MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METAKOGNITIF BERORIENTASI TEORI VAN HIELE.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PERNYATAAN ………. i

KATA PENGANTAR ………. ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

ABSTRAK ………. vi

DAFTAR ISI ………. vii

DAFTAR TABEL ………. x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ………. 9

C. Tujuan Penelitian ………. 10

D. Manfaat Penelitian ………. 11

E. Definisi Operasional ………. 11

F. Hipotesis Penelitian ……… 13

BAB II STUDI LITERATUR ………. 14

A. Pengertian Berpikir Kritis ………. 14

B. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis ………. 17

C. Pendekatan Metakognitif ………. 19 D. Hubungan antara Pendekatan Metakognitif


(2)

F. Hubungan antara Teori Van Hiele

dan Kemampuan Berpikir Kritis ... 32

G. Hubungan antara Metakognitif dan Teori Van Hiele ... 34

H. Pendekatan Metakognitif dalam Mengajarkan Kemampuan Berpikir Kritis ... 36

I. Penelitian yang Relevan ... 37

BAB III METODE PENELITIAN ……… 40

A. Desain Penelitian ………... …… 40

B. Populasi dan Sampel ……… 41

C. Instrumen Penelitian ……… 41

D. Sistem Penskoran ……… 52

E. Bahan Ajar ……… 54

F. Prosedur Penelitian ………... 55

G. Teknik Pengunpulan Data ………. 57

H. Teknik Analisis Data ... 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 66

A. Hasil Penelitian ……… 66

B. Pembahasan ……… 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 101

A. Kesimpulan ……… 101


(3)

DAFTAR PUSTAKA ……..………. 104 LAMPIRAN-LAMPIRAN ……… 107 RIWAYAT HIDUP ……… 244


(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut UU no. 20 tahun 2004, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia serta memiliki ketrampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga Negara.

Menyadari pentingnya penguasaan matematika, maka dalam Undang-Undang RI No. 20 Th. 2003 Tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 37 ditegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Namun demikian mutu pendidikan matematika di Indonesia masih rendah. Sebagai contoh, hasil studi Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) yang diselenggarakan International Association for

Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang diumumkan secara

internasional pada 14 Desember 2004 menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa kelas dua (eight grade) Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia berada di peringkat ke-35 dari 46 negara dan soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia (Suryadi, 2005).


(5)

2

Fakta tersebut menunjukan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa diantaranya kemampuan berpikir kritis dalam matematika masih rendah.

Pembelajaran matematika sekarang ini masih belum mampu memberikan kebermaknaan. Siswa belum mampu memahami apa sebenarnya yang sedang dia pelajari, antara konsep dan pemecahan masalah seolah tidak mempunyai hubungan. Padahal siswa diharapkan mampu memecahkan masalah matematis sebagai suatu bentuk konsekuensi bahwa mereka telah belajar matematika.

Geometri merupakan salah satu cabang dari matematika yang diajarkan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Bangun-bangun geometri dapat dijumpai dengan mudah di sekitar kita, misalnya bentuk roda, pintu, papan tulis, tegel dan lain-lainnya. Menurut Ruseffendi (1991) kemampuan menyelesaikan soal geometri dengan benar, tepat dan cepat merupakan ciri bahwa seorang anak mempunyai kemampuan lebih untuk studi lanjut.

Melihat apa yang telah dikemukakan di atas, seharusnya seorang siswa memahami konsep-konsep geometri dengan baik dan benar. Sedangkan kenyataan di lapangan ternyata siswa SMP masih banyak yang belum memahami konsep-konsep geometri, seperti diungkapkan oleh Purniati (2004) bahwa dari 433 siswa kelas III SMP yang diteliti terdapat 86,91% siswa yang menyatakan bahwa persegi bukan persegi panjang, 64,33% yang menyatakan bahwa belah ketupat bukan jajar genjang, dan 36,34% siswa yang menyatakan bahwa pada persegi dua sisi yang berhadapan saling tegak lurus. Dari data di atas dapat kita lihat bahwa kemampuan berpikir kritis salah satunya adalah kemampuan membuat kesimpulan (inferring) sebagian besar masih rendah.


(6)

Ruseffendi (1991) mengemukakan bahwa bila kita menginginkan siswa belajar geometri secara bermakna, tahap pengajaran kita supaya disesuaikan dengan tahap berpikir siswa. Bukan sebaliknya siswa harus menyesuaikan diri dengan tahap pengajaran kita. Sehingga siswa dapat memahaminya dengan baik, untuk memperkaya pengalaman dan berpikir siswa, juga untuk persiapan meningkatkan berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi. Salah satu upaya untuk menumbuhkan kesadaran pemahaman pada diri siswa agar siswa dapat memonitor kemampuannya mengenai apa yang sedang dipelajari sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran kognisinya adalah dengan memberikan arahan agar siswa bertanya pada diri sendiri apakah mereka mengenali atau mengetahui apa yang mereka pikirkan.

Selanjutnya Ruseffendi (1991) juga mengemukakan bahwa agar pembelajaran geometri lebih menarik bagi siswa dan konsep-konsep geometrinya lebih dapat dipahami siswa secara benar, kita dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian dalam pembelajaran geometri, misalnya hasil penelitian Van Hiele, karena hasil penelitian Van Hiele menunjukkan dapat mengatasi kesulitan belajar siswa dalam geometri. Teori Van Hiele (Suherman dkk, 2001) menyatakan bahwa tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Terdapat 5 tahap kemampuan berpikir anak dalam belajar geometri, yaitu: tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi. Siswa dalam belajar geometri harus melalui tahapan-tahapan tersebut dan tidak boleh ada


(7)

4

tahapan yang diloncati, ini berarti bahwa tahapan yang satu merupakan prasyarat bagi tahap-tahap berikutnya.

Seiring dengan perkembangan psikologi kognitif, maka berkembang pula cara guru dalam mengevaluasi pencapaian hasil belajar, terutama untuk domain kognitif. Saat ini, guru dalam mengevaluasi pencapaian hasil belajar hanya memberikan penekanan pada tujuan kognitif tanpa memperhatikan dimensi proses kognitif, seperti memperhatikan apa yang perlu dipelajari, memantau ingatan siswa tentang apa yang sedang dipelajari, merangsang siswa untuk berusaha mengetahui yang mana konsep-konsep yang belum dipahami, akibatnya upaya-upaya untuk melihat kemampuan kognitif dalam menyelesaikan masalah matematika kepada siswa sangat kurang atau bahkan cenderung diabaikan. Proses yang dilakukan siswa untuk menyadari kemampuan kognitifnya merupakan keterampilan metakognitif. Siswa dipandu untuk dapat menyadari apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui serta bagaimana mereka memikirkan hal tersebut agar dapat diselesaikan. Menurut Nitko (Nindiasari, 2004) metakognitif mencakup kemampuan untuk mengembangkan sebuah cara yang sistematik selama memecahkan masalah dan membayangkan serta mengevaluasi produktivitas dari proses berpikir.

