bangsa Indonesia yang akan dibentuk atau dari sudut pendidikan nilai dirumuskan sebagai manusia yang utuh-paripurna, yaitu: manusia yang imtak, manusia yang berakhlak mulia, manusia yang berilmu-cakap kreatif, manusia yang demokratis, serta manusia yang bertanggung jawab sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan warga negara (Sumantri, 2009: 19).

Menurut Mulyana (2004: 167-168) terdapat empat pesan nilai yang terdapat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 (UUSPN 2003), yaitu:

Pertama, ciri umum UUSPN 2003 yang desentralistik menunjukan bahwa pengembangan nilai-nilai kemanusiaan terutama yang dikembangkan melalui demokratisasi pendidikan menjadi hal yang utama.


(12)

Kedua, tujuan pendidikan nasional yang semakin diberikan tekanan utama pada aspek keimanan dan ketakwaan mengisyaratkan bahwa nilai inti (core value) pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Ini mengandung arti bahwa semua proses pendidikan di Indonesia harus bermuara pada penguatan kesadaran nilai-nilai Ilahiah.

Ketiga, dengan disebutkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada bagian penjelasan UUSPN 2003, ini menandakan bahwa nilai-nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan belajar mereka.

Keempat, perhatian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memiliki misi nilai yang sangat penting bagi perkembangan anak. Walaupun persepsi nilai dalam pemahaman anak tidak sedalam pemahaman orang dewasa, benih-benih untuk mempersepsi dan mengapresiasi sesuatu dapat ditumbuhkan pada usia sedini mungkin.

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional muatannya ada pada ranah afektif yang didukung oleh ranah kognitif dan psikomotor, sedangkan dari sudut pendidikan umum muatannya ada pada pembentukan watak atau karakter, namun dalam praktiknya hal tersebut masih jauh dari harapan. Contoh kongkrit yang mewakili masalah ini adalah bahwa yang terjadi di sekolah hanyalah pengajaran bukan pendidikan (Sumantri, 2009: 20).

Dalam pengajaran yang menjadi perhatian utama adalah aspek kognitif, hal ini terlihat dari isi dan struktur kurikulum mata pelajaran berbobot kognitif. Akibatnya tugas guru hanya menyampaikan materi pelajaran dengan target tersampaikannya semua materi kurikulum (target pencapaian kurikulum), konsekuensinya, mengukur dan menilai keberhasilan proses pembelajaran hanya dengan test kognitif saja. Peserta didik yang dianggap berhasil dalam pendidikan adalah siswa yang memiliki ranking dengan rata-rata nilai yang tinggi. Sedangkan aspek akhlak dan kepribadian anak didik sedikit disentuh dan tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam


(13)

kelulusan peserta didik. Walaupun akhlak peserta didik baik, namun apabila nilai-nilai ulangannya jelek, maka anak didik tersebut dapat tidak lulus atau tidak naik kelas.

Contoh lain dari masalah ini adalah pelaksanaan pelajaran agama (PAI) yang hanya berbobot dua jam pelajaran (satu jam pelajaran sama dengan 35-45 menit). Tidaklah mungkin mendidik nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dengan waktu 70-90 menit per minggunya. Oleh karena itu yang terjadi guru agama hanya menyampaikan pengetahuan tentang agama, tidak menyampaikan nilai-nilai agamanya. Pengetahuan agama dievaluasi dengan menggunakan test kognitif. Anak didik yang hapal teori shalat akan mendapat nilai yang tinggi walaupun mungkin anak didik tersebut tidak melakukan shalat dengan istiqamah. Jadi, tidak ada pembinaan lain aspek keimanan dan ketakwaan (imtak) ini, dan tidak ada penilaian lain dari aspek imtak ini, karena kurikulumnya sendiri tidak menuntut hal yang seperti itu.

Salah satu kritik yang paling menarik terhadap sistem pendidikan nasional menurut Sidi (dalam Sumantri, 2009: 21) antara lain bahwa pendidikan di Indonesia terlalu mementingkan pendidikan akademik dan kurang diimbangi pendidikan karakter, budi pekerti, akhlak, moral dan dimensi mental, serta seni dan olah raga. Untuk apa menciptakan anak yang pintar, jika tidak dilengkapi dengan karakter yang kuat, budi pekerti yang luhur, akhlak, moral, dan mentalitas yang tinggi.

Pernyataan di atas menunjukan bahwa dalam pendidikan nasional ada yang tidak seimbang antara pendidikan akademik, pendidikan akhlak, pendidikan nilai, dan pendidikan keterampilan. Dari sudut akhlak sebagaimana yang dikehendaki oleh


(14)

tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan di Indonesia dapat dikatakan gagal atau kurang berhasil (Sumantri, 2009: 21). Fenomena kegagalan ini misalnya dapat dilihat dari output pendidikan yang menghasilkan generasi yang hedonisme, bangga dengan budaya barat (lunturnya nilai-nilai budaya bangsa) dalam berbusana dan fashion, seni, musik, dan selera makanan. Demikian juga dalam aspek kecakapan, pendidikan di Indonesia telah menghasilkan output pendidikan yang tidak siap pakai, tidak siap berkompetisi, tidak entrepreneurship, dan kalah bersaing.

Masalah pembinaan keagamaan peserta didik, terutama agar tumbuh dan berkembangnya nilai moral agama menjadi lebih penting di lingkungan sekolah tingkat dasar, karena usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan perkembangan anak (Desmita, 2009: 34), berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa perkembangan, yaitu masa kanak tengah (6-9 tahun), dan masa kanak-kanak akhir (10-12 tahun).

Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak yang usia di bawahnya. Ia senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung (Desmita, 2009: 35). Pada masa anak yang berusia antara 6-12 tahun dunianya lebih banyak di sekolah dan lingkungan sekitar. Sejalan dengan hal tersebut, terdapat tiga dorongan besar yang dialami anak pada masa ini (Hartinah, 2008: 46) antara lain, (1) dorongan untuk keluar dari rumah dan masuk dalam kelompok sebaya (peer group), (2) dorongan fisik untuk melakukan berbagai bentuk permainan dan kegiatan yang


(15)

menuntut keterampilan/ gerak fisik, dan (3) dorongan mental untuk masuk ke dunia konsep, pemikiran, interaksi, dan simbol-simbol orang dewasa.

Menurut Havighurst (dalam Desmita, 2009: 35), tugas perkembangan yang dituntut pada masa anak di antaranya, pengembangan moral, nilai, dan hati nurani. Pada masa ini, anak dituntut telah mampu menghargai perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan moral dan norma agama. Pada masa ini juga diharapkan mulai tumbuh pemikiran akan skala nilai dan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan atas kata hati.

Pakar pendidikan anak, Montessori (dalam Desmita, 2009: 22) menjelaskan, pembagian fase-fase perkembangan anak mempunyai arti biologis, sebab perkembangan itu adalah melaksanakan kodrat alam dengan asas pokok, yaitu asas kebutuhan vital (masa peka) dan asas kesibukan sendiri. Di antara fase perkembangan tersebut adalah periode II (umur 7-12 tahun), yaitu periode abstrak, di mana anak-anak mulai menilai perbuatan manusia atas dasar baik-buruk dan mulai timbulnya manusia paripurna. Sedangkan dalam konsep Islam, fase ini disebut fase tamyiz, yaitu fase di mana anak mulai mampu membedakan yang baik dengan yang buruk, yang benar dan yang salah.

Oleh karena itu, masalah penanaman nilai moral agama sejak kecil, dipandang sebagai sesuatu masa kritis bagi pembentukan kepribadian seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman nilai pada seseorang sejak usia ini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak (Megawangi, 2009: 3). Selain itu, menanamkan nilai moral agama kepada anak-anak adalah usaha yang


(16)

strategis. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa, “Walaupun jumlah anak-anak hanya 25 persen dari total penduduk, tetapi menentukan 100 persen masa depan.” Oleh karena itu, penanaman nilai, moral, dan norma agama melalui pendidikan dasar sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa.

Sehubungan dengan itu, ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Otago di Dunedin New Zealand pada 1000 anak-anak yang diteliti selama 23 tahun dari tahun 1972. Anak-anak yang menjadi sampel diteliti ketika usia 3 tahun dan diamati kepribadiannya, kemudian diteliti kembali pada usia 18 dan 21 tahun, juga ketika mereka berusia 26 tahun (Megawangi, 2009: 4).

Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa anak-anak yang ketika 3 tahun telah didiagnosa sebagai “uncontrollable toddlers” (anak yang sulit diatur, pemarah, dan pembangkang), ternyata ketika usia 18 tahun menjadi remaja yang bermasalah, agresif, dan mempunyai masalah dalam pergaulan. Pada usia 21 tahun mereka sulit membina hubungan sosial dengan orang lain, dan ada yang terlibat dalam tindakan kriminal. Begitu pula sebaliknya, anak-anak usia 3 tahun yang sehat jiwanya (well adjusted toddlers), ternyata setelah dewasa menjadi orang-orang yang berhasil dan sehat jiwanya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Tim Utton berkata, “At 3 years, you’re made for life” (Pada usia tiga tahun, kamu dibentuk untuk seumur hidup). Hal ini telah menegaskan pendapat mengenai pentingnya pendidikan terutama pembinaan nilai moral dan norma agama diberikan sedini mungkin (Megawangi, 2009: 5).

Dengan semakin majunya penelitian dalam perkembangan otak manusia (neuroscience), para pakar semakin yakin bahwa apabila seorang anak tidak diberikan


(17)

pendidikan, pengasuhan, pembinaan, dan stimulasi yang baik maka akan berpengaruh terhadap struktur perkembangan otaknya (Rakhmat, 2007: 52). Karena perkembangan otak amat pesat terjadi pada usia di bawah 7 tahun, di mana 90 persen otak sudak terbentuk pada usia ini.

Seperti yang dikatakan oleh Montessori (dalam Rakhmat, 2007: 53) bahwa otak anak adalah “absorbent mind”, yaitu ibarat sponge kering, apabila dicelupkan ke dalam air menyerap air dengan cepat. Apabila yang diserap adalah air bagus, maka baguslah ia. Sebaliknya, apabila yang diserap adalah hal-hal yang tidak baik, maka jeleklah ia. Perilaku manusia dikendalikan oleh perintah otak. Perilaku yang tidak baik, seperti banyak dilakukan oleh anak-anak seperti yang telah disebutkan di atas, menandakan bahwa pikiran yang ada dalam otak mereka adalah hal-hal yang tidak baik. Oleh karena itu, pembinaan agama sejak kecil, mutlak diperlukan, karena kalau usia anak sudah besar, akan sulit, karena masa tercepat pembentukan struktur otak sudah terlewati (Rakhmat, 2007: 54).

Adanya perilaku anak didik yang melakukan tindakan immoral dan melanggar nilai kesusilaan/ agama tidak hanya terjadi di dalam lingkungan sekolah, bahkan juga di luar sekolah sehingga menimbulkan berbagai keresahan dan ragam pertanyaan.

Pertama, mengakibatkan masyarakat sering kali mangaitkannya dengan kredibilitas sekolah dan juga guru dalam membina nilai moral agama bagi anak didiknya. Seperti munculnya beberapa anggapan yang menyatakan bahwa, “Sekolah-sekolah kita dewasa ini, sangat mengabaikan fungsi sosialisasi” (Harsya Bahtiar dalam Sarbini, 1996: 12), demikian pula terhadap anggapan bahwa, “Alasan-alasan


(18)

pembangunan telah memaksa sekolah dan guru-guru lebih mengejar kualifikasi akademik dan profesional, di mana mengajar dipandang lebih krusial daripada mendidik” (Tim Pengkaji IKIP Jakarta dalam Sarbini, 1996: 13).

Kedua, menimbulkan pertanyaan, “Mengapa perilaku peserta didik bertentangan dengan nilai moral agama?” Padahal peserta didik dikehendaki berperilaku sesuai dengan nilai moral dan norma agama yang dianutnya. “Apa sebenarnya yang bergejolak dalam diri peserta didik?” Adanya berbagai keresahan dan pertanyaan demikian, tidaklah menjadikan sekolah, dalam hal ini guru melepaskan diri dari tanggung jawabnya untuk melakukan pembinaan nilai moral agama bagi anak didiknya.

Secara konseptual, sekolah mempunyai kontribusi dalam mengenalkan, menumbuhkan, memelihara, dan meningkatkan nilai-nilai keagamaan anak didik. Sekolah dianggap sebagai salah satu institusi yang tepat dan memiliki tanggung jawab bagi transfer nilai-nilai (transfer of value), sistem keyakinan (belief system), pengetahuan-pengatahuan, pola-pola perilaku dari satu generasi ke generasi berikutnya (Hasbullah, 2008: 49-51). Selaras dengan hal itu, Wuradji (1988: 31) mengatakan bahwa sekolah memiliki fungsi sosialisasi dalam merancang pola perilaku generasi muda supaya tidak menyimpang dari pola perilaku serta nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan agama. Untuk itu, dalam diri anak didik perlu dipelihara dan ditingkatkan penanaman pada nilai-nilai dan moral agama.


(19)

Hasil penelitian Yusuf (dalam Sarbini, 1996: 16) mengungkapkan bahwa sekolah termasuk di dalamnya guru, besar andilnya dalam menumbuhkan nilai moral kepada peserta didik. Dengan demikian penting sekali peranan sekolah, termasuk guru untuk menanamkan nilai dan moral agama pada peserta didik.

Adanya perilaku immoral yang dilakukan oleh peserta didik dan adanya anggapan bahwa sekolah atau guru mengabaikan fungsi sosialisasi ataupun fungsi pembinaan, tentu berhubungan dengan upaya-upaya yang dilakukan sekolah atau guru dalam membina nilai moral agama bagi peserta didiknya. Salah satu upaya yang dilakukan sekolah atau guru adalah dengan menggunakan alat pendidikan, yakni melalui perbuatan/ tindakan dan penataan situasi yang diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan, berupa keteladanan, pembiasaan, pengawasan, perintah, larangan, nasihat, anjuran, hadiah, dan hukuman (Barnadib, 1982: 40).

Alat pendidikan berupa perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh guru, semula didasari atas rasa tanggung jawab untuk membina nilai moral agama seperti yang diharapkan, tetapi kenyataan yang terjadi justru menimbulkan tindakan immoral dan pelanggaran. Hal ini karena behavior difficulties yang disebabkan oleh elemen-elemen dari situasi di mana behavior difficulties ditunjukan (Crow dan Crow dalam Purwanto, 1997: 14), atau misbehavior yang berhubungan dengan berbagai hal dengan situasi kelas, maupun tindakan yang digunakan guru, seperti yang dikemukakan Lindgren (1956: 148),

Direct treatmen of behavior problem seldom gets at its source; it is seldom based on any genuine attempt to understand the motivation and behavior children. Furthermore, it usually increases the fear that


(20)

children have for adults and, with preadolescents and adolescents, may aggravate the aggressive, rebellious behavior that is so common during theses stages of development.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Cole dan Chan (dalam Sarbini, 1996: 18) mengatakan bahwa, “Perilaku guru dapat menjadi salah satu variabel yang dapat menimbulkan menyimpangnya perilaku peserta didik.”

Sekaitan dengan upaya sekolah atau guru, walaupun didasari tanggung jawab untuk membina nilai moral agama bagi peserta didiknya, namun adakalanya dalam penggunaan alat pendidikan, justru menimbulkan tindakan pelanggaran dan destruktif. Atas dasar hal itu maka timbul suatu permasalahan, “Alat pendidikan apa sebenarnya yang digunakan guru dalam membina nilai moral agama bagi anak didiknya?” Konsekuensi pertanyaan itu menghendaki upaya kepala sekolah dan para guru dalam membina nilai moral agama dengan menggunakan alat pendidikan patut untuk diteliti dan ditelaah. Karena guru, khususnya guru yang bergerak dalam bidang pendidikan umum, mempunyai peran penting dalam upaya membina nilai, moral agama, dan aturan yang berlaku di sekolah, sebagai pembentukan kepribadian peserta didik yang agamis dan disiplin.

Pembinaan nilai moral agama merupakan upaya guru untuk memelihara dan meningkatkan ketaatan pada norma agama. Sehingga, melalui pembinaan tersebut, peserta didik mampu melaksanakan peranan pribadi maupun peranan sosial dalam kehidupannya sesuai dengan norma yang berlaku atas dasar disiplin diri (self-dicipline).


(21)

Dengan demikian, pembinaan nilai moral agama bagi peserta didik dipandang penting dalam mencapai tujuan pendidikan umum, sebab berperan dalam mewujudkan aspek-aspek dari tujuan pendidikan umum, antara lain, disciplined life in relation to self and others, able to make wise decision, and judge between right and wrong and prossesed of an integral out look (Phenix, 1964: 8); development of the common values, attitudes, understanding, and skills needed by all for common democratic citizenship (Alberty dan Alberty, 1965: 203); mengembangkan kompetensi pribadi dan sosial (Abdussalam, 1994: 31); social adjustment and personal adjustment (Hand dan Bidna dalam Sumaatmaja, 2005: 25).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diajukan rumusan masalah sebagai berikut.

