Hubungan gejala klinis dengan hasil tes cukit kulit pada pasien dengan rinitis alergi di RSUP. H. Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rinitis Alergi
RA merupakan masalah global yang menyerang masyarakat disegala usia dan
suku bangsa. Berdasarkan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma-World Health
Organization (ARIA-WHO) 2008, RA didefinisikan sebagai suatu inflamasi mukosa
hidung berupa kelainan pada hidung yang dipicu oleh paparan alergen dan
diperantarai oleh IgE. Kelainan ini pertama kali di definisikan pada tahun 1929 :
dimana “ada tiga gejala utama gejala hidung yang ditimbulkan oleh alergi yaitu
bersin, hidung buntu, dan hidung berair” (Bosquet et al., 2008; Jimenes et al., 2012).
Saat ini prevalensi RA meningkat di negara berkembang dan jumlahnya
bervariasi sekitar 10-20%. RA merupakan bagian komponen dari alergi, sehingga
berhubungan dengan dermatitis atopi, urtikaria dan asma, selain itu juga
berhubungan dengan inflamasi saluran nafas atas seperti otitis media dan sinusitis.
Survey terhadap suatu populasi memperkirakan bahwa ada sekitar 38% pasien
dengan RA yang juga menderita asma dan 78% pasien asma menderita RA. Pada
orang dewasa dengan riwayat keluarga asma dan rinitis, risiko untuk menderita
rinitis 2-6 x lebih besar dan untuk menderita asma 3-4 x lebih besar dibanding
dengan orang dewasa lainnya tanpa riwayat keluarga asma dan rinitis. Adapun
manifestasi klinis RA meliputi hidung berair, hidung buntu, hidung gatal, dan bersin.
Selain itu dapat juga dijumpai keluhan pada mata, telinga dan bisa juga dijumpai

rasa gatal pada tenggorokan. Terkadang gejala tersebut bisa tidak dijumpai, dan
baru muncul setelah terpapar alergen. Reaksi alergi biasanya disebabkan oleh
aeroalregen termasuk didalamnya debu tungau rumah, serbuk sari, bulu binatang
dan jamur serta jenis alergen yang lainnya (Yuen et al., 2007; Nunes & Sole, 2010;
Sur et al., 2014).
Berdasarkan klasifikasi reaksi alergi yang dibuat oleh Gell & Comb, reaksi alergi
pada RA dikelompokkan kedalam reaksi alergi tipe 1. Dimana RA disebabkan oleh
reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE terhadap alergen spesifik. Algoritma
penatalaksanan RA bergantung pada identifikasi terhadap alergen penyebab dan
beratnya gejala, sedangkan jenis aeroalergen sangat bergantung pada lingkungan
sekitarnya. Gejala RA itu sendiri dapat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Meskipun manifestasi klinis RA lebih banyak muncul saat masih anak-anak, tetapi

Universitas Sumatera Utara

hampir 30% pasien menunjukkan gejala klinis saat sudah mencapai usia dewasa
(Yuen et al., 2007; Nunes & sole, 2010; Ankle, 2016).
2.2 Klasifikasi

Gambar 2.1 Klasifikasi Rinitis Alergi

(Bailey, Johnson, & Newlands, 2006; Hu, 2008)
Gambar 2.1 menunjukkan klasifikasi RA. Penyakit dikategorikan RA intermiten
bila gejala muncul kurang dari atau sama dengan 4 hari per minggu atau kurang dari
sama dengan 4 minggu, dan persisten bila gejala timbul lebih dari 4 hari per minggu
dan lebih dari 4 minggu. Derajat penyakit dinilai berdasarkan ada atau tidaknya
hambatan aktivitas yang memengaruhi kualitas hidup. Derajat dikategorikan ringan
apabila tidak terdapat hambatan aktivitas, atau dikategorikan sedang-berat bila
terdapat satu atau lebih hambatan dalam tidur, aktivitas sehari-hari saat berolah
raga, saat bekerja dan sekolah serta ada keluhan yang mengganggu (Pitarini et al.,
2015).
2.3 Kekerapan
Prevalensi RA di dunia saat ini seperti yang dikutip oleh Sudiro dkk tahun 2010
mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita RA dari seluruh etnis dan usia.
Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita RA, 14,3% dijumpai pada
laki-laki dan 12% dijumpai pada perempuan. Di Indonesia belum diperoleh angka
yang pasti mengenai prevalensi RA, di Bandung ditemukan prevalensi yang tinggi
pada anak usia 10 tahun yaitu sebesar 5,8% (Sudiro, Mediapora & Purwanto, 2010).
2.4 Gejala Klinis
Manifestasi klinis RA dapat berupa :


