Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kecemasan Ibu dalam Melakukan Toilet Training pada Anak Pertamanya di Dusun Ngelo Desa Getasan Kabupaten Semarang T1 462012056 BAB II
8 BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Definisi Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal yang dicemaskan misalnya, kesehatan, relasi sosial, ujian, karier, relasi internasional, dan kondisi lingkungan. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatnya tidak sesuai dengan proporsi ancaman atau datang tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan (Nevid dkk., 2005).
Kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah di mana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir (Durand & Barlow, 2006). Kecemasan adalah perasaan bimbang dan gugup dalam menjalani suatu keadaan
(2)
9 yang sangat penting atau ketidaksiapan diri untuk melakukan sesuatu yang penting, terkadang stimulasi rasa cemas tersebut timbul (Safaria, 2012).
Kecemasan adalah suatu keadaan perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingati orang terhadap bahaya yang akan datang (Freud, 2009). Kecemasan adalah semacam kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas, yang difus atau baur, dan mempunyai ciri yang mengazab pada seseorang. Bila seseorang merasa bahwa kehidupan ini terancam oleh sesuatu tersebut tidak jelas kebenarannya, maka menjadi cemas (Kartono, 2002).
Kecemasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kecemasan ibu dalam melakukan toilet training. Ibu dalam melakukan toilet training mengalami keadaan suasana hati keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah di mana ibu mengantisipasi kemungkinan kegagalan toilet training yang dilakukan dengan perasaan khawatir.
(3)
10 2.1.2 Aspek-Apek Kecemasan
Ada beberapa aspek kecemasan menurut Daradjat (1985) yaitu :
a) Aspek fisiologis
Detak jantung cepat, istirahat tidak teratur, nafsu makan hilang, ganguan pencernaan, tidur tidak nyenyak, mudah mengeluarkan keringat, ujung jari dingin, gemetar, nafas sesak, dan kepala pusing.
b) Aspek psikologis
Merasa tertekan, merasa takut, mudah marah, gelisah, tegang, ingin menghindar atau lari dari kenyataan, selalu khawatir, gugup, rendah diri, hilang kepercayaan diri, tidak berani mengambil keputusan, dan sulit berkonsentrasi.
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Sumber-sumber umum dari kecemasan adalah pergaulan, kesehatan, anak-anak, kehamilan, menuju usia tua, kegagalan rumah tangga, pekerjaan, kenaikan pangkat, kesulitan keuangan, ujian, dan masalah lain dalam kehidupan (Priest, 1987).
Ramaiah (2003) menyebutkan empat faktor utama yang mempengaruhi kecemasan:
(4)
11 a) Lingkungan
Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berpikir tentang diri sendiri dan orang lain. Hal ini bisa saja disebabkan pengalaman dengan keluarga, dengan sahabat, dengan rekan kerja, dan lain-lain. Kecemasan wajar timbul jika merasa tidak aman terhadap lingkungan.
b) Emosi yang ditekan
Kecemasan bisa terjadi jika tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaan dalam hubungan personal. Ini benar terutama jika menekan rasa marah dan frustasi dalam jangka waktu yang lama sekali.
c) Sebab-sebab fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Ini biasanya terlihat dalam kondisi seperti misalnya, kehamilan, semasa remaja, dan waktu pulih dari suatu penyakit.
(5)
12 d) Keturunan
Sekalipun ganguan emosi ada yang ditemukan dalam keluarga-keluarga tertentu ini bukan merupakan penyebab penting dari kecemasan. 2.1.4 Definisi Toilet Training
Toilet training adalah usaha orang tua untuk melatih agar anak mampu mengurus diri sendiri saat buang air besar dan buang air kecil (Soetjiningsih, 2012). Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air besar dan buang air kecil (Hidayat, 2008). Toilet training merupakan latihan moral yang pertama kali diterima anak dan sangat berpengaruh pada perkembangan moral anak selanjutnya (Suherman, 2000).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa toilet training adalah tugas perkembangan anak batita di mana anak dilatih supaya dapat buang air besar dan buang air kecil dengan mandiri serta berdampak pada pembentukan moral anak.