1. Program (perencanaan) apa sajakah yang dilakukan sekolah dalam membina nilai moral agama peserta didik melalui alat pendidikan?

2. Proses (pelaksanaan) seperti apakah yang dilakukan guru dalam membina nilai moral agama peserta didik melalui alat pendidikan?

3. Faktor pendukung dan penghambat apa sajakah yang dihadapi sekolah dalam membina nilai moral agama peserta didik melalui alat pendidikan?

C. Tujuan Penelitian


(22)

1. Untuk memperoleh gambaran tentang program (perencanaan) yang dilakukan sekolah dalam membina nilai moral agama peserta didik melalui alat pendidikan;

2. Untuk memperoleh deskripsi tentang proses (pelaksanaan) yang dilakukan guru dalam membina nilai moral agama peserta didik melalui alat pendidikan; 3. Untuk memperoleh gambaran tentang faktor pendukung dan penghambat

yang dihadapi sekolah dalam membina nilai moral agama peserta didik melalui alat pendidikan.

Berdasarkan tujuan penelitian ini diharapkan akan menemukan suatu bentuk pembinaan yang dapat digunakan bagi pengembangan konsep atau prinsip acuan dalam membina nilai moral agama peserta didik melalui alat pendidikan. Konsep atau prinsip demikian dapat dijadikan sebagai suatu alternatif pembinaan bagi sekolah maupun lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

D. Manfaat Penelitian

Hasil studi ini diharapkan akan mempunyai manfaat antara lain,

1. Memberi sumbangan dalam upaya yang dilakukan guru untuk membina nilai moral agama peserta didik melaui alat pendidikan;

2. Menjadi rintisan awal untuk lebih menelaah berbagai upaya sekolah melalui alat pendidikan dalam melakukan sosialisasi serta individualisasi nilai dan moral agama bagi pengembangan pribadi peserta didik;


(23)

3. Memberi masukan kepada kepala sekolah dalam hal penggunaan tindakan pendidikan yang bersifat nyata. Umumnya, berkenaan dengan upaya pembinaan keagamaan, khususnya berkenaan dengan penanaman nilai moral agama yang menuju pada perilaku berakhlak mulia. Sehingga, dapat memotivasi lahirnya bahan-bahan pemikiran yang berguna bagi pengembangan kebijakan-kebijakan maupun program-program pendidikan umum di sekolah dalam membina peserta didik.

4. Memberikan masukan dan memperkaya kemampuan guru dalam upaya membina nilai moral agama peserta didik, sehingga dapat lebih memperluas wawasan dalam mengimplementasikan kegiatan pembinaan.

E.Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus (observational case studies).

2. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu: sumber data primer dan sumber data skunder. Sedangkan data penelitian diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara, dan analisis dokumentasi yang berhubungan dengan penggunaan alat pendidikan oleh guru dalam membina nilai moral agama.


(24)

Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data ini adalah melalui observasi, wawancara, dan analisis dokumentasi. Peneliti menempatkan diri sebagai human instrument.

4. Analisis Keabsahan Data

Teknik analisis yang dilakukan untuk menetapkan keabsahan hasil penelitian didasarkan atas kriteria kredibilitas dengan cara member check dan triangulasi, transferabilitas, serta dependabilitas dan konfirmabilitas melalui proses audit trail.

F.Lokasi dan Subyek Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Madrasah Ibtidaiyah Asih Putera yang beralamat di Jalan Raya Cibabat, Gg. H. Mustofa No. 205 Kota Cimahi. Subjek penelitian ditentukan secara purposive, di antaranya: (a) kepala sekolah; (b) guru yang relatif senior dan aktif terlibat dalam membina nilai moral agama; dan (c) peserta didik.

G.Definisi Operasional

Untuk mempertegas rumusan masalah dan mempertajam kegiatan penelitian, maka istilah-istilah yang digunakan perlu dibuat definisi operasionalnya, antara lain:

1. Pembinaan

Dalam penelitian ini, istilah pembinaan digunakan dalam arti upaya yang dilakukan guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan alat pendidikan, yaitu tindakan yang dilakukan, agar nilai dan moral agama tertanam dalam diri peserta


(25)

didik; upaya (tindakan, ucapan, dan pikiran) yang dilakukan guru dan kepala sekolah dalam aktivitas sekolah (ekstra dan intra kurikuler) yang dilakukan langsung maupun tidak langsung, agar siswa menjadi muslim yang bernilai dan bermoral.

2. Nilai Moral Agama

Nilai moral agama dalam penelitian ini menunjuk pada segala wujud perilaku (siswa, guru, kepala sekolah) yang diasumsikan termotivasi atau dimotivisir keyakinannya akan nilai-nilai religius-islami (langsung maupun tidak), dilakukan sesuai dengan tingkat kemampuannya, memiliki intensitas ketaatan, dan dapat diamati dari fenomena kehidupannya di lingkungan sekolah.

3. Peserta Didik

Peserta didik adalah siswa yang terdaftar di sekolah yang menjadi sumber dan lapangan penelitian.

4. Alat Pendidikan

Suatu alat pendidikan hanyalah suatu tindakan/ perbuatan atau situasi, yang dengan sengaja untuk menciptakan tujuan pendidikan (Langeveld dalam Sadulloh, 2007: 58). Alat pendidikan merupakan suatu situasi yang diciptakan secara khusus dengan maksud mempengaruhi anak didik secara pedagogis (Sadulloh, 2007: 58).

Alat pendidikan ialah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan (Barnadib,1982: 96).

Alat pendidikan adalah suatu tindakan atau situasi yang sengaja diadakan untuk tercapainya suatu tujuan pendidikan yang tertentu. Alat pendidikan merupakan faktor


(26)

pendidikan yang sengaja dibuat dan digunakan demi pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan (Marimba, 1987: 50; Suwarno, 1985: 113; Tanlain, 1989: 51; Hasbullah, 2008: 26).

Alat Pendidikan adalah, hal yang tidak saja memuat kondisi-kondisi yang yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi alat pendidikan itu telah mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi, dengan perbuatan dan situasi mana, dicita-citakan dengan tegas, untuk mencapai tujuan pendidikan (Ahmadi & Uhbiyati, 2003: 140).

Usaha-usaha atau perbuatan-perbuatan si pendidik yang ditujukan untuk melaksanakan tugas mendidik disebut juga alat-alat pendidikan (Purwanto, 1998: 176).

Berdasarkan paparan pendapat di atas, maka yang dimaksud dengan alat pendidikan dalam penelitian ini diartikan sebagai tindakan yang dilaksanakan guru dalam bentuk keteladanan, pembiasaan, pengawasan, nasihat, anjuran, larangan, ganjaran, dan hukuman untuk mencapai tujuan pendidikan.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang dilakukan pada situasi lapangan penelitian yang bersifat alamiah sebagaimana adanya tanpa dimanipulasi, terutama terhadap data yang dikumpulkan. Pendekatan kualitatif merupakan cerminan filsafat post-positivisme atau filsafat fenomenologi yang menekankan pada pemahaman (verstehen) dan penghayatan terhadap perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari (Sarbini, 1996: 87). Oleh karena itu, penggunaan pendekatan kualitatif dalam meneliti suatu masalah adalah tepat, kalau untuk mengetahui dan memahami apa yang sebenarnyaterjadi dalam situasi dan proses yang dialami.

Berdasarkan pandangan di atas, penggunaan pendekatan kualitatif dipandang sesuai dengan fokus masalah penelitian dengan beberapa alasan, antara lain: (1) penelitian ini mengambil latar di dalam dan di luar kelas, yang mana alat pendidikan digunakan guru dalam membina nilai moral agama peserta didik. Untuk memahami bagaimana guru menggunakan alat pendidikan itu, pendekatan kualitatif dipandang sangat tepat, karena pendekatan ini lebih memberi penekanan pada proses guna menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian tentang apa yang dilakukan, mengapa hal itu dilakukan, dan bagaimana cara melakukannya; (2) melalui pendekatan kualitatif yang menekankan perlunya menciptakan hubungan yang harmonis (rapport) antara peneliti dengan subjek penelitian, serta dengan


(28)

keberadaan peneliti di dalam dan di luar kelas saat pergaulan antara guru dan peserta didik akan teramati penggunaan alat pendidikan yang dilaksanakan guru secara wajar; dan (3) penelitian ini juga ingin mengungkap kebijakan guru tentang penggunaan alat pendidikan dalam membina nilai moral agama peserta didik, perlu digunakan pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini mengutamakan pandangan menurut pendirian masing-masing.

