Fenomena Sekkusu Shinai Shokogun Di Jepang Dewasa Ini

BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP FENOMENA SEKKUSU SHINAI
SHOKOGUN

Pertumbuhan ekonomi negara Jepang yang kian pesat, membuat para
penduduknya seakan harus terus berlari dan menghabiskan sebagian besar waktu
mereka untuk bekerja. Hal ini ternyata memiliki dampak negatif untuk Jepang
sendiri. Di negeri Sakura sekarang ini ada satu tren negatif yang sedang
berkembang. Media negara Jepang menyebutnya dengan istilah Sekkusu shinai
shokogun atau celibacy syndrome–sindrom bujangan atau sindrom hidup selibat.

2.1 Definisi Sekkusu Shinai Shokogun
Sekkusu shinai shokogun (セックス

い症候群)jika dilihat dari arti

kata per kata maka セ ックス (Sekkusu) berarti seks,

い (shinai) yang

memiliki arti tidak melakukan dan 症 候 群 (shokogun) yang memiliki arti

kelompok gejala. Jadi Sekkusu shinai shokogun secara harfiah berarti gejala
kelompok tidak melakukan seks.
Menurut situs Tirto.id, definisi Sekkusu shinai shokogun atau celibacy
syndrome adalah orang yang kehilangan minat dalam aktivitas seksual dan
hilangnya

minat

untuk

menikah

(https://tirto.id/para-milenial-yang-malas-

bercinta-chgo).
Sedangkan menurut situs Liputan6.com, Sekkusu shinai shokogun atau
celibacy syndrome, alias sindrom bujangan ialah masyarakat Jepang yang
menganggap bahwa mereka tidak terlalu tertarik dengan seks dan pernikahan

12


(http://global.liputan6.com/read/2572796/terlalu-lelah-bekerja-kaum-mudajepang-menjauhi-hubungan-intim).
Menurut sebuah majalah berbahasa Inggris:
“Sekkushu Shinai Shokogun (Celibacy Syndrome) is a zine that explores the
declining birth rate in Japan from a cultural standpoint. It explores the sexual
commodities that have arisen from Japan's industrialization and have contributed
to it's declining birthrate. Much of the research for this zine was composed of
documentaries, newspaper articles and interviews. The research focused on the
commodity of Japan's new sexual lifestyle. It observed it's social, economical and
emotional effects on Japanese society. The zine was written for non-Japanese
readers as an light introduction to the cultural changes that are affecting Japan's
birth rate (Aoyama, 2014: 1)”.

“Sekkusu shinai shokogun (Celibacy Syndrome) adalah sebuah majalah (tulisan)
yang mendalami penurunan tingkatan kelahiran di Jepang dari sudut pandang
kebudayaan. Hal tersebut mendalami komoditas seksual yang telah muncul dari
industrialisasi jepang dan telah berkontribusi terhadap penurunan tingkatan
kelahiran tersebut. Kebanyakan dari penelitian untuk majalah (tulisan) ini
terkomposisi dari dokumentasi-dokumentasi, artikel koran dan wawancarawawancara. Penelitian tersebut berfokus pada komoditas gaya hidup seksual yang
baru di Jepang. Hal tersebut mengobservasi pengaruh atau dampak sosial,

ekonomi dan emosionalnya terhadap kehidupan sosial Jepang. Majalah (tulisan)
tersebut dituliskan kepada para pembaca yang bukan berkebangsaan Jepang
sebagai sebuah perkenalan ringan terhadap perubahan kebudayaan yang sedang
mempengaruhi tingkat kelahiran di Jepang.

Secara garis besar dari beberapa definisi dari berbagai sumber di atas,
fenomena Sekkusu shinai shokogun bisa didefinisikan sebagai sindrom atau gejala
yang dimana sesorang tidak tertarik untuk berhubungan seks, atau tidak ingin
memiliki pacar, atau tidak ingin menikah dan betah hidup tanpa pasangan atau
hidup sendiri.

13

Orang Jepang terutama kaum muda yang masuk kategori generasi milenial
enggan menikah apalagi memiliki anak. Menurut laporan National Institute of
Population and Social Security Research, porsi laki-laki dan perempuan yang
tidak pernah menikah dan tanpa pengalaman seksual meningkat dalam lima tahun
terakhir di Jepang. Pada 2010 dari 3.667 laki-laki dan 3.404 perempuan yang
disurvei, sebanyak 36,2 persen laki-laki di Jepang yang berusia 18-34 tahun tidak
menikah. Selain itu laki-laki tersebut juga tidak memiliki pengalaman dalam

berhubungan seksual. Persentase tersebut meningkat menjadi 42 persen pada
2015, yang berasal dari survei 2.706 laki-laki dan 2.570 perempuan. Selain kaum
laki-laki, kaum perempuan juga dilanda sindrom semacam ini. Sekitar 38,7 persen
perempuan Jepang dengan rentang usia 18-34 tahun juga enggan atau tidak mau
untuk menikah, serta tidak memiliki pengalaman seksual pada 2010.
Persentasenya juga meningkat pada 2015, tercatat ada 44,2 persen perempuan
yang tidak ingin menikah.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga yang sama, yang dirilis
pada September 2016 mengungkapkan beberapa alasan mengapa laki-laki dan
perempuan Jepang enggan atau tidak mau untuk menikah. Sejak 1992-2015,
menunjukkan persentase laki-laki yang tidak menikah karena tidak memiliki
pekerjaan tercatat yang tertinggi, selebihnya kelompok yang bekerja paruh waktu.
Sebaliknya, pekerja yang penuh waktu masuk kategori yang terendah.
Seorang profesor diplomasi publik dari Kyoto University, Nancy Snow,
mengungkapkan bahwa perubahan norma sosial berpengaruh pada penurunan
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Berkurangnya pendapatan membuat
kaum laki-laki di Jepang merasa kurang percaya diri untuk menarik perhatian

