Pemetaan Potensi Lanskap Budaya Bali Warisan Benda dan Tak Benda.

HALAM
MAN SAM
MPUL WAR
RNA KUNIING
LA
APORAN AKHIR
A
HIB
BAH UNGG
GULAN PR
ROGRAM STUDI

Tahun kee-1 dari ren
ncana 1 tah
hun

NaaniekKohdraata, SP., ML
LA. / 00010087406
Ir. CokoordaGede Alit
A Semarajaaya, MS. / 0017125702
0

2
Ni WayanFebriannaUtami, SP
P., M.Si. / 00007028203
Ir. KomangArt
K
thawa Lila, MS. / 00077025201

PROGRA
AM STUDII ARSITEK
KTUR PER
RTAMANA
AN
FAKU
ULTAS PER
RTANIAN
UNIVE
ERSITAS U
UDAYANA
A
NO

OVEMBER
R 2015

Dibiayai ooleh
DIPA PN
NBP Universsitas Udayaana
Sessuai dengann Surat Perjaanjian Penuugasan Pelakksanaan Pennelitian
Noomor Kontraak : 1137/U
UN14.1.23/P
PL/2015, tannggal 25 Meei 2015

RINGKASAN
Budaya merupakan hasil dari cipta dan karsa manusia. Budaya memberikan identitas pada
manusia baik sebagai individu dan juga manusia dalam komunitasnya. Budaya sebagai produk
manusia memiliki sifat benda (tangible)maupun tak benda (intangible). Kedua bentuk tersebut
sama-sama memiliki peran yang memberikan makna manusia sebagai individu maupun sebagai
komunitas masyarakat. Perspektif arsitektur lanskap memaknai budaya sebagai media perekam
peradaban manusia. Dinamika kebudayaan hasil interaksi manusia dan lingkungannya terekam
dan tersimpan dalam lanskap. Lanskap budaya menjadi media penting untuk mengetahui,
mempelajari, dan memahami, yang terjadi dalam jejak peradaban manusia. Lanskap budaya

dapat menjadi sumber interpretasi dan inspirasi tak terhingga dalam memperkaya budaya itu
sendiri.
Potensi-potensi lanskap budaya di wilayah Klungkung dan Bangli yang masuk ke dalam
Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) Daerah Aliran Sungai (DAS) Oos Jinah, baik yang tangible
maupun intangible, menunjukkan ragam budaya manusia sebagai hasil interaksinya dengan alam
sekitarnya. Banyak hal yang terekam dengan baik secara fisik, seperti arsitektur bangunan pura
dan juga gedung-gedung rumah toko, sehingga dapat menjadi sumber pembelajaran yang baik.
Demikian pula warisan tak benda seperti ketrampilan lukis khas Kamasan dan kuliner khas
Klungkung serta proses pembuatan garam Kusamba yang merupakan media pembelajaran
sekaligus sumber potensi ekonomi bagi masyarakatnya.

ii 
 

PRAKATA
Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa atas
perkenanNya laporan akhir penelitian Hibah Unggulan Program Studi tahun 2015 dengan judul
Pemetaan Potensi Lanskap Budaya: Warisan Benda dan Tak Benda dapat disusun. Laporan akhir
ini merupakan bagian dari presentasi hasil penelitian mengenai potensi lanskap budaya dengan
menggunakan acuan bio-region Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) Daerah Aliran Sungai

(DAS) Oos Jinah sebagai wilayah pemetaan potensi lanskap. Laporan ini adalah bagian dari
pemaparan tertulis dari hasil yang diperoleh. Deskripsi yang dijabarkan untuk masing-maisng
potensi masih membuka peluang untuk ditindaklanjuti lebih mendalam sebagaimana tujuan awal
dari penelitian ini, yaitu mempersiapkan blue print atau cetak biru untuk penelitian lanskap
budaya, khususnya di Bali. Demikian pula potensi-potensi dari wilayah lain di pulau Bali masih
banyak yang belum dimunculkan sehingga hasil penelitian ini masih merupakan bagian dari
rencana penelitian keseluruhan. Namun hasil yang diperoleh dari penelitian ini telah dapat
memberikan gambaran tentang potensi lanskap, baik yang benda maupun bersifat tak benda,
yang dapat dan mungkin perlu dilestarikan untuk kelangsungan budaya di Bali.
Akhir kata, penulis berharap bahwa tulisan dalam laporan ini dapat bermanfaat bagi
pembaca sekalian dan memperkaya informasi mengenai lanskap budaya Bali.

Denpasar, November 2015
Tim Peneliti

iii 
 

DAFTAR ISI


HALAMAN SAMPUL WARNA KUNING................................................................................ 1 
HALAMANPENGESAHAN......................................................................................................... I 
RINGKASAN ................................................................................................................................ II 
PRAKATA ................................................................................................................................... III 
DAFTAR ISI................................................................................................................................ IV 
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................... V 
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................................. 1 
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 3 
BAB III. TUJUAN AND MANFAAT PENELITIAN ............................................................... 6 
BAB IV. METODE PENELITIAN ............................................................................................. 7 
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................... 11 
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 27 
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 28 
LAMPIRAN................................................................................................................................. 30 

iv 
 

DAFTAR GAMBAR


Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian – SWP DAS Oos JinahPulau Bali………….....…………. 7
Gambar 2. Diagram Tahapan Peta Dijital……………………………………………………. 9
Gambar 3. Diagram Kerangka Penelitian……………………………………………...…….. 10
Gambar 4. Ruko Dekorasi Arsitektur Bali………………………………………….….…….. 12
Gambar 5. Ruko Arsitektur Art Deco………………………………………………..…......... 12
Gambar 6. Façade DesainArsitektur untuk Fotografi……………………………….….…… 13
Gambar 7. Ruko Arsitektur Art Deco……………………………………………………….. 14
Gambar 8. Taman Narmada Bali Raja – Bangli ……………………………………………. 15
Gambar 9. Candi Bentar dan Kori Agung Pura Taman Sari ………….……………………. 18
Gambar 10. Petani Menyiram Petak Ladang Garam di Pantai Kusamba - Klungkung ……… 16
Gambar 11. Wadah Penampungan Konsentran Air Garam…………………………………. 19
Gambar 12. Proses Penguapan Air untuk Menghasilkan Kristal Garam…………………….. 20
Gambar 13. Contoh Lukisan Kamasan …………………………………………..………….. 22
Gambar 14. Jajan Tradisional Ongol-ongol Sate, Pasar Senggol Klungkung……………….. 24
Gambar 15. Antrean Pembeli Jajan Tradisional, Pasar Senggol Klungkung………………... 25
Gambar 16. Kuliner Serombotan …………………………………………………………...