Dalam pelaksanaan penelitian kualitatif terdapat tiga tipe studi kasus (Bogdan dan Biklen dalam Sarbini, 1996: 88), yaitu: (1) historical organizational case studies; (2) observational case studies; dan (3) life history. Tipe studi kasus yang diterapkan dalam penelitian ini adalah observational case studies (studi kasus yang bersifat pengamatan), yaitu yang memusatkan perhatiannya pada organisasi tertentu atau pada aspek tertentu dari organisasi, antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam organisasi tertentu, misalnya: ruang kelas, ruang dewan guru, ruang kafetaria, (b) satu kelompok orang khusus, misalnya: tim basket, tim guru, dan (c) kegiatan sekolah, seperti: perencanaan kurikulum dan kegiatan ektrakurikuler.

Alasan penggunaan observational case studies ini, karena yang menjadi fokus studinya adalah penggunaan alat pendidikan, dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh guru dalam membina nilai moral agama peserta didik. Dalam arti yang tidak ketat, apa yang menjadi fokus studi dalam penelitian ini adalah menyangkut organisasi sekolah, dengan bagian yang menjadi fokusnya adalah penggunaan alat pendidikan oleh guru sebagai kegiatan sekolah. Para guru dipandang sebagai bagian organisasi sekolah dalam bentuk satu kelompok orang


(29)

khusus, sedangkan penggunaan alat pendidikan di luar dan di dalam kelas adalah sebagai bentuk dari tempat tertentu di dalam organisasi sekolah.

B. Lokasi dan Subyek Penelitian

Untuk meneliti penggunaan alat pendidikan oleh guru dalam membina nilai moral agama peserta didik di seluruh SD/ MI Swasta Kota Cimahi, dengan menggunakan pendekatan kualitatif bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan, karena akan terkendala dengan berbagai keterbatasan, antara lain waktu studi, biaya dan kemampuan, dan faktor penghambat lainnya.

Oleh karena itu mengingat keterbatasan waktu studi, biaya, kemampuan, dan agar penelitian yang dilakukan lebih mendalam dan menyeluruh, maka penelitian penggunaan alat pendidikan oleh guru dalam membina nilai moral agama peserta didik di SD/ MI sawasta, hanya dilakukan pada satu sekolah saja, dan yang dipilih adalah MI Asih Putera (MIAP) yang beralamat di Jalan Raya Cibabat, Gg. H. Mustofa No. 205, Kota Cimahi.

Adapun sekolah yang menjadi lokasi penelitian penentuannya dilandasi berbagai pertimbangan, antara lain:

1. Dipimpin oleh seorang manajer (kepala sekolah) yang berkompeten dan berpengalaman. Berarti manajer itu telah mengetahui seluk beluk penggunaan alat pendidikan yang digunakan di sekolahnya dalam membina nilai moral agama bagi peserta didiknya;


(30)

2. Sekolah itu mempunyai reputasi dan prestasi pada kegiatan intra dan ekstra kurikuler di tingkat lokal kota dan regional provinsi maupun di tingkat nasional;

3. Memberikan kemudahan, keramahan, dan keterbukaan dalam memberikan informasi dan kesediaan untuk langsung diamati serta memungkinkan peneliti sesering mungkin berada di lapangan; serta 4. Menurut masyarakat di lingkungan sekolah itu menyatakan bahwa

sekolah ini termasuk kategori sekolah yang unggul dalam nilai moral agama bagi peserta didiknya.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Lighfoot (Sarbini, 1996: 91) dalam menentukan sekolah yang menjadi lokasi penelitian, yakni:

Our selection not scientific. No random sample was taken, no large-scale opinions survey were sent out in order to have identify good schools. They were chosen because of their reputation among school people, the high opinion of them shared by their in habitans and surrounding communities, and because the offered easy and generous entry.

Subjek penelitian ditentukan secara purposive, yakni subjek yang ditentukan langsung oleh peneliti, karena berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Spradley (dalam Faisal, 1990: 57-58) mengemukakan beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam memilih subjek penelitian, antara lain:

1. Subjek yang telah cukup lama dan intensif “menyatu” dengan suatu kegiatan atau “medan aktivitas” yang menjadi sasaran perhatian peneliti;

2. Subjek yang masih terlibat secara penuh dan aktif pada lingkungan kegiatan yang menjadi sasaran atau perhatian peneliti;

3. Subjek yang mempunyai cukup banyak waktu atau kesempatan untuk dimintai informasinya;


(31)

4. Subjek yang sebelumnya tergolong masih “asing” dengan peneliti sehingga peneliti dapat merasa lebih tertantang untuk “belajar” sebanyak mungkin dari subjek yang semacam “guru baru” bagi dirinya.

Berdasarkan hal itu dan pengamatan selama di lapangan, maka subjek penelitian adalah:

1. manajer (kepala sekolah) beserta jajarannya (sekretaris manajer, asisten manajer),

2. guru yang relatif senior dan aktif-terlibat dalam membina nilai moral agama peserta didik, bersedia dan mempunyai waktu untuk memberi informasi; serta

3. peserta didik.

C. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan, seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 1988: 95-96).

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu:

1. Sumber data primer berupa kata-kata dan tindakan yang diperoleh dari: (a) Situasi alami/ sewajarnya yang terjadi di lingkungan sekolah yang menjadi tempat penelitian, baik situasi fisik, sosila, maupun psikologis; (b) Manajerial pimpinan sekolah dan para guru senior/ aktif-terlibat serta peserta didik.


(32)

2. Sumber data skunder adalah segala data yang diperlukan dan dipandang menunjang data primer, meliputi dokumen-dokumen tertulis dan foto-foto.

a) Dokumen-dokumen tertulis berupa: dokumen KTSP, tata tertib (tatib) guru, tatib siswa, tatib pembelajaran, peraturan kelas, administrasi kelas, standar pelayanan minimal, kalender pendidikan, program kerja, rencana anggaran dan kegiatan, jadwal pelajaran, bahan ajar, perangkat pembelajaran, catatan holistik siswa, laporan perkembangan siswa, buku agenda siswa, laporan materi PSB, bagan alir penerimaan murid baru dan pindahan, bagan alir rekrutmen guru/ karyawan, bagan alir kompetensi SDM, bagan alir penyediaan buku bahan ajar internal dan elsternal, diagram alur dan instrumen PSB, dan dokumen lainnya yang relevan.

b) Foto-foto selama kegiatan pembelajaran, foto-foto kegiatan ektrakurikuler, foto-foto yang terkait dengan penggunaan alat pendidikan oleh guru dalam membina nilai moral agama peserta didik, dan foto-foto yang relevan dengan kajian penelitian.

Sedangkan data penelitian diperoleh dari: (1) hasil pengamatan peneliti sendiri terhadap penggunaan alat pendidikan oleh guru dalam membina nilai moral agama peserta didik, baik di dalam atau di luar kelas; (2) hasil wawancara dengan manajerial pimpinan sekolah, guru, dan peserta didik yang dimintai keterangannya tentang penggunaan alat pendidikan di dalam dan luar kelas dalam suasana yang wajar; dan (3) hasil studi dokumentasi terhadap dokumen-dokumen


(33)

dan foto-foto yang berhubungan dengan penggunaan alat pendidikan oleh guru pada peserta didik dalam membina nilai moral agama.

D. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian 1. Observasi

Teknik ini digunakan oleh peneliti agar dapat berhubungan secara langsung dengan subjek penelitian, sehingga dapat melihat langsung apa yang terjadi di lapangan. Patton (dalam S. Nasution, 1988: 59-60) mengemukakan beberapa manfaat penggunaan observasi dalam pengumpulan data, antara lain:

a. Dengan berada di lapangan, peneliti lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi;

b. Pengalaman langsung memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep-konsep atau pandangan sebelumnya;

c. Peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak akan terungkap dalam wawancara;

d. Peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan terungkap oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga;

e. Peneliti dapat menemukan hal-hal di luar persepsi responden sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif; serta

f. Dalam lapangan penelitian tidak hanya dapat mengadakan pengamatan akan tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi.

