Determinan Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran (Studi Pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan
Perspektif teori keagenan merupakan dasar yang digunakan dalam
memahami isu perilaku oportunistik dalam penyusunan APBD. Teori
keagenan merupakan suatu hubungan yang terjalin berdasarkan kontrak
perjanjian antara 2 pihak atau lebih dimana pihak pertama disebut prinsipal
dan pihak yang lainnya disebut dengan agen. Prinsipal merupakan pihak yang
bertindak sebagai pemberi perintah dan bertugas untuk mengawasi,
memberikan penilaian dan masukan atas tugas yang telah dijalankan oleh
agen. Sedangkan agen adalah pihak yang menerima dan menjalankan tugas
sesuai dengan kehendak prinsipal.
2.1.1.1 Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif
Hubungan keagenan di pemerintahan antara legislatif dan
eksekutif menunjukkan posisi legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif
adalah agen. Hubungan antara prinsipal dan agen senantiasa
menimbulkan masalah keagenan yang disebut agency problems.
Menurut Johnson yang dikemukakan oleh Halim dan Abdullah
(2006:56) bahwa hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif

atau kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini,
legislators ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan

25
Universitas Sumatera Utara

anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Agar
terpilih kembali, legislators mencari program dan proyek yang
membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat mengusulkan
program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan
konstituen percaya bahwa mereka menerima manfaat dari pemerintah
tanpa harus membayar biayanya secara penuh.
Menurut Smith & Bertozzi yang dikemukakan oleh Halim dan
Abdullah (2006:57) bahwa dalam konteks penyusunan anggaran, usulan
yang diajukan oleh eksekutif memiliki muatan mengutamakan
kepentingan eksekutif. Eksekutif mengajukan anggaran yang dapat
memperbesar agency-nya, baik dari segi finansial maupun nonfinansial.
Sementara Keefer & Khemani, Mauro, dan Von Hagen yang
dikemukakan oleh Halim dan Abdullah (2006:57) bahwa secara implisit
menyatakan bahwa anggaran juga dipergunakan oleh legislatif (politisi)

untuk memenuhi self-interest-nya. Pada akhirnya keunggulan informasi
yang dimiliki oleh eksekutif yang pergunakan untuk menyusun
rancangan anggaran akan berhadapan dengan keunggulan kekuasaan
(discretionary power) yang dimiliki oleh legislatif.

2.1.1.2 Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik (Voters)
Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik (Voters)
warga negara (publik/ voters) adalah principal yang menunjuk
perwakilannya (legislatif) untuk melayani mereka sebagai agen di

26
Universitas Sumatera Utara

parlemen. Dalam hal pembuatan kebijakan, hubungan prinsipal-agen
yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya
menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat
keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka
memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian
terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam
anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau

preferensi prinsipal atau pemilihnya. Pada kenyataannya legislatif
sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki kepentingan yang sama
dengan publik.
Politisi yang terpilih bisa saja berlaku oportunistik dan
karenanya voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat
keuntungan pribadi dengan membuat politisi terikat pada suatu aturan
yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka lakukan pada
kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak
jelas dan kompleksitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak
yang sempurna tidak mungkin dibuat. Politisi juga tidak akan dapat
memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye pemilihan.
Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang
lain, hubungan keagenan antara pemilih dengan politisi dapat
dipandang sebagai incomplete contract.

27
Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 pasal 1

ayat 9, APBD didefinisikan sebagai berikut:
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan
peraturan daerah”.
Administrasi pendanaan urusan pemerintah daerah dilakukan secara
terpisah dari administrasi pendanaan penyelengggaraan urusan pemerintah
pusat di daerah, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaan tersebut kepala daerah
melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta
pengawasan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah
berdasarkan prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan,
menguji dan menerima atau mengeluarkan uang.
APBD mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar
untuk

melaksanakan


pendapatan

dan

belanja

pada

tahun

yang

bersangkutan.
2. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.

28
Universitas Sumatera Utara


3. Fungsi pengawasan sebagaimana mengandung arti bahwa anggaran daerah
menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan
untuk menciptakan lapangan kerja mengurangi pengangguran dan
pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian.
5. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
6. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian daerah.

