The Use of Thidiazuron, 2, 4 D and Giberellin in Formation of Somatic embryo of Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz by in vitro culture

PENGGUNAAN THIDIAZURON, 2, 4 – D DAN GIBERELLIN
DALAM PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK
PULE PANDAK (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz)
MELALUI KULTUR IN VITRO

HERU SUGITO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penggunaan Thidiazuron, 2, 4 – D
dan Giberellin dalam Pembentukan Embrio somatik pule pandak (Rauvolfia
serpentina (L.) Benth. ex Kurz) Melalui Kultur In vitro adalah karya saya sendiri
dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Maret 2006

Heru Sugito
NRP.E 051040245

ABSTRAK
HERU SUGITO. Penggunaan Thidiazuron, 2, 4 – D dan Giberellin dalam
Pembentukan Embrio somatik Pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex
Kurz) Melalui Kultur In vitro. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan EDHI
SANDRA.
Pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz salah satu spesies
tumbuhan hutan tropika yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Untuk dapat
mengimbangi tingkat permintaan bahan baku simplisia dan menyelamatkannya dari
kepunahan, perlu dilakukan kegiatan konservasi, salah satu upayanya adalah melalui
kultur in vitro dengan pembentukan embrio somatik. Aplikasi embrio somatik
disamping untuk perbanyakan cepat, juga dapat dihasilkan jumlah bibit yang
banyak, dan juga untuk mendukung program perbaikan tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dosis terbaik kombinasi
thidiazuron + 2, 4 – D dan kombinasi thidiazuron + giberellin. Penelitian terdiri dari

2 percobaan. I. Percobaan faktorial dalam pola rancangan acak lengkap, yang
terdiri dari 2 faktor, pertama adalah konsentrasi thidiazuron yang terdiri dari 4 taraf,
yaitu 0 ppm (T0 ), 2 ppm (T1 ), 4 ppm (T2 ), 6 ppm (T3 ), 8 ppm (T4 ), kedua adalah
konsentrasi 2, 4 – D yang terdiri dari 4 taraf, yaitu 0 ppm (D0 ), 0.5 ppm (D1 ), 1 ppm
(D2 ), 1.5 ppm (D3 ), 2 ppm (D4 ), Percobaan II. Percobaan faktorial dalam pola
rancangan acak lengkap, yang terdiri dari 2 faktor, pertama adalah konsentrasi
thidiazuron yang terdiri dari 4 taraf, yaitu 0 ppm (T0 ), 2 ppm (T1 ), 4 ppm (T2 ), 6 ppm
(T3 ), 8 ppm (T4 ), kedua adalah konsentrasi gibberelin yang terdiri dari 4 taraf, yaitu
0 ppm (G0 ), 0.5 ppm (G1 ), 1 ppm (G2 ), 1.5 ppm (G3 ), 2 ppm (G4 ).
Hasil analisis statistik non parametrik Kruskal – Wallis terhadap skor kalus
pada 14 Hari Setelah Inisiasi (HSI) tidak terdapat perbedaan antar perlakuan, tetapi
pada 28 dan 42 HSI terdapat perbedaan antar perlakuan..
Kombinasi zat pengatur tumbuh thidiazuron + 2, 4 – D menghasilkan
pembentukan embrio dengan perlakuan terbaik pada T3 D1 (6 ppm thidiazuron + 0,5
ppm 2, 4 – D) dengan pembentukan embrio pada 35 HSI, sedangkan kombinasi zat
pengatur tumbuh thidiazuron + giberellin tidak menghasilkan pembentukan embrio,
tetapi hanya menghasilkan pembentukan kalus, sedangkan perlakuan tanpa
menggunakan zat pengatur tumbuh tidak menghasilkan kalus dan embrio.

ABSTRACT

HERU SUGITO. The Use of Thidiazuron, 2, 4 - D and Giberellin in Formation of
Somatic embryo of Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz by in vitro culture.
Under the direction of YANTO SANTOSA, and EDHI SANDRA
Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz, representing one of the tropical
forest plant species which exp loited as plant medicinize and pertained world
rareness. To be able to make balance to storey, level request of Rauvolfia serpentina
(L.) Benth. ex Kurz simplisia raw material and saving it from destruction, require to
be by activity of conservation, one of the effort by in vitro culture forming of
somatik embryo. Somatic embryo by in vitro is forming of embryo from cell is non
sexual which is culture. Somatic embryo application beside for the of quickly, also
can be yielded by the amount of seed which is not limited its amount, as well as to
support program repair of crop. This research to know giving influence and
regulator dose grow, consist of 2 attempt. I. Factorial Attempt which use completely
randomized experimental disign, what consist of 2 factor, first is thidiazuron
concentration which consist of 4 level, that is 0 ppm 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm,
second is concentration 2, 4-D which consist of 4 level, that is 0 ppm, 0.5 ppm, 1
ppm, 1.5 ppm, 2 ppm .II. Factorial Attempt which use completely randomized
experimental disign, what consist of 2 factor, first is thidiazuron concentration which
consist of 4 level, that is 0 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, second is giberellin
concentration which consist of 4 level, that is 0 ppm, 0.5 ppm, 1 ppm, 1.5 ppm, 2.0

ppm. Pursuant to manner statistical analysis result is non parametric Kruskal-Wallis
to callus score and embryo at 14 day after initiation not there are difference between
treatment, but 28 and 42 day after initiation there are difference between treatment.
The use thidiatzuron + 2,4-D give, forming of somatic embryo with the best
treatment (6 ppm Thidiatzuron + 0,5 ppm 2, 4 D). Growth of embryo happened at
age 35 day after initiation. Thidiazuron + giberellin forming of callus only.
Key word : Rauvolfia serpentina, thidiazuron, 2,4-D, giberellin, somatic embryo

©Hak cipta milik Heru Sugito, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

PENGGUNAAN THIDIAZURON, 2, 4 – D DAN GIBERELLIN
DALAM PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK
PULE PANDAK (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz)
MELALUI KULTUR IN VITRO

HERU SUGITO


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Tesis

: Penggunaan Thidiazuron, 2, 4 – D dan Giberellin
dalam Pembentukan Embrio Somatik Pule pandak
(Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz) Melalui Kultur
in vitro

Nama


: Heru Sugito

Nomor Pokok

: E 051040245

Program Studi

: Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Sub Program Studi

: Konservasi Biodiversitas

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
Ketua


Ir. Edhi Sandra, M.Si.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc. F.

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian: 16 Maret 2006

Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR
Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Profesi Konservasi Biodiversitas pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada :
1.

Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA, selaku Ketua Komisi Pembimbing

2.

Bapak Ir. Edhi Sandra, MSi selaku Anggota Pembimbing.

3.

Bapak Drs. R. Hendrian, MSc selaku Penguji Luar Komisi.

4.

Bapak Dr. Ir. Gatot HP, selaku Direktur Dikmenjur yang telah memberikan
kesempatan dan biaya selama pendidikan S-2.


5.