Adapun hal-hal yang diobservasi dalam penelitian ini adalah:

a. Program (perencanaan) pembinaan nilai moral agama melalui alat pendidikan;


(34)

b. Proses (pelaksanaan) pembinaan nilai moral agama melalui alat pendidikan;

c. Faktor pendukung dan penghambat dalam pembinaan nilai moral agama melalui alat pendidikan; serta

d. Solusi dan tindak lanjut dalam pembinaan nilai moral agama melalui alat pendidikan.

Dalam penelitian ini teknik observasi dilakukan melalui observasi partisipasi pasif, namun terkadang juga ikut secara wajar melalui berbagai kegiatan, misalnya rapat bulanan sekolah dan upacara mingguan di hari Senin.

Observasi partisipasi pasif dilakukan terhadap peristiwa-peristiwa yang berlangsung, khususnya yang berkaitan dengan data-data yang diperlukan, misalnya di luar kelas pada waktu sebelum jam pembelajaran dimulai, upacara hari Senin, saat pelaksanaan senam kesegaran jasmani, saat jam istirahat, dan saat pulang sekolah, meliputi berbagai tindakan guru terhadap peserta didik yang melakukan pelanggaran, maupun terhadap peserta didik yang aktif dalam kegiatan sekolah, dalam hal ini yang aktif mengikuti ekskul.

Observasi juga dilakukan di manajer dan staf, ruang guru, dan terhadap tindakan guru di dalam kelas (dalam hal ini dilakukan terhadap guru-guru yang bersedia untuk diobservasi), antara lain guru kelas dan guru yang mengajar mata pelajaran Tafaqquh Fiddin (PAI) dan Tahfizh, guru IPS, guru IPA, guru Matematika, guru Komputer, dan guru B. Indonesia.


(35)

Wawancara digunakan untuk memperoleh data melalui percakapan dengan nuansa hubungan yang bersifat pribadi, sehingga pewawancara dapat mengetahui persepsi tentang kenyataan, pikiran, dan perasaan yang diwawancarai. Menurut Lincoln dan Guba (Alwasilah, 2003: 220), maksud diadakannya wawancara antara lain, “mengonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan sebagainya.”

Adapun tujuan dilakukannya wawancara, menurut Sonhadji (Sarbini, 1996: 95) adalah,

a. untuk memperoleh konstruksi aktual tentang orang, kejadian, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan, kerisauan, dan sebagainya;

b. untuk merekonstruksi keadaan berdasarkan pengalaman masa lau;

c. untuk memproyeksikan keadaan yang diharapkan terjadi pada masa yang akan datang; serta

d. untuk memverifikasi, pengecekan, dan pengembangan informasi.

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan bervariasi dan melihat momen, di mana akan melakukan wawancara secara informal, atau wawancara dengan menggunakan petunjuk umum, dan wawancara baku terbuka. Dalam pelaksanaan penelitian kualitatif dimulai dengan wawancara informal. Setelah berjalan dalam waktu tertentu, barulah beralih pada wawancara dengan menggunakan petunjuk umum dan wawancara baku terbuka (Nasution, 1988: 74).

Adapun masalah-masalah yang digali dengan menggunakan teknik wawancara dalam penelitian ini adalah,

a. program (perencanaan) pembinaan nilai moral agama melalui alat pendidikan,


(36)

b. proses (pelaksanaan) pembinaan nilai moral agama melalui alat pendidikan, serta

c. faktor pendukung dan penghambat dalam pembinaan nilai moral agama melalui alat pendidikan.

Dalam melakukan wawancara ini dilengkapi dengan buku catatan kecil untuk membantu kelengkapan data yang digali.

Subjek penelitian yang diwawancarai adalah, a. Biro Kurikulum dan Akademik

b. Biro Tata Usaha merangkap sebagai guru bahasa Arab sekaligus sebagai guru senior

c. Manajer madrasah merangkap sebagai guru Matematika d. Sekretaris madrasah merangkap sebagai guru IPA e. Staf Sekretaris layanan akademik merangkap guru IPS, f. Staf tata usaha merangkap guru IPS,

g. Wali kelas III A merangkap guru Tafaqquh Fiddin dan Tahfizh

h. Koordinator kelompok fungsional Tafaqquh Fiddin merangkap guru Tafaqquh Fiddin,

i.Koordinator sains dan teknologi merangkap wali kelas III B, dan j.guru Komputer.

3. Studi Dokumenter

Teknik pengumpulan data ini sebagaimana dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (Alwasilah, 2003: 223) yang menyatakan bahwa sumber informasi berupa


(37)

dokumen dan rekaman cukup bermanfaat, karena, (1) merupakan sumber data yang stabil, kaya, dan mendorong, (2) berguna sebagai bukti pengujian, (3) sifatnya alamiah, (4) relatif murah dan tidak sukar diperoleh, dan (5) tidak reaktif. Data yang dikumpulkan melalui studi dokumenter adalah dokumen-dokumen tertulis dan foto-foto.

a. Dokumentasi tertulis antara lain: dokumen KTSP Khas MIAP, Tata Tertib (Tatib) Guru, Tatib Siswa, Tatib Pembelajaran Tafaqquh Fiddin, Peraturan Kelas, Administrasi Kelas, Standar Pelayanan Minimal, Kalender Pendidikan, Program Kerja, Rencana Anggaran dan Kegiatan, Jadwal Pelajaran, Perangkat Pembelajaran, Catatan Holistik Siswa, Laporan Perkembangan Siswa, Buku Agenda Siswa, Buku Kasus, Laporan Materi PSB, Bagan Alir Penerimaan Murid Baru dan Pindahan, Bagan Alir Rekrutmen Guru/ Karyawan, Bagan Alir Kompetensi SDM, Bagan Alir Penyediaan Buku Bahan Ajar Internal dan Eksternal, Diagram Alur dan Instrumen PSB, dan dokumen lainnya seperti Surat Keterangan Terlambat, Surat Pernyataan Orang Tua Siswa Baru untuk Menaati dan Mematuhi semua Peraturan dan Tata Tertib Sekolah, Surat Pemberitahuan dan Pemanggilan terhadap Orang Tua Siswa tentang putra/i mereka telah melakukan pelanggaran dan untuk membicarakan jalan pemecahannya.

b. Foto-foto yang dikumpulkan adalah foto-foto yang menggambarkan bentuk dan lanskap bangunan madrasah, reputasi yang dicapai sekolah, ruangan kelas, mushalla, aula, tempat makan, taman bermain, suasana


(38)

siswa dan guru melakukan aksi kebersihan, saat siswa belajar dan istirahat, suasana upacara dan pemberian hadiah pada kelas dan siswa yang berprestasi, suasana senam kesegaran jasmani, saat kegiatan pembelajaran, saat kegiatan ekstrakurikuler, foto-foto yang terkait dengan penggunaan tindakan pendidikan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa yang terlambat datang ke sekolah dan membolos.

4. Instrumen Penelitian

Semua teknik pengumpulan data yang diuraikan adalah teknik untuk menjaring data, sedang yang menggunakannya adalah peneliti sendiri. Hal ini merupakan ciri dari penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, di mana yang mengumpulkan data penelitian adalah peneliti sendiri. Hal ini didukung oleh pernyataan Subino (Sarbini, 1996: 98) yang mengemukakan bahwa, “alat pengumpul data yang paling tepat digunakan dalam penelitian kualitatif ialah manusia, karena perilaku manusia paling tepat direkam dengan alat manusia juga.”

Menurut Nasution (1988: 55-56), dalam peranannya sebagai pengumpul data penelitian yang utama, maka pada peneliti melekat ciri-ciri sebagai berikut,

a. Peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakan bermakna atau tidak bagi penelitian.

b. Dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.

c. Dapat memahami situasi dalam segala seluk-beluknya sebagai suatu keseluruhan.

d. Mampu menghayati situasi yang melibatkan interaksi manusia.


(39)

f. Dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan maupun sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan.

Sejalan dengan itu, Guba dan Lincoln (Alwasilah, 2003: 224) menjelaskan ciri-ciri umum yang hampir sama mengenai manusia sebagai instrumen penelitian, sebagaimana dikutip oleh Moleong (1988: 103), yaitu:

responsif, dapat menyesuaikan, menekankan keutuhan, mendasarkan diri pada pengetahuan, memproses data secepatnya, memanfaatkan kesempatan untuk mengklasifikasi dan mengikhtisarkan, serta memanfaatkan kesempatan mencari respon yang tidak lazim.

