Hubungan gejala klinis dengan hasil tes cukit kulit pada pasien dengan rinitis alergi di RSUP. H. Adam Malik Medan Chapter III VI

BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan potong lintang yaitu dengan
cara pengumpulan data sekaligus pada satu waktu dengan tujuan untuk mencari
hubungan gejala klinis dan karakteristik pasien RA dengan TCK di RSUP. H. Adam
Malik Medan.
3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poli T.H.T.K.L Divisi Rinologi/ Alergi Imunologi RSUP.
H. Adam Malik Medan Sumatera Utara. Penelitian dilakukan sejak penelitian ini
disetujui.
3.3 Populasi, Sampel Penelitian, Besar Sampel
3.3.1 Populasi penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien dengan gejala klinis RA yang
berobat ke Poli T.H.T.K.L RSUP. H. Adam Malik Medan.
3.3.2 Sampel penelitian
Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling.
3.3.3 Besar sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus :
n = Zα2.p(1-p)
d2

dimana :
n = Besarnya sampel
Zα = Simpangan rata-rata distribusi normal standar pada derajat
kemaknaan α (1,96)
p = proporsi penderita RA (12,4%) (Widuri&Suryani, 2011)
d = Kesalahan sampling yang masih dapat ditoleransi (0,1)
n = 1,962. 0,124. 0,876 = 41 sampel
0,12
3.4 Cara Pengambilan Sampel
Untuk memperoleh sampel pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap
pasien yang memenuhi kriteria inklusi.

Universitas Sumatera Utara

3.4.1

Kriteria inklusi :

a. Pasien yang berobat ke poli T.H.T.K.L. Divisi Rinologi/ Alergi Imunologi RSUP. H.
Adam Malik Medan dengan gejala RA.

b. Memberikan keterangan secara tertulis bersedia mengikuti penelitian ini secara utuh
meliputi wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan TCK, mengisi lembar kuesioner
VAS score, RQLQ dan symptom score serta menandatangani surat persetujuan.
3.4.2

Kriteria ekslusi :

a. Sedang mengkonsumsi obat-obatan antihistamin dan atau kortikosteroid dalam 3 hari
terakhir.
b. Menderita penyakit kulit yang luas terutama pada bagian volar lengan bawah.
c. Tidak bersedia mengikuti penelitian.

3.5 Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel independen yaitu gejala klinis dan variabel
dependen yaitu TCK. Variabel lain yang dinilai yaitu umur, jenis kelamin, riwayat
atopi, keluhan utama, tipe dan derajat RA, VAS, RQLQ, symptom score dan jenis
alergen.
3.6 Definisi Operasional
3.6.1


RA adalah suatu penyakit inflamasi pada hidung yang diperantarai oleh IgE yang
mengalami sedikitnya dua gejala klinis RA antara lain hidung buntu, hidung berair,
bersin dan hidung gatal.

3.6.2

Umur adalah usia pasien yang dihitung dari tanggal lahir mengunakan kalender
masehi dan dinyatakan dalam tahun.

3.6.3

Jenis kelamin adalah ciri biologis yang membedakan orang satu dengan lainnya
terdiri atas laki-laki dan perempuan.

3.6.4

Riwayat atopi adalah adanya riwayat alergi sebelumnya atau menderita asma atau
memiliki keluarga dengan penyakit alergi berdasarkan anamnesis.

3.6.5


Keluhan utama adalah gejala klinis yang menyebabkan penderita datang berobat
yaitu : hidung buntu, hidung berair, bersin dan hidung gatal.

3.6.6

Tipe dan Derajat RA adalah klasifikasi berdasarkan tingkat beratnya gejala yang
ditimbulkan dan lama keluhan dialami (ARIA, 2008).
a. Intermiten
ringan

: Gejala muncul kurang dari atau sama dengan 4 hari per
minggu atau kurang dari atau sama dengan 4 minggu
dan dibagi menjadi ringan (mild) pada derajat ini pasien
ditemui dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat
olah raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah

Universitas Sumatera Utara

normal, dan tidak ada keluhan mengganggu.

b. Intermiten

: Gejala muncul kurang dari atau sama dengan 4 hari per

sedang-berat

minggu atau kurang dari atau sama dengan 4 minggu
dan dijumpai satu atau lebih gejala diantaranya: tidur
terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah
raga, dan saat santai terganggu, masalah saat bekerja
dan sekolah, dan ada keluhan yang menggangu

c. Persisten

: Bila gejala timbul lebih dari 4 hari per minggu dan lebih

ringan

dari 4 minggu dan dengan tidur normal, aktivitas seharihari, saat olah raga dan saat santai normal, bekerja dan
sekolah normal, dan tidak ada keluhan mengganggu.


d. Persisten

: Bila gejala timbul lebih dari 4 hari per minggu dan lebih

sedang-berat

dari 4 minggu dan dijumpai satu atau lebih gejala
diantaranya: tidur terganggu (tidak normal), aktivitas
sehari-hari, saat olah raga, dan saat santai terganggu,
masalah saat bekerja dan sekolah, dan ada keluhan
yang menggangu.