14


perempuan. Terutama saat ingin mendekati perempuan karir atau memperoleh
pendapatan.
“Beberapa identitas personal laki-laki terkait dengan gaji dan mereka
merasa terancam dengan wanita yang dianggap bisa mandiri,” kata Snow, seperti
dikutip CNN dalam sebuah tulisan berjudul Why are almost half of Japan's
millennials still virgins?
Selain norma sosial, ada juga soal budaya bekerja di Jepang yang
menyebabkan keengganan orang Jepang menikah atau bercinta. Bagi para
profesional muda yang dalam proses meningkatkan jenjang karir, mereka harus
siap untuk lembur bekerja setiap malam. Mereka juga harus bersedia untuk
minum bersama bosnya. Bisa dibilang pekerja Jepang memiliki waktu luang yang
sedikit. Sehingga sulit untuk pergi berkencan. Selain memiliki waktu yang sangat
terbatas, faktor kelelahan karena kerja, membuat mereka memilih untuk
beristirahat daripada berkencan.
Sedangkan bagi perempuan di Jepang, hidup sendiri atau tanpa pasangan
hidup jauh lebih bermanfaat. Terutama bagi perempuan yang sedang berkarir.
Bagi kaum perempu andi Jepang, menikah adalah “kuburan” bagi karir mereka.
Karir yang sudah susah payah dibangun sejak awal bisa hancur karena sebuah
keputusan


untuk

menikah

(https://tirto.id/para-milenial-yang-malas-bercinta-

chgo).
2.1.1 Pertumbuhan Penduduk Jepang
Dampak pertumbuhan penduduk disuatu negara dipengaruhi oleh tiga hal
yaitu angka kelahiran (birth rate), angka kematian (mortality rate), serta migrasi

15

(out migration and in migration). Angka kelahiran (birth rate) mengacu pada
jumlah kelahiran hidup dalam satu tahun pada seribu penduduk pada pertengahan
tahun. Angka kematian (mortality rate) mengacu pada jumlah kematian pada
seribu penduduk dalam satu tahun pada pertengahan tahun. Migrasi keluar (out
migration) menyangkut migrasi yang meninggalkan daerah sedangkan migrasi
masuk (in migration) menyangkut migrasi yang memasuki suatu daerah (Sunarto,
2000: 173).

Umumnya tingkat kelahiran dan kematian di negara berkembang sangat
pesat dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, kurangnya
sosialisasi mengenai keluarga berencana, serta sedikitnya fasilitas dan akses
kesehatan. Hal ini berbanding terbalik dengan negara maju yang angka kelahiran
dan kematiannya relatif rendah. Para ahli demografi cenderung mengaitkan hal
tersebut dengan kemajuan perindustrian. Atas dasar keterkaitan ini, mereka
membuat teori kependudukan yang dikenal dengan teori transisi demografi
(demographic transition theory). Menurut teori ini, masyarakat yang mengalami
proses industrialisasi akan melewati tiga tahap. Tahap pertama, yaitu tahap pra
industri, tingkat kelahiran dan kematian tinggi dan stabil. Pada tahap kedua, tahap
transisi, terjadi peningkatan kelahiran akibat meningkatnya kualitas kesehatan.
Pada tahap ketiga tingkat kelahiran dan kematian rendah dan stabil (Sunarto,
2000: 175)
Jepang adalah salah satu negara maju yang melewati tahap tersebut dan
sekarang telah sampai ditahap ketiga dimana terjadi penurunan jumlah kelahiran
yang sangat drastis. Hal tersebut dapat terlihat pada table (Thang, 2001: 174)
berikut ini:

16


Trends in Population Structure: 1920-2075
Population Composition by Major

Age Dependency Ratio

Year

0-14

15-64

65+

Total

1920
1925
1930
1935
1940

1947
1950
1955
1960
1965
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
2025
2030
2035
2040

2045
2050
2075

36.48
36.70
36.59
36.89
36.08
35.30
35.41
33.44
30.15
25.73
24.03
24.32
23.50
21.51
18.24
15.90

15.18
15.64
16.37
16.34
15.43
14.50
14.17
14.59
15.34
15.79
15.74
17.09

58.26
58.24
58.66
58.46
59.19
59.90
59.64
61.24
64.12
67.98
68.90
67.72
67.35
68.16
69.69
69.28
67.79
65.24
62.35
59.53
59.01
59.71
59.81
58.82
56.68
55.82
56.09
57.32

5.29
5.06
4.75
4.66
4.73
4.79
4.94
5.29
5.72
6.29
7.06
7.92
9.10
10.30
12.08
14.82
17.03
19.12
21.28
24.14
25.51
25.79
26.02
26.58
27.98
28.37
28.17
25.58

71.6
71.7
70.5
71.1
69.0
66.9
67.7
63.3
55.9
47.1
45.1
47.6
48.4
46.7
43.5
44.4
47.5
53.3
60.4
68.0
69.4
67.5
67.2
70.0
76.4
79.2
78.3
74.5

Children Elders
62.6
63.0
62.4
63.1
61.0
58.9
59.4
54.6
47.0
37.9
34.9
35.9
34.9
31.6
26.2
23.0
22.4
24.0
26.3
27.4
26.2
24.3
23.7
24.8
27.1
28.3
28.1
29.8

9.0
8.7
8.1
8.0
8.0
8.0
8.3
8.7
8.9
9.2
10.3
11.7
13.5
15.4
17.3
21.4
25.1
29.3
34.1
40.5
43.2
43.2
43.5
45.2
49.4
50.9
50.2
44.6

Sources: (Up to 1995) Institute of Population Problems, Ministry of Health and Welfare.
Latest Demographic Statistics 1995, Tokyo; Statistics Bureau, Management and
Cordination Agency. Quick Report on One-percent Sample Tabulations of the 1995
Population Census, Tokyo, 1996. (From 2000) Institute of Population Problems, Ministry
of Health and Welfare, Population Projections for Japan: 1991-2090, Tokyo,1992 (cited
in Kono 1996, 10-11)

Seperti diketahui di Jepang antara tahun 1947 dan 1949 terjadi baby boom atau
peningkatan jumlah kelahiran yang melonjak drastis selama masa pasca perang
dunia kedua sejumlah 2,7 juta per tahun sebagai akibat kembalinya tentara Jepang
yang selamat dari medan pertempuran lalu menikah, namun hal ini diikuti dengan
kurangnya perumahan yang tidak memungkinkan penyebaran penduduk menjadi
faktor utama dalam peningkatan jumlah penduduk. Penurunan jumlah tersebut

