Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Aceh (Studi Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan)

32

BAB II
PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU
DI TAPAKTUAN
A. Gambaran Umum Masyarakat Tapaktuan
1.

Gambaran Umum Geografis Tapaktuan
Kabupaten Aceh Selatan dengan ibu kota Kabupaten Tapaktuan,

secara

geografis terletak dengan luas wilayah 4.005,10 KM2. Kabupaten ini berbatasan
dengan Kabupaten Aceh Tenggara yang di sebelah utara, Kota Subulussalam
disebelah timur, Samudera Indonesia di sebelah selatan dan Kabupaten Aceh Barat
Daya di sebelah barat. Kabupaten Aceh Selatan terdiri dari 16 kecamatan, 43 mukim,
dan 248 desa. Jumlah penduduk kabupaten Aceh Selatan pada tahun 2009 berjumlah
sebanyak 211.564 jiwa yang merupakan angka yang didasarkan pada hasil registrasi
penduduk. Dengan Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 103.789 jiwa dan perempuan
sebanyak 107.775 jiwa. 52

Dari 16 kecamatan tersebut yang memiliki wilayah paling luas adalah
kecamatan Trumon Timur yaitu 684,88 KM2 atau 17,10% dari seluruh wilayah
kabupaten Aceh Selatan. Sedangkan kecamatan dengan wilayah paling kecil adalah
kecamatan Labuhan Haji yaitu 43,74 KM2 atau sekitar 1,09% dari luas seluruh
kabupaten Aceh Selatan.
Kecamatan Tapaktuan sendiri yang merupakan ibukota kabupaten Aceh
Selatan memiliki luas 92, 68 KM2 atau 2,31% dengan jumlah desa sebanyak 15 desa
52

Katalog BPS, Aceh Selatan dalam Angka, 2009, Hal. 3

32

Universitas Sumatera Utara

33

yang terbagi atas 2 mukim, yaitu Hilir dan Hulu. Pada mukim Hilir terdapat desa :
Lhok Keutapang, Hilir, Padang, Hulu, Jambo Apha, Gg Kerambil, Air Berudang. Dan
pada mukim Hulu terdapat desa : Pasar Tapakuan, Lhok Bengkuang, Panton luas,

Batu Itam, Panjupian, Lhok Rukam, Air Pinang.53 Tapaktuan

memilki jumlah

penduduk sebanyak 22.343 jiwa, dengan perbandingan 10.819 jiwa adalah penduduk
laki-laki dan 11.524 jiwa penduduk perempuan.54
Tabel 1: Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Selatan Berdasarkan Jenis
Kelamin
No. Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
2
3
4
1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Trumon
Trumon Timur
Bakongan
Bakongan Timur
Kluet Selatan
Kluet Timur
Kluet Utara

Pasie Raja
Kluet Tengah
Tapaktuan
Samadua
Sawang
Meukek
Labuhan Haji
Labuhan Haji Timur
Labuhan Haji Barat

2.952
4.779
5.746
2.658
6.305
4.253
11.743
7.126
3.310
10.819

7.658
6.513
9.421
6.037
4.920
8.428

5.938
9.927
11.925
5.241
12.570
9.342
24.100
14.767
6.565
22.343
15.810
13.161
19.222

12.528
9.980
16.796

2.986
5.148
6.179
2.583
6.265
5089
12.357
7.641
3.255
11.524
8.152
6.648
9.801
6.491
5.060
8.368


Sumber : BPS Kabupaten Aceh Selatan
Tapaktuan yang juga di juluki Kota Naga merupakan pusat perdagangan,
pendidikan dan tata administrasi pemerintahan Kabupaten. Pada zaman dahulu kota

53
54

Katalog BPS, Aceh Selatan Dalam Angka, 2012, Hal. 19
Katalog BPS, Aceh Selatan dalam Angka, 2009, Op. Cit, Hal. 48-49

Universitas Sumatera Utara

34

ini sangat hidup oleh lalu lintas Samudera. Kapal-kapal KPM milik perusahaan
Belanda pada zamannya menyinggahi Tapaktuan secara periodik. Membawa barang
dagangan dan mengangkut penumpang. Kapal-kapal itu datang dari Bengkulu,
Painan, Padang Pariaman, Sibolga dan kota-kota pantai sepanjang sisi barat
Sumatera, setelah itu melanjutkan perjalanan ke Sabang, Pulau Weh dan seterusnya.55

Kecamatan Tapaktuan yang terdiri dari teluk membuat para remaja selalu
berbondong datang ke dermaga di saat senja, disana mereka merentang pikiran dan
bersantai sejenak menunggu magrib tiba. Sementara para nelayan menerjunkan
jakung-jakung mereka ke tengah laut untuk menangkap ikan. Selain kawasan teluk,
kawasan Tapaktuan juga memiliki bukit dan tanah datar yang subur ditumbuhi pala,
cengkeh, kopi, kelapa, dan buah-buahan. Terdapat juga areal persawahan yang
menghampar kehijauan. Daerah tanah datar di atas bukit itu adalah Pantan Luas yang
memilki udara segar dan cuaca senantiasa cerah. Di bukit pantan luas inilah terdapat
peristirahatan Belanda yang kini tinggal puingnya saja. 56
Kabupaten Aceh Selatan bisa di identikkan dengan daerah pala. itulah
tanaman ekonomi yang banyak menghasilkan uang. Tanaman pala menjanjikan
kemakmuran bagi penduduk Aceh Selatan. namun pala juga yang pernah membuat
daerah ini menderita. Tanaman tersebut telah mengundang Inggris dan Belanda
singgah menjajah bumi tercinta. Setelah tiga setengah abad Belanda mempertaruhkan

55

Sayed Mudhahar Ahmad, Ketika Pala Mulai Berbunga (Seraut Wajah Aceh Selatan),
Pemerintah Tingkat II Kabupaten Aceh Selatan, tanpa tahun, Hal. 62-63
56

Ibid

Universitas Sumatera Utara

35

kekuatan agar tetap dapat bercokol di Nusantara, demi pala. 57 Wilayah ini memang
wilayah potensial bagi tanaman pala. Kebun-kebun pala menghampar di kiri kanan
sepanjang jalan raya. Lebih-lebih bila kita melintasi daerah perbukitan, tanaman pala
menjadi bagian tak terpisahkan dari pemandangan alam yang menawan. Pala di Aceh
Selatan merupakan tanaman yang sudah membudaya, tumbuh subur hampir di setiap
halaman rumah. Tanpa pala, serasa kurang lengkaplah keberadaan suatu keluarga.
Pantaslah Aceh Selatan merupakan salah satu daerah yang menopang Indonesia
menjadi penghasil pala nomor satu di dunia. 58
Sejarah kebudayaan Aceh, identik dengan kebudayaan Islam. dengan kata
lain, sejarah kebudayaan Aceh ialah sejarah kebudayaan Islam di Indonesia bahkan di
Asia tenggara. Maka tak pelak kerajaan Aceh merupakan salah satu dari lima besar
kerajaan Islam di Dunia. Aceh sebagai suku bangsa yang terbuka, karena memiliki
sub-sub suku yang tak lepas dari latar budayanya, senantiasa menerima apa saja yang
datang dari luar, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.