Bapak Ir. Giri Suryatmana, selaku Kepala Pusat Pengembangan Penataran
Guru Pertanian, yang telah memberikan kesempatan dan dorongan selama
pendidikan S-2.

6.

Istri, anak-anaku tercinta, Ibu, kakak, adik serta keponakanku atas segala doa
dan kasih sayangnya.

7.

Semua pihak ya ng telah dengan tulus ikhlas membantu baik moral maupun
material.
Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama yang
berminat di bidang kultur jaringan tanaman.

Bogor, Maret 2006


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pringsewu Lampung pada tanggal 8 Agustus 1961 dari
ayah Hi. Sarimun dan ibu Hj Ponirah . Penulis merupakan putra keempat dari enam
bersaudara. Pendidikan S-1 ditempuh di Fakultas Pertanian Universitas Lampung,
lulus pada tahun 1987. Bea siswa pendidikan S2 diperoleh dari Direktorat
Dikmenjur Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai Widyaiswara pada Pusat Pengembangan Penataran
Guru Pertanian Cianjur sejak tahun 1989 sampai sekarang.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

…………………………………………………

ix

DAFTAR GAMBAR

…………………………………………………


x

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
……………………………………………….
Perumusan Masalah ………………………………………………
Kerangka Pemikiran …………………………………………….
Tujuan Penelitian
……………………………………………...
Manfaat Penelitian ………………………………………………
Hipotesis …………………………………………………………

1
2
3
5
5
6

TINJAUAN PUSTAKA.
Bio-Ekologi Pule Pandak …………………………………………
Kegunaan dan Kandungan Kimia ……………………………….
Konsep dan Gambaran Umum Embrio somatik………………….
Faktor-faktor dan Variabel- variabel yang Mempengaruhi Embrio
somatik …………………………………………………………….
Peranan dan Perkembangan Embrio somatik ……………………..
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu ……….. ……………………………………
Bahan dan Alat
………………………………………………
Metode Penelitian ………………………………………………
Pelaksanaan Penelitian …………………………………………..
Pengamatan ……………………………………………………
Analisis Data . ………………………………………………….

7
9
10
13
20

23
23
24
26
27
27

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Kombinasi Thidiazuron + 2, 4 – D terhadap Pembentukan
Embrio somatik Pule pandak ……………………………………. 29
Pengaruh Kombinasi Thidiazuron + Giberellin terhadap
Pembentukan Embrio somatik Pule pandak..................................... 36
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ………………………………………………………………
Saran ……………………………………………………………………..

39
39

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………

40

LAMPIRAN ……………………………………………………………..

42

DAFTAR TABEL
Halaman

1 Kandungan kimia pada akar pule pandak ………………………………

9

2 Beberapa tanaman yang dapat di induksi embrio somatik secara in vitro.

12

3 Macam media dan zat pengatur tumbuh untuk induksi kalus pada berbagai jenis tanaman……………………………………………………..

16

4 Zat pengatur tumbuh yang digunakan secara komersial di dalam mikropropagasi tanaman………………………………………………………
5 Kombinasi perlakuan percobaan I

19

…………………................... . . .

24

6 Kombinasi perlakuan percobaan II ……………………………............

25

7 Komposisi media MS yang digunakan dalam penelitian………………

26

8 Kombinasi thidiazuron + 2, 4 – D terhadap persentase pembentukan
embrio ……………………………………………………………….

30

9 Pengaruh thidiazuron, 2, 4 – D dan giberellin terhadap kecepatan
terbentuknya kalus dan warna kalus. ……………………………………..

33

10 Pengaruh thidiazuron + giberellin terhadap persentase pembentukan
embrio ………………………………………………………………….

36

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1

Kerangka pemikiran……………………………………………………….

5

2

Eksplan berasal dari panlet……………………………………………….

23

3

Embrio yang terbentuk pada kombinasi thidiazuron + 2, 4 – D ……….

31

4

Pengaruh thidiazuron + 2, 4 – D terhadap persentase pembentukan
Embrio …………………………………………………………………

32

5

Bentuk dan sruktur kalus kombinasi thidiazuron + 2, 4 – D …………

34

6

Bentuk dan struktur kalus kombinasi thidiazuron + giberellin ……….

35

7 Pengaruh thidiatzuron + gibberelin terhadap persentase pembentukan
kalus ………………………………………………………………….

38

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1 Urutan peringkat dan analisis Kruskal – Wallis terhadap skor kalus akibat
pengaruh thidiazuron + 2, 4 – D pada 14 HSI ………………………….

42

2 Urutan peringkat dan analisis Kruskal – Wallis terhadap skor kalus akibat
pengaruh thidiazuron + 2, 4 – D pada 28 HSI ………………………….

43

3 Urutan peringkat dan analisis Kruskal – Wallis terhadap skor kalus akibat
pengaruh thidiazuron + 2, 4 – D pada 42 HSI …………………………..

44

4 Urutan peringkat dan analisis Kruskal – Wallis terhadap skor kalus akibat
pengaruh thidiazuron + giberellin pada 14 HSI …………………………

45

5 Urutan peringkat dan analisis Kruskal – Wallis terhadap skor kalus akibat
pengaruh thidiazuron + giberellin pada 28 HSI …………………………

46

6 Urutan peringkat dan analisis Kruskal – Wallis terhadap skor kalus akibat
pengaruh thidiazuron + giberellin pada 42 HSI …………………………

47

7 Perkembangan eksplan akibat pengaruh thidiazuron + 2,4 – D ………….

48

8 Perkembangan eksplan akibat pengaruh thidiazuron + giberellin ………

49

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz) merupakan salah
satu spesies tumbuhan hutan tropika yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat.
Menurut Word Health Organisation (WHO) 1994 dalam Siswoyo dan Zuhud
(1995), tanaman ini merupakan salah satu spesies yang termasuk dalam Health
Book of Medicine, Traditional Medicine Division, WHO Genewa. Zuhud (2001)
juga menyatakan bahwa pule pandak merupakan salah satu dari 40 jenis tumbuhan
obat langka di Indonesia. Heyne (1987) tanaman tersebut digunakan secara
tradisional, pemanfatan pule pandak sebagai obat tradisional digunakan untuk
pengobatan sesak nafas, nyeri perut, murus, sakit kepala dan gigitan ular. Pule
pandak juga dapat digunakan sebagai obat penurun panas, penurun tekanan darah
tinggi, digigit ular, disentri, kolera, perut mulas, kehilangan selera makan, radang
usus dan lain -lain.
Saat ini kebutuhan bahan baku simplisia pule pandak masih dipenuhi dari
hasil pemanenan langsung dari alam. Disisi lain kebutuhan akan bahan baku
simplisia pule pandak baik dalam negeri maupun dari negara-negara industri
farmasi, terus meningkat dan belum terpenuhi. Pemanfaatan tumbuhan obat ini
diambil bagian akarnya dan dipanen hanya mengandalkan dari alam,
dikhawatirkan akan terjadi keku rangan suplai bahan baku dan bahkan terjadi
kepunahan.. Pada tahun 2000 permintaan akan bahan baku pule pandak mencapai
6.898 kg dengan trend pertambahan sebesar 25.89% per tahun (Data olahan
Balitro, 1990 dalam Sandra dan Kemala, (1994). Pada saat ini tan aman tersebut
baru dibudidayakan di Institut Pertanian Bogor dan di Taman Nasional Meru
Betiri saja. Untuk dapat mengimbangi tingkat permintaan bahan baku simplisia
pule pandak dan menyelamatkannya dari kepunahan, perlu dilakukan kegiatan
konservasi. Untuk itu maka perlu produksi bibit secara masal dan terjamin
kelestariannya, salah satu upayanya adalah melalui kultur in vitro. Untuk
mendukung keberhasilan usaha perbanyakan tanaman yang diharapkan dapat
memberikan manfaat yang optimal, maka diperlukan kajian tentang perbanyakan
tanaman pule pandak secara embrio somatik.

