Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Aceh (Studi Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan)

ABSTRAK
Hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang
berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Hal ini terutama berpengaruh terhadap
penetapan ahli waris maupun bagian harta warisan yang diwariskan. Bagi masyarakat
Minangkabau yang sudah tinggal menetap pada suatu daerah lain diluar daerah Minang
(perantauan), seperti di Kecamatan Tapaktuan, dapat menyebabkan terjadinya perbedaan
terhadap pelaksanaan hukum adatnya, khususnya dalam hal kewarisan yang digunakan.
Dimana pada masyarakat adat Minangkabau menggunakan sistem kekerabatan Matrilineal
dan pada masyarakat Aceh di Kecamatan Tapaktuan menggunakan sistem kekerabatan
Parental/ Bilateral. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan?,
2. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan pada masyarakat Minangkabau di
Kecamatan Tapaktuan?, dan 3. Bagaimanakah Hambatan yang terjadi dalam Pelaksanaan
Hukum Waris Adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan?
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum
Empiris, yang bersifat deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan
dilakukan dengan pendekatan secara kualitatif, yang merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan
perilaku yang di amati.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam pelaksanaan pembagian warisan
pada masyarakat Minangkabau yang ada di kecamatan Tapaktuan, telah adanya

perkembangan hukum waris adat yang digunakan, yaitu sebagian besar masyarakat
Minang perantauan (86,6 %) pada saat ini telah menggunakan hukum adat Aceh dalam
pembagian warisannya. Adapun prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut : a)
Mengeluarkan hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan. b) Memanggil Imum
Mesjid atau Teungku Imum untuk melakukan pembagian warisan (ada juga yang membagi
berdasarkan keluarga saja), c) menentukan siapa saja ahli waris yang ditinggalkan, d)
menentukan besarnya bagian masing-masing ahli waris, e) melaksanakan pembagian warisan.
Bagi masyarakat Minang perantauan yang masih menggunakan pembagian warisan secara
pusako tinggi, pembagian dilaksanakan di Minangkabau. Adapun hambatan yang
menyebabkan tidak dapat berjalannya hukum waris adat Minangkabau di Kecamatan
Tapaktuan ialah : a) Pengaruh keyakinan beragama, b) Akibat perkawinan antara kedua
masyarakat adat, c) tidak adanya sanksi yang diberikan oleh masyarakat Minangkabau yang
ada di Minangkabau kepada masyarakat Minangkabau yang ada di perantauan.
Disarankan kepada masyarakat adat Minangkabau yang sudah tinggal dan menetap di
kecamatan Tapaktuan, ada baiknya menggunakan hukum adat Aceh dalam pembagian
warisannya, dengan mengacu pada pepatah adat yang menyatakan Dimana bumi dipijak,
disitu langik di junjung. Adanya penyampaian secara lebih terperinci mengenai pembagian
warisan berdasarkan hukum fara’idh, mengingat Pembagian waris adat Aceh yang sangat
didasarkan pada Hukum Islam. Bagi masyarakat Minangkabau yang ada di Kecamatan
Tapaktuan tidak menjadikan hambatan tersebut sebagai hal yang kurang baik. Melainkan

menjadikannya sebuah pembelajaran akan beranekaragamnya kebudayaan dan suku yang
ada di Indonesia.
Kata Kunci : Waris Adat, Waris Adat Minangkabau, Waris Adat Aceh
i

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
The Customary Inheritance Law in Indonesia is highly influenced by the kinship
system relevant to the related community. This system mainly influences the
determination either of the heirs or the portion of the inheritance. To Minangkabau
people who have settled permanently in other regions (perantauan or people who go out
of hometown to make a living) like Tapaktuan Subdistrict, can have different views on the
implementation of their customary law, particularly in inheritance system. Minangkabau
customary law applies Matrilineal Kinship while Acehnese in Tapaktuan Subdistrict
apply Parental/ Bilateral kinship system. The research problems are as follows: 1. How
is the development of the Customary Inheritance Law of Minangkabau in Tapaktuan
Subdistrict?, 2. How is the implementation of the Inheritance portion of Minangkabau
community in Tapaktuan Subdistrict?, and 3. What are the obstacles found in the
implementation of the Customary Inheritance Law of Minangkabau in Tapaktuan

Subdistrict?
The research used a judicial empirical and descriptive analytic research method
qualitatively in order to obtain descriptive data, namely written or spoken words from the
observed people and behavior.
The result of the research shows that 86.6% of the Minangkabau community that
settles in Tapaktuan Subdistrict nowadays implements Acehnese customary law in
distributing inheritance. The procedures are as follows: a) excluding the rights related to
the inheritance, (b) involving Imum Masjid or Teungku Imam (Religious Leader) to carry
out the distribution of inheritance (some of them merely distribute the inheritance in
accordance with the family relationship, (c) deciding who the heirs are, (d) determining
the share of each heir, (e) performing the inheritance distribution. As to the
Minangkabau perantauan who still apply the distribution of inheritance according to
pusako tinggi (customary inheritance law of Minangkabau), the distribution is performed
in Minangkabau. The obstacles that discourage the implementation of Minangkabau
Customary Inheritance Law in Tapaktuan Sub-district are: a) the influence of the
religious belief, b) results of Marriage between both customary communities, c) the
absence of witness from Minangkabau community living in Minangkabau to the
Minangkabau living in other regions.
It is advised that customary Minangkabau community who have been living and
residing in Tapaktuan Subdistrict apply Acehnese customary law of inheritance in

distributing inheritance, referring to the customary proverb stating ‘Dimana bumi
dipijak, disitu langik dijunjung’ (When in Rome, do as the Romans do), that a more
detailed description regarding inheritance distribution according to fara’idh law be
provided, considering that Acehnese customary inheritance law is profoundly based on
the Islamic Law, that the Minangkabau community in Tapaktuan Subdistrict does not
make the obstacles a bad thing, but as a lesson about the diversity of cultures and tribes
in Indonesia.
Keywords:

Inheritance Law, Minangkabau Customary Inheritance, Acehnese
Customary Inheritance

ii

Universitas Sumatera Utara