Ekspansi Pasar Komoditas Beras di Indone

UNIVERSITAS INDONESIA

Makalah Globalisasi dan Politik di Indonesia:

“Ekspansi Pasar Komoditas Beras di Indonesia Melalui Agreement on Agriculture-WTO”

Disusun oleh:
Aditya Fathurrahman Abdillah (1206250550)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM SARJANA ILMU POLITIK
DEPOK
DESEMBER 2014

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada bidang
agraris sebagai mata pencaharian. Terlihat di dalam data BPS tahun 2014 yang menunjukkan
bahwa sebanyak 38 juta jiwa masyarakat Indonesia mempunyai mata pencaharian di sektor
pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.1 Meskipun banyak masyarakat Indonesia yang
memiliki mata pencaharian di bidang agraris, namun permasalahan – permasalahan mengenai
bidang agraris tidak pernah dituntaskan dan mendapat perhatian lebih. Salah satunya adalah

masalah di kebijakan mengenai beras.
Sudah diketahui bahwa beras adalah makanan pokok dari mayoritas masyarakat
Indonesia. Beras juga memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik
suatu negara. Oleh karena itu, sejak Orde Lama sampai Reformasi, kebijakan beras menjadi
salah satu perhatian pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Pada masa Orde Lama, negara yang memiliki peranan penting dalam menentukan
kebijakan beras. Seperti dicetuskannya Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM) dengan
memperbaiki aspek perencanaan dan pembagian kerja, yang kemudian berwujud dalam
penyelenggaraan pusat-pusat intensifikasi yang berfungsi sebagai pusat bimbingan untuk
Koperasi Produksi Pertanian (KOPERTA). Hal tersebut dikenal pada masa itu sebagai
Bimbingan Massal (BIMAS) nasional ini sendiri penyelanggaraannya dikontrol oleh Komando
Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) yang langsung diketuai oleh Presiden Soekarno.2
Memasuki Orde Baru, kebijakan beras di Indonesia memasuki babak baru dengan adanya
pelibatan modal perusahaan swasta asing. Masa Orde Baru melanjutkan kebijakan BIMAS
tetapi diubah namanya dengan BIMAS gotong royong yang penyelenggaraannya merupakan
kerja sama antara pemerintah dengan perusahaan swasta asing. Perusahaan-perusahaan yang
menanamkan modal dalam BIMAS gotong royong tersebut ada Mitsubishi, Geigy, CIBA, AHT,
dan HOESCHT.3 Model kebijakan beras yang dilakukan oleh Masa Orde Baru mengikuti ide
1


Lihat ht t p:/ / w w w .bps.go.id/ t ab_sub/ view .php?t abel=1& daft ar=1& id_subyek=06& not ab=2 (diakses pada t anggal
15 Desember 2014 pukul 1.07 WIB)
2
Bonnie Set iaw an, Globalisasi Pert anian : Ancaman At as Kedault an Bangsa dan Kesejaht eraan Pet ani , (Jakart a :
Inst it ut e Of Global Just ice, 2003). Hal. 40

3

Njoman Suw idjana, Indonesia’s Rice Policy : Development Pat t erns, Accomplishment , and Problems, diunduh dari
ht t p:/ / w w w .jst or.or g/ st able/ 27908427 pada t anggal 15 Desember 2014pukul 13.58 WIB. Hal. 151

dari Revolusi Hijau dimana dilakukannya modernisasi pertanian lewat input modal besarbesaran. Model tersebut hanya menguntungkan para korporasi multinasional dan para importer
yang mendapat keuntungan dari impor bibit, traktor, pembangunan irigrasi, pompa air, dan lainlain.
Model pertanian tersebut tidak pernah berubah sampai berakhirnya masa Orde Baru.
Pemerintahan pada masa Reformasi belum dapat memutus rangkaian kebijakan pertanian di
masa Orde Baru. Hal tersebut disebabkan oleh krisis ekonomi 1997 yang membuat pemerintah
membutuhkan suntikan dana segar dari IMF (International Monetary Fund). Pemerintahan
Indonesia akhirnya memiliki keterikatan dengan IMF melalui Letter of Intent (LoI) dan
Agreement on Agriculture (AoA) yang telah membuat mandul kewenangan pemerintah di
berbagai kebijakan pertanian.