17

baru dimulai bersama dengan terjadinya peralihan dari masa pemulihan menuju
pertumbuhan. Pada tahun 1955 rata-rata keluarga mempunyai 4,97 anggota, kirakira sama seperti sebelum perang dan berangsur-angsur turun setiap tahunnya
(Fukutake, 1988: 38). Meski begitu antara tahun 1971 dan 1974 terjadi lagi baby
boom dengan skala yang lebih kecil (2,14 anak per wanita pada 1973), tapi setelah
itu terjadi penurunan kelahiran secara berkelanjutan hingga mencapai 1,43 persen
per wanita pada tahun 1995 (Thang, 2001: 174).
Jepang merupakan salah satu negara dengan angka harapan hidup tertinggi
di dunia, dengan kata lain masyarakat yang memiliki umur panjang. Selain itu
Jepang menempati urutan teratas dengan jumlah lansia terbanyak dibandingkan
dengan angka kelahiran bayi disana. Estimasi Kementrian Kesehatan Jepang
menyatakan jumlah penduduk di Jepang menurun hingga 244 ribu orang pada
2013. Jumlah tersebut lebih banyak daripada jumlah merosotnya populasi Jepang
pada 2012 yaitu sebanyak 219 ribu jiwa. Jumlah tersebut turun 0,21% dari tahun
2012, tahun 2013 pemerintah setempat menyatakan jumlah penduduk di Jepang
menurun 0,17%, yakni menjadi 127,2 juta. Jumlah tersebut termasuk warga asing
yang lama tinggal di Jepang. Menurut penelitian U.S. Census Bureau
(Internasional Data Base) dan Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan
diperkirakan pada tahun 2050 jumlah kelahiran di Jepang mencapai titik terendah.

18

Total penduduk di Jepang pada tahun 2015 mencapai kurang lebih 126,5
jiwa. Apabila di Negara lain, terutama di Negara berkembang dan Negara miskin,
permasalahan tentang populasi biasanya mengenai ledakan jumlah penduduk
karena tingginya angka kelahiran (fertility rate), maka yang terjadi di Jepang
justru sebaliknya.
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan populasi untuk usia kerja (25 –
64 tahun) per tahun mencapai rata-rata satu juta orang, dan di prediksi akan terus
menurun hingga 17 % sampai dengan 2030. Jadi ketika tahun 2015 penduduk
mencapai 126,5 juta jiwa, jumlah ini akan merosot di tahun 2030 menjadi sekitar
116,5 juta jiwa dan akan semakin menyusut menjadi 97 juta jiwa di 2050
(National Institute of Population and Social Security Research, Population
Projections for Japan : 2011 – 2060, Januari 2012).
Yang terjadi saat ini di Jepang, penurunan populasi lebih di sebabkan oleh
faktor tingginya usia harapan hidup (life expectancy) yang di barengi dengan
menurunnya jumlah angka kelahiran (fertility rate). Selain itu, penurunan angka
kelahiran lebih di sebabkan adanya pemikiran dari generasi muda di Jepang yang
lebih mengutamakan karir dan pekerjaan profesional daripada membangun
keluarga.
Dengan demikian semakin hari semakin berkuranglah populasi penduduk di
Jepang di karenakan rendahnya angka kelahiran yang di sebabkan oleh
berkurangnya minat masyarakat Jepang khususnya kaum muda yang enggan

19

untuk menikah dan memiliki keturunan atau di kenal dengan trend atau istilah
Sekkusu shinai shokogun.
2.1.2 Pelaku Sekkusu Shinai Shokogun
Pelaku Sekkusu shinai shokogun didominasi oleh muda-mudi Jepang yang
tidak ingin menikah. Masyarakat Jepang usia di bawah 40 tahun memutuskan
untuk tidak menikah dan melakukan hubungan seks. Bagi pemerintah ini adalah
masalah yang cukup serius di Jepang. Jepang telah menjadi salah satu peringkat
teratas dunia dengan bertumbuhan penduduk terendah. Sekitar 126 juta jiwa, di
mana setelah satu dekade telah menurun jumlahnya.
Jumlah masyarakat yang memilih tidak menikah dan memiliki pasangan
telah mencapai jumlah tertinggi. Pada tahun 2011 survei menyebutkan 61% dari
pria yang tidak menikah dan 49% dari waita berusia 18 hingga 34 tidak sedang
dalam hubungan romantik apapun. Bahkan 105 dari orang-orang tersebut tidak
pernah menjalin hubungan apapun dan tidak punya gambaran apapun dalam
menjalin hubungan dengan siapapun. Walaupun berhubungan seks dan menjalin
hubungan dalam masyarakat Jepang adalah dua hal yang berbenda karena negara
ini adalah negara yang bebas dari moral dan agama jadi berhubungan seks tanpa
menikah bukanlah hal yang buruk. Tetapi, survei dari Japan Family Planning
Association (JFPA) mengatakan bahwa sekitar 45% dari wanita berusia 16 hingga
24 tahun tidak tertarik untuk melakukan kontak sosial. Lebih dari separuh pria
dengan jumlah survei diatas merasakan hal yang sama.
Menikah bukan lagi menjadi prioritas utama bagi masyarakat muda di
Jepang. Pria di Jepang akhir-akhir ini banyak kehilangan pekerjaan dan

20

kehilangan jaminan hidup sejak peristiwa gempa di Jepang pada tahun 2011.
Sementara wanita Jepang menjadi mandiri dan ambisius. Wanita jadi berpikir
untuk tidak menikah di karenakan sulit memilih antara pekerjaan atau keluarga,
sementara untuk menghidupi anak-anak kedua orang tua harus bekerja.
Beberapa orang juga berasal dari kelompok minoritas yang mengalami
keterbatasan sosial yang ekstrim. Mereka ialah para hikikomori (pengurung diri
dan anti sosial) yang baru akan melangkahkan kakinya menghadapi dunia luar,
otaku, parasaito singurus (parasite single/pengangguran) yang telah mencapai
usia pertengahan 30 tahun tanpa mempersiapakan apapun untuk keluar dai rumah
mereka. (13 juta orang yang belum menikah di Jepang biasanya tinggal bersama
orang tuanya dan kebanyakan dari mereka berusia di atas 35 tahun).
Sekitar 70% wanita Jepang meninggalkan pekerjaannya setelah memiliki
anak pertama. Forum ekonomi dunia memberikan peringkat kepada Jepang
sebagai negara dengan persamaan jenis kelamin yang seimbang di tempat kerja di
seluruh dunia. Kritik sosial sudah pasti terjadi disini. Wanita yang menikah tetapi
bekerja terkadang di sebut sebagai aniyome, atau “istri setan”. Dan ini merupakan
sebuah tekanan sosial bagi wanita pekerja yang telah menikah.
Jepang telah berubah menjadi negara dengan tingkat bekerja sangat tinggi
selayaknya di novel-novel ilmiah. Orang-orang dewasa memberikan contoh
kepada kaum muda untuk menjadi manusia terdepan dengan bekerja dan bekerja
tetapi tidak pernah menikah. Pemuda-pemudi di usia 20-an adalah kelompok
orang-orang yang menyaksikan orang-orang dewasa. Sebagian dari mereka terlalu
muda untuk menjalankan rencana masa depang mereka, tetapi mereka sudah

21

memiliki gambaran tentang hal itu dengan melihat orang-orang dewasa sekitar
mereka. Berdasarkan dari data pemerintah, satu dari empat wanita di Jepang
memutuskan untuk tidak menikah. Mereka terlihat tidak tertarik untuk menikah.