Menyadari pentingnya keterampilan metakognitif bagi siswa, maka mutlak diperlukan suatu strategi dan pendekatan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa yang banyak melibatkan siswa dalam proses pembelajaran itu sendiri. Menurut Suzana (2003) bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif adalah pembelajaran matematika


(8)

yang menitikberatkan pada aktivitas belajar, membantu, dan membimbing peserta didik jika menemui kesulitan, dan membantu mengembangkan kesadaran metakognisinya. Sedangkan proses metakognisi menurut Cardele-Elawar (Suzana, 2004) adalah strategi pengaturan diri siswa dalam memilih, mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang dihadapinya, dan menyelesaikan masalah.

Penulis memandang bahwa pendekatan metakognitif memiliki banyak kelebihan jika digunakan sebagai alternatif pendekatan pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Pandangan ini tentu saja didasarkan pada apa yang telah diuraikan di muka, bahwa dengan mengembangkan kesadaran metakognisinya, siswa terlatih untuk selalu merancang strategi terbaik dalam memilih, mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang dihadapinya, serta dalam menyelesaikan masalah.

Salah satu kemampuan berpikir yang termasuk kedalam kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir kritis. Ada empat alasan yang dikemukakan oleh Wahab (1996), mengenai perlunya dibiasakan mengembangkan kemampuan berpikir kritis, yakni: (1) tuntutan zaman yang menghendaki warga negara dapat mencari, memilih, dan menggunakan informasi untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara; (2) setiap warga negara senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga dituntut mampu berpikir kritis dan kreatif; (3) kemampuan memandang sesuatu dengan cara yang berbeda dalam memecahkan masalah; dan (4) berpikir kritis merupakan aspek


(9)

6

dalam memecahkan permasalahan secara kreatif agar peserta didik dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan bangsa lain.

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk dikembangkan. Ironisnya kemampuan berpikir kritis siswa bahkan mahasiswa masih kurang. Hal ini bisa dilihat dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh Maulana (2007) yang melaporkan bahwa nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa program D2 PGSD kurang dari 50% dari skor maksimal. Senada dengan pernyataan tersebut Mayadiana (2005) melaporkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai 36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA, 26,62% untuk mahasiswa berlatar belakang non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan mahasiswa.

Berkenaan dengan berpikir kritis, O’Daffer dan Theonquist (dalam Suryadi, 2005) menyatakan bahwa siswa sekolah menengah kurang menunjukkan hasil yang memuaskan dalam akademik yang menuntut kemampuan berpikir kritis. Hasil penelitian Priatna (2003) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa SMP di Bandung hanya mencapai sekitar 49% dari skor ideal.

Kusumah (2008) menyatakan kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, dan produktif dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika di sekolah, yang menitikberatkan pada sistem, struktur, konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan unsur lainnya. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Menurut


(10)

Ennis (1985), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat.

Kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikir matematis yang perlu dimiliki oleh setiap siswa dalam menghadapi berbagai permasalahan. Kusumah (2008) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis, sebagai bagian dari kemampuan berpikir matematis, amat penting, mengingat dalam kemampuan ini terkandung kemampuan memberikan argumentasi, menggunakan silogisme, melakukan inferensi, melakukan evaluasi, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam bentuk produk atau pengetahuan baru yang memiliki ciri orisinalitas.

Dari kenyataan itu, untuk membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa terhadap konsep matematika khususnya geometri dengan baik, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele. Keunggulan pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika adalah dapat meningkatkan kebiasaan siswa dalam hal memonitor, mengontrol dan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya. Siswa dibiasakan untuk mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, “Apa yang diketahui? Apa yang akan dicari? Apa


(11)

8

yang akan dilakukan? Strategi mana yang paling baik? Apakah langkah-langkah yang telah ditempuh benar? Di bagian mana terdapat kesalahan? Bagaimana upaya memperbaikinya?” Pertanyaan-pertanyaan metakognitif seperti itu merupakan pertanyaan yang mengarahkan siswa terhadap kemampuan untuk memberikan penjelasan dengan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan, mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi dan akhirnya dapat memutuskan suatu tindakan. Ciri-ciri tersebut merupakan indikator dari kemampuan berpikir kritis yang harus dimiliki oleh siswa. Maka pembelajaran dengan pendekatan metakognitif diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Teori Van Hiele merupakan salah satu teori yang peduli terhadap pembelajaran geometri, dimana teori Van Hiele menyatakan bahwa dalam pembelajaran geometri siswa harus melalui tahap-tahap: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi dan akurasi. Pada tiga tahap yang pertama, siswa dituntut mampu mengenali bentuk-bentuk geometri dan mengenali sifat-sifatnya dan mampu menyatakan hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Tahap-tahap Van Hiele yang harus dikuasai oleh siswa merupakan Indikator-indikator tentang kemampuan mengobservasi, mempertimbangkan hasil observasi, memberikan penjelasan, menganalisis argumen dan tindakan mengidentifikasi kesamaan, dimana indikator-indikator tersebut merupakan indikator dari kemampuan berpikir kritis. Penulis yakin jika keunggulan pendekatan metakognitif diterapkan dalam pembelajaran matematika khususnya


(12)

dalam pembelajaran geometri dengan situasi dan kondisi berorientasikan teori Van Hiele, maka pembelajaran yang diterapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Dari uraian di atas, penulis terdorong untuk mengadakan penelitian, dengan judul “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif Berorientasi Teori Van Hiele”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah penulis uraikan, dapat dikemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara siswa kelompok tinggi, sedang dan rendah yang belajar melalui pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele?

3. Bagaimana sikap siswa terhadap geometri, proses pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele, dan soal-soal yang mengukur kemampuan berpikir kritis yang diberikan?

4. Bagaimana aktivitas siswa selama pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele?


(13)

10

5. Bagaimana pandangan guru terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dan pembelajaran biasa.

2. Mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara siswa kelompok tinggi, sedang dan rendah yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele.

3. Mengkaji sikap siswa terhadap matematika, proses pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele, dan soal-soal yang mengukur kemampuan berpikir kritis yang diberikan.

4. Mengkaji aktivitas siswa selama pembelajaran dengan pendekatan metkognitif berorientasi teori Van Hiele.

5. Mengkaji pandangan guru terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele.


(14)

D. Manfaat Penelitian

Jika hasil penelitian ini dapat mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berbasis teori Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis seluruh siswa dibandingkan dengan pembelajaran biasa bagi siswa SMP, maka:

1. Model pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele untuk siswa SMP dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran geometri dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis seluruh siswa secara klasikal.

2. Mengenalkan mekanisme yang digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele kepada calon guru dan guru matematika.

3. Dari hasil penelitian ini dapat ditelaah kecenderungan-kecenderungan terhadap matematika dan pembelajaran matematika melalui pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan pada rumusan masalah penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut:


(15)

12

1. Kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini adalah kemampuan memberikan penjelasan sederhana, kemampuan membangun keterampilan dasar dan kemampuan membuat kesimpulan:

a. Kemampuan memberikan penjelasan sederhana yaitu kemampuan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan.

b. Kemampuan membangun keterampilan dasar yaitu kemampuan mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi.

c. Kemampuan membuat kesimpulan yaitu kemampuan melakukan dan mempertimbangkan deduksi serta kemampuan membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan.