Perjanjian-perjanjian tersebut mengarahkan kebijakan pertanian Indonesia untuk semakin
pro dengan pasar bebas dengan jalan membuka pasar dalam negeri lewat berbagai kebijakan.
Salah satu kebijakannya adalah mengenai kebijakan impor beras Di dalam kebijakan impor beras
tersebut terdapat hal-hal yang mengakomodasi kepentingan aktor-aktor global untuk masuk ke
dalam pasar domestik komoditas beras di Indonesia. Menurut penulis, fenomena tersebut
merupakan fenomena yang negatif dikarenakan pemerintahan Indonesia telalu mementingkan
kepentingan aktor global daripada kepentingan masyarakatnya yang juga sangat tergantung
dengan komoditas beras.
KERANGKA KONSEPTUAL
Globalisasi
Di dalam makalah ini, penulis akan menggunakan konsep globalisasi sebagai ideologi
dan sistem yang disampaikan oleh Jacques B. Gelinas. Ideologi dari globalisasi bisa
digambarkan kepercayaan neoliberal yang didorong ke batas yang ekstrim. Kepercayaan tersebut
bisa diringkas dalam tiga keyakinan, yaitu:4

4

Jacques B. Gelinas, Juggernaut Polit ics : Underst anding Predat ory Globalizat ion , (London : Zed Books, 2003). Hal.
24


a. Percaya dalam kepemilikan pribadi dan manfaat dari apropriasi tak terbatas kekayaan
oleh perusahaan transnasional dan para pemimpinnya
b. Percaya pada hukum pasa sebagai mekasnisme unggulan untuk mengoptimalkan
kekayaan sumber daya dan distribusi pendapatan
c. Percaya pada perusahaan yang bebas dan perdagangan bebas sbegaia mekanisme
terbaik untuk memastikan kesejahteraan semua bangsa dan individu
Sementara itu, globalisasi sebagai sistem, yaitu kontrol total dunia oleh kepentingan
ekonomi supranasional kuat melalui deregulasi pasar dunia.5 Kekuatan ekonomi tersebut
cenderung mengerahkan hegemoninya atas seluruh bumi dan semua aspek materi, sosial, sampai
kehidupan budaya perempuan dan laki-laki.

Pasar adalah mekanisme yang mengatakan

kepentingan ekonomi untuk mengerahkan dan membenarkan pengaruh kekuatan-kekuatan
ekonomi. Dari perspektif ini, globalisasi didefinisikan efeknya paling langsung adalah
komodifikasi segala yang ada di bumi ini. Semuanya menjadi komoditas dan dipayungi oleh
hukum pasar.
Regulatory Reform
Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan konsep regulatory reform oleh Steven K.
Vogel dalam bukunya “Free Markets, More Rules : Regulatory Reform in Advanced Industrial

Countries”.

Dalam bukunya ini, Vogel fokus kepada reformasi regulasi ekonomi dalam

kerangka ekonomi politik internasional yang akan penulis gunakan untuk menganalisis
penerapan Agreement on Agriculture di Indonesia. Terdapat tiga perspektif tentang reformasi
regulasi, yang masing – masing menunjukkan interpretasi berbeda dari reformasi regulasi apa
yang terkandung, mengapa telah terjadi, dan bagaimana ia telah berkembang. Tiga perspektif
reformasi regulasi, yaitu6 :
a) Deregulasi Sebagai Kemenangan Pasar Atas Pemerintah
b) Deregulasi Sebagai Kemenangan Minat Pemerintah
c) Reregulasi sebagai Reorganisasi Kontrol Pemerintah

5

Jacques B. Gelinas, Ibid., Hal. 20
St even K. Vogel, Free M arket s, M ore Rules : Regulat ory Reform In Advanced Indust rial Count ries. (New York :
Cornell Universit y Press, 1996). Hal. 10

6


Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan perspektif deregulasi sebagai
kemenangan pasar atas pemerintah. Perspektif ini, perkembangan pasar secara langsung
menghasilkan deregulasi. Terdapat empat argument dalam perspektif deregulasi sebagai
kemanangan pasar atas pemerintah. Pertama, perubahan pasar telah membuat regulasi yang lebih
memakan biaya dan kurang menguntungkan. Kedua, kemajuan teknologi telah merusak regulasi
dalam praktek sehingga membutuhkan deregulasi segera. Ketiga, globalisasi pasar telah
membuat sulit pemerintah nasional untuk mengontrol perilaku industry. Keempat, globalisasi
telah menghasilkan dinamika persaingan antara regulator yang mendorong deregulasi.
PEMBAHASAN
Perjanjian Perdagangan Internasional di Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture)
Agreement on Agriculture (AoA) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1995 sampai
dengan jangka waktu 6 sampai 10 tahun berikutnya. Pada pembukaan dari AoA tersebut tercatat
tujuan jangka panjang dari AoA, yang distujui oleh seluruh negara anggota WTO, berupa proses
pembaharuan yang dilakukan oleh reform program Putaran Uruguay dalam membentuk sistem
perdagangan produk-produk pertanian yang lebih adil dan berorientasi pasar. Reform Program
Putaran Uruguay terdiri dari komitmen-komitmen khusus guna mengurangi dukungan dan
perlindungan terhadap domestic support, export subsidies, dan market access melalui
pembentukan aturan-aturan dan disiplin GATT yang lebih kuat dan efektif secara operasional.
Selain itu, AoA juga memasukkan hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu non-trade seperti