2

Embrio somatik biasanya didapat dari organ generatif, yang dalam hal ini adalah
biji yang merupakan hasil dari proses penyerbukan. Tetapi melalui kultur in vitro
dapat juga dihasilkan embrio yang mempunyai struktur yang sama dengan embrio
yang berasal dari biji. Aplikasi embrio somatik disamping untuk perbanyakan
cepat, juga dapat dihasilkan jumlah bibit yang tidak terbatas jumlahnya, dan juga
untuk mendukung program perbaikan tanaman. Untuk rekayasa genetik, embrio
somatik lebih disukai karena tanaman berasal dari satu sel, sehingga akan
memberikan kepastian hasil yang tinggi dengan mengurangi resiko dihasilkannya
khimera. Untuk penyimpanan baik jangka pendek maupun jangka panjang embrio
somatik diangggap merupakan bahan tanam yang ideal untuk disimpan karena
bila diregenerasi dapat langsung membentuk bibit somatik. Dari hasil kajian
tersebut diharapkan dapat diproduksi bibit secara masal dan dapat terjamin
kelestariannya.

Perumusan Masalah
Pule pandak merupakan tanaman penting sebagai bahan baku tanaman
obat yang keberadaannya mendekati kepunahan. Perbanyakannya sudah dilakukan
yaitu dengan cara konvensional melalui stek, biji dan perbanyakan secara modern
dengan teknik kultur jaringan yang dilakukan dengan cara multiplikasi pucuk
melalui kultur pucuk dan kultur mata tunas, perbanyakan ini dirasakan masih
diperlukan teknologi yang lebih efisien dan efektif.
Perbanyakan tanaman secara embrio somatik akan menghasilkan jumlah
bibit persatuan wadah akan lebih banyak dari pada secara in vitro lainnya. Salah
satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan perbanyakan tanaman secara embrio
somatik adalah zat pengatur tumbuh (auksin, sitokinin dan giberellin ).
Zat pengatur tumbuh khususnya auksin dan sitokin in adalah suatu zat
utama yang mengendalik an proses morpogenesis didalam kultur jaringan. Pada
metoda kultur jaringan, terbukti sel somatik dapat juga melakukan proses
embriogenesis. Fenomena ini berhasil diamati pada tahun 50-an pada beberapa
tanaman, sep erti kedelai, jagung, dan terutama pada wortel. Korteks wortel yang
ditanam pada medium dasar White, sukrosa, dan 2, 4-D membentuk masa kalus,
yang kemudian dipindahkan ke medium tanpa 2, 4-D. Ternyata sekumpulan sel

3

membelah teratur dan melalui tahapan normal embriogenesis yaitu tahapan
globular, jantung, torpedo, dan kemudian menjadi pinak tanaman yang utuh. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa setiap sel pada tumbuhan masih memiliki
kapasitas yang dipunyai oleh zigot darimana sel itu berasal, jadi hanya dengan
memberikan rangsangan yaitu berupa lingkungan yang cocok terutama dari
medium dan zat pengatur tumbuh tempat sel dikulturkan , maka sel tersebut akan
mampu untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang utuh.
Pemakaian zat pengatur tumbuh didasari oleh fungsi atau peranan dan
kestabilan hormon. Zat pengatur tumbuh 2, 4-D dan thidiazuron diketahui sebagai
pemacu pertumbuhan kalus. Oleh sebab itu perlu diketahui konsentrasi zat
pengatur tumbuh yang harus ditambahkan kedalam media dalam menginduksi
pertumbuhan embrio pada kultur pule pandak.

Kerangka Pemikiran
Konsep kultur jaringan didasari oleh sifat totipotensi sel, yang pada mulanya
orientasi kultur hanya untuk membuktikan teori totipotensi saja, namun kemudian
pada perkembangannya teknik kultu r jaringan menjadi sarana penting dalam
bidang fisiologi tumbuhan dan dalam aspek biokimia tumbuh-tumbuhan.
Totipotensi didefinisikan sebagai sifat setiap sel yang dari manapun sumbernya
untuk berdeferensiasi dan tumbuh membentuk individu yang sempurna apabila sel
tersebut ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai (Katuuk, 1989).
Secara umum mikropropagasi tanaman dilakukan dengan cara multiplikasi
pucuk yang dapat dilakukan melalui kultur pucuk dan tunas, dinegara-negara maju
seperti Jepang, teknik embrio somatik telah banyak dilakukan dengan
menggunakan dorongan zat pengatur tumbuh yang lebih kuat dan mengkondisikan
lingkungan yang memadai. Senyawa hormon yang banyak dilakukan adalah
golongan auksin dan sitokinin.
Zat pengatur tumbuh auksin, sitokinin dan giberellin adalah hormonhormon yang mempunyai peran ganda, dalam propagasi secara in vitro, hormonhormon tersebut sering digunakan karena mempunyai kemampuan untuk
merangsang pertumbuhan eksplan dan mempengaruhi pertumbuhan akar.

4

Menurut Wetherell (1982) bahwa zat-zat pengatur tumbuh tersebut untuk
setiap spesies dan masing-masing bagian tanaman sangat berbeda-beda, juga
tergantung dari tujuan masing-masing tahap dalam propagasi.
Embrio somatik secara in vitro adalah pembentukan embrio dari sel-sel
non seksual yang dikulturkan. Dalam metode ini diduga pemberian jenis dan
kosentrasi zat pengatur tumbuh tertentu akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan
yang ditanam. Pemberian jenis dan jumlah hormon tertentu yang tepat diharapkan
menghasilkan embrio yang pertumbuhannya normal dan teratur, terbentuknya
kalus atau sel-sel yeng tersuspensi dalam media kultur. Kalus atau sel-sel tersebut
akan terus berkembang sehingga mencapai jumlah yang cukup banyak, sehingga
sebagian besar dari sel-sel tersebut mulai memisah dan berubah menjadi embrio.
Embrio ini dapat dilipat gandakan, dan masing-masing akan tumbuh menjadi
tanaman normal.
Embrio yang akan diperoleh dari hasil embriogenesis tersebut sangat
banyak jumlahnya, kemudian melalui tahapan regenerasi akan membentuk
planlet. Apabila planlet tersebut dilakukan proses aklimatisasi dan kemudian
dibudidayakan secara baik, maka akan dapat dihasilkan tanaman pule pandak
dalam jumlah yang sangat besar. Sebagian tanaman tersebut dapat diperbanyak
kembali dan sebagian dapat dimanfaatkan sehingga kebutuhan tanaman pule
pandak untuk tujuan komersial maupun konservasi baik dari segi kualitas,
kuantitas dan kontinuitas dapat terpenuhi.