59

Asas dan landasan kebudayaan Islam di Aceh, sama dengan asas dan dasar
kebudayaan Islam dimana saja. Hal ini disimpulkan dalam sebuah Hadih Maja yang
merupakan jalan hidup orang Aceh semenjak berabad-abad lalu, yang berbunyi :
Adat Bak Po Teumereuhoom
Hukoom Bak Syiahkuala
Kanun Bak Putro Phang
Reusam Bak Lakseumana
Hukoom Ngon Adat
57

Ibid, Hal. 80
Ibid
59
Ibid. Hal. 135
58

Universitas Sumatera Utara


36

Legee Zat Ngon Sifeut60
Jika dikaji dari segi politik tersebut merupakan pembagian kekuasan dalam
Negara/Pemerintahan, yaitu :
a. Kekuasaan Politik atau Eksekutif dipegang oleh Sultan atau Kepala Negara,
yang dipahamai dari Adat Bak Po Teumereuhoom.
b. Kekuasaan Hukum atau Yudikatif, dipeugang oleh Ulama atau Kadli Malikul
Adil yang dipahami dari Hukoom Bak Syiahkuala
c. Kekuasaan Kanun atau Legislatif dipegang oleh Balai Majelis Mahkamah
Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat) ini sesuai dengan bait ketiga dari Hadih
Maja, Qanun Bak Putro Phang
d. Kekuasaan Keprotokolan atau Reusam dipegang oleh penguasa Angkatan
Perang, yang diartikan dari Reusam Bak Lakseumana
e. Baris kelima dan keenam menegaskan bahwa dalam keadaan bagaimana pun
ajaran dan Hukum Islam harus menyatu dengan kehidupan adat. Seperti yang
di amanatkan dalam Hadih Maja yang berbunyi Hukoom Ngon Adat Lagee
Zat Ngon Sifeut.61
2. Ciri masyarakat Tapaktuan dan Minangkabau
2.1 Ciri masyarakat Tapaktuan
Berbicara mengenai sistem kewarisan, tidaklah terlepas dari sistem
kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia.
Apalagi masyarakat adat yang ada di Indonesia memeluk agama yang berbedabeda, bersuku-suku, kepercayaan yang berbeda-beda, mempunyai bentuk
kekeluargaan maupun kekerabatan yang berbeda pula. Tetapi walaupun demikian,
pada umumnya dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan yang ada dalam
masyarakat adat di Indonesia dikenal ada 3 (tiga) jenis:

60
61

Ibid
Ibid. Hal. 136

Universitas Sumatera Utara

37

1. Sistem Patrilineal
Yaitu suatu masyarakat hukum, dimana para anggotanya menarik garis
keturunan ke atas, melalui garis bapak, bapak dari bapak, terus keatas,
sehingga akhirnya dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya. Menurut
sistem ini, garis keturunan ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan
laki-laki lebih menonjol dari pada kedudukan perempuan di dalam pewarisan.
Seorang anggota keluarga merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang lakilaki maka anggapan seketurunan semacam itulah yang menghubungkan pria
sebagai garis pengikatnya.
2. Sistem Matrilineal
Yaitu sistem dimana anggota masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke
atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang
perempuan sebagai moyangnnya. Akibat hukum yang timbul adalah keluarga
ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta mewaris dari keluarga ibu.
Suami atau bapak tidak masuk dalam keluarga ibu atau tidak masuk dalam
keluarga istri. Dapat dikatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ditarik dari
pihak ibu ini, kedudukan wanita lebih menonjol dari pria di dalam pewarisan.
3. Sistem Parental atau Bilateral
Adalah masyarakat hukum, dimana para anggotanya menarik garis keturunan
ke atas melalui garis bapak dan ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang
laki-laki dan perempuan sebagai moyangnnya. dalam sistem ini kedudukan
pria dan wanita tidak dibedakan, termasuk dalam hal kewarisan. Dengan

Universitas Sumatera Utara

38

demikian, maka setiap anggota keluarga menarik garis keturunannya dan
menghubungkan dirinya melalui bapak ibunya. Hal itu dilakukan oleh bapak
ibunya, dimana kedua garis keturunan itu dinilai dan diberi derajat yang sama.
Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama
atas harta peninggalan orang tuanya. Mengenai apa yang dimaksud semua
anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama haknya atas harta warisan
dibagi merata diantara semua waris, oleh karena harta warisan itu tidak
merupakan satu kesatuan yang dapat dengan begitu saja dinilai harganya
dengan uang. Begitu pula bagaimana pembagian itu kelak akan dilaksanakan
tergantung pada keadaan harta dan warisnya, ada kemungkinan waris yang
lemah ekonominya mendapat lebih banyak dari waris yang kuat ekonominya.
Antara sistem keturunan yang satu dan yang lainnya, dikarenakan hubungan
perkawinan, dapat berlaku bentuk campuran bentuk campuran antara sistem
patrilineal dan sistem matrilineal di dalam perkembangannya sekarang ini,
tampak pengaruh bapak ibu (parental atau bilateral) dan bertambah surutnya
pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal menyangkut hak waris. 62
Masyarakat Aceh menggunakan sistem kekerabatan parental atau bilateral
yang ditarik melalui garis kedua orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapakibu), dimana kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan didalam
pewarisan.