26



 

BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejatinya budaya adalah manusia itu sendiri. Budaya merupakan hasil interaksi manusia
dengan segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik biotik maupun abiotik. Maka budaya merekam
jejak hidup manusia dan tentunya hasil interaksi yang terjadi. Budaya merupakan produk
manusia yang bersifat benda (tangible)maupun tak benda (intangible). Kedua bentuk tersebut
sama-sama memiliki peran yang memberikan makna manusia sebagai individu maupun sebagai
komunitas masyarakat.Budaya memberikan identitas pada manusia baik sebagai individu dan
juga manusia dalam komunitasnya.
Kompleksitas dan rentang perspektif budaya yang begitu lebar terekam dalam berbagai
media. Lanskap dalam pengertian bentang alam yang memuat segala produk budaya benda
maupun tak benda merupakan salah satu media perekam budaya manusia. Franceso Bandarin,
Direktur Unesco World Heritage, dalam wawancara denganAmerican Society of Landscape
Architecturemengatakan bahwa pada saat sebuah wilayah dipandang sebagai lanskap, maka ia
mengandung nilai-nilai budaya. Lanskap budaya penting sebagai media untuk mengetahui,
mempelajari, memahami, dan mengintrospeksisegala yang terjadi dalam jejak peradaban
manusia. Lanskap budaya dapat menjadi sumber interpretasi dan inspirasi tak terhingga dalam
memperkaya budaya itu sendiri. Peran sebagai media perekam kejadian masa lalu dan masa kini

untuk kepentingan pembelajaran dan kebaikanmasa depan, telah menempatkan lanskap budaya
pada posisi penting untuk dilestarikan.
Era globalisasi dan kemajuan teknologi telah membuka gerbang besar arus informasi dan
lalu lintas manusia. Terjadi interaksi budaya antar belahan dunia dengan sangat cepat dan masif
terutama pada daerah-daerah tujuan pariwisata. Bali sebagai salah satu destinasi wisata terkenal
di dunia, tak terelakkan pasti akan mengalami persinggungan dengan budaya lain yang bersifat
positif ataupun negatif. Lanskap budaya Bali sebagai identitas diri masyarakat Bali tentu perlu
dipertahankan agar tidak tergerus oleh budaya lain terutama yang tidak selaras dengan jati
dirinya.
Pemetaan lanskap budaya Bali dengan segala kompleksitas yang ada akan dilakukan oleh
tim peneliti dengan keahlian di bidang masing-masing yang tergabung dalam Program Studi
Arsitektur Pertamanan, Fakultas Pertanian UNUD. Keutamaan dan keahlian dari masing-masing
anggota menjadi modal dalam mengidentifikasi lanskap budaya yang bernilai untuk dikonservasi

 

dan dipetakan. Bidang keahlian dari tim peneliti mencakup arsitektural lanskap, budaya Bali,
tanaman, lingkungan, dan SIG (Sistem Informasi Geografi).
 



 

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap
Lanskap sebagai suatu kata, awalnya dipakai hanya dikalangan pelukis, mengandung
makna suatu lukisan yang merepresentasikan pemandangan alami. Sejalan dengan waktu, kata
tersebut mengalami perkembangan makna, utamanya dalam bidang arsitektural dengan
munculnya ranting ilmu arsitektur lanskap.Jackson (1980) menyatakan lanskap sebagai sebentuk
lahan yang di atasnya terjadi interaksi antara manusia dengan lingkungan dalam jangka panjang
dan akan terus mengalami perubahan dengan berjalannya waktu perubahan.Rachman (1984) dari
perspektif lanskap sebagai objek memberikan definisi lanskap sebagai berikut:
....... Lanskap adalah wajah dan karakter lahan atau tapak bagian dari muka bumi
ini dengan segala kehidupan dan apa saja yang ada didalamnya, baik yang bersifat
alami maupun buatan manusia, yang merupakan bagian atau total lingkungan
hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh
indera kita dapat menangkap dan sejauh imajinasi kita dapat menjangkau dan
membayangkan.
Sementara Whythe (2002) mengatakan bahwa lanskap merupakan hasil dari interaksi
antara manusia dan lingkungan fisik. Lanskap tercipta baik disengaja maupun tidak disengaja,

sehingga didalam upaya untuk memahaminya perlu diperhatikan konteks dari lanskap itu sendiri.
merupakan.Dalam pandangan Whythe, lanskap tidak hanya apa yang terlihat kasat mata karena
lanskap merupakan produk budaya dan sosial (manusia). Kompleksitas yang terjadi dari jalinan
hubungan antar variabel-variabel sosial dan budaya tersebut merupakan bagian dari unsur tak
benda suatu lanskap.

Budaya
Menilik asal kata budaya, menurut Koentjaraningrat (2005), kata budaya berasal dari
bahasa sansekerta ‘buddhayah’, yaitu bentuk jamak dari kata ‘buddhi’ yang berarti budi atau
akal. Budaya adalah cipta, karsa dan rasa, sementara kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa,
dan karsa, demikian definisi dari Koentjaraningrat. Budaya bukanlah suatu hal yang statis; bukan
pula suatu kekuatan maha-besar yang terjadi diluar kuasa ataupun kesadaran manusia dan alam.
Budaya meruapakan suatu hal yang secara konsisten berubah dan diubah sepanjang kehidupan
manusia (Groth, 1997). Selanjutnya Groth menjabarkan bahwa dalam konteks kajian lanskap,

 

budaya adalah tindakan sehari-hari manusia dan struktur sosial masyarakat. Budaya dibentuk
oleh tindakan manusia baik secara sadar ataupun tidak. Hal-hal yang perlu menjadi perhatian
dalam konteks budaya tersebut mencakup kekuasaan, ras, etnisitas, sub-budaya maupun

oposisinya.

Lanskap Budaya
Dunia internasional telah mengakui lanskap budaya sebagai salah satu bentuk local
genius atau kearifan lokal yang perlu dilestarikan untuk kepentingan generasi masa depan.
UNESCO mendefinisikan lanskap budaya sebagai ‘cultural landscape are those where human
interaction with natural systems has, over a long period, formed a distinctive landscape. These
interaction arise from, and cause, cultural value to develop’.Lebih lanjut dijabarkan dalam
publikasi UNESCO tentang lanskap budaya bahwa sebenarnya kata lanskap telah mengandung
makna budaya. Penambahan kata budaya setelah lanskap bertujuan untuk menekankan bahwa
terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungannya, serta adanya pengakuan terhadap
lanskap benda dan tak benda. O’Donnell (2011) menyatakan bahwa lanskap budaya merupakan
suatu ekpresi dari suatu proses dan juga produk dari budaya dan alam itu sendiri. Interaksi terjadi
terus menerus sepanjang peradaban manusia hidup di bumi. Terkadang muatan alam banyak
terkandung dalam suatu lanskap, dilain waktu dan kesempatan, unsur manusia lebih menonjol
dalam suatu lanskap budaya.
Groth (1997) mengingatkan bahwa dalam konteks lanskap budaya, kata budaya akan
memunculkan berbagai alternatifpemaknaan begitu kata tersebut dipakai dalam suatu studi yang
terkait dengan manusia, ekonomi, dan alam. Walaupun definisi kata budaya tersebut dapat
dikatakan telah disepakati secara umum dalam konteks keilmuan itu sendiri. Karakter alami dari
suatu lanskap terbangun selain bersifat memperkaya akan tetapi sekaligus berpotensi
menciptakan kerumitan dalam teori dan metode lanskap budaya. Kerumitan tersebut hendaklah
dimaknai secara positif sebagai suatu kompleksitas yang perlu dibaca dengan kaca mata multi
disiplin dan bersifat kontekstual.
Lanskap budaya memiliki nilai yang tinggi bagi peradaban manusia. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Mazilu dan Lazar (2014) bahwa lanskap budaya memberikan kontribusi pada
identitas lokal dan regional, serta mencerminkan sejarah dan interaksi antara manusia dengan


 

alam. Konsekuensi dari nilai penting tersebut adalah perlunya memelihara keberadaan lanskap
budaya, termasuk melakukan upaya rehabilitasi jika dipandang perlu.

