PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SQUARE UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA DAN MENGETAHUI PROFIL KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI LISAN SISWA SMP.

(1)

vi DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Batasan Masalah... 8

D. Variabel Penelitian ... 9

E. Definisi Operasional ... 9

F. Tujuan Penelitian ... 10

G. Populasi dan Sampel Penelitian ... 11

BAB II MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK- PAIR-SQUARE, PENGUASAAN KONSEP FISIKA DAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI LISAN ... 12

A. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think-Pair-Square ... 12

B. Penguasaan Konsep Fisika ... 16


(2)

vii

D. Hubungan Model Pembelajaran Kooperatif dengan Penguasaan

Konsep dan Keterampilan Beromunikasi Lisan ... 22

E. Hasil Penelitian yang Relevan ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

A. Metode Penelitian ... 27

B. Desain Penelitian ... 28

C. Prosedur Penelitian... 29

D. Teknik Pengumpulan Data ... 31

E. Teknik Analisis Instrumen Penelitian ... 33

F. Teknik Pengolahan Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Pelaksanaan Penelitian ... 43

B. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square ... 44

C. Analisis dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN ... 77


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi kurikulum, tetapi banyak juga yang mengemukakan bahwa pembelajaran itu sendiri merupakan kurikulum sebagai kegiatan. Sejak tahun 2006 kurikulum yang berlaku di Indonesia adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, disingkat dengan KTSP. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikemukakan oleh pusat kurikulum Balitbang Depdiknas (2006: 377) yang menyatakan bahwa mata pelajaran IPA di SMP bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1) Meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2) Mengembangkan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, konsep dan prinsip IPA yang bermanfaat; 3) Mengembangkan sikap positif dan kesadaran terhadap adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat; 4) Melakukan inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah; 5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan; 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan keteraturannya, dan; 7) Meningkatkan pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.

Berkaitan dengan mata pelajaran fisika yang tergabung dalam rumpun IPA, KTSP menyatakan bahwa :

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk


(4)

memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitar. (Depdiknas, 2006:377).

Sejalan dengan pernyataan diatas, Anita Lie (2007: 5) yang mengemukakan teori, penelitian dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membuktikan bahwa guru dan dosen sudah harus mengubah paradigma pengajaran, pendidik perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan beberapa pokok pikiran, yaitu:

1) Pengetahuan ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa; 2) Siswa membangun pengetahuan secara aktif; 3) Pengajar perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa, dan 4) pendidik memerlukan interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa.

Dari uraian di atas tampak bahwa penyelenggaraan pembelajaran fisika dalam KTSP diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk melatih kemampuan berpikir, penguasaan pengetahuan, konsep, prinsip fisika, dan keterampilan melalui pengembangan kompetensi yang dimiliki siswa, berdasarkan fakta-fakta dari suatu proses penemuan. Agar proses pembelajaran fisika dapat benar-benar berperan seperti demikian, maka penerapan pembelajaran IPA-Fisika di kelas menuntut keterlibatan siswa secara aktif dalam mengembangkan potensinya secara optimal. Namun, kenyataan di lapangan siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemukan masalah dalam kehidupan sehari-hari, hal ini menyebabkan hasil belajar IPA-Fisika siswa masih rendah. Bahkan tidak sedikit siswa yang kurang mampu mengkomunikasikan pengetahuan dan pengalamannya dalam memperoleh pengajaran di sekolah, akibat kurang adanya latihan dan dorongan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat.


(5)

Rendahnya hasil belajar IPA-Fisika juga terjadi di salah satu SMP di Kabupaten Bandung Barat. Hal ini sejalan dengan hasil studi pendahuluan pembelajaran fisika di SMP tersebut. Studi pendahuluan ini dibuktikan dengan surat keterangan telah melakukan studi pendahuluan nomor 421/654-SMP.3/2010 dan dapat dilihat pada lampiran G.3. Dalam studi pendahuluan yang telah dilakukan, teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, kuesioner, wawancara dengan guru mata pelajaran IPA dan studi dokumentasi. instrumen studi pendahuluan dapat dilihat pada lampiran A.1.

Setelah dilakukan analisis terhadap data-data hasil studi pendahuluan tersebut diperoleh informasi sebagai berikut:

1. Dari hasil observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas diperoleh informasi bahwa proses pembelajaran yang dilakukan di kelas lebih sering didominasi oleh guru. Guru lebih menekankan pada penyampaian materi pembelajaran secara utuh dengan sesekali melemparkan pertanyaan kepada siswa, namun hanya dua orang siswa yang berani untuk menjawab pertanyaan guru, kebanyak siswa yang lain hanya diam saja dan disela-sela guru menyampaikan materi guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya, namun hanya ada satu orang siswa yang bertanya, dan tidak terjadi diskusi sesama siswa. Berdasarkan data dan analisis data hasil observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, peneliti menyimpulkan bahwa metode pembelajaran yang digunakan guru adalah metode ceramah, tanya jawab. Peneliti juga berpendapat bahwa pembelajaran kurang interaktif, karena selama pembelajaran jarang terjadi interaksi antara siswa


(6)

dengan guru. Hasil observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dapat dilihat pada lampiran A.2.a dan A.3.a.

2. Dari hasil penyebaran angket diperoleh informasi: pertama, 54,1% siswa (responden) menyatakan bahwa pelajaran fisika banyak rumus. Kedua, 59,5% siswa (responden) menyatakan bahwa ketika pembejaran fisika mereka jarang bertanya. Ketiga, 51,4% siswa (responden) menyatakan bahwa ketika pembejaran fisika mereka jarang berdiskusi. Keempat, 59,5% siswa (response) menyatakan bahwa ketika pembejaran fisika mereka jarang mengemukakan pendapat. Dan kelima, 67,6% siswa (responden) menyatakan bahwa cara pembelajaran dikelas saat belajar fisika dengan metode ceramah. Berdasarkan data dan analisis data hasil angket, peneliti menyimpulkan bahwa selama pembelajaran kegiatan kooperatif siswa masih lemah dan keterampilan siswa dalam berkomunikasi lisan masih kurang. Selain itu juga mayoritas siswa menyatakan bahwa cara pembelajaran fisika yang sering dilakukan guru adalah metode ceramah. Hasil angket dan analisisnya dapat dilihat pada lampiran A.2.b dan A.3.b.

3. Dari hasil wawancara dengan guru diperoleh informasi bahwa hasil belajar siswa untuk mata pelajaran IPA-Fisika masih masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan perolehan nilai rata-rata ulangan harian IPA-Fisika salah satu kelas sebesar 59,17 dan sebanyak 51,3% dari keseluruhan siswa kelas VII yang ada di sekolah tersebut mendapatkan nilai ulangan harian IPA-Fisika di bawah KKM kompetensi dasar yang diujikan yaitu sebesar 60 (data nilai ulangan harian siswa


(7)

dapat dilihat pada lampiran A.4). Selain itu juga, dari hasil wawancara ini diperoleh informasi bahwa siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep-konsep fisika yang kebanyakan bersifat abstrak. Kendala guru untuk melakukan eksperimen atau demonstrasi adalah karena keterbatasan alat, waktu, biaya serta belum memiliki laboratorium sendiri. Berdasarkan data dan analisis data hasil wawancara dan dokumen, peneliti menyimpulkan bahwa hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA-Fisika di sekolah tersebut masih rendah. Peneliti menduga salah satu penyebab rendahnya hasil belajar siswa adalah proses pembelajaran yang belum tepat, dalam pembelajaran guru jarang melakukan eksperimen atau demontrasi. Hasil analisis wawancara dan dokumen nilai ulangan harian siswa dapat dilihat pada lampiran A.2.c., A.3.c, dan A.4.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti beranggapan bahwa hasil belajar siswa rendah dan kegiatan kooperatif siswa lemah. Hal ini menjadi indikator rendahnya penguasaan konsep fisika dan kurangnya keterampilan berkomunikasi lisan siswa. rendahnya penguasaan konsep fisika dan kurangnya keterampilan berkomunikasi lisan siswa diduga karena proses pembelajaran yang dilaksanaan belum tepat. Kebanyakan metode yang digunakan guru dalam mengajar adalah ceramah dan tanya jawab, sehingga pembelajaran kurang interaktif.