62

I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, Badan Penerbit: Universitas Diponegoro,
Semarang, 1995, Hal. 13-15

Universitas Sumatera Utara

39

Hukum Islam mengakui adat sebagai salah satu sumber hukum, adat
termasuk bagian ijtihad, yang merupakan sumber Hukum Islam disamping
Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam usul fiqh, adat dikenal dengan istilah Urf’,
yang di artikan sebagai sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan
merupakan kebiasaan dikalangan mereka, baik berupa perkataan maupun
perbuatan.63
Adat dapat diterima sebagai salah satu sember hukum Ijtihadiyah jika
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adat tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
b. Adat tersebut memang dapat diterima oleh masyarakat dan didukung oleh
pertimbangan akal dan sejalan dengan tabiat manusia.
c. Adat terus berlaku umum di masyarakat dan dijalankan secara terus
menerus.
d. Adat tersebut benar-benar nyata pada saat-saat hukum ijtihadiyah itu
dibentuk dan ditetapkan.
e. Masyarakat terikat sebagai suatu keharusan untuk menaatinya.
f. Adat tersebut tidak mengandung syarat-syarat yang mengakibatkan
perbuatan itu tidak diterapkan.64
Pada waktu agama Islam dikembangkan oleh Nabi Muhammad di tanah
Arab, sudah terdapat norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat
dalam bentuk hukum tidak tertulis yang disebut Urf’ (adat). Adat yang
berkembang ditanah Arab tersebut mengandung prinsip-prinsip yang
berdasarkan kepada pemikiran manusia yang telah berlangsung turun
menurun dari generasi ke generasi. Suatu generasi mengikuti norma adat

63
64

Muin Umar, Et.Al, Ushu Fiqh, Jilid I, Departemen Agama RI, Jakarta, 1985, Hal. 150
Imam Muchlas, Waris Mewaris Dalam Islam. Garoeda Buana Indah, Pasuruan, 1996, Hal.

21-22

Universitas Sumatera Utara

40

tersebut karena menganggap itulah yang baik dalam mengatur kehidupan
masyarakat dan telah dilakukan nenek moyang mereka sebelumnya.65
Masyarakat Aceh Selatan pada umumnya dikenal sebagai penganut Islam
yang taat dan setia. Pembauran antara ajaran Islam dengan tradisi setempat
baik yang berasal dari masa sebelum Islam maupun sesudahnya, telah terjadi
dalam bentuk penyesuaian yang luar biasa. Sehingga sukar untuk
membedakan mana yang berasal dari syariat dan mana yang berasal dari adat
istiadat. Pembauran yang sedemikian rupa telah mereka rumuskan dalam
sebuah ungkapan “antara adat ngon syariat, lagee zat ngon sifeut” yang
artinya antara adat dan syariat bagai zat (benda) dengan sifatnya.66
Adat dapat terbagi menjadi adat umum dan adat khusus jika dilihat dari
segi pemakaiannya. Adat umum berlaku disemua tempat dan menempati
kedudukan ijma’, bahkan lebih luas lagi dari pada itu, karena pada adat
tersebut sudah terdapat pengakuan para pihak dan tidak terbatas pada
kalangan mujtahid sebagaimana yang berlaku pada ijma’ yang biasa.
Sedangkan adat khusus, yaitu yang terbatas berlakunya dalam lingkungan
tertentu.67
Sehingga dapat digambarkan hubungan Hukum Islam dengan adat sebagai
berikut :

65

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1984, Hal. 163 (Selanjutnya disebut buku I)
66
Sayed Mudhahar Ahmad, Op. Cit, Hal. 139
67
Muin Umar, Op. Cit, Hal. 152

Universitas Sumatera Utara

41

a. Adat keseluruhan diterima oleh Hukum Islam dan untuk selanjutnya
menjadi Hukum Islam.
b. Hukum Islam mengubah hukum adat seluruhnya dengan arti Hukum Islam
menggantikan hukum adat dan hukum adat itu tidak berlaku lagi untuk
selamanya.
c. Hukum Islam membiarkan hukum adat hidup tanpa usaha menyerapnya ke
dalam Hukum Islam.68
Adat digali dari bumi Aceh sendiri oleh para cerdik pandai, sehingga
selalu tumbuh dan berkembang. Sedangkan hukum adalah wahyu Ilahi (AlQur’an) dan Sunnah Rasul yang sifatnya tetap tidak bisa diolah sekehendak
manusia, seperti yang tercantum dalam Hadih Maja sebagai berikut :
-

-

Adat meukoh reubong, hukom meukoh purieh. Artinya, adat dapat dibuat
sesuai dengan kebutuhan atau bagaimana sebaiknya. Sedangkan hukum
harus dijalankan secara lurus, sesuai yang telah di tetapkan (menurut
Islam).
Adat jeut baranggaho takhong, hukom hanjet baranggaho takieh. Artinya,
adat boleh dipilih sesuai dengan yang enak dipegang, sedangkan hukum
tidak boleh sembarangan dilaksanakan.69
Adat berkaitan erat dengan hukum, keduanya saling melengkapi seperti

dua sisi mata uang. Itulah sebabnya adat dan Hukum Islam sederajat. Hanya saja
Adat Aceh menjadi urusan dan tanggung jawab sultan/penguasa, sedangkan
Hukum Islam merupakan wewenang dan tanggung jawab Syiah Kuala atau para
ulama.70
2.2 Ciri masyarakat Minangkabau
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan
identifikasi

masyarakat

Minangkabau.

Adat

dan

budaya

Minangkabau

68

Imam Muchlas, Op. Cit, Hal. 23-24
Sayed Mudhahar Ahmad, Op. Cit Hal. 142
70
Ibid

69

Universitas Sumatera Utara

42

menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan
kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan nama
“sumande” (se-ibu). Sedangkan ayah disebut oleh masyarakat Minangkabau
dengan nama “sumando” (ipar atau semenda) dan diperlakukan sebagai tamu
dalam keluarga.71
Prinsip kekerabatan masyarakat Minangkabau adalah matrilineal descen, yang
mengatur hubungan kekerabatan melalui garis ibu. Dengan prinsip ini seorang
anak akan mengambil suku ibunya. Garis turunan ini, juga mempunyai arti pada
penerusan harta warisan, di mana seorang anak akan memperoleh warisan
menurut garis ibu. Warisan yang dimaksud adalah berupa harta peninggalan, yang
sudah turun-menurun.72
Sistem kekerabatan matrilineal, tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau
sampai

sekarang,

dan

terus

disempurnakan

sejalan

dengan

usaha

menyempurnakan sistem adatnya, terutama dalam mekanisme penerapannya
didalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, peranan seorang penghulu
ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemenakan sangatlah penting.
Bahkan, peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor
penentu, dan sebagai indikator terhadap mekanisme sistem matrilineal itu berjalan
dengan semestinya atau tidak. Jadi, keberadaan sistem matrilineal ini tidak hanya
terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya

71
72

Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 126
Ibid, Hal. 128

Universitas Sumatera Utara

43

hubungan dan kaitan sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam
sebuah kaum, suku atau klen.73
Muhammad Rajab dalam bukunya “Sistem Kekerabatan di Minangkabau”
menyebutkan ada delapan ciri sistem matrilineal di Minangkabau, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.