Produk Hukum Terkait Lanskap Budaya
Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
merupakan dalah satu produk hukum pemerintah Indonesia yang menaungi lanskap budaya.
Cagar budaya didefinisikansebagai warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan
Cagar Budaya di darat dan/atau diair yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki
nilai penting bagi sejarah,ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui
proses penetapan.
Pemerintah Provinsi Bali dalam menyikapi perlindungan dan konservasi terhadap warisan
budaya di pulau Bali telah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2014
tentang Pelestarian Warisan Budaya Bali. Warisan budaya yang dimaksud dalam Perda tersebut
adalah hasildari prossperadaban masyarakat Bali bersifat kebendaan dengan berbagai keyakinan
dan nilai-nilai universal terutama dijiwai Agama Hindu. Perda Nomor 4 Tahun 2014 tersebut
merujuk pada payung hukum UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Tujuan dari Perda
ini adalah sebagai upaya pelestarian dan perlindungan. Upaya pelestarian mencakup
perlindungan, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya Bali. Kemudian
dijabarkan lebih lanjut bahwa pengertian perlindungan mengandung makna untuk mencegah dan
menanggulangui warisan budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara
penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran


 

BAB III. TUJUAN AND MANFAAT PENELITIAN

Tujuan Khusus Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan lanskap-lanskap budaya yang ada di Bali.
Pemetaan yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup posisi spasial serta nilai-nilai benda
maupun tak benda yang terkandung pada suatu obyek ataupun wilayah dalam konteks lanskap
budaya. Secara khusus penelitian ini diharap, pertama, dapat menjadi cetak biru(blue print) atau
semacam ‘road map’ penelitian bagi lanskap budaya Bali pada khususnya. Kedua, sebagai
kontribusi data dan informasi lanskap budaya yang ada di nusantarasehingga makin memperkaya
rekam jejak lanskap budaya Indonesia.

Urgensi Penelitian
Setiap jengkal lanskap muka bumi dimana manusia ada atau pernah ada, tentu merekam
budaya dalam segala bentuk maupun tingkatan. Tidak semua lanskap budaya dapat dilestarikan
dan dipertahankan keberadaannya, mengingat begitu banyak faktor pembatas yang menghalangi
upaya tersebut. Namun untuk kehidupan manusia yang lebih baik, masa kini dan masa depan,
maka upaya-upaya pelestarian lanskap-lanskap budaya yang penting untuk dilakukan. Dari
perspektif lingkungan dapat dengan lugas dijabarkan segala keterbatasan sumber daya alam,
sehingga pemanfaatan yang bijak menjadi hal yang mendesak. Sementara dari aspek demografi,
tidak dapat disangkal bahwa populasi manusia di muka bumi semakin berkembang dan
mengkonsumsi banyak sumber daya alam. Lanskap budaya akan menjadi media belajar bagi
manusia untuk bersikap arif dan bijak terhadap alam dan segala isinya. Artinya meminimalisir
untuk membuat keputusan dan kebijakan yang tidak tepat dengan belajar dari lanskap budaya;
serta mengoptimalkan penerapan cara-cara baik yang dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan
kondisi. Lanskap budaya menjadi contoh sekaligus referensi untuk meminimalisir cara-carayang
bersifat trial and error dalam bentuk masif.
Hasil dari penelitian ini berupa digitasi lokasi lanskap-lanskap budaya yang ada di Bali.
Titik-titik lokasi keberadaan lanskap budaya yang terekam secara spasial akan dilengkapi dengan
deskripsi lanskap budaya berupa warisan lanskap benda maupun tak benda yang direkam dan
dituangkan dalam bentuk tulisan pada penelitian ini sehingga dapat bermanfaat bagi dunia ilmu
pengetahuan serta kemajuan budaya dan peradaban manusia.

 

BAB IV. METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian direncanakan untuk dilakukan dalam waktu 8 bulan. Lokasi penelitian meliputi
area yang tercakup dalam Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) Daerah Aliran Sungai (DAS) Oos
Jinah. SWP DAS Oos Jinah secara geografis berada antara koordinat 08o19’45” - 08o39’05” LS
dan 115o13’15” - 115o25’15” BT. Peta orientasi untuk lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian – SWP DAS Oos JinahPulau Bali

 

Metode Penelitian
Metode deskriptif dipergunakan dalam penelitian pemetaan potensi lanskap budaya Bali
agar dapat menangkap rentang spektrum lanskap budaya yang relatif kompleks. Analisa potensi
suatu lanskap budaya akan ditentukan dengan menggunakan parameter penilai kategori lanskap
menurut Kozlowski (2011). Deskripsi suatu lanskap menurut Kozlowksi dapat dikategorikan
sebagai berikut:
a. Bentuk, mencakup tampilan umum dari lingkungan, rupa atau tampilan suatu obyek.
b. Struktur, cara dari bagian-bagian suatu sistem atau obyek ditata atau diatur, atau suatu
sistem yang telah diatur sedemikian rupa.
c. Fungsi, tujuan alami dari sesuatu, tujuan dan kegunaan
d. Nilai, sesuatu yang dipercaya masyarakat mengenai benar dan salah, serta hal yang paling
penting dalam hidup yang mengatur perilaku mereka atau sejumlah dana yang mungkin
didapat dari sesuatu; bersifat penting dan layak.
e. Evolusi, suatu proses perubahan dan perkembangan yang terjadi secara bertahap.
f. Asal-usul, fitur-fitur milik suatu kelompok sosial tertentu, seperti tradisi, bahasa,atau
bangunan, yang masih eksis dari masa lalu dan memiliki nilai penting historis.
Analisis spasial akan dilakukan untuk memetakan koordinat lokasi lanskap budaya yang
dinilai memiliki potensi untuk dikonservasi. Koordinat-koordinat lokasi tersebut kemudian
diterjemahan ke dalam bentuk peta. Tahap-tahapan yang dilakukan dalam menghasilkan peta
dijital dapat dilihat pada Gambar 2.
Kegiatan dimulai dengan memasukkan sumber data spasial. Apabila sumber data tersebut
dalam format raster (JPEG), maka perlu diubah terlebih dahulu menjadi format dijital dengan
melakukan on screen digitation. Namun sebelumnya harus dilakukan proses koreksi geometrik
dengan melakukan rektifikasi. Setelah peta dasar siap, tahap selanjutnya adalah menginput data
hasil pengukuran di lapangan. Pada penelitian ini data berasal dari pemindaian dengan GPS.
Titik-titik GPS ini nanti akan menginformasikan distribusi lokasi.