5

Pemanfaatan akar
pule pandak

Pule
Pandak

Propagasi

Embrio
Somatik

Tanaman
mati/punah

Penambahan
Hormon:
•Auksin
•Sitokinin
•Gibberalin

tidak

Dosis tepat ya

Tidak tumbuh
Embrio

Tumbuh
Embrio

Regenerasi

Planlet
Pemanfaatan

Pule
Pandak

Budidaya

Aklimatisasi

Gambar 1 Kerangka pemikiran
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendapatkan dosis terbaik kombinasi thidiazuron
+ 2, 4–D dan kombinasi thidiazuron + giberellin dalam pembentukan embrio
somatik pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz) melalui kultur
in vitro.

Manfaat Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan thid iazuron, 2, 4–D dan
giberellin dalam pembentukan embrio somatik pule pandak dan memberikan
manfaat bagi ilmu pengetahuan berupa ketersediaan data/ informasi mengenai
kultur in vitro pule pandak (R serpentina) dalam perbanyakan tanaman secara
cepat bagi industri obat tradisional maupun modern, sehingga secara tidak
langsung dapat lestari dan berkelanjutan.
Untuk jangka panjang diharapkan bentuk regenerasi embrio somatik dapat
dibuat bersalut (coated) dengan gel yang mengandung nutrisi sehingga bentuknya
menjadi seperti kapsul dan menjadi biji sintetik dan disamping itu ideal untuk
cryopreservasi.

6

Hipotesis
Pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh thidiazuron + 2, 4–D dan
pemberian kombinasi thidiazuron + giberellin memberikan pengaruh dalam
pembentukan embrio somatik pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex
Kurz).

7

TINJAUAN PUSTAKA
Bio - Ekologi Pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz )
Taksonomi dan Morpologi
Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz, atau dikenal dengan nama
daerah pule pandak (Jawa) atau Akar tikus (Indonesia) termasuk famili
Apocynaceae bersama-sama dengan Pulai, Pulai pipit, Tapak dara, Alamanda
serta Jelutung. Genus dari Rauvolfia sendiri di Jawa memiliki beberapa spesies
selain R. serpentina Benth ex. Hook, R. javanica Koord dan Val., R fruticosa
Burck, R. madurensis Kahenira, R. reflexa Teijsm dan Binn, R. spectabilis Boerl
(Woodson et al., 1957 dalam Anwar, 1998).
Menurut Heyne (1987), Tjitrosoepomo (1993), Syamsuhidayat dan
Hutapea (1991), tumbuhan ini memiliki taksonomi sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Devisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dycotyledoneae

Sukelas

: Asteridae

Ordo

: Gentianales

Famili

: Apocynaceae

Genus

: Rauvolfia L.

Spesies

: Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz

Secara morpologis pule pandak merupakan tumbuhan yang tergolong
perdu, dan memerlukan pelindung. Tinggi antara 15 cm sampai 40 cm dengan
bagian akar lebih besar dari bagian tumbuhan diatas tanah (Heyne, 1987).
Menurut Hikmat et al., (2000), batang pule pandak mengandung getah,
berkayu, silindris, kulit batang coklat abu-abu, mengeluarkan cairan jernih bila
dipatahkan. Bentuk daun bulat telur memanjang, tunggal, ujung runcing, pangkal
daun menyempit, tepi rata, tulang daun menyirip, permukaan atas berwarna hijau
dan permukaan bawah berwarna hijau muda. Bunga majemuk, bentuk payung di
ujung cabang, kelopak bertajuk lima, hijau, mahkota merah. Buah berbiji satu,

8

bulat lonjong dan bila sudah masak berwarna hitam. Biji bulat pipih dan akar
tunggang berwarna coklat.
Basori (1993) mengemukakan bahwa akar pule pandak biasanya lebih
panjang dibandingkan dengan batangnya. Akar pule pandak mempunyai rasa yang
sangat pahit, berwarna putih dan mengandung zat pati. Kulit akar seperti bunga
karang, dari luar bersaluran membujur dari pangkal ke ujung warnanya lebih
hitam dari pada kayunya. Sistem perakarannya masuk ke tanah berkelok-kelok
dan membesar.
Habitat dan Penyebaran
Pule pandak tumbuh tersebar di hutan sekunder dan veg etasi semak, pada
ketinggian hingga 2100 m dpl. Tumbuh pada iklim lembab maupun iklim panas.
Beberapa spesies sangat toleran terhadap lingkungan, juga terdapat di tempat yang
terbuka seperti di tepi hutan dan sepanjang sungai. Membutuhkan curan hujan
antara 250–500 mm/th dan suhu 10 0C-38 0C. Tanah agak masam dengan pH 5–
6,5 atau tanah yang berkapur, tanah merah, lempung laterik hingga berpasir, juga
lempung alluvial tetapi yang paling subur pada tanah kering dan tanah liat yang
kaya humus (Sutarno, 2000).
Zuhud dan Siswoyo (1995) mengemukakan bahwa pada habitat alaminya,
tanaman Pule pandak tumbuh liar di ladang-ladang hutan jati atau tempat-tempat
lainnya. Di Jawa tanaman ini biasanya tumbuh di hutan jati yang bersuhu panas
dan kering, pada ketinggian 40–100 m dpl, tipe iklim C (menurut Schmit dan
Ferguson).
Pule pandak menyebar di India, Srilangka, Vietnam, Malaysia, Filipina,
sampai ke Indonesia (Wahyono, 1989), sedangkan di Indonesia yang berdasarkan
pada material herbarium pule pandak di Herbarium Bogo riense, pule pandak
selain ditemukan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, juga ditemukan di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat dan Lombok (Basori, 1993).

