Perubahan Kadar Albumin dan Prealbumin Setelah Suplementasi Ekstrak Ikan Gabus Metode Freeze Dryer Pada Pasien Sepsis

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Sepsis
2.1.1. Infeksi dan inflamasi
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang
masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan
kerusakan sekitar disebut dengan penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi
jejas sehingga timbullah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama,
namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh.
Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta
menyebabkan tanda dan gejala sistemik (Guntur,2007).
Inflamasi adalah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas.
Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, saraf, cairan dan sel
tubuh ditempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini
terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi
akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam
mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda,
mediator yang dilepas sama. Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik

disebut systemic inflammation respons syndrome (Guntur,2007).

2.1.2. Definisi Sepsis
Sepsis didefinisikan sebagai suatu infeksi disertai dengan manifestasi
sistemik. Hipotensi yang disebabkan sepsis dengan nilai tekanan darah sistolik <
90 mmHg atau dengan tekanan darah arteri rerata (MAP) < 70 mmHg atau dengan
penurunan tekanan darah sistolik 40 mmHg atau lebih dari 2 standar deviasi
dibawah normal. Syok sepsis ialah sepsis dengan hipotensi meskipun telah
diberikan resusitasi cairan secara adekuat. Hipoperfusi jaringan yang disebabkan

Universitas Sumatera Utara

9

oleh sepsis adalah hipotensi yang disebabkan infeksi, peningkatan laktat, atau
oligouria (Dellinger RP et al,2012).
Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana
terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat di jabarkan
bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure
assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan

resiko kematian dirumah sakit >10% (Singer M,2016)

2.1.3. Kriteria Sepsis
Berdasarkan studi dan konsesi mengenai definisi sepsis baru, yang
dilakukan oleh European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society of
Critical Care Medicine’s pada tahun 2016. Ditetapkan kriteria sepsis yang
terdapat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (dikutip dari Singer M,2016)
SIRS

Sepsis

Sepsis berat

Lama
Baru
Takikardi (>90x/menit)
Takipnea (> 20x/menit)
Temperatur (38°c)

Peningkatan leukosit >
11.000 µL-1 atau < 4.000
µL-1
SIRS
Suspek
atau
dengan
+
infeksi
fokal Infeksi
+
2 dari 3 tanda qSOFA
Hipotensi (tekanan darah
sistol ≤ 100 mmHg)
penurunan kesadaran
(GCS≤13)
takipnea (≥22x/menit)
atau
Peningkatan skor SOFA ≥
2

Sepsis + Disfungsi organ
Laktat > 2 mmol/L
Kreatinin > 2 mg/dL
Bilirubin > 2 mg/dL
Trombosit 1.5)

Universitas Sumatera Utara

10

Syok Sepsis

Sepsis
+
Hipotensi
setelah mendapatkan cairan
resusitasi adekuat

Sepsis
+

Vasopresor untuk
mencapai MAP > 65
mmHg
+
Laktat > 2 mmol/L
setelah mendapatkan
cairan resusitasi adekuat

2.1.4 Epidemiologi
Sepsis merupakan penyebab kedua tertinggi kematian di Instalasi rawatan
intensif dan merupakan 10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara
keseluruhan. Selama dua dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000
populasi pada tahun 1979 menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000,
menunjukkan peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Kegagalan fungsi organ
menjadi efek akumulasi yang berdampak langsung pada kematian. Mortalitas
pasien sepsis tanpa disfungsi organ sebesar 15%, Pasien dengan kegagalan fungsi
organ sebesar 70%, dan syok septik sebesar 45-60%. Kejadian hipoalbuminemia
dengan

sepsis


60-70%.