 

Peta Kawasan: Peta Dasar/Tematik 
Format Raster (JPEG) 

Format Vektor  

Rektifikasi 

Rektifikasi 

On Screen Digitation 
Peta Zona Ruang Kawasan
OVERLAY

Titik‐titik GPS

Peta Distribusi Komunitas Masyarakat di Kerajaan 
Klungkung abad ke‐19 

Gambar 2. Diagram Tahapan Peta Dijital

Kerangka Pikir Penelitian
Desain penelitian pemetaan potensi lanskap budaya Bali menggunakan kerangka
penelitian dengan alur sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3. Proses inventarisasi data
lanskap budaya akan menghimpun sejumlah obyek lanskap budaya yang dinilai memiliki potensi
memperkaya budaya dan peradaban manusia. Parameter lanskap menut Kozlowski akan
dipergunakan untuk memberi nilai suatu obyek lanskap. Semakin banyak suatu obyek lanskap
masuk dalam kategori yang ada, maka lanskap tersebut memiliki prioritas untuk dipetakan dalam
peta lanskap budaya Bali. Pemilihan lokasi penelitian dengan mengambil kawasan bioregion
SWP DAS Tukad Oos Jinah dengan mempertimbangkan bahwa peradaban manusia biasanya
akan mengambil tempat di sekitar aliran sungai. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah
lokasi kerajaan Klungkung yang terletak dalam wilayah SWP tersebut. Dalam masa
pemerintahan Klungkung, kerajaan-kerajaan di Bali pernah mengalami masa kejayaan dan

 

kesejahteraan, fisik dan spiritual; sehingga diperkirakan budaya yang tercipta dan lanskap
wilayah tersebut tentunya memiliki arti penting bagi perkembangan dan kemajuan budaya
manusia ke depannya.

INVENTARISASI DATA
POTENSI OBYEK LANSKAP BUDAYA

MATRIKS PENILAIAN PRIORITAS 
POTENSI LANSKAP BUDAYA 
KATEGORI LANSKAP KOZLOWSKI (2011) 

LANSKAP BUDAYA TERPILIH 

LANSKAP BUDAYA TIDAKTERPILIH 

PEMINDAIAN LOKASI 

ARSIP/DOKUMENTASI 

ANALISA SPASIAL 

PETAPOTENSI LANSKAP BUDAYA 
BENDA DAN TAK BENDA 

PETA INTERAKTIF LANSKAP BUDAYA 
BENDA DAN TAK BENDA 

kompilasi deskripsi, media visual, 
dan titik lokasi

Gambar 3. Diagram Kerangka Penelitian

10 
 

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum SWP DAS Oos Jinah
Wilayah SWP DAS Oos Jinah secara administratif meliputi empat kabupaten di pulau
Bali. Keempat kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Bangli – mencakup Kecamatan Kintamani,
Susut, Bangli dan Tembuku, Kabupaten Klungkung – mencakup Kecamatan Banjarangkan dan
Klungkung, Kabupaten Karangasem – mencakup Kecamatan Rendang, dan Kabupaten Gianyar –
mencakup Kecamatan Tampaksiring, Tegallalang, Gianyar, Blahbatuh, Sukawati, Ubud,
Payangan. Keseluruhan wilayah SWP DAS Oos Jinah adalah 61.349 ha (Dephut, 2009). SWP
DAS Oos Jinah mencakup delapan DAS, yaitu Tukad Oos Jinah, Tukad Bubuh, Tukad Melangit,
Tukang Sangsang, Tukad Pakerisan, Tukad Petanu, Tukas Oos, dan Tukad Singapadu.
Kondisi iklim wilayah tersebut termasuk tipe B hingga D, yaitu agak basah hingga agak
kering, menurut klasifikasi iklim Schmidth-Ferguson. Bentukan lahan didominasi dari hasil
proses vulkanik meliputi 54.713 ha atau sekitar 89% wilayah SWP DAS Oos Jinah. Sementara
sekitar 11% wilayahnya merupakan bentukan lahan fluvial. Kondisi topografi bervariasi dari
datar, landai, bergelombang, dan berbukit. Sekitar 47% wilayah masuk dalam kategori datar,
25% landai, 22% bergelombang. Kategori berbukit sekitar 5% dijumpai hanya di Tukad Petanu
dan Tukad Oos.

Inventarisasi Potensi Warisan Benda
Arsitektur Kuno Kawasan Kota Semarapura
Kota Semarapura saat ini memiliki beberapa bangunan yang masih menyisakan jejakjejak arsitektur yang dapat memperlihatkan perkembangan kota Semarapura. Beberapa bangunan
kuno dengan dekorasi arsitektur Bali (Gambar 4) maupun arsitektur Art Deco (Gambar 5) layak
untuk dikonservasi. Lapisan-lapisan perubahan kota Semarapura terekam baik secara fisik di
bagian kota ini. Kata Art Deco sebenarnya berasal dari Arts Decorative, yaitu suatu istiah yang
dipakai mulai tahun 1960-an untuk menamai suatu gaya desain yang muncul di tahun 1925 saat
berlangsungnya International Exposition of Modern Decorative Arts. Menurut Hindarto (2010),
arsitektur Art Deco sangat mengedepankan ornament desain sehingga façade bangunan menjadi
bagian yang penting. Di Indonesia, arsitektur Art Deco merupakan bagian dari arsitektur era
colonial yang popular antara tahun 1920an – 1940an. Arsitek-arsitek Art Deco yang populer di
11 
 

Hindia Belanda saat itu diantaranya C.P. Wolff Schoemaker, A.F. Falbers, Thomas Karsten
(Pranowo, 2014). Umumnya arsitektur Art Deco banyak dijumpai pada bangunan-bangunan
umum/bangunan untuk publik seperti yang banyak dijumpai di Bandung, Surabaya, Jakarta.
Adanya arsitektur gaya Art Deco di pulau Bali, khususnya di kota Klungkung tentunya menjadai
menarik,baik ditinjau dari segi kesejarahan asal-usul maupun bentuk dan struktur arsitekturnya.
Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pada bangunan-bangunan tersebut.