Universitas Sumatera Utara

2.4.1 Hidung buntu
Hidung buntu pada RA terjadi akibat terhambatnya aliran udara akibat kongesti
sementara yang bersifat vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini
diperantarai reseptor H1, yang berakibat pelebaran vena kavernosa sinusoid dalam
mukosa konka, sehingga terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung.
Timbunan sekret dalam hidung juga menambah sumbatan hidung. Peningkatan
aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi yang berakibat hidung buntu
(Lumbanraja, 2007).
2.4.2 Hidung berair
Hidung berair pada RA didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar
membran mukosa hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit setelah paparan
alergen dan berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Sekresi kelenjar tersebut
terjadi akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya cairan plasma dan
molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler pembuluh darah hidung.
Histamin yang dilepaskan oleh mastosit menjadi penyebab utama hidung berair,
yang diduga oleh karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui
reaksi langsung pada reseptor H1 (Lumbanraja, 2007).
2.4.3 Bersin

Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin pada RA. Bersin
disebabkan oleh stimulasi reseptor H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve
ending) (Lumbanraja, 2007).
2.4.4 Hidung gatal
Gatal pada hidung diduga disebabkan berbagai mediator yang bekerja pada
serabut saraf halus C tak bermyelin dekat bagian basal, epidermis atau mukosa,
yang dapat menimbulkan rasa gatal khusus, yang terjadi saat histamin berikatan
dengan reseptor H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan dapat terjadi langsung
pasca provokasi histamin. (Lumbanraja, 2007).
Selain gejala klinis diatas pada pemeriksaan fisik pasien dengan RA dapat
ditemukan tanda-tanda objektif berupa allergic shiners yaitu warna kehitaman yang
dijumpai pada daerah infraorbita yang disertai dengan pembengkakan. Perubahan
ini terjadi karena adanya stasis vena yang disebabkan edema dari mukosa hidung
dan sinus. Sekret hidung dapat berupa serous atau mukoserous, konka pucat atau
keunguan (livide) dan edema, faring berlendir. Tanda lain yang sering timbul adalah

Universitas Sumatera Utara

munculnya garis tranversal pada punggung hidung yang disebut dengan allergic
crease dan karena gatal penderita RA sering menggosok-gosok hidung yang dikenal

dengan istilah allergic salute, biasanya tanda-tanda tersebut timbul setelah gejala
dialami penderita RA lebih dari dua tahun (Widuri & Suryani, 2011).

Gambar 2.2 Patofisiologi Hidung Gatal dan Bersin (Pfaar, 2009)
Gambar 2.2 menunjukkan proses yang berkaitan dengan neurogenic inflamation
yang menyebabkan gejala berupa hidung gatal dan bersin. Aktivasi C-fibres aferen
trigeminal oleh beberapa stimulus termasuk kontak alergen yang menghasilkan
pelepasan substansi P dan calcitonin-gene related peptide (CGRP) melalui refleks
axonal. Selanjutnya akan menyebabkan vasodilatasi, edema dan migrasi sel-sel
inflamasi (Pfaar, 2009).
2.5 Patogenesis
Mukosa hidung, merupakan daerah yang langsung berhubungan dengan
lingkungan luar dan terus menerus terpapar dengan polusi udara, virus patogen,
bakteri, spora jamur dan alergen yang berasal dari serbuk sari, debu rumah, debu
tungau dan bulu binatang dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hidung berfungsi
untuk melindungi saluran nafas bawah dari dampak buruk akibat paparan tersebut
dengan cara menyaring dan menghangatkan udara inspirasi yang masuk melalui
hidung (Corey, 2009; Jimenez et al., 2012).
Pada RA bisa terjadi inflamasi membrana mukosa hidung, mata, tuba Eustachius,
telinga tengah, hidung, sinus dan faring. Hidung merupakan organ yang sudah pasti

terkena, sedangkan organ yang lain dapat bersifat individual. Inflamasi pada
membrana mukosa memiliki karakteristik yang disebabkan oleh interaksi berbagai
mediator inflamasi tetapi yang paling dominan berperan adalah IgE. Kecenderungan

