Hubungan gejala klinis dengan hasil tes cukit kulit pada pasien dengan rinitis alergi di RSUP. H. Adam Malik Medan

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alergi pada saluran nafas merupakan alergi yang paling sering dijumpai pada
masyarakat di belahan dunia. Aeroalergen atau alergen inhalan memegang peranan
penting dalam terjadinya alergi pada saluran pernafasan, khususnya asma dan
Rinitis Alergi (RA) (Mahram, Barikani, dan Nejatian, 2013).
Saat ini terjadi peningkatan prevalensi RA di seluruh dunia, dimana RA menjadi
masalah kesehatan global yang berpengaruh pada sekitar 10 hingga 25% populasi
penduduk. Prevalensi RA di negara maju dijumpai lebih tinggi, seperti di Inggris yang
mencapai 29%, di Denmark sebesar 31,5%, dan di Amerika berkisar 33,6%.
Sedangkan prevalensi RA di

Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung

mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Indonesia aeroalergen yang paling
sering menyebabkan RA adalah tungau debu rumah (Widuri dan Suryani, 2011;
Rambe et al., 2013).
RA adalah suatu inflamasi yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE), dengan
karakteristik berupa hidung buntu, hidung berair, bersin, dengan atau tanpa hidung
gatal. Dapat juga didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung yang timbul ketika

seseorang terpapar dengan sesuatu yang menyebabkan alergi yang dikenal dengan
istilah alergen diantaranya dapat berupa bulu binatang atau serbuk sari, yang
menyebabkan munculnya gejala klinis RA (Seidman et al., 2015).
RA yang kronis dan sering kambuh menyebabkan penurunan produktivitas kerja
sampai kehilangan hari di sekolah terutama pada anak. Keadaan ini dapat
mengganggu kualitas hidup penderitanya oleh karena timbulnya rasa lelah, sakit
kepala dan kelemahan kognitif. Saat ini ada banyak cara yang digunakan oleh para
peneliti untuk menilai kualitas hidup penderita RA, diantaranya adalah dengan
menggunakan berbagai kuesioner seperti Rhinoconjunctivitis Quality of Life
Questionnare, symptom score dan Visual Analgue Scale. Kuesioner tersebut dapat
menggambarkan bagaimana kualitas hidup penderitanya. Apakah masih dalam
kategori ringan atau sedang-berat. (Sudiro, Mediapora dan Purwanto, 2010; Sur,
2014).
Lumbanraja (2007) melakukan penelitian mengenai RA, diperoleh kelompok
umur terbanyak adalah 21-30 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Pada
penelitian ini juga diperoleh bahwa alergen tungau debu rumah merupakan jenis

Universitas Sumatera Utara

alergen yang paling dominan dijumpai pada hasil pemeriksaan Tes Cukit Kulit

(TCK). sedangkan Irawaty (2011) melakukan penelitian mengenai hubungan gejala
klinis rinosinusinitis kronis dengan hasil TCK, dari penelitian tersebut diperoleh
hubungan yang bermakna antara gejala klinis rinosinusitis kronis dengan TCK positif
(Irawaty, 2011; Lumbanraja, 2007).
Karabulut et al (2012) melakukan penelitan mengenai hubungan gejala klinis
dengan hasil TCK pada pasien dengan RA, tidak diperoleh hubungan yang
signifikan antara bersin, hidung berair, hidung gatal, hidung buntu, sakit kepala, post
nasal drip dengan TCK positif. Tetapi terdapat hubungan yang signifikan antara
keluhan pada mata (berair, gatal dan sekret) dengan hasil TCK. Begitu pula dengan
penelitian yang diperoleh Chaiyasate et al (2009) bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara gambaran karakteristik gejala hidung dengan TCK positif.
sedangkan Yuen et al (2007) meneliti riwayat penyakit dan beratnya gejala dengan
hasil TCK pada penderita rinitis kronis, dan terdapat hubungan antara riwayat
penyakit dan beratnya gejala dengan hasil TCK (Chaiyasate et al., 2009; Karabulut
et al., 2012; Yuen et al., 2007).
Adapun pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis RA dibagi kedalam dua
kelompok, yaitu pemeriksaan in vitro dan pemeriksaan in vivo. Pemeriksaan in vitro
bertujuan untuk menilai keberadaan serum IgE spesifik. Sedangkan pemeriksaan in
vivo didasarkan pada keberadaan alergen IgE spesifik pada kulit misalnya TCK, tes
intrademal, dan tes tempel. Ada banyak subjek dengan hasil TCK positif dan atau

terdeteksi serum IgE spesifik tetapi tanpa gejala klinis alergi (Tatar et al., 2012).
Hal tersebut diatas yang menjadi alasan mengapa perlu diteliti lebih jauh
hubungan gejala klinis dengan hasil TCK pada pasien dengan RA. Karena ada
banyak pasien dengan keluhan hidung buntu, hidung berair, bersin, hidung gatal
tetapi dengan hasil TCK negatif, demikian juga sebaliknya ada pasien dengan hasil
TCK positif tetapi tanpa gejala klinis RA.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah
terdapat hubungan antara gejala klinis dengan hasil TCK pada pasien dengan RA di
RSUP. H. Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara gejala
klinis dengan hasil TCK pada pasein dengan RA di RSUP. H. Adam Malik Medan.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi karakteristik penderita RA
2. Mengetahui distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan visual analog scale (VAS)

score.
3. Mengetahui distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan symptom score
4. Mengetahui rerata kualitas hidup penderita RA berdasarkan Rhinoconjunctivitis
Quality of Life Questionnaire (RQLQ).
5. Mengetahui distribusi frekuensi jenis alergen pada pemeriksaan TCK.
6. Mengetahui hubungan antara gejala klinis RA dengan hasil TCK.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat antara lain :
1. Sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan RA.
2. Pemeriksaan TCK digunakan sebagai alat bantu diagnosis rutin untuk menentukan
jenis alergen pada pasien RA. Dengan diketahuinya jenis alergen penyebab akan
lebih mudah bagi penderita RA untuk menghindarinya, sehingga kualitas hidupnya
dapat menjadi lebih baik.

Universitas Sumatera Utara