Mengacu pada data dan fakta hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, ada peluang untuk meneliti bagaimana meningkatkan penguasaan konsep fisika dan profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Salah satu alternatif yang diharapkan dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan


(8)

siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang memberikan ruang gerak yang cukup bagi siswa untuk mengembangkan segala potensi serta keterampilan yang ada dalam dirinya.

Saat ini telah banyak dikembangkan model pembelajaran yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran serta pengembangan kemampuan berpikir dan keterampilan siswa, salah satunya yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square.

Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square merupakan salah satu teknik yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Dalam model pembelaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square, guru membagi kelompok secara heterogen yang beranggotakan empat

orang dan menentukan pasangan diskusi, pemberian tugas yang sama kepada setiap siswa, siswa mengerjakan tugas secara individu (fase think), siswa berdiskusi dengan pasangan dalam kelompoknya (fase pair), selanjutnya kedua pasangan berdiskusi dalam satu kelompok (fase square) (Lie, 2007: 58). Dalam tahapan

Think-Pair-Square, siswa akan lebih banyak berdiskusi, baik pada saat berpasangan, dalam

kelompok berempat, maupun dalam diskusi kelas, sehingga akan lebih banyak ide yang dikeluarkan siswa dan akan lebih mudah untuk merekontruksi pengetahuannya. Dari setiap tahapan pada model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square, diharapkan penguasaan konsep fisika siswa meningkat menjadi lebih baik dan siswa terdorong untuk aktif dalam diskusi dan pemecahan masalah secara bersama, sehingga dapat melatih keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Hal ini dikarenakan


(9)

proses pembelajaran memberikan peluang kepada siswa agar mau mengemukakan dan membahas suatu pandangan serta memiliki motivasi yang tinggi karena dorongan dan dukungan rekan sebaya.

Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian ini diberi judul: “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika dan Mengetahui Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa SMP”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, permasalahan pada penelitian ini adalah “Bagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika dan mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa?”. Agar penelitian lebih terarah, maka permasalahan diatas dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana peningkatan penguasaan kosep fisika siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square?

2. Bagaimana profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square?

3. Bagaimana efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa?


(10)

C. Batasan Masalah

Untuk memfokuskan masalah yang akan di kaji, dalam penelitian ini dibatasi pada permasalahan:

1. Peningkatan penguasaan konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif menurut taksonomi Bloom yang hanya meliputi hafalan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), dan analisis (C4). Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep yang terjadi dilihat dari gain ternormalisasi hasil

pretest dan posttest tiap pertemuan.

2. Profil keterampilan berkomunikasi lisan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prosentase keterampilan siswa dalam mengajukan pertanyaan, menyampaikan pendapat, menanggapi pendapat dan menyampaikan hasil diskusi kelompok dalam setiap pertemuan.

3. Efektivitas pembelajaran dalam penelitian ini adalah efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatan penguasaan konsep fisika siswa. Efektivitas pembelajaran ditunjukkan oleh skor rata-rata gain yang dinormalisasi hasil pretest dan posttest setiap pertemuan dengan kategori minimal sedang.

D. Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti meliputi dua variabel, yaitu:

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerapan pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square.


(11)

2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan.

E. Definisi operasional

1. Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square merupakan model pembelajaran yang menggunakan kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4 orang yang dalam proses pembelajarannya dilakukan melalui 4 fase, yaitu fase pemberian masalah, fase Think (berpikir), fase Pair (berbagi berpasangan), dan fase Square (berempat) (Lie, 2007:58). Keterlaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square akan diukur dengan menggunakan lembar observasi terhadap kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran dilaksanakan. 2. Penguasaan konsep dimaksudkan sebagai tingkatan dimana seorang siswa tidak

sekedar mengetahui konsep-konsep fisika, melainkan benar-benar memahaminya dengan baik, yang ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan, baik yang terkait dengan konsep itu sendiri maupun penerapannya dalam situasi baru. Penguasaan konsep yang dimaksud adalah kemampuan kognitif menurut taksonomi Bloom (Munaf, 2001: 68) yang dibatasi pada aspek hafalan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), dan analisis (C4). Penguasaan konsep akan diukur dengan pretest dan posttest setiap pertemuan. 3. Keterampilan berkomunikasi lisan yang dimaksud dalam penelitiann ini adalah

kemampuan siswa dalam mengungkapkan satu gagasan, ide atau konsep fisika secara lisan yang dapat dilakukan dengan cara tanya-jawab, mengemukakan


(12)

pendapat dan melakukan presentasi. Keterampilan berkomunikasi lisan akan diukur dengan menggunakan lembar observasi yang memuat indikator-indikator. 4. Efektivitas pembelajaran yang dimaksud adalah efektivitas pembelajaran

kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatan penguasaan konsep fisika siswa. Efektivitas ditunjukkan oleh skor rata-rata gain yang dinormalisasi hasil

pretest dan posttest setiap pertemuan.

F. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika dan mengetahui

profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Jika dijabarkan, maka tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peningkatan penguasaan kosep fisika siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square?

2. Untuk mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square?

3. Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa?


(13)

G. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di sebuah SMP yang berada di Kabupaten Bandung Barat tahun pelajaran 2010/2011, sedangkan sampelnya adalah sejumlah siswa di salah satu kelas dari keseluruhan populasi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive

sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Arikunto,

2006: 139-140). Adapun pertimbangan yang dimaksud berkaitan dengan keterbatasan peneliti yang tidak bisa melakukan sampling secara acak di sekolah tempat penelitian, karena pihak sekolah tidak mengizinkan formasi kelas yang telah terbentuk diacak-acak.


(14)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dikemukakan secara berurutan hasil penelitian yang diperoleh dari penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square pada konsep kalor.

A. Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini, sampel diberi perlakuan (treatment) yaitu berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square guna meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dilakukan dalam tiga pertemuan. Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep fisika siswa, maka pada setiap pertemuan dilakukan pengambilan data. Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep fisika siswa dilakukan tes pilihan ganda berupa tes objektif sebelum diberikan perlakuan (pretest) dan sesudah diberikan perlakuan (posttest).

Dalam penelitian ini dari tiap pertemuan dibantu oleh sembilan orang observer. Empat observer yang bertindak untuk mengobservasi relevansi aktivitas siswa dan aktivitas guru dengan fase-fase dalam model kooperatif tipe Think-Pair-Square. Observasi relevansi aktivitas siswa dan guru ini dilakukan berkaitan dengan keterlaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square di setiap pertemuan. Sedangkan lima observer lainnya yang bertindak untuk mengobservasi keterampilan berkomunikasi lisan siswa selama diberikan perlakuan disetiap pertemuan.