2.2 Penyebab Terjadinya Fenomena Sekkusu Shinai Shokogun
Penurunan jumlah populasi di Jepang disebabkan salah satunya adalah
meningkatnya jumlah fenomena Sekkusu shinai shokogun di Jepang beberapa
tahun belakangan. Adapun terjadi atau adanya fenomena Sekkusu shina shokogun
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Kelelahan Akibat Bekerja atau Kesibukan dalam Bekerja
Penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Perencanaan Keluarga Jepang
atau JFPA, menunjukkan hampir 50 persen orang dewasa Jepang tidak melakukan
hubungan

seksual.

Seperti

dilansir

Telegraph

(20/1),

laporan

tersebut

menunjukkan bahwa dari 3.000 responden perempuan, sebanyak 49,3 persen di
antaranya tidak melakukan hubungan seks sepanjang bulan sebelumnya.
Sementara dari keseluruhan responden laki-laki, 48,3 persen diantaranya juga
mengaku tidak berhubungan seks selama satu bulan belakangan. Sisa responden
memilih abstain. Survei tersebut kemudian berlanjut dengan pertanyaan alasan
mereka tidak berhubungan seks. Sebanyak 21,3 persen responden laki-laki
berkeluarga mengklaim bahwa mereka sudah terlalu lelah setelah bekerja.
Sedangkan sebanyak 15,7 persen lainnya menjawab mereka sudah tidak tertarik
bersetubuh setelah istrinya melahirkan. Jawaban dari responden perempuan juga
beragam. Sebanyak 23,8 persen mengatakan bahwa seks adalah aktivitas yang

22

mengganggu dan 17,8 persen lainnya mengaku terlalu lelah selepas bekerja.
Selain orang dewasa, penelitian ini juga melansir bahwa pemuda Jepang ternyata
tidak tertarik dengan seks. Kelompok pemuda berusia 25-29 tahun yang disebut
"herbivora" ini mencapai angka 20 persen dari keseluruhan responden
(http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150121172705-11326334/hampir-setengah-warga-jepang-tidak-berhubungan-seks/).
Sebuah penelitian terbaru di Jepang menemukan hampir separuh orang
dewasa di negara itu tidak melakukan hubungan intim. Lebih seperlima dari
pria dan wanita yang sudah berkeluarga mengaku enggan bercinta karena lelah
terlalu keras bekerja. Bahkan yang lebih mencemaskan lagi adalah lebih 20
persen semua pria Jepang usia antara 25 hingga 29 tahun mengaku cuma punya
gairah kecil atau tidak tertarik dengan hubungan suami-istri akibat kelelahan
bekerja.
Sebanyak 21,3 persen responden pria yang sudah menikah dan 17,8 persen
wanita berumah tangga menyatakan kalau mereka terlalu lelah untuk berhubungan
seks karena kesibukan pekerjaan masing-masing. Ada 17,9 persen responden pria
yang mengaku sudah tidak tertarik lagi berhubungan seks karena sibuk bekerja
atau bisnis. Mereka tidak ada waktu dan tenaga ekstra untuk berhubungan intim
dengan pasangannya (http://harian.analisadaily.com/aneka/news/hampir-separuhorang-dewasa-jepang-tidak-melakukan-hubungan-intim/100791/2015/01/22).
Ketidak tertarikan kaum muda Jepang, baik laki-laki maupun perempuan
melakukan hubungan seks salah satunya karena akibat kelelahan dalam bekerja
sehingga membuat mereka lupa dan ada yang sampai tidak mau melakukan
hubungan seks setelah bekerja.

23

2. Perbedaan Pandangan Terkait Masa Depan
Salah satu alasan penurunan angka kencan dan seks atau melakukan
hubungan seks di kalangan generasi muda Jepang diperkirakan adalah kenyataan
bahwa pria dan wanita negeri tersebut memiliki pandangan yang berbeda terkait
masa depan.
Jika pria semakin tidak berminat untuk mengejar karier, maka para wanita
Jepang semakin menganggap bahwa karier lebih penting dibandingkan dengan
hubungan romantis. Wanita Jepang juga enggan melepaskan pekerjaan yang
menghidupi dan menghabiskan waktu mereka.
Sebanyak 90 persen wanita muda yang disurvei oleh Institute of
Population and Social Security Jepang menyebutkan, tetap "menjomblo" lebih
menarik dibandingkan dengan berada dalam hubungan pernikahan. Tampaknya,b
ukti-bukti kultur yang terjadi di masyarakat mendukung keputusan mereka.
Sebagian besar wanita yang diwawancara untuk artikel tersebut menyatakan,
sudah umum jika perusahaan akan melepaskan karyawan wanita mereka setelah
menikah karena dalam waktu dekat akan segera hamil dan mengundurkan diri.
Maret lalu, sebuah laporan BBC juga mengungkapkan bahwa 70 persen wanita
Jepang memang mengundurkan diri dari pekerjaan setelah melahirkan anak
pertamanya

(http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/generasi-muda-

jepang-semakin-tak-tertarik-berhubungan-seks).

3. Kekhawatiran Terhadap Pernikahan
Kekhawatiran terhadap pernikahan juga menjadi salah satu penyebab
bertambahnya jumlah kasus fenomena Sekkusu shinai shokogun di Jepang saat ini.

