Perbandingan Efek Dekontaminasi Oral Listerine® Dengan Klorheksidin 0,2% Terhadap Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka
2. 1. 1 Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
Definisi dan Insiden
Ventilator associated pneumonia (VAP) merupakan bagian dari hospital acquired
pneumonia dengan kejadian yang cukup tinggi di ICU1,2,20 . VAP didifenisikan sebagai
pneumonia yang terjadi pada pasien yang dilakukan ventilasi mekanik setelah pemasangan
pipa endotrakea selama 48 jam atau lebih. 1,2 Resiko VAP meningkat paling tinggi pada awal
rawatan dengan ventilasi mekanik, dimana terjadi peningkatan resiko tiga persen setiap hari
dari hari pertama sampai hari kelima. Setelah hari kelima peningkatan resiko sebesar dua
persen perhari sampai hari ke sepuluh. Peningkatan resiko sebesar satu persen perhari setelah
hari ke sepuluh. 1 Kejadian VAP di ruang perawatan intensif masih sangat tinggi dengan angka
mortalitas yang tinggi, lama rawatan yang memanjang dan biaya perawatan yang sangat
tinggi.2

Meskipun belum ada data mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia, pada
kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa kejadian VAP sekitar 9% -27% dengan angka
mortalitas 15% - 50%.1,3,18,22 Tingginya angka ini dipengaruhi oleh populasi pasien dan
organisme penyebab, dengan pemanjangan masa rawatan pada VAP sekitar 6.1 hari dan

penambahan biaya mencapai 40.000 dolar Amerika setiap pasien. 3

Menurut onsetnya VAP dikelompokkan dalam 2 kelompok utama yakni VAP onset
cepat, dimana kejadian VAP muncul dalam 4 hari pertama setelah dilakukan tindakan
ventilasi mekanik, maupun VAP onset lambat yakni VAP yang muncul setelah 4 hari
dilakukan tindakan ventilasi mekanik.2,4.

Etiologi dan Patogenesis VAP
Patogenesis terjadinya VAP umumnya terjadi akibat mikroaspirasi organisme patogen
dari orofaring dan regurgitasi sekresi lambung ke dalam paru disertai penurunan mekanisme
20

Universitas Sumatera Utara

pertahanan tubuh.4,22,23 . Faktor resiko terhadap kejadian VAP secara umum dikelompokkan
dalam 2 kelompok yakni faktor resiko yang masih dapat dimodifikasi maupun faktor resiko
VAP yang tidak dapat dimodifikasi. Jenis tindakan medis, pengobatan dan kebiasaan di ICU
merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi, sedangkan usia diatas 60 tahun, COPD,
ARDS, cedera kepala dan intubasi ulang merupakan faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi 21. Diagnosis dan pengobatan yang cepat akan menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas VAP22

Mengingat aspirasi bakteri dari saluran nafas atas merupakan patogenesis penting dari
VAP, maka keberadaan flora normal di rongga mulut menjadi penting diperhatikan. Ada
lebih dari 350 spesies bakteri di rongga mulut, yang berkoloni pada beberapa tempat.
Streptokokus sanguis, Actynomyces viscosus dan bakteroides gingivalis umumnya berkoloni
di gigi. Sreptokokus salivarius umumnya berkoloni di bagian dorsal dari lidah. Sedangkan
Streptokokus mitis sering dijumpai pada mukosa bukal dan permukaan gigi. 23 Pada kondisi
dimana terjadi penurunan sistem pertahanan tubuh, misalnya pada pasien critically ill, terjadi
penurunan fibronectin yang menyebabkan sistem retikuloendotel sebagai sistem pertahanan
tubuh mengalami gangguan sehingga terjadi perubahan lingkungan yang menyebabkan flora
normal tersebut menjadi patogen23

Mikroorganisme penyebab VAP didominasi oleh bakteri patogen, dan dapat
disebabkan lebih dari 1 organisme. Penyebab lain seperti jamur dan virus jarang dijumpai. 21
Penyebab yang paling sering adalah bakteri basil gram negative aerobik seperti Pseudomonas
aeroginosa, Echercichia coli, Klebsiella pneumonia, dan Acinetobacter sp.21 Bakteri kokus
gram positif seperti Staphylococus aureus, khususnya MRSA mengalami peningkatan yang
pesat dalam kejadian VAP di Amerika Serikat24 . Pneumonia akibat S.aureus lebih sering
dijumpai pada pada pasien dengan diabetes mellitus dan cedera kepala yang dirawat di UPI 24 .


