Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Aceh (Studi Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan)

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Beranekaragamnya suku bangsa yang ada di Indonesia melahirkan banyaknya
hukum atau kebiasaan adat pada masing-masing daerah, yang ditiap-tiap daerah
memiliki aturan atau norma-norma yang harus dijalankan oleh setiap masyarakatnya.
Soepomo menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis didalam
peraturan-peraturan legislatif meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib, namun ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan
atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan
hukum.1 Hukum adat memiliki beberapa sifat yang diantaranya adalah bersifat tidak
tertulis, dan bersifat dinamis, hal ini menyebabkan terhadap hukum adat senantiasa
dapat berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan yang
terjadi didalam masyarakat. Sehingga yang dimaksud dengan hukum adat adalah
suatu sistem yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat yang bersifat memaksa.
Van Vollenhoven dalam bukunya membagi-bagi seluruh daerah Indonesia
menjadi 19 lingkungan hukum, adapun lingkungannya sebagai berikut:

1. Aceh
2. Tanah Gayo-Alas dan Batak beserta Nias
3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai
1

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung Agung,
Jakarta, 1996, Hal. 14

1

Universitas Sumatera Utara

2

4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

Sumatera Selatan
Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, Riau)
Bangka dan Belitung
Kalimantan
Minahasa
Gorontalo
Daerah Toraja
Sulawesi Selatan
Kepulauan Ternate

Maluku, Ambon
Irian
Kepulauan Timor
Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat)
Jawa-Tengah dan Timur (beserta Madura)
Daerah-Daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta)
Jawa-Barat2

Dengan dibaginya lingkungan hukum tersebut maka dapat dikatakan bahwa
adanya perbedaan-perbedaan yang terdapat dari masing-masing daerah yang akan
menyebabkan terjadinya perbedaan pula terhadap peraturan-peraturan hukum adat
yang berlaku dan berkembang di masing-masing daerah tersebut.
Adat dan kebiasaan merupakan salah satu dari sumber hukum. Dengan
diterimanya dan dipakainya istilah hukum adat yang kemudian menjadi salah satu
cabang ilmu hukum. Tujuan dari mempelajari hukum adat untuk memelihara dan
mengembangkan hukum adat sebagai ilmu dan nilai-nilai yang merupakan bagian
dari budaya bangsa Indonesia serta berfungsi dalam

mempertimbangkan


dan

menerapkan hukum yang sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat, khususnya
dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan adat. Setiap masyarakat hukum adat di
Indonesia mempunyai bentuk sistem kekerabatan dan sistem kewarisannya masingmasing. Hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan
yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Sistem kekerabatan ini terutama
2

Ibid, Hal. 86

Universitas Sumatera Utara

3

berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta warisan yang
diwariskan, baik yang materil maupun immateril.3
Pluralitas masyarakat dengan adat, budaya dan tradisinya sendiri-sendiri
menumbuhkan praktek-praktek hukum adat yang berbeda-beda. Salah satunya hukum
waris adat, juga dalam bidang-bidang hukum adat tertentu lainnya yang bergantung
pada corak kekerabatan dari masing-masing masyarakat. Secara umum, istilah

kekerabatan menggambarkan adanya hubungan darah antara seseorang dengan orang
lain. Dalam masyarakat seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua orang
tuanya, sehingga setiap anak mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat
ditelusuri, baik melalui bapak maupun ibunya. Kerabat yang ditelusuri melalui bapak
biasanya disebut patrilineal, kerabat yang melalui ibu biasanya dinamakan matrilineal
dan kerabat yang ditelusuri dari kedua belah pihak (ibu dan bapak) disebut
parental/bilateral.
Hak waris (hak untuk mendapatkan bagian dari harta warisan) ditetapkan atau
diturunkan

hanya

kepada

mereka

yang

termasuk golongan kekerabatannya.


Sementara mereka yang berada diluar garis kekerabatan, misalnya status perempuan
pada masyarakat patrilineal atau status laki-laki pada masyarakat matrilineal, tidak
terlalu diperhitungkan pada pembagian waris.4 Di Indonesia, hukum waris yang
berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat ada 4 (empat) macam, yakni hukum
waris berdasarkan Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat,
dan Hukum Waris menurut Yurisprudensi.
3

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal.

259-260.
4

Otje Salman Soemadiningrat, Rekonsetualisasi Hukum Adat Kontemporer, ALUMNI,
Bandung, 2002, Hal. 194.

Universitas Sumatera Utara

4


Perkembangan sosial budaya yang bergerak cepat sekarang ini menimbulkan
banyak dampak terhadap kehidupan masyarakat. Perkembangan itu dapat berupa
kemajuan pendidikan, perkembangan teknologi, dan hubungan masyarakat yang
terbuka dan sangat cepat antar provinsi dan antar suku bangsa, yang dapat
dimungkinkan dengan hubungan perkawinan antar suku atau antar daerah, dan hal ini
lah sebagian kecil yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial masyarakat.
Kelompok Etnis Minangkabau, secara historis dan geografis, dianggap
sebagai komunitas yang menyerupai budaya pesisir. Padahal,

masyarakat

Minangkabau pada dasarnya termasuk kedalam komunitas kelompok pedalaman,
karena menempati daerah seputar pegunungan Bukit Barisan (pedalaman Sumatera).
Salah satu ciri masyarakat pedalaman adalah kecenderungan menjadikan pertanian
sebagai sumber penghidupan mereka. Tetapi, ciri tersebut tidak sepenuhnya melekat
pada

komunitas

Minangkabau.