24

Beberapa pria di Jepang, uang, pembagian tugas setelah menikah dan
membahagiakan pasangan merupakan tiga hal yang menjadi kekhawatiran
tersendiri bagi mereka. Apabila menikah, tanggung jawab pria masih lebih di titik
beratkan pada urusan finansial, sedangkan saat ini di Jepang, banyak generasi
muda yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Masalah yang menjadi kekhawatiran
bagi pria adalah masalah finansial dan juga kebebasan menggunakan waktu.
Kekhawatiran pria terhadap masalah finansial merupakan hal yang wajar terjadi.
Karena image pria sebagai pencari nafkah masih melekat pada pria, begitu pula di
Jepang.
Tachibanaki juga menjelaskan bahwa pria masih akan menjadi
penanggungjawab utama urusan finansial rumah tangga ketika menikah. Jadi
wajar sekali jika masalah uang menjadikan pria-pria khawatir untuk menikah.
Selain itu, Jepang juga dikenal sebagai negara yang mahal, maka dari itu tidak
mengherankan jika masalah keuangan menjadi kekhawatiran utama para pria,
terutama terhadap kehidupan pernikahan, sehingga masalah keuangan menjadi
alasan terbanyak pria Jepang tidak menikah (Shionagi, 2012: 143).
Kebebasan menggunakan waktu juga menjadi kekhawatiran terhadap
sebuah pernikahan. Kanbara menjelaskan, untuk mengatasi kekhawatiran yang
satu ini, sebaiknya sebisa mungkin tetap melakukan aktivitas dengan perasaan
bebas. Kemudian, ketika sudah bisa melakukan aktivitas dengan perasaan bebas
dan datang keinginan untuk nikah, maka pada saat itulah sebaiknya seseorang
memutuskan untuk menikah (Kanbara, 1997: 53). Ada juga kekhawatiran para
pria Jepang ini terhadap kemampuan dirinya membahagiakan pasangan. Para pria

25

Jepang ini takut tidak bisa memenuhi semua keinginan pasangan seperti membeli
perhiasan, tas yang mahal dan benda-benda lainnya yang pada umumnya melekat
pada wanita ketika sudah menikah nanti. Jadi yang dimaksudkan disini adalah
membahagiakan pasangan secara finansial. Apabila mereka bisa mendapatkan
materi yang banyak tidak jadi masalah, namun jika tidak, banyak pria Jepang yang
memutuskan sebaiknya tidak menikah daripada membuat pasangannya sedih
karena tidak bisa memenuhi semua keinginannya (Iwashita, 2007: 172).
Selanjutnya, pembagian tugas setelah menikah menjadi kekhawatiran pria usia 30
tahunan. Karena pria pada usia 30 tidak memiliki keahlian mengurus rumah.
Namun, kekhawatiran tersebut tidak terjadi pada sebagian orang. Karena ada pria
memiliki pikiran yang modern, yaitu ingin adanya kedudukan yang seimbang
antara ia dan istrinya setelah menikah. Selain itu, mereka juga memiliki
pengalaman hidup sendiri yang cukup lama, sehingga urusan bersih-bersih rumah
yang ringan dan memasak masakan yang mudah bisa mereka lakukan dengan
baik. saat ini banyak pria Jepang yang menginginkan adanya kesederajatan antar
suami istri dalam rumah tangga. Salah satunya dalam hal mengurus rumah tangga
dan juga merawat anak. Lebih lanjut Shionagi (2012: 17) mengatakan bahwa
“kaji mo buntan, kosodatemo buntan, kaji mo tewakeshite”, yang artinya
pekerjaan rumah dibagi, mengurus anak dibagi, bersih-bersih rumah juga dibagi.
4. Melemahnya Interaksi Sosial
Masyarakat Jepang saat ini menghabiskan seluruh waktunya ditempat
kerja menyebabkan mereka apatis terhadap orang-orang dilingkungan tempat
tinggalnya. Kesibukan tersebut akhirnya menyebabkan para tetangga yang
rumahnya berdekatan tidak lagi sering saling menyapa. Selain itu sifat masyarakat

26

Jepang yang cenderung tertutup menyebabkan mereka tidak ingin mencampuri
urusan orang lain dan sebaliknya tidak ingin urusannya dicampuri. Menurut
sebuah survei yang dikutip penyiaran TBS menyatakan 70 persen penduduk
Jepang tidak menginginkan tetangga untuk masuk dalam kehidupan mereka. Ini
mengindikasikan meskipun terjadi interaksi antar tetangga hanya berupa ucapan
salam dan obrolan ringan saja.
Berdasarkan survei nilai dunia yang dilakukan oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) yang meminta para responden
memberitahu tentang kontak sosial mereka didapati bahwa Jepang merupakan
salah satu negara paling kesepian di dunia. Orang Jepang tampaknya memiliki
paling sedikit kontak sosial dengan teman-teman, rekan kerja, dan kenalannya.
Sehingga untuk menjalin hubungan asmarapun atau melakukan kencan orang
Jepang berfikir dua kali karena kontak sosial yang tidak begitu mendukung dalam
memulainya sebuah hubungan untuk nanti yang tujuannya untuk menikah.
Meski hubungan seks bebas semakin menjadi hal yang umum di Jepang,
survei yang dilakukan pada 2011 lalu menunjukkan bahwa dari 60 persen pria
yang tidak menikah dan 49 persen wanita yang tidak menikah berusia 18 sampai
34 tahun, mereka tidak sedang menjalani hubungan apa pun. Angka ini meningkat
sekitar 10 persen dibanding hasil riset 5 tahun sebelumnya.
5. Kondisi Ekonomi
Jepang merupakan negara dengan tingkat perekonomian terbesar ketiga di
dunia. Jepang telah mengambil berbagai langkah untuk memacu pertumbuhan
perekonomiannya hingga menjadi salah satu negara dengan pereokonomian
terbesar di dunia setelah bertahun-tahun mengalami stagnansi, namun tingkat

27

kemiskinan meningkat 15,7 persen ditahun 2007. Satu dari enam penduduk
Jepang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut OECD mereka yang masuk
kategori miskin adalah mereka yang berpenghasilan setengah dari penghasilan
rata-rata pendudk Jepang, yaitu sekitar Rp 79 juta per tahun. Angka ini termasuk
besar jika dilihat dari kacamata orang Indonesia namun di Jepang hanya untuk
membayar sewa rumah sudah menghabiskan setengah dari gaji yang didapat. Ini
belum termasuk biaya makan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Maka jumlah
ini tidak mencukupi. Menurut kementrian kesehatan, ketenagakerjaan, dan
kesejahteraan, sejak tahun 2000 lebih dari 700 orang meninggal karena kelaparan.
Dengan kondisi kehidupan yang begitu keras, membuat kaum muda Jepang
menghabiskan waktunya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jepang
yang begitu tinggi sehingga kaum muda tersebut waktunya habis untuk bekerja
dan untuk melakukan hubungan intim tidak ada hasrat lagi karena akibat
kelelahan dalam bekerja tersebut.