(6)
13 2.1.5 Tanda Kesiapan Anak Dalam Toilet Training
2.1.5.1 Tanda kesiapan fisik
Salah satu cara untuk mengetahui anak siap diajari mengunakan toilet adalah melihat kelakuan dan kemampuan fisiknya.
a) Keterampilan motorik kasar
Anak dapat mengunakan tangan dan kakinya untuk menaiki dan menuruni toilet besar dengan mengunakan bangku kecil atau bisa duduk dengan nyaman di kursi pispot.
b) Pola buang air
Pola buang air besar anak mulai menjadi rutin dan dapat diprediksi, dan dapat tetap kering untuk waktu yang lebih lama di siang hari.
c) Keterampilan manual
Anak dapat menarik celananya ke atas atau ke bawah dengan sedikit bantuan atau bahkan tanpa bantuan.
(7)
14 2.1.5.2 Tanda kesiapan kognitif
Banyak tanda kesiapan yang hampir tidak terlihat jelas dalam cara anak berpikir dan berkomunikasi.
a) Kesadaran sensorik
Anak sepertinya tahu kapan buang air besar dan buang air kecil atau sensitif saat basah atau kotor.
b) Rentang perhatian yang baik
Anak dapat fokus ditugasnya dalam beberapa menit dalam satu waktu.
c) Kemampuan mengikuti petunjuk yang sederhana
Anak dapat mengerti dan mengikuti petunjuk yang mudah seperti, “tolong turunkan celanamu dan duduk di pispot”. d) Keterampilan berkomunikasi
Anak dapat berbicara dengan caranya sendiri bahwa telah buang air besar atau buang air kecil dan harus menggunakan toilet. Dapat mengunakan frase seperti “saya pipis” atau gerakan dengan menarik celananya atau sesuatu yang serupa.
(8)
15 e) Memahami istilah
Anak mengerti bahasa yang digunakan dalam mengajarkan toilet training dan untuk menjelaskan bagian tubuhnya.
f) Memahami konsep penggunaan toilet Anak tahu apa kegunaan toilet. g) Ketidaksukaan akan basah
Anak tidak suka dalam keadaan basah atau kotor dan celananya ingin diganti. 2.1.5.3 Tanda kesiapan jiwa, sosial, dan emosional
Amati tanda yang menyatakan anak mempunyai perasaan akan dirinya, kesadaran bersosialisasi, dan secara emosional siap untuk pengajaran pengunaan toilet.
a) Kesadaran diri
Anak memperlihatkan kesadaran akan dirinya dengan mengatakan “saya” atau “milikku” sambil menunjukkan mainannya dan memperlihatkan rasa bangga atas apa yang dia capai.
b) Keingintahuan akan toilet
Anak ingin mengetahui lebih banyak tahu mengenai penggunaan toilet dan
(9)
16 tertarik untuk melihat orang lain menggunakan toilet.
c) Kemampuan meniru orang menggunakan toilet
Anak meniru orang tuanya atau orang lain dengan duduk di toilet kecil dan berpura-pura menggunakannya.
d) Kestabilan emosi
Anak kebanyakan di luar tahap “negatif” dalam perkembangan. Dia juga tidak mengalami kejadian yang membuatnya trauma seperti membiasakan diri dengan bayi baru, rumah baru, atau perceraian. e) Senang dipuji
Anak ingin menyenangkan orang, dia berseri-seri saat dipuji, dan suka akan keberhasilan.
f) Ingin cepat besar
Anak lebih tertarik menggunakan celana latih atau celana dalam dari pada popok, dan tahu dia bukan lagi bayi.
(10)
17 g) Kemampuan bermain dengan imajinasi
Anak suka berimajinasi bermain dengan hewan-hewan atau boneka yang menggunakan toilet dan mengerti peraturan dasarnya.