3.6.7

TCK adalah suatu alat diagnosis RA yang terdiri dari beberapa alergen yang
ditusukkan pada bagian volar lengan bawah untuk menentukan apakah terdapat
respon alergi yang diperantarai oleh IgE dengan menilai bentol yang ditimbulkannya.
-


Diameter bentol kurang lebih 1mm :

Positif 1

-

Diameter bentol lebih kecil dari histamin :

Positif 2

-

Diameter bentol minimal 3mm atau sama dengan Positif 3
reaksi histamin :

-

Diameter bentol lebih dari 3mm atau lebih besar dari Positif 4
reaksi histamin :


Dalam penelitian ini hasil TCK dianggap positif jika terjadi bentol pada alergen
sedikitnya sama dengan bentol dari reaksi histamin yaitu positif 3 dan positif 4
(Modul T.H.T.K.L).
3.6.8

Visual analog scale (VAS) score adalah kuesioner yang digunakan untuk menilai
tingkat keluhan pasien, menggunakan skala 1-10.
-

Ringan : ≤ 5

-

Sedang-berat : ≥ 6

Universitas Sumatera Utara

3.6.9

RQLQ adalah kuesioner untuk menilai keparahan penyakit rinitis terhadap kualitas

hidup penderitanya dengan menilai kuantitas lima masalah fungsional (aktivitas,
masalah praktis, gejala hidung, gejala mata dan gejala lainnya), yang dinilai pada
saat penderita pertama sekali datang berobat. Menggunakan skor 0 sampai 6
berdasarkan (0= tidak ada kesusahan, 1= hampir tidak susah, 2= kadang-kadang
susah, 3= cukup susah, 4= sungguh susah, 5= sangat susah, 6= susah sekali)
Kuesioner terlampir pada lampiran.

3.6.10 Symptom Score adalah kuesioner untuk menilai keluhan hidung penderita meliputi
hidung buntu, hidung berair, bersin dan hidung gatal yang diberi nilai :
a. Tidak ada keluhan hidung buntu, hidung berair, : bersin 0
dan hidung gatal
b. meliputi hidung buntu, hidung berair, bersin dan : hidung 1
gatal dirasakan ringan
c. Keluhan hidung buntu, hidung berair, bersin dan : hidung 2
gatal dirasakan sedang
d. Keluhan hidung buntu, hidung berair, bersin dan : hidung 3
gatal dirasakan berat
3.6.11 Jenis alergen adalah tujuh jenis alergen yang digunakan pada pemeriksaan TCK,
antara :
a. Grass bermuda (+) :


Diameter bentol minimal 3mm

b. Tropicalis blomia (+) :

Diameter bentol minimal 3mm

c. Cockroach B. Germanic (+):

Diameter bentol minimal 3mm

d. D. pterossynus (+) :

Diameter bentol minimal 3mm

e. D. fariane (+) :

Diameter bentol minimal 3mm

f.


Cat (+) :

Diameter bentol minimal 3mm

g. Dog (+):

Diameter bentul minimal 3mm

3.7 Bahan dan Alat
a. Kuesioner VAS score
b. Kuesioner RQLQ
c. Kuesioner Symptom Score
d. Lampu kepala merk Cree Led Headlight
e. Spekulum hidung merk Renz
f.

Otoskopi merk Riester

g. Spatel lidah
h. Kaca laringoskopi dan rinoskopi

Universitas Sumatera Utara

i.

1 set TCK merk Stallergen. (Alergen yang digunakan : Grass bermuda, Tropicalis
blomia, Cockroach B. Germanic, D. Pterissynus, D. Farinae, Cat, Dog).

3.8 Cara Kerja
Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan T.H.T rutin
pada responden, kemudian mengisi lembar kuesioner VAS score, RQLQ dan
symptom score, setelah itu dilakukan pemeriksaan TCK.
a. Persiapan pemeriksaan TCK :
-

Jelaskan apa yang akan dilakukan pada responden dan tujuannya.

