ANALISIS IMPLEMENTASI STRATEGI PERKULIAHAN KOLABORATIF BERBASIS MASALAH DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS,KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS, ANALISIS IMPLEMENTASI STRATEGI PERKULIAHAN KOLABORATIF BERBASIS MASALAH DALAM MENGEMBANGKAN K

(1)

xvi DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSEMBAHAN ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iii

RIWAYAT HIDUP iv

PERNYATAAN ix

KATA PENGANTAR x

ABSTRAK xiv

ABSTRACT xv

DAFTAR ISI xvi

DAFTAR TABEL xx

DAFTAR DIAGRAM xxii

DAFTAR LAMPIRAN xxiii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 17

C. Tujuan Penelitian 19

D. Manfaat Penelitian 20

E. Peristilahan 21

F. Hipotesis Penelitian 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA 25

A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis 25

B. Kemampuan Komunikasi Matematis 34

C. Keyakinan terhadap Pembelajaran Matematika 40

D. Perkuliahan Berbasis Masalah 45

1. Pengertian 45

2. Landasan Teoritis 46

3. Pembelajaran Konvensional versus PBL 48

4. Implementasi PBL 50

E. Perkuliahan Kolaboratif 54

1. Pengertian 54


(2)

xvii

3. Kooperatif versus kolaboratif 59

F. Strategi Perkuliahan Kolaboratif Berbasis Masalah 61

BAB III METODE PENELITIAN 64

A. Disain Penelitian 64

B. Subyek Penelitian 66

C. Mata Kuliah Matematika Diskret 67

D. Pengembangan Instrumen 68

1. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Kemampuan Komunikasi Matematis

69 2. Skala Keyakinan (Belief) terhadap Pembelajaran

Matematika

76

3. Panduan Wawancara 78

4. Lembar Observasi 78

E. Alat dan Bahan Ajar 79

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 81

G. Teknik Analisis Data 83

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 85

A. Hasil Penelitian 85

1. Pengaruh Strategi Perkuliahan dan Jenis Program 85

a. Deskripsi Data 85

b. Pengujian Hipotesis 88

2. Perbandingan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

100 a. Mahasiswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen 100 b. Mahasiswa Program Reguler dan Program Non

Reguler

102 3. Perbandingan Peningkatan Kemampuan Komunikasi

Matematis

104 a. Mahasiswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen 104 b. Mahasiswa Program Reguler dan Program Non

Reguler

106 4. Perbandingan Peningkatan Keyakinan terhadap

Pembelajaran Matematika


(3)

xviii a. Mahasiswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen 107 b. Mahasiswa Program Reguler dan Program Non

Reguler

116 5. Implementasi Strategi Perkuliahan Kolaboratif

Berbasis Masalah

117

B. Pembahasan 129

1. Pengaruh Strategi Perkuliahan dan Jenis Program 129 2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Mahasiswa: Kolaboratif versus Konvensional

133 3. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Mahasiswa: Program Reguler versus Program Non Reguler

138

4. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis: Kolaboratif versus Konvensional

141 5. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis:

Program Reguler versus Program Non Reguler

143 6. Peningkatan Keyakinan Mahasiswa terhadap

Pembelajaran Matematika: Kolaboratif versus Konvensional

143

7. Peningkatan Keyakinan Mahasiswa terhadap

Pembelajaran Matematika: Program Reguler versus Program Non Reguler

150

8. Interaksi antar Faktor terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

150 9. Interaksi antar Faktor terhadap Peningkatan

Kemampuan Komunikasi Matematis

151 10. Interaksi antar Faktor terhadap Peningkatan

Keyakinan terhadap Pembelajaran Matematika

152 11. Keunggulan dan kelemahan Strategi Kolaboratif

Berbasis Masalah

153

C. Keterbatasan 155

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 157


(4)

xix

B. Implikasi 160

C. Rekomendasi 161

DAFTAR PUSTAKA 165


(5)

xx DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian 65

Tabel 3.2 Subyek Penelitian 67

Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Validitas 72

Tabel 3.4 Kriteria Tingkat Reliabilitas 73

Tabel 3.5 Kriteria Tingkat Kesukaran 74

Tabel 3.6 Kriteria Daya Pembeda 75

Tabel 3.7 Ringkasan Analisis Butir Soal Uji Coba 76 Tabel 4.1 Statistik Data Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis, Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis, dan Peningkatan Keyakinan terhadap Pembelajaran Matematika

85

Tabel 4.2 Uji Levene untuk Kesamaan Ragam Galat 90

Tabel 4.3 Hasil Uji MANOVA 94

Tabel 4.4 Hasil Pengujian Pengaruh Faktor terhadap Masing-Masing Respon

96 Tabel 4.5 Statistik Data Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis (KPM) Mahasiswa Kelas Kontrol (K) dan Kelas Eksperimen (E)

100

Tabel 4.6 Rata-rata Skor Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Per Nomor Soal untuk Kelas Kontrol (K) dan Kelas Eksperimen (E)

101

Tabel 4.7 Statistik Data Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis (KPM) Mahasiswa Program Reguler (R) dan Non Reguler (NR)

102

Tabel 4.8 Rata-rata Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Per Nomor Soal Mahasiswa Kelas Reguler (R) dan Non Reguler (NR)

103

Tabel 4.9 Statistik Kemampuan Komunikasi Matematis

Mahasiswa Kelas Kontrol (K) dan Kelas Eksperimen (E)

104 Tabel 4.10 Statistik Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis 106


(6)

xxi (PKM) Mahasiswa Program Reguler (R) dan Non Reguler

(NR)

Tabel 4.11 Rata-rata Skor Peningkatan Keyakinan terhadap

Pembelajaran Matematika Mahasiswa Kelas Kontrol (K) dan Kelas Eksperimen (E) Per Butir Pernyataan

108

Tabel 4.12 Persentase Respon Keyakinan terhadap Pembelajaran Matematika Mahasiswa Kelas Kontrol

111 Tabel 4.13 Persentase Respon Keyakinan terhadap Pembelajaran

Matematika Mahasiswa Kelas Eksperimen

112 Tabel 4.14 Statistik Peningkatan Keyakinan terhadap Pembelajaran

Matematika untuk Mahasiswa Kelas Kontrol (K) dan Kelas Eksperimen (E)

114

Tabel 4.15 Statistik Peningkatan Keyakinan terhadap Pembelajaran Matematika (PKY) untuk Mahasiswa Program Reguler (R) dan Non regular (NR)

116

Tabel 4.16 Skor Hasil Pengamatan Observer di Kelas Kontrol (K) dan Kelas Eksperimen (E)

119

Tabel 4.17 Ringkasan Hasil Wawancara 120


(7)

xxii DAFTAR DIAGRAM

halaman

Diagram 4.1a Histogram Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

87 Diagram 4.1b Histogram Data Peningkatan Kemampuan

Komunikasi Matematis

87 Diagram 4.1c Histogram Data Peningkatan Keyakinan terhadap

Pembelajaran Matematika

87 Diagram 4.2a Plot Kuantil

λ

2

Data Kelompok Reguler-Kontrol 91 Diagram 4.2b Plot Kuantil

λ

2

Data Kelompok Reguler-Eksperimen 91 Diagram 4.2c Plot Kuantil

λ

2

Data Kelompok Non Reguler-Kontrol

92 Diagram 4.2d Plot Kuantil

λ

2

Data Kelompok Non Reguler-Eksperimen

92 Diagram 4.3a Interaksi Faktor terhadap KPM 98 Diagram 4.3b Interaksi Faktor terhadap PKM 99 Diagram 4.3c Interaksi Faktor terhadap PKY 99


(8)

xxiii DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran 1 Statistik Hasil Ujian Nasional Tahun 2007 Mata Pelajaran Matematika

171 Lampiran 2a Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis dan Kemampuan Komunikasi Matematis

172 Lampiran 2b Kisi-Kisi Skala Keyakinan terhadap Pembelajaran

Matematika

173 Lampiran 3 Lembar Pertimbangan Validator 174

Lampiran 4a Draf Soal 176

Lampiran 4b Soal Ujian Matematika Diskret 178 Lampiran 5a Kunci Jawaban dan Pedoman Penyekoran Tes

Kemampuan Komunikasi Matematis (Tertulis)

180 Lampiran 5b Kunci Jawaban dan Pedoman Penyekoran Tes

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

187

Lampiran 6 Data Uji Coba Instrumen Tes 196

Lampiran 7 Instrumen Belief 197

Lampiran 8 Skor Skala Belief 200

Lampiran 9 Panduan Wawancara dan Lembar Pertanyaan 201

Lampiran 10 Lembar Pengamatan Observer 203

Lampiran 11 Bahan Ajar Konvensional 205

Lampiran 12 Bahan Ajar Berbasis Masalah 256

Lampiran 13a Rencana Perkuliahan Kelas Kontrol 314 Lampiran 13b Rencana Perkuliahan Kelas Eksperimen 317

Lampiran 14 Data Penelitian 321


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Salah satu masalah dalam pendidikan matematika di Indonesia yang tidak mudah mengatasinya adalah prestasi belajar matematika sebagian siswa yang belum memuaskan beberapa pihak, seperti orang tua siswa dan guru. Dengan memperhatikan data nilai ujian nasional Matematika tahun ajaran 2008/2009 dari http://puspendik.info/un09/laphasil/index.html sebagaimana terdapat pada Lampiran 1, dapat diketahui bahwa persentase siswa yang mendapat nilai matematika kurang dari 6 relatif besar, baik untuk SMA/MA, SMP/MTs, maupun SMK. Baik untuk SMA dan MA IPA, SMA dan MA IPS, SMA dan MA Bahasa, SMA dan MA Agama, SMP dan MTs, maupun SMK, persentase siswa yang mendapat nilai matematika kurang dari 6 semuanya lebih dari 10%. Bahkan, untuk SMA dan MA Bahasa persentase tersebut mencapai 28,01%. Meskipun di setiap jenjang sekolah selalu ada siswa yang mendapat nilai matematika 10, namun adanya siswa yang mendapat nilai 0, bahkan di SMP ada sebanyak 543 siswa (0,02%), cukup memprihatinkan juga.