Universitas Sumatera Utara

untuk berkembang menjadi alergi tehadap alergen erat kaitannya berhubungan
dengan komponen genetik yaitu riwayat atopi (Barata, 2004 & Deraz, 2010).
Karakteristik yang membedakan RA dengan rinitis lainnya adalah adanya
keterlibatan dari IgE. IgE itu sendiri adalah suatu fraksi terkecil dari serum manusia,
akan tetapi aktifitas biologis IgE dipengaruhi oleh aktifitas reseptor permukaan
spesifik yang berikatan dengannya. Dampak ikatan antibodi-anti IgE pada gejala RA
membuktikan peranan IgE dalam patofisiologi RA (Poetker & Smith, 2009; Smal &
Kim, 2012).
Gejala klinis RA berlangsung dalam beberapa fase, yaitu :
-

Fase sensitisasi

Setiap individu dengan dugaan penyakit alergi, kontak awal dengan alergen akan

menghasilkan produksi molekul IgE spesifik sebagai suatu proses yang dinamakan
sensitisasi. Hal ini dimulai ketika makrofag dan Antigen Presenting Cel

(APC)

sebelum dipresentasikan pada sel T helper, yang kemudian berinteraksi dengan
limfosit B dan kemudian mengalami diferensiasi menjadi sel IgE plasma. Bentuk
baru molekul antigen IgE spesifik ini disekresikan dan berikatan dengan reseptor
afinitas tinggi (FceRI) yang berada pada sel mast dan basofil, platelet, eosinofil
teraktifasi, dan sel langerhans dan menjadi afinitas rendah (FceRII/CD23) yang
berada pada berbagai jenis sel termasuk sel B, makrofag, monosit sel dendrit
folikular dan eosinofil. Reseptor IgE afinitas tinggi pada sel mast berperan pada
respon alergi awal (Poetker & Smith, 2009).
-

Fase respon cepat

Fase ini diperantarai oleh sel mast dan basofil. Pada individu yang telah
tersensitisasi, paparan berulang dengan alergen yang sama memulai langkah kedua
pada proses respon alergi, yaitu suatu reaksi alergi cepat, dengan karakteristik

hidung berair, hidung buntu, bersin dan hidung gatal. Cross link IgE dengan alergen
muncul sangat cepat sekitar 5 menit dan dapat bervariasi bergantung pada mediator
kedua jenis sel tersebut, termasuk histamin, prostaglandin, kininogen dan protease
(triptase, kinase) serta TNF α. Dalam fase kedua ini pada rongga hidung, terjadi
interaksi antigen dengan molekul IgE spesifik pada permukaan sel mast. Eksudasi
plasma menghasilkan edema pada mukosa hidung. Eksudasi juga menimbulkan
pelepasan mediator dan enzim termasuk kinin, albumin, mediator proinflamasi, dan
fraksi komplemen aktifasi yang tampak pada sekret hidung. Pada reaksi fase cepat

Universitas Sumatera Utara

juga terjadi aktifasi sel epitel dan pelepasan neuropeptida substansi P (Poetker &
Smith, 2009; Jimenez et al., 2012).
-

Fase respon lambat

Fase respon lambat muncul 4-6 jam setelah paparan alergen dengan karakteristik
berupa terkumpulnya sel-sel inflamasi diantaranya eosinofil, basofil, makrofag dan
sel T yang dihasilkan oleh aktivasi sel endotelial pada ujung vena kapiler oleh

mediator inflamasi yang dikeluarkan selama fase respon cepat. Pada fase ini terjadi
peningkatan gejala dan karakteristik level mediator dibandingkan reaksi alergi cepat.
Jika dilakukan monitor secara terus menerus terhadap respon selama beberapa jam,
gejala timbul kembali, berhubungan dengan tingginya mediator inflamasi yang
dijumpai pada sekitar 50% pasien, dapat menunjukkan adanya fase respon lambat.
Selama fase respon lambat, penderita kembali mengalami gejala bersin, hidung
berair, dan hidung buntu, dengan gejala yang paling dominan adalah hidung buntu.
Mediator inflamasi dilepaskan selama reaksi fase lambat yang kemudian
menstimulasi produksi, maturasi dan infiltrasi sel inflamasi, termasuk basofil,
eosinofil, neutrofil, dan sel mononuklear yang dapat ditemukan pada sekret hidung
(Poetker & Smith, 2009; Jimenez et al., 2012).