Dalam

perspektif

perdagangan,

komunitas

Minangkabau telah berperan penting dalam perdagangan merica (lada) dan emas
yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat pesisir.5
Seiring dengan berkembangnya zaman, menyebabkan terjadinya angka
perpindahan penduduk yang semakin besar, sehingga dengan mudahnya seseorang
atau sekelompok orang dapat berpindah dari suatu daerah ke daerah lainnya. Namun
meski perpindahan penduduk itu dapat terjadi dengan mudah, tidak demikian dengan
hukum adat atau kebiasaan yang berlaku dapat ikut berubah juga, sehingga seseorang

5

Amir Sjarifoedin Tj. A, Minangkabau : Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku

Imam Bonjo, Griya Media Prima, Jakarta, 2014, Hal. 11

Universitas Sumatera Utara

5

atau sekelompok orang yang berpindah ke daerah baru, harus menyesuaikan diri
dengan adat kebiasaan yang berlaku didaerah baru yang mereka tempati. Dengan kata
lain faktor lingkungan tempat tinggal juga turut mempengaruhi keadaan hukum
masyarakat terhadap hukum adatnya, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat
Minangkabau yang berpindah dan kemudian menetap di Kecamatan Tapaktuan, Aceh
Selatan.
Reformasi budaya dan Agama di Minangkabau terjadi sejak kembalinya
Syekh Burhanuddin Ulakan dari Aceh pada abad ke-17. Ia menyebarkan dan
mengembangkan serta menyiarkan ajaran Islam melalui sistem pendidikan surau
secara damai di Minangkabau. Ia juga berusaha memurnikan ajaran Islam dari
pengaruh kepercayaan Animistik dan budaya Hindu-Budha, serta menghapus
kebiasaan-kebiasaan anak nagari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.6
Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa yang terdapat di
Sumatera Barat yang dalam konsep Van Vollenhoven termasuk kedalam 19

lingkungan hukum adat, merupakan masyarakat adat yang sangat kuat dalam hal
penerapan hukum adatnya, hal ini salah satunya dapat dilihat pada sistem
kewarisannya, walaupun masyarakat Minangkabau hampir keseluruhan beragama
Islam, namun dalam hal pembagian warisan Pusako Tingginya tetap mengunakan
hukum adat sebagai aturannya, kewarisan Hukum Islam hanya dipergunakan terhadap
harta pusako randahnya saja. Pada dasarnya, selagi masyarakat Minangkabau taat
memeluk agama Islam dan beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT, maka nilai6

Ibid, Hal. 13

Universitas Sumatera Utara

6

nilai yang terkandung di dalam ketentuan Adat nan sabana Adat dan Adat nan
Diadatkan akan lestari sepanjang masa. Dan sebagai konsekuensinya, seorang
Minangkabau, harus mematuhi ketentuan-ketentuan agamanya yang dipakaikan
dalam adat tersebut. Demikian juga struktur masyarakat Minangkabau yang disusun
menurut garis keturunan ibu dimana pewarisan sako dan pusako yang telah
dimantapkan oleh nenek moyang masyarakat Minangkabau Datuk Ketumanggungan

dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, akan tetap menurut garis ibu.7
Sistem kekeluargaan yang dikenal pada masyarakat Minangkabau adalah
sistem matrilineal, yang memiliki ciri adanya keterikatan orang Minangkabau pada
ibunya, dan rumah serta pusaka keturunan ibunya. Kaum perempuan di Minangkabau
memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan bundo kanduang, yang
juga menjadi peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusankeputusan yang dibuat oleh kaum laki-laki.8
Perkawinan dalam masyarakat matrilineal tidaklah menciptakan keluarga inti
(nuclear family) yang baru, sebab suami atau istri masing-masingnya tetap menjadi
anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Sebab itu pengertian tentang
keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit tersendiri
tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau oleh karena dia selalu ternaung oleh
sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat. Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung
sebagai anggota garis keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada

7
8

Ibid, Hal. 102.
Ibid, Hal. 127.

Universitas Sumatera Utara

7

sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu. Sistem perkawinan
matrilineal di Minangkabau menganut sistem eksogami, yakni mencari jodoh ke luar
lingkungan kerabat matrilineal. Sistem ini tidak mengenal pembayaran “jujur” atau
“kawin jujur” seperti di Tapanuli. Pada saat perkawinan, suami dijemput oleh
keluarga perempuan dengan upacara adat untuk kemudian dibawa ke rumah istri
dengan nama “Alek malapeh marapulai” (adat melepas mempelai). Sistem ini
menjadikan perkawinan sebagai urusan komunal. Mulai dari pencarian pasangan,
membuat persetujuan, pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai akibatakibat perkawinan. Sesuai dengan kebersamaan sebagai ciri khas adat dalam
masyarakat komunal, maka rumah tangga menjadi urusan bersama pula. Karena
sistem ini terkait dengan harta pusako tinggi, maka kedua belah pihak tidak melebur
dalam kerabat pasangannya, tetapi tetap menjadi kerabat kaumnya. Keadaan inilah
yang menjadikan perkawinan eksogami menjadi rapuh. Istri pantang mengeluh
kepada suami, sehingga suami tidak mempunyai beban berat dalam rumah tangganya.
Kepemilikan harta oleh perempuan menjadikan ia berkedudukan sama seperti
suaminya.9
Hukum waris Minangkabau merupakan bagian hukum adat yang banyak seluk
beluknya. Pada satu pihak ini merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib
susunan menurut hukum ibu, akan tetapi pada pihak lain, lebih-lebih pada waktu
akhir-akhir ini ia mempunyai sangkut paut pula bahkan bertendensi dipengaruhi