Keturunan dihitung menurut garis ibu.
Suku terbentuk menurut garis ibu.
Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (eksogami)
Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku.
Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang
sekali dipergunakan.
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya.
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya, dari
saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.74
Selanjutnya Hamka dalam bukunya, juga memberikan kesimpulan mengenai
susunan masyarakat Minangkabau yang tersusun sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Tersusun atas dasar keibuan
Yang menjadi puncak di dalam ialah nenek yang perempuan.
Harta benda dicari dan di usahakan untuk memperbesar harta suku.
Hasil usaha dan pencaharian seorang laki-laki adalah untuk
kemenakannya.
Suami tidak wajib memberi nafkah kepada istri.
Penghulu hanya berkuasa menjaga harta kaum saja dan memeriksa
penggunaan dan pengurusannya dengan pihak luar.
Mamak-mamak, tungganai-tungganai, dan penghulu tidak berhak
membawa hasil harta ke rumah istrinya.
Semenda tidak boleh ikut campur tangan di dalam rumah istri dan
anaknya.
Bila anak akan di kawinkan oleh mamak atau oleh tungganai atau
penghulu, si semenda (ayah si anak) hanya diberitahu saja.75

73

Ibid, Hal.129
Muhammad Radjab, Sistem Kekerabatan Minangkabau, Padang, Center For Minangkabau
Studies Press, 1969, Hal. 17
75
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985, Hal. 23-24
74

Universitas Sumatera Utara

44

Dari garis keturunan yang matrilineal dan perkawinan yang bersifat eksogami
tersebut, maka dalam masyarakat Minangkabau akan terbentuk tali kekerabatan atau
hubungan kekerabatan diantara pihak pihak yang terkait satu dengan yang lainnya
tersebut.
B. Sistem Kewarisan Minangkabau Dan Perkembangannya
1. Asas-Asas Kewarisan
Hukum waris adat yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak
berwujud dari angkatan manusia kepada turunannya.76 Soerojo Wignjodipoero,
mengatakan : Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan
harta kekayaan baik yang materiil maupun immaterial yang manakah dari seseorang
yang dapat diserahkan kepada keturunannya.77 Jadi, Hukum waris adat adalah aturanaturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan dan peralihan harta kekayaan
yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan
demikian, hukum waris itu mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta peninggalan
atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya
ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima
bagiannya.78

76

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Universitas, 1966, Hal. 37
Soerojo Wignyodipoero, Op. Cit, Hal. 161
78
Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat, Bandung, Maju Mundur, 1992, Hal. 211
(Selanjutnya disebut buku II)
77

Universitas Sumatera Utara

45

Hukum waris adat adalah hukum yang memuat ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli
waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta
kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum adat sendiri
tidak mengenal cara-cara pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan atas
pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan.79
Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat terjadinya pewarisan
adalah :
a. Meninggalnya seseorang (pewaris)
b. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki, pada waktu pewaris meninggal
dunia.
c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah masing-masing.80
Jadi sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang
warisan dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman
Hadikusuma mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat
garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.81 Dalam hal ini terlihat
adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan harta, baik material maupun

79

Eman Supaman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Hal. 42
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Pers, Jakarta,
1995, Hal. 39-40
81
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Cipta Aditya Bakti, 1993, Hal. 7
(selanjutnya disebut buku III)
80

Universitas Sumatera Utara

46

non material dari suatu generasi kepada keturunannya. Selain itu pandangan hukum
adat pada kenyataannya sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris
sebelum pewaris wafat dalam bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau
penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.
Sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia menurut Djaren
Saragih yaitu:
1. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan dapat dibagi-bagikan,
2. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan tidak dapat dibagi-bagikan.82
Sistem yang pertama pada umumnya terdapat pada masyarakat yang bilateral
seperti di Pulau Jawa, sedangkan sistem yang kedua terdapat pada masyarakat
unilateral. Sistem kedua dapat dibedakan lagi dalam bentuk sistem pewarisan kolektif
dan sistem pewarisan mayorat. Dilihat dari orang yang mendapat warisan (kewarisan)
di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu, sistem kewarisan individual, sistem
kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan mayorat. Adapun sistem kewarisan adat
yaitu:
1. Sistem Kewarisan Individual
Sistem kewarisan individual, yaitu sistem pewarisan dimana para ahli waris
mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan
secara perorangan.83 Sistem kewarisan individual pada umumnya banyak
terdapat pada masyarakat hukum adat yang bergaris keturunan atau
82
83

Djaren Saragih, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1980, Hal. 163
Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit, Hal. 165

Universitas Sumatera Utara

47

kekeluargaan secara parental, hal ini akibat dari tiap-tiap keluarga yang telah
hidup berdiri sendiri dan bertanggung jawab kepada keluarganya yang utama.
Sebagaimana di kalangan masyarakat adat Jawa atau juga di kalangan
masyarakat adat lainnya seperti masyarakat Batak yang berlaku adat manjae,
Jawa, mancar/ mentas atau juga di kalangan masyarakat adat yang kuat
dipengaruhi Hukum Islam, seperti di kalangan masyarakat adat Lampung
beradat peminggir, di pantai-pantai Selatan Lampung.84 Keluarga yang
dimaksud di sini adalah terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Fungsi warisan
di sini untuk pondasi dari keluarga dan untuk melangsungkan hidup serta
berkembangnya keluarga tersebut. Adapun kebaikan sistem pewaris
individual, waris dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan tanpa
dapat dipengaruhi anggota keluarga yang lain. Kelemahannya, pecahnya harta
warisan dan merenggangnya tali kekerabatan serta timbulnya hasrat ingin
memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri.
2. Sistem Kewarisan Kolektif
Sistem pewarisan kolektif, yaitu sistem kewarisan dimana para ahli waris
dapat mewarisi secara bersama-sama terhadap harta peninggalan yang tidak
dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris. Dalam sistem
ini, harta peninggalan dilihat sebagai keseluruhan dan tidak terbagi-bagi
dimiliki bersama-sama oleh para ahli waris, seperti pada masyarakat
84

Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1997, Hal. 24.
(selanjutnya disebut buku IV)

Universitas Sumatera Utara

48

Minangkabau dan Ambon. Harta peninggalan itu diwarisi secara bersamasama para ahli waris, misalnya harta pusaka tidak dimiliki atau dibagi-bagikan
hanya dapat dipakai atau hak pakai. Sistem ini dipengaruhi oleh cara berpikir
yang banyak dijumpai dalam masyarakat adat yang disebut cara berpikir yang
komunal atau kebersamaan. Selanjutnya, kebaikan sistem pewarisan kolektif
tampak apabila fungsi harta kekayaan digunakan untuk kelangsungan hidup
keluarga besar itu pada masa sekarang dan masa seterusnya masih tetap
berperan, tolong menolong antara yang satu dan yang lain di bawah pimpinan
kepala kerabat yang penuh tanggung jawab masih tetap dapat dipelihara,
dibina dan dikembangkan. Kelemahan sistem tersebut dapat menimbulkan
cara berpikir yang terlalu sempit kurang terbuka bagi orang luar, sulit mencari
kerabat yang kepemimpinannya bisa diandalkan, di samping rasa setia kawan
dan rasa setia kerabat semakin bertambah luntur.
3. Sistem Kewarisan Mayorat
Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem dimana para ahli waris dalam
penguasaan atas harta yang dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas
sebagai pemimpin atau kepala keluarga dan menggantikan kedudukan ayah
atau ibu sebagai kepala keluarga. Dalam sistem ini, harta peninggalan secara
keseluruhan tidak dibagi-bagi, tetapi jatuh ke tangan anak yang tertua.
Mayorat ini ada dua macam yaitu:
a.

