Korelasi HbA1c dengan Profil Lipid pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP. H. Adam Malik Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Diabetes Melitus

2.1.1. Definisi
Diabetes melitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang berkorelasi
dengan phenotype dari hiperglikemia. Perbedaan tipe dari diabetes adalah
penyebab oleh korelasi campuran dari faktor gen dan lingkungan. Hal ini biasa
disebabkan oleh gangguan pengeluaran insulin, pengurangan penggunaan glukosa,
dan peningkatan produksi glukosa. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab
utama dari gagal ginjal akut, amputasi tungkai bawah bukan trauma, kebutaan,
dan penyumbang untuk terjadinya penyakit jantung. Dengan peningkatan
insidensi yang tinggi di dunia, DM menjadi faktor mortalitas dan morbiditas untuk
masa yang akan datang (Longo et al., 2012).
Kemudian diabetes melitus dibagikan dalam dua bentuk. Bentuk pertama
disebut diabetes melitus tipe 1 dan bentuk kedua adalah diabetes melitus tipe 2.
Diabetes melitus tipe 2 adalah keadaan hiperglikemia yang disebabkan oleh
rusaknya sekresi insulin, resistensi insulin, atau keduanya (ADA, 2012).

2.1.2. Klasifikasi
DM terklasifikasi berdasarkan proses patogenik dari hiperglikemia,
dengan kriteria awal berupa onset umur ataupun tipe terapi yang digunakan.
Cabang utama dari DM adalah DM tipe 1 dan tipe 2 dan berdasarkan etiologi lihat
tabel 2.1. (Longo et al., 2012).
2.1.3. Etiologi
DM tipe II disebabkan oleh kesalahan dalam menggunakan insulin. Peran
insulin dalam tubuh digunakan untuk memindahkan glukosa ke dalam sel tubuh
untuk disimpan dan digunakan dalam bentuk energi. Dalam keadaan ini penderita
DM tipe II tidak dapat menggunakan insulin dengan efektif yaitu dapat
memproduksi insulin namun insulin kurang atau mampu memproduksi insulin
tetapi tidak mampu menggunakan insulin, keadaan ini dinamakan resistensi
insulin (Guyton & Hall, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Keadaan resitensi insulin ini mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk ke
dalam sel otot untuk disimpan sebagai energi, namun glukosa akan tertimbun
didalam peredaran darah. Sehingga glukosa dalam darah akan meningkat
(hiperglikemia). Keadaan hiperglikemia ini mengakibatkan sel β pankreas bekerja

lebih untuk memproduksi insulin, akibatnya sel β pankreas tidak mampu
mengkompensasi sehingga terjadilah kegagalan sel β pankreas (Guyton & Hall,
2013).
Riwayat keluarga genetika, aktifitas fisik rendah, diet tinggi lemak dan
rendah serat serta berat badan yang berlebihan menjadi salah satu faktor risiko
DM tipe 2 (Guyton & Hall, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Etiologi diabetes melitus (Longo et al., 2012).
I. Type 1 diabetes
A. Immune-mediated
B. Idiopathic
II. Type 2 diabetes
III. Other specific types of diabetes
A. Genetic defect of β cell
1. MODY 1
2. MODY 2
3. MODY 3
4. MODY 4

5. MODY 5
6. MODY 6
7. Mitochondrial DNA
8. Subunits of ATP-sensitive potassium channel
9. Proinsulin or insulin conversion
B. Genetic defects in insulin action
1. Type A insulin resistance
2. Leprechaunism
3. Rabson-Mendenhall syndrome
4. Lypoditrophy syndromes
C. Diseases of the exocrine pancrease
D. Endocrinopathies
E. Drugs
F. Infections
G. Uncommon forms of immune-mediated diabetes
H. Other genetics syndromes sometimes associated with diabetes
IV. Gestational diabetes

2.1.4. Diagnosis
DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan

glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (Whole
Blood), vena ataupun kapiler tetap dapat digunakan dengan memperhatikan angka

kriteria diagnostik yang berbeda sesuai WHO (PERKENI, 2011).
Gejala khas DM antara lain poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan, sedangkan gejala tidak khas DM terdiri dari lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Kriteria diagnosis DM (PERKENI, 2011).
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok yang memiliki salah
satu faktor risiko DM namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau
kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada
saat pemeriksaan umum kesehatan (PERKENI, 2011).

Tabel 2.3. KGD sebagai faktor penyaring DM (mg/dl) (PERKENI, 2011).
Kadar Gula Darah
Bukan DM
Possible DM
DM
Sewaktu
Plasma Vena
200
Kapiler
200
Puasa
Plasma Vena
126
Kapiler
100
2.1.5. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Hal ini dituangkan dengan empat pilar penatalaksanaan
diabetes melitus (PERKENI, 2011).
1. Edukasi

Edukasi biasanya berupa pengetahuan pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberitahukan kepada
pasien. Pemberdayaan penyandang diabetes juga harus memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga, dan masyarakat (PERKENI, 2011).
2. Terapi Nutrisi Medis
Para penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah (PERKENI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani bisa dilakukan secara
teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit.Kegiatan sehari-hari
seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap
dilakukan (PERKENI, 2011).
4. Terapi pengobatan
Terapi pengobatan sangat dianjurkan diselingi dengan latihan jasmani dan
pengaturan pola makan supaya pengontrolan gula darah menjadi baik (PERKENI,
2011).