(15)

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di salah satu SMP yang berada di Kabupaten Bandung Barat, dengan mengambil populasi seluruh siswa kelas VII SMP tersebut, dan sampelnya adalah sejumlah siswa di salah satu kelas dari keseluruhan populasi. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square yang dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan. Ketiga pertemuan ini disesuaikan dengan jadwal pelajaran fisika di kelas, yaitu dilakukan dalam dua minggu karena sampel penelitian yaitu sebanyak dua kali setiap minggu. Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Senin tanggal 22 November 2010 membahas tentang kalor dan pengaruh kalor terhadap perubahan suhu suatu zat, pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Senin tanggal 29 November 2010 pada pertemuan kedua ini membahas tentang peran kalor terhadap perubahan wujud zat, dan pertemuan ketiga dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 30 November 2010 membahas tentang perpindaha kalor. Kegiatan penelitian ini dibuktikan dengan surat keterangan telah melaksanakan penelitian Nomor 421/723-SMP.3/2010 dan dapat dilihat pada lampiran G.7. Adapun perangkat pembelajaran untuk ketiga pertemuan yaitu RPP, skenario pembelajaran, soal test, format observasi keterampilan komunikasi lisan siswa, dan format keterlaksanaan model pembelajaran dapat dilihat pada lampiran B.1, lampiran B.2, lampiran B.3, lampiran D.1.b., lampiran D.2.b, lampiran D.3.b, lampiran D.4, dan lampiran D.5.

B. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square Keterlaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dapat dianalisis secara kuantitatif yang datanya diperoleh dari observasi aktivitas


(16)

siswa dan aktivitas guru, yaitu persentase relevansi aktivitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran.

Relevansi aktivitas guru dan siswa menggambarkan seberapa jauh guru dan siswa telah menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square. Format observasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran D.5.a dan lampiran D.5.b.

1. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan I

Secara keseluruhan aktivitas guru dan siswa pada pertemuan I belum menunjukkan hasil yang cukup baik, karena keterlaksanaan kegiatan pembelajaran belum tercapai sepenuhnya. Hal ini bisa dilihat dari aktivitas guru pada kegiatan pendahuluan dari model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square baru terlaksana 85,7%, untuk kegiatan inti baru terlaksana terlaksana 83,3%, sedangkan pada kegiatan penutup baru terlaksana 66,7%, sehingga persentase rata-rata aktivitas guru saat pembelajaran pada pertemuan I sebesar 80,9%. Sedangkan untuk aktivitas siswa pada kegiatan pendahuluan dari model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square baru terlaksana 78,6%, untuk kegiatan inti baru terlaksana terlaksana 86,7%, sedangkan pada kegiatan penutup baru terlaksana 66,7%, sehingga persentase rata-rata aktivitas siswa saat pembelajaran pada pertemuan I sebesar 82%. Relevansi aktivitas guru dan siswa ini berkaitan dengan keterlaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square saat pembelajaran, sehingga persentase rata-rata aktivitas guru dan siswa yang diperoleh menunjukkan keterlaksanaan model pembelajaran yang diterapkan.


(17)

Keterlaksanaan kegiatan pembelajaran pada pertemuna I tidak sepenuhnya tercapai, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penggunaan waktu yang kurang efisien, materi ajar pada pertemuan I ini cukup banyak, guru dan murid masih belum terbiasa dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam pembelajaran. Hal tersebut menjadi catatan perbaikan pada pertemuan berikutnya.

2. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan II

Secara keseluruhan aktivitas guru dan siswa pada pertemuan II sudah menunjukkan hasil yang cukup baik jika dibandingkan dengan pertemuan I. Hal ini bisa dilihat dari aktivitas guru pada kegiatan pendahuluan dari model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square sudah terlaksana 100%, untuk kegiatan inti sudah terlaksana terlaksana 91,7%, sedangkan pada kegiatan penutup sama dengan pertemuan I baru terlaksana 66,7%, sehingga persentase rata-rata aktivitas guru saat pembelajaran pada pertemuan II sebesar 88,9%. Sedangkan untuk aktivitas siswa pada kegiatan pendahuluan dari model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square sudah terlaksana 100%, untuk kegiatan inti sama dengan pertemuan I baru terlaksana terlaksana 90%, sedangkan pada kegiatan penutup juga sama dengan pertemuan I baru terlaksana 66,7%, sehingga persentase rata-rata aktivitas siswa saat pembelajaran pada pertemuan II sebesar 87,8%. Relevansi aktivitas guru dan siswa ini berkaitan dengan keterlaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square saat pembelajaran,


(18)

sehingga persentase rata-rata aktivitas guru dan siswa yang diperoleh menunjukkan keterlaksanaan model pembelajaran yang diterapkan.

Keterlaksanaan kegiatan pembelajaran pada pertemuna II masih belum sepenuhnya tercapai, walaupun pada kegiatan pendahuluan sudah terlaksana 100%, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penggunaan waktu yang masih kurang efisien, walaupun materi ajar pada pertemuan II terbilang tidak terlalu banyak, akan tetapi pada saat pelaksanaannya guru masih belum bisa melaksanakan tahapan dari model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dengan sistematis Hal tersebut menjadi catatan perbaikan pada pembelajaran berikutnya.

3. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan III

Berdasarkan hasil observasi aktivitas guru dan siswa, secara keseluruhan aktivitas guru dan siswa pada pertemuan III telah menunjukkan hasil yang baik. Secara keseluruhan aktivitas guru dan siswa pada kegiatan pendahuluan, tahapan inti, dan tahapan penutup dari model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square sudah terlaksana 100%. Sehingga persentase relevansi keterlaksanaan model pembelajaran pada pertemuan III ini sebesar 100%. Pengaturan waktu untuk pertemuan III ini sudah teratur, selain itu dalam hal keterlaksanaan kegiatan pembelajarannya guru dan siswa sudah bisa melaksanakan tahapan dari model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dengan sistematis. Berdasarkan catatan ini dapat disimpulkan bahwa guru dan siswa sudah cukup terbiasa dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square.


(19)

Adapun rekapitulasi mengenai persentase relevansi aktivitas guru dan siswa dalam melaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square tiap pertemuannya ditunjukkan pada tabel 4.1 dan tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.1

Persentase Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square oleh Guru

Aktivitas Tahap

Pembelajaran Tahapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square Prosentase Keterlaksanaan pada Pertemuan I (%) II (%) III (%) Guru

Pendahuluan Penyajian Masalah 85,7 100 100 Inti

Think 66,7 66,7 100

Pair 100 100 100

Square 100 100 100

Diskusi 66,7 100 100

Penutup Evaluasi 66,7 66,7 100

Rata-rata 80,9 88,9 100

Tabel 4.2

Persentase Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square oleh Siswa

Aktivitas Tahap

Pembelajaran Tahapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square Prosentase Keterlaksanaan pada Pertemuan I (%) II (%) III (%) Siswa

Pendahuluan Penyajian Masalah 78,6 100 100 Inti

Think 80 60 100

Pair 100 100 100

Square 100 100 100

Diskusi 66,7 100 100

Penutup Evaluasi 66,7 66,7 100

Rata-rata 82 87,8 100

Berikut ini diagram batang yang menunjukan persentase keterlaksanaan model untuk setiap pertemuan.