9

Fidia Nurul Maulidah, Sistem Perkawinan Matrilineal, diakses pada tanggal 28- Januari2016, https://fidianurulmaulidah.wordpress.com/2014/01/03/sistem-perkawinan-matrilineal/

Universitas Sumatera Utara

8

hukum waris menurut syarak.10 Adat diperkokoh oleh syarak, syarak diperkokoh oleh
Kitabullah, begitulah pepatah yang menjadi acuan bagi masyarakat Minangkabau.
Antara adat dan syarak di Minangkabau keduanya saling memperkuat satu sama
lainnya, sehingga semua dapat berjalan bersamaan tanpa adanya kesenjangan. Dalam
hal tertentu, ada yang menggunakan adat dan ada yang menggunakan syarak saja,
syarak diterima sebagai bagian hukum adat sepanjang menyangkut dengan pahala dan
dosa, sah dan batal serta halal dan haram. Selebihnya masyarakat Minangkabau
menggunakan hukum adat mereka, seperti halnya pada pembagian warisan. Adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah menjadi kerangka pandangan hidup orang
Minangkabau yang memberi makna hubungan manusia, Allah Maha Pencipta dan
alam semesta, yang betujuan untuk memperjelas kembali jati diri etnis Minangkabau
sebagai sumber harapan dan kekuatan yang menggerakkan ruang lingkup kehidupan
dan tolak ukur untuk melihat dunia Minangkabau dari ranah kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan dalam pergaulan dunia.11
Harta warisan pada Masyarakat Minangkabau dapat dibedakan atas apa yang
disebut dengan Sako dan Pusako. Sako dalam pengertian Adat Minangkabau adalah
segala kekayaan tanpa wujud (kekayaan immaterial), yang dapat berupa gelar dan

10

Chairul anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta,
Jakarta, 1997, Hal .88.
11

Buya Masoed Abidin, Penjelasan Filosofi, Penjabaran Dan Implementas Adat Basandi
Syarak,
Syarak
Basandi
Kitabullah,
diakses
pada
tanggal
18-September-2015,
https://blogMinangkabau.wordpress.com/2009/01/28/penjelasan-filosofi-penjabaran-danimplementasi-abs-sbk/

Universitas Sumatera Utara

9

jabatan adat yang dipegang oleh saudara laki-laki tertua dari garis keturunan ibu.12
Sedangkan Pusako adalah warisan dalam bentuk kekayaan materi, yang terdiri dari
harta Pusako Tinggi, dan harta Pencaharian (Pusako Randah). Harta Pusako Tinggi
adalah harta warisan yang diwariskan secara turun menurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya yang telah melawati beberapa generasi.13 Harta warisan yang
diberikan dapat berupa harta yang berwujud benda tetap dan benda tidak berwujud,
yang mana benda-benda tersebut umumnya terletak di kampung asal. Harta
Pencaharian (Pusako Randah) adalah harta warisan yang baru diturunkan dari satu
generasi saja, yang berasal dari hasil pencaharian kakek bersama nenek atau ayah
bersama ibu.14 Harta Pusaka Rendah ini dapat dibagi kepada anak laki-laki dan anak
perempuan sesuai dengan hukum Fara’idh.
Perkembangan hukum waris adat Minangkabau ditandai dengan hasil Rapat
Adat yang berlangsung di Bukit Tinggi pada tanggal 02-04 Mei 1952 dan di kuatkan
dengan Seminar Hukum Adat Minangkabau pada tanggal 21-25 Juli 1968, yang
menetapkan bahwa harta orang Minangkabau itu terbagi atas dua bahagian, yaitu :
Harta Pusaka (Pusako Tinggi), dan Harta Pencaharian (Pusako Randah).15
Menurut Hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan fara’idh yang
sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di

12

Amir MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Mutiara Sumber
Widya, Jakarta, 2003, Hal. 91.
13
Mochtar Naim (ed), Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Adat, Center for
Minangkabau Studies press, Padang, 1968, Hal. 85
14
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut : Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal. 39
15
Amir Sjarifoedin Tj. A, Op.Cit, Hal. 206.

Universitas Sumatera Utara

10

Minangkabau sesuai dengan ketentuan adatnya, seluruh harta pusako tinggi
diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu, hal ini
menimbulkan kontroversi dari sebagian ulama. Ulama Minangkabau yang paling
keras menentang pengaturan harta pusako tinggi yang tidak mengikuti hukum waris
Islam adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari,
dan Agus Salim. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi imam dan khatib Masjidil Haram
Mekkah, menyatakan bahwa harta pusako tinggi termasuk harta syubhat, sehingga
haram untuk dimanfaatkan. (Hamka, Agustus 1985).16 Namun berbeda dengan
pendapat Syeikh Abdul Karim yang mengambil jalan tengah dengan memfatwakan
bahwa harta pusako tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh
pihak keluarga, namun tidak boleh diperjualbelikan.17
Bagi masyarakat Minangkabau yang sudah tinggal menetap pada suatu daerah
lain diluar daerah Minang (perantauan), seperti di Kecamatan Tapaktuan, dapat
menyebabkan terjadinya perbedaan terhadap pelaksanaan hukum adatnya, khususnya
dalam hal kewarisan yang digunakan, dimana dulunya memakai sistem kewarisan
Harta Pusako tinggi, dan Harta Pencaharian (Pusako Randah).
Pada umumnya, para perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan
adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya. Hampir tidak pernah terjadi konflik
dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini
berpedoman kepada pepatah bijak Minangkabau: ”Dimano bumi dipijak, disitu langik