Pasien

sepsis

dengan

hipoalbuminemia

dapat

meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas (Martin GS, Mannino MA, Eaton
S, Moss M,2003;Hommes TJ,Wiersinga, Poll TV,2012)

2.1.5 Patofisiologi Sepsis
Inflamasi adalah jawaban fisiologis terhadap organisme yang merusak
integritas


sel, seperti yang terjadi pada infeksi dan trauma. Pada keadaan

Inflamasi, sel akan melepaskan sitokin dan beberapa mediator, yang mempunyai
kontribusi terhadap penghancuran bakteri dan perbaikan pada jaringan. Dapat
dibedakan antara sitokin pro inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6
(IL-6), tumor necrosis factor (TNF) dan sitokin anti inflamasi seperti interleukin10(IL-10) dan interleukin-4(IL-4). Regulasi mekanisme lokal akibat inflamasi
merupakan gambaran terhadap pentingnya menghilangkan sumber dari kerusakan
dan mempertahankan homeostasis. Humoral maupun mediator neuronal
mempunyai kontribusi terhadap regulasi dari inflamasi. Mediator antiinflamasi
humoral seperti IL-10 dan glukokortikoid menghambat efek pelepasan sitokin

Universitas Sumatera Utara

11

proinflamasi seperti dimana lipoxin dan resolvin berkontribusi terhadap perbaikan
jaringan. Mediator humoral mencapai sel target pada beberapa organ dengan
berdifusi melalui pembuluh darah. Substansi yang dilepaskan oleh syaraf seperti
norepinefrin, asetilkolin mencapai target organ secara cepat (Ballina M, Tracey
Kj,2009).

Sepsis merupakan proses kompleks dan inflamasi sistemik merupakan
jawaban terhadap infeksi yang pada umumnya akibat bakteri. Pada tahap awal,
terjadi disregulasi dan ketidakseimbangan terhadap sitokin proinflamasi yang
mengakibatkan kerusakan jaringan, organ, bahkan kematian. Pelepasan sitokin
proinflamasi yang berlebihan memicu pelepasan vasoaktif amine dan chemokines
maupun aktivasi sistem komplemen, koagulasi, dan pelepasan reactive oxgen
spesies (ROS). Mediator-Mediator inilah yang bertanggung jawab terhadap
peningkatan permeabilitas vaskular, hipotensi, dan syok septik. Pada tahap lanjut,
dilepasnya mediator seperti High Protein Group Box 1 (HMGB1), yang
memungkinkan reaksi inflamasi tersebut berlanjut (Ballina M, Tracey Kj,2009).
Secara umum telah diketahui bahwa sistem imunitas dapat dipengaruhi
oleh status neurologis dan begitu juga sebaliknya, status neurologis dapat
dipengaruhi oleh sistem imunitas. Seperti pada sitokin pro inflamasi seperti
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF) yang lepas
diperifer pada sepsis dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar darah
otak dan mencetuskan inflamasi terhadap itu sendiri yang menyebabkan
perubahan perilaku akibat sepsis. Mediator pro inflamasi dari sirkulasi perifer dan
sistem saraf otonom memegang peranan penting terhadap patogenesis neuroimun
pada sepsis (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)
Hubungan dua arah antara susunan syaraf pusat dan sistem imunitas dalam

meningkatkan efektifitas kedua sistem tersebut dalam konteks perbedaan
inflamasi yang diakibatkan oleh sepsis dengan penyebab lain. dua jalur yang
menghubungkan antara sistem imunitas dengan susunan syaraf pusat adalah
sistem syaraf otonom dan aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA). Aktivasi
kedua jalur tersebut mempunyai peranan penting terhadap terjadinya sepsis.
(Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)

Universitas Sumatera Utara

12

2.1.5.1 Sistem Syaraf Simpatis
Serabut eferen preganglionik yang meninggalkan susunan syaraf pusat
didalam syaraf spinal thorakal dan lumbal dinamakan sistem syaraf simpatis atau
sistem thorakolumbal. Sinaps serabut eferen preganglionik dengan serabut
postganglionik pada ganglia prevertebra. Serabut post ganglionik memiliki
inervasi ke organ melalui ganglia ini. Sistem syaraf simpatis menginervasi semua
organ limfoid dan transmitter epinefrin dan norepenefrin untuk memodulasi
sistem imun, Sitokin proinflamasi mampu mengaktifkan aksis HPA maupun
sistem syaraf simpatis. (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)