(20)

Gambar 4.1

Diagram Keterlaksanaan Model setiap Pertemuan C. Analisis dan Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa hasil temuan. Temuan yang diperoleh yaitu skor pretest dan posttest untuk diolah dan dianalisis untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep fisika siswa, data observasi keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk diolah dan dianalisis untuk mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Pembahasan terperinci mengenai hasil penelitian yang diperoleh saat pembelajaran pada setiap pertemuan adalah sebagai berikut.

1. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa setiap Pertemuan

Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep fisika siswa saat pembelajaran pada setiap pertemuan digunakan data hasil pretest-posttest.

Persentase Keterlaksanaan Model setiap Pertemuan

P

er

se

n

ta

se

K

et

er

la

k

sa

n

aa

n

80,9 82

88,9 87,8

100 100


(21)

Pembahasan terperinci mengenai peningkatan penguasaan konsep fisika siswa saat pembelajaran pada setiap pertemuan adalah sebagai berikut.

a. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan I

Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep siswa sebelum dan sesudah diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam pembelajaran, maka skor pretest dan posttest yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Perhitungan selengkapnya mengenai data preetest dan posttest pertemuan I dapat dilihat pada lampiran E.2.

Berdasarkan perhitungan skor pretest dan posttest saat pembelajaran pada pertemuan I secara garis besar diperoleh skor minimum (Xmin), skor maksimum (Xmaks), nilai skor rata-rata ( ), gain dan gain ternormalisasi <g> seperti ditunjukkan tabel 4.3:

Tabel 4.3

Rekapitulasi Skor Tes Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan I

Tes Xideal Xmin Xmaks Gain <g> Kategori

Pretest 10 1,67 7,50 4.33

2,18 0,37 Sedang posttest 10 3,33 10,00 6.50

Bila skor rata-rata pretest dan posttest siswa disajikan dalam bentuk diagram batang, maka akan terlihat rerata peningkatan penguasaan konsep siswa yang diperoleh pada pertemuan I seperti Gambar 4.2 berikut:


(22)

Gambar 4.2

Diagram Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan I Berdasarkan Tabel 4.3 dan Gambar 4.2 di atas, terlihat bahwa skor rata-rata posttest siswa lebih besar daripada skor rata-rata-rata-rata pretest-nya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa setelah treatment yang berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diberikan. Hal tersebut diindikasikan dari adanya peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa yang meningkat. Adapun peningkatan penguasaan konsep fisika siswa pada pertemuan I ini ditunjukkan oleh gain ternormalisasi yang besarnya 0,37 dengan kategori sedang. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.2.

Selanjutnya, peneliti juga meninjau profil peningkatan tiap jenjang kognitif yang menjadi aspek penguasaan konsep dalam penelitian ini. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penguasaan konsep fisika dalam penelitian ini merupakan kemampuan kognitif siswa dalam mengingat (C1), memahami (C2),

4,33

6,50

R

at

a-ra

ta

S

k

o


(23)

mengaplikasikan (C3), dan menganalisis (C4) konsep-konsep fisika dalam pokok bahasan kalor. Namun sebelum meninjau profil peningkatan keempat jenjang kognitif tersebut, peneliti jelaskan terlebih dahulu distribusi aspek kognitif dalam tes penguasaan konsep fisika pada pertemuan I ini, yaitu satu soal untuk jenjang kognitif C1, enam soal untuk jenjang kognitif C2, dua soal untuk jenjang kognitif C3, dan tiga soal untuk jenjang kognitif C4.

Setelah dilakukan analisis data untuk tiap aspek kognitif dalam pertemuan I diperoleh hasil seperti pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4

Profil Peningkatan Prestasi Belajar setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan I

Jenjang Pretest Posttest <g> Kategori

Pengetahuan (C1) 0,11 0,69 0,66 Sedang Pemahaman (C2) 3,19 4.44 0,45 Sedang Penerapan (C3) 0,44 0,94 0,32 Sedang

Analisis (C4) 1,47 1,72 0,16 Rendah

Apabila Tabel 4.4 di atas disajikan ke dalam bentuk diagram, maka diperoleh hasil seperti gambar berikut:


(24)

Gambar 4.3

Diagram Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan I Berdasarkan Gambar 4.3 di atas, terlihat bahwa setiap jenjang kognitif mengalami peningkatan. Jenjang kognitif C1 (ingatan) mengalami peningkatan sebesar 0,66 atau 66% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sementara itu, jenjang kognitif C2 (pemahaman) mengalami peningkatan sebesar 0,45 atau 45% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Untuk C3 (aplikasi) mengalami peningkatan sebesar 0,32 atau 32% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sedangkan untuk jenjang kognitif C4 (analisis) mengalami peningkatan sebesar 0,16 atau 16% dan jenjang ini termasuk pada kategori rendah. Perhitungan selengkapnya mengenai profil peningkatan setiap jenjang kognitif pada pertemuan I dapat dilihat pada lampiran E.3.a.

0,11 0,69

3,19 4,44

0,44 0,94

1,47 1,72

Profil Peningkatan setiap Jenjang Kognitif padaPertemuan I

Jenjang Kognitif

R

a

ta

-r

a

ta

S

k

o


(25)

b. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan II

Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep siswa sebelum dan sesudah diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam pembelajaran, maka skor pretest dan posttest yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Perhitungan selengkapnya mengenai data pretest dan posttest pertemuan II dapat dilihat pada lampiran E.2

Berdasarkan perhitungan skor pretest dan posttest saat pembelajaran pada pertemuan II secara garis besar diperoleh skor minimum (Xmin), skor maksimum (Xmaks), nilai rata-rata ( ), gain dan gain ternormalisasi <g> seperti ditunjukkan tabel 4.5:

Tabel 4.5

Rekapitulasi Skor Tes Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan II

Tes Xideal Xmin Xmaks Gain <g> Kategori

Preetest 10 1,67 7,50 4,79

2,85 0,55 Sedang posttest 10 5,83 10,00 7,64

Bila skor rata-rata pretest dan posttest siswa disajikan dalam bentuk diagram batang, maka akan terlihat rerata peningkatan penguasaan konsep siswa yang diperoleh pada pertemuan II seperti Gambar 4.4 berikut:


(26)

Gambar 4.4

Diagram Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan II Seperti halnya pada pertemuan I, pada pertemuan II pun skor rata-rata posttest siswa lebih besar daripada skor rata-rata pretest-nya (dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.4). Pada pertemuan II ini skor rata-rata pretest siswa sebesar 4,79 dan posttest-nya sebesar 7,64. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa setelah treatment yang berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diberikan. Sedangkan adanya peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa mengindikasikan telah terjadi peningkatan penguasaan konsep fisika siswa. Adapun besarnya peningkatan penguasaan konsep fisika siswa pada pertemuan II ini ditunjukkan oleh gain ternormalisasi yang besarnya 0,55 dengan kategori sedang. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.2.

Seperti pada pertemuan I, peneliti juga meninjau profil peningkatan tiap jenjang kognitif yang menjadi aspek penguasaan konsep. Namun sebelumnya

4,79

7,64

R

at

ai

ra

ta

S

k

o


(27)

peneliti memaparkan terlebih dahulu distribusi aspek kognitif dalam tes penguasaan konsep fisika pada pertemuan II ini, yaitu tiga soal untuk jenjang kognitif C1, limasoal untuk jenjang kognitif C2, dua soal untuk jenjang kognitif C3, dan dua soal untuk jenjang kognitif C4.