16
17

Ibid, Hal. 206
Ibid, Hal.207

Universitas Sumatera Utara

11

dijunjung” yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus
kehilangan kultur budaya sendiri.18
Pada awal merantaunya masyarakat Minangkabau ke Kecamatan Tapaktuan,
tidak sedikit dari mereka yang masih menggunakan hukum adat Minangkabau dalam
penyelesaian masalah-masalah yang terjadi, khususnya dalam hal pewarisan. Meski
pembagian harta pusako tinggi ditujukan pada harta yang terletak di daerah asal
(Minangkabau), masyarakat Minangkabau masih terus membagi harta pusako tinggi
tersebut, dengan mensiasati cara pengelolaannya, yaitu dengan cara tinggal sementara
selama 3 (tiga) bulan di Minangkabau dan kembali lagi ke Tapaktuan untuk 6 (enam)
bulan berikutnya, seperti itu seterusnya.19 Hal ini tidak dibenarkan, kecuali jika ada
”dunsanak” kemenakan yang kehidupannya agak susah di perantauan boleh kembali
kekampung untuk mengurus harta itu.20 Sehingga dapat dilihat bahwa masyarakat
Minang perantauan dapat membagi harta pusako tinggi, namun harus kembali ke
Minangkabau (Menetap).
Kecamatan Tapaktuan memiliki 2 (dua) suku asli, yaitu suku Aceh dan suku
Aneuk Jamee. Suku Aneuk Jamee di Aceh adalah masyarakat keturunan
Minangkabau, yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak
berabad-abad yang lalu.21 Yang mana didalam kehidupan sehari-hari mereka masih
menggunakan Bahasa Minangkabau dengan dialek Aceh.

18

Ibid, Hal. 654
Wawancara dengan Bapak Atiak, orang yang dituakan oleh masyarakat Minangkabau di
Tapaktuan, tanggal 28- Agustus-2015 di Tapaktuan
20
Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 210
21
Ibid, Hal. 668
19

Universitas Sumatera Utara

12

Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 2010
Kecamatan Tapaktuan memiliki jumlah penduduk lebih kurang 22.463 jiwa, yang
dulunya dihuni oleh hampir sebagian besar masyarakat yang berasal dari suku Aneuk
Jamee dan juga dihuni oleh masyarakat yang berasal dari suku Aceh, namun
dikarenakan adanya kematian dan pencampuran perkawinan dari kedua suku tersebut
(suku Aneuk Jamee dan suku Aceh), maka sekarang jumlah populasi masyarakat
yang berasal dari suku Aneuk Jamee asli hanya sebanyak 30% dari keseluruhan
jumlah populasi yang ada di Kecamatan Tapaktuan.22
Daerah Aceh merupakan daerah

yang sangat kental dengan nilai

keIslamannya, dikarenakan hampir seluruh penduduk Aceh beragama Islam, sehingga
segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari selalu berpegangan
kepada Hukum Islam. Hukum adat Aceh pertama kali dikemukan oleh Snouck
Hurgrounje seorang ahli sastra timur dari Belanda (1894) yang pernah belajar agama
Islam di Arab. Sebelum istilah hukum adat berkembang, dulu dikenal istilah adat
Recht. Snouck Hurgrounje dalam bukunya De Atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894
menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah De Atjehers atau
hukum adat Aceh. Rakyat Aceh memutuskan suatu perkara adat berdasarkan jumhur
Ulama yang memiliki peranan penting di Aceh.23 Termasuk dalam hal pembagian
warisan, baik waris secara adat maupun waris secara hukum Islamnya. Hukum waris
22
Wawancara dengan Bapak Muslidin, Staf kantor Badan Pusat Statistik Aceh Selatan, di
Tapaktuan, tanggal 22-Agustus-2015 di Tapaktuan
23
Teuku Asri, Menegenal dan Memahami Adat Aceh serta Budaya Aceh, diakses pada tanggal
28-September-2015, http://atjehliterature.blogspot.co.id/2013/04/mengenal-dan-memahami-adat-Acehserta-budaya-Aceh.html?m=1

Universitas Sumatera Utara

13

adat di Aceh selalu seiring dan sejalan dengan Hukum Islam yang mana memiliki
peran penting didalam masyarakat.
Hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum waris Islam disebut juga
dengan hukum fara’idh, yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan, Sumbernya
ialah Al-Qur’an dan Hadist.24 Proses peralihan harta dari orang telah meninggal
kepada yang masih hidup dalam hukum kawarisan Islam mengenai 3 tiga unsur yaitu,
pewaris, harta warisan dan ahli waris.
“Hukum waris Islam adalah salah satu hukum yang paling sempurna
petunjuknya dari nash, dan ilmu hukum ini adalah ilmu yang paling cepat hilang
dimuka bumi menurut Hadist Rasulullah”.25
Secara teoritis, masyarakat Indonesia sekalipun ia beragama Islam, umumnya
dalam melaksanakan hukum waris masih banyak dipengaruhi oleh Hukum Adat
masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari berbagai teori bagaimana berlakunya hukum
waris Islam dan hukum waris Adat yaitu dengan teori Reception In Complexu (bagi
orang Islam berlaku Hukum Islam termasuk didalamnya hukum waris) dari L. W. C.
Van Den Berg, kemudian dibantah oleh Snouck Hogronje dengan teori Receptie
menyebutkan bahwa Hukum Islam tidak secara otomatis berlaku bagi orang yang
beragama Islam, Hukum Islam berlaku apabila sudah diterima oleh hukum adat.
24