2.3 Perubahan Struktur Keluarga di Jepang
Seorang pakar sosiologi keluarga, William J. Goode, menyatakan bahwa:
“Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial, di samping agama, secara resmi
telah berkembang di semua masyarakat” (Anwar, 1991: 14). Keluarga merupakan
bentuk masyarakat yang terkecil, dan merupakan tempat awal pembentukan sifat
dan karakter seorang manusia. Sejak dilahirkan, seorang individu diasuh, dididik,
dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan menjadi bagian dari suatu
masyarakat. Begitupun halnya dengan orang Jepang.

28

Ruth Benedict mengatakan:
“Setiap orang Jepang mempelajari seluk beluk hirarki di tengah
keluarganya. Apa yang dikenal dipelajarinya dalam lingkungan keluarga itu, di
kemudian hari akan diterapkannya dalam bidang kehidupan ekonomi dan
pemerintahan yang lebih luas” (Anwar, 1991: 14).

Seiring dengan perkembangan zaman sistem keluarga di Jepang telah
mengalai perubahan. Dulu, sistem keluarga di Jepang di atur oleh konsep Ie. Ie
adalah suatu kelompok kekerabatan tradisional Jepang yang berlaku pada zaman
Edo (1600-1868), yang eksistensinya sejak zaman Restorasi Meiji (1868-1912)
mulai memudar seiring dengan peralihan masyarakat Jepang dari masyarakat
agraris dan feodalistis ke masyarakat industri yang bersifat lebih demokratis
(Anwar, 1991: 16). Sedangkan dewasa ini, sistem keluarga yang berlaku di Jepang
adalah kaku kazoku (keluarga inti).
2.3.1 Sistem Keluarga Tradisional Jepang (Ie)
Dalam bahasa Jepang kata Ie mempunyai dua arti, yaitu ie sebagai
bangunan rumah dan ie sebagai suatu kelompok kekerabatan atau sistem keluarga
luas terbatas (limited extended family) yang dihitung secara patrilineal (Anwar,
1991: 14). Sistem ie adalah sistem keluarga tradisional Jepang yang merupakan
unit dasar dari organisasi sosial di Jepang, anggota keluarga dalam suatu ie
menjalankan bisnis keluarga dan mempertahankan garis keluarga dari generasi ke
generasi. Tugas utama anggota keluarga adalah menjaga nama leluhur mereka
serta melestarikan kelangsungan dan kemakmuran ie mereka (Vogel, 1971: 165).
Menurut Torigoe Hiroyuki, ie merupakan suatu unit dasar bagi kehidupan
orang Jepang yang mempunyai ciri khas (Anwar, 1991: 30-31), yaitu:

29

a. Mempunyai harta sebagai warisan, dan berdasarkan harta warisan itu
diselenggarakan

suatu

unit

usaha

yang

yang

berkaitan

dengan

perekonomian keluarga.
b. Secara periodik menyelenggarakan upacara pemujaan terhadap arwah
leluhur, dan
c. Mementingkan kelangsungan keturunan dari generasi ke generasi,
terutama kesinambungan nama keluarga (myoji).
Dalam sistem ie anak laki-laki pertama (chonan) mewarisi pekerjaan
ayahnya sebagai kepala keluarga (kacho) dan meneruskan kelangsuangan ie-nya.
Namun sistem ie tidak sepenuhnya patrilineal, karena kedudukan kepala keluarga
dapat diwariskan kepada anak adopsi atau anak menantu. Maka, sebenarnya
hubungan kekerabatan yang berlaku dalam sistem ie adalah patrilineal semu.
Menurut Chie Nakane, hal ini merupakan perwujudan kebudayaan khas Jepang
yang tidak ditemukan di mana pun di dunia (Anwar, 1991: 30).
Sistem ie memiliki peranan yang besar dalam industrialisasi Jepang
periode Meiji. Menurut Chie Nakane, sistem ie mempengaruhi seluruh aspek
kehidupan masyarakat Jepang, seperti kehidupan sehari-hari, perkawinan,
kepercayaan, cara berpikir, bahkan semua aktivitas pekerjaan, sangat terikat dan
tidak bisa dipisahkan dari struktur ie (Anwar, 1991: 30).. Sejak zaman Tokogawa
sampai akhir Perang Dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep ie,
bahkan sistem ini medapak pengakuan secara hukum dalam Kode Hukum Sipil
Meiji (Tadashi, 1989: 25).

30

Bersamaan dengan perubahan zaman dan perkembangan masyarakat
Jepang akibat industrialisasi, dan dilandasi oleh perubahan terhadap Kode Hukum
Sipil setelah perang, tradisi sistem keluarga ie perlahan-lahan mulai ditinggalkan
oleh generasi muda Jepang. Pasal 24 dalam Undang-Undang Dasar yang dibuat
selama masa Pendudukan Sekutu menyatakan bahwa semua anak seharusnya
memiliki hak yang sama terhadap warisan dan berbagi tanggung jawab yang sama
dalam hal perawatan orang tuanya. Hukum ini dibuat berdasarkan Konstitusi 1947
dan berisi:
“Dengan memperhatikan hak memilih pasangan hidup, hak-hak
kepemilikan, warisan, pilihan tempat tinggal, perceraian, dan urusanurusan lain yang berhubungan denagan pernikahan dan keluaraga, hukum
harus ditegakkan dari sudut pandang kehormatan individu dan persamaan
antar jenis kelamin” (Henry, 1995: 27).

Hukum ini menyatakan dengan tegas, pentingnya martabat individu dan kesamaan
derajat pria dan wanita di dalam kehidupan keluarga. Selain itu, juga dinyatakan
bahwa pernikahan harus dilaksanakan berdasarkan kesediaan kedua belah pihak
yang bersangkutan. Bila melihat undang-undang ini, maka akan sangat jelas
terlihat bahwa nilai-nilai ini diambil langsung dari pemikiran barat dan merupakan
azas-azas keluarga yang baru dalam Kode Hukum Sipil di Jepang.
Undang-undang baru melambangkan suatu revolusi dalam kehidupan
keluarga Jepang. Kode Hukum Sipil yang telah mengalami perubahan itu
merupakan suatu tantangan terhadap sistem ie yang sudah berabad-abad usianya
dan merupakan ciri khas masyarakat Jepang. Namun, perubahan itu tidak
menimbulkan kehancuran langsung terhadap sistem ie karena sistem ie ini masih
terus ada dalam kehidupan adat (Tadashi, 1989: 125).