Setelah dilakukan analisis data untuk tiap aspek kognitif dalam pertemuan II diperoleh hasil seperti pada tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6

Profil Peningkatan Prestasi Belajar setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan II

Jenjang Pretest Posttest <g> Kategori

Pengetahuan (C1) 2,17 2,64 0,57 Sedang Pemahaman (C2) 2,44 3,78 0,52 Sedang Penerapan (C3) 0,53 1,31 0,51 Sedang

Analisis (C4) 0,61 1,44 0,60 Sedang

Apabila Tabel 4.6 di atas disajikan ke dalam bentuk diagram, maka diperoleh hasil seperti gambar berikut:

2,17 2,64

9 2,44

3,78

0,53 1,31

0,61 1,44

Profil Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan II

Jenjang Kognitif

R

a

ta

-r

a

ta

S

k

o


(28)

Gambar 4.5

Diagram Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan II Berdasarkan Gambar 4.5 di atas, terlihat bahwa setiap jenjang kognitif mengalami peningkatan. Jenjang kognitif C1 (ingatan) mengalami peningkatan sebesar 0,57 atau 57% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sementara itu, jenjang kognitif C2 (pemahaman) mengalami peningkatan sebesar 0,52 atau 52% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Untuk C3 (aplikasi) mengalami peningkatan sebesar 0,51 atau 51% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sedangkan untuk jenjang kognitif C4 (analisis) mengalami peningkatan sebesar 0,60 atau 60% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Perhitungan selengkapnya mengenai profil peningkatan setiap jenjang kognitif pada pertemuan II dapat dilihat pada lampiran E.3.b

c. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan III Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep siswa sebelum dan sesudah diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam pembelajaran, maka skor pretest dan posttest yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Perhitungan selengkapnya mengenai data pretest dan posttest pertemuan III dapat dilihat pada lampiran E.2.

Berdasarkan perhitungan skor pretest dan posttest saat pembelajaran pada pertemuan III secara garis besar diperoleh skor minimum (Xmin), skor maksimum (Xmaks), nilai rata-rata ( ), gain dan gain ternormalisasi <g> seperti ditunjukkan tabel 4.7:


(29)

Tabel 4.7

Rekapitulasi Skor Tes Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan III

Tes Xideal Xmin Xmaks Gain <g> Kategori

Pretest 10 0.83 7,50 3,87

3,31 0,56 Sedang posttest 10 5.00 10,00 7,18

Bila skor rata-rata pretest dan posttest siswa disajikan dalam bentuk diagram batang, maka akan terlihat rerata peningkatan penguasaan konsep siswa yang diperoleh pada pertemuan III seperti Gambar 4.6 berikut:

Gambar 4.6

Diagram Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan III Sama halnya dengan pertemuan I dan II, pada pertemuan III pun skor rata-rata posttest siswa lebih besar daripada skor rata-rata-rata-rata pretest-nya (dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa setelah treatment yang berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diberikan. Sedangkan peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa mengindikasikan peningkatan penguasaan konsep fisika siswa. Adapun besarnya

3,87

R

at

a-ra

ta

S

k

o

r


(30)

peningkatan penguasaan konsep fisika siswa ditunjukkan oleh gain ternormalisasi yang besarnya 0,56 dengan kategori sedang. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.2.

Seperti pada pertemuan I dan II, peneliti juga meninjau profil peningkatan tiap jenjang kognitif yang menjadi aspek penguasaan konsep. Distribusi aspek kognitif dalam tes penguasaan konsep fisika pada pertemuan III ini, yaitu empat soal untuk jenjang kognitif C1, empat soal untuk jenjang kognitif C2, tiga soal untuk jenjang kognitif C3, dan satu soal untuk jenjang kognitif C4.

Setelah dilakukan analisis data untuk tiap aspek kognitif dalam pertemuan III diperoleh hasil seperti pada tabel 4.8 berikut:

Tabel 4.8

Profil Peningkatan Prestasi Belajar setiap Jenjang Kognitif

Jenjang Pretest Posttest <g> Kategori

Pengetahuan (C1) 1,44 2,86 0,55 Sedang Pemahaman (C2) 1,94 2,92 0,47 Sedang Penerapan (C3) 0,89 1,86 0,68 Sedang

Analisis (C4) 0,36 0,97 0,96 Tinggi

Apabila Tabel 4.8 di atas disajikan ke dalam bentuk diagram, maka diperoleh hasil seperti gambar berikut:


(31)

Gambar 4.7

Diagram Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan III Berdasarkan Gambar 4.7 di atas, terlihat bahwa tiap jenjang kognitif mengalami peningkatan. Jenjang kognitif C1 (ingatan) mengalami peningkatan sebesar 0,55 atau 55% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sementara itu, jenjang kognitif C2 (pemahaman) mengalami peningkatan sebesar 0,47 atau 47% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Untuk C3 (aplikasi) mengalami peningkatan sebesar 0,68 atau 68% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sedangkan untuk jenjang kognitif C4 (analisis) mengalami peningkatan sebesar 0,96 atau 96% dan jenjang ini termasuk pada kategori tinggi. Perhitungan selengkapnya mengenai profil peningkatan tiap jenjang kognitif pada pertemuan III dapat dilihat pada lampiran E.3.c.

2. Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa setiap Pertemuan

Untuk mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa saat pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diterapkan pada setiap pertemuan

1,44 2,86

1,94 2,92

0,89 1,86

0,36 0,97

Profil Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan III

Jenjang Kognitif

R

a

ta

-r

a

ta

S

k

o


(32)

digunakan data hasil observasi keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Keterampilan berkomunikasi lisan siswa yang dinilai meliputi keterampilan mengajukan pertanyaan (A), keterampilan menyampaikan pendapat (B), keterampilan menanggapi pendapat (C), dan keterampilan menyampaikan hasil diskusi kelompok (D). Pembahasan terperinci mengenai peningkatan keterampilan berkomunikasi lisan siswa pada setiap pertemuannya adalah sebagai berikut. a. Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan I

Pertemuan I dilaksanakan pada hari Senin tanggal 22 November 2010, materi yang dipelajari mengenai kalor dan pengaruh kalor terhadap perubahan suhu suatu zat. Data yang diperoleh dari observer kemudian diolah untuk mendapatkan prosentase nilai rata-rata yang kemudian ditafsirkan berdasarkan kriteria pada tabel 3.8. untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.4.a.

Berikut ini disajikan tabel rekapitulasi data hasil observasi setelah dikonsversi ke dalam bentuk persentase dan telah ditafsirkan berdasarkan kriteria:

Tabel 4.9

Rekapitulasi Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan I

Hasil Indikator Keterampilan Berkomunikasi Lisan

A B C D

Σ Skor Total 62 58 59 54

Jumlah Siswa 34 30 30 18

Σ Skor Ideal 144 144 144 144

Persentase (%) 43,03 40,28 40,97 37,50

Kategori Rendah Rendah Rendah Rendah

Berdasarkan tabel 4.9 didapatkan mengenai data keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk setiap indikator. Setelah melakukan perhitungan


(33)

diperoleh data untuk masing-masing indikator keterampilan berkomunikasi lisan siswa pada pertemuan I.