-

Pastikan responden tidak mengkonsumsi obat/ makanan yang mempunyai efek
antialergi sistemik 1 minggu sebelumnya

-

Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika sewaktu-waktu
terjadi reaksi sistemik.

-

Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya (asma bronkial).

-

Sediakan semprit 1 cc dan epineprin ampul.

-

Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaksi alergi sisitemik dari ringan
sampai yang berat selama tes alergi.

-

Tanda tangan informed consent.

-

Desinfeksi daerah lokasi tes kulit (bagian volar lengan bawah).

b. Prosedur pemeriksaan TCK:
-

Teteskan larutan kontrol positif (histamin) dan buffer fosfat atau kontrol negatif.

-

Biasakan untuk histamin sebelah radial dan buffer sisi ulnar dengan jarak minimal 2
jari.

-

Tusuk dengan jarum disposibel steril sedalam lapisan epikutan, dicukit tepat
ditempat tetesan, jangan sampai berdarah. Reaksi ditunggu selama 10-15 menit.
Jika sudah berbentuk bentol merah minimal diameter 3 mm pada tempat histamin
dan tidak berbentuk pada buffer atau maksimal diameter bentol 1 mm maka
dilanjutkan dengan penetesan alergen yang akan diperiksa. Biasakan selalu mulai
dari proksimal sisi radial ke distal dengan jarak kurang-lebih 1 jari, kemudian naik ke
sisi ulnar. Reaksi tes kulit dibaca 10-15 menit.

-

Penilaian hasil dibandingkan dengan reaksi histamin pada masing-masing penderita.
Hasil tes kulit dianggap positif jika terjadi bentol pada alergen sedikitnya sama
dengan bentol dari reaksi histamin.

-

Perhatikan selama tes kulit : kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik.
Gejala : pasien mendadak mengeluh lemas, mual seperti mau pingsan, penderita
tampak pucat. Bila terdapat gejala tersebut penderita diminta segera lapor.

Universitas Sumatera Utara

Bila terdapat gejala tersebut : segera tidurkan penderita tanpa bantal, periksa tensi
dan nadi.
Bila ada gejala shock : suntikkan epineprin 0,2 cc subkutan/intramuskular.
Amati nadi, tensi dan pernafasan dalam 5 menit.Jika belum ada perbaikan dapat
ulangi epineprin setelah 10 menit diikuti pemberian steroid im, pasang infuse (Modul
T.H.T.K.L).

Gambar 3.1 Prosedur Tes Cukit Kulit (Krzanowska, 2014)

Gambar 3.1 diatas menunjukkan prosedur TCK untuk mendiagnosis RA, dengan
meneteskan beberapa alergen dan kemudian dicukit untuk melihat reaksi yang
ditimbulkannya berupa indurasi dan kemerahan sebagai bukti bahwa pada epikutan
penderita tersebut terdapat IgE.

Universitas Sumatera Utara

3.9 Kerangka Kerja

Pasien RA

-

Hidung buntu
Hidung berair
Bersin
Hidung gatal

Kriteria
ekslusi

Keriteria
inklusi

Anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Kuesioner
(VAS, RQLQ,
Symptom
score)

Intermiten
Ringan

3.10

TCK

RA

Kriteria
ARIA

Intermiten
sedangberat

Persisten
Ringan

Persisten
Sedangberat

Pengumpulan Data

Data diperoleh dari anamnesis dan kuesioner meliputi karakteristik pasien RA
yang ditulis pada status penelitian.
3.11 Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel.
Data penelitian akan dianalisis sebagai berikut :
1. Analisa univariat

Universitas Sumatera Utara

Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sehingga dapat terlihat
gambaran deskriptif dari semua variabel yang diteliti.
2. Analisa bivariat
Untuk melihat hubungan antara variabel independen yaitu gejala klinis RA terhadap
variabel independen yaitu TCK. Data diuji dengan dengan bantuan SPSS versi 17,
bila data terdistribusi normal digunakan uji chi square dan bila tidak terdistribusi
normal digunakan uji Fisher exact.
3.12

Etika Penelitian

Semua pasien yang menjadi calon subjek penelitian, terlebih dahulu mendapat
penjelasan mengenai penelitian yang akan diikutinya, terutama penjelasan yang
berhubungan dengan tujuan penelitian dan tes yang akan diikutinya serta apa
keuntungan dan kerugian yang mungkin dapat ditimbulkannya. Hal-hal tersebut
diatas dijelaskan kepada pasien yang menjadi subjek penelitian. Peserta penelitian
menandatangani lembar persetujuan untuk mengikuti penelitian.