Dalam skala internasional, meskipun pada akhir-akhir ini sudah mulai terdengar prestasi gemilang putra-putri Indonesia pada forum-forum olimpiade matematika di tingkat internasional, namun hasil penelitian The Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia kelas 8 dalam matematika ada pada urutan ke-34 dari 49 negara peserta (TIMSS & PIRLS International Study Center, 2007), merupakan informasi yang sangat bermanfaat untuk mengevaluasi diri. Ada masalah apa dengan pendidikan matematika di Indonesia?


(10)

Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab hasil belajar siswa dalam matematika yang belum memuaskan. Salah satu di antara faktor tersebut adalah masih banyak siswa yang menganggap matematika sebagai pelajaran yang sangat sulit. Akibatnya, sebagian besar siswa tidak cukup antusias dan percaya diri dalam belajar matematika.

Bagaimanapun, para guru matematika di sekolah memegang peranan penting dalam memberikan gambaran yang wajar tentang pelajaran matematika kepada siswa. Kunci dari gambaran siswa yang dibangun melalui interaksinya dengan para guru ini terletak pada apa yang telah guru-guru berikan kepada siswa selama ini, dan bagaimana para guru mengomunikasikannya. Pengalaman belajar matematika seperti apa yang sudah didapatkan para siswa dalam kelasnya, dan bagaimana selama ini para guru matematika mengomunikasikan konsep, struktur, teorema, atau rumus matematis kepada para siswa, akan berpengaruh kepada anggapan mereka terhadap pelajaran matematika.

Bisa dibayangkan akibatnya, jika para guru matematika tidak atau kurang dapat mengomunikasikan pikiran matematisnya kepada para siswa pada saat melaksanakan pembelajaran di kelas, tentulah semakin mengukuhkan gambaran pelajaran matematika yang sangat sulit bagi siswa. Menurut Widjajanti (2008), hal-hal yang dapat mengukuhkan gambaran siswa tentang pelajaran matematika yang keliru itu antara lain: (1) guru kurang dapat memberi penjelasan untuk pertanyaan siswa “mengapa demikian?”; (2) guru menulis langkah-langkah pembuktian atau penyelesaian masalah kurang terurut atau kurang logis bagi pikiran siswa; (3) guru menggunakan notasi matematis tidak konsisten; (4) guru menggambar bangun geometri kurang tepat; atau (5) guru dapat menyalahkan jawaban siswa tetapi kurang dapat memberi alasan yang bisa diterima pikiran siswa.


(11)

Selain gambaran pelajaran matematika yang sangat sulit, menurut Suryanto (2002) banyak siswa yang menganggap matematika sebagai pelajaran yang kurang tampak kegunaannya, kecuali untuk berhitung. Gambaran bahwa matematika kurang tampak kegunaannya, boleh jadi sebagai akibat kurangnya siswa mendapat pengalaman untuk belajar memecahkan masalah, khususnya masalah-masalah matematika yang berkaitan dengan dunia nyata. Oleh karena itu, pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, disingkat CTL), akhir-akhir ini direkomendasikan para ahli pendidikan untuk diimplementasikan para guru di sekolah.

Pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan penggunaan masalah kontekstual. Pendekatan kontekstual ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2002). Dengan konsep yang demikian, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa.

Pendekatan kontekstual didasarkan pada filsafat konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seorang guru kepada siswa begitu saja, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing siswa, sebagaimana dikatakan oleh Bettencourt (dalam Suparno, 1996), yaitu bahwa bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Oleh karena itu peran guru adalah


(12)

sebagai fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajar siswa dalam rangka mengonstruksi pengetahuannya dapat berjalan dengan baik.

Karena pendekatan kontekstual menekankan penggunaan masalah kontekstual, maka kemampuan para guru matematika dalam pemecahan masalah (problem solving) matematika kontekstual haruslah di atas kemampuan siswa yang diajarnya. Untuk itu, seorang guru matematika selain dituntut untuk menguasai materi matematika dan cara mengomunikasikannya, juga dituntut untuk kreatif mencari atau membuat masalah yang kontekstual dan menguasai berbagai strategi untuk menyelesaikannya. Dengan demikian, mempunyai kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis sangatlah penting bagi seorang guru matematika.

Dengan alasan bahwa para guru matematikalah yang berperan dalam membangun gambaran siswa tentang pelajaran matematika, maka program pendidikan untuk calon guru matematika haruslah menaruh perhatian yang sangat serius terhadap pembekalan ketrampilan memecahkan masalah matematis, ketrampilan berkomunikasi secara matematis, dan pembentukan sikap positif terhadap matematika dan pembelajarannya, bagi para mahasiswanya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: (1) Apakah setiap mahasiswa calon guru matematika di Indonesia sudah cukup mendapatkan pembekalan tersebut; dan (2) Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis , kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan mahasiswa calon guru matematika selama ini sudah cukup memadai untuk menjadikan mereka nantinya guru matematika sesuai kebutuhan dan harapan siswa?

Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Kurikulum pendidikan matematika di Indonesia sangatlah beragam. Implementasi dari


(13)

kurikulum yang ada dalam praktek-praktek perkuliahan di kelas-kelas, besar kemungkinan juga lebih beragam lagi. Dengan demikian menjadi tidak mudah untuk mengetahui kemampuan apa saja yang telah dibekalkan kepada mahasiswa calon guru matematika.

Secara teori, para mahasiswa calon guru matematika, khususnya calon guru matematika sekolah menengah, minimal sudah mendapatkan pengetahuan tentang pemecahan masalah matematis dan komunikasi matematis, misalnya dalam mata kuliah kependidikan matematika, seperti mata kuliah Strategi Belajar-Mengajar Matematika, atau mata kuliah Dasar-dasar Proses Pembelajaran Matematika. Namun, seringkali pada mata kuliah yang demikian ini mahasiswa lebih banyak mendapatkan teorinya saja, tanpa mempraktekkannya. Hal demikian inilah yang diduga menjadikan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis para mahasiswa calon guru matematika selama ini dipandang masih lemah, masih belum cukup memadai untuk menjadikannya guru matematika yang efektif.

Lemahnya kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika ini teridentifikasi dari bagaimana cara mereka menyelesaikan soal ujian selama ini. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti di Program Studi Pendidikan Matematika FMIPA UNY pada tahun 2008, dapatlah diketahui bahwa para mahasiswa calon guru matematika, baik mahasiswa program reguler (mahasiswa yang diterima melalui jalur Penelusuran Bibit Unggul (PBU) atau SNMPTN) maupun mahasiswa program non reguler (mahasiswa yang diterima melalui jalur selain PBU dan SNMPTN), kebanyakan lemah dalam hal pemecahan masalah matematis dan komunikasi matematis.


(14)

Indikasi lemahnya kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa terlihat terutama pada pekerjaan ujian para mahasiswa, yaitu apabila mereka mendapatkan soal ujian yang agak berbeda dengan soal-soal yang ada di buku teks atau berbeda dengan soal ujian tahun-tahun sebelumnya, maka sebagian besar mahasiswa kesulitan untuk menyelesaikannya dengan segera. Indikasi lemahnya kemampuan komunikasi matematis mahasiswa, terutama tampak pada saat mahasiswa mengerjakan soal-soal pembuktian, atau ketika ujian lisan pada saat ujian skripsi. Pada umumnya mahasiswa kesulitan menjelaskan ide atau gagasannya, atau kesulitan memberikan alasan atau penjelasan untuk setiap langkah penyelesaian masalah yang dipilihnya.

Nampaknya, pendekatan perkuliahan secara konvensional yang pada umumnya dilaksanakan oleh para dosen, diduga kurang memberi peluang kepada para mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis mereka. Diperlukan pendekatan perkuliahan yang lain, yang menghadapkan para mahasiswa pada beragam masalah nyata yang harus dicari strategi penyelesaiannya, dan yang memungkinkan terjadinya komunikasi matematis multi arah dalam perkuliahan. Komunikasi dua-arah, yaitu antara dosen dan mahasiswa, seperti yang terjadi dalam kebanyakan perkuliahan konvensional saat ini, kurang dapat memberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk mengeksplorasi kemampuan mereka dalam menyampaikan atau mempertahankan gagasan atau argumen matematis. Padahal kemampuan tersebut sangat perlu bagi mahasiswa kelak untuk menjadi guru matematika yang dapat berperan sebagai fasilitator dan mediator yang baik bagi siswa yang belajar matematika.