Mayorat laki-laki, yaitu laki-laki tertua yang menjadi ahli waris tunggal
dari si pewaris.

Universitas Sumatera Utara

49

b. Mayorat perempuan, yaitu anak perempuan tertua yang menjadi ahli
waris tunggal dari si pewaris.85
Sistem kewarisan mayorat ini dapat digambarkan bahwa yang mewarisi
adalah satu anak saja yaitu anak tertua yang berarti hak pakai, hak mengelola
dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan
kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya baik laki-laki maupun
perempuan sampai mereka dapat berdiri sendiri. Sistem pewarisan mayorat
sebenarnya merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya saja penerusan hak
diberikan kepada anak tertua sebagai pemimpin keluarga, menggantikan ayah
dan ibunya. Ia hanya berkedudukan sebagai pemegang mandat, dan bukan
pemilik harta secara perseorangan.
Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan
tentang tata cara perkawinan. Dari kedua hal ini muncul ciri khas struktur
kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas tersendiri pula
dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan
kehartabendaan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh
struktur kemasyarakatan.86 Dalam sistem kekerabatan matrilinieal tersebut, harta
warisan diturunkan secara kolektif dalam garis keturunan ibu. Beberapa asas
pokok dari hukum kewarisan Minangkabau adalah sebagai berikut :
1. Asas Unilateral
85

Ibid, Hal. 166
Iskandar Kamal, Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan Matrilineal ke Bilateral di
Minangkabau, Center of Minangkabau Studies, Padang, 1988, Hal. 153
86

Universitas Sumatera Utara

50

Maksudnya hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan, yaitu
garis kekerabatan melalui ibu atau yang disebut juga dengan asas kewarisan
unilateral matrilinial. Harta pusaka dari nenek moyang hanya diterima
melalui garis ibu (perempuan) dan diteruskan ke bawah kepada anak cucu
juga melalui garis keturunan perempuan. Sama sekali tidak ada yang melalui
garis ayah (laki-laki), baik ke atas, ke bawah maupun ke samping.
2. Asas Kolektif
Maksudnya yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang perorangan, tetapi
suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan hal tersebut, maka harta
warisannya tidak dibagi-bagikan dan disampaikan kepada kelompok
penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi. Penerusan harta
warisan secara kolektif ini didasarkan pada pokok pikiran sebagai berikut :
a. Untuk menjaga kekompakan dalam keluarga. Karena bagaimanapun juga
pembagian warisan tidaklah selalu memuaskan semua pihak yang
menerimanya, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada timbulnya
perasaan iri dan dengki, yang dapat memecah kekompakan keluarga.
b. Untuk menjaga keutuhan harta. Dengan sistem kewarisan kolektif, dapat
mempersulit pengalihan harta ke luar dari kaum, karena selama menjadi
milik bersama, semua pihak dapat mengontrol penggunaannya.
Asas kewarisan kolektif ini tidak menghendaki adanya pembagian harta.
Walaupun terjadi pembagian harta, maka yang dimaksud pembagian harta
disini, adalah pembagian harta antara rumah dengan rumah, waktu terjadi
pemisahan kesatuan kaum, yang biasanya di sebabkan karena makin
bertambahnya anggota kaum, bukan pembagian antara orang dengan
orang dalam rumah.
3. Asas Keutamaan
Pengertian yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa dalam penerimaan
peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang

Universitas Sumatera Utara

51

menyebabkan satu pihak lebih berhak dibanding yang lain, dan selama yang
berhak itu masih ada, maka yang lain belum akan menerimanya. Adanya asas
keutamaan ini disebabkan oleh bentuk-bentuk lapisan kekerabatan yang
terdapat dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau.87
Sistem kewarisan Minangkabau dengan sistem kewarisan Islam, jika dilihat
terdapat beberapa perbedaan didalamnya, baik mengenai asas-asasnya serta
sistem kewarisan yang digunakan masing-masing. Dalam masalah hak kewarisan
sebagaimana yang dinyatakan dalam surat An-Nisa’ ayat 7, bahwa anak laki-laki
dan perempuan menerima bagian dari harta warisan yang ditinggalkan oleh ayah
dan ibunya serta kerabat yang lain. Dari ketentuan ayat tersebut terlihat bahwa
garis kewarisan dari dua arah, yaitu dari garis ayah dan garis ibu. Hal tersebut
hanya

berlaku

dikalangan

masyarakat

yang

mengandung

sistem

parental/bilateral.88
Hazairin dalam bukunya “Hukum kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan
Hadist juga menyatakan bahwa sistem kekeluargaan dalam Al-Qur’an adalah
bilateral.89 Kesimpulan mana diperoleh beliau setelah mempelajari dengan
seksama ketentuan Al-Qur’an mengenai larangan perkawinan yang di atur oleh
surat An-Nisa’ Ayat 23 dan 24.
Kewarisan dalam Islam mempunyai 5 (lima) asas, yaitu :
87

Amir Syarifuddin, Buku I, Op. Cit, , Hal. 231
Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padang,
1993, Hal. 161-162 ( selanjutnya disebut buku II)
89
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadist, Tintamas, Jakarta, 1967,
Hal. 13
88