2.1.5.4 Tanda bahwa anak belum siap
Meskipun anak mungkin menunjukkan beberapa tanda kesiapan, dia mungkin menunjukkan tanda yang menyatakan bahwa dia sesungguhnya belum siap.
a) Kurang tahu
Anak terlihat lupa bahwa sudah basah atau kotor, atau telihat tidak merasakan saat dia buang air besar atau buang air kecil. b) Kehilangan minat
Anak tidak tertarik pada popoknya, kursi pispot, toilet, atau apapun yang berhubungan dengan penggunaan toilet. c) Sering buang air kecil
Anak membasahi popoknya setiap satu atau dua jam selama satu hari. (kemungkinan dia belum siap menahan
(11)
18 pipisnya lebih lama untuk berhasil dalam pelatihan toilet).
d) Resistensi
Anak menolak usaha yang dilakukan untuk mengajak menggunakan toilet, dengan kata-kata, marah, menangis, atau melarikan diri.
e) Negativitas
Anak masih berada di tahap “negatif” dalam perkembangan. Para ahli menganggap bahwa ini adalah tahap positif di mana anak menyatakan kebebasannya. f) Stres
Anak mengalami kejadian yang penuh tekanan, seperti bayi yang baru lahir, pindah ke rumah baru, perubahan di tempat penitipan anak, kematian dalam keluarga, dan seterusnya.
g) Ketidakmampuan
Anak memiliki ketidakmampuan, seperti perkembangan yang terlambat atau cacat fisik sehingga proses tertunda (Warner, 2007).
(12)
19 2.1.6 Tahapan Dalam Toilet Training
Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk ke dalam toilet anak akan lebih cepat beradaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan dijelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air. Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu tertentu setiap hari terutama 20 menit setelah bangun tidur dan seusai makan, ini bertujuan agar anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis (mengompol) dalam toilet training itu merupakan hal yang normal (Wijaya dkk., 2015).
a) Memperhatikan kebiasaan anak
Orang tua pasti bisa mengenali kapan anak merasa ingin buang air kecil. Bila sudah terlihat tanda-tanda anak ingin buang air, ajak anak ke toilet. Meskipun belum akan pipis, tapi kamar mandi akan mengingatkan anak serta memberi sugesti untuk buang air kecil.
(13)
20 b) Mulai biasakan tidak mengunakan popok
Coba memakaikan celana kain pada anak. Jika anak memiliki baju kesayangan, hal ini akan membuatnya merasa lebih sayang untuk mengotorinya. Jika anak terlanjur mengompol di celana, jangan pernah memarahinya, tapi ajaklah ke toilet untuk membersihkannya, agar bisa mengerti bahwa kotoran harus segera dibersihkan dan dibuang ke toilet.
c) Mengunakan Potty (tempat buang air)
Anak dilatih dengan menggunakan alat pipis atau potty yang bentuknya menyerupai kloset di kamar mandi, tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Hal itu dapat membantu anak dalam melakukan toilet training.
d) Usahakan tetap santai dan tidak emosi
Jangan terlalu menekan anak agar lulus toilet training secepatnya. Jika anak melakukan kesalahan, jangan pernah memarahinya, karena sebagai orang tua harus bisa mengerti dan memahami anak dari pada memberikan perintah-perintah.
(14)
21 e) Menciptakan kebiasaan
Buatlah kebiasaan-kebiasaan untuknya, misalnya saat anak baru bangun tidur, ajaklah anak untuk pergi ke toilet dulu. Hal ini akan menjadi rutinitas baru baginya.
f) Memberikan pujian
Berikanlah pujian ketika anak berhasil melakukannya, karena hal tersebut akan membuatnya merasa senang dan semakin termotivasi (Wijaya dkk., 2015).