Untuk indikator A (mengajukan pertanyaan) memperoleh persentase skor total terhadap skor ideal P sebesar 43,03% dan termasuk ke dalam kategori rendah. Untuk indikator A, ada 34 siswa (94,4%) yang mengajukan pertanyaan selama treatment model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diterapkan dalam pembelajaran. Jika kita bandingkan skor total terhadap skor ideal P dengan persentase siswa yang mengajukan pertanyaan sebesar 94,4 %, hasilnya jauh lebih kecil. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat mengajukan pertanyaan, masih kurang tepat dan kurang jelas dalam penyampaiannya, walaupun pertanyaanya sudah sesuai dengan materi yang dibahas. Keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk indikator B (menyampaikan pendapat) termasuk ke dalam kategori rendah dengan P sebesar 40,28%. Pada indikator B ada 30 siswa (83,3%) yang menyampaikan pendapat selama pembelajaran berlangsung. Jika kita bandingkan persentase P lebih kecil dibandingkan dengan persentase siswa yang menyampaikan pendapat. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat menyampaikan pendapatnya sebagian kecil sudah tepat, tetapi masih kurang jelas dalam penyampainnya. Keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk indikator C (menggapi pendapat) termasuk ke dalam kategori rendah dengan P sebesar 40,97%. Pada indikator C ada 30 siswa (83,3%) yang menanggapi pendapat selama pembelajaran berlangsung. Jika kita bandingkan persentase P lebih kecil dibandingkan dengan persentase siswa yang menanggapi pendapat. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat menanggapi pendapat sebagian kecil tanggapannya


(34)

sudah tepat, tetapi masih kurang jelas dalam penyampainnya. Untuk indikator D (menyampaikan hasil diskusi kelompok) termasuk ke dalam kategori rendah dengan P sebesar 37,50%. Sementara untuk banyaknya siswa yang menyampaikan hasil diskusi kelompok ada 18 siswa (50%). Pada indikator D rata-rata siswa saat menyampaikan hasil diskusi kelompok pemaparannya sesuai dan sudah tepat dengan materi yang dibahas tetapi kurang jelas dalam penyampaiannya.

Untuk lebih jelasnya persentase keterampilan berkomunikasi lisan siswa pada pertemuan pertama dapat dilihat pada diagram 4.8 berikut:

Gambar 4.8

Diagaram Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan I b. Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan II

Pertemuan II dilaksanakan pada hari Senin tanggal 29 November 2010, materi yang dipelajari mengenai peran kalor terhadap perubahan wujud zat. Data yang diperoleh dari observer kemudian diolah untuk mendapatkan persentase nilai

43,03%

40,28%

P

er

se

n

ta

se

40,93%


(35)

rata-rata yang kemudian ditafsirkan berdasarkan kriteria pada tabel 3.8. untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.4.b.

Berikut ini disajikan tabel rekapitulasi data hasil observasi setelah dikonsversi ke dalam bentuk persentase dan telah ditafsirkan berdasarkan kriteria:

Tabel 4.10

Rekapitulasi Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan II

Hasil Indikator Keterampilan Berkomunikasi Lisan

A B C D

Σ Skor Total 79 86 85 103

Jumlah Siswa 36 36 36 36

Σ Skor Ideal 144 144 144 144

Persentase (%) 54,86 59,72 59,03 71,53

Kategori Rendah Sedang Sedang Sedang

Berdasarkan tabel 4.10 terlihat, indikator A (mengajukan pertanyaan) memperoleh persentase skor total terhadap skor ideal P sebesar 54,86% dan termasuk ke dalam kategori rendah. Untuk indikator A, seluruh siswa (100%) yang mengajukan pertanyaan selama treatment model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diterapkan dalam pembelajaran. Jika kita bandingkan skor total terhadap skor ideal P dengan persentase siswa yang mengajukan pertanyaan, hasilnya jauh lebih kecil. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat mengajukan pertanyaan, masih kurang tepat dan kurang jelas dalam penyampaiannya, walaupun pertanyaanya sudah sesuai dengan materi yang dibahas. Keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk indikator B (menyampaikan pendapat) termasuk ke dalam kategori sedang dengan P sebesar 59,03%. Pada indikator B seluruh siswa (100%) yang menyampaikan pendapat selama pembelajaran berlangsung. Jika kita bandingkan persentase P lebih kecil dibandingkan dengan prosentase siswa yang menyampaikan pendapat. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat


(36)

menyampaikan pendapatnya sebagian kecil sudah tepat, tetapi masih kurang jelas dalam penyampainnya. Keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk indikator C (menggapi pendapat) termasuk ke dalam kategori sedang dengan P sebesar 59,03%. Pada indikator C seluruh siswa (100%) yang menanggapi pendapat selama pembelajaran berlangsung. Jika kita bandingkan persentase P lebih kecil dibandingkan dengan persentase siswa yang menanggapi pendapat. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat menanggapi pendapat sebagian kecil tanggapannya sudah tepat, tetapi masih kurang jelas dalam penyampainnya. Untuk indikator D (menyampaikan hasil diskusi kelompok) termasuk ke dalam kategori sedang dengan P sebesar 71,53%. Sementara untuk banyaknya siswa yang menyampaikan hasil diskusi kelompok seluruh siswa (100%). Pada indikator D rata-rata siswa saat menyampaikan hasil diskusi kelompok pemaparannya sesuai dan sudah tepat dengan materi yang dibahas tetapi kurang jelas dalam penyampaiannya.

Untuk lebih jelasnya prosentase keterampilan berkomunikasi lisan siswa pada pertemuan II dapat dilihat pada diagram 4.9 berikut:


(37)

Gambar 4.9

Diagram Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan II c. Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan III

Pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Senin tanggal 30 November 2010, materi yang dipelajari mengenai perpindahan kalor. Data yang diperoleh dari observer kemudian diolah untuk mendapatkan persentase nilai rata-rata yang kemudian ditafsirkan berdasarkan kriteria pada tabel 3.8. untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.4.c.

Berikut ini disajikan tabel rekapitulasi data hasil observasi setelah dikonsversi ke dalam bentuk persentase dan telah ditafsirkan berdasarkan kriteria:

Tabel 4.11

Rekapitulasi Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan III

Hasil Indikator Keterampilan Berkomunikasi Lisan

A B C D

Σ Skor Total 108 101 103 122

Jumlah Siswa 36 36 36 36

Σ Skor Ideal 144 144 144 144

54,86%

59,72%

P

er

se

n

ta

se

59.03%


(38)

Persentase (%) 75,00 70,14 71,53 84,72

Kategori Tinggi Sedang Sedang Tinggi

Berdasarkan tabel 4.11 terlihat, indikator A (mengajukan pertanyaan) memperoleh persentase skor total terhadap skor ideal P sebesar 75% dan termasuk ke dalam kategori rendah. Untuk indikator A, seluruh siswa (100%) yang mengajukan pertanyaan selama treatment model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diterapkan dalam pembelajaran. Jika kita bandingkan skor total terhadap skor ideal P dengan persentase siswa yang mengajukan pertanyaan, hasilnya lebih kecil. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat mengajukan pertanyaan, masih kurang kurang jelas dalam penyampaiannya, walaupun pertanyaanya sudah sesuai dan tepat dengan materi yang dibahas. Keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk indikator B (menyampaikan pendapat) termasuk ke dalam kategori sedang dengan P sebesar 70,14%. Pada indikator B seluruh siswa (100%) yang menyampaikan pendapat selama pembelajaran berlangsung. Jika kita bandingkan persentase P lebih kecil dibandingkan dengan persentase siswa yang menyampaikan pendapat. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat menyampaikan pendapatnya sebagian besar sudah tepatdan jelas dalam penyampainnya. Keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk indikator C (menggapi pendapat) termasuk ke dalam kategori sedang dengan P sebesar 71,53%. Pada indikator C seluruh siswa (100%) yang menanggapi pendapat selama pembelajaran berlangsung. Jika kita bandingkan persentase P lebih kecil dibandingkan dengan persentase siswa yang menanggapi pendapat. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat menanggapi pendapat sebagian besar tanggapannya sudah tepat dan jelas dalam penyampainnya. Untuk indikator D (menyampaikan


(39)

hasil diskusi kelompok) termasuk ke dalam kategori sedang dengan P sebesar 84,72%. Sementara untuk banyaknya siswa yang menyampaikan hasil diskusi kelompok seluruh siswa (100%). Pada indikator D rata-rata siswa saat menyampaikan hasil diskusi kelompok pemaparannya sesuai dan sudah tepat dengan materi yang dibahas tetapi kurang jelas dalam penyampaiannya.