3.13 Jadwal Penelitian
No Jenis kegiatan

1.

Persiapan proposal

2.

Administrasi

3.

Presentasi proposal

4.

Pengumpulan data

5.

Pengolahan

Waktu
Mei

Juni

Juli

Des

Maret

2016

2016

2016

2016

2017

dan

pembuatan laporan
6.

Laporan tesis

Universitas Sumatera Utara

BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian ini diikuti oleh 41 orang penderita yang telah memenuhi kriteria inklusi.
Pada tabel 4.1 menunjukkan distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan umur,
jenis kelamin, riwayat atopi, keluhan utama, tipe dan derajat RA. Jenis kelamin
terbanyak adalah perempuan sebesar 78,00%, kelompok umur terbanyak adalah 2140 tahun sebesar 75,60% dengan riwayat atopi sebesar 68,30%. Hidung buntu
sebagai keluhan terbanyak dijumpai sebesar 56,10% dan tipe dan derajat RA
terbanyak adalah intermiten ringan sebesar 60,97%.
Tabel 4.1 Karakteristik sampel penelitian
Jumlah
Karakteristik penderita RA
Umur (tahun)

n

%

5

12,12

31

75,60

≥ 41 tahun

5

12,12

Laki-laki

9

22,00

Perempuan

32

78,00

Atopi

28

68,30

Tidak atopi

13

31,70

Hidung buntu

23

56,10

Hidung berair

2

4,90

Bersin

9

22,00

Hidung gatal

7

17,10

25

60,97

Intermiten sedang-berat

5

12,19

Persisten ringan

2

4,87

Persisten sedang berat

9

21,95

≤ 20 tahun
21-40 tahun

Jenis kelamin
Riwayat atopi
Keluhan utama

Tipe dan derajat RA

Intermiten ringan

Universitas Sumatera Utara

4.2 Distribusi Frekuensi Penderita RA Berdasarkan VAS
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan VAS Berdasarkan tabel
dibawah ini, diketahui sebanyak 29 orang (70,7%) penderita RA dengan VAS ringan,
sementara sebanyak 12 orang (29,3%) dengan VAS sedang-berat.
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan VAS
VAS

Jumlah
n
29
12
41

Ringan
Sedang-berat
Total

%
70,7
29,3
100

4.3 Distribusi Frekuensi Penderita RA Berdasarkan Symptom Score
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan symptom score.
Berdasarkan tabel dibawah ini, diketahui sebanyak 26 orang (63,4%) penderita RA
dengan symptom score ringan, sementara sebanyak 15 orang (36,6%) dengan
symptom score sedang-berat.
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan symptom score
Symptom score

Jumlah
n
26
15
41

Ringan
Sedang-berat
Total

%
63,4
36,6
100

4.4 Rerata kualitas hidup penderita RA Berdasarkan RQLQ
Tabel 4.4 menunjukkan rerata kualitas hidup penderita RA berdasarkan RQLQ.
Berdasarkan tabel dibawah ini diperoleh rerata nilai aktivitas penderita RA adalah 3,
rerata nilai masalah praktis sebesar 2,97, rerata nilai gejala hidung sebesar 6,09,
rerata nilai gejala mata 2,85 dan rerata nilai gejala lainnya sebesar 1,95.
Tabel 4.4 Rerata nilai RQLQ penderita RA
Rerata
aktivitas
3

Rerata
masalah
praktis
2,97

Rerata
gejala
hidung
6,09

RQLQ
Rerata mata

2,85

Rerata
lainnya

gejala

1,95

Universitas Sumatera Utara

4.5 Distrubusi Frekuensi Jenis Alergen Pada TCK
Tabel 4.5 menunjukkan distribusi jenis alergen pada TCK penderita RA, dan
diperoleh jenis alergen yang terbanyak memberikan hasil positif adalah varian
tungau debu rumah, yaitu D. pteronys 26,66%, Tropicalis blomia sebesar 17,33%
dan D. farinae 13,33%. Terdapat tiga jenis varian tungau debu rumah yang
digunakan pana penelitian ini. Ketiga varian tersebut menduduki tempat tertinggi
sebagai jenis alergen positif yang terbanyak pada hasil TCK.
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi jenis alergen pada pemerikaan TCK
Jenis alergen