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Islam, Raja Grafindo Utama, Jakarta,
2002, Hal. 20.
25
M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Medan, 2012, Hal. 1

Universitas Sumatera Utara

14

Kemudian muncul lagi bantahan terhadap teori tersebut, yaitu teori Receptie Exit
yang diperkenalkan oleh Hazairin, yang menyebutkan bahwa semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada zaman Hinda-Belanda yang berdasarkan
teori receptie bertentangan dengan jiwa UUD 1945, dengan demikian teori Receptie
itu harus exit atau keluar dari tata hukum Indonesia merdeka. Setelah itu terhadap
teori tersebut dikembangkan lagi oleh Sayuti Thalib, yaitu teori Receptio a Contrario,
yang menyebutkan hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan Hukum
Islam. Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Receptio a Contrario
muncullah teori Eksistensi dari Ichtijanto S.A yang menerangkan adanya Hukum
Islam dan hukum Nasional Indonesia.26
Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal dan
mayoritas beragama Islam dalam pembagian warisannya juga dipengaruhi oleh sistem
pewarisan Islam, namun tidak keseluruhan sistem kewarisannya mengikuti sistem
pewarisan secara Islam, melainkan hanya pada pewarisan harta Pusako Randah
sajanya. Sedangkan terhadap harta Pusako Tinggi, masyarakat Minangkabau lebih
mengedepankan hukum adat. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian warisan secara
harta Pusako Tinggi pada masyarakat Minangkabau, yang mendapatkan bagian besar
atau pewarisnya adalah anak perempuan.
Berbeda dengan di Aceh yang menganut sistem kekerabatan parental/bilateral
dan sangat didasarkan pada Hukum Islam, karena hampir keseluruhan dari

26

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia Cet:III, Rajawali
Pers, Jakarta, 1990, Hal. 239-240

Universitas Sumatera Utara

15

masyarakat yang tinggal di Aceh menganut agama Islam, dimana dalam Hukum
Islam yang mendapat bagian warisan adalah anak laki-laki dan anak perempuan,
namun besar bagian yang ditentukan adalah lebih besar bagian laki laki, yaitu lakilaki mendapat dua bagian lebih besar dari pada anak perempuan. Besarnya bagian
warisan yang diterima oleh laki-laki dalam Hukum Islam sejalan dengan hukum adat
pada masyarakat Aceh, khususnya di Kecamatan Tapaktuan.
Dari uraian diatas dapat terlihat adanya perbedaan sistem kekerabatan yang
dianut oleh masing-masing daerah, yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap
kehidupan masyarakat apabila mereka berada disuatu daerah yang sama. Dengan
adanya perbedaan sistem kekerabatan diantara kedua masyarakat adat tersebut maka
akan menimbulkan perbedaan dalam penerapan hukum adat yang digunakan,
khususnya dalam hal hukum kewarisannya. Maka untuk mendapatkan gambaran yang
jelas mengenai pembagian waris adat ini akan diteliti lebih lanjut dan kemudian
dituangkan dalam sebuah tesis yang berjudul : “Perkembangan Hukum Waris Adat
Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di
Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah

Perkembangan

Hukum

Waris Adat Minangkabau

di

Kecamatan Tapaktuan ?

Universitas Sumatera Utara

16

2. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan pada masyarakat
Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan?
3. Bagaimanakah Hambatan yang terjadi dalam Pelaksanaan Hukum Waris Adat
Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perkembangan hukum waris Adat Minangkabau di
Kecamatan Tapaktuan.
2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan pada
masyarakat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan.
3. Untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum waris
Adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pemikiran di
bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya dalam
disiplin ilmu hukum waris adat terutama berkaitan dengan bidang warisan.
Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
masukan untuk para praktisi hukum, notaris, masyarakat umum, akademisi tentang
cara pembagian warisan secara adat.

Universitas Sumatera Utara

17

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara,
khususnya di Program Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya tentang “Perkembangan Hukum
Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau
Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan”. Namun, penulis menemukan ada beberapa
tesis karya mahasiswa, yang menyangkut masalah warisan pada masyarakat Minang,
namun permasalahan dan bidang kajiannya sangat jauh berbeda, yaitu :
1.

Tesis atas nama Desriati, NIM : 027011010, dengan judul penyelesaian sengketa
harta Pusako tinggi di Minangkabau.

Dengan rumusan masalah :
a. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya sengketa harta Pusako tinggi
di Kota Padang.
b. Bagaimana cara yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa harta Pusako
tinggi di Kota Padang
c. Bagaimana keberhasilan Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Kota Padang dalam
menyelesaikan sengketa harta Pusako tinggi.
d. Bagaimana upaya pemerintah Kota Padang untuk memaksimalkan fungsi
KAN dalam menyelesaikan sengketa.
2.