Berbagai macam sel dari sistem imun innate mengekspresikan reseptor α
atau β adrenergik. Biasanya, reseptor-α tidak dapat ditemukan pada permukaan
leukosit di darah perifer namun dapat ditemukan pada kondisi patologis.
Norepinefrin berinteraksi dengan reseptor α yang akan mestimulasi makrofag
untuk

melepaskan

TNF-α

dan

seterusnya

akan

berkontribusi

dalam


mempertahankan keadaan sepsis. Sebaliknya, interaksi dengan reseptor β
menurunkan pelepasan IL-1 dan TNF-α dan meningkatkan sekresi IL-10 dari
makrofag yang memiliki efek antiinflamasi. (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer
S,2012)
2.1.5.2 Aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA)
Pelepasan sitokin sebagai hasil dari infeksi dan jejas memicu afferen
vagal. Hubungan sinaps dari medula rostroventral dan lokus coeruleus maupun
nukleus hipotalamik mengaktifkan sistem syaraf simpatis dan aksis HPA. Sitokin
proinflamasi juga mengaktifkan sel perivaskular di sawar darah otak. Sel
perivaskular akan melepaskan ekisanoid yang memberikan efek pada hipothamus.
Sitokin yang berada disirkulasi juga dapat memberikan efek pada organ
sirkumventrikular seperti area postrema dimana tidak terdapat sawar darah otak
secara langsung. Sitokin pro inflamasi

menyebakan ekspresi Corticotropin

Releasing Hormones (CRH) atau Arginin Vasopresin (AVP) di hipotalamus serta
Adrenocorticotropic Hormones (ACTH) pada kelenjar hipofisis adrenal. ACTH
dapat meningkatkan pelepasan kortisol di korteks adrenal. Kortisol memiliki efek
anti inflamasi dalam mengurangi aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-κB) dan
meningkatkan sintesa sitokin antiinflamasi. Pro-opiomelanocortin (POMC) adalah

Universitas Sumatera Utara

13

prekursor peptida tidak hanya ACTH tetapi juga α-melanocyte stimulating
hormones (α-MSH). α-MSH menurunkan NF-κB dan meningkatkan pelepasan IL10 dan menghambat aktivitas pro inflamasi. Pada keadaan Syok septik sangat
relevan bahwa pelepasan α-MSH setelah stimulasi CRH terhambat berdampak
kepada kematian. Reaksi antiinflamasi sistemik pentng terhadap respon imunitas
yang efektif pada pasien sepsis. Berbagai studi klinis menunjukkan sitokin
proinflamasi secara langsung mengaktifkan aksis HPA dan mengakibatkan
pelepasan kortisol. (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)
2.1.5.3 Kontrol Kolinergik Inflamasi
Beberapa tahun terakhir, jalur antiinflamasi kolinergik telah digambarkan
sebagai mekanisme kontrol inflamasi neuronal melalui syaraf eferen. Secara in
vitro, asetilkolin menghambat pelepasan sitokin pro inflamasi melalui makrofag.
Secara in vivo, stimulasi elektrik syaraf vagal menurunkan pelepasan HMGB1
dan

meningkatkan

angka

kelangsungan

hidup.

Selanjutnya,

asetilkolin

menghambat pelepasan TNF-α dengan berikatan dengan reseptor α7-subunit
asetilkolin. Sebagai tambahan, splenektomi yang dilakukan pada percobaan sepsis
menurunkan pelepasan HMGB1 serta meningkatkan angka kelangsungan hidup.
Sistem imun mendapat informasi dari organ perifer dan berperilaku sebagai organ
sensori yang menyediakan informasi proses inflamasi untuk otak. Reseptor IL-1
pada syaraf aferen vagal terlibat pada proses ini (Weismuller K,Weigand MA,
Hoffer S,2012)
2.1.5.4 Aktifasi komplemen
Aktifasi komplemen akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan
melarutkan sel patogen. Lebih penting lagi, aktivasi kaskade oleh inflamasi akan
menghasilkan produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif, aktivasi
protein koagulasi, platelet, sel mast dan secara tidak langsung memproduksi
bradikinin. Dengan demikian dapat terlihat bahwa ativasi dari salah satu inisiator
akan mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah peningkatan
permeabilitas mikrovaskular, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan
kecepatan aliran dan pembentukan edema di jaringan. (Weismuller K,Weigand
MA, Hoffer S,2012).