Jumlah
n

%

Grass Bermuda

3

4

Tropicalis blomia

13

17,33

Cockroach b. Germanic

9

12

D. farina

10

13,33

D. pteronys

20

26,66

Cat

9

12

Dog

11

14,66

4.6 Hubungan Gejala Klinis Dengan Hasil TCK
Tabel 4.6 menunjukkan hubungan gejala klinis dengan hasil TCK, dan
berdasarkan hasil pengujian dengan Fisher’s exact Test, diketahui nilai p = 0,170
yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gejala klinis dan TCK.
Tabel 4.6 Hubungan gejala klinis dengan hasil TCK
Hasil TCK
Gejala klinis

Total

p-value

0,170

TCK +

TCK -

n (%)

n (%)

Gejala klinis ≤2

7(50,0)

7 (50,0)

14 (100%)

Gejala klinis >2

20 (74,1)

7 (25,9)

27 (100%)

Universitas Sumatera Utara

4.7 Hubungan symptom score dengan hasil TCK
Tabel 4.7 menunjukkan hubungan symptom score dengan hasil TCK, dan
berdasarkan hasil pengujian dengan Fisher’s exact test diperoleh nilai p= 0,186 yang
berarti tidak terdapat hubungan yang signifkan antara beratnya gejala RA
berdasarkan symptom score.
Tabel 4.7 Hubungan symptom score dengan hasil TCK
Hasil TCK

Total

p-value

0,186

Symptom

TCK +

TCK -

score

n (%)

n (%)

Ringan

15 (57,7)

11 (4,23)

26 (100%)

12 (80)

3 (20)

15 (100%)

Sedang-berat

Universitas Sumatera Utara

BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
RA merupakan inflamasi mukosa hidung, dan menyerang sekitar 40% dari
jumlah populasi penduduk dan prevalensinya dijumpai semakin meningkat dalam
setiap dekade (Small & Kim, 2011).
Pada penelitian ini diperoleh hasil kelompok umur yang paling banyak menderita
RA adalah rentang umur 21-40 tahun sebanyak 31 (75,60%) penderita. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lumbanraja (2007) yang
memperoleh kelompok umur terbanyak adalah 21-30 tahun. Begitu juga dengan
yang diperoleh Utama (2010) dimana umur terbanyak yang diperoleh adalah 18-35
tahun sebesar 44,6%. Perbedaan kelompok umur kemungkinan disebabkan oleh
kelompok umur tersebut adalah yang paling banyak melakukan kunjungan ke
poliklinik rawat jalan THT dan digunakan sebagai sampel penelitian. Selain itu
perbedaan kelompok umur yang didapatkan pada penelitian sebelumnya bisa
disebabkan oleh perbedaan pengelompokkan umur (Lumbanraja, 2007; Utama
2010; Small & Kim, 2011).
Sekitar 80% individu yang didiagnosis dengan RA mengalami gejala klinis
sebelum usia 20 tahun. Pada usia pubertas anak laki-laki lebih cenderung menderita
RA dibanding anak perempuan, tetapi saat dewasa perempuan lebih cenderung
menderita RA daripada laki-laki (Greiner, et al., 2011).
Pada penelitian ini, jenis kelamin yang paling banyak dijumpai adalah perempuan
sebesar 78,04%. Hasil penelitian ini sama dengan yang didapatkan oleh Lumbanraja
(2007). Begitu juga dengan hasil penelitian yang diperoleh Tatar, et al. (2012)
perempuan merupakan penderita RA terbanyak yaitu 54 orang dari 150 pasien
(Lumbanraja, 2007 dan Tatar, et al., 2012). Utama (2010) dalam penelitiannya juga
memperoleh perempuan sedikit lebih banyak (54,1%) dibanding laki-laki (45,9%)
dengan perbandingan 1:1 (Lumbanraja, 2007; Utama, 2010; Tatar, et al., 2012).
Pada penelitian ini diperoleh jumlah penderita RA dengan riwayat atopi lebih
tinggi sebesar 68,29% dibandingkan dengan penderita RA tanpa riwayat atopi.
Meskipun penyebab RA adalah multifaktorial, tetapi pada kenyataannya risiko
terbesar RA adalah jika kedua orang tua atopi atau salah satu orang tua atopi.
Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan riwayat atopi dalam keluarga
diantaranya adalah rinokonjungtivitis, asma, dermatitis atopi dan alergi makanan.