Gambar 4. Ruko Dekorasi Arsitektur Bali

Gambar 5. Ruko Arsitektur Art Deco
12 
 

Arsitektur Art
A Deco dii Klungkun
ng ada berdaampingan dengan
d
banggunan dengaan ornamenn
khas arssitektur Balli. Merujuk pada tulisann Dwijendraa (2009) dissebutkan baahwa tipologgi arsitekturr
bangunan tradisionnal Bali digolongkan menurut
m
tinggkatan utam
ma, madya, ddan nista. Tipe
T
terkecill
mpat, kemu
udian lebih besar adallah bertiangg
disebut dengan baangunan sakkapat atau bertiang em
b
ang dimakssud seluruh
hnya adalahh
enam, delapan, seembilan, daan dua bellas. Tipe bangunanya
bangunan satu lanttai. Tidak ada
a disebutkkan bangunnan satu ting
gkat, dua tiingkat, dan seterusnya;;
dengan lain kata bangunan tradisional Bali untuuk tipe huunian tidakk mengenall bangunan
n
bertingkkat. Akan tetapi di Semarapura dapat dilihat
d
adaanya banguunan bertin
ngkat yang
g
menginndikasikan pengaruh arsitektur modern, nnamun denngan unsurr dekoratiff arsitekturr
tradisioonal Bali. Raagam hias arsitektur
a
baangunan tersebut meruppakan rekam
m budaya yang pentingg
untuk dikaji
d
dan diiteliti lebih lanjut karenna menunjukkkan adanyya evolusi arrsitektural bangunan
b
dii
Bali. Keunikan
K
terrsebut meruupakan benntuk penerim
maan budayya masyaraakat setemp
pat terhadapp
perubahhan dan perkkembangann jaman di era tersebut.
Façade daari rumah tooko (ruko) di kota Sem
marapura dapat menjaddi latar belakang yangg
menarikk untuk pennggemar footografi (Gaambar 6). S
Selain itu, kawasan peertokoan teersebut jugaa
memilikki pedestriaan walk berrbentuk selasar beratapp yang mennjadi bagiann dari rukoo itu sendirii
(Gambaar 7). Bentuuk arsitektu
ur semacam
m ini mulai sulit dijum
mpai pada ddesain-desain arsitekturr
pertokooan masa kinni. Konsep window shoopping era ttahun 60-ann hingga sekkitar awal 800-an.

Gambarr 6. Façadee DesainArssitektur untuuk Fotografi
fi
13

 

Gambar 7. Ruko Arsitektur Art Deco

Pura Taman Narmada Bali Raja
Pura Taman Narmada Bali Raja terletak di Desa Tamanbali – Bangli. Pura ini dikelilingi
oleh areal persawahan dan memiliki kolam alami yang cukup luas. Kondisi udara di daerah
tersebut sejuk dan segar karena alam sekeliling yang asri (Gambar 8). Terdapat jalan setapak
dengan perkerasan yang mengelilingi area pura dan kolam (danau kecil). Dijumpai pula bekasbekas struktur yang tampaknya didesain sebagai tempat duduk untuk menikmati pemandangan
danau. Desain struktur tersebut sama sekali tidak selaras dengan arsitektur Pura Taman Narmada
Bali Raja sehingga tampak asing dalam atmosfer lingkungan yang ada.
Namun terlepas dari struktur tambahan yang tampaknya diperuntukkan untuk tujuan
rekreasi menikmati kolam dan pemandangan yang indah dan menyejukkan di sekeliling pura,
Pura Taman Narmada Bali Raja memiliki nilai historis terutama untuk keturunan Maha Gotra
Tirta Harum. Konon menurut cerita dari Babad Kesatria Taman Bali, kolam air yang
mengelilingi Pura Narmada Taman Bali Raja dibangun oleh Danghyang Subali pada saat sedang
melakukan yoga semadi. Ia menamai taman pemandian tersebut Taman Bali hingga akhirny
daerah tersebut dikenal dengan Taman Bali (Pinatih, 2011). Sementara dalam artikel yang ditulis
Yanti dan Atmadja (2013) menyebutkan bahwa Taman Narmada Bali Raja dibuat oleh Sang
Anom alias Tirta Harum sebagai tempat pemujaan untuk menghormati leluhur.
14 
 

Gambar 8. Pura Taman Narmada Bali Raja – Bangli
Pura Taman Narmada Bali Raja sangat sesuai dikategorikan sebagai lanskap budaya
karena menyimpan potensi bentuk, struktur, fungsi, evolusi, dan demikian juga asal-usul. Secara
bentuk pura tersebut menghadirkan kombinasi antara pura sebagai tempat pemujaan dan juga
taman dengan elemen dominan air yang dihadirkan dalam bentuk kolam. Kombinasi ini
membuat pura menjadi salah satu dari sedikit pura yang memiliki elemen air dari segi desain
bentuknya. Kategori struktur dari pura ini juga menampilkan keunikan karena hanya memiliki
dua pembagian ruang, yaitu madya mandala dan utama mandala. Pura ini tidak memiliki nista
mandala sehingga biasanya digolongkan dalam kategori pura sederhana. Hal menarik lain adalah
potensi untuk melihat evolusi fungsi pura dari jaman dahulu hingga masa kini dengan adanya
penambahan struktur disekeliling pura yang memiliki arsitektur kontras dengan pura tersebut.
Demikian pula terdapat tambahan fungsi rekreasi dari semula hanya fungsi religi-tradisi.

Kompleks Pura Taman Sari
Kerajaan Klungkung memiliki peran signifikan sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan
di Bali, khususnya yang mengakar dari kerajaan Hindhu Majapahit. Sejarah panjang kerajaan
Klungkung yang pada akhirnya berlokasi di wilayah Klungkung seperti saat ini memiliki kaitan
waktu dan peristiwa di pura-pura yang terdapat di kompleks Pura yang ada di wilayah Banjar
Sengguan – Kabupaten Klungkung, sekitar 500 meter arah timur laut keraton Klungkung.

15 
 

Penggunaan kata kompleks digunakan penulis karena di lokasi tersebut terdapat tiga pura penting
yang terkait dengan sejarah kerajaan Klungkung. Pura Taman Sari merupakan pura yang lebih
dikenal oleh penduduk sekitar dan juga masyarakat Bali secara umum, sehingga rujukan lokasi
pura-pura tersebut berada lebih sering dengan penyebutan Pura Taman Sari. Pemerintah telah
menetapkan lokasi tersebut sebagai kawasan cagar budaya dan taman nasional. Pura Taman Sari
diapit dua pura lain, yaitu Pura Penataran Agung – di sebelah selatan, dan Pura Dalem Segening
– di sebelah utaranya .
Menurut Raharja (2011), Pura Taman Sari diperkirakan dibangun pada tahun 1710,
bersamaan dengan pindahnya pusat pemerintahan kerajaan dari Gelgel (Suwecapura atau
Lingharsapura) ke Klungkung (Smarapura). Pura ini memiliki fungsi untuk menyimpan pusakapusaka milik kerajaan dan juga diperkirakan sebagai tempat pemasupatian senjata serta pusaka
milik kerajaan. Pada area Pura terdapat meru tumpang sebelas dan meru tumpang sembilan. Pura
Taman Sari pernah mengalami proses pemugaran untuk memperbaiki kondisi fisik pura dari
tahun 1979 – 1984. Pemugaran dilakukan oleh pemerintah melalui Proyek Pemugaran dan
Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali (Dirjen Kebudayaan RI, 2014). Namun
sungguh disesali, pada 30 Juli 2009 terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan sebagain besar
bangunan di Pura Taman Sari dan juga Pura Penataran Agung (Bali Post, 31 Juli 2009).
Pura Dalem Segening yang terletak di sebelah utara dari Taman Sari merupakan pura
yang didirikan untuk menghormati Ida Dalem Segening (raja Klungkung ke-6). Dalem Segening
digambarkan sebagai seorang raja yang bijaksana, cerdas, pemberani, dan berwibawa. Dalam
masa pemerintahannya, kehidupan rakyat aman sejahtera hingga masa tersebut seni sastra dapat
berkembang. Pujangga-pujangga yang berkarya pasa masa tersebut antara lain Pangeran Telaga
dan Kyai Pande Basa.
Pura Penataran Agung Klungkung berdasarkan informasi yang dihimpun merupakan
merupakan pura pangayengan Ida Batara Besakih. Dibangun sekitar abad ke-18 oleh kerajaan
Klungkung sebagai tempat persembahyangan bagi rakyatnya; dikarenakan pada waktu itu
kerajaan Klungkung sedang berseteru dengan kerajaan Karangasem sehingga dikhawatirkan
yang biasa dilakukan di Pura Besakih yang berlokasi di Karangasem tidak memungkinkan
(Sudibya, 2010). Pura Penataran Agung Klungkung ditetapkan juga sebagai Pura Puseh Bale
Agung desa pekraman Semarapura.

