Warisan Anak Angkat Menurut Hukum Adat Dan Kompilasi Hukum Islam

BAB II
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT DAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM
1. Pengertian dan Sejarah pengangkatan anak (Adopsi)
3. Pengertian anak angkat
Pengangkatan Anak (Adopsi) dari segi bahasa (etimologi) yaitu asal usul kata,
Adopsi berasal dari bahasa Belanda “Adoptie”

47

atau Adoption (Bahasa Inggris)

yang berarti pengangkatan. Sehingga sering dikatakan “Adipstion of a child” yang
artinya pengangkatan atau pemungutan anak.48
Hilman Hadi Kusuma mendefinisikan Anak angkat adalah anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan dan atau pemeliharaan atas harta
kekayaan rumah tangga.49
Mahmud Syaltut mendefinisikan anak angkat ada dua definisi, Pertama Adopsi
adalah seseorang yang mengangkat anak yang sudah diketahuinya bahwa anak
tersebut anak orang lain lalu diperlakukannya seperti anaknya sendiri baik dalam

kasih sayang, pendidikan ataupun dalam perbelanjaan. Hanya saja orang tersebut
tidak memasukkan nasab anak itu ke dalam nasabnya dan tidak dianggap sebagai
keturunannya. Kedua Adopsi adalah adanya seseorang yang tidak memiliki anak

47

R. Soeroso, Op, Cit, perbandingan hukum perdata, Hal : 174
Mahjuddin , Masailul Fiqhiyah (berbagai kasus yang dihadapi “hukum Islam” masa kini), Jakarta,
Kalam Mulia, 2003, Hal : 90
49
Muderis Zaini, Adopsi suatu tinjauan dari tiga sistem hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2002, Hal : 5

48

29
29
Universitas Sumatera Utara

kemudian menjadikan seorang anak sebagai anak angkatnya, padahal ia mengetahui
bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya anak yang sah.50

Definisi Mahmud Syaltut di atas mengenai anak angkat dapat dipahami bahwa
pengertian anak angkat dibagi menjadi dua definisi , pertama merupakan
pengangkatan anak yang telah dibenarkan dan dianjurkan dalam hukum Islam
sedangkan definisi kedua merupakan pengangkatan anak yang tidak dibenarkan dan
tidak dianjurkan dalam hukum Islam.
Soeroso menyatakan bahwa secara garis besar pengangkatan anak (Adopsi) dapat
dibagi dua, yaitu :
1) Pengangkatan anak (Adopsi) dalam arti luas yakni pengangkatan anak
orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak
yang diangkat dengan orang tua angkat timbul hubungan antara anak
angkat sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri.
2) Pengangkatan anak (Adopsi) dalam arti terbatas yakni pengangkatan anak
orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang
diangkat dan orang tua angkat hanya terbatas pada hubungan social saja.51
Kompilasi Hukum Islam pasal 171 (f) menjelaskan bahwa : Anak Angkat adalah anak
yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan

50

51


Mahjuddin, Op, Cit, Hal : 92
R. Soeroso, Op, Cit, Hal : 176

30
Universitas Sumatera Utara

sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. 52
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa
Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.53
Istilah pengangkatan anak berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari baha
Inggris “Adoption”, mengangkat seorang anak, 54 yang berarti mengangkat anak
orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama
dengan anak kandung. Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Pengangkatan anak telah menjadi tradisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab
yang dikenal dengan istilah tabanni yang berarti mengambil anak angkat.55

Istilah tabanni yang berarti seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan
berlakulah terhadap anak tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak
kandung orang tua angkat,56pengertian demikian memiliki pengertian yang identik
dengan istilah Adopsi. Secara terminology tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili
adalah pengangkatan anak (tabanni) pengambilan anak yang dilakukan oleh

52

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Jakarta Akademika Pressindo, 2007, Hal : 156
Peraturan Pemerintah RI Tentang Pengangkatan Anak Nomor 54 Tahun 2007
54
Jonathan Crowther. (Ed). Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford University, 1996, Hal :
16
55
Ibrahim Anis, dan Abd, Halim Muntashir (et al), Al-Mu’jam Al-Wasith, Mesir: Majma‟ al-lughah alArabiyah, 1392 H/1972 M, Cet. II, Jilid I, Hal : 72
56
Muhammad Ali Al-Sayis, Tafsir ayat al-Ahkam, Mesir, 1372 H/1953 M, Hal : 7
53

31

Universitas Sumatera Utara

seseorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu di nasab-kan
kepada dirinya. 57 Dalam pengertian lain, tabanni adalah seorang baik laki-laki
maupun perempuan yang dengan sengaja me-nasab-kan seorang anak kepada dirinya
padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua kandungnya.58
Pengertian anak dalam pengertian demikian jelas bertentangan dengan Hukum Islam,
maka unsur me-nasab-kan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasab-nya
harus dibatalkan
Anak angkat dalam pengertian hukum adat dapat dilihat dari berbagai pendapat
sarjana hukum adat. Pengangkatan anak yang terdapat di seluruh Nusantara, ialah
perbuatan memungut/mengangkat anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin
suatu ikatan social yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis, perbuatan
pengangkatan anak dalam hukum adat terjadi apabila terciptanya ikatan social antara
anak angkat dan keluarga angkatnya.59
Ambil anak, kukut anak, anak angkat adalah suatu perbuatan hukum dalam konteks
hukum adat kekeluargaan (keturunan). Apabila seorang anak telah dikukut, dipupon,
diangkat sebagai anak angkat, maka dia akan didudukkan dan diterima dalam suatu
posisi yang dipersamakan baik biologis maupun social yang sebelumnya tidak
melekat pada anak tersebut. Ter Haar, sebagaimana dikutip Muderis, menyatakan :