2. Pendekatan metakognitif adalah pendekatan yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol apa yang dilakukan untuk menentukan solusi dari suatu permasalahan, memfokuskan pertanyaan kepada pemahaman masalah, pengembangan hubungan antara pengetahuan yang lalu dan sekarang, penggunaan strategi penyelesaian permasalahan yang tepat, merefleksikan proses dan solusi; serta membantu siswa untuk mengembangkan konsep dirinya.

3. Teori Van Hiele adalah teori pembelajaran yang didasarkan pada perkembangan kemampuan berpikir dengan melalui tahap-tahap visualisasi, analisis, dan abstraksi:

a. Tahap visualisasi (tahap pengenalan): Pada tahap ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan.


(16)

b. Tahap analisis (tahap deskriptif): Pada tahap ini, siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun dan siswa sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri.

c. Tahap abstraksi (tahap pengurutan): Pada tahap ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antara ciri yang satu dengan ciri yang lain pada suatu bangun.

4. Pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele adalah pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol apa yang dilakukan, untuk mencapai tahap-tahap perkembangan kemampuan berpikir menurut Van Hiele.

F. Hipotesis Penelitian

Dalam upaya memecahkan masalah dalam penelitian yang dilakukan ini maka penulis menuliskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara siswa kelompok tinggi, sedang dan rendah yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele.


(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen, menurut Ruseffendi (2005) penelitian eksperimen adalah penelitian yang benar-benar dilakukan untuk melihat hubungan sebab akibat. Disain penelitian ini adalah disain eksperimen berbentuk disain kelompok kontrol pretes-postes dengan menggunakan dua kelompok. Kelompok pertama sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kedua sebagai kelompok kontrol. Semua kelompok diberi pretes dan postes. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele sedangkan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran secara biasa, dengan ilustrasi desain sebagai berikut.

A O X O

A O O

Ruseffendi (2005 ) Keterangan:

A = Pengambilan sampel secara acak menurut kelas O = Pretes = Postes

X = Pembelajaran melalui pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele.


(18)

B. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri Standar Nasional (SSN) di Cianjur. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri I Sukaluyu Cianjur, karena SMP Negeri 1 Sukaluyu Cianjur merupakan salah satu sekolah negeri standar nasional dan kondisi SMP Negeri 1 Sukaluyu Cianjur relatif sama dengan kondisi SMP Negeri SSN lainnya di Cianjur. Pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele yang digunakan dalam pembelajaran pada penelitian ini adalah mengenai geometri bidang tentang segitiga dan segiempat. Materi tersebut diberikan di kelas VII semester 2. Dari seluruh kelas VII SMP Negeri 1 Sukaluyu, dipilih dua kelas, sehingga sampelnya adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Sukaluyu Cianjur yang dipilih menurut kelas. Satu kelas sebagai kelompok eksperimen yang pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele. Sedangkan kelas lainnya sebagai kelompok kontrol yang pembelajarannya secara biasa. Alasan pemilihan sampel penelitian berdasarkan pertimbangan biasanya pembagian kelas di sekolah pada awal tahun pelajaran sudah dibagi secara merata menurut prestasi akademis, oleh karena itu penulis menggunakan dua kelas yang sudah terbentuk sebagai kelompok sampel penelitian.

C. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan beberapa macam instrumen penelitian. Instrumen-inatrumen tersebut adalah tes kemampuan berpikir kritis, angket sikap siswa, dan daftar wawancara guru.


(19)

42

1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Tes kemampuan berpikir kritis melalui pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele yang digunakan adalah berupa tes berbentuk uraian. Alasan digunakan tes berbentuk uraian, karena dengan menggunakan tes berbentuk uraian, maka proses berpikir dapat dilihat melalui langkah-langkah penyelesaian soal.

Untuk memperoleh soal tes yang baik, maka soal-soal tes tersebut diujicobakan agar dapat diketahui tingkat validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda. Dalam hal ini uji kepatutan soal tersebut dilakukan pada siswa yang pernah memperoleh bahan ajar yang disampaikan dalam penelitian. Sebelum diujicoba, soal tes dikonsultasikan kepada dosen pembimbing dan didiskusikan dengan teman-teman peneliti untuk mengetahui validitas isi materi yang diuji sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus yang yang akan diukur.

a. Validitas Instrumen

Tujuan memeriksa validitas instrumen adalah untuk melihat apakah instrumen tersebut mampu mengukur apa yang ingin diukur sehingga instrumen tersebut dapat mengungkapkan data yang ingin diukur. Menurut Ruseffendi (1994): “Suatu instrumen dikatakan valid bila instrumen itu, untuk maksud dan kelompok tertentu, mengukur apa yang semestinya diukur”. Untuk menghitung validitas butir soal digunakan rumus korelasi produk momen Pearson (dalam Ruseffendi, 1991) sebagai berikut:


(20)

2 2 2 2

( )( )

( ( ) )( ( ) )

XY

N XY X Y

r

N X X N Y Y

− =

− −

Keterangan:

XY

r = Koefisien korelasi nilai-nilai X dengan nilai-nilai Y N = banyaknya sampel data

Y = skor setiap item soal yang diperoleh siswa X = skor total seluruh item soal yang diperoleh siswa

XY

= jumlah perkalian nilai-nilai X dan Y

X

= jumlah nilai-nilai X

Y

= jumlah nilai-nilai Y 2

X

= jumlah kuadrat nilai-nilai X 2

Y

= jumlah kuadrat nilai-nilai Y

Untuk mengadakan Interpretasi mengenai besarnya koefisien korelasi menurut Suherman dan Kusumah (1990) adalah sebagai berikut:

0,80 < rXY≤ 1,00 validitas butir soal tersebut sangat tinggi 0,60 < rXY≤ 0,80 validitas butir soal tersebut tinggi 0,40 < rXY≤ 0,60 validitas butir soal tersebut sedang 0,20 < rXY≤ 0,40 validitas butir soal tersebut rendah 0,00 < rXY≤ 0,20 validitas butir soal tersebut sangat rendah rXY≤ 0,00 validitas butir soal tersebut tidak valid


(21)

44

Hasil perhitungan validitas tiap item tes uji coba, untuk mengetahui signifikansi korelasi yang didapat, selanjutnya diuji dengan menggunakan rumus uji t, yaitu :

2 2 1 hitung XY XY N t r

r

− =

− Sudjana (1992)

Keterangan:

hitung

t = daya beda uji-t N = jumlah subjek

XY

r = koefisien korelasi

Jika thitung> ttabel maka validitas butir soalnya valid. Pada N = 36 dengan taraf signifikansi 0,05 diperoleh ttabel= 1,70

Tabel 3.1 berikut adalah hasil hasil perhitungan koefisien korelasi rXY

setiap butir soal. Perhitungannya terdapat pada lampiran.