(15)

Pendekatan pembelajaran atau perkuliahan berbasis masalah (Problem-based Learning, disingkat PBL), secara teori diduga kuat cukup menjanjikan kemungkinan untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis para mahasiswa calon guru matematika, karena mempunyai karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang; (2) Para mahasiswa bekerja dalam kelompok kecil; dan (3) Dosen mengambil peran sebagai “fasilitator” dalam perkuliahan. PBL menampilkan perkuliahan sebagai kegiatan pemecahan masalah bagi mahasiswa. Dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut para mahasiswa akan belajar dalam kelompok kecil, saling mengajukan ide kreatif mereka, berdiskusi, dan berfikir secara kritis (Roh, 2003). Juga, mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan pendekatan PBL mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk belajar proses matematika yang berkaitan dengan komunikasi, representasi, pemodelan, dan penalaran. Dibandingkan pendekatan pembelajaran tradisional, PBL membantu para mahasiswa dalam mengonstruksi pengetahuan dan ketrampilan penalaran (Tan, 2004).

Kerka (dalam Weissinger, 2004) menyatakan bahwa dengan bertanya-jawab, mendapat dorongan, latihan, dan peragaan dari tutor, maka kesempatan belajar suatu keahlian tertentu atau strategi lain yang juga berdasar teori konstruktivisme, telah dikembangkan dalam konteks PBL. Dalam Wikipedia juga disebutkan bahwa para pendukung atau penganjur PBL menyatakan PBL dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan siswa atau mahasiswa dan membantu mereka mengembangkan komunikasi, pemecahan masalah, serta ketrampilan belajar mandiri. Duch, et.al. (2000) juga menyebutkan bahwa PBL memberikan lingkungan yang diperlukan oleh mahasiswa untuk mengembangkan


(16)

kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk menjadi sukses, yaitu kemampuan untuk: (1) berfikir secara kritis dalam menganalisis serta menyelesaikan masalah dunia nyata yang kompleks; (2) menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan sumber belajar yang sesuai; (3) bekerja secara kooperatif dalam tim atau kelompok kecil; (4) menunjukkan ketrampilan komunikasi lisan dan tulisan yang efektif; dan (5) menggunakan materi pengetahuan dan ketrampilan intelektual untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Melalui PBL para mahasiswa akan belajar berbagai ketrampilan, tidak hanya ketrampilan memecahkan masalah matematis, tetapi juga ketrampilan yang diperlukan untuk dapat mempunyai kemandirian dalam belajar, kebebasan menyaring informasi, belajar secara kolaboratif, dan berfikir reflektif, sebagaimana Tan (2004) menyebutkan bahwa, tujuan dari PBL mencakup “content learning, acquisition of process skills and problem-solving skills, and lifewide learning”. Istilah “lifewide learning” menunjukkan ketrampilan seperti self-directed learning, independent information mining, collaborative learning, dan reflective thinking.

Terkait dengan hasil penelitian yang menyebutkan keunggulan PBL dibanding pembelajaran konvensional, berikut ini dua kesimpulan yang dapat digunakan sebagai rujukan. Hasil penelitian Juandi (2006) menyimpulkan bahwa “kualitas hasil belajar yang dicapai mahasiswa calon guru yang belajar dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah di perguruan tinggi dengan peringkat baik maupun sedang, lebih baik daripada yang dicapai mahasiswa calon guru yang belajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional”. Sedangkan hasil penelitian Dewanto (2007) dengan subyek mahasiswa matematika menyimpulkan bahwa “Pembelajaran dengan Belajar Berbasis-Masalah (BBM) meningkatkan


(17)

kemampuan representasi multipel matematis mahasiswa lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang diperlakukan dengan pembelajaran konvensional”. Dari dua hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa PBL mempunyai keunggulan dibandingkan pendekatan pembelajaran yang konvensional, setidaknya dalam hal meningkatkan prestasi belajar dan kemampuan representasi multipel mahasiswa.

Meskipun PBL diyakini mempunyai sejumlah keunggulan jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, namun berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan terhadap para dosen di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY yang telah mempraktekkan PBL, dijumpai juga beberapa kendala dalam pelaksanaan PBL. Kendala pertama, karena PBL mendasarkan kepada masalah yang menantang, yang dapat memandu para mahasiswa belajar konsep tertentu melalui masalah tersebut, maka pemilihan masalahnya tidaklah selalu mudah bagi masing-masing dosen. Kendala ke-dua, pada umumnya waktu yang digunakan untuk mempelajari materi tertentu relatif lebih lama. Dewanto (2007) bahkan mengatakan dengan PBL dibutuhkan waktu dua atau tiga kali lebih banyak dalam menyelesaikan materi tertentu, dibandingkan dengan pembelajaran yang konvensional. Kendala ke-tiga, kemampuan awal, tingkat dan kecepatan berfikir, dan aspek-aspek lain pada diri mahasiswa pada kelas yang heterogen, seringkali juga menjadi masalah tersendiri. Bagaimanapun, para dosen tidak dapat mengabaikan keheterogenan mahasiswa ini jika berharap dapat menjamin hak setiap mahasiswa untuk memperoleh pembelajaran yang bermakna.

Untuk mengatasi dampak dari keheterogenan mahasiswa, diperlukan model pembelajaran yang memberi lebih banyak peluang kepada mahasiswa untuk dapat saling belajar dari mahasiswa lain. Model pembelajaran kolaboratif dapat menjadi pilihan untuk memberi peluang tersebut. Menurut Sato (2007) pembelajaran


(18)

kolaboratif adalah pembelajaran yang dilaksanakan dalam kelompok, namun tujuannya bukan untuk mencapai kesatuan yang didapat melalui kegiatan kelompok, namun, para siswa dalam kelompok didorong untuk menemukan beragam pendapat atau pemikiran yang dikeluarkan oleh tiap individu dalam kelompok. Pembelajaran tidak terjadi dalam kesatuan, namun pembelajaran merupakan hasil dari keragaman atau perbedaan.

Pada dasarnya pembelajaran kolaboratif merujuk pada suatu metode pembelajaran dengan siswa/mahasiswa dari tingkat performa yang berbeda (heterogen) bekerja bersama dalam suatu kelompok kecil. Setiap siswa/mahasiswa ikut bertanggung jawab terhadap pembelajaran siswa/mahasiswa yang lain, sehingga kesuksesan seorang siswa/mahasiswa diharapkan dapat membantu siswa atau mahasiswa lain untuk menjadi sukses. Gokhale (1995) menyebutkan bahwa “collaborative learning fosters development of critical thinking through discussion, clarification of ideas, and evaluation of other’s ideas”. Selain menjembatani keheterogenan, model perkuliahan kolaboratif juga memungkinkan mahasiswa untuk lebih serius belajar “sesuatu” dari kelompoknya, termasuk bagaimana menyelesaikan masalah yang diberikan oleh dosen.

Sampai saat ini, belum ada penelitian dengan subyek mahasiswa calon guru matematika sekolah menengah yang memfokuskan pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa, melalui pendekatan perkuliahan yang berbasis masalah dan yang dilaksanakan dalam model kolaboratif. Kebanyakan penelitian tentang penerapan PBL dilaksanakan untuk mahasiswa Kedokteran, sedangkan penelitian tentang model pembelajaran kolaboratif dikaitkan dengan penggunaan teknologi komputer atau e-learning. Penelitian Juandi (2006) menggunakan subyek para mahasiswa calon


(19)

guru matematika (mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika), namun fokus penelitiannya adalah pada peningkatan daya matematik mahasiswa secara keseluruhan. Penelitian Dewanto (2007) menggunakan subyek mahasiswa Program Studi Matematika, dan fokus penelitiannya adalah peningkatan kemampuan representasi multipel mahasiswa.

Dalam mengimplementasikan PBL, pembelajaran yang dilaksanakan pada penelitian Dewanto menggunakan model Floating Facilitator (Dewanto, 2007), yang diterapkan untuk kelas ukuran sedang (30-40 mahasiswa) dengan satu fasilitator, yaitu pengajar sendiri. Secara ringkas, dalam tiap pertemuan, tahapan PBL dalam penelitian Dewanto berlangsung dalam sesi-sesi sebagai berikut: (1) Memperkenalkan rencana pembelajaran pada setiap awal pertemuan; (2) Mahasiswa dalam kelompok selama 10-15 menit mendiskusikan masalah yang disajikan; (3) Di depan kelas, selama 10 menit setiap kelompok melaporkan apa isu yang paling penting dan apa yang mereka telah pelajari selama seminggu; (4) Pada saat diskusi dalam kelompok sekitar 30 menit, fasilitator memiliki kesempatan untuk memulai suatu diskusi dengan rasionalitas dari masing-masing kelompok; (5) Sisa waktu (dari total 150 menit) digunakan fasilitator untuk menyimpulkan apa yang dipelajari oleh mahasiswa, dan mahasiswa diminta membuat laporan lengkap untuk diserahkan dalam waktu satu minggu.

Dalam mengimplementasikan PBL, Juandi (2006) tidak secara eksplisit menyebutkan model pembelajaran yang digunakannya. Namun jika diperhatikan dari kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya menunjukkan model yang digunakan adalah kolaboratif. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana aspek-aspek kolaboratif dikembangkan pada diri para mahasiswa dalam memecahkan masalah selama proses perkuliahan berlangsung.