Untuk lebih jelasnya persentase keterampilan berkomunikasi lisan siswa pada pertemuan III dapat dilihat pada diagram 4.10 berikut:

Gambar 4.10

Diagram Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan III 3. Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square setiap

Pertemuan

Di atas telah dipaparkan bahwa terdapat peningkatan penguasaan konsep fisika siswa di setiap pertemuan setelah diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square. Namun hal ini tidak serta-merta menunjukkan

75%

70,14%

P

er

se

n

ta

se

71,53%


(40)

bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa. Sebagaimana dijelaskan pada batasan masalah, bahwa pembelajaran dalam penelitian ini dikatakan efektif apabila skor rata-rata gain yang dinormalisasi berada dalam kategori minimal sedang.

Berikut akan diuraikan efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square.

a. Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan I

Efektivitas Pembelajaran untuk setiap pertemuan dihitung dengan menggunakan skor rata-rata gain yang dinormalisasi <g> berdasarkan hasil pretest-posttest untuk setiap pertemuanya. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.2. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai <g> untuk pertemuan I sebesar 0,37. Menurut interpretasi dari Hake (1998), nilai tersebut termasuk ke dalam kategori sedang.

b. Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan II

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa efektivitas pembelajaran untuk setiap pertemuan dihitung dengan menggunakan skor rata-rata gain yang dinormalisasi <g> berdasarkan hasil pretest-posttest di setiap pertemuan. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai <g> untuk pertemuan II sebesar 0,55, terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan pertemuan I yang hanya sebesar 0,37.


(41)

Adapun menurut interpretasi Hake (1998), nilai 0,55 ini termasuk ke dalam kategori sedang, sama dengan kategori efektivitas pada pertemuan I.

c. Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan III

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai <g> untuk pertemuan III sebesar 0,56, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pertemuan I, namun tidak jika dibandingkan dengan pertemuan II sebesar 0,55. Efektivitas pembelajaran untuk pertemuan III masih tergolong ke dalam kategori sedang, sama pada pertemuan I dan II.

Berikut rekapitulasi efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square pada setiap pertemuan.

Tabel 4.12

Rekapitulasi Efektivitas Pembelajaran pada setiap Pertemuan

Pertemuan Efektivitas Pembelajaran

I 0,37

II 0,55

III 0,56

Berikut disajikan pula diagram yang menunjukkan efektivitas pembelajaran pada setiap pertemuan.


(42)

Gambar 4.11

Diaram Efektivitas Model Pembelajaran setiap Pertemuan 0,37

0,55

G

ai

n

T

er

n

o

rm

al

is

as

i


(43)

72 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, secara umum dapat dikemukakan kesimpulan yang diperoleh dan saran yang dikemukakan berikut ini.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di sebuah SMP Negeri yang berada di Kabupaten Bandung Barat terhadap sejumlah siswa kelas VII mengenai penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Terjadi peningkatan penguasaan konsep fisika siswa di setiap pertemuannya setelah diterapkann model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square. Adapun secara berturut-turut peningkatan berada pada kategori sedang dengan rata-rata gain yang dinormalisasi setiap pertemuannnya sebesar 0,37 untuk pertemuan I, 0,55 untuk pertemuan II, dan 0,56 untuk pertemuan III.

2. Setelah menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square, persentase keterampilan berkomunikasi lisan siswa yang meliputi mengajukan pertanyaan, menyampaikan pendapat, menanggapi pendapat, dan menyampaikan hasil diskusi kelompok untuk pertemuan I sebesar 44,45%, pertemuan II sebesar 61,29%, dan pertemuan III sebesar 75,35%. persentase profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk setiap pertemuan berturut-turut berada pada kategori rendah, sedang, dan tinggi.


(44)

3. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa di setiap pertemuan. Adapun efektivitas pembelajaran untuk pertemuan I, pertemuan II, dan pertemuan III berturut-turut berada pada kategori sedang yaitu 0,37, 0,55, dan 0,56.

Jika ditinjau profil peningkatan setiap jenjang kognitif yang menjadi aspek penguasaan konsep untuk setiap pertemuan. Pada pertemuan I terjadi peningkatan untuk jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 0,66, memahami (C2) sebesar 0,45, dan mengaplikasikan (C3) sebesar 0,32 dengan peningkatan berturut-turut berada pada kategori sedang. Pada pertemuan II terjadi peningkatan untuk jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 0,57, memahami (C2) sebesar 0,52, mengaplikasikan (C3) sebesar 0,51, dan menganalisis (C4) sebesar 0,60 dengan peningkatan berturut-turut berada pada kategori sedang. Untuk pertemuan III peningkatan untuk jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 0,55, memahami (C2) sebesar 0,47, mengaplikasikan (C3) sebesar 0,68 dengan peningkatan berturut-turut berada pada kategori sedang, sedangkan peningkatan untuk jenjang menganalisis (C4) sebesar 0,96 dengan kategori tinggi.

B. Saran

Berdasarkan hasil temuan penelitian, berikut ini peneliti ajukan beberapa saran, diantaranya:

1. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa terjadi peningkatan penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan siswa SMP dalam tiga pertemuan. Peningkatan penguasaan konsep fisika siswa setiap pertemuan


(45)

berturut-turut berada pada kategori sedang, sedangkan untuk keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk setiap pertemuan berturut-turut berada pada kategori rendah, sedang, dan tinggi. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan terhadap penelitian yang telah dilakukan ini, sehingga diperoleh hasil yang diharapkan dalam usaha meningkatkan penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan siswa SMP.

2. Penelitian ini hanya meninjau pengaruh penerapan model pembelajaran pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square terhadap empat jenjang kognitif dan empat indikator keterampilan berkomunikasi. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan model pembelajaran pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square untuk meningkatkan jenjang kognitif dan indikator keterampilan berkomunikasi yang lainnya, sehingga dapat dilihat konsistensi pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square terhadap penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan siswa SMP.

3. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa. Efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa setiap pertemuan berturut-turut berada pada kategori sedang. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square, sehingga diperoleh hasil yang diharapkan dalam usaha meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2005, 19 September). Pembelajaran Fisika Belum Optimal. Republika [Online],1halaman.Tersedia:http://www.fisikanet.lipi.go.id/utamacgi?artikel &1174823769&20.[10 April 2010]

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta

Arikunto, Suharsimi. (2008). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga Dahar, Ratna Wilis. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Hake, R. R. (1998).Interactive Engagement Methods In Introductory Mechanics Courses.Departement of Physics, Indiana University, Bloomingtoon.[Online].Tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~sdi/IEM-2b.pdf. [7 Agustus 2010].

Kanginan, M. (2006). IPA Fisika untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga

Koes, S. (2003). Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: Universitas Negeri Malang.