Gambar 2.3 Patofisiologi Rinitis Alergi (Okubo et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 menunjukkan patofisiologi RA dimulai dari fase sensitisasi, dimana
terjadi kontak pertama kali terhadap alergen diikuti fase respon cepat yang ditandai
dengan pelepasan berbagai mediator inflamasi serta munculnya gejala klinis RA
berupa hidung buntu, hidung berair, bersin. Kemudian dilanjutkan dengan fase

respon lambat dan gejala RA muncul kembali pada fase ini.
2.6 Diagnosis
Diagnosis RA ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan endoskopi hidung, dan pemeriksaan TCK. Pemeriksaan
laboratorium dapat juga dilakukan untuk membantu menegakkan diganosis.
Keberadaan bersin, hidung berair, hidung buntu, hidung gatal, mukosa hidung pucat,
edema dan pucat atau kebiruan pada konka merupakan tanda dan gejala yang
berhubungan dengan RA. Pemeriksaan TCK dan antibodi Ig E merupakan
pemeriksaan yang sering dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis RA.
Sedangkan pemeriksaan yang tidak rutin dilakukan adalah tes provokasi hidung
(Jenimez et al., 2012; Karabulut et al., 2012; Lakhani, 2012).
2.7 Penatalaksanaan
Langkah utama dalam penatalaksanaan RA adalah menghindari alergen yang
diduga sebagai penyebab alergi dan menghilangkan alergen tersebut dari
lingkungan si penderita. Antihistamin dan steroid topikal masih efektif digunakan
untuk mengontrol gejala dan inflamasi pada RA. Akan tetapi mengontrol gejala saja
tidak cukup, imunoterapi dapat juga dipertimbangkan sebagai terapi alternatif
(Karabulut et al., 2012).
Selain menghindari alergen penatalaksanaan RA terdiri dari medikamentosa dan
imunoterapi. Medikamentosa pada penatalakanaan RA diperlukan seumur hidup

selama gejala RA masih timbul. Sedangkan Imunoterapi adalah pengobatan kausal
untuk desensitisasi yang membutuhkan waktu lama ±5 tahun serta biaya yang cukup
besar. Oleh karena penatalaksanaan RA membutuhkan waktu yang lama, biaya
yang besar serta pentingnya tingkat kepatuhan dari penderita, apabila tidak
dilakukan tatalaksana dengan baik maka akan berakibat timbulnya komplikasi
seperti sinusitis, dan otitis media yang akan menambah angka morbiditas serta
beban biaya berobat yang harus dikeluarkan oleh penderita RA (Utama, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Algoritma Diagnosis dan Tatalaksana Rinitis Alergi
(Bosquet et al., 2008)

Gambar 2.4 menunjukkan algoritma penatalaksanaan RA, bergantung pada tipe
dan derajat RA. Mulai dari terapi medikamentosa baik sistemik maupun topikal,
sampai terapi bedah dapat diberikan pada penderita RA.
2.8 Rinitis Alergi dan Kualitas Hidup
Saat ini RA banyak dihubungkan dengan penyakit saluran pernafasan lainnya,
yang dapat meningkatkan komorbid dan biaya pengobatan yang cukup tinggi
sehingga berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi penderitanya. Ternyata,
tingkat keparahan dan lamanya penyakit memiliki hubungan yang erat dampaknya