2.1.7 Anak Batita
Masa batita adalah rentang dari masa anak mulai berjalan sendiri sampai mereka berjalan dan berlari dengan mudah, yaitu mendekati usia 12 sampai 36 bulan. Batita ditandai dengan kemandirian yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan kognitif yang lebih besar. Batita akan terus meningkatkan kewaspadaan terhadap kemampuan mereka untuk mengontrol dan senang dengan keberhasilan usaha keterampilan baru ini. Keberhasilan ini membuat mereka mengulangi usaha untuk mengontrol lingkungan mereka. Ketidakberhasilan
(15)
22 usaha pada pengontrolan dapat menimbulkan perilaku negatif dan temper tantum (Potter & Perry, 2005).
Kemudian masa batita (bawah tiga tahun) dan balita (bawah lima tahun) merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan di masa itu menjadi penentu keberhasilan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan. Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air besar atau buang air kecil, dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik (Sutomo, 2010).
Selain itu sebagian orang tua menganggap awal masa batita sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Masa batita sering terjadi masalah perilaku yang lebih menyulitkan dari pada perawatan fisik semasa bayi karena masa batita berada pada proses pengembangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya tidak
(16)
23 berhasil. Anak seringkali bandel, keras kepala, tidak menurut, negativistis, dan melawan (Hurlock, 1980). 2.2 Perspektif Teoritis
Dalam melakukan toilet training perlu untuk memperhatikan kesiapan anak, pengetahuan tentang toilet training, dan pelaksanaan toilet training yang baik dan benar pada anak. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan berdampak pada keberhasilan toilet training dan perasaan orang tua (Kusumaningrum dkk., 2011). Kecemasan dalam melakukan toilet training terjadi saat orang tua kurang memiliki pengetahuan yang baik dan benar tentang toilet training membuat orang tua kurang memperhatikan usia dan kemampuan anak dalam melakukan toilet training, kemudian merasa cemas dan marah saat melihat anak tidak mampu melakukan toilet training (Notoatmodjo, 2003). Toilet training adalah usaha orang tua dalam melatih anak agar mampu mengurus diri sendiri saat buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) (Soetjiningsih, 2012).
Berdasarkan tinjauan pustaka yang disampaikan di atas dapat disimpulkan toilet training adalah latihan yang diberikan orang tua agar anak dapat BAB dan BAK dengan mandiri di mana kesiapan orang tua dan anak sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan toilet training. Situasi yang terjadi
(17)
24 ketika anak tidak siap secara fisik, kognitif, sosial emosional, dan orang tua yang baru memiliki anak pertama dengan pengalaman dalam tumbuh kembang anak yang kurang dalam menyikapi situasi tersebut akan menimbulkan perasaan-perasaan khawatir atau cemas. Dalam penelitian ini kecemasan ibu dalam melakukan toilet training adalah keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah di mana seseorang mengantisipasi kegagalan toilet training dengan perasaan khawatir.
(1)
19 2.1.6 Tahapan Dalam Toilet Training
Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk ke dalam toilet anak akan lebih cepat beradaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan dijelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air. Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu tertentu setiap hari terutama 20 menit setelah bangun tidur dan seusai makan, ini bertujuan agar anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis (mengompol) dalam toilet training itu merupakan hal yang normal (Wijaya dkk., 2015).
a) Memperhatikan kebiasaan anak
Orang tua pasti bisa mengenali kapan anak merasa ingin buang air kecil. Bila sudah terlihat tanda-tanda anak ingin buang air, ajak anak ke toilet. Meskipun belum akan pipis, tapi kamar mandi akan mengingatkan anak serta memberi sugesti untuk buang air kecil.