Universitas Sumatera Utara

Komponen genetik yang diwariskan kepada anaknya adalah kemampuan untuk
memberikan reaksi terhadap suatu alergen yang diturunkan. Gen yang berperan
dalam RA antara lain 3q21, 5q31-q33, 7p1-p15, 14q24. Defek reseptor membran
CD23 IgE sel B serta defek reseptor membran CD25 dari subunit sel T pada
reseptor IL-2 menyebabkan peningkatan sensitivitas aeroalergen (Utama, 2010;
Greiner, et al., 2011).
Dari hasil penelitian ini diperoleh keluhan utama yang paling banyak dijumpai
adalah hidung buntu sebesar 56,09%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Tatar, et al. (2012) yang juga menjumpai hidung buntu sebagai
keluhan utama terbanyak sebesar 91% (Tatar, et al., 2012).
Hidung buntu pada RA disebabkan oleh terhambatnya aliran udara akibat
kongesti sementara yang bersifat vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini
diperantarai reseptor H1, yang berakibat pelebaran vena kavernosa sinusoid dalam
mukosa konka, sehingga terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung.
Timbunan sekret dalam hidung juga menambah sumbatan hidung. Peningkatan
aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan akibat hidung buntu.
Keluhan hidung buntu menjadi keluhan yang paling dominan dijumpai hal ini
disebabkan hidung buntu secara langsung mengganggu kenyamanan penderita oleh
karena secara langsung berhubungan dengan udara pernafasan yang dihirup.
Sehingga penderita cenderung merasa tidak nyaman bila proses tersebut terganggu,
dan berusaha untuk segera berobat ke dokter.
Dari hasil penelitian ini diperoleh tipe dan derajat RA intermiten ringan sebanyak
25 (60,69%) penderita adalah yang paling banyak dijumpai. Sedangkan Tatar, et al.
(2012) mendapatkan penderita terbanyak adalah RA persisten sebanyak 98 (65%)
penderita (Tatar, et al., 2012). Sedangkan Utama (2010) memperoleh RA terbanyak
adalah persisten sedang-berat sebesar 59,5%, diikuti dengan persisten ringan
sebesar 21,6%, intermiten sedang-berat (13,5%) dan RA intermiten ringan 5,4%. Hal
ini menunjukkan bahwa meskipun RA persisten sedang-berat proporsinya lebih
besar, tetapi untuk RA intermiten ringan ternyata tetap menimbulkan keluhan
meskipun dalam jumlah sedikit (5,4%) karena pasien yang berobat ke rumah sakit
tentu ingin mengetahui penyebab keluhannya dan memperoleh solusinya (Utama,
2010). ARIA-WHO pertama sekali membuat klasifikasi pada tahun 1999 dalam
mendeskripsikan RA berdasarkan berat dan lamanya gejala. Klasifikasi ini terbagi
atas intermiten dan persisten. Berdasarkan beratnya gejala adalah ringan dan

Universitas Sumatera Utara

sedang berat yang erat kaitannya dengan kualitas hidup. Klasifikasi tipe dan derajat
RA dapat ditegakkan melalui anamnesis (Sussman G, Sussman G & Sussman A,
2010; Utama, 2010; Tatar, et al., 2012).
5.2 Distribusi Frekuensi Penderita RA Berdasarkan VAS score
Untuk menilai tingkat keparahan gejala yang dialami penderita RA salah satunya
dapat digunakan dengan dengan menggunakan VAS score. pada VAS penderita
diminta untuk menuliskan angka dari 1-10 pada angka berapakah penderita
merasakan gejala yang dialaminya. Pada VAS score dapat dikategorikan ringan dan
sedang-berat. Pada penelitian ini diperoleh sebanyak 29 (70,7%) penderita RA
dengan VAS ringan, sementara sebanyak 12 (29,3%) penderita RA dengan VAS
sedang-berat.
5.3 Distribusi Frekuensi Penderita RA BerdasarkanSymptom Score
Gejala klinis RA dapat dihitung dengan menggunakan angka. Gejala hidung
buntu, hidung berair, bersin dan hidung gatal dapat dinilai tingkat keberatannya
dengan skor mulai dari 0-3. Dikatakan 0 jika gejala tersebut tidak dijumpai, 1 untuk
skor gejala yang ringan, 2 untuk skor gejala yang sedang dan 3 untuk skor gejala
yang berat. Pada penelitian ini diperoleh hasil terdapat sebanyak 26 orang (63,4%)
penderita RA dengan symptom score ringan, sementara sebanyak 15 orang (36,6%)
dengan symptom score sedang-berat.
5. 4 Rerata Kualitas Hidup Penderita RA Berdasarkan RQLQ
RA adalah penyebab utama rinitis dan mengenai sekitar 20% penduduk, memiliki
dampak sistemik berupa kelelahan, rasa meng antuk, dan lemas yang timbul akibat
respon inflamasi. Keadaan-keaadaan ini sangat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Oleh karena itu dibuatlah kuesioner yang berfungsi untuk menilai
kualitas hidup penderita RA. Ada banyak kuesioner yang digunakan untuk menilai
kualitas hidup penderita RA, diantaranya adalah RQLQ. RQLQ digunakan untuk
menilai masalah fungsional seperti fisik, emosi, sosial dan pekerjaan. Terdapat
berbagai varian yang digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita RA dengan
menggunakan RQLQ. Tatar, et al. (2012) menggunakan RQLQ yang diadopsi dari
negara Turki. Sedangkan pada penelitian ini kami menggunakan RQLQ versi mini
yang diadopsi dari negara Jepang, hal ini kami lakukan karena berdasarkan analisis
terhadap beberapa varian RQLQ yang sering digunakan pada berbagai penelitian,