ketahanan pangan dan perlindungan lingkungan hidup.
Tujuan adanya market access dalam perundingan Putaran Uruguay adalah untuk
mengurangi hambatan impor yang terdapat dalam perdagangan sektor pertanian. Pengurangan
hambatan non-tarif ini dilakukan dengan proses tarifikasi, pengurangan tarif rata-rata 36% dan
binding.7 Untuk negara berkembang ketentuan dalam pengurangan tarif sebesar 24% dan
minimal 10%. Untuk negara maju ketentuan dalam pengurangan tariff sebesar 36% dan minimal
15%.8Proses ini telah menghasilkan adanya transparansi dalam perdagangan sektor pertanian.

7

Noorman Effendi, Tesis : Kebijakan Indonesia Pada Perundingan Lanjut an WTO Bidang Pert anian (Depok :
Universit as Indonesia, 2002). Hal. 35
8
Noorman Effendi, Ibid. Hal. 36

Sementara itu, tindakan domestic support terutama yang dilakukan oleh negara-negara
maju banyak yang sangat distortif terhadap pasar dan cenderung merugikan negara-negara yang
berbasis pertanian yang efisien dan berorientasi global. Untuk itu maka komitmen di bidang ini
bertujuan untuk memulitilateralkan domestic support di sektor pertanian dan mengurangi secara
bertahap pengeluaran pemerintah untuk trade-distorting domestic support.

Export subsidies dalam berbagai bentuk harus diciutkan sebesar 36% selama tahun 1995
– 2000 bagi negara maju. Sedangkan bagi negara berkembang, masing-masing sebesar 26 %
selama 1995 – 2004.9 Subsidi ekspor yang akan dikurangi oleh negara-negara anggota, adalah
subsidi yang berupa :
a) Subsidi ekspor di bawah harga domestic
b) Subsidi langsung, misalnya pembayaran tunai kepada produsen yang dikaitkan
dengan kemampuan ekspornya
c) Subsidi harga pemasaran produk untuk ekspor
d) Subsidi untuk pengapalan produk ekspor
e) Subsidi produk pertanian yang manjadi bagian dari suatu produk yang diekspor
Penerapan Agreement on Agriculture di Indonesia : Studi Kasus Impor Beras
Konsekuensi dari meratifikasi Agreement on Agriculture adalah Indonesia akan
meliberalisasi pasar secara bertahap. Namun, krisis 1998 membuat Pemerintah Indonesia
mempercepat implementasi liberalisasi perdagangan dalam negeri. Percepatan liberalisasi
didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, WTO) sebagai
prasyarat utama bagi dana pinjaman yang diminta oleh Pemerintah Indonesia. Lembaga-lembaga
keuangan internasional tersebut memberi rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia untuk
menerapkan sistem ekonomi perdagangan bebas dengan meliberalisasi sektor-sektor perbankan,
pertanian, pertambangan, dan lain-lain. Indonesia diharuskan menghapus semua subsidi,
termasuk subsidi untuk sarana produksi pertanian.

Liberalisasi pangan dimulai pada 1998 dengan melakukan regulatory reform dengan
mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, dan menghapus pembiayaan Kredit

9

Noorman Effendi, Ibid. Hal. 39

Likuiditas Bank Indonesia (LKBI). Termasuk membuka impor beras seluas-luasnya bagi para
importer. Sesuai dengan rekomendasi IMF, Indonesia meliberalkan impor beras dengan
menerapkan tarif impor nol persen pada awal 1998.10 Dengan demikian petani tidak memperoleh
insentif lagi untuk memproduksi beras dan harus bertarung di pasar bebas dengan beras impor
yang lebih murah.
Pemerintah Indonesia juga menghapus hak monopoli BULOG sebagai importer tunggal.
Dengan pencabutan hak monopoli BULOG, diterapkannya tarif impor nol persen, dan penurunan
harga beras di pasar internasional pada 1998, banjir beras impor tak terbendung lagi. Jika melihat
perbandingan nilai impor beras sebelum dan sesudah liberalisasi sangat jauh berbeda. Periode
1984-1994, nilai impor beras Indonesia adalah 648.018.000. Sedangkan periode 1995-2000
setelah adanya liberalisasi, nilai impor beras Indonesia meningkat drastis menjadi
4.268.200.000.11 Beras impor terbanyak berasal dari Thailand dan diikuti oleh Vietnam.
Impor beras tidak dapaat dibendung karena instrument pendukungnya tidak disiapkan.