16 
 

Kompleks yang menjadi lokasi ke-3 pura ini memenuhi unsur-unsur lanskap budaya
sesuai parameter Kozlowski untuk cakupan bentuk, struktur, fungsi, dan asal-usul. Pura Dalem
Segening, Pura Taman Sari, dan Pura Penataran Agung masing-masing menjelaskan adanya
keterkaitan dengan arsitektur bentuk dari masa kerajaan Majapahit di Jawa. Hal ini sejalan
dengan dengan sejarah yang menjelaskan asal-usul dari kerajaan Klungkung dan kerajaankerajaan Hindhu Majapahit lainnya di pulau Bali. Apabila ditelusuri, maka pura-pura tersebut
tidak hanya menyimpan kisah sejarah, akan tetapi juga keterkaitan asal-usul kelompok
masyarakat tertentu. Sudibya (2010) menyebutkan bahwa Pura Penataran Agung diempon
(diwarisi dan dipelihara) oleh 14 banjar adat yang termasuk dalam Desa Pekraman Klungkung,
yaitu Banjar Tangkas, Banjar Kartini, Banjar Bucu, Banjar Pekandelan Kaler, Banjar Pekandelan
Kelod, Banjar Bajing, Banjar Ayung, Banjar Galiran, Banjar Mergan, Banjar Gunung Hyang,
Banjar Pande Kota, Banjar Lebah, Banjar Sengguan, dan Banjar Bendul. Dengan kata lain, ke-14
banjar tersebut memiliki keterkaitan historis dengan keberadan Pura Penataran Agung. Terutama
untuk Pura Taman Sari, pembagian ruang areal pura menjadi elemen penilaian paling kuat dalam
pengkategoriannya pada lanskap budaya karena unsur struktur yang dimiliki. Pada mulanya
struktur ruang horisontal areal pura hanya terdiri dari dua bagian, yaitu jaba (halaman luar) dan
jeroan (halaman dalam). Namun saat ini, terutama setelah pemugaran, tata ruang telah mengikuti
tiga pembagian ruang yang dikenal dengan istilah nista, madya, utama. Masing-masing peralihan
ruang tersebut dicirikan dengan pintu gerbang dengan bentuk yang khas. Peralihan antara ruang
nista dan madya ditandai dengan Candi Bentar, yaitu gerbang dengan bentuk terbelah dua.
Sementara peralihan dari ruang madya ke utama ditandai dengan Kori Agung, yaitu gerbang
dengan model candi kurung – bidang gerbang utuh dengan lubang pintu untuk keluar masuk
(Gambar 9).

17 
 

(a) Candi Bentar

(b) Kori Agung

Gambar 9. Candi Bentar dan Kori Agung Pura Taman Sari
(Sumber: http://bali.panduanwisata.id/files/2011/10/pura-taman-sari.jpg dan
http://www.klungkungkab.go.id/assets/wisata/pura-taman-sari2.jpg)

Inventarisasi Potensi Warisan Tak Benda
Pembuatan Garam Tradisional Pantai Kusamba
Petani garam tradisional dapat dijumpai di sepanjang pantai Kusamba – Klungkung.
Proses produksi garam di daerah ini sangat berbeda dengan proses produksi garam yang biasa
dijumpai di pulau Madura – Jawa Timur. Produksi garam di pulau Madura dihasilkan melalui
penguapan air laut yang dialirkan ke tambak-tambak garam. Penguapan air yang terjadi dibantu
oleh tenaga sinar matahari tersebut menghasilkan kristal-kristal kasar garam dan warna garam
yang relatif keruh. Sementara garam di Kusamba dihasilkan melalui proses akumulasi mineral
garam melalui media pasir pantai. Proses produksi garam tradisional ini relatif sederhana namun
menguras tenaga.
Produksi garam dimulai dengan menyiramkan air laut ke atas sebidang pasir pantai yang
telah dialokasikan oleh petani garam tersebut sebagai pasir-garam yang nantinya akan dipanen.
Prose penyiraman ini dilakukan berulang-ulang hingga sekitar 50 kali penyiraman (Gambar 10).
Setelah itu pasir dikeruk untuk dipanen. Pasir kemudian dituang kedalam wadah yang terbuat
dari batang bawah pohon kelapa yang telah dilubangi (Gambar 11). Selanjutnya pasir kembali
disiram dengan air laut sehingga partikel garam yang terakumulasi akan terlarut. Air garam pekat
tersebut mengalir melalui saluran yang telah disiapkan ke dalam sebuah wadah lain, yang juga
terbuat dari batang pohon kelapa. Air garam pekat dalam wadah penampungan tersebut
18 
 

didiamkan selama semalam. Keesokan harinya air garam tersebut dipindah ke wadah-wadah dari
batang bambu yang lebih kecil (Gambar 12). Wadah batang bambu dengan cerukan dangkal
tersebut untuk memudahan air dalam konsentrat garam tersebut lebih cepat menguap dibawah
sinar matahari. Apabila matahari sedang terik, maka hanya diperlukan satu hari untuk memanen
garam. Jika panas matahari tidak cukup terik, maka diperlukan waktu sekitar tiga hari hingga
garam siap panen.

Gambar 10. Petani Menyiram Petak Ladang Garam di Pantai Kusamba - Klungkung

Gambar 11. Wadah Penampungan Konsentran Air Garam
19 
 

Gambar 12. Proses Penguapan Air untuk Menghasilkan Kristal Garam

Potensi lanskap warisan tak benda ini memenuhi unsur struktur, fungsi, nilai dan asalusul. Secara struktur, prose pembuatan garam tradisional ini mengikuti suatu sistem yang telah
diatur sedemikian rupa yang mencerminkan harmoni antara alam dan manusia. Seluruh alat yang
digunakan hampir seluruhnya masih sederhana, dengan teknologi yang sederhana, dan masih
mengandalkan kekuatan alam dan tenaga manusia untuk memanen sesuatu (garam) dari alam.
Mungkinkah dibalik sistem sederhana yang terstruktur tersebut terkandung nilai kearifan bahwa
sebenarnya manusia adalah bagian dari ekosistem, sehingga sewajarnyalah irama hidupnya
disesuaikan dengan irama alam. Sebab menilik dari usaha dan tenaga yang dicurahkan untuk
memanen garam dari air laut dengan hasil produk dan rupiah yang diperoleh, tampaknya aneh,
tidak masuk akal karena jumlah garam peroleh tidaklah banyak, demikia pula uang yang didapat
dari penjualan otomatis tidak banyak pula. Akan tetapi, mengingat asal-usul tradisi petani garam
Kusamba, tampaknya hal tersebut dapat diterima sebagai bagian dari bentuk eksistensi mata
pencaharian masyarakat pesisir.