2.1.6. Penilaian Hasil Terapi
Hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan jasmani.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah :
1.

Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah adalah untuk mengetahui apakah

sasaran terapi telah tercapai dan untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila
belum tercapai sasaran terapi.
2.

Pemeriksaan HbA1c
Tes hemoglobin terglikolisasi, yang biasa disebut juga glikohemoglobin,

atau hemoglobin glikolisasi, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk
menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1c dianjurkan setiap 3
bulan, minimal 2 kali dalam 1 tahun.

3.

Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM)
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu

sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi.
Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan,
menjelang tidur dan diantara siklus tidur, atau ketika mengalami gejala seperti
hypoglycemic spells (PERKENI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.1.7. Komplikasi
Komplikasi

DM

tipe

2


ada

dua

yaitu

:

mikroangiopati

dan

makroangiopati.Komplikasi mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang
menyerang

kapiler,

arteriola


retina

(retinopati

diabetik),

glomerolus

ginjal(nefropati diabetik), saraf perifer (neuropati diabetik) dan lesi pada ototserta
kulit. Komplikasi makroangiopati terdiri dari penyakit jantung koroner, stroke dan
penyakit vaskuler perifer (PERKENI, 2011).

2.2.

HbA1c (Hemoglobin Terglikosilasi)

2.2.1. Biokimia
Hemoglobin merupakan bagian dari eritrosit yang berperan dalam
mengangkut oksigen ke jaringan, terdiri dari HbA1, HbA2, HbF (fetus).
Hemoglobin A (HbA) terdiri atas 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin.

Glikosilasi merupakan reaksi pengikatan aldehid dengan larutan glukosa tinggi,
sehingga rantai beta molekul hemoglobin akan mengikat gugus glukosa secara
irreversibel, proses ini dinamakan glikosilasi. Proses glikosilasi ini terjadi secara

spontan dan akan meningkat apabila terjadi peningkatan kadar glukosa dalam
darah.
HbA1c terbentuk dari ikatan glukosa dengan gugus amida pada rantai
asam amino valin di ujung rantai beta dari globulin. Pada dewasa normal
hemoglobin terjadi dengan 2 tahap. Tahap pertama terjadi ikatan kovalen aldimin
berupa basa shiff yang bersifat stabil dan tahap kedua terjadi penyusunan kembali
secara amadori menjadi bentuk ketamin yang stabil. Pada keadaan hiperglikemia
akan meningkatkan pembentukan basa shiff antara gugus aldehid glukosa dengan
residu lisin, arginin dan histidin. Kecepatan pembentukan reaksi glikosilasi
bergantung dengan kadar glukosa (ACBD UK, 2008).
Ketika glukosa darah masuk ke dalam eritrosit menyebabkan glikosilasi
gugus ε amino residu lisin dan terminal amino hemoglobin. Fraksi hemoglobin
terglikosilasi yang dalam keadaan normal berjumlah 5% setara dengan konsentrasi
glukosa dalam darah. Karena waktu paruh eritosit hanya 120 hari, maka kadar
hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) mencerminkan rata rata kadar glukosa darah

Universitas Sumatera Utara

dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan. Pada orang normal
hemoglobin mengalami glikosilasi sekitar 4-6 % sedangkan pada hiperglikemia
yang berkepanjangan, kadar HbA1c dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi
tidak mengganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen tetapi kadar
HbA1c yangtinggi mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes. Setelah
kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar HbA1c kembali normal dalam 3
minggu (Mayes, 2009).
2.2.2. HbA1c sebagai kontrol diabetes
Tujuan pemeriksaan HbA1c adalah untuk mengetahui gambaran kadar
glukosa darah harian rata rata dan derajat keseimbangan karbohidrat selama 2
bulan yang lalu, untuk memantau progresivitas penyakit, dan untuk mengetahui
perkembangan komplikasi DM. Pemeriksaan HbA1c lebih baik daripada
pemeriksaan gula darah puasa. Oleh karena itu pemeriksaan HbA1c dilakukan
minimal 2 kali dalam setahun. Selain pemeriksaan HbA1c pemeriksaan
fruktosamin juga dapat menggambarkan keadaan glukosa 2-3 minggu
sebelumnya. Pada pemeriksaan fruktosamin dapat memantau kadar glukosa lebih
cepat dibanding HbA1c yang untuk jangka waktu lebih lama (ACBD UK, 2008).
Semakin tinggi nilai HbA1c maka semakin tinggi penderita berisiko
terkena komplikasi. Setiap penurunan 1% kadar HbA1c dapat menurunkan risiko
gangguan pembuluh darah mikrovaskuler sebanyak 35%, menurunkan komplikasi
lain 21% serta menurunkan risiko kematian 21%. Kenormalan HbA1c dapat
diupayakan dengan mempertahankan kadar gula darah tetap normal sepanjang
waktu.
Pada penderita DM tipe II yang melakukan tes glukometer tinggi ini
merupakan implikasi dari nilai HbA1c tinggi. Hasil pemeriksaan glukometer
yangtinggi diakibatkan oleh asupan makanan yang tidak sesuai dengan anjuran
diet atau tidak pernah melakukan olah raga, sedangkan kadar HbA1c yang tinggi
merupakan akumulasi kadar glukosa secara berkepanjangan. Kadar HbA1c
terbentuk pada pasca translasi yang berlangsung secara lambat dan tidak
dipengaruhi oleh enzim sepanjang jalur hidup eritrosit, oleh karena itu apabila