31

Keberadaan ie dalam wujud seperti zaman feodal dan zaman Meiji boleh
saja hanya tinggal tersisa di masyarakat pertanian di desa-desa pedalaman Jepang,
bahkan boleh saja sirna, akan tetapi eksistensinya dari nilai-nilai positif yang
menjadi kekuatan masyarakat Jepang pada masa lampau itu tetap mereka
pertahankan dan menjelma sebagai seni-sendi yang menopang kekuatan
perusahaan-perusahaan Jepang (Anwar, 1991: 31). Chie Nakane menjelaskan:
“Walaupun sering dikatakan bahwa lembaga keluarga Jepang tradisional ie
telah lenyap, namun konsep ie masih tetap bertahan dalam masyarakat
Jepang modern. Suatu perusahaan di Jepang oleh karyawannya dianggap
sebagai ie. Semua pekerjanya dinilai sebagi anggota keluarga rumah
tangga, sedangkan majikan menjadi kepala rumah tangga. Sekali lagi
“Keluarga Besar” perusahan ini mencakup anggota keluarga setiap
karyawannya, serta mengikat mereka dalam suatu ikatan kekeluargaan
sepenuhnya (marugakae). Misalnya, seorang majikan rela menanggung
keluarga pekerjanya, sehingga ada gilirannya, yang mendapat prioritas
pertama untuk diperhatikan adalah perusahaan, daripada kaum kerabat
yang tingga di tempat lain (Anwar, 1991: 18).

Selain itu, meskipun landasan hukum bagi keberaaan ie dalam masyarakat
Jepang sudah tidak ada lagi, namun dengan beberapa penyesuaian, prinsip dari
hubungan antar individu yang dikenal sebagai bagian tradisi ie tidak sirna begitu
saja, seperti pada prinsip kesinambungan myoji (nama keluarga), prinsip
nenkojoretsu yang artinya seseorang harus menempatkan diri sesuai dengan
hirarki senpai (senior) dan kohai (junior), masih tetap ada dalam masyarakat
Jepang (Anwar, 1991: 19).
2.3.2 Berkembangnya Kaku Kazoku atau Keluarga Inti
Perubahan keluarga dengan menurunnya jumlah anggota dalam setiap
rumah tangga, diungkapkan dengan istilah kaku kazoku atau keluarga inti. Dapat

32

dikatakan bahwa sistem keluarga Jepang yang baru, yaitu perubahan sistem ie
kepada keluarga inti atau keluarga nuklir, atau juga disebut keluarga batih, telah
dimulai. Jumlah kaku kazoku atau kelaurga inti telah menunjukkan peningkatan
yang stabil sejak tahun 1960-an hingga saat ini (Echiai, 1996: 61).
Seorang pakar sosiologi Jepang, Haru Matsubara mengemukakan bahwa
kaku kazoku (keluarga inti) adalah kelompok kekerabatan yang berlaku dan
populer dalam kehidupan masyarakat Jepang dewasa ini, sebagi pengganti
kelompok kekerabatan tradisional ie. Menurut Matsubara, ada tiga faktor utama
yang menyebabkan kelompok kekerabatan ie tergeser oleh oleh kelompok
kekerabatan kaku kazoku, yaitu (Anwar, 1991: 16):
1. Hilangnya landasan hukum bagi kelompok kekerabatan ie dengan
disahkannya Shinkenpoo (UDD Baru) Jepang pada tahun 1946, serta
adanya perubahan pada Hukum Sipil tentang keluarga dan warisan
pada tahun 1948.
2. Tumbuhnya pemikiran tentang demokrasi setelah Perang Dunia II,
melalui sistem pendidikan modern yang merata di seluruh Jepang,
sehingga membentuk pendapat umum yang mengganggap sistem ie
kurang demokratis.
3. Adanya perubahan drastis dalam pola kehidupan keluarga di Jepang
setelah tahun 1955 ke atas.
Pada masyarakat Jepang pasca perang, secara umum, keluarga yang
modern diartikan sebagi keluarga yang demokratis. Proses tergesernya
eksistensinya kelompok kekerabtan ie oleh kelompok kekerabatan kaku kazoku,
sebenarnya sejalan dengan proses modernsasi Jepang yang begeser dari

33

masyarakat agraris-feodalistis menuju masyarakat industri yang lebih bersifat
demokratis sebagai dampak dari penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
barat oleh bangsa Jepang yang bermula dari restorasi Meiji (1868-1912)(Anwar,
1991: 17).
Mereka mengganti konsep ie yang patrilineal dan feodalis, yang berlaku
dan terdapat dalam Kode Hukum Sipil tahun 1898, kepada sistem keluarga
demokratis yang terdapat dalam Kode Hukum Sipil tahun 1948 (Anwar, 1991:
76). Perubahan ini juga meliputi pergantian sistem ie yang merupakan ciri khusus
masyarakat Jepang, dengan bentuk keluarga bersifat universal, seperti yang
diwakilkan keluarga nuklir yang ada di Ameriks Serikat dan Eropa.
Seorang ahli antropologi yang bernama George P. Murdock, dalam
bukunya yang berjudul Social Structure, menyatakan bahwa kelurga nuklir adalah
unit dasar yang universal dari sebuah keluarga, dan dapat ditemukan di setiap
masyarakat manusia. Seiring dengan kekalahan yang dialami Jepang ada Perang
Dunia II, Jepang tidak memiliki pilihan selain pemikiran ini.
Bentuk keluarga nuklir merupakan bentuk paling umum dari rumah
tangga-rumah tangga yang ada di kota-kota besar seperti Tokyo, yang tidak jarang
menepati apartemen dengan dua atau tiga kamar. Munurut data statistik tentang
pengaturan tempat tinggal di Jepang, sebagian besar merupakan rumah tangga
kaku kazoku atau keluarga inti. Pasangan yang telah menikah akan hidup dengan
anak-anak mereka, dan telah menjadi standar umum bagi masyarakat Jepang
untuk menikah dan membentuk kelarga dengan dua atau tiga anak. Namun,