Tabel 3.1

Validitas Butir Soal Hasil Tes Uji Coba

Nomor Soal

Koefisien Korelasi

(rXY) Validitas thitung Keterangan

1 0,48 Sedang 3,20 Valid

2 0,57 Sedang 4,07 Valid

3 0,59 Sedang 4,25 Valid

4 0,65 Tinggi 4,99 Valid

5 0,48 sedang 3,15 Valid

6 0,73 Tinggi 6,26 Valid

7 0,53 Sedang 3,62 Valid

8 0,81 Sangat Tinggi 8,20 Valid

9 0,54 Sedang 3,72 Valid


(22)

b. Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas adalah tingkat konsistensi suatu tes, yaitu sejauh mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang konsisten. Suatu instrumen dikatakan reliabel, jika dalam dua kali atau lebih pengevaluasian dengan dua atau lebih instrumen yang ekivalen hasilnya akan serupa pada masing-masing pengetesan (Ruseffendi, 2005). Uji reliabilitas diperlukan untuk melengkapi syarat validnya sebuah alat evaluasi. Reliabilitas suatu tes dinyatakan dengan koefisien reliabilitas (r ), yaitu dengan jalan mencari korelasinya.

Adapun cara menghitung reliabilitas yang digunakan adalah cara Cronbach Alpha.dengan rumus sebagai berikut:

2 2 2 1 j i p j DB DB b r b DB    =   −  

(Ruseffendi, 2005) Keterangan: p

r = koefisien reliabilitas pendekatan b = banyak soal

2 j

DB = Variansi skor seluruh soal menurut skor perorangan 2

i

DB = Variansi skor soal tertentu (soal ke-i) 2

i

DB

= Jumlah variansi skor seluruh soal menurut skor soal tertentu


(23)

46

Untuk menginterpretasikan harga koefisien reliabilitas digunakan kategori perbaikan dari Guilford dalam Suherman dan Kusumah (1990) dengan kriteria :

r ≤ 0,20 = sangat rendah 0,20 <r ≤ 0,40 = rendah 0,40 <r ≤ 0,60 = sedang 0,60 <r ≤ 0,80 = tinggi 0,80 <r ≤ 1,00 = sangat tinggi

Dari hasil perhitungan, diperoleh koefisien reliabilitas r sebesar 0,80. Koefisien ini menurut Guilford tergolong reliabilitas tinggi. Perhitungannya terdapat pada lampiran C.

c. Daya Pembeda

Daya pembeda atau indeks diskriminasi menunjukkan sejauh mana setiap butir soal dapat membedakan siswa yang mampu menguasai materi pembelajaran dengan siswa yang tidak mampu menguasai materi pembelajaran. Untuk menentukan daya pembeda setiap item soal tes bentuk uraian digunakan rumus yang dikemukakan oleh To (1996) sebagai berikut :

100%

A B

p

A S S D

I

= ×

Keterangan: p

D = Indeks daya pembeda A


(24)

B

S = Jumlah skor kelompok bawah (27% kelompok bawah)

A

I = Jumlah skor ideal kelompok (atas dan bawah)

Menurut To (1996) interpretasi indeks daya pembeda adalah sebagai berikut:

Negatif – 9% Sangat Buruk 10% - 19% Buruk

20% - 29% Cukup 30% - 49% Baik

50% ke atas Sangat Baik

Tabel 3.2 berikut adalah hasil perhitungan daya pembeda setiap butir soal. Perhitungan terdapat pada lampiran C.

Tabel 3.2

Daya Pembeda Soal Hasil Tes Uji Coba Nomor

Soal Daya Pembeda Keterangan

1 21 % Cukup

2 46 % Baik

3 51 % Sangat baik

4 36 % Baik

5 35 % Baik

6 45 % Baik

7 41 % Baik

8 67 % Sangat baik

9 28 % Cukup

10 36 % Baik

d. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran suatu soal menunjukkan apakah soal tersebut tergolong soal yang sukar, sedang, atau mudah. Soal yang baik adalah soal


(25)

48

yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Untuk menghitung tingkat kesukaran soal bentuk uraian digunakan rumus yang dikemukakan oleh To (1996) sebagai berikut:

A B

A B

S S TK

I I + =

+ Keterangan:

TK = Tingkat Kesukaran

A

S = Jumlah Skor kelompok atas

B

S = Jumlah skor kelompok bawah

A

I = Jumlah skor ideal kelompok atas

B

I = Jumlah skor ideal kelompok bawah

Kriteria tingkat kesukaran yang digunakan adalah kriteria yang dikemukakan oleh Suherman dan Kusumah (1990) sebagai berikut:

TK = 0,00 = Terlalu sukar 0,00 < TK ≤ 0,30 = Sukar

0,30 < TK ≤ 0,70 = Sedang 0,70 < TK < 1,00 = Mudah

TK = 1,00 = Terlalu mudah

Tabel 3.3 berikut adalah hasil perhitungan tingkat kesukaran setiap butir soal. Perhitungan terdapat pada lampiran C.


(26)

Tabel 3.3

Tingkat Kesukaran Soal Hasil Tes Uji Coba Nomor

Soal

Tingkat

Kesukaran Keterangan

1 0,48 Sedang

2 0,64 Sedang

3 0,53 Sedang

4 0,45 Sedang

5 0,48 Sedang

6 0,58 Sedang

7 0,47 Sedang

8 0,49 Sedang

9 0,29 Sukar

10 0,26 Sukar

Dari hasil analisis tes uji coba diperoleh bahwa, validitas butir soal nomor 8 termasuk validitasnya sangat tinggi, soal nomor 4 dan 6 validitasnya tinggi ,soal nomor 1, 2, 3, 5, 7, 9, dan 10 validitasnya sedang. Sedangkan untuk reliabilitas soal tergolong tinggi, hal ini ditandai dengan diperolehnya nilai koefisien reliabilitas r sebesar 0,80. Daya pembeda soal untuk soal nomor 3 dan 8 sangat baik, soal nomor 2, 4, 5, 6, 7, dan 10 baik, sedangkan soal nomor 1 dan 9 cukup. Tingkat kesukaran soal untuk soal nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 termasuk sedang, dan untuk soal nomor 9 dan 10 termasuk sukar. Pada N = 36 dengan taraf signifikansi 0,05 diperoleh ttabel= 1,70 sehingga

hitung

t > ttabel, ini berarti seluruh soal valid, dan seluruh soal digunakan sebagai instrumen penelitian untuk pengumpulan data.


(27)

50

2. Angket Sikap Siswa

Angket sikap siswa bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berbasis teori Van Hiele dan soal-soal berpikir kritis yang diberikan. Angket sikap siswa ini meliputi: respon sikap siswa terhadap pelajaran matematika, terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif, terhadap pembelajaran berbasis teori Van Hiele dan Terhadap soal-soal kemampuan berpikir kritis. Angket yang digunakan adalah model Likert. Menurut Ruseffendi (2005) teknik skala Likert memberikan suatu nilai skala untuk tiap alternatif jawaban yang berjumlah empat kategori. Empat kategori tersebut adalah: a. Sangat setuju, b. Setuju, c. Tidak setuju, dan d. Sangat tidak setuju. Pernyataan yang mendukung sikap positif, pemberian skornya adalah: a. Sangat setuju = 4, b. Setuju = 3, c. Tidak setuju = 2, dan d. Sangat tidak setuju = 1. Sedangkan pernyataan yang mendukung sikap negatif, pemberian skornya adalah: a. Sangat setuju = 1, b. Setuju = 2, c. Tidak setuju = 3, dan d. Sangat tidak setuju = 4.