9

Kegunaan dan Kandungan Kimia
Menurut Rhumphius dalam Heyne (1987), pemanfaatan pule pandak
sebagai obat tradisional digunakan untuk pengobatan sesak nafas, nyeri perut,
murus, sakit kepala dan gigitan ular. Getah batangnya juga sering diteteskan pada
mata untuk menghilangkan bintik -bintik putih pada selaput bening.
Pule pandak juga dapat dipergunakan sebagai obat demam, tekanan darah
tinggi, obat digigit ular, disentri, kolera, perut mulas, kehilangan selera makan,
nyeri rahim, radang usus, radang jantung, radang usus buntu dan lain -lain.
Sedangkan kandungan alkoloid berbeda-beda menurut bagian tumbuhan, umur,
fase pertumbuhan (vegetatip dan generatip), teknik perbanyakan dan kondisi
tempat tumbuh (Yahya, 2001). Kadar tersebut berkisar antara 0,8% sampai 1,5%,
tetapi kadang-kadang sampai 2,5%. Disamping alkoloid total, kadar reserpine
merupakan faktor utama, biasanya berkisar antara 0,04%-0,09% (Lubis, 1976
dalam Ariani, 1995). Salah satu contoh kandungan persentase kandungan alkoloid
akar pule pandak dikemukakan oleh Biswas (1956) dalam Basori (1993), seperti
yang tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan kimia pada akar pule pandak (R. serpentina) dengan
persentase yang dihasilkan.
Nama Kimia
Ajmaline
Isoajmaline
Ajmalinine
Rauwolfinine
Serpenine
Yohimbine
Sarpagine
Corynanthine
3 – epi – a - yohimbine
a - yohimbine
Rescinnamine
Reserpine
Reserpoxidined
Methylreserpate
Deserpidine
d - yohimbine
Reserpinine
Reserpline
Serpentine
Serpentinine
Chanrine

Persentase Hasil
0.1
0.01
0.05
0.02
0.000027
0.0064
0.021
0.019
0.054
0.147
0.014
0.02
0.014
0.08
0.08
0.08

10

Konsep dan Gambaran Umum Embrio somatik
Pembentukan embrio somatik secara in vitro adalah pembentukan embrio
dari sel-sel non seksual yang dikulturkan. Dalam metode ini eksplan diberi
hormon dengan kadar yang cukup tinggi sehingga pertumbuhan normal dan
teratur, terbentuk kalus atau sel-sel yang tersuspensi dalam media kultur. Kalus
atau sel-sel tersebut akan terus berkembang sehingga mencapai jumlah yang
cukup banyak. Kemudian susunan hormon dirubah, sehingga sebagian besar dari
sel-sel tersebut mulai memisah dan berubah menjadi embryoid, tidak menjadi akar
atau tunas. Embryoid ini dapat dilipat gandakan, dan masing-masing akan tumbuh
menjadi tanaman normal (Hartman et al., 1990).
Embrio somatik dapat melalui 2 cara :
1. Terjadinya embrio somatik langsung dari eksplan yang dikulturkan. Ini terjadi
pada sel-sel yang menentukan preembriogenik, dimana sel-sel telah memasuki
perkembangan embrionik dan hanya menunggu untuk dibebaskan.
2. Terjadinya embrio somatik melewati pembentukan kalus, dimana eksplan yang
dikulturkan berkembang membentuk sel yang tidak teratur. Kalus ini bila
disubkulturkan berulang-ulang dengan mengganti media akan terjadi dua
kemungkinan, yaitu :
a. Sel berubah menjadi meristemoid yaitu kumpulan sel meristematik yang
berisi zat-zat parenkhim padat dengan nukleus yang sangat besar. Sel-sel
ini akan tumbuh terus kemudian berdiferensiasi dan berkembang menjadi
tunas akar adventif.
b. Sel-sel kalus berubah bentuk menyerupai embrio yang dinamakan embrio
somatik (Ammirato, 1982).
Dasar-dasar Embriogenesis Secara In vitro.
Terdapat tiga macam tipe embriogenesis secara in vitro :
1. Adventif Embrio Somatik
Embrio somatik dapat dikembangkan dari gabungan antara sel atau kalus
dengan bagian reproduksi. Hal ini disebut Preembryonically Determined Cell
(PEDC). Sel dan kalus embryogenik dapat dimulai dari jaringan nukleus baik
pada spesies jeruk poliembriogenik atau monoembryogenik. Begitu juga dengan

11

produksi kalus embriogenetik dari embrio somatik dapat dikembangkan dari
jaringan ovul yang sangat muda dari spesies tropik lain, rumput, anggur, kopi dan
lain-lain. Pada saat jaringan eksplan memiliki genotip yang sama, prosedure ini
merupakan metode propagasi klonal dan duplikat apomixis yang potensial.
Tipe ini juga dapat dikembangkan secara langsung dari sel tunggal pada
permukaan embrio muda atau secara tidak langsung dihasilkan dari kalus.
Prosedure ini memungkinkan untuk digunakan pada program pengembangan
genetik seperti pada penyelamatan embrio dari keguguran.
2. Poly Embrio Somatik
Tipe ini melibatkan transplanting dari embriogenik Embrional Suspensor
Mass (ESM), yang mendahului pembentukan embrio. Saat jaringan ESM
ditransplanting pada media kultur selama 2–4 minggu setelah fertilisasi, sel
berkembang secara langsung menjadi embrio.
Poliembriogenesis somatik tidak saja terjadi pada gymnospermae, tetapi
juga terjadi pada angiospermae. Embriogenesis tidak melibatkan kalus, tetapi
merupakan hasil dari kumpulan jaringan ESM yang asli.
3. Induksi Embrio Somatik
Tipe Embriogenesis ini merupakan hasil dari kalus somatik dan suspensi
sel setelah jaringan diarahkan pada perlakuan khusus yang menyebabkan induksi
embriogenik. Metode ini telah banyak diterapkan pada beberapa tanaman
pertanian, seperti wortel, alfalfa, rumput-rumputan, kopi, spesies palem, kedelai
dan lain-lain.
Ada dua manfaat yang potensial dari prosedure diatas :
1. Propagasi dari biji somatik sintetik
Embrio somatik dapat diaplikasikan secara langsung kedalam propagasi klonal
berbagai biji tanaman pertanian diantaranya padi, sayuran dan tanaman
perkebunan seperti palem, kelapa sawit dan kopi serta tanaman hutan.
2. Program pengembangan genetik kultivar tanaman
Embrio somatik berguna untuk mengidentifikasi variasi genetik dalam
kumpulan sel. Embrio somatik dapat tumbuh dari kalus, sel ataupun protoplas
(Hartmann et al., 1990) .

12

Tahapan Embrio Somatik
Hartmann et al., (1990) menyatakan ada beberapa tahap yang harus
dilakukan pada pelaksanaan embrio somatik yaitu :
1. Seleksi kultur dan eksplan yang sesuai
Seleksi eksplan merupakan langkah yang sangat penting. Langkah pertama
adalah produksi kalus, suspensi sel atau protoplas. Beberapa contoh tanaman
yang dapat dijadikan eksplan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Beberapa tanaman yang dapat di induksi embrio somatik secara invitro.
Spsies Tanaman

Medium

Medicago sativa
Blaydes
Pheseolus vulgaris
67 - V
Brassica oleraceae
MS
Manihot esculenta
MS
Allium cepa
B5
Pisum sativum
MS
Beta v ulgaris
PBO
Cajanus cajan
White
Pelargonium spp
MS
Sumber : Gamborg dan Shyluk (1981)

Eksplan
Hypocotyl
Daun
Petiole, Batang
Batang
Bulb
Epicotyl
Daun
Hypocotyl
Petiole

Sumber
Bingham et al., 1975
Crocomo et al.,1976
Clare & collin, 1974
Tilquin, 1979
Fridborg, 1971
Malmberg, 1979
de Greef &Janick,1979
Shimada et al., 1969
Shirvin & Janick, 1976