Universitas Sumatera Utara

mini RQLQ adalah yang paling sederhana dan mudah dipahami sehingga,
memudahkan pasien untuk mengisinya (Deraz, 2010; Tatar, et al., 2012).
Pada penelitian ini diperoleh rerata nilai aktivitas penderita RA adalah (3,0±4,43)
rerata nilai masalah praktis (2,9±2,66), rerata nilai gejala hidung (6,0±4,10), rerata
nilai gejala mata (2,8±3,93) dan rerata nilai gejala lainnya (1,9±3,90). Berdasarkan
nilai rerata tersebut, keluhan hidung adalah yang paling berpengaruh terhadap
kualitas hidup penderita RA. Pada penelitian ini diperoleh rentang yang cukup jauh
antara nilai mean dan standar deviasi dari rerata masing-masing nilai pada RQLQ,
hal ini menunjukkan bahwa masing-masing nilai rerata setiap penderita berbeda
jauh, disebabkan kuesioner ini bersifat subjektif, dimana masing-masing penderita
memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap pertanyaan yang diajukan
kepadanya.
5.5 Distribusi Frekuensi Jenis Alergen Pada TCK
Pada penelitian ini diperoleh varian tungau debu rumah adalah yang paling
banyak dijumpai yaitu D. Pteronysinus sebesar 26,66% diikuti oleh Tropicalis blomia
sebesar 17,33% dan D. Farianae sebesar 13,33%.

Tatar, et al. (2012)

menemukan tungau debu rumah adalah jenis alergen yang paling banyak dijumpai
pada TCK sebesar 55% dan diikuti oleh rumput-rumputan dijumpai sebanyak 60
orang. Radcliffe, et al seperti yang dikutip oleh Tatar, et al. (2012) menyebutkan
bahwa TCK memiliki korelasi yang rendah jika digunakan untuk menilai tingkat
keparahan penyakit RA, hal ini dikarenakan kulit bukanlah satu-satunya organ yang
terlibat pada penyakit aeroalergen. Yuen, et al (2007) juga menemukan tungau debu
rumah sebagai jenis alergen yang terbanyak dijumpai di Hongkong sebesar 63%.
Sedangkan Larry GA dan Thomas AE dalam penelitiannya seperti yang dikutip oleh
Utama (2010) menyatakan bahwa suhu udara berkisar 23-250c serta 75%
kelembaban

relatif

merupakan

lingkungan

yang

baik

untuk

hidup

dan

berkembangnya alergen jenis tungau debu rumah dan kecoa. Sedangkan suhu
rerata di Indonesia berkisar 23-300c dengan kelembaban rerata 68%, sehingga
memungkinkan tungau debu rumah dan kecoa dapat berkembang dengan baik.
Dianjurkan untuk mencuci selimut serta karpet sekurang-kurangnya seminggu sekali
dengan air hangat (minimal 550c) serta menambahkan benzyl benzoat 0,03% untuk
membunuh atau menghilangkan tungau debu rumah (Utama, 2010; Tatar, et al.,
2012; Yuen, et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