2.1.3 Proses Penyusunan APBD
Penyusunan APBD merupakan proses penganggaran daerah dimana
secara konseptual terdiri atas formulasi kebijakan anggaran (budget policy
formulation) dan perencanaan operasional anggaran (budget operational
planning).
Sebagai


bagian

dari

kebijakan

anggaran,

pemerintah

daerah

menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya yang
sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) kepada DPRD.
RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuh periode 1 (satu) tahun

29
Universitas Sumatera Utara

yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(RPJM) Daerah.
Setidaknya terdapat enam subproses dalam penyusunan anggaran
APBD, yaitu penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA), penyusunan
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), penyiapan Surat Edaran
Kepala Daerah (SE KDH) tentang pedoman penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran (RKA) SKPD, penyusunan RKA SKPD, penyiapan Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) APBD, pembahasan Raperda APBD dan
penyusunan Raper KHD Penjabaran APBD, evaluasi serta penetapan Raperda
APBD dan Raper KDH Penjabaran APBD.
2.1.3.1 Penyusunan Kebijakan Umum APBD
Kebijakan Umum APBD (KUA) adalah dokumen yang memuat
kebijakan bidang pendapatan, belanja dan pembiayaan serta asumsi
yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun. Seperti diketahui,
setiap SKPD mengembangkan Renstra dengan mengambil program
yang tercantum dalam RPJMD yang sesuai dengan bidangnya, pada
kurun waktu tahun anggaran yang sama pula dengan yang tercantum
dalam RPJMD. Renstra tersebut kemudian dikembangkan menjadi
Renja SKPD per tahun. Dokumen Renja tiap SKPD dikompilasikan
oleh Pemda menjadi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
KUA disusun beerdasarkan RKPD dan pedoman penyusunan

APBD yang ditetapkan Mendagri melalui SE Mendagri. Proses
penyusunannya diawali dengan pembuatan rancangan awal KUA oleh

30
Universitas Sumatera Utara

Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh
Sekretaris Daerah. Rancangan awal KUA tersebut terdiri atas dua
komponen utama:
1. Target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang
akan dilaksanakan oleh Pemda untuk setiap urusan pemerintah
daerah.
2. Proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, serta sumber
dan penggunaan pembiyaan yang disertai dengan asumsi yang
mendasarinya. Program-program tersebut harus diselaraskan dengan
prioritas pembangunan yang ditetapkan pemerintah.

2.1.3.2 Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
(PPAS)
PPAS merupakan dokumen yang berisi seluruh program kerja

yang dijalankan tiap urusan pada tahun anggaran, dimana pprogram
kerja tersebut diberi prioritas sesuai dengan visi, misi, dan strategi
Pemda. Sama seperti KUA, proses penyusunan PPAS diawali dengan
rancangan awal PPAS oleh TAPD. Rancangan awal PPAS ini disusun
berdasarkan Nota Kesepakatan KUA, dengan tahap sebagai berikut:
1.

Menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan

2.

Menentukan urutan program untuk masing-masing urusan

3.

Menentukan pafon aggaran untuk tiap program.

31
Universitas Sumatera Utara


TAPD harus menentukan skala prioritas urusan yang
disesuaikan dengan visi dan misi Pemda. Dalam menentukan skala
prioritas ini. TAPD dapa menggunakan teknik-teknik review and
ranking yang ada,baik yang berbasis statistik maupun tidak seperti
pengunaan tabel input-output atau pengunaan metodologi logical
framework.

2.1.3.3 Penyiapan Surat Edaran Kepala Daerah tentang pedoman
penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
Surat Edaran Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran SKPD merupakan dokumen yang sangat
penting bagi SKPD sebelum menyusun RKA. Setidaknya ada tiga
dokuman dalam lampiran SE KDH yang dibutuhkan SKPD dalam
menyusun RKA-nya, yaitu:
1. Dokumen KUA, yag menberikan rincian program dan kegiatan per
SKPD.
2. Standar Satuan Harga, yang menjadi referensi dalam penentuan
rincian anggaran di RKA.
3. Kode Rekening untuk tahu anggaran bersangkutan.
Selain KUA dan PPA, data tentang Analisis Standar Belanja,
dokumen Standar Pelayanan Minimal, serta Standar Satuan Harga
dibutuhkan dalam pembuatan rancangan awal SE KDH ini. Data
Analisis Standar Belanja adalah penilaian kewajaran atas beban kerja