2. Induksi Potensial Embriogenik dalam Eksplan
Induksi diperoleh melalui transfer sel dari media dasar dengan konsentrasi
auksin tinggi, auksin yang paling efektif adalah 2 , 4–D atau air kelapa plus
NAA dengan konsentrasi rendah. Setelah 1–2 minggu maka beberapa proembrio
akan muncul. Gumpalan yang lebih besar dan proembrio akan terpisah oleh
ukuran sekat yang berbeda, kemudian ditrans fer ke media yang berbeda. Sel-sel
yang lebih kecil dapat disubkulturkan untuk melanjutkan produksi embrio
somatik.
3. Diferensiasi dan Kematangan Embrio somatik
Kumpulan proembrio dipindah kemedia dasar yang bebas auksin, dalam
amonium nitrat tinggi. Embrio somatik akan meningkat dari gumpalan sel
tunggal.
4. Pembentukan Planlet
Embrio somatik yang telah masak dapat ditempatkan pada media bebas auksin
tetapi mengandung sitokinin dalam konsentrasi rendah.
5. Aklimatisasi

13

Setelah akar, daun terbentuk, maka planlet dapat diaklimatisasi ke media dalam
kontiner atau polybag.

Faktor-faktor dan Variabel-variabel yang Mempengaruhi
Embrio Somatik
Lingkungan kimia dan lingkungan fisik mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap embrio somatik . Faktor kimia terpenting yang terlibat dalam
proses munculnya embrio somatik adalah kandungan auksin pada media,
campuran nitrogen yang ditambahkan sebagai nutrisi. Vajrabhaya (1988)
menyatakan, bahwa proses induksi embriogenesis membutuhkan adanya auksin
dan kenaikan ratio dari nitrogen dan auksin.
Telah diketahui bahwa auksin tidak terlibat dalam perkembangan embrioid
dari kalus, meskipun auksin dibutuhkan untuk pertumbuhan kalus. Embrioid
umumnya terbentuk ketika kalus ditransfer dari medium yang ditambahkan auksin
ke medium subkultur dengan konsentrasi auksin yang lebih rendah atau tanpa
auksin.
Faktor fisik seperti temperatur, intensitas cahaya, fotoperiode, udara,
keadaan media dan kecepatan pengocokan juga telah dilaporkan mempengaruhi
embrio somatik. Temperatur optimum adalah spesifik untuk setiap spesies dan
tahap perkembangan. Perlakuan panas atau dingin pada tahap tertentu dapat
meningkatkan embriogenesis dan perkecambahan dari embrio somatik dan
propagul lain untuk perkembangan yang lebih lengkap.

Eksplan
Daucus carota merupakan eksplan yang paling banyak dibiakan dari
seluruh spesies tanaman. Hal ini disebabkan beberapa bagian dari tubuh tanaman
tersebut hanya memerlukan sedikit waktu untuk menghasilkan embrio somatik
dengan sukses (Gamborg dan Shyluk, 1981).
Pada beberapa spesies hanya daerah -daerah tertentu dari tubuh tanaman
yang respon dalam biakan. Hal ini menjadi masalah pada beberapa monokotil
khususnya untuk familie Gramineae. Jaringan yang memiliki pertumbuhan
embriogenik adalah jaringan reproduktif dan meristematik. Keadaan fisiologis

14

tanaman dan asal eksplan penting sekali demikian juga dengan musim pada saat
eksplan diambil.
Ammirato (1982) mengatakan dalam spesies tertentu dengan genotip yang
berbeda-beda menunjukkan kemampuan yang bermacam -macam dari embrio
somatik. Tiga kultivar Zea mays menghasilkan biakan yang baik dari
organogenesis batang, dan hanya satu kultivar yakni A188 yang dengan mudah
menghasilkan embrio somatik.

Media Kultur
Media kultur jaringan terdiri dari komponen utama dan komponen
tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula) dan
vitamin. Komponen lain seperti zat pengatur tumbuh, senyawa nitrogen organik
dan

beberapa

ekstrak

tambahan

meskipun

tidak

mutlak

tetapi

dapat

menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya. Sebagai contoh ekstrak buah
pisang dan air kelapa merupakan komponen tambahan yang sangat populer untuk
media kultur anggrek (George dan Sherington, 1984).
Ammirato (1982) mengatakan bahwa media yang digunakan untuk
proliferasi jaringan memegang peranan penting untuk terjadinya embriogenesis.
Embrio somatik dapat ditumbuhkan pada media White hingga formulasi
Gamborg, SH, B5, dan MS yang lebih pekat. Media

B5,

SH

dan

MS

diklasifikasikan sebagai media garam tinggi, khususnya MS konsentrasinya
mencapai kurang lebih 10 kali konsentrasi garam dari media White. Dilaporkan
bahwa 70% dari eksplan dibiakan pada media MS atau modifikasinya.
Keistimewaan media MS dibandingkan dengan media lain adalah
kandungan amonium nitrat dan potasiumnya yang tinggi. Hal ini akan
mempertinggi proses embriogenesis. Ciri lain dari media MS dan media penting
lainnya untuk embriogenesis adalah keberadaan chelated iron yang sering dalam
bentuk Fe- EDTA. Tanpa ada besi perkembangan embrio gagal melalui tahap dari
globular sampai bentuk hati.
Wetter dan Constabel (1991), menyatakan bahwa media yang sebaiknya
digunakan untuk menguji pembentukan kalus adalah MS dan B5 yang dilengkapi
dengan kasein hydrolysat 0,05%–0,2%. Kalus yang baik akan terbentuk dalam

15

waktu satu bulan. Pada tanaman pisang, media dasar yang sering digunakan
adalah media MS atau modifikasinya (Damasco dan Barba, 1985) dan eksplan
yang digunakan berasal dari mata tunas dan titik tumbuh.
Beberapa penelitian lain yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa
med ia untuk induksi kalus yang paling banyak digunakan adalah media MS
(Tabel 2).
Chen (1990) juga mengatakan bahwa media MS banyak digunakan
sebagai media dasar dalam pembentukan kalus dan diferensiasi kalus dengan
penambahan hormon 2, 4 – D pada komposisi medianya.
Pada Citrus nampak bahwa proses embriogenesis dipertinggi oleh
NH4NO3, seperti dilaporkan oleh Reinert dan Tazawa (1969 dalam Gamborg dan
Shyluk, 1981), untuk kultur suspensi sel Daucus . Gamborg dan Shyluk (1981)
juga mengutip percobaan Halperin dan Wetherel pada tahun 1965 yang
menyatakan bahwa ion amonium dan casein hidrolysat pada level rendah hormon
mendorong embriogenesis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keseimbangan level
hormon menyebabkan diferensiasi embrioid. Ekstrak gandum (Malt Extract/ ME)
bermanfaat untuk kultur nuclear dan dapat dikombinasikan dengan NAA, Adenin
dan Kinetin.
Demikian pula dengan penambahan air kelapa dan casein hidrolysat yang
dapat membantu keberhasilan embriogenesis. Hal ini disebabkan air kelapa
mengandung sitokinin dan dapat memacu pertumbuhan embrio. Namun
penambahan air kelapa sulit dijadikan pegangan, karena kepekatannya berbeda
berdasarkan jenis dan umur, bahkan pada umur yang sama terkadang berbeda
(Priyono dan Daminihardja, 1992).
George dan Sherrington (1 984) mengatakan bahwa casein hidrolysat
merupakan

senyawa

kompleks

yang

mengandung

asam

amino,

serta

mempengaruhi osmorilitas media yang cocok untuk pertumbuhan dan
perkembangan embrio.
Priyono dan Daminihardja (1992) juga melaporkan bahwa penambahan
casein hidrolysat sebanyak 250 mg/l tanpa air kelapa memacu pertumbuhan
embrio.