Harga Dasar Gabah (HDG) yang menjadi penopang stabilitas harga gabah di tingkat petani
menjadi mandul karena sulit dioperasionalkan oleh sistem birokrasi yang berbelit. Padahal
fluktuasi harga selalu terjadi antarmusim dan HDG diperlukan sebagai katup pengaman.
Untuk membendung banjir impor beras, pemerintah Indonesia dan IMF bersepakat untuk
menerapkan bea masuk beras sebesar Rp 430 per kilogram mulai 1 Januari 2000.12 Namun,
kebijakan tarif impor baru juga tidak dapat berjalan dengan baik. Beras impor tetap mengalir
deras masuk ke dalam negeri. Padahal, secara rata-rata, produksi beras nasional sesungguhnya
melebihi tingkat konsumsi dalam negeri. Masuknya beras impor juga tidak serta menurunkan
harga beras di dalam negeri.
Pada tahun 2001, pemerintahan Indonesia kembali menerapkan kebijakan baru untuk
perdagangan beras yaitu dengan menerapkan sistem harga pembelian yang menggantikan sistem
harga dasar gabah yang berlaku sebelumnya. Dalam sistem ini, pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk membeli beras petani domestic sebanyak 2 juta ton gabah dengan harga
10

Wit oro, M emperdagangkan Kehidupan : M enelisik Nasib Beras di Baw ah Pasal-Pasal WTO, dalam Sugeng
Bahagijo, Globalisasi M enghempas Indonesia (Jakart a : LP3ES, 2006). Hal. 228
11
Khudori, Ironi Negeri Beras, (Yogyakart a : Insist press, 2008). Hal. 298
12

Wit oro, Op.Cit . Hal. 240

minimum yang sebelumnya telah ditetapkan oleh pemerintah. Namun, sistem ini pun hanya
memberikan dampak kecil dan terbatas terhadap beras produksi dalam negeri, dimana
pemerintah hanya melindungi kurang lebih 5% dari total produksi beras nasional. 13 Hal tersebut
menunjukkan semakin berkurangnya dukungan pemerintah kepada petani beras dan beras
produksi dalam negeri.
Agreement on Agriculture : Menguntungkan Siapa?
Setelah membahas mengenai penerapan Agreement on Agriculture di Indonesia,
pertanyaan selanjutnya adalah apakah program tersebut menguntungkan Indonesia? Ataukah
menguntungkan negara lain? Ataukah aktor global lainnya? Agreement on Agriculture
merupakan sebuah fenomena globalisasi sebagai sistem. Artinya, kontrol total dunia oleh
kepentingan ekonomi supranasional atau negara kuat melalui deregulasi pasar dunia..Sudah jelas
juga Agreement on Agriculture hanya mengakomodasi kepentingan negara-negara yang sudah
maju dalam bidang pertanian untuk memperluas pasarnya.
Terlihat dari rekomendasi yang dituangkan di dalam Agreement on Agriculture berupa
kebijakan liberalisasi perdagangan beras dan melarang negara-negara yang tergabung dalam
WTO untuk mensubsidi petani di negaranya. Rekomendasi yang diberikan oleh Agreement on
Agriculture menunjukkan besarnya kepentingan negara-negara yang sudah maju di bidang
pertanian. Apalagi ketika Indonesia diminta oleh AoA dan IMF membuka keran liberalisasi
perdagangan beras.
Negara-negara maju di sektor beras sudah tahu bahwa Indonesia merupakan pangsa pasar
yang besar dan potensial bagi pemasaran komoditas beras. Dengan jumlah penduduk yang
hampir 200 juta jiwa, tingkat kebutuhan penduduk Indonesia akan beras slelau mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Maka dengan terbukanya perdagangan beras di dalam negeri dan
turunnya dukungna kebijakan pemeirntah terhadap produksi beras dalam negerinya. Membuka
peluang dan kesempatan bagi negara-negara ekspotir beras dunia untuk masuk dan menguasai
pasar bebas dalam negeri Indonesia. Negara – negara tersebut adalah Amerika Serikat, Thailand,
dan Filipina.