32
Universitas Sumatera Utara

dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan,
sedangkan Standar Satuan Harga merupakan harga satuan setiap unit
barang/ jasa yang berlaku di suatu daerah yang ditetapkan dengan
keputusan KDH.
2.1.3.4 Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
RKA SKPD adalah doumen perancanaan dan pengaggaran yang
berisi recana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan SKPD,
serta rencana pembiayaan sebagai dasar penyusunan APBD. RKA
SKPD disusun dengan berpedoman pada SE KDH tentang Pedoman
Penyusunan RKA SKPD.
SKPD menyusun RKA SKPD menggunakan pendekatan
Kerangka

Pengeluaran

Jangka

Menengah

atau

Medium

Term

Expenditure Framework (MTEF) daerah, pengaggaran terpadu dan
penganggaran berdasarkan prestasi kerja. Dokumen RKA SKPD terdiri
atas Rincian Anggaran Pendapatan, Rincian Anggaran Belanja Tidak
Langsung,

Rincian

Anggaran

Belanja

Langsung,

Rekapitulasi

Anggaran Belanja Langsung, Rincian Penerimaan Pembiayaan Daerah,
dan Rincian Pengeluaran Pembiayaan Daerah.

2.1.3.5 Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah APBD
Dokumen sumber yang utama dalam penyiapan Raperda APBD
aadalah RKA SKPD. Oleh karenanya harus dipastikan bahwa setiap
RKA SKPD telah disusun sesuai dengan pedoman dan ketentuan yang

33
Universitas Sumatera Utara

berlaku. Untuk menjamin hal itu, setelah TAPD mengumpulkan RKA
SKPD dari tiap-tiap SKPD, TAPD harus membahas kesesuian RKA
SKPD dengan KUA, PPAS, prakiraan maju yang telah disetujui tahun
anggaran sebelummnya, dokumen perencanaan lainnya yang relevan,
target atau pencapaian kinerja, indikator kinerja, kelompok sasaran
kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga, standar
pelayanan minimal, serta dokumen sinkronsasi program dan kegiatan
antar-SKPD.
Proses selanjutnya adalah pengumpulan seluruh RKA yang telah
dievaluasi oeh TAPD menjadi dokumen kompilasi RKA. Proses ini
dilakukan oleh PPKD. Berdasarkan dokumen kompilasi tersebut, PPKD
kemudin membuar lampiran-lampiran Raperda APBD yang terdiri atas:
1. Ringkasan APBD.
2. Ringkasan APBD (menurut urusan pemerintahan dan organisasi).
3. Rincian

APBD

(menurut

urusan

pemerintahan,

organisasi,

pendapatan, belanja, dan pembiayaan).
4. Rincian Belanja (menurut urusan pemerintahan, organisasi, program
dan kegiatan, dan keselarasan urusan dengan fungsi).

2.1.3.6 Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah APBD
KDH menyampaikan Raperda tentang APBD yang telah
disetujui bersama DPRD dan Raper KDH Penjabaran APBD kepada

34
Universitas Sumatera Utara

Gubernur untuk dievaluasi. Peyampaian tersebut dilakukan paling
lambat tiga hari kerja setelah Raper KHD disusun dan disertai dengan:
1. Persetujuan bersama Pemda-DPRD terhadap Raperda APBD.
2. KUA dan PPA yag disepakati Kepala Daerah dan Pimpinan DPRD.
3. Risalah sidang jalannya pembahasan Raperda APBD.
4. Nota Keuangan dan pidato KDH periha penyampaian pengantar
Nota Keuanagn pada sidang DPRD.
Proses evaluasi ini dilakukan maksimal 15 hari kerja sejak
penyerahaan dilakukan. Jika rancangan peraturan tersebut dinyatakan
tidak lolos evaluasi, maka Pemda bersama DPRD harus melalukan
penyempurnaan.
Raperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala
Daerah tentang Penjabaran APBD yang telah lolos proses evaluasi
segera ditetapkan oleh Kepala Daerah menjadi Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah. Penetapan tersebut dilakukan selambatlambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.