16

Tabel 3 Macam media dan zat pengatur tumbuh untuk induksi kalus pada
berbagai jenis tanaman
Tanaman

Asal Eksplan

Media

Zat Pengatur Tumbuh

Sumber

Bawang Putih

Tunas Pucuk

MS

1 ppm IAA + 2 ppm NAA

Daisy,P.S, 1992

Kentang

Tunas Pucuk

MS

1 ppm 2,4-D+ 2 PPM Kin

Tao, 1992

Tebu

Batang pucuk

MS

Tembakau

Daun muda

MS

3 ppm NAA, atau 3 ppm
2,4-D
2 ppm IAA + 3 ppm Kin

Melon

Biji

MS

1 ppm NAA + 3 ppm Kin

Begonia

Daun muda

MS

1 ppm IAA

Asparagus

Endosperm

MS

1 ppm 2,4-D

Jagung
Paku-pakuan

Endosperm
Daun muda

N6
MS

Apel
Anggrek
Catlieya
Anggrek
Dendrobium
Melinjo
Wortel
Kapri

Tunas pucuk
Keiki

MS
VW

Keiki

VW

Biji
Ploem
Epikotil

MS
MS
B5

5 ppm NAA
2 ppm Kin + 0,1 ppm
NAA
1 ppm BAP
1.75 ppm IBA + 1,75
ppm NAA
100 gr Pisang + 100 gr
Kentang
4 ppm NAA
3 ppm 2,4-D + 2 ppm Kin
1 ppm 2,4- D

Suryowinoto,
1991
Suryowinoto,
1991
Suryowinoto,
1991
Suryowinoto,
1985
Suryowinoto,
1991
Poedji L, 1992
Suryowinoto,
1987
Ishihara, 1982
Sagawa, 1982
Sagawa, 1982

Sriani H, 1982
Ari W, 1992
Suryowinoto,
1987
Kenanga
Daun
MS
0.5 ppm 2,4-D
Endang S,1991
Sumber : Penelitian-penelitian yang telah berhasil dilaksanakan sejak tahun 1980 – 1992 dalam
Hendaryono dan Wijayani, 1994.

Zat Pengatur Tumbuh
Menurut Abidin (1982), zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik
yang dalam jumlah sedikit mampu mendorong, merubah dan menghambat proses
fisiologis tumbuhan. Hartmann et al., (1990) mengatakan bahwa zat pengatur
tumbuh memainkan peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan
perkembangan, pembelahan, pembesaran dan diferensiasi sel. Tanpa zat pengatur
tumbuh tidak ada pertumbuhan dan perkembangan tanaman sebab untuk
pembelahan sel dan pembesaran volume sel suatu jaringan harus tersedia zat
pengatur tumbuh tertentu.
Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan
dalam

media

dan

yang

diproduksi

secara

endogen

menentukan

arah

17

perkembangan suatu kultur. Menurut Wattimena (1997), auksin dan sitokinin
digunakan untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan eksplan.
Auksin
Untuk biakan yang diambil dari jaringan yang berbeda-beda, zat pengatur
tumbuh didalam medium terutama auksin atau auksin yang dikombinasikan
dengan sitokinin nampaknya penting bagi permulaan pertumbuhan dan induksi
embriogenesis. Beberapa spesies dengan cepat menghasilkan kultur embriogenik
dengan auksin yang berbeda-beda, sebagai contoh kultur embriogenik pada wortel
yang telah dihasilkan dengan NAA, 2, 4–D dan IAA. Pada spesies yang lain
pemilihan zat pengatur tumbuh lebih terbatas, misalnya pada biakan millet seperti
halnya tanaman sejenis rumput-rumputan dan sereal yang lain, hanya 2, 4–D yang
efektif.
Auksin untuk media primer dan sekunder dapat sama atau berbeda, satu
atau beberapa auksin dapat digunakan dalam media yang sama. Untuk beberapa
biakan perubahan dalam konsentrasi atau tipe auksin merupakan pemulaan yang
penting untuk perkembangan embrio somatik. George dan Sherington (1984) serta
Gunawan (1988) menyatakan bahwa auks in digunakan secara luas untuk
menginduksi pembentukan kalus, auksin yang sering digunakan adalah 2, 4–D.
Ditinjau dari peran zat pengatur tumbuh dikatakan oleh Wetherel (1982),
peran auksin yang pertama dalam kultur adalah merangsang pembelahan dan
pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman dan menyebabkan
pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Penambahan auksin dalam jumlah besar atau
penambahan auksin yang lebih stabil misalnya 2, 4–D, NAA akan cenderung
menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat
regenerasi pucuk, sedangkan peran auksin yang kedua adalah merangsang
pembentukan akar.
Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya menurut Gunawan (1988)
ditentukan oleh :
1. Taraf auksin endogen
2. Tipe pertumbuhan yang dikehendaki
3. Kemampuan jaringan mensintesa auksin
4. Golongan zat tumbuh lain yang ditambahkan.

18

Sitokinin.
Peranan sitokinin dalam mikropropagasi adalah merangsang pembelahan
sel dalam jaringan eksplan dan merangsang pertumbuhan tunas daun (Wetherel,
1982). Ammirato (1982) menambahkan bahwa sitokinin juga membantu
perkembangan kotiledon dan pemasakan embrio somatik, dan diperlukan untuk
pertumbuhan embrio menjadi planlet. Sitokinin yang banyak digunakan adalah
kinetin, zeatin dan benzyladenin. Kisaran konsentrasi yang efektif untuk kinetin
0,5uM-5,0 uM. Pada umumnya kebutuhan kinetin untuk tanaman golongan
monokotil sekitar 1 ppm, untuk menginduksi kalus kinetin diberikan sebanyak 0,1
mg/l atau 10%–15% (Ammirato,1982). Akan tetapi pemakaian sitokinin eksogen
pada

jaringan
Sitokinin

meristematik
juga

dapat

berpengaruh

menghambat

pada

terhadap

pembelahan

perkembangan

sel.

embrio,

memperlambat proses penghancuran butir klorofil. Pengaruh sitokinin terhadap
proses fisiologis tanaman diduga terjadi pada sintesis protein mengingat sesama
struktur sitokinin dengan adenin yang merupakan komponen pembentuk DNA
atau RNA (Wattimena, 1987).
Interaksi antara Auksin dan Sitokinin
Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan
dalam media dan yang diproduksi secara end ogen, menetukan arah perkembangan
suatu kultur (Gunawan, 1988).
George dan Sherington (1984) mengatakan, untuk proses morpogenesis
akar dan tunas dari kultur kalus biasanya dibutuhkan imbangan taraf auksin dan
sitokinin, karena itu tidak ada formula satupun yang terbaik bagi setiap
penggunaan. Jadi untuk usaha mikropropagasi dari suatu tanaman yang belum
dikerjakan sebelumnya, haruslah dilakukan percobaan dengan berbagai jenis dan
kadar dari masing-masing zat pengatur tumbuh tersebut.
Sitokinin berinteraksi dengan auksin sedemikian rupa sehingga pemakaian
keduanya secara bersama-sama harus mempertimbangkan kadar maupun
perbandingannya

dalam

media.