Universitas Sumatera Utara

14

Patogenesis sepsis adalah kompleks, meskipun kemajuan ilmu kedokteran
semakin maju namun patogenesis sepsis masih tetap tidak dimengerti. Utamanya,
sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan respon tuan rumah
akibat dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon
tuan rumah adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi
organisme dari kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang
menimbulkan respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ
bahkan kematian, selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari
sepsis adalah respon proinflamasi tak terkontrol juga gabungan dari disregulasi
dari anti-inflamasi, koagulasi dan jalur penyembuhan luka (Annane et al., 2005).

2.1.6 Stres Metabolik Pada Sepsis
Pada pasien sepsis mempunyai karakter variasi yang lebar terhadap
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Variasi tersebut dapat memicu
peningkatan kebutuhan energi dengan akselarasi katabolisme protein dan
menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Pada orang yang sehat
normal, respon metabolik terhadap sepsis dapat meningkatkan kebutuhan kalori
dan protein. Hasilnya, substrat endogen digunakan sebagai sumber bahan bakar
dan sebagai prekursor terhadap sintesis protein. Respon ini melalui counter
regulatory hormones (CRHs) seperti epinefrin, glukagon, kortisol dan hormon
pertumbuhan,yang meregulasi substrat endogen di berbagai organ dan jaringan.
Sebagai tambahan, tumor necrosis factor-α dan interleukin-1β mempunyai
peranan penting terhadap respon sistemik yang menimbulkan hiperglikemia. Stres
yang memicu hiperglikemi ini mempunyai dampak buruk seperti peningkatan
infeksi dan memperlambat penyembuhan luka. Pada pasien nondiabetik,
hiperglikemia akan berlangsung selama 24 jam setelah trauma atau paska
pembedahan serta menggambar keadaan konsentrasi CRHs di plasma. Lebih
lanjut akan terjadi pengurangan massa tubuh (otot) dan lemak , dimana keadaan
ini dijuluki dengan otokanibalisme. Strategi nutrisi konvensional dengan
mencukupkan

nutrisi

sesuai

dengan

kebutuhan

manusia

sehat,

namun

pengurangan massa otot dan jaringan lemak masih tampak terjadi (Elamin M,
Camporessi E, 2009).

Universitas Sumatera Utara

15

Gambar 2.1 Variasi kondisi yang dapat menimbulkan CRHs di plasma
meningkat.(Elamin M, Camporessi E, 2009).
Respon metabolik terhadap stres memiliki dampak yang besar terhadap
gangguan metabolisme karbohidrat. Peningkatan sekresi CRH menimbulkan
peningkatan produksi karbohidrat endogen sebagai akibat akselarasi hepatik
glukoneogenesis. Sumber substrat endogen untuk mendukung glukoneogenesis
hepatik berasal gliserol (lipolisis), alanin (proteolisis) dan laktat (glikolisis
anaerob). Peningkatan produksi karbohidrat ini dibarengi dengan resisten terhadap
insulin yang menyebabkan hiperglikemia. Kadar insulin dalam batas normal atau
diatas ambang normal, namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia.
Hiperglikemia dapat juga terjadi akibat penurunan aktivitas sintesa glikogen
diotot. (Chiolero R, Revelly JP, Tappy L, 1997).
Asam lemak bebas merupakan salah satu sumber energi selain laktat dan
asam amino setelah mengalami sepsis. Trigliserida menyediakan 50-80% dari
energi yang dibutuhkan. Energi sangat dibutuhkan untuk proses glukoneogenesis
hepatik. Lipolisis adalah percepatan metabolisme lemak yang terjadi pada periode
awal akibat stimulasi CRH. Energi dilepaskan melalui proses oksidasi lemak yang
merupakan sumber energi sel hati. Hanya sebagian glukosa mengalami oksidasi
dan 80-90% energi yang dibutuhkan untuk proses glukoneogesis hepatik berasal
oksidasi lemak (Simsek T, Simsek HU, Canturk NZ, 2014).