Skala sikap ini diberikan setelah pelaksanaan tes akhir pada kelompok eksperimen.

Skala sikap dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan jawaban responden. Langkah-langkah penentuan skala untuk setiap item adalah sebagai berikut:

1) menghitung banyaknya responden untuk setiap opsi.


(28)

3) Menghitung presentase kumulatif berdasarkan pada sikap positif atau negatif.

4) Menghitung nilai Z daftar untuk setiap opsi.

5) Menghitung nilai Z daftar + (-Z terendah) untuk setiap opsi. 6) Pembulatan nilai Z

Setelah skala ditentukan, kemudian diuji validitas itemnya dengan menggunakan rumus:

(

)

(

)

(

)

2 2

1

a b

b a b

a

X X t

X X X X

n n − =

− + −

Keterangan: t = koefisien validitas a

X = rata-rata kelompok unggul b

X = rata-rata kelompok asor (bawah)

n = banyaknya subjek

3. Panduan Wawancara Guru

Panduan wawancara guru bertujuan untuk mengetahui pendapat guru terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dan soal-soal untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa. Wawancara dilakukan secara informal dan bersifat terbuka. Wawancara informal bertujuan menciptakan hubungan antara pewawancara dengan


(29)

52

informan dalam situasi biasa, bebas dan wajar. Wawancara terbuka dimaksudkan untuk mengurangi variasi-variasi yang terjadi antara informan, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadi bias.

4. Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa

Lembar pengamatan aktivitas siswa digunakan untuk mengumpulkan semua data tentang aktivitas siswa dalam pembelajaran. Lembar pengamatan aktivitas siswa berisi tentang keadaan siswa dalam memperhatikan penjelasan guru, menjawab pertanyaan pada bahan ajar, diskusi antar siswa atau dengan guru, mengerjakan soal latihan, membuat catatan/rangkuman sendiri, dan prilaku siswa yang tidak sesuai/diharapkan. Instrumen lembar pengamatan aktivitas siswa diisi oleh observer, yakni oleh guru matematika selain peneliti. Lembar pengamatan aktivitas siswa yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran B.

D. Sistem Penskoran

Untuk memperoleh data yang objektif dari hasil penilaian tes kemampuan berpikir kritis, maka diperlukan sistem penskoran yang proporsional untuk setiap item soal dari instrumen tes. Sistem penskoran untuk tes kemampuan berpikir kritis, ditetapkan sebagai berikut.


(30)

Tabel 3.4

Sistem Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kritis

No Indikator Kemampuan Berpikir

Kritis yang Diukur

Nomor Soal Nilai Maksimum Skor Total 1

Memberikan penjelasan sederhana dengan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan.

1a 2

10

1b 2

1c 2

1d 2

1e 2

2 Mengobservasi dan

mempertimbangkan hasil observasi

2a 5

10

2b 5

3

Membuat kesimpulan dengan membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan.

3a 4

10

3b 4

3c 2

4

Membangun keterampilan dasar dengan mengobservasi dan

mempertimbangkan hasil observasi

4a 2

10

4b 2

4c 2

4d 2

4e 2

5

Membangun keterampilan dasar dengan mengobservasi dan

mempertimbangkan hasil observasi

5a 4

10

5b 4

5c 2

6 Memberikan penjelasan sederhana dengan menganalisis argumen

6a 5

10

6b 5

7

Memberikan penjelasan sederhana dengan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan.

7a 3

10

7b 4

7c 3

8

Membuat kesimpulan dengan melakukan dan mempertimbangkan deduksi.

8a 5

10

8b 5

9

Memberikan penjelasan sederhana dengan memfokuskan pertanyaan, dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan.

9a 5

10

9b 5

10

Memberikan penjelasan sederhana dengan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan

10a 2

10

10b 2

10c 2

10d 2

10e 2


(31)

54

E. Bahan Ajar

Bahan ajar dalam penelitian ini mengenai konsep segitiga dan segiempat berdasarkan kurikulum SMP 2007. Alasan pemilihan konsep segitiga dan segiempat dalam penelitian ini, karena konsep segitiga dan segiempat merupakan konsep geometri bidang datar yang dapat memenuhi tuntutan teori Van Hiele. Selain itu alasan lain adalah agar penelitian ini dapat disesuaikan dengan jadwal pembelajaran di sekolah. Beberapa bahan ajar yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah:

1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana pelaksanaan pembelajaran dalam penelitian ini dikembangkan oleh peneliti sendiri. Rencana pelaksanaan pembelajaran tersebut dikonsultasikan dulu dengan dosen pembimbing untuk mengetahui kesesuaian bahan ajar dengan model pembelajaran yang akan digunakan.

2. Lembar Kerja Siswa

Lembar kerja siswa dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kontekstual yang harus diisi oleh siswa pada lembar itu juga. Pertanyan-pertanyaan pada lembar kerja siswa dirancang, disusun dan dikembangkan sesuai dengan pendekatan metakognitif yang akan diterapkan dalam pembelajaran, serta melalui pertimbangan dosen pembimbing.


(32)

F. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan dilakukan dengan beberapa kegiatan, yaitu mengidentifikasi masalah penelitian, pembuatan proposal penelitian, mengikuti seminar proposal, dan perbaikan proposal hasil seminar.

2. Tahap Pembuatan dan Uji Coba Instrumen, serta Pembuatan Bahan Ajar

Pada tahap ini peneliti menyusun instrumen penelitian berupa tes kemampuan berpikir kritis dan skala sikap siswa. Setelah pemeriksaan instrumen oleh pembimbing, kemudian dilakukan uji coba instrumen. Hasil uji coba tersebut kemudian dianalisis. Dari hasil analisis dipilih item-item tes yang memenuhi validitas dan reliabilitas, selanjutnya instrumen siap untuk dipergunakan sebagai alat ukur. Selain itu peneliti menyusun perangkat pembelajaran, bahan ajar, dan alat peraga yang akan digunakan dalam pembelajaran di kelas eksperimen.

3. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini dilakukan kegiatan-kegiatan berikut : memilih SMP dan menetapkan populasi dan sampelnya; mengurus surat ijin penelitian; memperkenalkan model pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele kepada guru-guru matematika dan desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian; membuat kesepakatan


(33)

56

bersama dengan guru matematika yang akan terlibat dalam penelitian, mengenai waktu dan jadwal pelajaran. Sebelum pelaksanaan pembelajaran terlebih dahulu diadakan pretes kemampuan berpikir kritis untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran.