2.1.4 Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan yang diperoleh dari
sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintahan
daerah. Pendapatan daerah juga merupakan pendapatan yang diperoleh oleh
pemerintah daerah dan digali dari potensi pendapatan yang ada di daerah.
Dengan kata lain pendapatan asli daerah merupakan pendapatan yang

35
Universitas Sumatera Utara

diterima oleh pemerintah daerah atas segala sumber-sumber atau potensi yang
ada pada daerah yang harus diolah oleh pemerintah daerah didalam
memperoleh pendapatan daerah.
Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan negara antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membagi
Pendapatan Daerah 3 bagian yaitu :
1. Pajak Asli Daerah bersumber dari:
a. Pajak Daerah
b. Retribusi Daerah
c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan
d. Lain-lain PAD yang sah
2. Dana Perimbangan yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepala daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah

2.1.5 Dana Alokasi Umum
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum (DAU)
adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer yang bersifat umum dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatasi ketimpangan
horisontal dengan tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah. DAU suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang
menekankan

pada

aspek

pemerataan

dan

keadilan

yang

selaras

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan perhitungan DAUnya ditetapkan sesuai undang-undang. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan

36
Universitas Sumatera Utara

sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto yang
ditetapkan dalam APBN. DAU untuk masing-masing Kab/Kota dapat dilihat
dari pos dana perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD.

2.1.6 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 1 ayat 55, Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran (SiLPA) adalah sisa lebih realisasi penerimaan dan
pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun anggaran
sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan Pendapatan Asli Daerah
(PAD), pelampauan penerimaan dan perimbangan, pelampauan penerimaan
lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan,
penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir
tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.
SiLPA atau Sisa Lebih Perhitungan Anggaran adalah suatu indikator
yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. Laporan Realisasi
Anggaran didalamnya terdapat penerimaan pembiayaan dan pengeluaran
pembiayaan. Penerimaan pembiayaan dapat berupa hasil penjualan kekayaan
daerah yang dipisahkan, pinjaman dalam negeri, dan dari penerimaan kembali
pinjaman yang pernah diberikan pemerintah daerah kepada pihak lain,
sedangkan pengeluaran pembiayaan dapat berupa pembentukan dana
cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok pinjaman
dalam negeri, dan pemberian pinjaman kepada pihak lain. Selisih antara

37
Universitas Sumatera Utara

penerimaan

pembiayaan

dan

pengeluaran

pembiayaan

merupakan

pembiayaan neto. Selisih antara Surplus/defisit dengan pembiayaan neto
inilah yang disebut sebagai SiLPA.
Pasal 137 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diubah terakhir
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 telah
menetapkan bahwa SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan
pembiayaan digunakan untuk:
1. menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil
daripada realisasi belanja;
2. mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja
langsung;
3. mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun
anggaran belum diselesaikan.

2.1.7 Perilaku Oportunistik pada Penyusunan Anggaran
Istilah oportunistik berasal dari kata opportunity yang berarti
kesempatan. Perilaku oportunistik mengacu pada pribadi, sifat atau dinamika
kelompok dalam menghadapi suatu kondisi dimana dalam posisi tertentu
merasa mempunyai kesempatan atau peluang lebih untuk melakukan sesuatu
sesuai keinginan. Menurut Maryono yang dikemukakan oleh Sularso dkk
(2014:5) Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai
keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun. Faktor yang
mempengaruhi

perilaku

oportunistik

adalah

kekuatan

(power)

dan

kemampuan (ability).

38
Universitas Sumatera Utara

Perilaku oportunistik anggaran (fiscal opportunism), yaitu perilaku
oportunistik dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan preferensi yang
mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan keuntungan pribadi
juga keinginan untuk aman secara fiskal, yakni anggaran bisa terealisasi tepat
waktu dan tepat jumlah, memiliki peluang untuk menambah alokasi saat
perubahan APBD, dan menurut Romarina dan Makfatih (2010:37) bahwa
kemungkinan variansi (selisih anggaran dan realisasi sampai akhir tahun)
yang rendah. Perilaku oportunistik mengarah pada terjadinya adverse
selection (menyembunyikan informasi) dan moral hazard (penyalahgunaan
wewenang).
Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk merealisasi
perilaku oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara
eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui
anggaran untuk pelayanan publik dalam bentuk “titipan”. Pada kondisi
pertama, legislatif mengusulkan anggaran yang meningkatkan penghasilannya
sehingga dapat memenuhi self-interestnya dalam jangka pendek. Menurut
Garamfalvi yang dikemukakan Abdullah dan Asmara (2006:6) bahwa hal ini
memunculkan political corruption atas anggaran dalam, sementara pada
kondisi kedua, self-interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan
anggaran yang diperjuangkan adalah yang mengharumkan nama politisi di
wilayah tertentu, sehingga cenderung pada usulan yang targetable atau
hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya, pembangunan cenderung