Universitas Sumatera Utara

16

Gambar 2.2 Glukoneogenesis hepatik (Chiolero R, Revelly JP, Tappy L, 1997)

Respon metabolik tubuh terhadap stres terjadi melalui dua fase, yaitu fase
ebb dan fase flow (Preiser JC et al ,2014).
1. Fase Ebb
Fase ebb dimulai segera setelah terjadi stres, baik akibat trauma atau sepsis
dan berlangsung selama 12-24 jam. Namun, fase ini dapat berlangsung
lebih lama, tergantung pada keparahan trauma dan kecukupan resusitasi.
Fase ebb disamakan juga dengan periode syok yang memanjang dan tidak
teratasi, yang ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan penurunan
aktivitas metabolik secara keseluruhan. Sebagai upaya kompensasi tubuh
terhadap keadaan ini, hormon katekolamin akan dikeluarkan, dimana
norepinefrin menjadi mediator utama pada fase ebb. Norepinefrin
dikeluarkan dari saraf perifer dan berikatan dengan reseptor beta 1 di
jantung dan reseptor beta 2 di perifer dan dasar vaskular splanknik. Efek
paling penting adalah pada sistem kardiovaskular, karena norepinefrin
merupakan

stimulan

kuat

jantung,

menyebabkan

peningkatan

kontraktilitas dan denyut jantung dan vasokonstriksi. Hal ini merupakan
usaha dalam mengembalikan tekanan darah, meningkatkan perfoma
jantung dan maksimalisasi venous return. Hiperglikemia mungkin terjadi
pada fase ebb. Hiperglikemia terjadi akibat glikogenolisis hepar yang

Universitas Sumatera Utara

17

merupakan efek sekunder dari katekolamin dan akibat stimulasi simpatik
langsung dari pemecahan glikogen. Hiperglikemia yang terjadi setelah
trauma merupakan masalah yang sangat penting untuk segera diatasi
karena dapat menempatkan pasien pada kondisi berisiko tinggi terhadap
berbagai komplikasi, masa penyembuhan yang lebih lama, peningkatan
waktu lama rawat, bahkan dapat menyebabkan kematian.

2. Fase Flow
Permulaan fase flow, yang meliputi fase anabolik dan katabolik, ditandai
dengan curah jantung (CO) yang tinggi dengan restorasi oxygen delivery
dan substrat metabolik. Durasi fase flow tergantung pada keparahan trauma
atau adanya infeksi dan perkembangan menjadi komplikasi. Secara khas,
puncak fase ini adalah sekitar 3-5 hari, dan akan turun pada 7-10 hari, dan
akan melebur ke dalam fase anabolik selama beberapa minggu. Selama
terjadi fase hipermetabolik, insulin akan meningkat, namun peningkatan
level katekolamin, glukagon, dan kortisol akan menetralkan hampir semua
efek metabolik dari insulin. Peningkatan mobilisasi asam amino dan free
fatty acids dari simpanan otot perifer dan jaringan adiposa merupakan
akibat dari ketidak seimbangan hormon-hormon tersebut. Beberapa
hormon akan mengeluarkan substrat yang digunakan untuk produksi
energi salah satunya secara langsung sebagai glukosa atau melalui liver
sebagai trigliserid. Substrat lainnya akan berkontribusi terhadap sintesis
protein di liver, dimana mediator humoral akan meningkatkan produksi
reaktan fase akut. Sintesis protein yang serupa juga terjadi pada sistem
imun guna menyembuhkan kerusakan jaringan. Fase hipermetabolik ini
melibatkan proses katabolik dan anabolik, hasilnya adalah kehilangan
protein secara signifikan, yang ditandai dengan keseimbangan nitrogen
negatif dan penurunan simpanan lemak. Hal ini akan menuju pada
modifikasi komposisi tubuh secara keseluruhan, ditandai dengan
kehilangan protein, karbohidrat, dan simpanan lemak, disertai dengan
meluasnya kompartemen cairan ekstraselular.

Universitas Sumatera Utara

18

Fase Flow
ENERGY
EXPENDITURE

Fase Ebb
Adaptasi

12-14 jam

Hari ke 7

Waktu

Gambar 2.3 Fase ebb dan fase flow (Preiser JC et al.,2014).