Universitas Sumatera Utara

terhadap kualitas hidup penderita RA, berkaitan dengan kualitas tidur dan tampilan
profesionalnya didalam masyarakat (Nunes & Sole, 2010).
Kualitas hidup saat ini diukur dengan menggunakan kuesioner perorangan yang
multidimensi mencakup aspek fisik, sosial dan ekonomi, yang berhubungan dengan
pekerjaan dan penyakit itu sendiri. Untuk menilai kualitas hidup dapat digunakan dua
buah kuesioner yaitu visual analoque scale (VAS) dan Rhinoconjunctivitis Quality of
Life Questionnare (RQLQ). VAS adalah metode kuantitatif yang digunakan untuk
menilai keparahan penyakit alerginya. RQLQ adalah alat untuk menilai keparahan
penyakit rinitis yang dikembangkan oleh Junifer EF dkk terhadap kuantitas masalah
fungsional (fisik, emosional, sosial dan pekerjaan). Mengevaluasi skor lima gejala
intensitas hidung berair, hidung gatal, hidung buntu dan bersin. Jumlah total skor
gejala diperoleh dengan menjumlahkan seluruh skor gejala. Skor lebih dari 6
didefinisikan sebagai RA sedang-berat (Sur, 2014).
Adapun beberapa dampak yang dapat ditimbulkan RA itu sendiri adalah :
a. Dampak terhadap tidur, dimana gangguan tidur dapat mempengaruhi kualitas
hidup, mudah lelah, lekas marah, dan kemampuan mengingat yang berkurang.
Gangguan tidur juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental
dan dapat menyebabkan gangguan kejiwaan, depresi dan kecemasan. Pada pasien
RA, kualitas hidup yang terganggu tidak hanya disebabkan oleh gejala klinis
penyakit saja, seperti bersin, hidung gatal, hidung berair dan hidung buntu saja,
tetapi juga disebabkan oleh aktivitas mediator yang turut serta dalam patofisiologi
dan dapat mengganggu tidur. Diantaranya adalah histamin, leukotrien, interleukin,
prostaglandin, bradikinin dan lain-lain.
b. Dampak terhadap belajar dan kehidupan sosial. Meningat dan belajar adalah
salah satu karakteristik fungsional yang dapat terganggu pada pasien RA, dimana
dampaknya sangat penting terhadap kemampuan intelektual. Faktanya, pasien RA
yang sedang bergejala tidak mampu mengontrol masalah belajarnya, meskipun tidak
terjadi secara langsung, tetapi gejalanya dapat berpengaruh terhadap kualitas tidur
dimalam hari sehingga menimbulkan kelehahan pada siang harinya.
c. Dampak terhadap produktivitas dan sosioekonomi. Rinitis, seperti halnya asma
merupakan keadaan kronis yang berdampak besar terhadap kondisi sosial ekonomi
pasiennya dan keluarganya serta asuransi kesehatannya. Hal ini erat kaitannya
dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh penderitanya seperti biaya

Universitas Sumatera Utara

untuk berobat ke poliklinik, laboratorium, obat-obatan dan imunoterapi. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan RA dan asma memiliki keterbatasan
dalam produktivitasnya dan setengahnya mengalami kehilangan pekerjaan.
Kondisi kronis yang menyerang anak-anak, remaja dan dewasa penderita RA
sering terjadi oleh karena tidak terdiagnosis dengan baik sehingga tidak
mendapatkan terapi yang adekuat (Nunes & Sole, 2010).
2.9 Tes Cukit Kulit
Pemeriksaan TCK pertama kali digunakan oleh Dr. Charles Blackley dalam
mendiagnosis serbuk sari sebagai penyebab demamnya pada tahun 1873. Pada
tahun 1924 metode TCK baru diperkenalkan dan pada tahun 1974 Prof. Jack Pepys
melakukan modifikasi pada pemeriksaan ini. Saat ini alergen dan lanset yang
dipergunakan sudah terstandardisasi dan teknik ini sudah digunakan secara umum
untuk mendiagnosis alergi yang diperantarai oleg IgE. TCK merupakan prosedur
yang relatif aman untuk dilakukan dan hanya satu orang yang pernah dilaporkan
meninggal dalam pemeriksaan ini. Meskipun demikian secara teoritis memungkinkan
untuk terjadinya reaksi anafilaksis, sedangkan reaksi sistemik ringan yang mungkin
dijumpai adalah rasa gatal dan kemerahan yang jarang tetapi pernah dilaporkan
sekitar 1: 3000 pasien yang menjalani pemeriksaan (Morris, 2006).
TCK merupakan alat diagnosis utama dan direkomendasikan sebagai alat
diagnosis untuk mendeteksi reaksi alergi tipe cepat karena terdapat korelasi yang
tinggi dengan tingkat gejala sehingga dapat menjadi standar bila dibandingkan
dengan alat diagnosis lainnya, selain itu TCK juga dapat diandalkan untuk
mendiagnosis penyakit alergi yang diperantarai oleh IgE pada pasien-pasien dengan
rinokonjunctivitis, asthma, urtikaria, anafilaksis, eksim atopik dan dugaan alergi
makanan dan obat-obatan. Dengan kata lain TCK dapat membantu untuk
mendiagnosis dugaan alergi tipe-I (Sudiro, Mediapora & Purwanto, 2010;
Krzanowska, 2014).
Tes ini mengevaluasi keberadaan antibodi IgE spesifik pada sel mast kulit,
reaktifitas sel dan reaksinya pada organ-organ yang melepaskan mediator.
Keuntungan tes ini adalah sangat sensitif, memperoleh hasil yang cepat, dan relatif
murah. Seperti halnya tes diagnosis lainnya, tes ini juga memiliki kekurangan yaitu
tidak dapat dilakukan pada pasien-pasien yang menderita penyakit kulit seperti
dermatografisme dan eksim yang luas, terutama pada anak-anak karena