E. Analisis dan Pemeriksaan Keabsahan Data

Analisis dan pemeriksaan data pada dasarnya membuktikan seberapa meyakinkan validitas hasil penelitian dapat memenuhi suatu kriteria. Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan yang didasarkan pada empat kriteria (Alwasilah, 2003: 224), yaitu: “nilai kebenaran (truth value), mudah diterapkan (applicability), taat asas (consistency), dan netral (neutrality). Sedangkan Moleong (1988: 147) mengemukakan empat kriteria yang digunakan untuk menganalisis dan memeriksa keabsahan data, yakni: derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).

Dengan mengacu pada kriteria-kriteria yang dikemukakan, baik oleh Guba dan Lincoln, maupun Moleong, maka teknik pemeriksaan yang dilakukan untuk menetapkan keabsahan hasil penelitian didasarkan atas kriteria-kriteria sebagai berikut:


(40)

Kriteria kredibilitas ini berfungsi, (1) melaksanakan inkuiri sedemikian rupa, sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapatlah dicapai, (2) menunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan-kenyataan yang sedang diteliti. Dalam melaksanakan kriteria kredibilitas ini untuk memeriksa keabsahan data hasil penelitian dilakukan member check dan triangulasi.

Pertama, member check adalah kegiatan responden dalam memeriksa kembali catatan lapangan yang peneliti berikan, berupa: hasil observasi dan wawancara, agar data yang diberikan menjadi lebih sesuai dengan apa yang dimaksud oleh responden, setelah diperiksa, dilakukan perbaikan dengan ditambahi atau dikurangi. Setelah itu responden menandatangani dan diketahui oleh manajer madrasah.

Tujuan dari member check ini adalah agar responden mengecek kebenaran data yang diberikannya, sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya kebenarannya. Nasution (1988: 112) menyatakan bahwa,

Data itu harus diakui dan diterima kebenarannya oleh sumber informasi, dan selanjutnya data tersebut juga harus dibenarkan oleh sumber atau informan lain.

Kedua, triangulasi adalah proses mengecek kebanaran suatu informasi dengan menggali informasi dari berbagai pihak, agar hasil penelitian dapat dipercaya. Dengan demikian tujuan dari triangulasi ini adalah untuk menyerivikasi atau mengonfirmasikan informasi.

Triangulasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua bentuk, yaitu triangulasi sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber


(41)

dilaksanakan dengan cara menggali data yang sama dari beberapa sumber, sedangkan triangulasi metode dikerjakan dengan menggali data yang sama melalui metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.

2. Transferabilitas

Transferabilitas adalah berhubungan dengan sejauh mana hasil penelitian dapat dialihkan pada situasi lain. Suatu temuan penelitian berpeluang untuk dialihkan pada konteks lain manakala ada kesamaan karakteristik antara situasi penelitian dengan situasi penerapan. Karenanya untuk melakukan pengalihan tersebut, seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empirik tentang kesamaan konteks.

3. Dependabilitas dan konfirmabilitas

Dependabilitas dan konfirmabilitas dalam penelitian kualitatif berhubungan dengan konsistensi dan kenetralan.

a. Konsistensi dilihat dari arti yang lebih luas dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mungkin mengalami perubahan. Dalam penelitian naturalistik terdapat juga faktor-faktor yang mengganggu konsistensi. Hal itu disebabkan, karena manusia sebagai instrumen dapat menurun perhatian dan ketajaman pengamatannya, juga dapat membuat kekhilafan dan kesalahan.

b. Netralitas dalam penelitian naturalistik mengandung aspek kuantitas (S. Nasution, 1992: 113), yakni bergantung pada jumlah orang yang membenarkan atau mengonfirmasikannya. Jadi netralitas bermakna objektifitas-subjektifitas, objektifitas merupakan suatu kesesuaian


(42)

inter-subjektif. Dengan demikian objektifitas (S. Nasution, 1988: 114) juga mengandung aspek kualitatif, karena kebenaran suatu data dapat juga dibenarkan atau dikonfirmasi oleh orang lain.

Untuk dapat memenuhi kriteria dependabilitas dan konfirmabilitas ini dapat ditempuh melalui proses audit trail. Audit trail adalah proses untuk memeriksa ketergantungan dan kepastian data. Untuk kepentingan tersebut dilakukan dengan cara menyediakan bahan-bahan:

a. Data mentah meliputi material rekaman, catatan lapangan yang telah di- member check responden, dokumen, dan foto;

b. Reduksi data meliputi ringkasan dalam bentuk rangkuman dan konsep; serta

c. Catatan proses yang digunakan, yakni tentang metodogi, disain, dan strategi agar penelitian dapat dipercaya.


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Sebagai penutup laporan penelitian ini, disajikan kesimpulan dan rekomendasi. Bagian kesimpulan menguraikan beberapa kesimpulan terhadap temuan-temuan penelitian tentang pembina nilai moral agama yang dilakukan oleh guru melalui alat pendidikan. Bagian rekomendasi menguraikan beberapa implikasi dan saran-saran kepada berbagai pihak yang terkait serta bagi kemungkinan penelitian lanjutan.

A. Kesimpulan Umum

Berdasarkan deskripsi data dan pembahasan hasil penelitian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, program pembinaan nilai moral agama terimplementasi dalam tiga tataran, yakni tataran koseptual, tataran operasional, dan tataran institusional. Dalam tataran konseptual, program pembinaan nilai moral agama dapat dilihat dari rumusan visi, misi, motto, dan tujuan MI Asih Putera. Dalam tataran operasional, pembinaan nilai moral agama menggunakan program secara implisit dan eksplisit. Hal ini dapat dilihat pada perangkat pembelajaran yang digunakan. Selain itu, digunakan pula program deduktif dan induktif, yaitu fasilitator kelas atau guru langsung meminta kepada siswa untuk membaca dan mengkaji nilai moral agama yang ada pada mata pelajaran tersebut. Sementara itu, dalam tataran institusional, pembinaan nilai moral agama di MI Asih Putera adalah melalui


(44)

program institution culture yang mencerminkan paduan antara nilai dan pembelajaran. Untuk mewujudkan program tersebut, MI Asih Putera menggunakan pendekatan pembelajaran terpadu yang mengintegrasikan setiapa mata pelajaran dengan nilai moral agama, sehingga tidak terjadi pemisahan di antara satu pelajaran dengan pelajaran yang lainnya.

Kedua, proses pembinaan nilai moral agama di MI Asih Putera dikembangkan atas dasar keyakinan bahwa setiap anak adalah pribadi yang unik, yang memiliki kecerdasan dan gaya belajarnya sendiri (multiple inteligence). Proses pembelajaran haruslah berlangsung dalam suasana yang menyenangkan, menggairahkan, tanpa tekanan, dan paksaan. Dengan demikian proses pembinaan dapat berlangsung dengan baik dan efektif. Di MI Asih Putera, anak belajar dengan menggunakan seluruh indera (multi sensory), menggunakan seluruh potensi otak, dan sesuai dengan gaya belajar masing-masing.

Dalam praktik pembelajarannya, MI Asih Putera menerapkan KTSP dan kurikulum khas MI Asih Putera. Tujuan pembelajaran Tafaqquh fiddin di MI Asih Putera adalah Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan dan penghayatan, pengalaman, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga mejadi manusia yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya pada Allah SWT. Mewujudkan menusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang jujur, adil, etis, berdisiplin, dan bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dan komunitas madrasah.


(45)

Selain itu, indikator yang terdapat dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran Tafaqquh Fiddin dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) kemampuan untuk mengembangkan konsep dan nilai-niai kehidupan beragama; dan (2) kemampuan untuk menerapkan konsep dan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara melalui praktek atau pengalaman belajar. Berdasarkan hal itu, nilai hasil belajar mata pelajaran Tafaqquh Fiddin yang dicantumkan dalam rapor mencantumkan dua aspek, yaitu: penguasaan konsep dan nilai-nilai; serta penerapannya.

Adapun materi pembelajaran Tafaqquh Fiddin yang disampaikan di MI Asih Putera meliputi aspek-aspek sebagai berikut: al-Qur’an dan al-Hadits, Aqidah, Ahlak, Fiqih, Tarikh, dan Kebudayaan Islam. Sedangkan sumber pembelajaran dan bahan ajarnya menggunakan buku utama yang ditulis oleh guru-guru Tafaqquh Fiddin MI Asih Putera dan diperkaya oleh buku-buku yang ada di perpustakaan, internet, dan lingkungan alam sekitar.