Universitas Sumatera Utara

eritrosit lebih tua maka kadar HbA1c lebih tinggi dibanding eritrosit muda
(Soewondo, 2005).

2.3.

Dislipidemia

2.3.1. Definisi
Dislipidemia didefinisikan sebagai kelainan metabolisme lipid dimana
terjadi peningkatan maupun penurunan komponen lipid dalam darah. Kelainan
komponen lipid yang utama adalah terjadinya kenaikan kadar kolesterol total,
kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein ), TG (trigliserida), serta menurunnya
kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) (PERKENI, 2012).
2.3.2. Klasifikasi
Berikut adalah macam-macam dislipidemia
1.

Klasifikasi Fenotipik
Klasifikasi EAS (European Atherosclerosis Society)

Tabel 2.4. Klasifikasi dislipidemia menurut EAS (Hendromartono et al., 2007).
Indikator
Peningkatan Lipoprotein Peningkatan Lipid Plasma
Hiperkolesterolemia
LDL
Kolesterol > 240 mg/dl
Hipertrigliserida
VLDL
Trigliserida> 200 mg/dl
Kombinasi
VLDL + LDL
Kolesterol > 240 mg/dl +
Trigliserida> 200 mg/dl
a.
Klasifikasi WHO
Tabel 2.5. Klasifikasi WHO (Hendromartono et al., 2007).
Frederickson
Genetik
Terapetik
I
II A
II B

III

IV
V

Dislipidemia

Hipertrigliseridaemia
eksogen
Hiperkolesterolemia Hiperkolesterolemia
Dislipidemia
Hipertrigliseridaemia
Kombinasi
endogen +
Dislipidemia
kombinasi
Dislipidemia
Hipertrigliseridaemia
remnant
Dislipidemia
endogen
Dislipidemia
campuran

Hipertrigliseridaemia
endogen
Hipertrigliseridaemia
endogen

Peningkatan
Lipoprotein
Kilomikron
LDL
LDL + VLDL

Partikel endogen +
Dislipidemia
kombinasi
VLDL
VLDL + Kilomikron

Universitas Sumatera Utara

1.

Klasifikasi Patogenik
Klasifikasi yang paling mudah digunakan adalah pembagian dislipidemia

dalam bentuk dislipidemia primer dan dislipidemia sekunder. Pembagian ini
penting untuk menetukan pola pengobatan yang akan diterapkan (PERKENI
2012).
a)

Dislipidemia Primer
Dislipidemia primer adalah dislipidemia yang diakibatkan oleh kelainan

genetik. Pasien dislipidemia sedang disebabkan oleh hiperkolesterolemia
poligenik dan dislipidemia kombinasi familial. Dislipidemia berat umumnya
karena hiperkolesterolemia familial, dislipidemia remnant (Hendromartono et al.,
2007).
i.

Hiperkolesterolemia poligenik
Keadaan ini merupakan penyebab hiperkolesterolemia tersering (>90%).

Merupakan interaksi antara kelainan gen yang multipel, nutrisi, dan faktor
lingkungan lainnya serta lebih mempunyai lebih dari satu dasar metabolik.
Hiperkolesterolemia biasanya ringan atau sedang dan tidak ada xantoma
(Hendromartono et al., 2007).
ii.

Hiperkolesterolemia familial
Kelainan ini bersifat autosomal dominan dan terdapat bentuk homozigot

maupun heterozigot. Hiperkolesterolemia familial homozigot memiliki kadar
kolesterol total antara 600-1000 mg/dl, tidak dapat diobati, menyebabkan PJK dan
stenosis aorta pada masa kanak-kanan dan dewasa muda. Hiperkolesterolemia
timbul karena peningkatan kadar kolesterol LDL yang disebabkan oleh kelainan
fungsi atau jumlah reseptor LDL. Pada hiperkolesterolemia familial heterozigot
biasanya kadar kolesterol total bervariasi antara 350-460 mg/dl, tetapi adanya nilai
>300 mg/dl pada dewasa atau >260 mg/dl untuk usia