(20)

Dalam kedua penelitian tersebut, aspek kolaborasi yang dimaksudkan untuk menjembatani keheterogenan mahasiswa belum cukup mendapat penekanan, sehingga masih dimungkinkan adanya mahasiswa atau kelompok mahasiswa yang belum memperoleh pemahaman seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, penelitian tentang peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika sekolah menengah melalui perkuliahan berbasis masalah (PBL) dengan model kolaboratif ini sangat penting untuk dilakukan. Gabungan antara pendekatan perkuliahan berbasis masalah dan model perkuliahan kolaboratif inilah yang selanjutnya disebut dengan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah.

Secara teoritis, penggabungan model perkuliahan kolaboratif dengan pendekatan perkuliahan berbasis masalah diduga kuat akan mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika. Namun, mengingat pada kenyataannya di kebanyakan LPTK negeri terdapat dua kelompok mahasiswa calon guru matematika jika ditinjau dari jalur mereka masuk menjadi mahasiswa, yaitu mereka yang menempuh pendidikan program reguler dan program non reguler, maka apakah peningkatan tersebut secara rata-rata relatif sama untuk kedua kelompok tersebut masih perlu dikaji secara empiris.

Mahasiswa calon guru matematika program reguler (bersubsidi) yang diterima melalui jalur Penelusuran Bibit Unggul (PBU) dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dapat dianggap mempunyai kemampuan akademik yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa program non reguler (swadana) yang diterima melalui jalur yang lain (seleksi selain SNMPTN dan PBU). Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar


(21)

mahasiswa program non reguler adalah mereka yang tidak lolos seleksi PBU/SNMPTN. Bahkan, tidak hanya dari segi kemampuan akademik, tetapi dari segi motivasipun besar kemungkinan berbeda pula. Perbedaan dari segi kemampuan akademik dan motivasi kedua kelompok mahasiswa calon guru matematika ini ternyata berdampak pada suasana pembelajaran di kelas masing-masing.

Menurut para dosen yang mengajar di kedua kelas, dan juga berdasar pengalaman pribadi peneliti mengajar di kedua kelas selama bertahun-tahun, masalah serius yang dihadapi para dosen dalam melaksanakan perkuliahan di kelas-kelas program non reguler, adalah lebih pasifnya sebagian besar mahasiswa dalam perkuliahan dan kurangnya inisiatif mahasiswa dalam mengerjakan soal-soal atau memecahkan masalah matematis yang diberikan kepada mereka, jika dibandingkan dengan mahasiswa program reguler. Strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah ditawarkan sebagai sebagian solusi untuk mengatasi masalah tersebut mengingat keunggulannya sebagaimana sudah disebutkan di atas. Namun, besar kemungkinan perbedaan-perbedaan yang ada di kedua kelas menyebabkan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah yang akan diimplementasikan di kedua kelas tersebut juga memberi pengaruh yang tidak seluruhnya sama terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis mereka. Oleh karena itulah penelitian untuk membandingkan keduanya sangatlah penting untuk dilakukan. Karena penggabungan model dan pendekatan perkuliahan ini juga merupakan hal yang baru, maka kajian terhadapnya, termasuk keunggulan dan kelemahan apa yang ditemukan dalam implementasinya, sangat perlu untuk dilakukan, agar diperoleh cukup informasi untuk perbaikan implementasinya di waktu yang akan datang.


(22)

Selain secara teoritis strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah diduga besar kemungkinan akan mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa, ada hal penting lain yang diharapkan dapat terjadi sebagai hasil tambahan dari implementasi strategi perkuliahan ini. Hal penting tersebut adalah meningkatnya keyakinan mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika. Peningkatan keyakinan ini sangat penting jika dikaitkan dengan peran mereka nantinya dalam membangun keyakinan siswa terhadap matematika. Tanpa memiliki keyakinan yang positif terhadap materi yang akan diajarkan dan cara mengajarkannya, besar kemungkinan para calon guru matematika ini justru akan semakin menguatkan gambaran tentang matematika sebagai pelajaran yang sangat sulit bagi sebagian siswa. Bagaimanapun, keyakinan seseorang guru matematika terhadap matematika dan proses belajar mengajarnya akan berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukannya dalam mengajar, sebagaimana Beswick (2006) menyatakan bahwa: “...that what teachers believe influences their teaching”. Juga Ernest (1989) menyatakan bahwa: “...the practice of teaching mathematics depends on a number of key elements, most notably the teacher’s mental contents or schemas, particularly the system of beliefs concerning mathematics and its teaching and learning”.

Sampai saat ini belum ada hasil penelitian di Indonesia yang secara mendetail mengkaji belief mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika. Dengan demikian belum dapat diketahui apakah belief mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika ada pada tingkat rendah, sedang, ataukah tinggi. Namun demikian, mengingat bahwa belief seorang guru dapat mempengaruhi apa yang akan dilakukannya di dalam kelas,


(23)

maka upaya untuk membangun belief yang positif terhadap pembelajaran matematika untuk mahasiswa calon guru matematika tentulah sangat penting untuk dilakukan.

Salah satu upaya yang dimaksudkan untuk meningkatkan belief mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran tersebut adalah melalui pemberian pengalaman belajar yang beragam dan sesuai paham konstruktivisme, yaitu melalui perkuliahan dengan strategi kolaboratif berbasis masalah. Peningkatan belief mahasiswa melalui strategi perkuliahan ini sangat mungkin terjadi karena mahasiswa akan memperoleh pengalaman tentang bagaimana belajar dan mengajarkan matematika secara konstruktif.

Penelitian tentang cara-cara meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika sebagaimana tersebut di atas menjadi penting dan mendesak untuk segera dilakukan agar setiap dosen di Program Studi Pendidikan Matematika mempunyai cukup referensi untuk ambil bagian dalam upaya peningkatan tersebut. Jika mahasiswa calon guru matematika mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis yang memadai, serta mempunyai keyakinan yang positif terhadap pembelajaran matematika, maka mereka akan menjadi guru matematika yang mampu memberi gambaran yang wajar tentang matematika kepada siswa, sehingga lambat laun, perlahan-lahan, gambaran pelajaran matematika yang sangat sulit dan tidak terlalu kelihatan kegunaannya bagi siswa, akan semakin berkurang. Kalau hal ini terjadi, yaitu sebagian besar para siswa tidak lagi menganggap matematika merupakan pelajaran yang sangat sulit dan mereka semakin melihat banyak kegunaan matematika dalam kehidupan nyata, maka besar kemungkinan


(24)

siswa-siswa akan belajar matematika dengan rasa senang, antusias, dan percaya diri, sehingga dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya

Mengetahui apakah strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah dapat meningkatkan secara signifikan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika, jika dibandingkan pembelajaran konvensional, penting bagi para dosen dan pengelola Program Studi Pendidikan Matematika, sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan matematika di Indonesia pada khususnya. Tanpa adanya penelitian yang demikian, besar kemungkinan para guru atau dosen tidak mempunyai cukup data yang akurat untuk dijadikan rujukan dalam menerima atau menolak mempraktekkan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah, meskipun secara teori strategi tersebut mempunyai banyak keunggulan.

Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis itu sama ataukah tidak untuk mahasiswa program reguler dan non reguler sangat penting untuk dapat memberi bantuan yang tepat kepada setiap mahasiswa. Mengetahui apakah sebuah strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah mampu meningkatkan keyakinan mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika, penting untuk dijadikan bahan re-orentasi perkuliahan untuk mahasiswa calon guru, sedemikian hingga keyakinan yang semakin positif dapat ditumbuhkan selama mereka mengikuti pendidikan calon guru.

Menyikapi adanya kenyataan bahwa sebagian mahasiswa calon guru matematika lemah dalam pemecahan masalah matematis dan komunikasi matematis, dan memperhatikan pentingnya keyakinan yang positif terhadap


(25)

pembelajaran matematika ditumbuhkan kepada mahasiswa calon guru matematika, maka penelitian tentang cara-cara meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan terhadap pembelajaran matematika mahasiswa calon guru matematika ini menjadi penting untuk dilakukan. Inilah urgensi penelitian tentang “Analisis Implementasi Strategi Perkuliahan Kolaboratif Berbasis Masalah dalam Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Kemampuan Komunikasi Matematis, dan Keyakinan terhadap Pembelajaran Matematika” ini dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini masalah utamanya adalah: “Apakah strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah untuk mahasiswa calon guru matematika lebih unggul dari strategi perkuliahan konvensional, dalam hal mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika?”

Secara lebih rinci, apa saja yang menjadi masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh strategi perkuliahan, jenis program, dan gabungan strategi perkuliahan dan jenis program, terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika?

2. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi kolaboratif berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan kemampuan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional?


(26)

3. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa program reguler lebih tinggi dibandingkan kemampuan mahasiswa program non reguler?

4. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan peningkatan kemampuan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional?

5. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa program reguler lebih tinggi dibandingkan peningkatan kemampuan mahasiswa program non reguler?

6. Apakah peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika untuk mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan peningkatan keyakinan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional?

7. Apakah peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika untuk mahasiswa program reguler lebih tinggi dibandingkan peningkatan keyakinan mahasiswa program non reguler?

8. Apakah terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika?

9. Apakah terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika?


(27)

10.Apakah terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap peningkatan keyakinan mahasiswa calon guru matematika?

11.Keunggulan dan kelemahan apa yang ditemukan dalam implementasi strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah dibandingkan dengan perkuliahan secara konvensional?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengkaji atau menganalisis implementasi strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan terhadap pembelajaran matematika dari mahasiswa calon guru matematika.

Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji apakah terdapat pengaruh strategi perkuliahan, jenis program, dan gabungan antara strategi perkuliahan dan jenis program, terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika dari mahasiswa calon guru matematika.

2. Membandingkan kemampuan pemecahan masalah matematis dari mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi kolaboratif berbasis masalah dan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional.

3. Membandingkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa program reguler dan mahasiswa program non reguler.

4. Membandingkan peningkatan kemampuan komunikasi matematis dari mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi perkuliahan


(28)

kolaboratif berbasis masalah dan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional.

5. Membandingkan peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa program reguler dan mahasiswa program non reguler.

6. Membandingkan peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika dari mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah dan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional.

7. Membandingkan peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika dari mahasiswa program reguler dan mahasiswa program non reguler.

8. Mengkaji apakah terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika.

9. Mengkaji apakah terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika.

10.Mengkaji apakah terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap peningkatan keyakinan mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika.

11.Mengidentifikasi dan mengkaji keunggulan dan kelemahan apa yang ditemukan dalam implementasi strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah dibandingkan dengan perkuliahan secara konvensional.

D. Manfaat Penelitian


(29)

1. Mahasiswa calon guru matematika, sebagai pengetahuan yang berguna baginya dalam rangka meningkatkan kompetensinya untuk bekal menjadi guru matematika yang profesional di waktu yang akan datang.

2. Staf dosen dan pengelola Program Studi Pendidikan Matematika, sebagai bahan rujukan dalam melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas mahasiswa calon guru matematika yang menjadi tanggungjawabnya. Lebih khusus, hasil penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi staf dosen dan pengelola Program Studi Pendidikan Matematika, sebagai rujukan untuk mengembangkan strategi perkuliahan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika.

3. Dunia pendidikan matematika di perguruan tinggi, sebagai sumbangan terhadap pengetahuan tentang strategi perkuliahan bagi mahasiswa calon guru matematika.

E. Peristilahan

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan:

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan seseorang dalam:

a. memahami masalah matematika,

b. memilih strategi untuk menyelesaikan masalah tersebut, c. menyelesaikan masalahnya, dan

d. memeriksa kembali penyelesaian yang didapatkannya.

2. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan seseorang untuk: a. menulis pernyataan matematis,


(30)

b. menulis alasan atau penjelasan dari setiap argumen matematis yang digunakannya untuk menyelesaikan masalah matematika,

c. menggunakan istilah, tabel, diagram, notasi atau rumus matematis dengan tepat,

d. memeriksa atau mengevaluasi pikiran matematis orang lain.

3. Perkuliahan konvensional adalah perkuliahan yang dilaksanakan secara klasikal, dan kegiatannya didominasi kegiatan ceramah dari dosen, pemberian contoh-contoh, tanya jawab, dan latihan mengerjakan soal-soal.

4. Strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah adalah suatu strategi perkuliahan dengan karakteristik:

a. Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang,

b. Sebelum para mahasiswa belajar dalam kelompok, mereka diberi kesempatan untuk mengidentifikasi masalah yang diberikan oleh dosen dan merancang strategi penyelesaiannya beberapa saat secara mandiri, kemudian dipersilahkan belajar dalam kelompok (2 orang, atau 4 sampai 6 orang) untuk mengklarifikasi pemahaman mereka, mengkritisi ide/gagasan teman dalam kelompoknya, membuat konjektur, memilih strategi penyelesaian, dan menyelesaikan masalah yang diberikan, dengan cara saling bertanya dan beradu argumen,

c. Setelah belajar dalam kelompok, mahasiswa menyelesaikan masalah yang diberikan dosen secara individual,

d. Dosen mengambil peran sebagai fasilitator, yang berkewajiban memfasilitasi jalannya diskusi kelompok dengan memberi pertanyaan pancingan untuk menghidupkan kolaborasi,


(31)

e. Beberapa mahasiswa yang diberi kesempatan mempresentasikan penyelesaian masalahnya di depan kelas tidak dalam peran mewakili kelompok.

5. Belief (keyakinan) terhadap pembelajaran matematika adalah konstruk psikologis yang menekankan taraf penerimaan seseorang terhadap proposisi tentang karakteristik matematika dan karakteristik proses pembelajaran matematika yang baik. Proses pembelajaran matematika yang dimaksud meliputi aspek metode, pendekatan, model, media, dan teknik evaluasi.

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis utama dalam penelitian ini adalah: “Kemampuan pemecahan masalah matematis, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika, dari mahasiswa calon guru matematika yang mendapatkan perkuliahan menggunakan strategi kolaboratif berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional”.

Secara lebih rinci, apa saja yang menjadi masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh strategi perkuliahan, jenis program, dan gabungan antara strategi perkuliahan dan jenis program, terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika.

2. Kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi kolaboratif berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan kemampuan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional.


(32)

3. Kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa program reguler lebih tinggi dibandingkan kemampuan mahasiswa program non reguler.

4. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan peningkatan kemampuan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional.

5. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa program reguler lebih tinggi dibandingkan peningkatan kemampuan mahasiswa program non reguler.

6. Peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika untuk mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan peningkatan keyakinan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional.

7. Peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika untuk mahasiswa program reguler lebih tinggi dibandingkan peningkatan keyakinan mahasiswa program non reguler.

8. Terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika.

9. Terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika.

10.Terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap peningkatan keyakinan mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Disain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimen, dengan satu faktor perlakuan yang dikenakan pada subyek penelitian, yaitu pemberian perkuliahan dengan strategi tertentu (konvensional, atau kolaboratif berbasis masalah) dan satu faktor lingkungan yaitu jenis program yang ditempuh mahasiswa (reguler atau non reguler). Dalam hal menyangkut pemilihan jenis strategi perkuliahan yang dibandingkan, yaitu konvensional dan kolaboratif berbasis masalah, ditetapkan oleh peneliti dengan pertimbangan tertentu, walaupun banyak strategi pembelajaran yang lain. Dengan demikian faktor perlakuannya bersifat tetap (fixed). Namun, kelompok mana yang mendapatkan perlakuan tertentu dipilih secara acak.

Ada tiga variabel terikat atau respon yang diamati pada subyek penelitian, yaitu: (1) kemampuan pemecahan masalah matematis; (2) kemampuan komunikasi matematis; dan (3) keyakinan terhadap pembelajaran matematika. Ada tiga hipotesis utama dalam penelitian ini yang akan diuji, yaitu: (1) terdapat tidaknya pengaruh faktor strategi perkuliahan terhadap kemampuan pemecahan masalah, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika; (2) terdapat tidaknya pengaruh faktor jenis program terhadap kemampuan pemecahan masalah, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika; dan (3) terdapat tidaknya pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap kemampuan pemecahan masalah, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika.


(34)

Karena terdapat satu faktor perlakuan yang terdiri dari dua taraf (konvensional dan kolaboratif berbasis masalah), dan ada satu faktor lingkungan yang terdiri dari dua taraf ( program reguler dan non reguler ) maka rancangan penelitiannya adalah faktorial 2 × 2 dengan 3 variabel terikat, dengan kategori Multivariate Two-Way Fixed Model with interaction (Johnson, R.A, and Wichern, D.W., 1998).

Rancangan penelitian yang dimaksud dapat digambarkan dalam Tabel 3.1 sebagai berikut.

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian

Faktor 1 (Strategi Perkuliahan) Konvensional Kolaboratf

KPM PKM PKY KPM PKM PKY

Faktor 2 (Jenis Program) Reguler S111 S112 . . . S 1 11n S111 S112 . . . S 1 11n S111 S112 . . . S 1 11n S121 S122 . . . S 2 12n S121 S122 . . . S 2 12n S121 S122 . . . S 2 12n Non Reguler S211 S212 . . . S 3 21n S211 S212 . . . S 3 21n S211 S212 . . . S 3 21n S221 S222 . . . S 4 22n S221 S222 . . . S 4 22n S221 S222 . . . S 4 22n Dengan keterangan:

KPM : Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis PKM : Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis

PKY : Peningkatan Keyakinan terhadap Pembelajaran Matematika S111 s.d. S

1

11n : Kelompok mahasiswa program reguler yang


(35)

S121 s.d. S 2

12n : Kelompok mahasiswa program reguler yang

mendapatkan perkuliahan dengan strategi Kolaboratif- Berbasis Masalah

S211 s.d. S21n3: Kelompok mahasiswa program non reguler yang

mendapatkan perkuliahan secara konvensional S221s.d. S

4

22n : Kelompok mahasiswa program non reguler yang

mendapatkan perkuliahan dengan strategi Kolaboratif- Berbasis Masalah

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah mahasiswa semester 5 pada Program Studi Pendidikan Matematika, FMIPA UNY, yang sedang menempuh perkuliahan Matematika Diskret pada semester September – Desember 2009, sejumlah 83 mahasiswa yang berasal dari 1 kelas mahasiswa program reguler dan 1 kelas mahasiswa program non reguler.