39
Universitas Sumatera Utara

lebih diarahkan pada daerah yang merupakan wilayah pemilihan politisi yang
powerful di legislatif.
Martinez et al. (2004) yang dikemukakan Abdullah dan Asmara
(2006:6) bahwa political corruption terjadi ketika politisi atau birokrat
tingkat atas memanfaatkan kedudukan mereka demi keuntungan pribadi
ataupun kalangan dekat mereka. Salah satu contohnya yaitu dengan
mengalokasikan belanja untuk barang-barang khusus dan berteknologi tinggi
karena merupakan belanja yang mudah dikorupsi sebab tidak banyak orang
yang memahami barang tersebut. Insentif korupsi dalam sisi belanja anggaran
pemerintah menurut Martinez et al. (2004) yang dikemukakan Abdullah dan
Asmara (2006:7) adalah kurangnya standar etika dan moral, kemungkinan
terdeteksi yang rendah, pengawasan dan sanksi yang lemah, atau
ketidakcukupan gaji dan insentif lainnya.
Menurut Mardiasmo yang dikemukakan Abdullah dan Asmara (2006:7)
menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan bentuk pelayanan
publik yang paling mendasar dan karenanya menjadi fokus utama pembelaan
legislatif di pemerintahan. Namun, belanja untuk pendidikan dan kesehatan
bukanlah area yang dapat memberikan peluang untuk korupsi sehingga
anggaran pendidikan, kesehatan, dan sosial akan diperkecil.
Studi Mauro yang dikemukakan Abdullah dan Asmara (2006:7)
menunjukkan bahwa jenis-jenis belanja pemerintah membuka peluang
terjadinya perilaku oportunistik, karena itu akan dipilih belanja barang atau
pelayanan untuk program-program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor

40
Universitas Sumatera Utara

orang lain. Hasil penelitian ini dikuatkan oleh Tanzi and Davoodi yang
dikemukakan Abdullah dan Asmara (2006:7) bahwa belanja investasi publik
lebih disukai legislatif karena dapat memberikan komisi lebih besar
daripadabelanja untuk pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Dengan
kata lain preferensi legislatif mengarah pada alokasi belanja yang dapat
memberikan keuntungan pribadi lebih besar dan memiliki dampak politik
jangka panjang.
pengalokasian anggaran akan lebih banyak diarahkan untuk proyek
infrastruktur karena lebih mudah digunakan sebagai bentuk pemenuhan janji
legislatif kepada pemilihnya. Legislatif akan merekomendasi eksekutif untuk
menaikkan alokasi pada sektor-sektor yang mendukung kepentingannya dan
mengusulkan pengurangan alokasi anggaran untuk pendidikan, kesehatan,
dan belanja publik lainya yang tidak bersifat job programs dan targetable.
Preferensi legislatif ini memiliki tiga kemungkinan konsekuensi pada alokasi
anggaran untuk sektor lain, yaitu : (1) mengurangi alokasi untuk belanja lain
apabila jumlah belanja secara keseluruhan tidak bertambah, (2) tidak merubah
alokasi sektor lain jika jumlah belanja bertambah, atau (3) kombinasi
keduanya, yakni alokasi untuk sektor lain berkurang walaupun jumlah belanja
secara keseluruhan bertambah.

41
Universitas Sumatera Utara

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu
JUDUL
NAMA
PENELITI PENELITIAN
1 Abdullah dan Perilaku
Asmara
Oportunistik
(2006)
Legeslatif
Dalam
Penganggaran
Daerah: Bukti
Empiris
atas
Aplikasi
Agency theory
Sektor Publik

VARIABEL
PENELITIAN
Variabel Dependen:
Perilaku
oportunistik
legeslatif
dalam
penganggaran
Variabel Independen:
Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
Variabel Kontrol:
Jenis dan letak pemerintah
daerah

2 Fathony

Pengaruh
Pendapatan
Asli
Daerah,
Sisa
Lebih
Perhitungan
Anggaran Dan
Dana Alokasi
Umum
Terhadap
Perilaku
Oportunistik
Penyusun
Anggaran
(Studi Kasus
Kabupaten/Kot
a di Provinsi
Jawa Tengah)