34

seiring dengan semakin makmur masyarakat Jepang, akibat pertumbuhan ekonomi
yag tinggi, mereka semakin membatasi jumlah anak yang mereka inginkan.
Dengan perubahan sistem kekeluargaan dalam masarakat Jepang saat ini
dari keluarga ie ke keluaraga kaku kazoku membuat masyrakat Jepang berpikir
tentang kondisi yang dihadapi meraka sat ini. Dengan itu muculnya fenomenafenomena sosial baru di Jepang. Salah satunya adalah fenomena Sekkusu shinai
shokogun yang dimana masyarakatnya tidak tertarik melakukan kontak seksual
atau hubungan seksual dan akhirnya tidak tertarik pada pernikahan. Dampak yang
ditimbulkan membuat situasi Jepang semakin berkurangnya popolasi usia muda
yang akan membuat Jepang teancam pada masa akan datang dengan penduduk
yang semakin menipis, yang akan berdampak sangat luas pada kehidupan
masyarakat Jepang pada sektor lain nantinya.
2.4 Perubahan Pandangan Kaum Muda Jepang Terhadap Pernikahan
Menurut wanita Jepang, menikah hanyalah menambah beban. Selain kesulitan
untuk menyatukan dua prinsip yang berbeda, tak jarang dalam pernikahan ada
silang pendapat yang hanya menimbulkan masalah. Bagi wanita, menikah juga
berarti terkekang. Kebebasan mereka terancam ketika ada suami di kehidupan
mereka. Rasa percaya diri untuk bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa
mengandalkan pria sungguh membuat para mayoritas wanita Jepang tak memiliki
ketertarikan seksual terhadap lawan jenis. Apalagi punya anak, ini adalah kondisi
yang kurang nyaman bagi wanita Jepang karena mereka berpikir dapat
mengancam karir yang telah lama mereka bangun dari nol. Hal ini tentu sangat

35

dianggap merugikan hidup mereka. Daripada hidup dipenuhi dengan urusan suami
dan anak, mereka lebih nikmat menikmati hidup lajang, bahkan selamanya.
Sedangkan pandangan pria Jepang terhadap pernikahan, para pria Jepang
juga kurang memiliki minat untuk menikah diusia produktifnya. Alasan utama
tentu karena mereka lebih menikmati pekerjaan daripada untuk mempersiapkan
pernikahan. untuk kebutuhan seksual, pria Jepang yang rata-rata memiliki
penghasilan tinggi ini bisa bebas memanfaatkan uangnya untuk datang ke tempat
PSK untuk sekedar menumpahkan nafsu sesaatnya. Setelahnya, mereka tetap
bebas kemanapun yang mereka inginkan, bebas berteman dengan siapa saja dan
melakukan apapun tanpa dibatasi oleh pasangan. Pria Jepang sebenarnya tidak
seambisius kaum wanita Jepang dalam mengejar karir. Data menunjukkan bahwa
13 juta warga Jepang yang belum menikah masih tinggal di rumah orangtua. Tiga
juta di antaranya berusia 35 tahun. Sebagian pria Jepang menganggap kemapanan
hidup bukanlah prioritas karena tak tertarik untuk menikah. Mereka menganggap
nikah hanyalah beban karena biaya hidup mahal, properti mahal, merawat anak
juga mahal.
2.5 Contoh-contoh Kasus Fenomena Sekkusu Shinai Shokogun
Kasus fenomena Sekkusu shinai shokogun menurut laporan dan penelitian
yang dilakukan oleh beberapa media baik media Jepang maupun media asing
angka pelakunya meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini membuat Jepang
dalam masalah besar. Apabila tidak di berikan solusinya, negara Jepang akan
kehilangan banyak populasiya di masa akan datang dan memberikan efek yang
begitu besar di berbagai sektor bidang.

36

Berikut ini beberapa contoh kasus fenomena Sekkusu shinai shokogun
yang dilakukan atau dialami oleh kaum muda di Jepang:
1. Eri Tomita asyik menyeruput kopinya di sebuah kafe di Distrik Ebisu,
Tokyo. Dia bilang sedang menunggu teman-teman perempuannya.
Mereka akan menghabiskan akhir pekan itu untuk berbelanja dan
bersenang-senang. Tomita sudah berusia 32 tahun. Tetapi staf di bagian
sumber daya manusia di sebuah bank Prancis ini mengaku belum pernah
berpikir untuk menikah.
“Pacar saya pernah melamar pada tiga tahun lalu, saya menolaknya ketika
saya menyadari saya lebih memperhatikan pekerjaan.” kata Tomita.
“Setelah itu saya tak tertarik lagi berkencan.”
Tomita fasih berbahasa Jepang dan Prancis. Pendidikannya pun tinggi.
Dia bahkan punya dua gelar sarjana dari bidang ilmu yang berbeda.
Ambisinya adalah mencapai karir setinggi-tingginya. Perempuan yang
menikah,

kata

dia,

akan

kehilangan

kesempatan

untuk

dipromosikan. Tomita beranggapan hidupnya sekarang asyik-asyik saja.
Dia bebas bepergian dengan teman-temannya ke restoran bagus, membeli
pakaian mahal, dan pergi berlibur. Sesekali dia bisa melakukan one night
stand alias seks semalam, dengan pria yang ditemuinya di bar
(https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2397111/pemudajepang-seks-ok-menikah-no-).
2. Satoru Kishino, 31 tahun. Lelaki ini tak mau berpacaran karena tak punya
pendapatan yang cukup untuk memiliki seorang pacar. Dia pun memilih
sibuk dengan pekerjaan atau hobinya. Ketika perekonomian sulit, kaum

37

pria harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Saat
itulah mereka tak tertarik pada hubungan berkomitmen. “Saya tak mau
bertanggung jawab atas seorang perempuan yang berharap akan menikah
nanti,” kata Kishino (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d2397266/ketika-karir-mengalahkan-seks-dan-pernikahan-).
3. Emi Kuwahata, 23 tahun dan temannya, Eri Asada, 22 tahun, menemui Ai
Aoyama (Konsultan Seks) di daerah perbelanjaan di Shibuya. Emi
Kuwahata adalah lulusan dari Fashion Designer, ia memiliki hubungan
dengan seorang senior yang berusia 13 tahun diatasnya. “Kami bertemu
sekali ketika di bar, saya tidak memiliki waktu banyak untuk pacar saya
karena saya ingin menjadi seorang designer”. Sementara Eri Asada
mengatakan ia tidak tertarik dengan cinta. “Saya menyerah untuk
berkencan sejak tiga tahun yang lalu. Saya tidak merindukan mantan
pacar saya ataupun seks. Saya bahkan tidak suka bergandengan tangan
(http://www.tribunnews.com/internasional/2015/01/09/ini-yang-bikinanak-anak-muda-jepang-makin-malas-menikah-apalagi-punya-anak).

38