Mahasiswa calon guru matematika program reguler di Program Studi Pendidikan Matematika, FMIPA UNY, adalah mereka yang diterima melalui jalur Penelusuran Bibit Unggul (PBU) dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), sedangkan mahasiswa program non reguler adalah mereka yang diterima melalui jalur selain PBU dan SNMPTN. Mahasiswa program reguler dapat dianggap mempunyai kemampuan akademik yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa program non reguler karena pada kenyataan sebagian besar mahasiswa program non reguler adalah mereka yang tidak lolos seleksi PBU/SNMPTN.

Dari 2 kelas program non reguler yang ada di Prodi Pendidikan Matematika FMIPA UNY dipilih secara acak 1 kelas diantara keduanya untuk dijadikan subyek penelitian ini. Ditambah 1 kelas program reguler, kemudian masing-masing kelas dibagi menjadi 2 kelompok, 1 kelompok mendapat perkuliahan dengan strategi


(36)

kolaboratif berbasis masalah dan 1 kelompok yang lain mendapat perkuliahan dengan strategi konvensional. Kelas kontrol adalah kelas yang mendapatkan perkuliahan menggunakan strategi konvensional, sedangkan kelas eksperimen adalah kelas yang mendapatkan perkuliahan menggunakan strategi kolaboratif berbasis masalah.

Banyak mahasiswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen yang menjadi subyek pada penelitian ini tertera pada Tabel 3.2. berikut ini.

Tabel 3.2 Subyek Penelitian

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Jumlah

Mahasiswa Reguler 23 17 40

Mahasiswa Non Reguler 21 22 43

Jumlah 44 39 83

. C. Mata Kuliah Matematika Diskret

Perkuliahan Matematika Diskret, 3 sks, untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika semester 5, dipilih untuk mengimplementasikan rencana penelitian ini dengan pertimbangan: (1) Mempunyai beberapa pokok bahasan yang menuntut pemahaman konsep, prinsip, dan prosedur-prosedur yang tidak sederhana dan banyak terapannya dalam berbagai bidang, sehingga dipandang sangat cocok untuk disampaikan menggunakan pendekatan berbasis masalah; (2) Menguasai materi Matematika Diskret penting bagi mahasiswa calon guru matematika, karena menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, mampu menggunakan konsep dan proses matematika diskrit termasuk salah satu kompetensi guru mata pelajaran Matematika pada SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK; dan (3) Diberikan untuk mahasiswa semester 5 yang dapat diasumsikan sudah mempunyai cukup keberanian untuk menyampaikan pendapat dalam diskusi.


(37)

Mata kuliah Matematika Diskret di Program Studi Pendidikan Matematika FMIPA UNY pada khususnya, dan di program studi matematika atau pendidikan matematika perguruan tinggi lain pada umumnya, sebagian besar berisi bahasan konsep-konsep, prinsip-prinsip, prosedur atau algoritma tentang dasar-dasar kaedah pencacahan, permutasi, kombinasi, relasi rekurensi, fungsi pembangkit, dan pengantar teori graf, serta penerapannya dalam berbagai bidang. Standar kompetensi lulusan mata kuliah Matematika Diskret adalah lulusan mampu: (1) Memahami konsep-konsep dasar, prinsip, prosedur/algoritma tentang dasar-dasar kaedah pencacahan, permutasi, kombinasi, relasi rekurensi, fungsi pembangkit, dan pengantar teori graf; (2) Menggunakan konsep-konsep dasar, prinsip, prosedur atau algoritma dalam matematika diskret untuk menganalisis dan memecahkan masalah-masalah yang terkait; dan (3) Memiliki sikap menghargai Matematika (khususnya Matematika Diskret) dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam bidang-bidang lain.

D. Pengembangan Instrumen

Terdapat tiga varibel terikat yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu (1) kemampuan pemecahan masalah matematis; (2) peningkatan kemampuan komunikasi matematis; dan (3) peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika, dari mahasiswa calon guru matematika. Karena yang dibandingkan adalah capaian tiga variabel tersebut setelah subyek mendapat perlakuan, maka telah disusun tiga set instrumen, yaitu dua set instrumen berbentuk tes, berupa soal (tertulis, berbentuk uraian) untuk kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis, dan satu set instrumen non tes, berupa skala psikologi untuk mengukur keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika. Ketiga set instrumen ini dibuat sendiri oleh peneliti, dengan memperhatikan


(38)

ketentuan pembuatan instrumen yang baik. Selain melalui pemberian tes dan skala pada subyek penelitian, digunakan juga wawancara dan observasi untuk memperkuat atau melengkapi data yang diperoleh dari tes dan skala.

Untuk mengukur peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan selama satu semester, kepada subyek penelitian diberikan dua kali tes komunikasi matematis yang sama, yaitu di awal dan di akhir semester. Demikian juga untuk mengukur peningkatan keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika, skala psikologi yang sama diberikan kepada subyek penelitian sebanyak dua kali. Skor peningkatan diperoleh dari skor tes ke-2 dikurangi skor tes-1.

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan pengkajian teori tentang kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan terhadap pembelajaran matematika, sebagaimana sudah disebutkan pada bagian Kajian Pustaka, dan dengan memperhatikan makna istilah (definisi operasional) untuk ketiga variabel tersebut, maka disusunlah kisi-kisi untuk dasar mengembangkan soal tes maupun skala yang diperlukan. Kisi-kisi yang dimaksud terdapat dalam Lampiran 2a dan 2b.

Berikut ini penjelasan rinci untuk pengembangan masing-masing instrumen dan pedoman penyekorannya.

1. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Kemampuan Komunikasi Matematis

Dari kisi-kisi soal tes kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis, telah dibuat enam butir soal tes uraian, masing-masing tiga butir soal untuk tes kemampuan pemecahan masalah, dan tiga butir soal untuk tes kemampuan komunikasi matematis. Pemilihan bentuk tes uraian ini mengacu pada


(39)

kepentingan untuk dapat mengukur kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis, yang tidak mungkin diukur dengan tes bentuk obyektif.

Sebelum soal tes uraian diujicobakan, soal telah divalidasi terlebih dahulu, baik validitas isi maupun validitas mukanya. Validasi dilakukan oleh 2 dosen Matematika Diskret, 1 dosen Kombinatorika, dan 1 dosen Pemodelan Matematika. Dari keempat validator ini, 3 diantaranya adalah dosen di FMIPA UNY, dan 1 dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dari keempat validator ini 3 orang diantaranya berpendidikan S2, dan 1 orang berpendidikan S3. Selain divalidasi oleh keempat validator tersebut, instrumen juga telah diperiksa dan mendapat masukan konstruktif dari para promotor.

Keempat validator memberikan penilaian yang sama, yaitu bahwa semua butir soal dianggap valid, baik untuk validitas isi maupun validitas muka. Meskipun keempat validator menganggap semua butir soal valid, namun mereka juga memberi beberapa masukan untuk perbaikan instrumen tersebut. Contoh masukan dari validator terdapat dalam Lampiran 3. Setelah instrumen direvisi berdasarkan masukan para validator dan para promotor, selanjutnya instrumen diujicobakan. Instrumen sebelum dan sesudah direvisi terdapat dalam Lampiran 4a dan 4b.

Uji coba instrumen untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis telah dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2009, dikenakan pada 56 mahasiswa Program Studi Matematika, FMIPA UNY, yang menempuh kuliah Matematika Diskret pada semester genap 2008/2009. Dari hasil uji coba, telah dihitung validitas butir soal, koefisien reliabilitasnya, tingkat kesukaran butir soal dan daya pembedanya, dengan panduan dan hasil sebagai berikut.


(40)

Berkaitan dengan validitas butir (item) soal, Suharsimi (2001) menyatakan bahwa sebuah item dikatakan valid apabila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa sebuah item memiliki validitas yang tinggi jika skor pada item mempunyai kesejajaran dengan skor total. Kesejajaran ini dapat diartikan sebagai korelasi, sehingga untuk mengetahui validitas butir soal dapat digunakan rumus korelasi produk momen dari Pearson sebagai berikut:

∑ ∑

− − = 2 2 2 2 ) ( ) ( ) )( ( Y Y N X X N Y X XY N r dengan:

r = koefesien korelasi antara variabel X (skor butir) dengan Y (skor total) N = jumlah responden, X = skor butir, Y = skor total,

Untuk menguji signifikansi setiap koefisien korelasi yang diperoleh dilakukan pengujian hipotesis sebagai berikut:

i). H0: ρ = 0, yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total

Ha: ρ≠ 0, yaitu ada hubungan yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total

ii). Taraf signifikansi α = 0,05 iii). Statistik uji

2 1 2 r n r t − −

= , dengan n = ukuran sampel dan r = koefisien korelasi sampel (didapatkan dari data uji coba)

iv). Kriteria keputusannya adalah H0 ditolak jika nilai t > tα/2,n−2

Untuk mengetahui tingkat validitas dari setiap butir tes digunakan kriteria menurut Suharsimi (2001), dengan sedikit modifikasi pada batas interval, sebagaimana tertera dalam Tabel 3.3 berikut ini.