Secara

umum

dapat

dikatakan

bahwa

perbandingan sitokinin dan auksin yang tinggi baik untuk daun, sedangkan

19

perbandingan yang rendah baik untuk pembentukan akar (Wetherel, 1982), contoh
zat pengatur tumbuh yang terdapat dalam perdagangan terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Zat pengatur tumbuh yang digunakan secara komersial dalam
mikropropagasi tanaman .
Zat Pengatur Tumbuh

Singkatan

Keterangan

Auksin alami tidak
stabil

I. Kelompok Auksin


Asam Indo-3-Asetat

IAA



Asam Indo-3-Butirat

IBA



Asam Alfa Naftalen Asetat

NAA

Asam 2, 4 Diklorofenoksi Asetat

2, 4–D

-



Stabil
Stabil kuat

II. Kelompok Sitokinin


Bensil Adenin



Kinetin



Bensil Amino Purin



Thidiazuron



Zeatin

BA
BAP
-

III. Kelompok Giberellin


Asam Giberelat

GA3

Dapat merangsang
pertumbuhan, kadangkadang menghalangi
pertumbuhan tunas

Sumber : Wetherell (1982)

George dan Sherington (1984) mengatakan bahwa interaksi dari zat
pengatur tumbuh sering terjadi, namun pengaruhnya pada tanaman tidak dapat
digeneralisasikan karena :
a. Pada tanaman tertentu perbanyakan dengan cepat tunas samping disebabkan
oleh sitokinin maupun auksin.
b. Pada tanaman monokotil pertumbuhan kalus hanya dapat berlangsung apabila
konsentrasi auksin tinggi dan tanpa sitokinin.

20

c. Morpogenesis dan organogenesis sering dirangsang ketika eksplan dipindahkan
pada media yang konsentrasi auksinnya sudah dikurangi.
Peranan dan Perkembangan Embrio somatik
Embrio somatik mempunyai potensi yang sangat penting pada bidang
pertanian yaitu sebagai alat untuk mempelajari dan menganalis a peristiwa
molekuler dan biokimia. Dalam bidang pertanian embrio somatik dapat digunakan
untuk propagasi klonal pada beberapa kelompok tanaman seperti anggrek,
beberapa kultivar tanaman hias dan pada beberapa spesies yang digunakan untuk
peremajaan hutan. Embrio somatik pada beberapa klon dapat diperoleh dalam
jumlah besar melalui embriogenesis.
Kegunaan lain dari embrio somatik adalah untuk menghasilkan atau
memperoleh persediaan tanaman yang bebas penyakit, pengembangan genetik
tanaman, dan untuk penyebaran serta penyimpanan germplasm.
Perkembangan teknik kultur jaringan sampai embriogenesis sudah berhasil
bukan saja pada sel soma tetapi juga pada sel generatip yaitu serbuk sari bunga
jantan

(pollen).

Pengkulturan

serbuk

sari

bukan

hanya

sampai

pada

embriogenesis, tetapi sudah sampai pada pembentukan tanaman sempurna.
Pada studi awal sistem suspensi sel, Steward dan teamnya pada tahun
1958, menemukan bahwa perlakuan dengan air kelapa pada tanaman wortel, sel
wortel tidak berkembang (menggandakan diri), tetapi terpisah menjadi strukturstruktur kecil seperti embrio yang disebut embrioid. Studi yang lebih rinci
ditunjukkan oleh Reinert pada tahun yang sama, bahwa embrio dapat muncul dari
kalus pada medium agar. Sejak saat itu banyak spesies lain ditemukan memiliki
kemampuan membentuk embrio somatik atau dengan induksi melalui perlakuan
kultur (Vajrabhaya, 1988).
Pada

wortel

dan

beberapa

spesies

lain,

induksi

pertumbuhan

embriogenesis dapat dilakukan melalui salah satu dari dua cara. Beberapa sel
mungkin hanya membutuhkan medium basal yang sederhana untuk memulai
embriogenesis, sementara yang lainnya mungkin membutuhkan medium yang

21

lebih kompleks dengan penambahan auksin. Nadar, Soeprapto, Heinz dan Ladd
(1978) melaporkan bahwa untuk inisiasi kalus tebu dibutuhkan 3.0 mg/l 2, 4–D.
Terello, Symington dan Rufner (1978) melaporkan, bahwa pertumbuhan
kalus dari 2 varietas Red fescue lebih ditingkatkan dengan perlakuan 2, 4–D, dan
didapatkan konsentrasi optimum 20 uM. Regenerasi dapat ditingkatkan dengan
penurunan konsentrasi selama sub kultur. Dari tanaman Rygrass tahunan terjadi
peningkatan regenerasi yang nyata dengan penurunan konsentrasi 2, 4–D dari 10
mg/l hingga 5 mg/l.
Man Si Wang dan Zapata (1987) melaporkan tentang embrio somatik pada
padi kultivar IR 40 yang membutuhkan imbangan antara auksin dan sitokinin
yaitu 2 mg/l 2, 4–D dan 0.2 mg/l BAP. Untuk regenerasi, medium MS ditambah
dengan 4 mg/l BAP dan 0.5 mg/l IAA.
Regenerasi tanaman melalui embrio somatik adalah suatu hal yang sangat
penting bagi perbaikan tanaman. Cara regenerasi tanaman melalui embrio genesis
cenderung lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan organogenesis karena
dapat digunakan untuk memanipulasi genetik atau membuat mutan tanaman.
Individu tanaman yang berasal dari pembentukan embrio somatik adalah
sama dengan tanaman yang berasal dari embrio zygotik.
Embrio somatik yang berasal dari kalus dan regenerasinya telah dilakukan
pada banyak tanaman dan berbagai kelompok tanaman, diantaranya padaWheat
(Ahloowalia, 1982), Red fescue (Torello et al., 1984), Sacarum officinarum
(Nadar et al., 1978) , Oil palm (Nualsri, Sampong dan Wangtana, 1987) dan Soya
bean (Komatsuda et al., 1991). Embrio somatik yang berasal dari eksplan
hipokotil Apiaceae telah dilakukan p