Universitas Sumatera Utara

52

1. Asas Ijbari
Maksudnya adalah asas yang terkandung dalam kewarisan Islam itu
menciptakan adanya proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal
dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan
Allah. Sehingga terlihat bahwa proses peralihan harta dalam hukum kewarisan
Islam itu adalah merupakan suatu hal yang wajib, karenanya bagi si pewaris
sebenarnya sebelum ia meninggal tidak perlu menentukan pembagian harta
yang akan ditinggalkannya, begitupun bagi ahli waris setelah pewaris
meninggal dunia tidak perlu mencari alternatif lain cara pembagian warisan,
atau menolak pembagiannya, atau yang lainnya, ketentuan yang ada ini mesti
diterima, tetapi apabila ada keinginan lain sesudahnya, maka terserah kepada
masing-masing pemilik harta tersebut.
2. Asas Bilateral
Adalah asas yang berlaku secara timbal balik, baik untuk laki-laki maupun
untuk perempuan. Maksdunya adalah seseorang menerima hak atau bahagian
warisan dari kedua belah pihak, baik dari kerabat laki-laki maupun kerabat
perempuan.
3. Asas Individual
Adalah asas yang menyatakan bahwa harta warisan yang akan di bagi-bagikan
kepada ahli waris secara perorangan untuk dimiliki masing-masing ahli waris
tersebut secara mutlak.
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang ini maksudnya adalah seseorang akan memperoleh
hak dalam harta kewarisan seimbang dengan kepercayaannya.
5. Asas Kewarisan Terjadi Hanya Kalau Ada Yang Meninggal Dunia
Ketentuan kewarisan dalam KHI hanya akan terjadi kalau pewaris benar-benar
telah meninggal dunia, dan ahli waris benar-benar hidup pada saat
meninggalnya pewaris tersebut. Mengenai meninggalnya pewaris tersebut
ada 2 (dua) macam, yaitu :
a. Meninggal secara hakiki, yaitu secara hakikat benar-benar disaksikan
bahwa pewaris tersebut telah meninggal dunia.
b. Meninggal secara hukmi, yaitu sebenarnya pewaris yang dinyatakan
meninggal itu tidak dapat disaksikan, tetapi karena dugaan kuat dia telah
meninggal, maka supaya ahli waris tidak menanti-nanti dalam kesamaran
hukum waris, mereka meminta pengadilan Agama untuk menetapkan
matinya pewaris secara hukmi. Hal ini bisa terjadi karena lamanya pewaris
tidak pulang, misalnya seorang nelayan yang biasanya pulang melaut pada
setiap harinya, tetapi pada suatu ketika seseorang tidak pulang dan telah
lama sekali, sehingga menurut dugaan orang kebanyakan dia telah karam
dilaut.90

90

M. Hasballah Thaib, Op. Cit, Hal. 16-18

Universitas Sumatera Utara

53

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan di antara asas-asas
yang digunakan dalam kedua sistem kewarisan tersebut, yaitu hukum kewarisan
Minangkabau

dengan

hukum

kewarisan

Islam.

Dalam

hukum

kewarisan

Minangkabau harta warisan diturunkan secara kolektif, yang kemudian menjadi milik
bersama dari para ahli waris, sehingga harta warisan tersebut tidak dapat dibagibagikan di antara ahli waris, karena harta tersebut merupakan harta pusaka milik
bersama anggota kaum. Peruntukan harta juga hanya diberikan kepada garis
keturunan ibu. Sedangkan dalam hukum kewarisan Islam, sistem kewarisannya
bersifat Individual, yang mana harta warisan menjadi milik pribadi masing-masing
dari para ahli waris yang ditinggalkan sesuai dengan bagiannya masing-masing, dan
berdasarkan sistem kekerabatannya yang bersifat parental/bilateral, peruntukan harta
warisan dapat diberikan kepada ahli waris dari garis ayah maupun garis ibu.
Tabel 2 : Perbandingan Hukum Waris Adat
No.
Sistem Kekerabatan,
Minangkabau
Aceh
Sistem dan Asas Kewarisan
1.
Sistem Kekerabatan
Matrilineal
Parental/ Bilateral
2.

Sistem Kewarisan

Kolektif

Individual

3.

Asas Kewarisan

1.Asas Unilateral 1. Asas Ijbari
2. Asas Bilateral
2.Asas Kolektif
3.Asas Keutamaan 3. Asas Individual
4. Asas Keadilan
Berimbang
5.Asas Kewarisan
Terjadi Hanya
Kalau ada yang
meninggal Dunia

Universitas Sumatera Utara

54

2. Hubungan Waris Mamak Kemenakan
Kedudukan laki-laki dan perempuan didalam adat Minangkabau berada dalam
posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam
perkauman, baik pengaturan pemakaian maupun pembagian harta pusaka. Perempuan
sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluan anak
beranak.91
Dalam hal demikian peran dan kedudukan laki-laki di Minangkabau juga
mempunyai arti penting, baik didalam kaum maupun diluar kaumnya. Didalam kaum
dia bertindak berdasarkan haknya sebagai mamak terhadap harta kemenakan, dan di
luar kaum berdasarkan haknya sebagai seorang sumando (ayah) dari anaknya.
Adapun dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kedudukan laki-laki di dalam kaum
a. Sebagai kemenakan
Di dalam kaumnya seorang laki-laki berawal dari seorang kemenakan atau
dalam hubungan kekerabatan disebutkan : “ketek anak urang, lah gadang
kamanakan awak” (waktu kecil anak orang, sudah besar menjadi
kemenakan kita). Sebagai kemenakan, dia harus mematuhi segala aturan
yang ada di dalam kaum, sekaligus belajar mengetahui semua aset
kaumnya, dan semua anggota keluarga kaumnya, serta tentang adat
Minangkabau.
b. Sebagai mamak
Pada giliran berikutnya, setelah kemenakan dewasa, dia akan menjadi
sebagai mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak
mau, suka tidak suka, tugas itu harus di jalaninya. Dia bekerja di sawah
kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak, sekaligus anak-anak
dari saudara perempuannya itu adalah kemenakannya.
c. Sebagai penghulu.
Setelah menjadi mamak, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai
penghulu. Gelar kebesaran di berikan kepadanya, dengan sebutan datuk.
Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur
91

Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 134

Universitas Sumatera Utara

55

pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada
di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.
2. Kedudukan laki-laki di luar kaum.
a. Sumando ninik mamak
Artinya, sumando atau sumenda yang dapat ikut memberikan ketentraman
pada kedua kaum, kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan
keluar terhadap suatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih
berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.
b. Sumando kacang miang.
Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah, karena
dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya
tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai oleh masyarakat
Minangkabau.
c. Sumando lapik buruk.
Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata, tanpa
perduli dengan persoalan-persoalan lainnya.92
Mamak adalah sebutan saudara laki-laki dari ibu yang akan berfungsi sebagai
orang yang bertanggungjawab terhadap keberadaan keluarga matrilineal, dan menjaga
serta menambah harta pusaka. Kedudukan laki-laki sebagai mamak atau paman
merupakan suatu lembaga atau badan yang bertanggung jawab terhadap
kelangsungan keluarga matrilineal di Minangkabau. Ia adalah saudara laki-laki dari
ibu, baik adik maupun kakak. Mamak juga bisa diartikan, sebagai lembaga
kepemimpinan yang mengurus hal-hal yang berhubungan dengan adat Minangkabau
di dalam kaumnya, dan bertanggung jawab memimpin kemenakannya, baik laki-laki
maupun perempuan di pihak ibu, mulai dari lingkungan sosial yang terkecil, kaum,
kampung, dan sampai lingkungan yang lebih besar seperti nagari.93 Apabila ibu
mempunyai saudara laki-laki lebih dari satu orang, maka yang akan bertanggung
jawab adalah yang tertua dibantu oleh yang lebih muda. Apabila ibu tidak
92
93