(41)

Tabel 3.3

Kriteria Tingkat Validitas

Koefisien Korelasi Kategori Validitas 0,80 < r ≤ 1,00 Sangat Tinggi 0,60 < r ≤ 0,80 Tinggi 0,40 < r ≤ 0,60 Cukup 0,20 < r ≤ 0,40 Rendah

r ≤ 0,20 Sangat Rendah

Menurut Ruseffendi (2005) reliabilitas instrumen atau alat evaluasi adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan responden dalam menjawab alat evaluasi itu. Suatu alat evaluasi dikatakan baik bila, antara lain, reliabilitasnya tinggi. Surapranata (2005) juga menyatakan bahwa reliabilitas dihubungkan dengan pengertian ketetapan suatu tes dalam pengukurannya. Reliabilitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keajegan atau kemantapan hasil pengukuran terhadap hal yang sama. Karena tes yang diujicobakan dalam penelitian ini berbentuk soal uraian, sehingga jawaban mahasiswa bisa bervariasi, maka untuk menentukan reliabilitas butir tesnya digunakan rumus koefisien reliabilitas Cronbach-Alpha (Ruseffendi,

2005), yaitu: 2

2 2

1

j i j

DB DB DB

b b p

r

=

×

, dengan b adalah banyaknya soal, 2

j

DB adalah variansi skor seluruh soal menurut skor perorangan,

2

i

DB adalah variansi skor soal ke-i,

2

i

DB adalah jumlah variansi skor seluruh soal menurut skor soal tertentu. Berdasarkan klasifikasi Guilford (Ruseffendi, 2005), dengan sedikit modifikasi oleh peneliti, tingkat reliabilitas instrumen ditetapkan berdasar kriteria berikut sebagaimana terdapat dalam Tabel 3.4 berikut.


(42)

Tabel 3.4

Kriteria Tingkat Reliabilitas

Nilai rp Tingkat reliabilitas

rp≤ 0,2 Kecil

0,2 < rp ≤ 0,4 Rendah 0,4 < rp ≤ 0,7 Sedang 0,7 < rp≤ 0,9 Tinggi 0,9 < rp ≤ 1,0 Sangat tinggi

Terkait dengan tingkat kesukaran, menurut Suharsimi (2001), soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha memecahkannya. Sebaliknya, soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi karena di luar jangkauannya. Bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya suatu soal disebut tingkat atau indeks kesukaran (difficulty index), diberi simbol P dari kata “proporsi”.

Masih menurut Suharsimi (2001), tingkat atau indeks kesukaran dihitung dengan rumus: P =

JS B

, di mana P = indeks kesukaran, B = banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan benar, JS = jumlah seluruh siswa peserta tes. Memodifikasi rumus tersebut untuk soal bentuk uraian, maka tingkat atau indeks kesukaran soal dapat dihitung dari proporsi (perbandingan) total skor yang dicapai seluruh siswa untuk nomor soal tersebut dibandingkan total skor maksimum yang mungkin. Dengan demikian nilai P dapat dihitung dari rumus: P =

JS B

, di mana P = indeks kesukaran, B = total skor yang dicapai seluruh mahasiswa untuk nomor soal tersebut, JS = total skor maksimum yang mungkin dicapai oleh sluruh siswa.


(43)

Klasifikasi yang digunakan untuk menentukan sukar tidaknya suatu soal, mengikuti Suharsimi (2001), dengan sedikit modifikasi dari peneliti, adalah sebagaimana terdapat dalam Tabel 3.5 berikut.

Tabel 3.5

Kriteria Tingkat Kesukaran

Nilai P Kategori

P ≤ 0,30 Sukar

0,30 < P ≤ 0,70 Sedang

P > 0,70 Mudah

Analisis atas daya pembeda soal diperlukan untuk mengetahui dapat tidaknya suatu soal membedakan kelompok dalam aspek yang diukur sesuai dengan perbedaan yang ada dalam kelompok itu. Indeks yang digunakan dalam membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan peserta tes yang berkemampuan rendah adalah indeks daya pembeda (item discrimination). Indeks daya pembeda soal-soal ditetapkan dari selisih proporsi yang menjawab benar dari masing-masing kelompok (Surapranata, 2005).

Menurut Suharsimi (2001) soal yang baik adalah soal yang dapat dijawab benar oleh siswa-siswa yang pandai saja. Bagi suatu soal yang dapat dijawab benar oleh siswa pandai maupun siswatidak pandai, maka soal tersebut tidak baik karena tidak mempunyai daya pembeda. Demikan pula jika semua siswa, baik pandai maupuntidak pandai, tidak dapat menjawab soal tersebut dengan benar, maka soal tersebut juga tidak baik karena tidak mempunyai daya pembeda.

Mengadopsi cara menghitung daya pembeda dari beberapa sumber (Suharsimi, 2001; Ruseffendi, 2005; Suherman, 2003) untuk tes bentuk obyektif, maka untuk tes bentuk uraian teknis dalam menentukan daya pembedanya adalah sebagai berikut: (1) Urutkan nama peserta tes berdasarkan perolehan skor totalnya,


(44)

dari skor tertinggi ke skor terendah; (2) Misalkan 27% peserta tes urutan teratas disebut sebagai kelompok atas, dan 27% peserta tes urutan terbawah disebut sebagai kelompok bawah; (3) untuk setiap nomor soal, hitung total skor seluruh peserta kelompok atas (= BA) dan total skor seluruh peserta kelompok bawah (BB); kemudian (4) untuk setiap nomor soal, hitung PA =

A A J B

, dan PB= B B J B

, dengan JA: jumlah skor maksimum untuk seluruh peserta kelompok atas, dan JB: jumlah skor maksimum untuk seluruh peserta kelompok atas, dan (5) Daya pembeda (D) = PA- PB.

Menurut Suherman (2003) kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan daya pembeda dari butir soal terdapat dalam Tabel 3.6 berikut.

Tabel 3.6

Kriteria Daya Pembeda

Daya pembeda (D)

Kategori D = 0,00

0,00 < D ≤ 0,20 0,20 < D ≤ 0,40 0,40 < D ≤ 0,70 0,70 < D ≤ 1,00

Sangat Jelek Jelek

Sedang Baik

Sangat Baik

Setelah soal diujicobakan, diperoleh jawaban mahasiswa yang selanjutnya dilakukan proses penyekoran. Penyekoran menggunakan pedoman sebagaimana terdapat dalam Lampiran 5a dan 5b. Dari data hasil uji coba sebagaimana terdapat dalam Lampiran 6, dan ringkasan analisisnya sebagaimana terdapat dalam Tabel 3.7 berikut ini, diperoleh kesimpulan bahwa kedua set soal layak digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini.


(45)

Tabel 3.7

Ringkasan Analisis Butir Soal Uji Coba

No Statistik Nomor Butir Soal

1 2 3 4 5 6

1 Skor Maksimal 9 9 9 9 9 12

2 Rata-rata Skor 5,155 3,914 4,172 3,052 3,052 3,586 3 Simp. Baku 1,604 1,713 1,813 1,463 1,243 1,653 4 Ragam 2,574 2,934 3,288 2,140 1,545 2,731 5 Koef. Validitas 0,754 0,740 0,683 0,615 0,574 0,632 6 Kategori Validitas tinggi tinggi tinggi tinggi cukup tinggi 7 Tingkat Kesukaran 0,573 0,432 0,460 0,325 0,331 0,277 8 Kategori Tingkat

Kesukaran sedang sedang sedang sedang sedang sukar 9 Daya Pembeda 0,333 0,333 0,370 0,215 0,215 0,222 10 Kategori Daya

Pembeda sedang sedang sedang sedang sedang sedang 11 Koef. reliabilitas 0,751 (kategori tinggi)

2. Skala Keyakinan (Belief) terhadap Pembelajaran Matematika

Instrumen yang digunakan untuk mengukur keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika berbentuk skala psikologi model Likert, dengan 5 alternatif jawaban, yaitu sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), ragu-ragu atau tidak tahu (RR), setuju (S), dan sangat setuju (SS). Instrumen terdiri dari 28 butir pernyataan, yang mencakup 7 aspek, yaitu keyakinan terhadap matematika, metode mengajar matematika, pendekatan pembelajaran matematika, model pembelajaran matematika, penggunaan media pembelajaran matematika, teknik evaluasi pembelajaran matematika, dan belajar matematika. Instrumen terdiri dari 16 butir pernyataan negatif dan 12 butir pernyataan positif.

Instrumen telah diujicoba sebanyak 2 kali. Uji coba pertama dilaksanakan pada tanggal 4 September 2009, dikenakan pada 47 mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, FMIPA UNY, semester V, dari kelas D, yaitu kelas yang tidak terpilih sebagai subyek penelitian. Uji coba kedua dilakukan pada tanggal 22


(1)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan di BAB IV, dengan menggunakan taraf signifikansi

α

= 0,05 dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika, dari mahasiswa calon guru matematika yang mendapatkan perkuliahan menggunakan strategi kolaboratif berbasis masalah dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional. Ini berarti bahwa strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah untuk mahasiswa calon guru matematika lebih unggul dari strategi perkuliahan konvensional, dalam hal mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika.

Secara lebih rinci, data penelitian ini juga mendukung kesimpulan bahwa: 1. a. Terdapat pengaruh strategi perkuliahan terhadap kemampuan pemecahan

masalah matematis, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika.

b. Terdapat pengaruh jenis program terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika.

c. Tidak terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program, terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika.

2. Kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi kolaboratif berbasis masalah dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan kemampuan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional.


(2)

3. Kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika program reguler dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan kemampuan mahasiswa program non reguler.

4. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan peningkatan kemampuan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional.

5. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika program reguler dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan peningkatan kemampuan mahasiswa program non reguler.

6. Peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika untuk mahasiswa calon guru matematika yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan peningkatan keyakinan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional.

7. Peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika untuk mahasiswa calon guru matematika program reguler dapat dianggap tidak lebih tinggi dibandingkan peningkatan keyakinan mahasiswa program non reguler.

8. Tidak terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika. Ini berarti bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa kelas kolaboratif dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan kemampuan mahasiswa kelas konvensional, baik untuk kelompok mahasiswa program reguler maupun non reguler, dengan selisih rata-rata kemampuan mahasiswa kelas kolaboratif dan kelas konvensional dapat dianggap hampir sama besarnya antara yang diperoleh mahasiswa program reguler dan non reguler.

9. Tidak terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan jenis program terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika. Ini berarti bahwa kemampuan komunikasi matematis mahasiswa kelas kolaboratif dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan kemampuan mahasiswa kelas konvensional, baik untuk mahasiswa


(3)

program reguler maupun non reguler, dengan selisih rata-rata kemampuan mahasiswa kelas kolaboratif dan kelas konvensional dapat dianggap hampir sama besarnya antara yang diperoleh mahasiswa program reguler dan non reguler. 10.Tidak terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara strategi perkuliahan dan

jenis program terhadap peningkatan keyakinan mahasiswa calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika. Ini berarti bahwa peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika mahasiswa kelas kolaboratif dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan perolehan pada mahasiswa kelas konvensional, baik untuk kelompok mahasiswa program reguler maupun non reguler, dengan selisih rata-rata kemampuan mahasiswa kelas kolaboratif dan kelas konvensional dapat dianggap hampir sama besarnya antara yang diperoleh mahasiswa program reguler dan non reguler.

11.Dibandingkan strategi konvensional, strategi kolaboratif berbasis masalah unggul dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan terhadap pembelajaran matematika. Selain itu strategi ini juga mampu membuat:

a. perkuliahan tidak membosankan,

b. kesiapan, keterlibatan, dan antusiasme mahasiswa lebih tinggi dalam mengikuti perkuliahan,

Namun, dari implementasi strategi kolaboratif berbasis masalah pada perkuliahan Matematika Diskret selama 1 semester dapat diketahui bahwa keunggulan strategi ini dapat terjadi manakala didukung adanya beberapa hal, antara lain: (1) bahan ajar yang berbasis masalah; (2) munculnya kolaborasi pada saat diskusi; dan (3) intervensi yang tepat dari dosen. Apabila masalah yang diberikan kurang menantang dan dosen tidak mampu membagi perhatian kepada setiap kelompok diskusi yang ada dengan baik, maka diskusi akan cenderung menjadi tidak fokus dan mahasiswa tidak mencapai tujuan belajar yang diharapkan.

B. Implikasi

Sebagai implikasi dari kesimpulan sebagaimana tersebut di atas adalah: 1. Strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah lebih cocok digunakan untuk


(4)

komunikasi matematis, dan keyakinan terhadap pembelajaran matematika mahasiswa calon guru matematika dibandingkan dengan strategi konvensional. 2. Karena tidak terdapat pengaruh gabungan (interaksi) antara faktor strategi

perkuliahan dan jenis program terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis, peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dan peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika mahasiswa calon guru matematika, maka strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah hampir sama baiknya digunakan baik untuk mahasiswa program reguler maupun untuk mahasiswa program non reguler. Dengan kata lain, strategi kolaboratif berbasis masalah ini cocok digunakan untuk mahasiswa calon guru matematika dengan beragam kemampuan akademik.

3. Karena keunggulan dari strategi kolaboratif berbasis masalah antara lain didukung adanya: (1) bahan ajar yang berbasis masalah; (2) munculnya kolaborasi pada saat diskusi; dan (3) intervensi yang tepat dari dosen, maka implementasi strategi ini berpeluang untuk meningkatkan kemampuan dosen dalam: (1) memilih masalah untuk memandu perkuliahan; (2) menciptakan interaksi yang kuat antara dosen-mahasiswa, mahasiswa-mahasiswa, dan mahasiswa-materi ajar; dan (3) memilih kata/kalimat, waktu, dan sasaran intervensi. Ketepatan intervensi dosen, baik pilihan kata/kalimat, waktu, maupun sasaran, akan menentukan muncul tidaknya kolaborasi yang diharapkan.

C. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian dan implikasi seperti tersebut di atas, berikut ini peneliti sampaikan beberapa saran atau rekomendasi. Saran atau rekomendasi terutama ditujukan kepada:

1. Mahasiswa calon guru matematika, untuk berpartisipasi secara lebih aktif dalam setiap perkuliahan yang menggunakan strategi kolaboratif berbasis masalah, karena strategi ini secara empiris telah terbukti mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematis, dan keyakinan mahasiswa terhadap pembelajaran matematika, lebih baik dari strategi konvensional.

2. Dosen Program Studi Pendidikan Matematika, untuk:

a. Memberi kesempatan kepada mahasiswa calon guru matematika lebih sering saling belajar dalam kelompok untuk menyelesaikan berbagai masalah


(5)

matematis yang beragam cara menyelesaikannya. Untuk keperluan tersebut, dosen perlu menyiapkan bahan ajar berbasis masalah dan cerdik memilih masalah yang tepat, yang mampu memberi peluang memunculkan diskusi. b. Menciptakan suasana belajar yang kondusif, yang memberi peluang

terjadinya kolaborasi melalui interaksi yang kuat antara dosen-mahasiswa, mahasiswa-mahasiswa, dan mahasiswa-materi ajar. Kolaborasi yang demikian akan memberi pengalaman belajar matematika yang berkesan dan menyenangkan bagi mahasiswa. Pengalaman belajar yang beragam, konstruktivistik, dan inovatif akan mampu menumbuhkan keyakinan mahasiswa yang semakin positif terhadap pembelajaran matematika.

c. Terus menerus belajar menajamkan mata, telinga, hati, dan otak pada saat perkuliahan berlangsung agar semakin mampu memberi scaffolding yang tepat untuk mahasiswa atau kelompok mahasiswa yang memerlukan bantuan. Namun, karena kesimpulan dari penelitian ini juga menyebutkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika program reguler dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan kemampuan mahasiswa program non reguler, maka perlu ada beberapa penyesuaian dalam implementasi strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah untuk mahasiswa non reguler.

Penyesuaian yang disarankan antara lain adalah: (1) bahan ajar untuk mahasiswa program non reguler disusun lebih terinci; (2) masalah untuk mahasiswa program non reguler disusun bertingkat, baik menyangkut struktur maupun tingkat kesulitannya, dari yang mudah ke yang lebih sukar, dari yang terstruktur dengan baik, sampai yang buruk strukturnya; dan (3) mahasiswa program non reguler perlu diberi kesempatan lebih sering untuk berlatih menuliskan hasil belajar mereka dalam kelompok dan mempresentasikannya di depan kelas, dibandingkan mahasiswa program reguler.

3. Pengelola Jurusan atau Program Studi Pendidikan Matematika, untuk bersedia mengkaji dan mensosialisasikan strategi kolaboratif berbasis masalah ini pada dosen-dosen di jurusan mereka serta memotivasi dan memfasilitasi dosen-dosen untuk mempraktekkannya.

4. Para peneliti bidang pendidikan matematika, untuk memanfaatkan hasil, temuan, atau kesimpulan dari penelitian ini sebagai referensi dalam melakukan penelitian


(6)

lebih lanjut. Penelitian lebih lanjut yang dapat peneliti sarankan antara lain dalam hal:

a. Peningkatan setiap kompetensi strategis dalam pemecahan masalah, seperti conceptual understanding, procedural fluency, strategic competence, adaptive reasoning, dan productive disposition, yang belum mendapat perhatian khusus dalam penelitian ini,

b. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis lisan. Meskipun kemampuan komunikasi lisan dalam implementasi strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah sudah termasuk dalam hal yang dikembangkan, namun pada penelitian ini peningkatannya belum diukur. Bagi mahasiswa calon guru matematika, memiliki kedua kemampuan komunikasi matematis, lisan dan tertulis, sangatlah penting untuk menjadikannya guru yang mampu memberi gambaran yang wajar tentang pelajaran matematika kepada siswa. Oleh karena itu, penelitian tentang peningkatan kemampuan komunikasi matematis lisan pada implementasi strategi kolaboratif berbasis masalah menjadi hal yang penting untuk dilakukan.

c. Belief yang berpotensi lebih berkembang melalui pemberian perkuliahan

menggunakan strategi kolaboratif berbasis masalah. Hasil yang menonjol dari penelitian ini baru menunjukkan adanya bukti empiris bahwa peningkatan keyakinan terhadap pembelajaran matematika untuk mahasiswa yang mendapatkan perkuliahan dengan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan peningkatan keyakinan mereka yang mendapatkan perkuliahan secara konvensional. Penelitian ini belum sampai pada mengkaji secara mendalam belief mana yang berpotensi lebih berkembang melalui pemberian perkuliahan dengan strategi kolaboratif berbasis masalah. Apakah belief yang berkembang sebgai akibat pengalaman, penjelasan, ataukah penalaran, masih perlu diteliti lebih jauh. Mengetahui belief mana yang lebih berpotensi dikembangkan melalui strategi kolaboratif berbasis masalah, penting untuk dapat menyempurnakan implementasi strategi ini di waktu yang akan datang.