2.1.7

Keadaan hiperkatabolik pada sepsis
Salah satu tanda penting dari respon metabolik adalah keadaan

hiperkatabolik dimana terjadi balans nitrogen negatif. Hiperkatabolik adalah
percepatan proteolisis pada otot skelet, guna memenuhi substrat endogen yang
diperlukan pada proses glukoneogenesis hepatik. Balans nitrogen artinya
selisih antara nitogen yang dikonsumsi dengan nitrogen yang dikeluarkan.
Balans nitrogen negatif adalah suatu kondisi dimana hilangnya nitrogen lebih
besar daripada asupan nitrogen, begitu juga sebaliknya pada balans nitrogen
positif berarti kondisi yang optimal untuk pertumbuhan dimana asupan protein
lebih besar daripada nitrogen yang dikeluarkan (Heindorff H, Schulze S,
Mogensen T, 1992).
Mengurangi laju glukoneogenesis hepatik dengan somastatin tidak
menimbulkan efek pengurangan yang berarti pada pemecahan otot di perifer.
Studi

menunjukkan

bahwa

percepatan

pembentukan

glukosa

tidak

berhubungan dengan peningkatan kadar pemecahan protein diperifer. Tingkat

Universitas Sumatera Utara

19

kehilangan nitrogen sebanding dengan tingkat stress dan akan kembali normal
jika pasien telah sehat kembali. Peningkatan pemecahan protein tidak hanya
dimodulasi oleh CRH, namun beberapa mediator seperti sitokin proinflamasi
seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan interferon mempunyai andil dalam memodulasi
aktivitas katabolik. Keseimbangan antara hormon katabolik dan hormon
anabolik seperti insulin dan insulin-like growth factors mencerminkan derajat
proses katabolik itu sendiri. Beberapa jalur yang bertanggung jawab terhadap
proteolisis pada sel otot termasuk aktivasi lisosomal kalsium dan ubiquitin.
Selain itu, terjadi peningkatan enzim glutamin sintase yang menyebabkan
pengeluaran asam amino beserta glutamin dari sel otot. Hati juga
berkontribusi didalam katabolik melalui peningkatan kliren urea. (Heindorff
H, Schulze S, Mogensen T, 1992; Heindorff H, Billesbolle P, Pedersen SL,
Hansen R, Vistrup H, 1995)
Selama stres metabolik tersebut berlangsung, organ hati akan
meningkatkan sintesa protein fase akut seperti fibrinogen, komplemen,
imunoglobulin, dan CRP. Peningkatan protein sebagai respon kemampuan
tubuh dalam melawan infeksi. Secara simultan akan terjadi pengurangan
sintesa protein plasma seperti albumin, prealbumin, transferin dan retinol
binding protein (Brown JA, Gore DC, Jahoor F,1994)
TRAUMA,
SEPSIS,
PEMBEDAHAN

Sitokin dan Mediator
inflamasi

Epinefrin
Norepinefrin

HIPERKATABOLIK

SUBSTRAT
ENDOGEN ↓

Adipokines

Saluran Cerna

ANABOLIK ↓

MASSA
TUBUH↓

Gambar 2.4 Hiperkatabolik terhadap tubuh (Preiser JC et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara

20

Derajat perubahan katabolik berhubungan dengan durasi dan jenis jejas
yang terjadi. Pada keadaan stres metabolik akibat trauma, proteolisis sistemik
terjadi akibat stimulasi oleh hormo glukokortikoid. Terjadi peningkatan katabolik
dan peningkatan nitrogen di urin mencapai 30 gram/hari. Berdasarkan perhitungan
ini, pasien yang mengalami trauma tanpa pemberian nutrisi akan kehilangan 15%
massa tubuhnya dalam kurun waktu 10 hari. Begitu juga pada stres metabolik
pada jenis jejas yang lain, pada keadaan sepsis akan terjadi hiperkatabolik dan
peningkatan nitrogen di urin mencapai 20-30 gram/hari. Pada luka bakar yang
luas akan terjadi peningkatan nitrogen 30-40 gram/hari dan paska pembedahan