“… bahwa dengan jalan suatu perbuatan hukum, dapatlah orang memengaruhi

57

Wahbah al-Zuhaili, al-Ffiqh al-Islami wa al-Adillatuhu, Beirut, Cet IV, 1997, Hal : 271
Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid, al-Ahwal al-Syahsyiah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Mesir,
1966, Hal : 386
59
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberti, 1981
58

32
Universitas Sumatera Utara

pergaulan-pergaulan yang berlaku sebagai ikatan biologis, dan tertentu dalam
kedudukan sosialnya, sebagai contoh dapat disebutkan : kawin ambil anak, atau
“inlijfhuwelijk”. Kedudukan yang dimaksud membawa dua kemungkinan, yaitu :
sebagai anak, sebagai anggota keluarga, melanjutkan keturunan, sebagai ahli waris
(yuridis), atau sebagai anggota masyarakat (social) dan menurut tata cara adat,
perbuatan pengangkatan anak itu pasti dilakukan dengan terang dan tunai.60

Anak angkat sebagai anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk
kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
Pendapat ini mengartikan anak angkat yang sah adalah anak orang lain yang telah
diakui oleh keluarga angkat dan hukum adat setempat. 61
Mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam
keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan
anak yang dipungut itu tumbul suatu kekeluargaan yang sama seperti ada antara
orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Pendapat ini menegaskan bahwa dalam
pengangkatan anak tidak hanya sebatas mengangkat atau mengakui, tetapi keluarga
angkat harus memberlakukan anak angkat tersebut seperti anak kandungnya sendiri.62
Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam adalah pengangkatan anak yang
bersumber pada Al-Quran dan Sunnah serta hasil ijtihad yang berlaku di Indonesia
60

Ter Haar, dalam Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1981,
Hal : 29
61
Hilman hadikusuma, hukum waris adat, lampung, citra Aditya bakti, 1993
62

Max bhirawaar, system pengangkatan/adopsi anak dalam hukum adat Indonesia,
https://maxbhirawaar.wordpress.com/2012/12/31/sistem-pengangkatanadopsi-anak-dalam-hukumadat-indonesia/diakses pada 24 februari 2016

33
Universitas Sumatera Utara

yang diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik dalam
bentuk fikih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang-undangan,
termasuk di dalamnya Kompilasi Hukum Islam.63
Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam menegaskan tentang pengertian anak angkat
sebagai anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada
orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Ketentuan pasal tersebut secara
implisit menegaskan bahwa terjadinya pengangkatan anak berakibat pada beralihnya
tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya dalam hal
pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya, sedangkan
hubungan nasab, wali nikah bagi anak angkat perempuan, dan hak saling mewarisi
dengan orang tua kandungnya tidak terputus.64 Dalam Islam pengangkatan anak yang
dibenarkan adalah yaitu tidak melekatkan nasab kepada anak angkat sehingga
hukumnya tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan. Hal ini dipahami dari

dalil surah al-Ahzab ayat 37, dimana asbabun nuzulnya adalah ketika Nabi saw
diperintah Allah saw menikahi Zainab yang merupakan mantan isteri dari anak
angkatnya yang bernama Zaid bin Harisah.
Islam memang mengakui bahwa pengangkatan anak adalah hal yang mulia karena
sama halnya menolong anak-anak yang membutuhkan pertolongan apalagi anak

63

Mukti Arto, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negri, danam Varia
Peradilan Tahun XXI No. 52, MA RI, Jakarta, 2006
64
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Wewenang Pengadilan Agama, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2008, Hal : 21

34
Universitas Sumatera Utara

yatim piatu. Meskipun pengngkatan anak adalah perbuatan yang mulia, harus
dipahami bahwa ada batas-batas yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. Seperti
karena tidak mempengaruhi kemahraman, maka tidak dibenarkan jika anak tersebut

sudah baligh diperlakukan seperti anak sendiri karena biar bagaimanapun ia bukanlah
mahram (di Indonesia sering disebut muhrim). 65
Pengertian pengangkatan anak menurut hukum adat dapat ditemukan dalam doktrin
maupun yurisprudensi. Pengertian pengangkatan anak dalam doktrin dikemukakan
antara lain oleh Surojo Wignjodipuro bahwa pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa,
sehingga antara orang tua yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul
hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak
kandungnya sendiri.66
Yurisprudensi semula berpandangan bahwa terjadinya pengangkatan anak bergantung
pada proses formalitas adat pengangkatan anak. Hal ini dapat diketahui dari Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 210/K/Sip/1973 bahwa untuk mengetahui keabsahan
seorang anak angkat tergantung kepada upacara adat tanpa menilai secara objektif
keberadaan anak dalam kehidupan keluarga orang tua angkat. Syarat keabsahan anak
angkat yang demikian semakin jelas terlihat dari Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 912 K/Sip/1975 yang menyatakan bahwa tanpa upacara adat tidak sah

65

Hukum mengangkat atau adopsi anak dalam Islam, http://hukum-islam.com/2014/02/hukummengangkat-atau-adopsi-anak-dalam-islam/diakses pada 24 februari 2016

66
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet ke-8, Jakarta, Haji Masagung,
1989, Hal : 118

35
Universitas Sumatera Utara

pengangkatan anak meskipun sejak kecil dipelihara serta dikawinkan orang yang
bersangkutan. Seiring dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat, pandangan ini kemudian mengalami pergeseran dengan
menciutnya pandangan lama dan tumbuhnya pandangan baru bahwa untuk
mengetahui seseorang adalah anak angkat atau bukan, tidak semata-mata tergantung
pada formalitas pengangkatan anak, tetapi dilihat dari kenyataan yang ada, yaitu ia
sejak bayi diurus dan dipelihara, dikhitankan, disekolahkan, dan dikawinkan oleh
orang tua angkatnya, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 53
K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret 1996.67

4. Sejarah Pengangkatan Anak (Adopsi)
Sejarah pengangkatan anak sama tuanya dengan peradaban ummat manusia. Code of
Hammurabi yang merupakan kitab undang-undang tertua didunia yang terdapat pada
zaman Babilonia sekitar 21 abad sebelum masehi telah mencantumkan aturan
pengangkatan anak. Demikian pula dalam kodifikasi hukum Romawi tertua yang
dikenal dengan Undang-Undang Dua Belas Pasal (Twelve Tables) atau hukum dari
raja (The Law of The King) sekitar 450 tahun sebelum Masehi, yang selanjutnya
undang-undang ini menjadi basis sistem hukum yang dipraktikkan di Negara-negara
yang menganut sistem Eropa Kontinental, termasuk Indonesia.68

67

Rehngena Purba, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, dalam Varia Peradilan Tahun XXII No. 260
Juli 2007, MA RI, Jakarta, 2007, Hal : 38-46
68
M. Nazaruddin, Masalah Adopsi dalam RUU Peradilan Anak, dalam Mimbar Hukum No. 25 Tahun
VII, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, 1996, Hal : 22-23

36
Universitas Sumatera Utara

Pengangkatan anak dalam hukum Romawi merupakan lembaga hukum yang sangat
tua karena berakar dari hukum nenek moyang bangsa Romawi. Biasanya lembaga ini
dilakukan terhadap seorang anak yang lahir sebelum ayah ibunya kawin secara resmi,
tetapi kemudian berkembang pengangkatan anak terhadap anak dari budak
perempuan. Hukum Romawi dan kebanyakan Negara yang berlaku sistem Eropa
Kontinental mengenal lembaga pengangkatan anak.69
Secara historis, sistem hukum Anglo Saxon tidak mengenal lembaga pengangkatan
anak. Namun dalam perkembangannya sebagian besar hukum di Negara-negara
Anglo Saxon mulai mengenal lembaga pengangkatan anak. Lembaga ini mulai
dikenal di Inggris sejak tahun 1926 meskipun tanpa hak mewaris bagi anak angkat.
Setelah lahir undang-undang pengangkatan anak (The Adoption of Children) tahun
1949, hak mewaris diberikan juga terhadap anak angkat, sehingga sama dengan
akibat hukum dalam lembaga pengankatan anak menurut sistem hukum Romawi.
Hukum Amerika Serikat dan Australia sudah lebih dahulu mengakui lembaga
tersebut sebelum yang dilakukan Inggris.70
Sejarah adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum
kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi
pengangkatan anak sebenarnya jauh sebelum Islam datang telah dikenal oleh
manusia, seperti pada bangsa Yunani, Romawi, India, dan berbagai bangsa pada

69
70

Musthofa Sy, Op, Cit, Pengangkatan Anak Wewenang Pengadilan Agama, Hal : 1
Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005, Hal : 212-214

37
Universitas Sumatera Utara

zaman kuno. Di kalangan bangsa arab sebelum Islam (masa jahiliah) istilah ini
dikenal dengan Al-Tabanni dan sudah ditradisikan secara turun temurun. 71
Yusuf Qaradhawi mengemukakan tentang pandangan terhadap peraturan jahiliah ini
bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realita. Suatu pemalsuan
yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya. Anak angkat dapat
bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dalih sebagai mahram, padahal
hakikatnya mereka itu sama sekali orang asing. Istri dari ayah yang memungut bukan
ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya.
Anak angkat sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu. Anak angkat ini dapat
menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang semestinya berhak
menerima. 72
Dalam surat Al-Ahzab ayat 4-5 dijelaskan : “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu
yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu
dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan
(yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudarasaudaramu seagama dan maula-maulamu, dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa
yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu, dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang” (Q.S.Al-Ahzab:45).73
Surat Al-Ahzab ayat 4 sampai 5 mengandung pengertian bahwa Allah melarang
pengangkatan anak (Adopsi) yang menisbatkan segala-galanya kepada nama bapak
71

Mahjuddin, Op, Cit, Hal :27
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Alih Bahasa : Tim penerbit jaba‟, bandung, Jabal, 2009, Hal :
231
73
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemah, Bandung, Penerbit Diponegoro, 2007,
Hal : 415
72

38
Universitas Sumatera Utara

angkatnya, persamaan hak waris dan hubungan mahram serta perwalian perkawinan.
Anak angkat itu hanya sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bias
disamakan dengan status anak kandung. Pengangkatan anak di Indonesia telah
menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan,
karena menyangkut kepentingan orang perorang dalam keluarga. Maka dikeluarkan
oleh pemerintah Hindia Belanda Staatblad Nomor 129 Tahun 1917, yang mengatur
tentang pengangkatan anak. Dijelaskan dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor54 Tahun 2007. Selain itu pengaturan teknisnya banyak tersebar dalam bentuk
SEMA (Surat Edaram Mahkamah Agung). Pengangkatan anak diatur dalam pasal 39
undang-undang nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-undang 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya.
(2a) pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan dalam
akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal anak.
3. Calon orang tua angkat harus seagama yang dianut oleh calon anak
angkat.
4. Pengangkatan anak oleh warga Negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
(4a) Dalam hal anak tidak diketahui asal-usulnya, orang yang akan mengangkat anak
tersebut harus menyertakan identitas anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 27
ayat (4).

39
Universitas Sumatera Utara

5. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.74
Islam memperbolehkan melakukan pengangkatan anak dengan prinsip tolongmenolong. Seperti mengasuh anak yatim, miskin, terlantar dan lain-lain, yang
perlakuan seperti anak kandungnya sendiri tanpa memisahkan hubungannya dari
orang tua kandungnya, dengan maksud beribadah kepada Allah. Penjelasan di atas
dibenarkan oleh hukum Islam dan diperkuat dengan peraturan-peraturan yang ada di
Indonesia baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) dan lain sebagainya.
Masyarakat arab di masa jahiliyah dan begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak
yang menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya, yaitu dengan jalan
mengambil anak angkat. Seorang laki-laki boleh memilih anak kecil untuk dijadikan
anak, kemudian di proklamasikan. Maka sianak tersebut menjadi satu dengan anakanaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah dan
mempunyai hak yang sama. 75
Imam Al-Qurtubi menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW pernah
mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi
memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh
Muhammad, dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya
ini diumumkan oleh Muhammad di depan kaum Quraisy. Muhammad juga

74

Undang-Undang Perlindungan Anak. UU Nomor 35 Th.2014 tentang perubahan atas UU No.23
th.2002
75
Yusuf Qaradhawi, Op, Cit, Hal : 230-231

40
Universitas Sumatera Utara

menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan
dengan Zainab binti Jahsy putri Aminah binti Abdul Muthalib, bibi Muhammad. 76
Kemudian setelah Muhammad diutus menjadi Rasul, turunlah wahyu menjelaskan
masalah pengangkatan anak dalam Q.S. Al-Ahzab : 4-5.
Dalam Hadist dari Aisyah Radhiyallahu „Anha ia berkata, „Sahlah binti Suhail bin
„Amr mendatangi Rasulullah SAW kala itu ia masih menjadi istri Abu Hudzaifah bin
„Utbah lalu berkata, “Sesungguhnya Salim masuk kepada kami dan kami merasa
risih, kami telah menganggapnya seperti anak sendiri. Dan abu Hudzifah telah
mengadopsinya sebagai anak sebagaimana Rasulullah SAW mengadopsi Zaid
sebagai anak, maka Allah menurunkan : “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.77
Sebelum Rasulullah diutus menjadi Rasul, beliau mengangkat Zaid bin Haritsah
sebagai anak angkatnya. Zaid adalah seorang budak yang ditawan oleh Khalil,
seorang penduduk Tihamah, dari tanah Syam. Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam bin
Khuwailid, lalu diberikan kepada makciknya, Siti Khadizah. Khadizah memberikan
Zaid kepada Nabi, maka Nabi pun memerdekakan dia dan menjadikannya sebagai
anak angkat.78

2. Tujuan Dan Latar Belakang Pengangkatan Anak
76

Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam, Jakarta, Kencana,
2008, Hal : 22-23
77
Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbal bin Hadi, Shohih Ababun Nuzul, Penerjemah Agung Wahyu,
Depok, Meccah, 2006, Hal : 315-316
78
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al-Quran Majid An-Nuur, Jilid 4, Semarang,
Pustaka Rizki Putra, 2000, Hal : 3252

41
Universitas Sumatera Utara

Pengangkatan anak di kalangan masyarakat mempunyai beberapa tujuan dan/atau
motivasinya. Tujuannya antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, apabila
dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan.

79

Motivasi ini sangat kuat

terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak mungkin melahirkan anak,
padahal mereka sangat mendambakan kehadiran anak dalam pelukan di tengahtengah keluarganya. Undang-undang Nomor 23/2002 tentang perlindungan anak
secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan,
sekedar untuk pancingan dan setelah memperoleh anak, kemudian anak angkat disiasiakan atau diterlantarkan sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada
anak. Pengangkat anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan
pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan
lebih maslahat.
Tujuan pengangkatan anak ada bermacam-macam. Tujuan pengangkatan anak bagi
orang Tionghoa sebagaimana diatur Staatsblad 1917 Nomor 129 adalah untuk
meneruskan keturunan laki-laki. Tujuan pengangkatan anak menurut hukum adat
sangat variatif. Sedangkan pengangkatan anak menurut perundang-undangan dan
hukum Islam bertujuan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.80Menurut hukum

79
80

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 39 ayat 1
Musthofa, Op, Cit, Hal : 41

42
Universitas Sumatera Utara

adat tujuan tersebut bervariasi, sedangkan menurut perundang-undangan dan hukum
Islam bertujuan untuk kepentingan terbaikbagi anak. Tujuan untuk kepentingan
terbaik bagi anak menurut hukum Islam, dapat dilihat dari sikap Nabi Muhammad
SAW, ketika memberikan kebebasan opsi kepada Zaid untuk memilih sesuai dengan
kepentingan terbaik bagi Zaid, tetap bersama Nabi Muhammad SAW, atau kembali
kepada orang tuanya tanpa tebusan, dan Zaid memilih bersama Nabi Muhammad
SAW, karena ia merasakan kasih sayang dan pemeliharaan yang teramat baik.81
Harus disadari bahwa pengangkatan anak yang sesuai dengan budaya dan akidah
masyarakat Indonesia tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya. Hal sensitive yang juga harus disadari oleh calon
orang tua angkat dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat
seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting
diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkat
hanya memiliki satu arus arah dari orang tua angkat terhadap anak angkatnya, jika hal
itu terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta akidah orang tua kandung
anak angkat itu.82
Staatsblad 1917 No. 129 tak ada satu pasal pun yang menyebutkan masalah motif dan
tujuan dari pada pengangkatan anak secara kongkret, kecuali pasal 15 ayat 2 yang
dapat dijadikan pedoman dalam pembahasan tentang pengangkatan anak (Adopsi).
Pasal/ayat tersebut mengemukakan : “pengangkatan terhadap anak-anak perempuan
81

Ibid, Hal : 47
Fauzan, Pengangkatan Anak Bagi Keluarga Muslim Wewenang Absolute Peradilan Agama, Majalah
Mimbar Hukum, Edisi Desember 1999, No. X, Hal : 56

82

43
Universitas Sumatera Utara

dan pengangkatan dengan cara membuat akta otentik adalah batal demi hukum”.
Ketentuan tersebut sebenarnya beranjak dari sistem kepercayaan adat Tionghoa,
bahwa anak laki-laki menurut anggapan Tionghoa akan melanjutkan keturunan
mereka dikemudian hari. Di samping itu anak laki-lakilah yang dapat memelihara abu
leluhur orang tuanya. Motif lain dalam pengangkatan anak adalah sebagai pancingan
yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan, bahwa dengan mengangkat anak tersebut,
maka keluarga yang mengangkatnya akan mendapat anak kandung sendiri.83
Alasan pengangkatan anak yang asli pada hakikatnya adalah untuk meniru alam
dengan menciptakan keturunan secara buatan, dengan tujuan untuk mengatasi
ketidakpunyaan keturunan. Ini harus dipandang dari sudut kepentingan orang yang
melakukan pengangkatan anak. Motivasi yang sama terdapat pada masyarakat
Indonesia dalam melakukan pengangkatan anak. Pada masyarakat Indonesia yang
Unilateral-Patrilineal ketidak punyaan anak laki-laki atau keturunan laki-laki, seperti
halnya pada masyarakat unilateral-matrilineal dalam hal tidak mempunyai anak
perempuan atau keturunan perempuan, adalah bukan sekedar persoalan bagi pasangan
suami istri, melainkan menjadi persoalan bagi seluruh kerabatnya, karena sifat
komunal membawa hubungan dan ikatan yang erat antara perseorangan dengan
keluarganya. Bahkan sedikit banyak juga hubungan dengan masyarakat disekitanya
(masyarakat adat), terutama bagi orang yang menduduki status social yang penting di

83

R. Soeroso, Op, Cit, Perbandingan Hukum Perdata, Hal : 180

44
Universitas Sumatera Utara

dalam masyarakat, maka persoalan ketidak punyaan keturunan menjadi persoalan
besar bagi masyarakat tersebut.84
Sehubungan dengan pengangkatan anak pada masyarakat adat umumnya, Ter Haar
mengemukakan bahwa “keluarga tidak beranak mengambil anak itu terutama untuk
menjaga supaya mempunyai anak cucu yang akan meneruskan garis keturunannya
sendiri, tapi juga ada maksud-maksud lainnya” yaitu supaya memperoleh tenaga kerja
di rumah dan maksud lainnya”.85
Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, hukum adat berbeda dengan
motivasi pengangkatan anak yang terdapat dalam undang-undang perlindungan anak
yang menekankan bahwa perbuatan hukum pengangkatan anak harus didorong oleh
motivasi semata-mata untuk kepentingan yang terbaik untuk anak yang akan
diangkat. Dalam hukum adat, lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orang tua
angkat) akan kepunahan, maka calon orang tua angkat (keluarga yang tidak
mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya yang
dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian memduduki
seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia terlepas
dari golongan sanak saudaranya semula. Pengangkatan anak tersebut dilakukan
dengan upacara-upacara dengan bantuan pemuka-pemuka rakyat atau penghulu-

84

Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, Hal : 40
Ter Haar, Beginselen en stelsel van Het Adatrecht, terjemahan K. Ng. Soerbakti Poesponoto,
Jakarta, Pradnya Paramita, 1976, Hal : 183

85

45
Universitas Sumatera Utara

penghulu yang dilakukan secara terang karena dihadiri dan disaksikan oleh hadirin
undangan dan khalayak ramai. 86
Cara berfikir, pandangan hidup, dan karakter suatu bangsa tercermin dalam
kebudayaan dan hukumnya. Cara berfikir orang barat sering digambarkan bersifat
abstrak, analitis dan sistematis. Sedangkan cara berfikir orang Indonesia bersifat
konkret dan riil.87 Menurut F. D. Holleman, ada 4 (empat) sifat umum hukum adat
Indonesia yang dipandang sebagai suatu kesatuan, yaitu religious magis (magisch
religieus), komun (commun), kontan (tunai), dan konkret (visual).88
Pengangkatan anak secara adat dilakukan dengan tata cara yang bervariasi
bagi setiap daerah. Sedangkan menurut Bushar Muhammad, secara umum tata cara
itu dilakukan secara terang dan tunai. Adapun yang dimaksud terang adalah suatu
prinsip legalitas yang berarti perbuatan itu diumumkan dan dilakukan di hadapan
banyak orang dengan tujuan agar khalayak ramai dapat mengetahui bahwa telah
terjadi pengangkatan anak. Sedangkan tunai berarti perbuatan itu akan selesai ketika
itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.89
Wujud dilakukan secara terang antara lain dengan upacara adat dengan peran
serta kepala adat, selamatan dan doa disaksikan oleh lurah, dan adakalanya anak
angkat diberi nama baru oleh orang tua angkatnya. Namun di daerah-daerah tertentu,
tata cara pengangkatan anak tidak dilakukan secara terang, tetapi cukup dengan
86

Ter Haar, dalam Bushar Muhammad, Op, Cit, Pokok-pokok Hukum Adat, Hal : 30
R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Pradya Paramita, 2006, Hal : 20
88
Disampaikan dalam pidatonya pada Pengukuhan Guru Besar yang berjudul Corak
Kegotongroyongan di dalam Kehidupan Hukum Indonesia, dalam Imam Sudiyat, Hal : 35
89
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 2006, Hal : 33

87

46
Universitas Sumatera Utara

penyerahan diri keluarga asal kepada keluarga yang mengangkat, bahkan ada yang
menuangkannya dalam suatu surat.90
Wujud dilakukan secara tunai dan kontan antara lain dengan memberikan
sejumlah benda magis kepada keluarga pemberi anak. Sedangkan Ter Haar
menggambarkan bahwa yang dimaksud dengan suatu perbuatan tunai adalah
masuknya anak dari keluarga yang lama ke dalam lingkungan kerabat yang
mengambilnya dengan penggantian atau penukaran suatu benda magis.91
Di Pontianak ditandai dengan si anak minum setetes darah dari orang tua
angkatnya, darah dari susu sebelah kanan, yang dicampur dengan tuak. Kemudian si
anak dan orang tua kandungnya melakukan pembayaran adat sebesar 2 ulun (dinar)
sebagai tanda pelepasan anak tersebut. Apabila yang menghendaki pengangkatan
anak itu adalah orang tua kandung, maka jumlah pembayaran sebesar 2 ulun. Apabila
yang menghendaki adalah orang tua angkat, dibebaskan dari pembayaran. Tetapi jika
yang menghendaki adalah keduanya, yaitu orang tua angkat dan orang tua kandung,
maka harus membayar sebesar 4 ulun.92
Yurisprudensi semula berpandangan bahwa keabsahan pengangkatan anak
tergantung formalitas-formalitas adat tersebut. Namun yurisprudensi akhir-akhir ini
sudah berpendapat bahwa adanya pengangkatan anak menurut adat dapat pula
disimpulkan dari hal tampak dari luar mengenai keberadaan anak yang tinggal terus-

90

Musthofa, Op, Cit, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Hal : 50
J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2000, Hal : 263
92
Ibid
91

47
Universitas Sumatera Utara

menerut dan diasuh oleh keluarga tertentu serta perlakuan keluarga dalam hubungan
antara anak dengan keluarga tersebut. 93

3. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) tidak ditemukan satu ketentuan
yang mengatur masalah pengangkatan anak (adopsi). BW hanya mengatur ketentuan
tentang pengakuan anak luar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku I Bab 12
bagian ketiga BW, tepatnya pada pasal 280 sampai 289 yang subtansinya mengatur
tentang pengakuan terhadap anak-anak di luar kawin.lembaga pengakuan anak luar
kawin tidak sama dengan lembaga pengangkatan anak. Dilihat dari segi orang yang
berkepentingan, pengakuan anak di luar kawin hanya dapat dilakukan orang laki-laki
saja khususnya ayah biologis dari anak yang diakui. Sedangkan dalam lembaga
pengangkatan anak tidak terbatas pada ayah biologisnya, tetapi orang perempuan atau
laki-laki lain yang sama sekali tidak ada hubungan biologis dengan anak itu dapat
melakukan permohonan pengangkatan anak sepanjang memenuhi persyaratan hukum.
Mengingat kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak telah menunjukkan
angka yang meningkat, di samping kultur budaya masyarakat Indonesia asli dan
masyarakat keturunan Tionghoa telah lama mempraktikkan pengangkatan anak, maka
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya mengatur

93

Musthofa, Op, Cit, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Hal : 51

48
Universitas Sumatera Utara

secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi Hukum
Perdata Barat (BW).94
Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan
pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negri
tampak

kian

bertambah,

baik

yang

merupakan

permohonan

khusus

pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan, pergeseran,
dan variasi-variasi motivasinya.95
Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang
pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan dirasakan
bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat setelah
memperoleh putusan pengadilan.96 Pengadilan Negri atau Pengadilan Agama dalam
menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima, memeriksa, dan
mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, antara lain
permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu kepada hukum
terapannya.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Mahkamah Agung sendiri sebagai
penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan
perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia,
terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing
94

Ahmad Kamil, Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta,
Rajawali Pers, 2008, Hal : 19-20
95
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, Hal :
28
96
Ibid

49
Universitas Sumatera Utara

ternyata tidak mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum yang dapat
dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman
tentang pengangkatan anak, misalnya :97
1) Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15
mengatur masalah pengangkatan anak (Adopsi) yang merupakan
kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada, dan khusus berlaku bagi
golongan masyarakat keturunan tionghoa.
2) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 tahun 1979,
tentang Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur hukum
mengajukan permohonan pengesahan dan/atau permohonan
pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan.
3) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983
tentang penyempurnaan SUrat Edaram Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 2 Tahun 1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September
1983.
4) Keputusan Mentri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai
berlaku sejak 14 juni 1984.
5) Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-undangn Nomor 23 Tahun 2002,
tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22
Oktober 2002.
6) Surat Edaram Mahkamah AGung RI (SEMA) Nomor 3 tahun 2005,
tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005, setelah
terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang
melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah social berupa
banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya
keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak
angkat oleh LSM dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat
membahayakan akidah agama anak tersebut.
7) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undangundang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada pasal 49
huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang “…..
Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam”.
8) Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan
97

Ibid

50
Universitas Sumatera Utara

telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutus atau
menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang dalam waktu
yang lama sampai sekarang.
9) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2007 tentang pelaksanaan
pengangkatan anak
10) Peraturan Mentri Sosial RI Nomor.110 Tahun 2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak.
Dalam hukum positif di Indonesia, pengangkatan anak diatur dalam Pasal 39 hingga
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tidak
jauh berbeda dengan konsep pengangkatan anak dalam hukum Islam. Pasal 39 ayat
(2) menyatakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara
anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Sebab orang tua angkat hanya
menggantikan kewajiban orang tua kandung atas perawatan, pendidikan, dan proses
tumbuh kembang anak sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2). Menurut Andi
Syamsu Alam dan M. Fauzan tujuan utama pemindahan kuasa asuh dari orang tua
kandung kepada orang tua angkat adalah untuk menciptakan generasi yang
berkualitas, memiliki akhlak yang mulia, dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, melekat hakhak yang perlu dihormati dan dijunjung tinggi oleh orang tua, masyarakat dan
Negara.98
Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui lembaga
pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah dipraktekkan
masyarakat jahiliyah. Dalam arti terlepasnya ia dari hukum kekerabatan orang tua
kandungnya dan masuknya ia ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya.
98

Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Op, Cit, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Hukum Islam, Hal :
219

51
Universitas Sumatera Utara

Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti
pemungutan dan pemeliharaan anak, dalam artian status kekerabatannya tetap berada
di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak
mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya,
berikut dengan segala akibat hukumnya.
Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak kandung
berdasarkan firman Allah SWT. Dalam Surat al-Ahzab (33) ayat 4-5 yang artinya
“…. Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri),
yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan
yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka
(anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;itulah yang
lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulamaulamu…”99
Apabila ada anak-anak yang ditinggal mati ayahnya karena peperangan atau bencana
lain misalnya, seperti peperangan yang terjadi pada masa awal-awal Islam, maka
agama Islam memberikan jalan keluar yang lain dari pengangkatan anak tersebut.
Umpamanya dengan jalan menikahkan para janda yang ditinggal mati suaminya itu
dengan laki-laki lain.100 Dengan demikian anak-anak janda tersebut tidak lagi menjadi
terlantar. Status anak tersebut bukan anak angkat tetapi anak tiri. Kalau anak tiri
tersebut perempuan, maka anak tiri itu menjadi mahramnya, dalam arti sudah haram
kawin dengannya kalau sudah ba’da dukhul dengan ibu anak tirinya itu.101

99

Maula adalah yang menjadi wali hamba sahaya
QS. An-Nur/24:32
101
QS. An-Nisa/4:23

100

52
Universitas Sumatera Utara

Para Ulama Fikih sepakat menyatakan bahwa hukum Islam melarang praktik
pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang
dikenal oleh hukum Barat/hukum sekuler dan praktik masyarakat jahiliyah;yaitu
pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat
terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak
waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak
terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam
pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik,
memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.102
Hukum Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat
dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak
asuh diperluas,103 dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Akibat yuridis
dari pengangkatan

anak dalam Islam hanyalah terciptanya hubungan kasih dan

sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesame manusia. Karena tidak ada
hubungan nasab, maka konsekuensi yuridis lainnya adalah antara orang tua angkat
dengan anak angkat harus menjaga mahram, dank arena tidak ada hubungan nasab,
maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan. Rasulullah Muhammad SAW,
diperintahkan untuk mengawini janda Zaid Bin Haritsah tidak ada hubungan nasab,

102

Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Op, Cit, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Hukum Islam, Hal
: 44-45
103
Pengangkatan anak dalam Islam konteksnya lebih tepat disebut anak asuh yang diperluas. Anak
asuh yang diperluas, karena dalam pengangkatan anak-anak, harus melalui proses penetapan
Pengadilan Agama, sedangkan pengasuhan anak tidak memerlukan suatu proses penetapan Pengadilan.

53
Universitas Sumatera Utara

kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai orang tua angkat dengan anak
angkatnya.104
Muhammad Ali As-Shabuni mengatakan “Sebagaimana Islam telah membatalkan
zihar, demikian pula halnya dengan “tabanni”. Syariat Islam telah mengharamkan
tabanni yang menisbatkan seorang anak angkat kepada yang bukan bapaknya, dan hal
itu termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya mendapat murka dan kutukan
Allah SWT. 105 Sebagaimana dinyatakan Rasulullah SAW. Dalam Hadist Riwayat
Bukhari “ Barang siapa yang memanggil (mendakwakan) dirinya sebagai anak dari
seseorang yang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpakan laknat Allah, para
malaikat dan manusia seluruhnya. Kelak pada hari kiamat Allah tidak menerima
darinya amalan-amalannya dan kesaksiannya. (HR. Muslim).106
Aspek hukum menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya, atau yang
memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya untuk kemudian dimasukkan ke
dalam klan nasab orang tua angkatnya, adalah yang paling mendapat kritikan dari
Islam, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Hadist yang diriwayatkan
Imam Muslim, juga oleh Imam Bukhari, Rasulullah pernah menyatakan bahwa :
“tidak seorangpun yang mengakui (membanggakan diri) kepada bukan ayah yang
sebenarnya, sedang ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah
kufur. Dan barang siapa bukan dari kalangan kami (kalangan kaum Muslimin), dan
hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka.107

104

Mahjuddin, Op, Cit, Masailul Fiqhiyah, Hal : 87
Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’il Bayan fi Tafsir al-Ahkam, Kairo, Maktabah Al-Imam, Hal :
263
106
Lihat dalam Sahih Muslim hadist nomor 2433
107
Lihat dalam Sahih Muslim hadist nomor 93. Sahih Bukhari hadist nomor 3246
105

54
Universitas Sumatera Utara

4. Ruang lingkup Pengangkatan Anak
Dunia lembaga pengangkatan anak (Adopsi) bukanlah masalah baru. Sejaka zaman
dahulu, pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbedabeda, sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta
berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan, Indonesia sendiri yang belum
memiliki peraturan dan perundang-undangan yang lengkap, pengangkatan anak sudah
sejak zaman dulu dilakukan. Tujuan dari lembaga pengangkatan anak adalah
bermacam-macam. Ada yang bertujuan untuk meneruskan keturunan, bilamana
didalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan
sebagai pancingan (di jawa) yakni dengan mengangkat anak. Keluarga yang di angkat
(Adopsi) akan dikaruniai anak kandung sendiri. Ada yang khusus mengangkat anak
laki-laki agar dapat membakar jenazah orang tuanya serta untuk memelihara abunya.
Dan ada pula suatu kepercayaan bahwa suatu suku bangsa akan musnah, apabila
kepala suku tidak mempunyai anak laki-laki. Dalam kedua kepercayaan tersebut
pengangkatan anak laki-laki sangat didambakan. Disamping itu ada yang disebabkan
oleh belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu atau disebabkan oleh
keadaan orang tua nya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Dalam hukum
Belanda yang semula tidak mengenal lembaga pengangkatan anak (Adopsi), sekarang
pengangkatan anak diakui (BW Belanda yang baru) akan tetapi tujuan nya adalah dari
segi social ekonomi dan bukan untuk meneruskan keturunan. Dari hal-hal tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk social dalam kehidupan

55
Universitas Sumatera Utara

keluarga yang merupakan kelompok masyarakat terkecil belum merasa lengkap dan
bahagia apabila tidak terdiri dari bapak, ibu dan anak atau dengan kata lain
masyarakat memang membutuhkan Lembaga Pengangkatan Anak (Adopsi).108
Bushar Muhammad, membagi pengangkatan anak dalam dua macam, yaitu : adopsi
langsung

(mengangkat

anak),

dan

adopsi

tidak

langsung

(melalui

perkawinan).109Nyentanayang adalah salah satu bentuk adopsi langsung (mengangkat
anak) di Bali, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dengan cara mengambil anak
dari lingkungan klan besar, dari kaum keluarga, bahkan akhir-akhir ini sering terjadi
dari luar lingkungan keluarga. Apabila istri tua tidak mempunyai anak, dan bini selir
mempunyai anak, maka anak-anak tersebut dijadikan sebagai anak angkat istri tua.
Apabila tidak ada anak laki-laki yang dapat diambil anak, dapat juga anak perempuan
dipungut menjadi Santana, yang diangkat dengan fungsi rangkap, yaitu pertama
dipisahkan dari kerabatnya sendiri dan dilepas dari ibu kandungnya sendiri dengan
jalan pembayaran adat berupa “seribu kepeng” serta “seperangkat pakaian
perempuan” kemudian dia baru dihubungkan dengan kerabat yang mengangkat
(diperas). Suami yang mengambil anak bertindak dengan persetujuan kerabatnya, lalu
diumumkan dalam desa “siar” dan dari pihak raja sebagai kepala adat dikeluarkan
izin yang disusun dalam suatu penetapan raja, berupa akta yang disebut Surat Peras.
Alasan dari pengangkatan semacam ini, ialah suatu kekhawatiran akan kepunahan,

108
109

R. Sooeroso, Op, Cit, Perbandingan Hukum Perdata, Hal : 176-177
Ter Haar, dalam Bushar Muhammad, Op, Cit, Pokok-Pokok Hukum Adat, Hal : 30-33

56
Universitas Sumatera Utara

malahan sesudah meninggalnya suami, istripun dapat mengangkat anak dengan
mengangkat keris atas nama suami sebagi wakilnya.110
Sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang
pengangkatan anak, namun praktik pengangkatan anak ditengah-tengah kehidupan
social masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat Indonesia.

111

Mahkamah Agung sendiri sebagai

penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan
perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia,
terutama pengangkatan anak WNI oleh WNA ternyata tidak mencukupi. 112Meskipun
belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pengangkatan anak,
karena lembaga pengangkatan anak telah menjadi bagian dari kultur masyarakat dan
telah menjadi kebutuhan masyarakat, maka praktik pengangkatan anak secara adat
telah ditertibkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan113 yang tersebar di
beberapa peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
Meskipun

peraturan

perundang-undangan

yang

mengatur

tentang

pengangkatan anak belum mencukupi, telah ada garis asas hukum bahwa “Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkata yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib

110

Ibid, Hal : 30
Ahmad Kamil, Fauzan, Op, Cit, Hal : 49
112
Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran
Nomor 2 Tahun 1979
113
Peraturan perundang-undangan berarti peraturan yang posotif berlaku sebagai fungsi untuk
ketertiban, bentuknya bias berupa Staatsblad, beberapa pasal dalam undang-undang yang relevan,
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Surat Edaran Mentri Sosial, dan lain-lain

111

57
Universitas Sumatera Utara

untuk memeriksa dan mengadilinya” 114 .bahkan pasal 22AB(Algemene Bepalingen
van Wetgeving vor Indonesia) secara tegas menentukan bahwa hakim yang menolak
untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka
ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.115Asas hukum tersebut
menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia juga menjunjung tinggi sistem
hukum dalam common law yang menghargai hakim sebagai mahluk mulia dan
memiliki hati nurani serta kemampuan untuk menangkap sinyal nilai-nilai hukum dan
keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum riil yang oleh hakim dapat
digali sebagai bahan ramuan untuk menciptakan