Tesis atas nama Kikky Febriasi, NIM : 127011123, dengan judul Perkembangan
Syarat Menggadai Tanah Harta Pusako tinggi dalam Masyarakat Adat
Minangkabau di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

Universitas Sumatera Utara

18

Dengan rumusan masalah:
a. Bagaimana pelaksanaan gadai tanah harta Pusako tinggi di Kabupaten Agam
Nagari Kamang Mudiak?
b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan dilakukannya gadai atas tanah harta
Pusako tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?
c. Bagaimana dampak dari adanya perkembangan syarat adat menggadai tanah
harta Pusako tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?
3.

Tesis atas nama Cahaya Masita Nasution, NIM :047011007, dengan judul
Pelaksanaan Pembagian Warisan pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi
Kasus di Kabupaten Agam).
Dengan rumusan masalah:
a. Bagaimanakah Penerapan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam pada
Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam?
b. Bagaimanakah Peranan Mamak Kepala Waris dalam pembagian harta warisan
pada masyarakat adat Minangkabau di Kabupaten Agam?
c. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa harta warisan yang terjadi pada
masyarakat Minangkabau di Kabupaten Agam?

4.

Tesis atas nama Yunasril, NIM : 017011067, dengan judul Sengketa Warisan dan
Upaya Penyelesaiannya Pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi Kasus di
Kabupaten Solok)
Dengan rumusan masalah:
a. Bagaimana prinsip pewarisan pada masyarakat Adat Minangkabau?

Universitas Sumatera Utara

19

b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya sengketa waris dalam
masyarakat adat di Kabupaten Solok?
c. Kaidah hukum apa yang di pakai untuk penyelesaian sengketa warisan pada
masyarakat adat di Kabupaten Solok?
Dari penelusuran kepustakaan tersebut diatas, ternyata bahwa kelompok
bahasan dari permasalahan yang diajukan, lain dari penelitian tesis yang pernah
dilakukan, sehingga dengan demikian, maka penelitian ini adalah asli, serta dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau

proses tertentu terjadi, suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta–
fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.27 Fungsi teori dalam penelitian
ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta
menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk
memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang diteliti. Teori
diartikan sebagai suatu sistem yang beriskan proporsi–proporsi yang telah di uji
kebenarannya, berpedoman kepada teori maka akan dapat menjelaskan aneka macam
gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan
terhadap masalah yang dihadapi, suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan
27

JJJ.Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu Sosial Jilid 1, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, 1996, Hal. 203

Universitas Sumatera Utara

20

pada efektifitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman
tertentu.28
Sebagai tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu
teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal
sebagai berikut :
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diteliti atau diuji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan konsep-konsep
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang meyangkut objek yang telah diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan prediksi fakta mendatang, oleh karena telah
diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor
tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk–petunjuk terhadap kekurangan pada pengetahuan
penelitian.29
Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir butir,
pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan
pegangan teoritis, yang mungkin disetujuinya.30
Sehubungan dengan pembahasan diatas, maka penelitian ini perlu mempunyai
landasan fikir, yaitu berupa teori-teori hukum yang akan digunakan adalah sebagai
28

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1991, Hal.6
J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, Hal. 254
30
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT. Sofmedia, Medan, 2012, Hal. 129

29

Universitas Sumatera Utara

21

berikut : Teori ‘Urf (Adat yang sesuai dengan ajaran Islam) dan Teori Perubahan
Hukum.
a. Teori Urf’ (Adat yang sesuai dengan ajaran Islam)
Secara terminologi, kata urf’ ini didefinisikan dengan kebiasaan mayoritas
ummat dalam penilaian satu perkataan atau perbuatan. Urf’ ini merupakan salah satu
dalil dalam menetapkan hukum syarak.31 Adat kebiasaan seperti juga halnya dengan
aspek-aspek kemasyarakatan lainnya, adalah berbeda-beda sesuai keadaan tempat dan
waktu. Pada setiap waktu, ia mengambil watak dan sifat yang khusus yang berbeda
dari pada adat kebiasaan lainya. 32
Dengan kata lain, ada dua macam adat kebiasaan, pertama yang bersifat
umum, yaitu kebiasaan yang dianut oleh seluruh rakyat dari suatu bangsa mengenai
perbuatan-perbuatan yang termasuk mu’amalah. Kedua yang bersifat khusus, yaitu
yang dianut oleh sebagian daerah saja dari suatu negara. Akan tetapi keduanya ini
tetap dianggap sebagai ketentuan hukum yang mengikat.33
Adat kebiasaan pada permulaan perkembangan umat manusia menjadi asas
bagi semua aspek-aspek kemasyarakatan, maka dengan sendirinya merupakan asas
pula dalam masalah-masalah agama, akhlak, dan mu’amalat. Barulah kemudian
peranannya secara berangsur-angsur menjadi berkurang, yaitu setelah lahirnya
pengadilan-pengadilan dan lembaga-lembaga kenegaraan dan adanya penyusunan

31

Zamakhsyari, Teori- teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Citapustaka Media
Perintis, Bandung, 2013, Hal. 117
32
Sayuthi Thalib, Receptio A Contrario, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 119
33
Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, PT Ma’rif, Bandung, 1981, Hal. 194