20 
 

Seni Lukis Kamasan
Lukisan Kamasan (Gambar 13) adalah salah satu gaya lukisan unik yang dapat dijumpai
di Bali. Menurut Tjokorda Raka Putra (2015, hal.111), awal mula berkembangnya lukisan
Kamasan dimulai pada masa pemerintahan Ida Dalem Waturenggong yang mengundang dua
orang dari India. Salah satu orang tersebut bernama Ranath Dewa mengajarkan cara melukis
kepada masyarakat di desa Kamasan. Selanjutnya masyarakat yang telah menguasai teknik
melukis tersebut mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan yang mereka dapatkan hingga
menghasilkan lukisan khas gaya Kamasan. Sementara menurut Mudana (2015) sebagaimana
yang dikutip dari pernyataan Kanta, bahwa asal muasal seni lukis wayang Kamasan muncul dari
gaya seni lukis lontar, yaitu kebiasaan melukis wong-wongan. Dilukis dengan tujuan sebagai
persembahan yang mengandung unsur-unsur artistik dan ajaran tentang keseimbangan
hidupmanusia – Tri Hita Karana – yaitu keseimbangan kehidupan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Lebih jauh Mudana menuturkan bahwa asal
mula penggunaan istilah Kamasan untuk merujuk pada desa asal seorang sangging yang bernama
I Gede Mersadi. Oleh raja Klungkung Dewa Agung Jambe, sang sangging diperintahkan untuk
membuat lukisan wayang dengan tokoh Mahapatih Modara. Hasilnya sangat memuaskan raja
sehingga kemudian ia memerintahkan I Gede Mersadi atau yang kemudian dikenal dengan nama
sangging Modara untuk ke kerajaan-kerajaan lain seperti Gianyar, Karangasem, Mengwi,
Badung, Bangli agar membantu menghias pura, merajan, atau istana raja. Karena sang sangging
berasal dari Desa Kamasan, maka sejak saat itu gaya lukis wayang tersebutdikenal dengan gaya
lukisan Kamasan.
Keunikannya tidak hanya terletak pada gaya lukisan, namun juga pada fleksibilitasnya
untuk diaplikasikan pada sejumlah besar benda fungsional. Lukisan gaya Kamasan mula-mula
dibuatkan kerangka obyek lukisnya yang biasanya diambil dari tokoh-tokoh kisah Ramayana,
Mahabarata, atau dewa-dewi agama Hindhu. Proses selanjutnya adalah mewarnai; dan disinilah
letak keunikan lainnya, yaitu proses pewarnaan dilakukan satu warna demi satu warna. Artinya
jika sedang memberi warna kuning, maka seluruh obyek yang memerlukan warna kuning harus
diselesaikan terlebih dahulu sebelum berpindah ke warna lainnya. Biasanya warna-warna
tersebut telah ditentukan oleh sang pelukis

21 
 

Gambar 13. Contoh Lukisan Kamasan
.
Keunikan utama yang menjadikan lukisan ini dapat dikategorikan warisan tak benda
adalah karena proses hingga lahirnya suatu karya tidak hanya dihasilkan oleh satu tangan. Proses
menggambar biasanya dikerjakan oleh pelukis, sementara proses pewarnaan dapat dikerjakan
oleh “asisten” pelukis. Pakem-pakem warna yang dikehendaki oleh pelukis harus diingat oleh
para asisten pelukis karena tahapan-tahapan pewarnaan sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya. Namun biasanya asisten pelukis diberi kebebasan untuk memberi warna pada
pakaian dari tokoh atau tokoh-tokoh yang dilukis. Disinilah keunikan, kearifan, transfer ilmu,
transfer ketrampilan, dan proses pembelajaran terjadi sekaligus. Komunikasi dipastikan terjadi
antara generasi tua ke generasi yang lebih muda. Penulis mengamati proses pewarnaan yang
dilakukan oleh “asisten” pelukis adalah anak-anak muda; dan hal ini dilakukan dengan
memanfaatkan waktu senggang mereka diluar sekolah.
Didalam disertasinya, Mudana (2015) menyatakan bahwa telah terjadi transformasi seni
lukis wayang Kamasan di Klungkung Bali. Terdapat tiga halyang ditemukan olehnya, yaitu
perubahan produksi dari sakral ke profan, perubahan distribusi dari idealisme tradisi ke idealisme
22 
 

pasar, serta perubahan konsumsi dari produsen ke konsumen. Penelitian Mudana menunjukkan
bahwa terdapat dinamika dalam wilayah lanskap budaya seni lukis Kamasan. Implikasi dari
transformasi yang dipaparkan oleh Mudana memberikan data-data menarik yang menunjukkan
bahwa ketrampilan seni lukis sebagai warisan tak benda dapat bersifat negatif sekaligus positif.
Segi negatif yang dimaksud adalah lunturnya nilai-nilai tradisi lokal yang memprofanisasi
gambar alam dewa menjadi produk-produk suvenir. Hal kedua yang negatif yaitu terpasungnya
aktivitas melukis dalam ranah “pesanan” dan kesepakatan-kesepakatan dagang. Sementara dari
sisi positif, ketrampilan lukis Kamasan yang dimiliki dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
pelukis dan keluarga melalui penjualan hasil lukisan. Selain itu Mudana juga mencatat
temuannya bahwa telah terbentuk industri kreatif dari seni lukis Kamasan dan munculnya
pelukis-pelukis perempuan dari Kamasan. Sebab secara tradisi, perempuan pada jaman dulu
tidak diperkenankan untuk mengambil pekerjaan melukis. Penulis sendiri dalam kesempatan
turun ke lapang di Desa Kamasan melihat bahwa terdapat remaja putri usia belasan tahun ikut
mewarnai lukisan Kamasan sebagai bagian dari proses belajar sebelum menjadi pelukis gaya
Kamasan.

Pasar Senggol Kuliner Klungkung
Kuliner tradisional Klungkung masih dapat ditemukan dengan mudah di pasar senggol
Klungkung. Kuliner serombotan adalah khas Klungkung dan telah lebih dahulu populer. Namun
di pasar senggol Klungkung, penulis menemukan bahwa jajanan Bali di Klungkung memiliki
perbedaan rasa dengan kabupaten lainnya di Bali. Laklak di pasar senggol Klungkung memiliki
tekstur yang lebih halus dan lembut di banding daerah lainnya. Gula cair aren yang dipakai juga
memiliki kualitas yang baik, tidak terlalu manis dan tidak lengket di mulut. Satu lagi yang unik
dari jajanan yang penulis jumpai adalah jajanan semacam ongol-ongol berbentuk kotak-kotak
ditusuk dengan tangkai sate dan laburan kelapan parut (Gambar 14).