Lie, Anita (2007). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.

Limba, Anastasja. (2004). Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains, Penguasaan Konsep, dan


(47)

Semangat Berkreativitas Siswa SLTP pada Konsep Perpindahan Kalor. Tesis: Tidak diterbitkan

Mulyadiana, T.S. 2000. Kemampuan Bekomunikasi Siswa Madrasah Aliyah melalui Pembelajaran Kooperatif pada Konsep Sistem Reproduksi Manusia. Tesis: Tidak diterbitkan

Munaf, S. (2001). Evaluasi Pendidikan Fisika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Panggabean, Luhut P. (1996). Penelitian Pendidikan. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.

Sagala, Syaiful (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Slavin, Robert E. (2008). Cooperative Learning (Teori Riset dan Praktik). Bandung: Nusamedia.

Syaodih, Nana. (2009) Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Tim Penyusun Universitas Pendidikan Indonesia. (2009). Pedoman Penulisan

karya Ilmiah. Bandung: Universitas pendidikan Indonesia.

Uchjana, Onong E.1999. Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(1)

71

Gambar 4.11

Diaram Efektivitas Model Pembelajaran setiap Pertemuan 0,37

0,55

G

ai

n

T

er

n

o

rm

al

is

as

i


(2)

72

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, secara umum dapat dikemukakan kesimpulan yang diperoleh dan saran yang dikemukakan berikut ini.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di sebuah SMP Negeri yang berada di Kabupaten Bandung Barat terhadap sejumlah siswa kelas VII mengenai penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Terjadi peningkatan penguasaan konsep fisika siswa di setiap pertemuannya setelah diterapkann model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square. Adapun secara berturut-turut peningkatan berada pada kategori sedang dengan rata-rata gain yang dinormalisasi setiap pertemuannnya sebesar 0,37 untuk pertemuan I, 0,55 untuk pertemuan II, dan 0,56 untuk pertemuan III.

2. Setelah menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square, persentase keterampilan berkomunikasi lisan siswa yang meliputi mengajukan pertanyaan, menyampaikan pendapat, menanggapi pendapat, dan menyampaikan hasil diskusi kelompok untuk pertemuan I sebesar 44,45%, pertemuan II sebesar 61,29%, dan pertemuan III sebesar 75,35%. persentase profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk setiap pertemuan berturut-turut berada pada kategori rendah, sedang, dan tinggi.


(3)

73

3. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa di setiap pertemuan. Adapun efektivitas pembelajaran untuk pertemuan I, pertemuan II, dan pertemuan III berturut-turut berada pada kategori sedang yaitu 0,37, 0,55, dan 0,56.

Jika ditinjau profil peningkatan setiap jenjang kognitif yang menjadi aspek penguasaan konsep untuk setiap pertemuan. Pada pertemuan I terjadi peningkatan untuk jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 0,66, memahami (C2) sebesar 0,45, dan mengaplikasikan (C3) sebesar 0,32 dengan peningkatan berturut-turut berada pada kategori sedang. Pada pertemuan II terjadi peningkatan untuk jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 0,57, memahami (C2) sebesar 0,52, mengaplikasikan (C3) sebesar 0,51, dan menganalisis (C4) sebesar 0,60 dengan peningkatan berturut-turut berada pada kategori sedang. Untuk pertemuan III peningkatan untuk jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 0,55, memahami (C2) sebesar 0,47, mengaplikasikan (C3) sebesar 0,68 dengan peningkatan berturut-turut berada pada kategori sedang, sedangkan peningkatan untuk jenjang menganalisis (C4) sebesar 0,96 dengan kategori tinggi.

B. Saran

Berdasarkan hasil temuan penelitian, berikut ini peneliti ajukan beberapa saran, diantaranya:

1. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa terjadi peningkatan penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan siswa SMP dalam tiga pertemuan. Peningkatan penguasaan konsep fisika siswa setiap pertemuan


(4)

berturut-turut berada pada kategori sedang, sedangkan untuk keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk setiap pertemuan berturut-turut berada pada kategori rendah, sedang, dan tinggi. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan terhadap penelitian yang telah dilakukan ini, sehingga diperoleh hasil yang diharapkan dalam usaha meningkatkan penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan siswa SMP.

2. Penelitian ini hanya meninjau pengaruh penerapan model pembelajaran pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square terhadap empat jenjang kognitif dan empat indikator keterampilan berkomunikasi. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan model pembelajaran pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square untuk meningkatkan jenjang kognitif dan indikator keterampilan berkomunikasi yang lainnya, sehingga dapat dilihat konsistensi pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square terhadap penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan siswa SMP.

3. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa. Efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa setiap pertemuan berturut-turut berada pada kategori sedang. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square, sehingga diperoleh hasil yang diharapkan dalam usaha meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa.


(5)

75

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2005, 19 September). Pembelajaran Fisika Belum Optimal. Republika [Online],1halaman.Tersedia:http://www.fisikanet.lipi.go.id/utamacgi?artikel &1174823769&20.[10 April 2010]

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta

Arikunto, Suharsimi. (2008). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga Dahar, Ratna Wilis. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Hake, R. R. (1998).Interactive Engagement Methods In Introductory Mechanics

Courses.Departement of Physics, Indiana University,

Bloomingtoon.[Online].Tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~sdi/IEM-2b.pdf. [7 Agustus 2010].

Kanginan, M. (2006). IPA Fisika untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga

Koes, S. (2003). Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: Universitas Negeri Malang.

Lie, Anita (2007). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.

Limba, Anastasja. (2004). Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains, Penguasaan Konsep, dan


(6)

Semangat Berkreativitas Siswa SLTP pada Konsep Perpindahan Kalor. Tesis: Tidak diterbitkan

Mulyadiana, T.S. 2000. Kemampuan Bekomunikasi Siswa Madrasah Aliyah melalui Pembelajaran Kooperatif pada Konsep Sistem Reproduksi Manusia. Tesis: Tidak diterbitkan

Munaf, S. (2001). Evaluasi Pendidikan Fisika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Panggabean, Luhut P. (1996). Penelitian Pendidikan. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.

Sagala, Syaiful (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Slavin, Robert E. (2008). Cooperative Learning (Teori Riset dan Praktik). Bandung: Nusamedia.

Syaodih, Nana. (2009) Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Tim Penyusun Universitas Pendidikan Indonesia. (2009). Pedoman Penulisan

karya Ilmiah. Bandung: Universitas pendidikan Indonesia.

Uchjana, Onong E.1999. Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Dokumen yang terkait

Upaya meningkatkan hasil belajar IPS melalui pendekatan pembelajaran kooperatif model think, pair and share siswa kelas IV MI Jam’iyatul Muta’allimin Teluknaga- Tangerang

1 8 113

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING TIPE THINK PAIR SQUARE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA

0 7 163

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STAD UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN PROSES BELAJAR FISIKA SISWA SMP KELAS VIII

0 4 178

PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SQUARE.

0 2 20

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Ekonomi Pada Siswa Kelas VII E SMP Negeri 1 Juwiring

0 0 15

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PANTUN SISWA SEKOLAH DASAR.

0 3 27

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE (TPS) DENGAN PENDEKATAN INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERFIKIR KRITIS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMP PADA KONSEP TEKANAN.

0 0 35

PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK PAIR SQUARE UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMK PADA SUB MATERI POKOK KOROSI LOGAM.

0 1 46

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DISIONS) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA.

0 1 39

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA DI SMP.

1 3 18