13

Tia Vinit a, Implikasi Let t er Of Int ent IM F Dalam Kebijakan Impor Beras Indonesia (2004-2010) , (Depok :
Universit as Indonesia, 2012). Hal. 58

Pemeirintahan Indonesia memang mengakomodasi kepentingan negara-negara tersebut.
Data yang didapat tahun 2013 membuktikannya. Hasil dari Badan Pusat Statistik merinci catatan
impor beras dari tiap-tiap negara. Vietnam mendominasi dengan pengiriman sebanyak 171.286
ton atai seniliai US$ 97,3 juta. Impor beras dari Vietnam menyumbang 36,3 persen dari total
impor beras Indonesia. Setelah Vietnam, Thailand di ututan kedua dalam mengekspor beras ke
Indonesia. Selama 2013, Negeri Gajah Putih itu mengirim 194.633 ton beras senilai US$ 61,7
juta. 14
Kelompok yang paling dirugikan dalam penerapan Agreement on Agriculture adalah
kelompok petani domestik yang harus bertarung di pasar bebas sendirian tanpa dukungan dari
pemerintahan Indonesia. Petani Indonesia yang masih serba miskin, subsistens, tidak bertanah,
tidak terorganisir dan harus menghadapi ekspansi dan serbuan produk pangan dan pertanian.
Tidak heran jumlah petani yang meninggalkan pekerjaannya dan memilih untuk berspekulasi
pindah ke kota-kota besar untuk mendapatkan pekerjaan sudah banyak terjadi.
KESIMPULAN
Penulis melihat bahwa Agreement on Agriculture ini adalah produk globalisasi ekonomi
yang didalamnya membawa kepentinga-kepentingan para negara-negara maju di sektor
pertanian, khususnya beras. Syarat-syaratnya seperti domestic support, export subsidies, dan
market access sangat pro terhadap para negara-negara maju di sektor pertanian. Ketiga syarat itu
membantu memperluas jaringan pasar bagi produk-produk beras dari negara-negara maju di
sektor pertanian.
Disini Pemerintah Indonesia sendiri tunduk kepada tekanan lembaga ekonomi
internasional dengan melakukan regulatory reform. Pemerintah Indonesia telah takluk oleh
perkembangan/perluasan pasar yang dibawah oleh Agreement on Agriculture. Sikap pemerintah
Indonesia seperti ini membuat sektor pertanian dalam negeri sendiri kita stagnan dan jarang lagi
zaman ini yang ingin menjadi petani di Indonesia. Pemerintah Indonesia hanya memikirkan
bagaimana memenuhi keburtuhan konsumsi dalam negeri dengan melakukan impor beras murah.
Sehingga sektor pertanian kita akan selalu sulit berkembang,
14

Pingit Aria, Tahun Lalu, Indonesia Im por Beras dari Lima Negara,
ht t p:/ / w w w .t empo.co/ read/ new s/ 2014/ 02/ 05/ 090551264/ Tahun-lalu-Indonesia-Impor-Beras-dari-Lima-Negara
diakses pada t anggal 16 Desember 2014 pukul 20.00

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Bahagijo, Sugeng, Globalisasi Menghempas Indonesia (Jakarta : LP3ES, 2006)
Gelinas, Jacques B., Juggernaut Politics : Understanding Predatory Globalization, (London :
Zed Books, 2003)
Khudori, Ironi Negeri Beras, (Yogyakarta : Insist press, 2008).
Setiawan, Bonnie, Globalisasi Pertanian : Ancaman Atas Kedaultan Bangsa dan Kesejahteraan
Petani, (Jakarta : Institute Of Global Justice, 2003)
Vogel, Steven K., Free Markets, More Rules : Regulatory Reform In Advanced Industrial
Countries. (New York : Cornell University Press, 1996).
Sumber Jurnal
Suwidjana, Njoman, Indonesia’s Rice Policy : Development Patterns, Accomplishment, and
Problems, diunduh dari http://www.jstor.org/stable/27908427 pada tanggal 15 Desember
2014pukul 13.58 WIB
Sumber Tesis
Efendi, Noorman, Tesis : Kebijakan Indonesia Pada Perundingan Lanjutan WTO Bidang
Pertanian (Depok : Universitas Indonesia, 2002).
Vinita, Tia, Implikasi Letter Of Intent IMF Dalam Kebijakan Impor Beras Indonesia (20042010), (Depok : Universitas Indonesia, 2012)
Sumber Internet
www.bps.go.id
www.tempo.co.id