23 
 

Gambar 15. Jajan Tradisional Ongol-ongol Sate, Pasar Senggol Klungkung

Kuliner daerah atau kuliner tradisional merupakan warisan tak benda yang penting.
Walaupun saat ini nilai penting yang lebih banyak ditonjolkan karena menghasilkan keuntungan
untuk pariwisata seperti wisata kuliner unik, akan tetapi nilai lain yang tak kalah penting adalah
pada aspek ketahanan pangan dan ketahanan sosial-ekonomi. Kuliner jajanan dan masakan
tradisional biasanya diolah dengan bahan-bahan dari sumber daya alam setempat. Sehingga
spesifik menunjukkan sumber daya pangan yang tersedia di tempat tersebut dan tentunya
tanaman atau ternak yang adaptif dengan lingkungan bersangkutan.
Kuliner yang diperdagangkan di pasar senggol merupakan bentuk usaha mikro yang
menjadi ciri masyarakat sub-urban. Usaha mikro dengan kualitas yang baik menjadi cikal-bakal
usaha yang lebih besar. Usaha mikro umumnya juga memasarkan produk dengan harga yang
dapat dijangkau masyarakat luas. Dalam konteks kuliner tradisional dari usaha mikro di pasar
senggol Klungkung telah menciptakan budaya kuliner bagi masyarakat setempat di sore hari.
Pelanggan jajanan tradisional Bali ini hampir selalu mendapat antrean pembeli setiap harinya
(Gambar 15) karena harga per bungkus yang murah meriah yaitu Rp 3.000,- dibanding makanan
sejenis dalam porsi yang sama.

24 
 

Gambar 15. Antrean Pembeli Jajan Tradisional, Pasar Senggol Klungkung

Potensi kuliner di pasar senggol Klungkung merupakan salah satu bagian lanskap budaya
yang berpotensi wisata. Sebagaimana yang didefinisikan oleh Pitana dan Diarta (2009) bahwa
sumber daya pariwisata adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk dikembangkan
guna untuk mendukung pariwisata baik secara langsung maupun tak langsung. Kuliner unik
suatu daerah tentunya dapat dikembangkan sebagai bagian dari pariwisata baik secara tidak
langsung maupun secara langsung. Klungkung telah dikenal sebagai bumi kuliner Serombotan,
yaitu olahan makanan yang terdiri dari berbagai macam sayuran rebus seperti kacang panjang,
pare, kangkung, tauge, kacang-kacangan dengan bumbu semacam sambal sangrai parutan kelapa
yang sangat khas (Gambar 16). Sebagaimana kuliner Serombotan, kuliner jajanan khas
Klungkung juga memiliki potensi untuk dikembangkan dalam konteks pariwisata maupun
ekonomi. Kuliner merupakan hasil budaya dari manusia maka seyogyanya ia dikembangkan pula
sebagai bagian dari upaya pembangunan manusia, seperti yang disebutkan oleh Pitana dan
Gayatri (2005) bahwa dalam konteks pariwisata maka pembangunan sesungguhnya adalah untuk
manusia, sebagai suatu proses belajar, dan dalamhalini manusia merupakan pusat dan penggerak
serta sekaligus target penerima manfaat dari lakukannya pembangunan. Maka kiranya tepat
menjadikan potensi kuliner Klungkung sebagai salah satu potensi lanskap budaya tak benda yang
25 
 

perlu dilestarikan. Mengingat didalamnya terkandung unsur pembangunan manusia, ekonomi,
dan sekaligus pelestarian biodiversiti sumber pangan.

Gambar 16. Kuliner Serombotan
(Sumber: http://travelblog.astadala.com/wp-content/uploads/2014/11/serombotan.jpg)

26 
 

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dari penelitian ini menunjukkan potensi lanskap budaya warisan benda dan tak
benda di wilayah Klungkung dan Bangli beragam dan memiliki keunikannya masing-masing.
Potensi lanskap budaya yang terdata menunjukkan kecenderungan pengkategorian potensi
lanskap terjadi dari parameter bentuk, struktur, fungsi, dan asal-usul. Terutama untuk bentuk,
struktur, dan asal-usul muncul pada tiap potensi lanskap budaya yang terdata. Warisan tak benda
yang terinventarisasi juga cukup seimbang dengan jumlah warisan benda lanskap budaya.
Keunikan dan keragaman masing-masing lanskap budaya tersebut dapat bermakna untuk
kemaslahatan umat manusia, masing-masing menjanjikan potensi positif secara kesejarahan
(asal-usul), ekonomi, keilmuan (arsitektural), seni dan kreasi (fotografi). Potensi warisan lanskap
budaya benda yang terdata mencakup Pura Narmada Taman Bali Raja, kompleks Pura Dalem
Segening, Pura Taman Sari, dan Pura Penataran Agung, serta kota Semarapura yang memiliki
rekam dan lapisan-lapisan jejak gaya arsitektural modern dan tradisional. Sementara potensi
lanskap budaya tak benda berkisar pada ketrampilan dan pengetahuan dalam bidang seni, yaitu
seni lukis wayang gaya Kamasan, seni produksi garam laut, dan kuliner tradisional dengan
bahan-bahan non daging yang menjadi cirri dari kuliner khas Klungkung.
Penelitian potensi-potensi lanskapbudaya benda dan tak benda di Klungkung dan Bangli
merupakan awal dari pendalaman potensi lanskap budaya yang dimiliki masyarakat setempat.
Penelitian serta kajian lanjutan sangat disarankan untuk membuat potensi yang ada menjadi
manfaat yang nyata bagi manusia. Potensi yang terdatasangat mungkin dikaji dan diteliti kembali
dari segala aspek kehidupan manusia untuk kesejahteraan manusia dan kelestarian alam.

27 
 

DAFTAR PUSTAKA
Bali Post. Koran Jumat Kliwon 30 Juli 2009. Dua Pura di Klungkung Terbakar, Diduga dari
Pembakaran Sampah.
Direktorat Jenderak Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Pura Taman Sari. URL:
Http://kebudayaanindonesia.net/. Diakses: 27 November 2015.
Dwijendra, N.K.A. 2009. Arsitektur Rumah Tradisional Bali Berdasarkan Asta Kosala-Kosali.
Udayana University Press, Bali.
Groth,P.E. 1997. Frameworks for Cultural Landscape Study. Article in Understanding Ordinary
Landscape. P.E. Groth and T.W. Bressi (eds.). Yale University, London.
Hindarto, P. 2010. Gaya Art Deco untuk Bangunan. URL:
Http://astudioarchitect.com/2010/10/gaya-art-deco-bangunan.html.
Jackson, J.B. 1980. The Necessity for Ruins. The University of Massachusetts Press, Amherst.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi II (cetakan ketiga). PT Rineka Cipta, Jakarta.
Kozlowksi, L. 2011. The Persistence and Interaction of Multi-ethnic Settlement Remnants in The
Cultural Landscape. Bulletin of Geography, Socio Economic Series No.16.
Mazilu,M. and I. Lazar. 2014. The Cultural Landscape: Perception