Ibid, Hal. 134-137
Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 142

Universitas Sumatera Utara

56

mempunyai saudara laki-laki, namun mempunyai anak-anak laki-laki, maka yang
akan berfungsi sebagai mamak adalah anak laki-laki tersebut.94
Menurut adat Minangkabau, seorang laki-laki yang paling dekat kepada
mamak secara bertali darah dari garis ibu adalah kemenakan dekatnya atau
kemenakan kandung. Menurut hukum adat harus mewarisi gelar, martabat, kekayaan
dan apa saja yang dipunyai mamaknya. Sebaliknya, anaknya sendiri menurut adat
bukan seorang anak yang sesuku dengannya, dan karena itu menurut hukum adat
tidak pusaka-mempusakai.95
Adat Minangkabau mengajarkan, bahwa yang di maksud kemenakan ialah
laki-laki atau perempuan dari pihak ibu yang dipertanggungjawabkan oleh
mamaknya. Dan seorang mamak menurut keturunan dan fungsinya dapat dibedakan :
(a). Apabila dia merupakan saudara kandung dari ibu, dinamakan mamak kandung;
(b). Apabila dia menjadi tungganai dari sebuah rumah, dia dinamakan mamak rumah
atau tungganai rumah; dan (c). Apabila merupakan dia laki-laki tertua dari kelompok
keluarga dipihak ibu, meskipun rumah mereka telah terdiri 2 (dua), atau 3 (tiga) buah
rumah, maka dia dinamakan mamak kepala waris.96
Kemenakan terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu:
1. Kemenakan bertali darah atau kemanakan kandung, yaitu anak-anak dari
saudara-saudara perempuan mamak.

94

Sri Sudaryatmi, Sukirno, Dan T. H. Sri Kartini. Beberapa Aspek Hukum Adat, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 2000, Hal. 14
95
Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal 143
96
N. M. Rangkoto, Dt. Bandaro, Hubungan Mamak dengan Kemenakan Dahulu dan
Sekarang serta Pesambahan Adat, Bukittinggi, 1984, Hal. 7

Universitas Sumatera Utara

57

2. Kemenakan bertali sutera, yaitu kemenakan jurai yang lain, tetapi masih
berhubungan darah dengan jurai mamak.
3. Kemenakan bertali emas, yaitu kemenakan dibawah lutut, orang yang
bekerja dibawah kita dengan diberi mas (uang) dan dengan persetujuan
dijadikan kemenakan.
4. Kemenakan bertali budi, yaitu orang-orang yang pindah dari tempat
asalnya ke tempat baru, dan ditempat baru ia mencari mamak baru.97
Pembentukan kepribadian setiap warga Minangkabau di titik beratkan atau
bersandar sepenuhnya pada mamak dan ninikmamaknya. Sebagai akibatnya, tingkah
laku sesesorang secara langsung dikaitkan dengan kemampuan atau ketidakmampuan
mamaknya dalam mendidik atau membina kemenakannya. Mamak akan merasa malu
atau sebaliknya bangga dengan kemenakannya. Pada zaman dahulu, lembaga
pendidikan yang digunakan oleh seorang mamak untuk mendidik dan membina
kemenakannya adalah “surau”. Karena itu seorang anak laki-laki yang telah berumur
tujuh tahun mulai menjalani kehidupan surau sampai dia dewasa atau sampai
berumah tangga. Ia akan menerima bimbingan dari mamak dan ninik mamaknya,
menyangkut persoalan spiritual dan material. Pembinaan itu berlangsung pada malam
hari, karena waktu siang hari digunakan untuk mencari nafkah sebagai bentuk
pertanggungjawaban mamak sebagai seorang ayah.98
Kaitan erat antara mamak dan kemenakan tertuang dalam tugas dan
tanggungjawab seorang mamak, dalam hal ini berfungsi sebagai pembina dan
pembimbing anggota-anggota keluarga garis ibu yang terdekat. Menurut mansoer,
tugas mamak adalah “mengapungkan” artinya memelihara, membina, memimpin

97
98

Chairul Anwar, Op. Cit, 1997, Hal. 87
Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 145

Universitas Sumatera Utara

58

kehidupan dan kebahagiaan jasmaniah dan rohaniah kemenakan-kemenakannya dari
seluruh keluarganya.99
Selain sebagai pemimpin, mamak juga merupakan tempat berlindung dan
tempat mengadu bagi kaumnya. Segala perbuatan yang hendak dilakukan, yang akan
membawa akibat-akibat tertentu, terlebih dahulu harus diberitahukan kepada mamak
dan sekaligus minta izin dan restunya dan apabila telah selesai melakukan perbuatan
tersebut diberitahukan pula hasilnya. Ada dua pengertian mamak, yaitu saudara lakilaki dari ibu dan seluruh laki-laki dalam suatu keluarga dipandang dari suatu generasi
dibawahnya. Bahkan orang laki-laki dalam suatu persukuan merupakan mamak
juga.100
Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai seorang mamak dari
kemenakan-kemenakannya, dan sebagai seorang ayah dari anak-anaknya, seorang
mamak harus dapat melaksanakannya secara seimbang, sesuai dengan pantun berikut:
“Kaluah paku kacang balimbiang, Tempurung lenggang-lenggokkan. Anak dipangku
keponakan dibimbiang. Urang kampuang dipatenggangkan.” (Keluk paku kacang
belimbing. Tempurung lenggak-lenggokkan. Anak dipangku keponakan dibimbing.
Orang kampung dipertenggangkan). Dengan demikian seorang mamak dapat
menciptakan suatu keharmonisan antara anak dan kemenakannya, juga antara anak
kemenakan dengan orang-orang kampungnya dalam berbagai aspek kehidupan.101

99

Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 144
Boestami, et al, Kedudukan Dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Suku Bangsa
Minangkabau, Penerbit Esa, Padang, 1992, Hal. 133
101
Yahya Samin, et al, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan Dalam Kebudayaan
Minangkabau Masa Kini, Penerbit Bagian Proyek Pengajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Sumatera Barat, Padang, 1996, Hal. 4
100