Universitas Sumatera Utara

22

hukum perundang-undangan. Sehingga pada saat sekarang ini lingkup pengaruh adat
semakin kecil lagi.34
Menurut Imam Al-Qarafi, Ahli Fikih Mazhab Maliki, seorang mujtahid dalam
menetapkan suatu hukum harus terlebih dalulu meneliti kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan
atau menghilangkan kemaslahatan masyarakat tersebut.35
Salah satu bukti sahih intergrasi Hukum Islam dengan hukum adat yang
terbentuk di dunia Islam adalah ungkapan yang menjadi dasar filsafat adat
masyarakat Minangkabau, sebagai hasil dari pertauatan adat dan agama Islam. “Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Adat berarti kebiasaan atau tradisi
masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun. Kata adat disini
lazim dipakai tanpa membedakan mana yang mempunyai sanksi, seperti hukum adat,
dan mana yang tidak memliki sanksi, seperti disebut adat saja. Basandi artinya
“bersendikan atau menjadi dasar dari sesuatu itu menjadi kokoh”. Syarak berarti
Agama Islam. Kitabullah berarti “Al-Qur’an dan sekaligus Sunnah Rasulullah S.A.W
sebagai penjelasan dari Al-Qur’an. Dengan demikian Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah, berarti adat Minangkabau bersendikan syari’at Islam dan syari’at
Islam bersendikan Kitabullah.36

34

M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama Dan Hukum
Perkawinan, Ind. Hill Co, Jakarta, Hal. 120
35
Zamakhsyari, Op. Cit, Hal. 124
36
Ibid, Hal. 131-132

Universitas Sumatera Utara

23

b. Teori Perubahan Hukum
Syariat adalah hukum yang berasal dari Tuhan, baik mengenai sumbernya
maupun dasar-dasarnya. Karena memahami Syariat adalah Fikih. Syariat tidak akan
berubah, sedangkan Fikih terus berubah dengan perubahan keadaan tempat, waktu
dan kepentingan. Hukum yang berkaitan dengan kemasyarakatan berlangsung dengan
tiada hentinya sesuai dengan kemaslahatan manusia kerena perubahan gejala-gejala
kemasyarakatan. Dan oleh karena kemaslahatan manusia itu menjadi dasar setiap
macam hukum, maka sudah menjadi kelaziman yang masuk akal apabila terjadi
perubahan hukum disebabkan karena berubahnya zaman dan keadaan serta pengaruh
dari gejala-gejala kemasyarakatan itu.
Kaidah ini menetapkan, bahwa yang dimaksud dengan kemaslahatan yang
terkandung didalamnya, ialah kemaslahatan menurut pandangan Syariat dan Fikih
Islam. Dan oleh karena apa yang disebut kemaslahatan itu menjadi alasan dan asas
hukum, maka seharusnya pengertian ini diikuti dengan kaidah lain, yaitu bahwa jika
alasan itu sudah tiada lagi ataupun sudah berubah, maka hukum yang berdasarkan
atas alasan dan asas tersebut harus ditinggalkan ataupun harus dirubah.37 Hukum
bergantung kepada kemaslahatan, dimana ada kemaslahatan disitu ada hukum, yang
mana kemaslahatan umum lebih diutamakan dari pada kemaslahatan pribadi atau
kelompok.38

37
38

Ibid, Hal. 161
Kuliah dengan Prof. Hasballah Thaib pada tanggal 12 Oktober 2015

Universitas Sumatera Utara

24

2.

Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran peneliti

untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep di
artikan sebagai suatu kata yang menyatukan abstrak yang digeneralisasikan dari hal–
hal yang khusus yang disebut definisi operasional. Oleh karena itu untuk menjawab
permasalahan haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional
diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
Konsep merupakan alat yang digunakan oleh hukum disamping yang lainnya, seperti
asas dan standar. Oleh sebab itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan
salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum.39
Agar tidak terjadi kesalahfahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan
dalam tesis ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai,
yaitu sebagai berikut:
a. Hukum waris adat adalah waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud benda (immaterele goerderen) dari suatu
angkatan manusia (generalite) kepada turunannya.40
b. Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf
(a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
39

Sumardi Surya Brata, Metodelogi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,

40

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, 2008, Hal. 1

Hal. 4

Universitas Sumatera Utara

25

ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan baru dapat
berlaku jika pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga
beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat Islam
merupakan Ibadah.
c. Pembagian Warisan adalah saat dilakukannya pembagian harta warisan
peninggalan pewaris yang dilakukan oleh ahli waris.
d. Masyarakat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan adalah orang

atau

sekelompok orang yang telah merantau dari Minangkabau dan tinggal
menetap di Tapaktuan lebih dari 20 tahun lamanya.41
e. Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang
diciptakan oleh leluhurnya yaitu, Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuak
Katumanggung. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia
dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada
ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan alam
lingkungannya.42
f. Adat Aceh adalah budaya yang dijalani oleh masyarakat yang adat istiadatnya
sangat berkaitan dengan Islam. Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat Aceh tidak bertentangan dengan ajaran Islam.43

41

Wawancara dengan Bapak Atiak, orang yang dituakan oleh masyarakat Minangkabau di
Tapaktuan, tanggal 28- Agustus-2015, di Tapaktuan
42
Idrus Hamkimy DT. Rajo Penghulu, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau,
PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, Hal. 13
43
Maya Ismaini, Makalah Adat dan Budaya Aceh, diakses pada tanggal 21-Juni-2016,
http://mayaismaini.blogspot.co.id/2011/12/makalah-adat-dan-budaya-aceh.html?m=1