Kegiatan selanjutnya adalah pemberian materi, setelah kegiatan pembelajaran selesai dilakukan postes berpikir kritis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, dengan tujuan untuk melihat hasil belajar siswa setelah diberi perlakuan. Penyebaran angket skala sikap dilakukan pada pertemuan terakhir pembelajaran selesai kepada siswa kelas eksperimen. Lembar pengamatan aktivitas siswa dilakukan dalam setiap pembelajaran pada kelas eksperimen, dibantu oleh dua orang observer. Dalam setiap dua kali pembelajaran, untuk siswa kelas eksperimen diminta untuk mengisi lembar wawancara secara tertulis untuk mengetahui tentang tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif.

4. Tahap analisis data

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data (data yang diperoleh dari pretes, postes, angket skala sikap dan wawancara guru), kemudian dianalisis untuk menguji dan menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Dilanjutkan dengan pembuatan laporan hasil penelitian.


(34)

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu sebagai berikut:

1. Tes tulis kemampuan berpikir kritis diberikan sebelum dan sesudah proses pembelajaran terhadap seluruh siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. 2. Skala sikap diberikan kepada seluruh siswa kelas eksperimen dan

diberikan setelah seluruh proses pembelajaran selesai dilaksanakan.

3. Lembar pengamatan aktivitas siswa diisi oleh observer yaitu guru matematika yang bertugas mengamati setiap aktivitas yang dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajaran.

4. Wawancara guru dilakukan dengan guru matematika yang menjadi guru model dan dilakukan setelah seluruh proses pembelajaran selesai dilaksanakan.

H. Teknik Analisis Data

Berdasarkan teknik pengumpulan data, ada dua jenis data yang diperoleh, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Sehingga teknik penganalisaannya melalui dua jalur pula, yaitu jalur kuantitatif dan jalur kualitatif.

1. Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif adalah analisis uji statistik. Statistik yang digunakan pengujian data dalam penelitian ini adalah uji perbedaan rerata


(35)

58

dengan menggunakan SPSS-16. Proses pengujiannya melalui tahapan-tahapan uji prasyarat sebagai berikut:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menentukan apakah data yang kita peroleh berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak.

Langkah-langkah dalam pengujian normalitas dengan menggunakan SPSS-16 adalah sebagai berikut:

Merumuskan hipotesis, yaitu:

0

H : Data berasal dari populasi berdistribusi normal

A

H : Data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal i) Menentukan level of significance. Diambil nilai α sebesar 0,05

ii) Menentukan uji statistik dengan uji non parametrik one-sample kolmogorov-smirnov pada taraf konfidensi 95%.

iii) Menentukan kriteria pengujian, yaitu daerah terima untuk H0 dan daerah tolak untuk H0.

Kriteria pengujian dengan menggunakan SPSS-16 adalah: jika P-Value (Sig) > α, maka H0 diterima. Dan Jika P-Value (Sig) ≤ α , maka H0 ditolak.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas ditujukan untuk mengetahui apakah dua buah distribusi atau lebih pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki variansi-variansi yang sama atau tidak. Uji homogenitas


(36)

menggunakan uji variansi dua buah peubah bebas karena sampel yang diselidiki saling bebas.

Berikut ini langkah-langkah yang akan dilakukan dalam uji homogenitas dengan menggunakan SPSS-16 adalah:

1. Merumuskan hipotesis

0

H : σ12 =σ22, varians kedua kelompok berasal dari populasi yang homogen.

A

H : σ12 ≠σ22, varians kedua kelompok berasal dari populasi yang tidak homogen.

2. Menentukan tingkat keberartian α sebesar 0,05

3. Menentukan uji statistik dengan menggunakan uji Levene dalam One-way Anova atau dalam Independen Sample t-test pada taraf konfidensi 95%.

4. Menentukan kriteria pengujian, yaitu daerah terima untuk H0 dan daerah tolak untuk H0.

Kriteria pengujian dengan menggunakan SPSS-16 adalah: jika P-Value (Sig) > α, maka H0 diterima. Dan Jika P-Value (Sig) ≤ α ,


(37)

60

c. Uji Hipotesis

1. Uji Perbedaan Dua Rerata

Uji perbedaan dua rerata digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan rerata hasil tes kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji perbedaan dua rerata dilakukan terhadap data hasil postes kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Berikut langkah-langkah yang dilakukan dalam uji perbedaan dua rerata tersebut:

a. Merumuskan hipotesis

0: 1 2

H µ µ=

1 2

: A

H µ µ>

b. Menentukan taraf keberartian α =0, 05 c. Menentukan uji statistik

Jika data berdistribusi normal dan homogen, maka digunakan uji-t dengan uji Independent Sample t-test, tetapi apabila data berdistribusi tidak normal, maka pengujiannya menggunakan uji non-parametrik untuk dua sample yang saling bebas pengganti uji-t yaitu uji Mann-Whitney.

d. Menentukan kriteria pengujian, yaitu daerah terima untuk H0 dan daerah tolak untuk H0.

Kriteria pengujian dengan menggunakan SPSS-16 adalah: jika P-Value(Sig 1-tailed) > α, maka H0 diterima. Dan Jika P-Value(Sig 1-tailed) ≤ α, maka H0 ditolak.


(38)

Dengan P-Value (Sig 1-tailed) = P-Value (Sig 2-tailed)

2 (Whidiarso, tidak ada tahun)

2. Perhitungan Gain Ternormalisasi

Perhitungan gain ternormalisasi digunakan untuk mengetahui sejauhmana peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa selama proses pembelajaran. Rumus yang digunakan untuk menghitung gain ternormalisasi adalah:

( )

max

postT preT

N g

T preT

− =

− (Hake dalam Mulyati, 2007) Keterangan:

( )N g= Gain ternormalisasi postT = Skor postes

preT = Skor pretes maxT = Skor maksimal

Kriteria mengenai besarnya gain ternormalisasi adalah sebagai berikut: g ≥ 0,7 = Gain tinggi

0,3 < g < 0,7 = Gain sedang g ≤ 0,3 = Gain rendah

3. Anova Satu Jalur

Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis pada kelompok eksperimen antara subkelompok rendah, sedang dan


(39)

62

tinggi dilakukan uji perbedaan tiga rerata dengan menggunakan anova satu jalur. Berikut langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menguji perbedaan rerata:

i) Merumuskan hipotesis

1 2 3

: o

H µ µ= =µ

A

H : Paling tidak ada satu kelompok yang reratanya berbeda dari yang lain

ii) Menentukan tingkat keberartian α sebesar 0,05

iii) Menentukan uji statistik dengan menggunakan One-way Anova pada taraf konfidensi 95%.

iv) Kriteria pengujian

Kriteria pengujian dengan menggunakan SPSS-16 adalah: jika P-Value (Sig) > α, maka H0 diterima. Dan Jika P-Value (Sig) ≤ α ,

maka H0 ditolak.

Melalui uji perbedaan rerata ini, kita dapat melihat apakah ketiga subkelompok (rendah, sedang dan tinggi) memiliki kemampuan berpikir kritis yang serupa atau tidak secara sinifikan setelah diberi perlakuan.

ANOVA hanya melihat ada tidak adanya perbedaan rerata, tidak sampai mengetahui mana yang berbeda signifikan.jika diantara ketiga subkelompok diketahui ada perbedaan, dan variansinya homogen maka untuk melihat mana yang berbeda dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji Scheffe (Ruseffendi, 2005).