Universitas Sumatera Utara

59

Mamak selain berfungsi mendidik dan membina kemenakannya, dalam adat
Minangkabau mamak tertua juga berperan sebagai mamak kepala waris atau
tungganai, yaitu nama jabatan dalam suatu kaum yang bertugas memimpin seluruh
anggota kaum, mengurus, mengatur, mengawasi serta bertangungjawab atas harta
pusaka kaum. Mamak kepala waris harus cerdas dan pintar, karena ia yang akan
mengurus dan mengembangan harta pusaka kaum untuk kepentingan anak
kemenakannya, yang kian hari kian berkembang, ia juga bertanggung jawab atas
perbaikan, pemeliharaan dan keamanan rumah gadang serta keturunan berikutnya.102
Harta pusaka yang dikuasai oleh mamak kepala waris pada dasarnya tidak dapat
dipindah tangankan, baik digadai apalagi sampai dijual. Adanya pelarangan ini pada
hakikatnya adalah untuk menjaga agar jangan sampai harta pusaka itu berpindah
keluar kekuasaaan kaum dan menjadi milik orang lain yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan kaum tersebut. Namun dalam beberapa hal tertentu, mamak
kepala waris dapat menggadaikan atau menjual harta pusaka, dengan syarat dilakukan
dengan persetujuan atau paling tidak diketahui oleh anggota kaum. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan :
1. Mamak kepala waris dapat memindahkan hak atas harta pusaka tinggi kalau
sudah dimusyawarahkan dengan anggota kaum dalam hal rumah gadang
katirisan.
2. Mamak
kepala
waris
tidak
diperbolehkan
(dilarang)
untuk
menjual/memindahtangankan harta pusaka kalau hanya sebagian anggota
kaum yang mengetahui.
3. Mamak kepala waris dapat memindahtangankan harta pusaka tinggi kalau ia
satu-satunya ahli waris yang bertali darah yang masih hidup, dengan terlebih
dahulu memusyawarahkan dengan anggota kaum lainnya.103

102

Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 147
Firman Hasan, Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, Pusat Penelitian Universitas
Andalas, Padang, Hal. 121
103

Universitas Sumatera Utara

60

C. Hukum Waris Adat Minangkabau Di Kecamatan Tapaktuan
Merantau tak bisa dipisahkan dari masyarakat Minangkabau, karena asal usul
kata merantau itu sendiri berasal dari bahasa dan budaya Minangkabau, yaitu
“rantau”. Yang pada awalnya bermakna : wilayah-wilayah yang berada diluar
wilayah inti Minangkabau, diluar Luhak Nan Tigo (Luhak Tanah Data, Luhak Agam
Dan Luhak Limopuluah), tempat awal mula peradaban Minangkabau. Aktivitas
orang-orang dari wilayah inti tersebut ke wilayah luar disebut “merantau” atau pergi
ke wilayah rantau.104
Tsuyishi Kato menemukan adanya suatu perubahan besar masyarakat
Minangkabau dalam tradisi merantau sebelum 1950, dan setelah Perang Dunia ke-2.
Mereka yang merantau sebelum 1950, yang berlangsung sampai puluhan tahun atau
berabad ini, umumnya kampung bagi mereka tetap merupakan basis, sedang
merantau berarti petualangan dalam mencari rejeki ke luar daerah. Pada waktu itu
anak-anak muda pergi merantau, namun beberapa waktu kemudian kembali
kekampung. Tetapi bagi perantau Minang setelah Perang Dunia ke-2, mereka
merantau secara eksklusif, terkait dengan keluarga inti. Pola merantau mereka,
meninggalkan daerah asalnya dengan mengajak keluarga. Atau seorang suami pergi
merantau lebih dahulu, baru kemudian mendatangkan istri dan anak-anaknya. Para
perantau Minangkabau ini, cenderung tinggal lebih lama, guna mendapatkan
kehidupan lebih mapan. Namun demikian, kedua pola migrasi tersebut ada

104

Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 654

Universitas Sumatera Utara

61

persamaan, yaitu selalu sama-sama menggunakan kesempatan pulang kampung untuk
memamerkan kekayaan, pengetahuan, dan prestise yang diperolehnya di rantau.105
Perantau Minangkabau sering disingkat dengan “perantau Minang”. Sama
artinya dengan “orang Minangkabau yang mencari nafkah, penghidupan, ilmu, dan
sebagainya di negeri lain atau di luar kampung halamannya. Dan Minang perantauan
merupakan istilah untuk orang Minangkabau, yang hidup diluar kampung
halamannya, atau di luar provinsi Sumatera Barat.106
Merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan
kesuksesan bagi sebagaian besar masyarakat Minangkabau. Dengan merantau, tidak
hanya harta kekayaan, ilmu pengetahuan yang mereka dapat, juga prestise dan
kehormatan individu ditengah-tengah lingkungan adat. Disamping itu, banyak pula
masyarakat Minangkabau merantau untuk mencari perubahan dalam kehidupan.
Karena itu, walau semua perantau berasal dari keluarga petani di desa-desanya,
namun tidak satupun di antara mereka yang memegang pekerjaan yang sama dengan
sebelumnya di kampung halaman. Mereka dari masyarakat petani berubah menjadi
pedagang, ilmuwan, pengusaha bahkan menjadi pejabat tinggi negara dan sebagainya.
Dalam hal bidang usaha, para perantau Minang umumnya memilih kegiatan atau
usaha yang dibutuhkan orang banyak, seperti rumah makan, tukang jahit, fotokopi,
kelontong, toko buku, bidang jasa, atau kegiatan dakwah, sehingga memudahkan
mereka untuk membaur dan menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya.107

105

Ibid.
Ibid, Hal. 653
107
Ibid, Hal. 654
106

Universitas Sumatera Utara

62

Seiring berjalannya waktu, pengertian merantau sekarang bukan lagi
mengenai perluasan wilayah, tetapi berdagang dan mencari kehidupan baru
diperantauan. Faktor lain yang mendorong orang Minangkabau untuk pergi merantau
cukup banyak, di antaranya adalah karena faktor tradisi atau budaya, faktor ekonomi,
pendidikan dan faktor peperangan. Adapun sebagai berikut:108
1. Faktor Budaya : ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu
penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini,
penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan, sedangkan hak
kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh
para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena
rumahnya hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan beserta suuaminya,
dan anak-anak. Sedangkan kaum laki-laki, harus tidur bersama temanteman sesama laki-laki di surau, hingga mendorong mereka untuk mencari
tempat yang lebih baik, diantaranya dengan merantau.
2. Faktor Ekonomi : masyarakat Minangkabau telah mengembangkan
keterampiannya di bidang pertanian, akan tetapi karena bertambahnya
populasi penduduk, tanah yang tersedia tidak mencukupi lagi untuk
memberi kehidupan layak bagi penduduk yang jumlahnya selalu
bertambah, jika dulu hasil p