Universitas Sumatera Utara

26

g. Tapaktuan adalah sebuah Kecamatan yang berada di bagian pantai Selatan
Provinsi Aceh yang merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Selatan. Tapaktuan
atau yang juga sering disebut Kota Naga merupakan kota yang dihuni oleh 2
(dua) suku, yaitu Suku Aceh dan Suku Aneuk Jamee.
G. Metode Penelitian
Penelitian hukum atau suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
segala hukum dengan jalan menganalisanya.44 Metodelogi yang dimaksud berarti
sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis, berdasarkan suatu sistem dan
konsisten berarti tidak bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.45
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian

hukum Empiris, yaitu suatu penelitian hukum yang mempergunakan data primer yaitu
data yang didapat langsung melalui penelitian lapangan dengan melihat sesuatu
berdasarkan kenyataan hukum didalam masyarakat, melihat aspek-aspek hukum
dalam interaksi sosial didalam masyarakat yang berfungsi sebagai sumber utama
untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan
penelitian atau penulisan hukum.46 Penelitian empiris atau sosiologis yang
dibutuhkan untuk mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika
44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Persada,
Jakarta, 2001, Hal. 42
45
Roni Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1988,
Hal. 105
46
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, Hal. 79

Universitas Sumatera Utara

27

sistem norma tersebut bekerja didalam masyarakat.47 Yang berupa penerapan kaedahkaedah Hukum Islam yang terkait terhadap perilaku masyarakat dalam melakukan
pembagian warisan pada masyarakat Minangkabau di Aceh.
2.

Sumber Data
Sumber data penelitian ini meliputi :
a. Data Primer, data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui
wawancara, observasi (baik partisipasi maupun non partisipasi), laporanlaporan yang kemudian diolah dimasukkan dalam kategori data sekunder.
Adapun yang akan diwawancarai adalah sebagai berikut :
1.

Responden
Yang menjadi sumber dalam penelitian ini adalah masyarakat adat
Minangkabau yang tinggal dan telah menetap di Kecamatan Tapaktuan.
Adapun penarikan sampel dilakukan dengan menentukan jumlah sampel
penelitian

sebanyak

30

(tiga

puluh) keluarga masyarakat adat

Minangkabau yang telah melakukan pembagian warisan di Kecamatan
Tapaktuan, dengan menggunakan metode Purposive Sampling atau
ditentukan sendiri oleh peneliti dari keseluruhan populasi masyarakat adat
Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan yang diperkirakan dapat
mewakili.

47

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 49

Universitas Sumatera Utara

28

2.

Informan
Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari

nara sumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan
objek penelitian yang terdiri dari :
1.

Ketua Ikatan Masyarakat Minangkabau Indonesia (IKAMI)

2.

Keuchik Kelurahan Pasar, Tapaktuan

3.

Imuem Mesjid Tuo, Kelurahan Padang, Tapaktuan

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,
buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian dalam bentuk laporan,
skripsi, tesis, disertasi, dan Peraturan Perundang-Undangan. Data sekunder
tersebut dapat dibagi menjadi:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer ialah salah satu sumber hukum yang penting bagi
sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan
hukum primer meliputi bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat bagi landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.
Bahan hukum yang difokuskan oleh peneliti adalah peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan hukum keluarga, hukum waris adat dan
hukum waris Islam.
2.

Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan dan memperkuat bahan hukum primer, seperti hasil-hasil

Universitas Sumatera Utara

29

penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum,
jurnal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait.
3.

Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum, ensiklopedi, kamus bahasa, artikel, sumber data
elektronik dari internet dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini.

3.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka

penulis menggunakan 2 (dua) metode, yakni :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Yaitu pengumpulan data sekunder dalam penelitian tesis ini berupa hasilhasil penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum,
jurnal-jurnal, dan dokumen yang berkaitan dengan objek yang diteliti yang
berkaitan dengan bidang keperdataan khususnya hukum keluarga, hukum
waris adat dan hukum waris Islam.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Yaitu pengumpulan data primer yang di peroleh langsung dari informan
dan responden dengan cara menggunakan kuisioner terbuka. Dan untuk
melengkapi data-data yang butuh juga dilakukan wawancara. Daftar kuisioner
dan wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang

Universitas Sumatera Utara

30

telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan dalam
penelitian ini.
4.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan. Dengan

pertimbangan bahwa 30% jumlah populasi masyarakat di Kecamatan Tapaktuan
adalah masyarakat Minangkabau asli yang telah menetap di Kecamatan Tapaktuan.48
5.

Analisis Data
Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam

rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti.49 Analisis data adalah
proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan
satuan urutan dasar.50 Dalam penelitian ini analisis data di lakukan pedekatan
kulitatif. Pendekatan kualitatif adalah

merupakan prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang
dan perilaku yang di amati.51
Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer
yang diperoleh dari penelitian lapangan dalam bentuk wawancara kemudian
dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Data yang
terkumpul dipilah-pilah dan diolah, serta disusun secara berurutan dan sistematis
48

Wawancara dengan Bapak Muslidin, Staf kantor Badan Pusat Statistik Aceh Selatan,
tanggal 22-Agustus-2015 di Tapaktuan
49
Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-pokok Penting Tentang Wawancara dalam
Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal. 143.
50
Lexy J. Moleong. Metode Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004. Hal. 3
51
Ibid

Universitas Sumatera Utara

31

untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis
sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang
terdapat dalam perkembangan hukum waris masyarakat Minangkabau yang berada di
Tapaktuan. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan
dengan menggunakan kerangka berfikir Induktif.

Universitas Sumatera Utara