(2)
20 b) Mulai biasakan tidak mengunakan popok
Coba memakaikan celana kain pada anak. Jika anak memiliki baju kesayangan, hal ini akan membuatnya merasa lebih sayang untuk mengotorinya. Jika anak terlanjur mengompol di celana, jangan pernah memarahinya, tapi ajaklah ke toilet untuk membersihkannya, agar bisa mengerti bahwa kotoran harus segera dibersihkan dan dibuang ke toilet.
c) Mengunakan Potty (tempat buang air)
Anak dilatih dengan menggunakan alat pipis atau potty yang bentuknya menyerupai kloset di kamar mandi, tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Hal itu dapat membantu anak dalam melakukan toilet training.
d) Usahakan tetap santai dan tidak emosi
Jangan terlalu menekan anak agar lulus toilet training secepatnya. Jika anak melakukan kesalahan, jangan pernah memarahinya, karena sebagai orang tua harus bisa mengerti dan memahami anak dari pada memberikan perintah-perintah.
(3)
21 e) Menciptakan kebiasaan
Buatlah kebiasaan-kebiasaan untuknya, misalnya saat anak baru bangun tidur, ajaklah anak untuk pergi ke toilet dulu. Hal ini akan menjadi rutinitas baru baginya.
f) Memberikan pujian
Berikanlah pujian ketika anak berhasil melakukannya, karena hal tersebut akan membuatnya merasa senang dan semakin termotivasi (Wijaya dkk., 2015).
2.1.7 Anak Batita
Masa batita adalah rentang dari masa anak mulai berjalan sendiri sampai mereka berjalan dan berlari dengan mudah, yaitu mendekati usia 12 sampai 36 bulan. Batita ditandai dengan kemandirian yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan kognitif yang lebih besar. Batita akan terus meningkatkan kewaspadaan terhadap kemampuan mereka untuk mengontrol dan senang dengan keberhasilan usaha keterampilan baru ini. Keberhasilan ini membuat mereka mengulangi usaha untuk mengontrol lingkungan mereka. Ketidakberhasilan
(4)
22 usaha pada pengontrolan dapat menimbulkan perilaku negatif dan temper tantum (Potter & Perry, 2005).
Kemudian masa batita (bawah tiga tahun) dan balita (bawah lima tahun) merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan di masa itu menjadi penentu keberhasilan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan. Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air besar atau buang air kecil, dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik (Sutomo, 2010).
Selain itu sebagian orang tua menganggap awal masa batita sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Masa batita sering terjadi masalah perilaku yang lebih menyulitkan dari pada perawatan fisik semasa bayi karena masa batita berada pada proses pengembangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya tidak
(5)
23 berhasil. Anak seringkali bandel, keras kepala, tidak menurut, negativistis, dan melawan (Hurlock, 1980). 2.2 Perspektif Teoritis
Dalam melakukan toilet training perlu untuk memperhatikan kesiapan anak, pengetahuan tentang toilet training, dan pelaksanaan toilet training yang baik dan benar pada anak. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan berdampak pada keberhasilan toilet training dan perasaan orang tua (Kusumaningrum dkk., 2011). Kecemasan dalam melakukan toilet training terjadi saat orang tua kurang memiliki pengetahuan yang baik dan benar tentang toilet training membuat orang tua kurang memperhatikan usia dan kemampuan anak dalam melakukan toilet training, kemudian merasa cemas dan marah saat melihat anak tidak mampu melakukan toilet training (Notoatmodjo, 2003). Toilet training adalah usaha orang tua dalam melatih anak agar mampu mengurus diri sendiri saat buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) (Soetjiningsih, 2012).
Berdasarkan tinjauan pustaka yang disampaikan di atas dapat disimpulkan toilet training adalah latihan yang diberikan orang tua agar anak dapat BAB dan BAK dengan mandiri di mana kesiapan orang tua dan anak sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan toilet training. Situasi yang terjadi
(6)
24 ketika anak tidak siap secara fisik, kognitif, sosial emosional, dan orang tua yang baru memiliki anak pertama dengan pengalaman dalam tumbuh kembang anak yang kurang dalam menyikapi situasi tersebut akan menimbulkan perasaan-perasaan khawatir atau cemas. Dalam penelitian ini kecemasan ibu dalam melakukan toilet training adalah keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah di mana seseorang mengantisipasi kegagalan toilet training dengan perasaan khawatir.