Metode pembelajaran Tafaqquh Fiddin di MI Asih Putera antara lain: ceramah, tamtsil awil qishshoh, al-mustabaqoh, mumarrasatul ’amal (karyawisata), mind mapping, dan niqosyi (diskusi/ presentasi). Metode-metode tersebut digunakan dengan mengacu kepada metode fun learning. Hal tersebut sesuai dengan konsep belajar MI Asih Putera, yakni: “belajar sesuai dengan caranya sendiri.”

Ketiga, untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pembinaan nilai moral agama perlu didukung oleh sistem regulasi akademik, tenaga edukatif, sarana dan prasarana, serta kurikulum yang tertintegrasi. Selain


(46)

itu, terdapat pula penghambat yang merintangi pembinaan nilai moral agama, antara lain: kekurangserasian hubungan antara lingkungan sosial sekolah, orang tua dengan anak didik, tidak seimbangnya jumlah anak didik dengan fasilitas pembinaan, adanya kegiatan lain yang diikuti oleh pihak Pembina, dan kurangnya kerjasama/ perhatian orang tua. Berdasarkan uraian di atas, pembinaan nilai moral agama di MI Asih Putera sudah berjalan dengan baik. Hal itu dibuktikan dengan sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh peserta didik MI Asih Putera.

B. Kesimpulan Khusus

1. Program pembinaan nilai moral agama melalui alat pendidikan di MI Asih Putera terimplemtasi dalam tiga tataran, yaitu: tataran konseptual, tataran operasional, dan tataran institusional. Program pembinaan akan berhasil apabila ditopang dengan rumusan visi, misi, motto, tujuan, dan sasaran yang jelas, yang dirumuskan secara bersama-sama oleh sumber daya insani yang ada di sekolah.

2. Proses pembinaan nilai moral agama dapat dilihat dalam setiap kegiatan pembelajaran, terutama Tafaqquh Fiddin dan pengembangan kegiatan kesiswaan yang meliputi tujuan, materi, metode, media, dan sumber belajar. Adapun alat pendidikan yang sering digunakan, antara lain: keteladanan, pengawasan, pembiasaan, nasihat, perintah, larangan, ganjaran, dan hukuman. Proses pembinaan yang baik dapat dilakukan melalui setiap komponen mata pelajaran yang diajarkan, terutama PAI,


(47)

juga komponen muatan lokal, dan komponen kegiatan pengembangan diri siswa.

3. Program pembinaan yang direncanakan dan proses pembinaan yang dilaksanakan harus didukung oleh tenaga pendidik yang bersahabat dengan anak juga memiliki komitmen keislaman yang baik, sarana dan prasarana yang memadai, pelibatan orang tua dalam merumuskan program, dan pengembangan regulasi akademik. Semuanya itu akan meminimalisir hambatan yang muncul berupa kekurangserasian hubungan lingkungan sosial sekolah, orang tua dengan anak didik, dan lemahnya antusiasme anak dalam mengikuti pembinaan. Sehingga, pembinaan akan berjalan dengan situasi yang kondusif.

C. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengajukan beberapa rekomendasai sebagai berikut.

1. Sehubungan dengan pentingnya pembinaan nilai moral agama sejak usia sekolah, maka perlu adanya penggunaan alat pendidikan yang tepat. 2. Dalam praktiknya, agar proses pembinaan nilai moral agama berjalan

dengan baik, maka diperlukan dukungan dari semua pihak, antara lain: akademisi sekolah mulai dari kepala sekolah, guru, karyawan, dan orang tua siswa.

3. Peningkatan proses pembelajaran yang berbasis e-learning dan media-media yang canggih menjadi perangkat inovasi pembelajaran yang perlu


(48)

dipertimbangkan sekolah. Oleh karena itu, penambahan media pembelajaran berbasis komputer dapat menjawab kebutuhan siswa akan media pembelajaran yang menarik dan interkatif.

4. Implementasi KTSP hendaknya dilakukan secara utuh. Pemberian kewenangan yang penuh kepada guru dari mulai membuat rancangan pembelajaran sampai kegiatan penilaian akhir merupakan konsekuensi yang logis. Hal ini juga perlu disertai dengan program-program peningkatan kapasitas kompetensi dan pendampingan kepada guru agar rancangan pembelajaran yang dibuatnya tepat sasaran.

5. Komite sekolah hendaknya dijadikan sebagai media strategis dalam meningkatkan jalinan komunikasi secara terprogram dan berkelanjutan antara orang tua (keluarga dan masyarakat) dengan pihak sekolah, sehingga tercipta sinergisitas tripusat pendidikan dalam membina nilai moral agama peserta didik. Arti penting peran orang tua sebagai alat social control serta tauladan bagi anak harus ditekankan agar ada kesinambungan proses pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat. 6. Kepada lembaga pendidikan formal lainnya, program pembinaan nilai

moral agama melalui alat pendidikan yang telah diterapkan oleh MI Asih Putera ini dapat dijadikan pertimbangan untuk membuat program yang serupa di sekolahnya, supaya terwujud generasi bangsa yang bernilai, bermoral, dan berakhlak mulia.

7. Untuk Program Studi Pendidikan Umum SPs UPI, hasil penelitian tentang pembinaan nilai moral agama melalui alat pendidikan ini dapat


(49)

ditindaklanjuti, sehingga dapat diperoleh dan dikembangkan temuan-temuan baru yang lebih kontekstual dan sempurna serta mengarah pada terlahirnya model-model baru.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, A. (1994). Studi Analisis Konsep Pendidikan Umum dalam Surat al-Fatihah. Tesis Master pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Abdullah, A. S. (1990). Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta

Ahmadi, A. dan N. Uhbiyati. (2003). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Al-Abrasyi, M. A. (1974). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Penerj. Bustami

A. Gani dan Johar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Attas, S. N. M. (1992). Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Mizan.

Alberty, H. B. dan E. J. Alberty. (1965). Reorganizing The High-School Curriculum. New York: The Macmillan Company.

Al-Ghulayaini, M. (1984). Idhatun Nasyiin. Cairo: Matba’ah Misriyah.

Al-Qattan, M. K. (2000). Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Penerj. Mudzakkir AS. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa.

Alwasilah, A. C. (2003). Pokoknya Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya.

Aly, H. N. dan Suparta, M. (2000). Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani.

An-Nahlawi, A. (1996). Prinsip-prinsip dan Metode-metode Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro.

Arifin, M. (1994). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. ________. (2000). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.


(51)

Asy-Syaibany, O. M. A. (1979). Falsafah Pendidikan Islam. Penerj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Azra, A. (1998). Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Baihaqi, A. K. (2000). Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Paedagogis Islam. Jakarta: Darul Ulum Press.

Barnadib, S. I. (1982). Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: FIP IKIP.

Budiningsih, C. A. (2003). Pembelajaran Moral: Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta.

Bukhari, Z. (1990). Kedudukan Agama dalam Keluarga Masa Depan. Jakarta: Sinar Harapan.

Daradjat, Z. (2001). Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung. __________, dkk. (1992). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Djahiri, A. K. (1996). Menelusuri Dunia Afektif: Pendidikan Nilai dan Moral. Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP.

Djamarah. (2005). Interaksi Edukatif antara Guru dan Anak Didik. Jakarta: Rineka Cipta.


(52)

Djamari. (1985). Nilai-nilai Agama dan Budaya yang Melandasi Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Cikadueun Banten. Disertasi Doktor pada FPs IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Ekosusilo, M. (1985). Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar Publishing. Faisal, S. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasinya. Malang:

IKIP Malang.

Hadi, A. (1986). Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Rajawali.

Hartinah, S. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Reflika Aditama. Hasbullah. (2008). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Henry, N. B. (1952). The Fifty-First Year Book (General education). Chicago: University of Chicago Press.

Indrakusuma, A. D. (1973). Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Lindgren, H. C. (1976). Educational Psychology in The Classroom. New York: John Wiley and Sons.

Mangunhardjana. (1986). Pembinaan: Arti dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius.

Marimba, A. D. (1987). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif.

Masy’ari, A. (1995). Membentuk Pribadi Muslim. Jakarta: Al-Maarif.

Megawangi, R. (2009). Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation.


(53)

Moeliono, A. M., dkk. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Moleong, L. J. (1988). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhaimin. (2002). Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, R. (1996). Upaya Guru dan Kepala Sekolah dalam Membina Keimanan dan Ketaqwaan Siswa. Tesis Master pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

__________. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Nasir, S. A. (2002). Peran Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem

Remaja. Jakarta: Kalam Mulia.

Nasution, S. (1988). Metode Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nurdin, M. (1995). Moral dan Kognisi Islam. Jakarta: CV. Rajawali.