(40)

4. Uji Scheffe

Uji Scheffe merupakan uji lanjutan untuk melihat perbedaan rerata yang telah dilakukan dengan ANOVA satu-jalur. Berikut langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menguji perbedaan rerata:

i) Merumuskan hipotesis

0

H : Tidak terdapat perbedaan rerata antara kedua kelompok populasi.

A

H : Terdapat perbedaan rerata antara kedua kelompok populasi. ii) Menentukan tingkat keberartian α sebesar 0,05

iii) Menentukan uji statistik dengan menggunakan uji Scheffe pada One-way Anova.

vi) Menentukan kriteria pengujian

Kriteria pengujian dengan menggunakan SPSS-16 adalah: jika P-Value (Sig) > α, maka H0 diterima. Dan Jika P-Value (Sig) ≤ α ,

maka H0 ditolak.

2. Analisis Kualitatif

a. Analisis Data Skala Sikap Siswa

Data yang dikumpulkan dari skala sikap kemudian dianalisis dengan mengunakan rumus sebagi berikut:

100% f

P n = × Keterangan:


(41)

64

f = Frekuensi jawaban

n= Banyak responden

Menurut Kuntjaraningrat (Maulana,2007) interpretasi persentase jawaban siswa adalah sebagai berikut:

P= 0 % = Tak seorang pun 0 % <P< 25 % = Sebagian kecil 25 % <P< 50 % = Hampir setengahnya

P= 50 % = Setengahnya 50 % <P< 75 % = Sebagian besar 75 % ≤ P< 100 % = Hampir seluruhnya

P= 100 % = Seluruhnya

b. Analisis Data Pengamatan Aktivitas Siswa

Analisis data pengamatan aktivitas siswa bertujuan untuk mengetahui kadar aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Data hasil observasi disajikan dalam bentuk tabel dan diagram untuk mempermudah pembacaan.

c. Analisis Data Hasil Wawancara Guru

Analisis data hasil wawancara guru bertujuan untuk mengungkapkan pandangan guru terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele, dan untuk


(42)

mengetahui kelebihan dan kekurangan model pembelajaran yang digunakan sesuai dengan pandangan guru tersebut.


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini ditunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele baik untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok sedang, terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok rendah, dan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele.


(44)

3. Sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele sangat baik dan menunjukkan kecenderungan yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh rerata skor sikap siswa di atas rerata netral. Pada umumnya siswa merasa senang dan tertarik dengan pembelajaran melalui pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele. Ketertarikan siswa terhadap pembelajaran tersebut, dimungkinkan karena pembelajaran berorientasi teori Van Hiele lebih disesuaikan dengan tahap berpikir siswa. Di samping itu siswa merasa terbimbing dengan pertanyaan-pertanyaan metakognitif yang diajukan guru, karena siswa diberi kesempatan untuk bertanya pada diri sendiri dan merefleksikan hasil pemikirannya. Sikap siswa terhadap soal-soal kemampuan berpikir kritis pada umumnya sangat baik. Hal ini ditunjukkan oleh rerata skor sikap siswa melebihi rerata netral.

4. Pendapat guru yang berpartisipasi dalam penelitian ini, terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele sangat baik. Guru tersebut tertarik untuk menggunakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dalam pembelajaran matematika khususnya pembelajaran geometri selanjutnya. Selain itu, guru tersebut berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis siswa perlu ditingkatkan, dan pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.


(45)

103

B. Saran

Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk memonitor pemahamannya dengan bertanya pada diri sendiri dan terlibat secara aktif dalam menemukan, dan merumuskan konsep-konsep matematika khususnya geometri. Bagi guru, pembelajaran melalui pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele hendaknya digunakan dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Saat ini pembelajaran matematika di sekolah pada umumnya masih menggunakan pembelajaran biasa. Kepada guru maupun calon guru matematika: pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele hendaknya digunakan dalam pembelajaran matematika khususnya pembelajaran geometri.

3. Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang merupakan bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hendaknya ada peneliti lain yang mencoba menerapkan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele ini dalam upaya meningkatkan kemampuan matematika tingkat tinggi lainnya.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Crowley, Mary L (1987). "The van Hiele Model of the Development of Geomemc Thought." dalam Learning and Teaching Gemretry, K-12, 1987 Yearbook of the National Council of Teachersof Mathematics (NCTM), edited by Mary Montgomery Lindquist, Hal.1-16. Reston, Va.: National Council af Teachers af Mathematics, 1987.

Departemen Pendidikan Nasional (2003). Kurikulum Standar Kompetensi

Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah.

Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional (2006). Contoh/Model Silabus Mata Pelajaran

Matematika Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas.

Ennis, Robert H. (1996). Critical Thinking. University of Illinois : Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ 07458

Ennis, Robert H. (1985). Practical Strategies for the Direct Teaching of Thinking Skill. In A.L. Costa (ed) Developping Mind: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria : ASCD, 43 -45

Fahinu (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian Belajar Matematika pada Mahasiswa melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Kusumah, Y. (2008). Konsep Pengembangan dan Implementasi Computer-Based

Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Thinking.

Bandung: UPI Bandung.

Karno To. (1996). Mengenal Analisis Tes. Bandung: FIP IKIP Bandung.

Liliasari (1996). Beberapa Pola Pikir dalam Pembentukan Pengetahuan Kimia oleh Siswa SMA. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Liliasari (2000). Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis untuk

Mempersiapkan Calon Guru IPA Memasuki Era Globalisasi. Dalam

Proceeding National Science and Mathematics Education Seminar, Science and Mathematics Education Development in Global Era.

Yogyakarta: JICA-IMSTEP FMIPA UNY.

Mayadiana, D (2005). Pembelajaran dengan Pendekatan Diskursif untuk

Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru SD.


(47)

105

Maulana, (2007). Alternatif Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa PGSD. Tesis SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Mullis, I.V.S., et.al. (2003). TIMSS 2003 International Mathematics Report. Lynch School of Education. Boston College. http://timss.bc.edu/PDF/t03_ download/T03INTLMATRPT.pdf (diakses 6 Maret 2007)

Mulbar, U (2007). Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah

Matematika. Matematika FMIPA UNM Makassar. http://unm

makassar.edu/Document/download (diakses 6 November 2008)

Mulyati, T (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis siswa dalam Matematik melalui Reciprocal Teaching. Tesis pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Nindiasari. H, (2004). Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU Ditinjau dari Perkembangan Kognitif Siswa. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Priatna, N (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas III SLTP di Kota Bandung. Disertasi pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Purniati, T (2004). Pembelajaran Geometri Berdasarkan Tahap-Tahap Awal Van Hiele dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Rohayati, A (2005). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam

Matematika melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual. Tesis

pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: IKIP Bandung

Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito


(48)

Ruseffendi, E.T. (1994). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi. Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Common Textbook JICA, Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA: UPI Bandung.

Suherman dan Kusumah (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi

Pendidikan Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah.

Sudjana (1992). Metoda Statistika. Bandung: Sinar Baru.