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan ini menggunakan tusukan pada kulit, serta penggunaan obat-obatan
antihistamin yang dapat mengganggu dan adanya kemungkinan reaksi sistemik
(Skoner, 2001; Morris, 2006).
TCK dimulai dengan menusukkan alergen dengan dosis yang rendah. Setetes
alergen ditusukkan pada kulit di bagian volar lengan bawah, ditusukkan dengan
menggunakan benda yang runcing. Respon positif timbul setelah 10-15 menit dan
menimbulkan tanda yang khas berupa indurasi pada daerah tengah dengan eritema
pada daerah sekitarnya. Reaksi ini dibandingkan dengan reaksi positif pada kodein
atau histamin, dan kontrol negatif dengan ekstrak alergen yang termasuk sebagai
kontrol untuk reaksi nonspesifik. Tes positif menunjukkan adanya

reaksi

hipersensitifitas tipe-I (reaksi alergi tipe cepat), atau dengan kata lain, pada epikutan
individu tersebut terdapat kompleks IgE-sel mast. Untuk menjamin akurasinya, TCK
harus dilaksanakan setelah terlampaui masa wash out obat anti alergi terakhir yang
dikonsumsinya (Skoner, 2001; Krzanowska, 2014).
2.10 Visual Analogue Scale, RQLQ dan Symptom Score
RA sering dihubungkan dengan gangguan pada kualitas hidup, produktivitas
pekerjaan maupun sekolah. Penderitanya mungkin juga mengalami gangguan tidur,
masalah emosional, gangguan dalam beraktivitas dan bersosialisasi. Karena alasan
inilah mengapa ARIA mengklasifikasikan beratnya gejala RA berdasarkan kuesioner
Quality of life dan symptom severity. Meskipun demikian, sistem yang dibuat oleh
ARIA tersebut, terdiri atas beberapa pertanyaan dan tidak dapat diukur. Sehingga
Task Force baru-baru ini mengeluarkan VAS sebagai parameter untuk mengukur
beratnya gejala pada RA. VAS adalah alat ukur kuantitatif yang banyak digunakan
untuk berbagai penyakit. Skala ini dapat digunakan untuk menilai beratnya gejala
RA. VAS menggunakan skala 0-10cm. Jika VAS kurang dari 5cm termasuk dalam
kategori ringan, sedangkan jika lebih dari 6cm masuk dalam kategori RA sedangberat (Bosquet et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.11 Kerangka Konsep
Alergen inhalan

Mukosa hidung

(Antigen)
Jumlah APC mukosa

MHC klas II

Sel Th0

Kadar IL3,IL4,IL5,IL13
eosinofil,
neutrofil
TCK

Fase
sensitisasi
Kadar IL2

Jumlah
sel B
Alergen
inhalan
(Antigen)
paparan
berikutnya

Kadar Ig E
Jumlah
Basofil

Fase
Respon
lambat

Jumlah
sel mast

Histamin, Heparin, Triptase,
Prostaglandin, leukotrien

Gejala klinis RA :
-

Hidung buntu
Hidung berair
Bersin
Hidung gatal

Umur, Jenis
kelamin,
Riwayat atopi,
Keluhan
utama, VAS
score, RQLQ,
Symptom

Fase
Respon
cepat

Manifestasi RA (tipe dan derajat)
Ket :

: variabel penelitian

Universitas Sumatera Utara