Variabel Dependen:
Perilaku
Oportunistik
Penyusunan Anggaran

Pengaruh
Perubahan
Dana Alokasi
Umum
Terhadap
Perilaku
Oportunistik
Legislatif
Dalam
Penganggaran
Daerah

Variabel Dependen:
Perilaku
Oportunistik
Penyusunan Anggaran

No

(2011)

3 Maryono
(2013)

Variabel Independen:
Pendapatan Asli Daerah,
Selisih Lebih Pembiayaan
Anggaran, Dana Alokasi
Umum

Variabel Independen:
Dana Alokasi Umum

HASIL
PENELITIAN
Legeslatif
sebagai
agen
dari
voters
berperilaku
oportunistik
dalam
penyusunan APBD,
besaran
PAD
berpengaruh terhadap
perilaku oportunistik
legeslatif, dan APBD
digunakan
sebagai
sarana
untuk
melakukan political
corruption.
Pendapatan
Asli
Daerah (PAD) dan
Dana Alokasi Umum
(DAU) berpengaruh
positif
terhadap
Perilaku Oportunistik
Penyusun Anggaran
di Kabupaten/Kota di
Provinsi
Jawa
Tengah.
Sisa
Lebih
Perhitungan
Anggaran
(SiLPA)
berpengaruh negatif
terhadap
Perilaku
Oportunistik
Penyusun Anggaran
Kabupaten /Kota di
Provinsi Jawa tengah
Terdapatnya pengaruh
dana alokasi umum
dengan
perilaku
oportunistik legislatif
dalam penganggaran
daerah di Provinsi
Sumatera
Barat.
Semakin besar dana
alokasi umum yang
diterima
oleh
Kabupaten/Kota maka

42
Universitas Sumatera Utara

4 Sularso,

Determinan
Rastianto dan Perilaku
Istiqomah
Oportunistik
(2014)
Penyusunan
Anggaran
(Studi
Pada
Kabupaten/Kot
a
di
Jawa
Tengah)

5 Parwati
(2015)

6 Megasari
(2015)

Variabel Dependen:
Perilaku
Oportunistik
Penyusunan Anggaran
Variabel Independen:
Pendapatan Asli Daerah,
Selisih Lebih Pembiayaan
Anggaran, Dana Alokasi
Umum

akan semakin besar
pula
perilaku
oportunistik legislatif
dalam
anggaran
daerah.
Penelitian
menunjukkan adanya
perilaku oportunistis
dari para legislatif di
Provinsi
Sumatera
Barat
dalam
memanfaatkan dana
alokasi umum demi
kepentingan legislatif/
DPRD.
Semakin besar jumlah
PAD, jumlah SiLPA
dan
jumlah DAU
yang
diterima
Kabupaten/Kota
di
Provinsi
Jawa
Tengah, maka akan
semakin
besar
perilaku oportunistik
penyusunan anggaran.
Terdapat
pengaruh
positif PAD pada
perilaku oportunistik
penyusun anggaran di
Kabupaten/Kota seBali.
Terdapat
pengaruh
positif DAU pada
perilaku oportunistik
penyusun anggaran di
Kabupaten/Kota seBali.
SiLPA berpengaruh
positif pada perilaku
oportunistik
penyusunan anggaran.

Perilaku
Oportunistik
Penyusun
Anggaran
di
Kabupaten/Kot
a Se-Bali

Variabel Dependen:
Perilaku
Oportunistik
Penyusunan Anggaran

Pengaruh
Pendapatan
Asli Daerah,
Selisih Lebih
Perhitungan
Anggaran Dan
Flypaper Effect
Pada Perilaku

Variabel Dependen:
Pertama, Pendapatan
Perilaku
Oportunistik Asli Daerah (PAD)
berpengaruh negatif
Penyusunan Anggaran
pada
Perilaku
Variabel Independen:
Oportunistik
Pendapatan Asli Daerah, Penyusun Anggaran
Selisih Lebih Pembiayaan Kabupaten/Kota
di
Anggaran, Flypaper Effect Bali. Kedua, Sisa

Variabel Independen:
Pendapatan Asli Daerah,
Dana Alokasi Umum,
Selisih Lebih Pembiayaan
Anggaran

43
Universitas Sumatera Utara

Oportunistik
Penyusun
Anggaran

Lebih
Perhitungan
Anggaran
(SiLPA)
berpengaruh positif
pada
Perilaku
Oportunistik
Penyusun Anggaran
Kabupaten/Kota
di
Bali. Ketiga, Flypaper
Effect
berpengaruh
negatif pada Perilaku
Oportunistik
Penyusun Anggaran
Kabupaten/Kota
di
Bali.