Suryadi,D (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Suzana. Y, (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMU melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Syukur. M, (2004). Pengembangan Kemampuan berpikir Kritis Siswa SMU

melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis

pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Wilen, W.W. dan Phillips, J.A. (1995). Teaching Critical Thinking: A Metacognitive Approach. Articles [Online].

Tersedia: http//rumutha.ru.funfie. de Teaching-Critical Thinking, pdf. (diakses 31 Januari 2009)

Whidiarso W (tidak ada tahun). Membaca Angka pada SPSS. UJI Hipotesis Komparatif(Uji-t).[Online].Tersedia: http // elisa.ugm.ac.id / files / wahyu /Lebih%20mesra%20 dengan%20Uji-t.pdf. (diakses 30 Juni 2009) Wahab,A.A (1996). Pendidikan PPKN. Jakarta: Depdikbud

Wikimedia commons (tidak ada tahun). Make_a_tangram. GNU Free DocumentationLicense.Tersedia: http: //upload.wikimedia.org/wikipedia

/commons/thumb/7/7a/Tangram-man.svg/400px-tangram-man,svg.png

(diakses 25 juni 2009)

Young Zones. (1987) Van Hiele Levels [Online] Tersedia:


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini ditunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele baik untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok sedang, terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok rendah, dan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele.


(2)

3. Sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele sangat baik dan menunjukkan kecenderungan yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh rerata skor sikap siswa di atas rerata netral. Pada umumnya siswa merasa senang dan tertarik dengan pembelajaran melalui pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele. Ketertarikan siswa terhadap pembelajaran tersebut, dimungkinkan karena pembelajaran berorientasi teori Van Hiele lebih disesuaikan dengan tahap berpikir siswa. Di samping itu siswa merasa terbimbing dengan pertanyaan-pertanyaan metakognitif yang diajukan guru, karena siswa diberi kesempatan untuk bertanya pada diri sendiri dan merefleksikan hasil pemikirannya. Sikap siswa terhadap soal-soal kemampuan berpikir kritis pada umumnya sangat baik. Hal ini ditunjukkan oleh rerata skor sikap siswa melebihi rerata netral.

4. Pendapat guru yang berpartisipasi dalam penelitian ini, terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele sangat baik. Guru tersebut tertarik untuk menggunakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dalam pembelajaran matematika khususnya pembelajaran geometri selanjutnya. Selain itu, guru tersebut berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis siswa perlu ditingkatkan, dan pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.


(3)

103

B. Saran

Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk memonitor pemahamannya dengan bertanya pada diri sendiri dan terlibat secara aktif dalam menemukan, dan merumuskan konsep-konsep matematika khususnya geometri. Bagi guru, pembelajaran melalui pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele hendaknya digunakan dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Saat ini pembelajaran matematika di sekolah pada umumnya masih menggunakan pembelajaran biasa. Kepada guru maupun calon guru matematika: pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele hendaknya digunakan dalam pembelajaran matematika khususnya pembelajaran geometri.

3. Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang merupakan bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hendaknya ada peneliti lain yang mencoba menerapkan pendekatan metakognitif berorientasi teori Van Hiele ini dalam upaya meningkatkan kemampuan matematika tingkat tinggi lainnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Crowley, Mary L (1987). "The van Hiele Model of the Development of Geomemc Thought." dalam Learning and Teaching Gemretry, K-12, 1987 Yearbook of the National Council of Teachersof Mathematics (NCTM), edited by Mary Montgomery Lindquist, Hal.1-16. Reston, Va.: National Council af Teachers af Mathematics, 1987.

Departemen Pendidikan Nasional (2003). Kurikulum Standar Kompetensi Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional (2006). Contoh/Model Silabus Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas.

Ennis, Robert H. (1996). Critical Thinking. University of Illinois : Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ 07458

Ennis, Robert H. (1985). Practical Strategies for the Direct Teaching of Thinking Skill. In A.L. Costa (ed) Developping Mind: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria : ASCD, 43 -45

Fahinu (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian Belajar Matematika pada Mahasiswa melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Kusumah, Y. (2008). Konsep Pengembangan dan Implementasi Computer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Thinking. Bandung: UPI Bandung.

Karno To. (1996). Mengenal Analisis Tes. Bandung: FIP IKIP Bandung.

Liliasari (1996). Beberapa Pola Pikir dalam Pembentukan Pengetahuan Kimia oleh Siswa SMA. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Liliasari (2000). Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis untuk Mempersiapkan Calon Guru IPA Memasuki Era Globalisasi. Dalam Proceeding National Science and Mathematics Education Seminar, Science and Mathematics Education Development in Global Era. Yogyakarta: JICA-IMSTEP FMIPA UNY.

Mayadiana, D (2005). Pembelajaran dengan Pendekatan Diskursif untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru SD. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.


(5)

105

Maulana, (2007). Alternatif Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa PGSD. Tesis SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Mullis, I.V.S., et.al. (2003). TIMSS 2003 International Mathematics Report. Lynch School of Education. Boston College. http://timss.bc.edu/PDF/t03_ download/T03INTLMATRPT.pdf (diakses 6 Maret 2007)

Mulbar, U (2007). Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika. Matematika FMIPA UNM Makassar. http://unm makassar.edu/Document/download (diakses 6 November 2008)

Mulyati, T (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis siswa dalam Matematik melalui Reciprocal Teaching. Tesis pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Nindiasari. H, (2004). Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU Ditinjau dari Perkembangan Kognitif Siswa. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Priatna, N (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas III SLTP di Kota Bandung. Disertasi pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Purniati, T (2004). Pembelajaran Geometri Berdasarkan Tahap-Tahap Awal Van Hiele dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Rohayati, A (2005). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Matematika melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: IKIP Bandung

Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito


(6)

Ruseffendi, E.T. (1994). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi. Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Common Textbook JICA, Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA: UPI Bandung.

Suherman dan Kusumah (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah.

Sudjana (1992). Metoda Statistika. Bandung: Sinar Baru.

Suryadi,D (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Suzana. Y, (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMU melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Syukur. M, (2004). Pengembangan Kemampuan berpikir Kritis Siswa SMU melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Wilen, W.W. dan Phillips, J.A. (1995). Teaching Critical Thinking: A Metacognitive Approach. Articles [Online].

Tersedia: http//rumutha.ru.funfie. de Teaching-Critical Thinking, pdf. (diakses 31 Januari 2009)

Whidiarso W (tidak ada tahun). Membaca Angka pada SPSS. UJI Hipotesis Komparatif(Uji-t).[Online].Tersedia: http // elisa.ugm.ac.id / files / wahyu /Lebih%20mesra%20 dengan%20Uji-t.pdf. (diakses 30 Juni 2009) Wahab,A.A (1996). Pendidikan PPKN. Jakarta: Depdikbud

Wikimedia commons (tidak ada tahun). Make_a_tangram. GNU Free Documentation License.Tersedia: http: //upload.wikimedia.org/wikipedia /commons/thumb/7/7a/Tangram-man.svg/400px-tangram-man,svg.png (diakses 25 juni 2009)

Young Zones. (1987) Van Hiele Levels [Online] Tersedia: