Warisan Anak Angkat Menurut Hukum Adat Dan Kompilasi Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum perdata di Indonesia masih bersifat pluralisme karena sampai saat ini
masih berlaku hukum adat, hukum Islam dan hukum barat. Dari ketiga hukum
tersebut, hukum Islam mempunyai kedudukan tersendiri, walaupun tidak seluruh
hukum perdata Islam merupakan hukum positip di Indonesia, tetapi bidang-bidang
tertentu hukum perdata Islam telah menjadi hukum positif. Bidang-bidang tertentu
dimaksud adalah hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan.
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) atau Bugerlijk Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak
mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah anak luar kawin
yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III pasal 280 sampai dengan pasal 290
KUHPerdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan
adopsi, karena pada asas nya KUHPerdata tidak mengenal adopsi. Tidak diaturnya
lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia
Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri tidak mengenal lembaga
adopsi.1
Mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam
keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan
1


Joko susilo, pengangkatan anak (adopsi
http://blajarhukumperdata.blogspot.co.id/2013/07/pengankatan-anak-adopsi.html diakses pada 24
februari 2016

1
1
Universitas Sumatera Utara

anak yang dipungut itu tumbul suatu kekeluargaan yang sama seperti ada antara
orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Pendapat ini menegaskan bahwa dalam
pengangkatan anak tidak hanya sebatas mengangkat atau mengakui, tetapi keluarga
angkat harus memberlakukan anak angkat tersebut seperti anak kandungnya sendiri.2
Dalam Islam pengangkatan anak yang dibenarkan adalah yaitu tidak melekatkan
nasab kepada anak angkat sehingga hukumnya tidak mempengaruhi kemahraman dan
kewarisan. Hal ini dipahami dari dalil surah al-Ahzab ayat 37, dimana asbabun
nuzulnya adalah ketika Nabi saw diperintah Allah saw menikahi Zainab yang
merupakan mantan isteri dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Harisah.
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang
peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan system kekeluargaan yang

berlaku dalam masyarakat. Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan
kehidupan manusia, karena terkait dengan harta kekayaan antara manusia yang satu
dengan yang lainnya. Kematian atau meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti
akan dialami oleh setiap orang, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan
hidup seorang manusia. Saat seseorang meninggal dunia meninggalkan keluarga dan
harta kekayaan yang disebut warisan, dengan cara apa akan diselesaikan atau
membagi warisan yang ditinggalkan oleh pewaris serta hukum apa yang akan
diterapkan untuk membagi warisan tersebut. Hukum yang membahas tentang

2

Max bhirawaar, system pengangkatan/adopsi anak dalam hukum adat Indonesia,
https://maxbhirawaar.wordpress.com/2012/12/31/sistem-pengangkatanadopsi-anak-dalam-hukumadat-indonesia/diakses pada 24 februari 2016

2
Universitas Sumatera Utara

peralihan harta peninggalan, pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal dunia diatur di dalam hukum kewarisan.
Sistem hukum perdata di Indonesia bersifat pluralisme (beraneka ragam), demikian

juga dengan belum adanya unifikasi dalam hukum kewarisan di Indonesia yang
merupakan bagian dari hukum perdata Indonesia, sehingga sampai saat ini kita masih
memakai tiga system hukum kewarisan yang sudah ada sejak dahulunya, yaitu :
1. Hukum Kewarisan Adat
Sistem hukum kewarisan adat beraneka ragam, hal ini dipengaruhi oleh
bentuk masyarakat di berbagai daerah lingkungan hukum adat dan sifat kekerabatan
berdasarkan keturunan. Setiap system keturunan memiliki kekhususan dalam hukum
warisannya yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Dalam hukum adat
mengenal tiga system hukum kewarisan yang sangat dipengaruhi oleh system
kekerabatan sebagai berikut :
a. Sistem kewarisan individual, merupakan system kewarisan yang
menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan,
dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat
menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya
masing-masing. Sistem kewarisan individual ini banyak berlaku di
lingkungan masyarakat yang memakai sitem kekerabatan secara
parental. 3 Misalnya pada masyarakat bilateral suku Jawa dan juga

3


Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Adytia Bakti, Bandung, 2003, Hal : 24

3
Universitas Sumatera Utara

sebagian masyarakat yang system kekerabatanna patrilinial, seperti
suku Batak.
b. Sistem kewarisan kolektif, merupakan system kewarisan yang
menentukan bahwa ahli waris mewarisi harta peninggalan secara
bersama-sama (kolektif), karena harta peninggalan tersebut tidak dapat
dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris. 4 Setiap
ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mendapat
hasil dari harta peninggalan itu. Sistem kewarisan kolektif ini terdapat
pada masyarakat yang memakai kekerabatan matrilineal, seperti
masyarakat Minangkabau.
c. Sistem kewarisan mayorat, system kewarisan ini menentukan bahwa
harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh satu orang anak. Sistem
kewarisan mayorat di daerah yang masyarakatnya bersistem
kekerabatan patrilineal yang beralih-alih. Sistem mayorat ini
dibedakan menjadi dua, yaitu :

1). Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau keturunan lakilaki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, terdapat di Lampung dan Bali.
2). Mayorat perempuan, yaitu anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal
dari si pewaris, misalnya terdapat pada masyarakat di tanah Semendo di Sumatera

4

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Refika
Aditama, Bandung, 2005, Hal : 53

4
Universitas Sumatera Utara

Selatan.

5

Sistem mayorat menentukan bahwa penerusan dan pengalihan hak

penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua
yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga yang

menggantikan kedudukan ayah dan ibunya sebagai kepala keluarga. 6
Dasar hukum berlakunya hukum adat ini terdapat dalam Undang-undang
Dasar 1945 Pasal II aturan peralihan : “Semua lembaga Negara yang ada masih tetap
berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang dasar dan belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”7
Tentang hukum adat ini Soepomo menyatakan “Hukum adat waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barangbarang harta benmda dan barang-barang yang tidak berwujud (immatereriele
goederen) dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya”. 8Ajaran Soepomo ini
bermaksud memberikan gambaran bahwa hukum adat itu senantiasa tumbuh dan
berkembang dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan yang
keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat sebagai wadahnya.

9

Hukum

dapat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang berbeda dengan hukum Islam
maupun hukum perdata, hal ini disebabkan karena latar belakang fikiran bangsa
Indonesia dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika.
2. Hukum kewarisan Islam

5

Ibid, Hal : 53
Hadikusuma, Op, Cit, Hal : 28
7
UUD 1945, Bintang Indonesia Jakarta
8
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1987, Hal : 79
9
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1970, Hal :
55
6

5
Universitas Sumatera Utara

Hukum kewarisan Islam yang lazim disebut dengan hukum faraid merupakan bagian
dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur dan membahas tentang proses
peralihan harta peninggalan dan hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah
meninggal dunia kepada yang masih hidup.

Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan hukum kewarisan adalah sebagai
berikut : “Seperangkat ketentuan yang membahas tentang cara-cara peralihan hak dari
seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang
ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kepada wahyu Ilahi yang terdapat di dalam
Al-Qur‟an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW yang di
dalam istilah Arab disebut dengan Faraid. 10
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, mendifinisikan hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing. 11
Dasar hukum kewarisan Islam diatur secara tegas di dalam Al-Qur‟an, diantaranya
firman Allah SWT dalam surat An-Nisa‟ ayat 7 sebagai berikut : “Bagi laki-laki ada
hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak
dan bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit

10

Idris Djakfar, dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka
Jaya, Jakarta, 1995, Hal : 3 - 4
11

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum
Nasional, Logos, Jakarta, 1999, Hal : 45

6
Universitas Sumatera Utara

ataupun banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. 12 Selain terdapat dalam
Al-Qur‟an, ketentuan hukum kewarisan Islam juga terdapat di dalam hadis Nabi
Muhammad SAW, diantaranya Hadis Riwayat Bukhary dari Ibnu Abbas, sebagai
berikut : Berikanlah faraid kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya
berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat. (H.R. Bukhari).13
Agama Islam mengatur cara pewarisan berdasarkan keadilan kepentingan agama,
kepentingan antara anggota keluarga dan kepentingan masyarakat. Hukum Islam
tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga memberi
warisan kepada pihak keturunan kedua suami isteri tersebut, baik secara garis lurus ke
bawah, garis lurus ke atas atau garis ke samping, baik laki-laki ataupun perempuan.
Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual.
Di samping sifat hukum waris Islam tersebut di atas, prinsip yang mendasari system
pewarisan Islam dalam symposium hukum waris nasional tahun 1983 di Jakarta
adalah sebagai berikut :

a. Hukum waris Islam tidak memberikan kebebasan penuh kepada seseorang
untuk menghabiskan harta peninggalannya dengan cara wasiat pada orang
yang disayanginya. Sebaliknya juga tidak melarang sama sekali
pembagian hartanya semasa ia masih hidup.
b. Oleh karena pewarisan merupakan aturan hukum maka pewaris tidak
boleh meniadakan hak ahli waris atas harta warisan. Sebaliknya ahli
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Gema Risalah Press,
Bandung, 1989, Hal : 114
13
Bukhary, Sahih Bukhary, Juzu‟ IV, Dar Wamata bi‟u Asy-Sya‟by, ttp, Hal : 189
12

7
Universitas Sumatera Utara

warispun berhak atas harta peninggalan tanpa syarat pernyataan secara
sukarela atau melalui Putusan Pengadilan.
c. Pewarisan terbatas di lingkungan kerabat baik berdasarkan hubungan
perkawinan maupun ikatan keturunan yang sah.
d. Hukum waris Islam cenderung membagikan harta warisan kepada ahli

waris dalam jumlah yang berhak diterimanya untuk dimiliki secara
perorangan menurut kadar bagian masing-masing, baik harta yang
ditinggalkan itu sedikit atau banyak jumlahnya.
e. Perbedaan umur tidak membawa perbedaan dalam hak mewarisi bagi
anak-anak. Perbedaan besar kecilnya bagian warisan berdasarkan berat
ringannya kewajiban dan tanggung jawab si anak dalam kehidupan
kerabat. 14
Hal yang perlu diketahui bahwa hukum kewarisan Islam mempunyai corak atau
karakteristik tersendiri yang berbeda dengan hukum kewarisan yang lain, corak atau
karakteristik tersebut adalah :
a. Perolehan perseorangan ahli waris
Perolehan yang diperuntukkan bagi perseorangan, yaitu bagian tertentu dalam
keadaan tertentu. Angka-angka faraid bagian tertentu tersebut ialah 1/8, 1/4, 1/6, 1/3,
2/3 dan ½ menunjukkan jaminan kepemilikan secara individu, seperti untuk anak
laki-laki memperoleh bagian dua kali bagian anak perempuan.

14

Imam Sudiyat, Peta Hukum Waris di Indonesia, Simposium Hukum Waris Nasional,
Jakarta, 1983, Hal : 9 - 10

8
Universitas Sumatera Utara

b. Pariasi pengurangan perolehan ahli waris.
Pariasi pengurangan perolehan terjadi karena adanya orang-orang tertentu dalam
keadaan tertentu memperoleh bagian yang tertentu atau kehadiran dzawill furud 15
lainnya.
Contohnya dapat dilihat dalam kasus perolehan dzawil furud untuk dua orang anak
perempuan atau lebih mendapat bagian 2/3, untuk seorang anak perempuan mendapat
bagian ½ (Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 11). Bagian untuk duda mendapat setengah
jika tidak ada anak dan seperempat jika ada anak dan janda mendapat bagian
seperempat jika tidak mempunyai anak dan mendapat bagian seperdelapan jika ada
anak. Pengurangan perolehan bagian warisan disebabkan oleh jumlah mereka
berbeda. Kemudian perolehan bagi saudara perempuan mendapat setengah apabila
seorang dan mendapat bagian dua pertiga apabila dua orang atau lebih. 16
c. Metode penyelesaian pembagian warisan
Metode penyelesaian pembagian warisan ada yang dikenal dengan Aul dan Rad. Aul17
adalah suatu cara penyelesaian bila terjadi ketekoran dalam pembagian harta warisan,
dilakukan pengurangan terhadap bagian masing-masing ahli waris secara berimbang,
sedangkan Rad adalah pengembalian sisa harta setelah dibagi kepada dzawil furud,

15

Adalah golongan keluarga tertentu yang ditetapkan menerima bagian tertentu dalam keadaan
tertentu, Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal : 135
16
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal :
23
17
Aul yaitu bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para
ahli waris. Rad yaitu berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian Dzawil Furud.
Op, Cit, Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, Hal : 213

9
Universitas Sumatera Utara

sisa harta tersebut dibagi secra berimbang oleh ahli waris dzawil furud.18. Corak atau
karakteristik hukum kewarisan Islam tersebut tidak ditemui di dalam hukum
kewarisan KUH Perdata dan hukum waris adat.
3. Hukum Kewarisan Perdata Barat
Sistem kewarisan yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUH Perdata
yang menganut system individual, dimana setelah pewaris meninggal dunia, maka
harta peninggalan pewaris haruslah segera dilakukan pembagian kepada ahli waris.
Berlakunya Burgerlijk wetboek (BW) berdasarkan pada ketentuan :
a. Pasal 131 jo. 163 I.S (Indische Staatsregeling) yaitu : Hukum waris yang
diatur dalam KUH Perdata berlaku bagi orang-orang Erofa dan mereka
yang dipersamakan dengan orang-orang Erofa tersebut.
b. Staatsblaad 1917 Nomor : 129, yaitu : Hukum waris yang diatur dalam
KUH Perdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa.
c. Staatsblad 1924 Nomor 557 jo Staatsblad 1917 Nomor : 12, yaitu Hukum
waris yang diatur dalam KUH Perdata berlaku bagi orang-orang Timur
asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada
hukum Eropa. 19
Saat ini Staatsblad tersebut tidak berlaku lagi setelah adanya Undang-undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 yang tidak mengenal penggolongan penduduk
Indonesia. Penggolongan saat ini dikenal dengan “Warga Negara Indonesia dan
Warga Negara Asing“.
Hukum waris KUH Perdata diartikan sebagai berikut : “Kesemuanya kaedah hukum
yang mengatutr nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Tintamas, Jakarta,
1964 Hal : 45
19
Surini Ahlan Sjarif, dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Kencana,
Jakarta, 2006, Hal : 4
18

10
Universitas Sumatera Utara

menentukan siapa orangnya yang dapat menerimanya.

20

Pewarisan akan

dilaksanakan setelah ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan
harta kekayaan dan ada ahli waris yang berhak atas harta peninggalan tersebut,
sebagaimana Pasal 830 KUH Perdata menyatakan bahwa pewarisan hanya
berlangsung karena kematian.
Prinsip dalam KUHPerdata, anak yang sah atau disebut juga dengan anak kandung
adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.
Sedangkan menurut pasal 42 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. Menurut pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan anak hasil pembuahan
suami-istri yang sah di luar Rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. 21
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Islam melarang praktik pengangkatan
anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh
hukum barat/hukum sekuler dan praktik masyarakat jahiliyah.22 Hukum Islam hanya
mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk
memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks
beribadah kepada Allah SWT.

20

Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris, Pionir Jaya, Bandung, 1992, Hal : 24
Nur A. Fadhil Lubis, Hukum perdata Indonesia, Medan, Perdana Mulya Sarana, 2011, Hal : 93
22
Yaitu : pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat
terputus hubungan dengan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak waris
sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat.
21

11
Universitas Sumatera Utara

Hukum Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat
dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak
asuh yang diperluas, dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. 23 Aspek
hukum me-nasab-kan anak angkat kepada orang tua angkatnya, atau yang
memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya untuk kemudian dimasukkan ke
dalam klan nasab orang tua angkatnya, adalah yang paling mendapat kritikan dari
Islam, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam.24Pada kenyataannya bidang
kewarisan mengalami perkembangan yang berarti, disebabkan oleh kebutuhan
masyarakat yang semakin kompleks dan pola pemikirannya dapat berubah sesuai
dengan perkembangan zaman. Misalnya saja waris bagi anak adopsi, banyak
literature hokum yang mengatur tentang hal ini, termasuk KUHPerdata, Hukum Islam
dan juga hukum adat.
Untuk memperjelas hal tersebut di atas diperlukan suatu penelitian lebih lanjut yang
terbatas kepada perbandingan mengenai persamaan dan perbedaan tentang waris bagi
anak adopsi. Dan berdasarkan hal tersebut yang menjadi alasan peneliti memilih judul
yang diteliti, yaitu : WARISAN ANAK ANGKAT MENURUT HUKUM ADAT
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

B. Perumusan Masalah
23

Pengangkatan anak dalam Islam konteksnya lebih tepat disebut anak asuh yang diperluas, Rifyal
Ka‟bah menyebutkan dengan istilah Halhanah yang diperluas. Anak asuh yang diperluas, karena
dalam pengangkatan anak-anak, harus melalui proses penetapan Pengadilan Agama, sedangkan
pengasuhan anak tidak memerlukan suatu proses penetapan pengadilan.
24
Andi Syamsu Alam dan Muhammad Fauzan,Hukum Pengangkatan Anak Perpektif Islam, Pena
Media, 2008, Jakarta Hal : 46

12
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut
1. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam Hukum Adat dan Kompilasi
Hukum Islam ?
2. Bagaimana hak waris anak angkat dalam Hukum Adat dan Kompilasi Hukum
Islam ?
3. Bagaimana porsi warisan bagi anak angkat dalam Hukum Adat dan Kompilasi
Hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan anak angkat dalam Hukum
Adat dan Kompilasi Hukum Islam
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan hak waris anak angkat (Adopsi) dalam
Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan porsi warisan bagi anak angkat dalam
Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam

D. Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat teoretis

13
Universitas Sumatera Utara

Untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat menciptakan unifikasi
dibidang hukum waris untuk menuju kodifikasi hukum hingga dapat mewujudkan
hukum waris nasional khususnya dalam hak kewarisan anak angkat.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini nantinya dapat mengembangkan kemampuan individu peneliti
dan dapat dijadikan sebagai pengetahuan bagi masyarakat untuk melihat pengaturan
warisan bagi anak angkat menurut Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian

ini

dilakukan

dengan

pertimbangan

bahwa

berdasarkan

pemeriksaan judul-judul penelitian yang ada baik di perpustakaan Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara serta di institusi lain
mengenai judul Warisan Anak Angkat Menurut Hukum Adat dan Kompilasi Hukum
Islam ada beberapa judul yang mendekati yaitu antara lain :
1. Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Ditinjau Dari Hukum Islam. Oleh : Adawiyah (097011131), MKn
(Magister Kenotariatan) Tesis. Dengan rumusan masalah :
1) Bagaimana ketentuan hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak?
2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

14
Universitas Sumatera Utara

3) Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak angkat menurut UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 ditinjau dari hukum Islam dalam praktik
hukum di Indonesia?
2. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat Menurut
PP No. 54 tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam. Oleh : Luthfi Fauzi
Fahmi (090200250), Skripsi. Dengan rumusan masalah :
1) Bagaimana kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tuanya?
2) Apa akibat hukum yang timbul dalam pengangkatan anak menurut PP No.
54 tahun 2007 dan KHI?
3) Bagaimana cara pembagian harta warisan orang tua angkat terhadap anak
angkat menurut PP No. 54 tahun 2007 dan KHI?
3. Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
STaatsblas 1917 No. 129 (Penelitian Pada Pengadilan Negri/Agama Medan).
Oleh : Erwansyah (057011078), MKn (Magister Kenotariatan) Tesis. Dengan
rumusan masalah :
1) Bagaimana prosedur pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam
dan Staatsblaad 1917 No.129?
2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum
Islam dan Staatsblaad 1917 No.129?
3) Bagaimana kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan
Staatsblaad 1917 No. 129?

15
Universitas Sumatera Utara

F. Kerangka Teori dan Konsep
3. Kerangka Teori
Kerangka teoretis dalam penelitian ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk
mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek
masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara
deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini
berada dalam ruang lingkup hokum, maka konsep-konsep yang akan digunakan
sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum
yang dianggap paling relevan. Adapun teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Teori Sistem Hukum (Lawrence M. Friedman)
Untuk menjawab permasalahan pertama dalam tulisan ini, yaitu menyangkut tentang
pengaturan warisan bagi anak adopsi, maka penulis akan berbicara tentang sebuah
sistem. Sistem yang dimaksud disini yaitu Hukum Perdata, Hukum Adat dan Hukum
Islam. Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (Codes of rules) dan
peraturan (Regulation). Namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur,
lembaga dan proses (Procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (Living Law) dan budaya hukum (legal structure).
Hukum pada kenyataannya seringkali ketinggalan dengan perkembangan yang terjadi
di masyarakat, untuk itu hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis yang
mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Hal itu senada dengan yang di
ungkapkan Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa unsur-unsur system
hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), subtansi hukum (legal
16
Universitas Sumatera Utara

substance) dan budaya hukum (legal culture).25Dalam kaitannya dengan perubahan
hukum maka perubahan itu dapat terjadi pada tiga unsur yang dominan yakni
pertama, struktur hukum adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum
itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya, kedua, subtansi hukum adalah
peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum, dan ketiga, adalah kultur
hukum adalah yang berhubungan dengan kebiasaan dalam penyelesaian perkara
hukum26. Karena tidak mungkin hukum dapat dipahami secara matematis, sehingga
membutuhkan konsep sosiologi hukum untuk menjawabnya.27
b. Teori Keadilan
Berbicara tentang hukum maka tidak jauh sifatnya dari tujuan hukum itu sendiri,
salah satunya adalah keadilan. Dalam hal ini penulis menggunakan teori keadilan
untuk menjawab permasalahan kedua dan ketiga. Bertujuan untuk mencari fakta dan
menjelaskan alasan anak adopsi dalam hukum islam tidak mendapat warisan, dan
juga penyelesaian sengketa terhadap pewarisan anak adopsi menurut hukum Perdata,
hukum Adat dan hukum Islam. Berbagai macam Teori mengenai keadilan dan
masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang
kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Teori-teori keadilan menurut para ahli
adalah sebagai berikut:
1) Teori Keadilan menurut Aristoteles
Lawrence Friedman, “American Law”,(London: W.W.Norton & Company,1984), Hal : 6.
________________, The legal System, A Sosial Science Perspective, New York, Russel Sage
Foundation, 1974,Hal : 6-9
27
Adam Podgerecki dan Cristopher J Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT. Bina
Aksara, Jakarta, 1987, Hal : 259.

25
26

17
Universitas Sumatera Utara

Pandangan

Aristoteles

tentang

keadilan

bias

didapatkan

dalam

karyanya

Nichomachean ethis, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nicomachean
ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat hukum
Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya
bias ditetapkan daam kaitannya dengan keadilan”.28
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi
bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak
proposional. Kesamaan hak dipandang manusia sebagai suatu unit atau wadah yang
sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga Negara
dihadapan hukum sama. Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi
dalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “Commutatief”.
Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang porsi
menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada
setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan
peranan tukar menukar barang dan jasa29.
2) Teori Keadilan John Rawls
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.
Berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi
social (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak

28

Carl Joachim Friedrich, Filsafat hukum Persfektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004,
Hal : 24
29
L…J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, cetakan kedua puluh
enam, 1996 , Hal : 11-12

18
Universitas Sumatera Utara

dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah
memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.30
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiaptiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak
dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang. Prinsip pertama yang
dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti
kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of
liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and
expression), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal
opportunity principle).
Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa
program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan
dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan social ekonomi yang terjadi sehingga
dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.31
3) Keadilan dalam agama Islam

30

Pan Mohammad Faiz, Teori keadilan John Rawls, dalam jurnal Konstitusi, volue 6 Nomor 1 (April
2009). Hal : 139-140
31
John Rawls, A Theory of Justice, London : Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Hero Prasetyo, teory Keadilan, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006.

19
Universitas Sumatera Utara

Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Qur‟an sangat beragam, tidak
hanya pada proses penetapan hukum atau kepada pihak yang berselisih, melainkan
Al-Qur‟an juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap,
bertindak dan bersikap bathin sebagaimana yang tersebut dalam surat Al-An‟am ayat
152 dan surat Al-Baqarah ayat 282 serta Al-Hadid ayat 25. Dari rangkaian ketiga ayat
ini, dapat diketahui bahwa keadilan akan mengantarkan kepada ketaqwaan, dan
ketaqwaan menghasilkan kesejahteraan bagi ummat manusia.32
Empat makna keadilan yang dikemukakan oleh pakar Agama yang semuanya
apabila dilaksanakan dengan benar akan mendatangkan kesejahteraan yakni, pertama,
adil dalam arti sama sebagaimana yang tersebut dalam surat An-Nisa ayat 58, tidak
boleh membeda bedakan orang dalam memutur perkara, kedua, adil dalam arti
seimbang sebagaimana dikemukakan dalam surat Al-Infithar ayat 6-7 dan surat AlMulk ayat 67, keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi
semua bagian unit masing0masing agar seimbang, tetapi bias saja satu bagian
berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang
diharapkan darinya, ketiga. Adil dalam hal perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya, keempat, adil yang dinisbatkan
kepada Ilahi, dalam arti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak
mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak
kemungkinan untuk itu. Kebaikan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan

32

Abdul Manan, Hukum Islam Dalam Berbagai Wacana, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, Hal : 168

20
Universitas Sumatera Utara

kebaikan Allah dan rahmat Allah itu tidak tertahan untuk memperolehnya sejauh
makhluk itu dapat meraihnya.33

4. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang
merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau
diuraikan dalam karya ilmiah. 34
Kerangka konsep digunakan dalam suatu penelitian dimaksudkan agar dapat
menjelaskan konsep kata-kata yang akan dipakai dalam penelitian yang dilakukan
dengan tujuan dapat diperoleh pemahaman yang sama antara peneliti dengan
pembaca yang membaca hasil dari penelitiannya.35
Adapun landasan konsepsional dalam penelitian ini ialah :
a. Warisan : hak milik seseorang yang meninggal dunia, yang dapat
dimanfaatkan secara bebas (tasaruf) semasa hidupnya, setelah dikurangi
biaya jenazah (tajhiz al Mayyit), utang, dan wasiat. Hukum waris adalah
himpunan aturan, yang mengatur akibat-akibat hukum harta kekayaan pada
kematian, peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan orang yang
meninggal dunia dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan peralihan ini

33

M Quraish Shihab, wawasan Al-Qur’an, al-Mizan, Bandung, cetakan ke IX, 1999, Hal : 114-116
34
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal : 96
35
Mardalis, Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal), Bumi Aksara, Jakarta, 1990,
Hal : 47

21
Universitas Sumatera Utara

bagi para penerimanya, baik dalam hubungan dan perimbangan di antara
mereka satu dengan yang lain, maupun dengan pihak ketiga.36
b. Anak angkat : adalah anak yang hak nya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan.37
c. Hukum Perdata : Adalah hukum yang memuat semua peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan hukum dan kepentingan-kepentingan antara
anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain,
kadang-kadang antara anggota masyarakat dengan pemerintah dengan
menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat.38
d. Hukum Islam : Hukum Islam mengatur prilaku manusia dalam dua
dimensi, yaitu vertical (hubungan manusia dengan Tuhan) dan horizontal
(hubungan manusia dengan sesame). Hukum yang mengatur dimensi
vertical dikenal dengan ibadah madhah. Dengan ini manusia sadar dengan
pengawasan Tuhan dimana dan kapanpun ia bekerja. Ancaman hukuman
bagi pelanggarnya berupa dosa. Hukum yang mengatur dimensi horizontal
lumrah disebut mu’amalah (dalam arti luas). Ancaman bagi pelanggarnya

36

Pilto, Hukum Waris, diterjemahkan oleh F. Tengker, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
38
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, Hal : 48
37

22
Universitas Sumatera Utara

disamping dosa yang akan dirasakan di akhirat juga akibat yang dirasakan
di dunia.39
e. Hukum Adat : Adalah susunan dari pada aturan-aturan hidup yang berlaku
bagi orang-orang Indonesia dan Timur Asing yang pada satu segi
mempunyai sanksi ( oleh karena itu hukum) dan disegi lain berada dalam
keadaan tidak tertulis (oleh karena itu adat).40
f. Wasiat : bagi pewaris, terbuka kemungkinan untuk menentukan apa yang
akan terjadi dengan harta kekayaan pada saai ia pulang ke rahmatullah.
Peristiwa penentuan ini disebut kehendak terakhir. Akta yang memuat
kehendak terakhir ini disebut wasiat. Dengan wasiat, dapat juga diberikan
kepada seseorang barang-barang tertentu yang dapat diganti. Orang yang
menerima hak ini disebut penerima hibah wasiat atau legataris. Barangbarang yang diterimanya disebut hibah waris atau legat.41

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain
itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan

39

Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, Hal : 16
Het Adatrecht van Nederlands Indie, Hal : 7-14, dikutip dari : Bastian Tafal, Pengangkatan Anak
Menurut Hukum Adat, Jakarta Utara, Rajawali, 1989, Hal : 3
41
Pitlo, Hukum Waris, diterjemahkan oleh Tengker, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, Hal : 2

40

23
Universitas Sumatera Utara

permasalahan, sehingga diperlukan rencana yang sistimatis. Metologi merupakan
suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat
melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang
menjadi induknya. 42
Untuk mendapatkan hasil yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah,
maka diperlukan suatu metode penelitian yang tepat. Metode penelitian yang tepat
diperlukan untuk memberikan pedoman serta arahan dalam mempelajari serta
memahami tentang objek yang diteliti. Dengan demikian penelitian yang dilakukan
akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan. 43
Pada penelitian hukum ini, bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan
induknya. Oleh karena itu maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.
Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya.44
Dalam penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktafakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahanpermasalahan. Supaya mendapat hasil yang lebih maksimal, maka peneliti melakukan
penelitian hukum dengan menggunakan metode sebagai berikut :
42

Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1998, Hal : 9
43
Komaruddin, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1979,
Hal : 27
44
Soemitri, Op, Cit, Hal : 9

24
Universitas Sumatera Utara

1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normatif , yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti
bahan pustaka atau dokumen yang disebut data sekunder, berupa bahan-bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
2. Pendekatan Perbandingan
Kegunaan dalam pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan
diantara pengaturan terhadap anak angkat dalam hukum islam yang di atur di dalam
Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Adat.
3. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis, metode ini bertujuan
untuk memberikan gambaran yang dilakukan dengan menggunakan cara kualitatif
dari teori-teori hukum dan doktrin-doktrin hukum serta pendapat-pendapat pakar
hukum.

2. Sumber Data
Data sekunder diperoleh melalui studi atau literatur, data sekunder tersebut meliputi :
a. Bahan hukum primer yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa
Kitab petunjuk dan peraturan perundang-undangan yang terdiri antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
2) Kompilasi Hukum Islam

25
Universitas Sumatera Utara

b. Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa :
1) Buku-buku
2) Jurnal-jurnal
3) Majalah
4) Artikel dan tulisan lainnya
c. Bahan hukum tersier yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti :
1) Kamus Inggeris-Indonesia;
2) Kamus Hukum;
3) Kamus Bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan
pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis
sesuai permasalahan sehingga diperoleh hasil sesuai dengan tujuan penelitian.
a. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komperatif, yaitu
membandingkan antara buku-buku bacaan tentang pengaturan anak adopsi dalam
Kompilasi Hukum Islam dan dengan hukum Adat.

26
Universitas Sumatera Utara

Metode yang digunakan dalam menganalisa dan mengolah data-data yang terkumpul
adalah analisis kualitatif.

Maksud dari penggunaan metode tersebut adalah

memberikan gambaran terhadap permasalahan berdasarkan pada pendekatan yuridis
normatif. 45
Pada metode ini data-data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan adalah data
sekunder, terhadap data tersebut dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Memilih pasal-pasal dan ayat-ayat serta pandangan para ahli hukum yang berisi
kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang masalah anak adopsi tersebut agar
dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.
b. Pengolahan data, yaitu data yang diinventarisir/dikumpulkan lalu dikelompokkan,
kemudian dianalisis dan disistimatiskan dalam uraian yang bersifat deskriptif
analisis. 46
Data sekunder yang diperoleh melalui studi leteratur yang berkaitan dengan pokok
bahasan, dianalisis dengan objektif serta menghubungkannya dengan pendapat pakar
hukum dan penulis-penulis lain, kemudian hasilnya ditafsirkan untuk dirumuskan
menjadi penemuan dan kesimpulan peneliti.

4. Analisis Data
Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul. Data primer (Undang-Undang) dan sekunder (buku-buku dan tulisan),
45

Ade Saptomo, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum, Unesa University Press,
Surabaya, 2007, Hal : 30
46
Ibid, Hal : 91

27
Universitas Sumatera Utara

diperoleh dan akan dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat ditarik
kesimpulan dengan cara analisis kualitatif dan diharapkan dapat menjawab
permasalahan dalam penelitian ini.

28
Universitas Sumatera Utara