Sumber: Hasil pengolahan sendiri

2.3 Kerangka konseptual Sumber
Teori keagenan menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses
penyusunan anggaran memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan utilitasnya
melalui pengalokasian sumber daya. Penganggaran menjadi mekanisme terpenting
untuk pengalokasian sumber daya, karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh
pemerintah. Menurut Hagen et al., yang dikemukakan Abdullah dan Asmara
(2006:3) bahwa penganggaran sektor publik merupakan proses tawar menawar
antara eksekutif dan legislatif.
Ketika besaran alokasi belanja untuk legislatif dikaitkan dengan kemampuan
keunggulan daerah (diukur dari besaran PAD) secara tidak langsung memberi
motivasi kepada legislatif untuk membuat misalokasi anggaran belanja. SiLPA
juga bisa terjadi akibat asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. SiLPA
ini memiliki pengaruh pada pengalokasian APBD periode selanjutnya, karena

44
Universitas Sumatera Utara

SiLPA akan digunakan untuk menyeimbangkan anggaran yaitu dengan menutupi
pengeluaran pembiayaan.
Sementara DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk
mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Berkaitan
dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut
merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah.
Dari penjelasan di atas maka disusun kerangka konseptual dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
PAD

H1
H4

SiLPA

H2

DAU

H3

PERILAKU
OPORTUNISTIK
PENYUSUNAN
ANGGARAN

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis
Hasil penelitian Abdullah dan Asmara (2006) dan Florensia (2009) perubahan
PAD berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku oportunistik legislatif.
Secara konseptual perubahan APBD akan berpengaruh terhadap belanja, namun
tidak selalu seluruh tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam
belanja. Perubahan APBD menjadi sarana bagi legislatif dan eksekutif untuk
merubah alokasi anggaran secara legal. Perilaku oportunistik legislatif dan
eksekutif saat perubahan APBD dapat mengakibatkan terjadinya misalokasi

45
Universitas Sumatera Utara

anggaran belanja pemerintah. Proporsi PAD yang rata-rata hanya 10% dari total
penerimaan daerah memiliki kecenderungan bertambah saat perubahan anggaran.
Hal ini membuka peluang bagi legislatif untuk merekomendasikan penambahan
anggaran bagi program dan kegiatan yang menjadi preferensinya (Fathony, 2011).
Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti merumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H1

:

Pendapatan

Asli

Daerah

berpengaruh

terhadap

Perilaku

Oportunistik Penyusunan Anggaran
SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA akan
terbentuk bila terjadi surplus pembiayaan neto. SiLPA yang merupakan
penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun anggaran sebelumnya
untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada
realisasi belanja. Hasil penelitian Florensia(2009) menyatakan bahwa SiLPA
berpengaruh negatif terhadap perilaku oportunistik legislatif (OL). Namun
demikian, penelitian yang dilakukan Ardhini (2011) bertolak belakang dengan hal
tersebut dimana SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal pada periode
anggaran selanjutnya, yang berarti dapat berpengaruh pada alokasi belanja tahun
berikutnya sehingga hal ini memberi ruang bagi penyusun anggaran untuk
mengalokasikan free cash flow tersebut untuk melakukan perilaku oportunistik.
Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti merumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H2

: Sisa Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh terhadap Perilaku
Oportunistik Penyusunan Anggaran.

46
Universitas Sumatera Utara

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU
memiliki proporsi yang paling besar pada penerimaan daerah, dimana seharusnya
pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberi
pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Keleluasaan tersebut berpontensi
membuka ruang bagi perilaku oportunistik baik pada legislatif maupun eksekutif.
Fathony (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dana alokasi
umum dengan perilaku oportunistik. Demikian juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Abdullah (2012) dan Maryono (2013) yang menyatakan bahwa
dana perimbangan (Dana Alokasi Umum) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku oportunistik legislatif. Berdasarkan kajian empiris di atas,
maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H3

: Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap Perilaku Oportunistik
Penyusunan Anggaran.

H4

: Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, Dana
Alokasi Umum berpengaruh secara simultan

terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusunan Anggaran.

47
Universitas Sumatera Utara