Phenix, P. H. (1964). Realms of Meaning: A Philosophy of The Curriculum for General Education. New York: McGraw-Hill Book Company.

Purwanto, M. N. (1998). Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

____________. (1997). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rakhmat, J. (2007). Belajar Cerdas: Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: Mizan

Learning Center.

Ramayulis. (1994). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Razak, N. ( 1985). Dienul Islam. Bandung: Al-Ma’arif.


(54)

Sadulloh, U. (2007). Filsafat Pendidikan. Bandung: Cipta Utama.

Sarbini. (1996). Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik pada Norma Sekolah. Tesis Master pada PPs IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Sauri, S. dan H. Firmansyah. (2010). Meretas Pendidikan Nilai. Bandung: Arfino Raya.

Simanjuntak, B. (1980). Membina dan Mengembangkan Generasi Muda. Bandung: Tarsito.

Soelaeman, M. I. (1994). Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta.

_____________. (1985). Suatu Upaya Pendekatan Terhadap Situasi Kehidupan dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah. Disertasi Doktor pada FPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

_____________. (1988). Suatu Telaah tentang Manusia-Religi-Pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Soetopo, H. dan W. Soemanto. (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sudiyono, M. (2009). Ilmu Pendidikan Islam Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumaatmadja, N. (2005). Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.

Sumantri, E. (2003). Resume Perkuliahan Filsafat Nilai dan Moral. Bandung: Pascasarjana UPI.

__________. (2009). Pendidikan Umum. Bandung: Program Studi PU SPs UPI. Supratiknya, A. (1993). Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis).


(55)

Suwarno. (1985). Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru.

Syafaat, A., dkk. (2008). Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency). Jakarta: Rajawali Pers.

Syafe’i, R. (1999). Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.

Tafsir, A. (1992). Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tanlain, W., dkk. (1989). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Gramedia. Tihami, M. A. (2003). Kamus Istilah-istilah dalam Studi Keislaman Menurut

Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani. Serang: Suhud Sentrautama.

Tirtaraharja, U. dan La Sula. (2000). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Uhbiyati, N. (1998). Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Ulwan, A. N. (1993). Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. (Terjemahan). Semarang: asy-Syifa.

Wahyuanto dan T. Suyitno. (1987). Pentingnya Pembinaan Moral Generasi Muda dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: Bulan Bintang.

Wuradji. (1988). Sosiologi Pendidikan: Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologi. Jakarta: Ditjen Dikti P2LPTK Depdikbud.

Zakaria, T. R. (2001). Pendekatan dalam Pendidikan Nilai dan Implementasinya dalam Pembelajaran Budi Pekerti. Dalam Jurnal pendidikan dan kebudayaan [Online] Nomor 026, Halaman 479-495. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/jurnal/26/pendekatan-pendidikan


(56)

http://www.scribd.com/doc/47879150/pendidikan-nilai. juni 2011

Prayitno dan Erman Anti. (1995). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: P2LPTK Depdikbud.

Prayitno. (2003). Panduan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah.

Syahril dan Riska Ahmad. (1986). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Padang: Angkasa Raya.

Dimyati dan Mudjiono. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, S. B., dan A. Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka

Cipta.


(1)

Asy-Syaibany, O. M. A. (1979). Falsafah Pendidikan Islam. Penerj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Azra, A. (1998). Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Baihaqi, A. K. (2000). Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Paedagogis Islam. Jakarta: Darul Ulum Press.

Barnadib, S. I. (1982). Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: FIP IKIP.

Budiningsih, C. A. (2003). Pembelajaran Moral: Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta.

Bukhari, Z. (1990). Kedudukan Agama dalam Keluarga Masa Depan. Jakarta: Sinar Harapan.

Daradjat, Z. (2001). Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung. __________, dkk. (1992). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Djahiri, A. K. (1996). Menelusuri Dunia Afektif: Pendidikan Nilai dan Moral. Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP.

Djamarah. (2005). Interaksi Edukatif antara Guru dan Anak Didik. Jakarta: Rineka Cipta.


(2)

Djamari. (1985). Nilai-nilai Agama dan Budaya yang Melandasi Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Cikadueun Banten. Disertasi Doktor pada FPs IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Ekosusilo, M. (1985). Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar Publishing. Faisal, S. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasinya. Malang:

IKIP Malang.

Hadi, A. (1986). Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Rajawali.

Hartinah, S. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Reflika Aditama. Hasbullah. (2008). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Henry, N. B. (1952). The Fifty-First Year Book (General education). Chicago: University of Chicago Press.

Indrakusuma, A. D. (1973). Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Lindgren, H. C. (1976). Educational Psychology in The Classroom. New York: John Wiley and Sons.

Mangunhardjana. (1986). Pembinaan: Arti dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius.

Marimba, A. D. (1987). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif.

Masy’ari, A. (1995). Membentuk Pribadi Muslim. Jakarta: Al-Maarif.

Megawangi, R. (2009). Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation.


(3)

Moeliono, A. M., dkk. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Moleong, L. J. (1988). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhaimin. (2002). Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, R. (1996). Upaya Guru dan Kepala Sekolah dalam Membina Keimanan dan Ketaqwaan Siswa. Tesis Master pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

__________. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Nasir, S. A. (2002). Peran Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem

Remaja. Jakarta: Kalam Mulia.

Nasution, S. (1988). Metode Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nurdin, M. (1995). Moral dan Kognisi Islam. Jakarta: CV. Rajawali.

Phenix, P. H. (1964). Realms of Meaning: A Philosophy of The Curriculum for General Education. New York: McGraw-Hill Book Company.

Purwanto, M. N. (1998). Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

____________. (1997). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rakhmat, J. (2007). Belajar Cerdas: Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: Mizan

Learning Center.

Ramayulis. (1994). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Razak, N. ( 1985). Dienul Islam. Bandung: Al-Ma’arif.


(4)

Sadulloh, U. (2007). Filsafat Pendidikan. Bandung: Cipta Utama.

Sarbini. (1996). Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik pada Norma Sekolah. Tesis Master pada PPs IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Sauri, S. dan H. Firmansyah. (2010). Meretas Pendidikan Nilai. Bandung: Arfino Raya.

Simanjuntak, B. (1980). Membina dan Mengembangkan Generasi Muda. Bandung: Tarsito.

Soelaeman, M. I. (1994). Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta.

_____________. (1985). Suatu Upaya Pendekatan Terhadap Situasi Kehidupan dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah. Disertasi Doktor pada FPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

_____________. (1988). Suatu Telaah tentang Manusia-Religi-Pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Soetopo, H. dan W. Soemanto. (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sudiyono, M. (2009). Ilmu Pendidikan Islam Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumaatmadja, N. (2005). Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.

Sumantri, E. (2003). Resume Perkuliahan Filsafat Nilai dan Moral. Bandung: Pascasarjana UPI.

__________. (2009). Pendidikan Umum. Bandung: Program Studi PU SPs UPI. Supratiknya, A. (1993). Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis).


(5)

Suwarno. (1985). Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru.

Syafaat, A., dkk. (2008). Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency). Jakarta: Rajawali Pers.

Syafe’i, R. (1999). Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.

Tafsir, A. (1992). Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tanlain, W., dkk. (1989). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Gramedia. Tihami, M. A. (2003). Kamus Istilah-istilah dalam Studi Keislaman Menurut

Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani. Serang: Suhud Sentrautama.

Tirtaraharja, U. dan La Sula. (2000). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Uhbiyati, N. (1998). Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Ulwan, A. N. (1993). Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. (Terjemahan). Semarang: asy-Syifa.

Wahyuanto dan T. Suyitno. (1987). Pentingnya Pembinaan Moral Generasi Muda dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: Bulan Bintang.

Wuradji. (1988). Sosiologi Pendidikan: Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologi. Jakarta: Ditjen Dikti P2LPTK Depdikbud.

Zakaria, T. R. (2001). Pendekatan dalam Pendidikan Nilai dan Implementasinya dalam Pembelajaran Budi Pekerti. Dalam Jurnal pendidikan dan kebudayaan [Online] Nomor 026, Halaman 479-495. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/jurnal/26/pendekatan-pendidikan


(6)

http://www.scribd.com/doc/47879150/pendidikan-nilai. juni 2011

Prayitno dan Erman Anti. (1995). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: P2LPTK Depdikbud.

Prayitno. (2003). Panduan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah.

Syahril dan Riska Ahmad. (1986). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Padang: Angkasa Raya.

Dimyati dan Mudjiono. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, S. B., dan A. Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka

Cipta.