5.6 Hubungan Gejala Klinis dengan Hasil TCK
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gejala klinis
RA dengan hasil TCK, tetapi dijumpai proporsi yang besar penderita RA dengan
hasil TCK (+). Terdapat tujuh jenis alergen yang digunakan pada pemeriksaan TCK
dalam penelitian ini, yaitu debu tungau rumah dengan berbagai varian (D.
Pteronyssinus, Tropicalis blomia dan D. Farianae) Grass bermuda, Cockroach B.
Germanic, Cat dan Dog.
Chaiyasate, et al. di Thailand meneliti prediksi gejala hidung dan karakteristik
pasien RA terhadap TCK (+), diperoleh 63,8% hasil TCK (+) dari 434 pasien.
Karabulut, et al. (2012) di Turkey meniliti hubungan antara gejala dan hasil TCK
pada pasien dengan RA, dijumpai sebanyak 358 orang dengan TCK (+) dari 496
kasus, dan menarik kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara gejala klinis dengan TCK (+). Pemeriksaan TCK dapat digunakan untuk
mendeteksi keberadaan alergen IgE spesifik dan dapat mengkonfirmasi diagnosis
RA. Tes tersebut dapat menilai alergen yang kemungkinan besar menimbulkan
gejala klinis, sebagai contoh, bulu binatang, serbuk sari bunga, rumput-rumputan,
debu tungau dan jamur. Meskipun RA sering dianggap remeh dan sering tidak
terdiagnosis, namun kumpulan gejala yang berhubungan dengan hal tersebut pada
hakikatnya dapat memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup penderitanya
secara keseluruhan dan penampilannya dirumah, sekolah dan lingkungan kerja
Deteksi jenis alergen yang kemungkinan mempengaruhi timbulnya gejala RA sangat
penting untuk dilakukan, oleh karena jika penderita dapat menghindari alergen
pencetus, maka dapat menghidnari serangat RA. Disamping itu penatalaksanaan
RA dalam hal ini imunoterapi erat kaitannya dengan berbagai jenis alergen yang
sering diduga sebagai pemicu RA (Utama, 2010; Sussman G, Sussman G dan
Sussman A; 2010; Karabulut, et al., 2012).

5.7 Hubungan Symptom Score dengan Hasil TCK
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara symptom
score dengan hasil TCK.
Pada RA gejala klinis yang dijumpai sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup
penderitanya. Adapun gejala utama yang dapat ditemukan adalah hidung buntu,
hidung berair, bersin dan hidung gatal. Penelitian ini sama dengan penelitian yang

Universitas Sumatera Utara

dilakukan Tatar et al (2012) bertujuan untuk mengetahui hubungan antara beratnya
gejala klinis RA berdasarkan symptom score dengan hasil TCK, dan memperoleh
hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara symptom score dengan
hasil TCK. Meskipun demikian Radcliffe et al menyatakan sebagaimana yang dikutip
oleh Tatar et al (2012) bahwa hubungan yang lemah antara beratnya gejala klinis
dengan hasil TCK oleh karena kulit bukanlah organ primer yang terlibat pada
penyakit aeroalergen (Tatar et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Kelompok umur terbanyak adalah 21-40 tahun, berjenis kelamin perempuan dan
riwayat atopi positif adalah yang paling banyak dijumpai pada penelitian ini. Hidung
buntu merupakan keluhan utama yang paling banyak dijumpai. Sedangkan
intermiten ringan adalah tipe dan derajat RA yang paling banyak dijumpai.
2. Berdasarkan kriteria VAS, RA ringan adalah yang terbanyak dijumpai.
3. Berdasarkan symptom score penderita RA terbanyak adalah derajat ringan.
4. Berdasarkan nilai rerata RQLQ, keluhan hidung adalah yang paling berpengaruh
terhadap kualitas hidup penderita RA.
5. Jenis alergen yang paling banyak dijumpai adalah varian debu tungau rumah.
6. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gejala klinis RA dengan hasil TCK,
tetapi dijumpai proporsi dengan hasil TCK (+) yang cukup tinggi pada pasien dengan
gejala klinis RA.
7. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara symptom score dengan hasil TCK

6.2 Saran
1. Pemeriksaan TCK diperlukan sebagai diagnosis pasti RA, membantu menemukan
kemungkinan jenis alergen penyebab sehingga dapat dihindari dan pada akhirnya
dapat memperbaiki kualitas hidup penderita RA dan meminimalisir penggunaan obat
yang tidak sesuai.
2. Perlu dilakukan penilaian kualitas hidup penderita RA dengan menggunakan
kuesioner setiap datang berobat, karena dapat digunakan untk menilai keberhasilan
terapi melalui perubahan kualitas hidup.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penatalaksaan RA, karena sebagaimana
yang disebutkan diliteratur bahwa RA bersifat gentik dan tidak bisa disembuhkan
hanya bisa dikendalikan.

Universitas Sumatera Utara