Theron D(2002) membagi mikroorganisme penyebab VAP berdasarkan onset VAP,
dimana pada VAP onset cepat sering dijumpai Staphylococus aureus (gram positif),
Haemofilus influenza (gram negative) dan Streptokokus pneumonia

(gram positif).

Sedangkan pada VAP onset lambat bakteri penyebab yang sering dijumpai seperti MRSA,
Pseudomonas aeruginosa dan acinetobacter atau enterobacter. 5

21

Universitas Sumatera Utara

Ozcaka O,dkk (2012) menyebutkan bahwa Acinetobacter baumannii merupakan
bakteri yang paling sering menjadi penyebab VAP.15

Chastre J dan Fagon J (2002), menyebutkan 60 persen bakteri penyebab VAP
merupakan bakteri basil gram negatif. Dalam penelitiannya dengan mengumpulkan 2490
aspirat bronkus dari 1689 kasus VAP dengan teknik bronkoskopi dijumpai bahwa patogen

penyebab VAP meliputi Pseudomonas aeruginosa, Acinotebacter spp, Stenotrophonomas
maltophilia, Enterobacteriaceae, Haemophilus spp, Staphylococcus aureus, Streptococcus
spp,

Streptococcus

pneumoniae,

Coagulasenegative

mikroorganisme anaerobik, dan jamur (tabel 1).

staphylococci,

Neisseria,

4

Tabel 1.Patogen penyebab VAP
Kuman patogen

Pseudomonas aeruginosa

Frekuensi (%)
24,4

Acinetobacter spp.

7,9

Stenotrophomonas maltophilia

1,7

Enterobacteriaceae
Haemophilus spp.

14,1
9,8

Staphylococcus aureus


20,4

Streptococcus spp.

8,0

Streptococcus pneumoniae

4,1

Coagulase-negative staphylococci

1,4

Neisseria spp

2,6

Bakteri anaerob


0,9

Lain-lain

3,8

dikutip dari Chastre J, FAgon JY.Ventilator associated pneumonia.Am J Respir crit.care med
2002;165: 872.4
Pneumonia terjadi karena adanya invasi bakteri pada saluran nafas bawah dan
parenkim paru yang seharusnya steril, dimana kejadian ini juga dipengaruhi oleh mekanisme
pertahanan tubuh pasien.4

Pada dasarnya tubuh memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi paru, seperti adanya
22

Universitas Sumatera Utara

barier anatomis pada glottis dan laring, reflex batuk, sekresi trakheobronkial, mukosiliari,
sistem imunitas humoral dan seluler, sistem fagosit seperti makrofag dan netrofil4. Gangguan

pada sistem ini memungkinkan terjadinya invasi bakteridan kejadian pneumonia. 4
Patogenesis VAP utamanya akibat aspirasi patogen yang berkoloni pada permukaan mukosa
orofaring. Tindakan intubasi bukan hanya dapat mengganggu barrier alami antara orofaring
dan trakea namun juga dapat menfasilitasi masuknya kuman pada sekitar cuff pipa
endotrakea. Fenomena ini sering terjadi pada pasien terintubasi dengan posisi supine di UPI.
Pada pasien yang bukan critically ill ataupun rawatan singkat, flora normal dan patogen bisa
menjadi penyebab VAP, namun pada pasien critically ill dan rawatan lebih dari 5 hari kuman
gram negatif dan Staphylococcus aureus lebih sering dijumpai.4 Selain aspirasi orofaring,
aspirasi material lambung juga dapat menimbulkan kejadian VAP. Kejadian masuknya
kuman patogen dari lambung ke orofaring berhubungan dengan tingkat keasaman lambung,
dimana pemberian antasida yang dapat merubah keasaman di lambung akan dapat
mempengaruhi pola kuman di lambung Manipulasi pada pipa ventilator , sehingga material
kondensasi pada pipa ventilator masuk ke dalam saluran nafas pasien juga meningkatkan
resiko kejadian VAP. Tindakan bronkoskopi, penghisapan sekret trakea, dan manual ventilasi
dengan alat-alat yg terkontaminasi dapat menyebarkan mikroorganisme patogen ke salauran
nafas bawah.4

Sumber kuman patogen lain yang dapat menyebabkan VAP termasuk dari sinus
paranasal, plak gigi, daerah subglotik antara pita suara dan cuff pipa endotrakea. 4


Faktor resiko pada VAP penting diketahui, karena akan memberikan informasi tentang
besarnya kemungkinan kejadian VAP pada individu maupun populasi. Dengan mengetahui
faktor resiko kita dapat memikirkan tindakan preventif terhadap kejadian VAP. 4

Pasien-pasien paska operasi memiliki resiko tinggi terjadinya VAP, dimana hampir
sepertiga pasien pneumonia yang dirawat di UPI merupakan pasien paska operasi. Kejadian
VAP paska operasi berhubungan dengan kondisi umum dan beratnya penyakit sebelum
dilakukan tindakan operasi, seperti nilai albumin serum dan nilai American Society of
Anasthesiologist pasien sebelum operasi. Riwayat merokok, lamanya rawatan rumah sakit
sebelum di operasi, lamanya tindakan operasi, dan operasi pada abdomen bagian atas ataupun
operasi thoraks akan meningkatkan kejadian pneumonia secara bermakna paska operasi.
23

Universitas Sumatera Utara

Perawatan dengan ventilasi mekanik lebih dari 2 hari juga terbukti meningkatkan resiko
kejadian VAP. Selain itu tindakan operasi kardiothoraks dan operasi cedera kepala juga
menunjukkan peningkatan resiko timbulnya VAP dibandingkan jenis operasi lainnya.4

Penggunaan antibiotik di rumah sakit berhubungan dengan peningkatan resiko

kejadian resistensi kuman terhadap antibiotik. Beberapa peneliti menyatakan bahwa
pemberian antibiotik dalam 8 hari pertama dapat menurunkan resiko VAP. Pada analisis
multivariat terlihat bahwa tindakan resusitasi jantung paru dan pemakaian sedasi secara
kontiniu akan meningkatkan resiko VAP, dan penggunaan antibiotik disebutkan dapat
mengurangi kejadian timbulnya VAP. Dapat disimpulkan bahwa ternyata penggunaan
antibiotik profilaksis pada pasien di UPI akan menurunkan kejadian VAP, namun disisi lain
kejadian patogen multiresisten terhadap antibiotik mengalami peningkatan. 4

Secara teori, pasien yg mendapat profilaksis stress ulcer yang tidak terjadi perubahan
keasaman lambung, seharusnya kolonisasi bakteri di lambung juga rendah sehingga angka
kejadian VAP juga akan rendah. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa ada hubungan
tingkat keasaman lambung dengan kolonisasi bakteri di lambung, dimana pada lambung
dengan peningkatan PH diatas 4, setelah pemberian antasida dan H2 bloker terjadi
peningkatan kolonisasi bakteri yang bermakna (p11000 +

bentuk band ≥50 %

Sekret trakea

PaO2/FiO2


0=

tidak ada

1=

sekret non purulen

2=

sekret purulen

0 = >240 , ARDS atau kontusio paru
2 = ≤240 tanpa ARDS

Radiologis dada

0 = tidak dijimpai infiltat
1 = infiltrat yang difus
2 = infiltrat terlokalisir

dikutip dari Miney J,dkk. Guidelines for prevention, diagnosis and treatment of ventilator
associated pneumonia (VAP) in the trauma patient. J Trauma.2006; 60: 1108. 27
27

Universitas Sumatera Utara

Disebutkan bahwa CPIS lebih dari 6 berhubungan dengan angka kejadian VAP
dengan sensitivitas 89% ,spesifisitas 47% ,positive predictive value 57% dan negative
predictive value 84%.4 Pada penelitian lain Singh,dkk menggunakan CPIS modifikasi
sebagai algoritma dalam menurunkan penggunaan antibiotik yang tidak perlu ,dimana CPIS
kurang dari 6 dalam 3 hari, penggunaan antibiotik dapat dihentikan. 28

Mengingat VAP merupakan pneumonia yang terjadi setelah 48 jam dilakukan tindakan
intubasi dan ventilasi mekanik, maka penilaian CPIS untuk mendiagnosa VAP juga dilakukan
setelah 48 jam tindakan ventilasi mekanik.
Spesimen kuman dapat diambil dengan metode invasif maupun non invasif.Bronkoalveolar
lavage (BAL) dan protected specimen brush (PSB) merupakan tindakan invasif pengambilan
sampel, sedangkan tindakan nonivasif dilakukan dengan metode aspirasi endotrakea. 4

Diagnosis VAP diambil setelah sebelumnya pasien dinyakini tidak terkena
pneumonia. Nilai CPIS lebih dari 6 dapat digunakan untuk mendiagnosis kejadian VAP pada
pasien, sedangkan bila CPIS dibawah 6 diagnosa VAP dapat disingkirkan. 27

Pencegahan VAP
Dengan memahami patogenesis VAP, maka kita dapat menyusun strategi dalam
pencegahan kejadian VAP. Secara garis besar pencegahan VAP dibagi dalam 2 kelompok,
yakni pencegahan secara non farmakologis maupun pencegahan secara farmakologis. 27
Mengingat aspirasi sekret orofaring maupun sekresi lambung dan saluran cerna menjadi
patogenesis utama dalam VAP, maka secara non farmakologis, tindakan yang dilakukan
bertujuan untuk mencegah kejadian ini. Sedangkan secara farmakologis dilakukan tindakantindakan dengan obat-obatan untuk mencegah kolonisasi bakteri di orofaring maupun di
lambung yang dapat masuk ke saluran nafas bawah ketika terjadi aspirasi. 4,24

Tindakan - tindakan pencegahan VAP yang dilakukan secara non farmakologis lebih
mudah dan lebih murah bila dibandingkan dengan tindakan secara farmakologi. Secara non
farmakologis dapat dilakukan beberapa tindakan

seperti menghindari tindakan intubasi

trakea jika memungkinkan, mengusahakan waktu penggunaan ventilasi mekanik yang
singkat, memberikan pemahaman kepada staf di ICU tentang VAP dan pentingnya
28

Universitas Sumatera Utara

pencegahannya, melakukan sucksioning subglotic, mengutamakan intubasi oral dibandingkan
intubasi nasal, menghindari manipulasi pada sirkuit ventilator, posisi semirecumben,
mencegah kejadian distensi lambung, mencegah terbentuknya biofilm , melakukan tindakan
asepsis pada tangan sebelum melakukan kontak dengan pasien.4,7,24 Meskipun hal-hal
tersebut diatas sudah dilakukan dan menjadi prosedur tetap di UPI, angka kejadian VAP
masih cukup tinggi, sehingga pencegahan secara farmakologis masih diperlukan .
.
Pencegahan VAP secara farmakologi
Pencegahan secara farmakologis dapat dilakukan dengan dekontaminasi orofaring
maupun selective dekontaminaton of the digestive (SDD).Tindakan SDD dapat dilakukan
dengan memberikan antibiotik yang tidak dapat diserap. Namun pencegahan dengan cara ini
akan menimbulkan permasalahan munculnya resistensi kuman terhadap antibiotik. Demikian
juga tindakan dekontaminasi oral dengan antibiotik juga akan menimbulkan resistensi kuman
terhadap antibiotik. Menginngat hal tersebut diatas, maka tindakan dekontaminasi oral
dengan menggunakan zat antiseptik menjadi pilihan saat ini. Beberapa zat antiseptik yang
dapat digunakan pada dekontaminasi orofaring seperti klorhexidin, povidone iodine ,
hydrogen peroksida, dan listerine®.12

Pada beberapa literatur disebutkan tentang penggunaan klorheksidin dan listerine®
sebagai zat dekontaminasi orofaring dalam menurunkan kejadian VAP. 5
Ozcaka O dkk (2012), menyebutkan penggunaan klorheksidin swab pada mukosa
mulut menunjukkan penurunan kejadian VAP dibandingkan dengan saline 0.9% ( 41,4% dan
68.8%)15

Pada penelitian Tantipong H,dkk (2008) disebutkan bahwa dekontaminasi oral dengan
klorheksidine 2% efektif dan aman dalam menurunkan kejadian VAP. 16
Houston S dkk (2002), membandingkan pemakainan klorheksidin 0,12 %

dengan

listerine sebagai kontrol 2 kali sehari pada 561 sampel dengan ventilasi mekanik yang dipilih
secara acak. Kejadian nosokomial pneumonia pada kelompok klorheksidin dibandingkan
dengan kelompok listerine® dijumpai tidak bermakna (4/270 dan 9/291, p=0,21).
Pemeriksaan kultur menunjukkan pertumbuhan bakteri lebih sering pada kelompok
29

Universitas Sumatera Utara

klorheksidin dibandingkan dengan kelompok listerine®, dimana perbedaan ini juga tidak
bermakna (52/270 dan 44/291, p=0,19).13
Snyders O,dkk (2011) menyebutkan dekontaminasi orofaring dengan klorheksidin
menurunkan kejadian VAP sebesar 36%, dimana penggunaan klorheksidin 2% disebutkan
paling efektif dalam menurunkan kejadian VAP. 28
Selain klorheksidin, listerine juga dapat digunakan sebagai dekontaminasi oral dalam
pencegahan VAP. Gordon J,dkk (1985) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa listerine ®
kumur secara bermakna menurunkan munculnya plak gigi serta mencegah perkembangan
gingivitis. 17
2.1.2 Klorheksidin
Klorheksidin telah dipakai secara luas dikalangan kedokteran, baik oleh dokter umum,
dokter spesialis, maupun dokter gigi, sebagai antibakteri selama lebih dari 25 tahun. 14
Klorheksidin mulai dikenal sejak 1950 sebagai antimikroba dengan rumus kimia1,1 'hexamethylenebis [5-(p-chlorqpheny1)biguanide] di-D-gluconate, rumus molekulnya adalah
C22H3OCl2N102C6 H1207, struktur kimianya adalah:

Dikutip dari prijantojo.Peranan chlorhexidine terhadap kelainan gigi dan rongga mulut.
Cermin dunia kedokteran 1996; 113:33
Sejak diperkenalkan, klorheksidin digunakan di rumah sakit sebagai antiseptik, dimana
klorheksidin ternyata sangat efektif sebagai desinfektan pada kulit sebelum operasi, cuci
tangan sebelum operasi, serta desinfektan alat alat yang digunakan saat operasi. Klorheksidin
merupakan antiseptik dengan spektrum luas yang sangat efektif untuk menghambat bakteri
gram (-), gram (+), ragi, jamur, protozoa, algae dan virus.15,17,30
Telah dibuktikan bahwa klorheksidin dapat mengikat bakteri, mungkin disebabkan
adanya interaksi antara muatan positif dan molekul-molekul klorheksidin dengan dinding sel
yang bermuatan negatif. Interaksi ini akan meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri
30

Universitas Sumatera Utara

yang menyebabkan terjadinya penetrasi ke dalam sitoplasma yang menyebabkan kematian
mikroorganisme.12,15,30 Pada PH fisiologis klorheksidin mengikat bakteri di permukaan
rongga mulut. Pada konsentrasi 4-32 mcg/mL klorheksidin bersifat bakteriostatik, sedangkan
pada konsentrasi yang lebih tinggi akan bersifat bakteriosidal. 12,14 . Pada pemakaian
klorheksidin 0,2% obat kumur 2 kali sehari menunjukkan hambatan pembentukan plak gigi
dan berkurangnya kejadian radang ginggiva 14
Penyelidikan secara in vitro menunjukkan bahwa klorheksidin diserap oleh
hydroxyapatit permukaan gigi dan mucin dari saliva, kemudian dilepas perlahan-lahan dalam
bentuk yang aktif. Keadaan ini merupakan dasar aktivitas klorheksidin dalam membentuk
plak gigi. Kumur-kumur dengan klorheksidin 0.2% dua kali sehari akan mengurangi
mikroorganisme dalam saliva sebesar 80%, dan apabila dihentikan bakteri akan kembali
seperti semula dalam 24 jam.12,14

2.1.3 Listerine®
Listerine® yang adalah merek dagang merupakan antiseptik yang efektif untuk
mencegah pembentukan plak gigi.11 Sebagai antiseptik, listerine dapat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme tanpa merusak secara keseluruhan. Sebagai
antibakteri pemakaian antiseptik sebagai obat kumur bertujuan menghambat pertumbuhan
bakteri plak.11
Bahan aktif yang terkandung dalam listerine® meliputi : tymol, eucalyptol, mentol, dan
metil salisilate. Zat-zat ini terlarut dalam etanol 26,9%. Pada listerin original terkandung
timol 0,0624%. Zat aktif timol sendiri merupakan zat antiseptik dan anti jamur yang sudah
lama digunakan, yang merupakan komponen utama bersama eucalyptol, mentol, dan
compor.31

Ujicoba klinis menunjukkan adanya penghambatan pembentukan plak dan radang
ginggiva pada pemakaian listerine® selama 7-60 hari. Hal ini juga didukung oleh penelitian
Lamser,dkk selama 6 bulan yang menunjukkan listerine® dapat mengurangi penimbunan plak
dan menurunkan derajat keradangan ginggiva. Pada penelitian Gordon,dkk yang melibatkan
144 mahasiswa kedokteran gigi dengan kumur-kumur listerine® 2 kali sehari sebanyak 20 ml
setiap kali kumur selama 30 detik. Hasil evaluasi menunjukkan terjadi penurunan
31

Universitas Sumatera Utara

pembentukan plak secara bermakna pada bulan 1,3 dan 6. Radang ginggiva juga mengalami
penurunan yang bermakna pada penggunaan listerine®.11

2.2 Kerangka Teori

INTUBASI DAN
VENTILASI MEKANIK

PENCEGAHAN
NONFARMAKOLOGIS
- Intubasi per oral

DEKONTAMINASI
ORAL DENGAN
ANTISEPTIK

-

-Klorheksidin

-

-povidone iodine
-hidrogen peroksida

-

-listerine®

Pemakaian ventilator
sesingkat mungkin
Subglotticsuctioning
Posisi setengah duduk
Hindari distensi abdomen
Jumlah perawat yang
adekuat
Cuci tangan

VAP

ASPIRASI
SEKRET
OROFARING
DAN SEKRESI
GASTER

KOLONISASI
KUMAN
OROFARING

DEKONTAMINASI ORAL
DENGAN ANTIBIOTIK

: menyebabkan
------

: menghambat

32

Universitas Sumatera Utara

2.3 KERANGKA KONSEP
TINDAKAN INTUBASI +
VENTILASI MEKANIK

DEKONTAMINASI ORAL
DENGAN KLORHEKSIDIN 0,2%

VAP

DEKONTAMINASI ORAL
DENGAN LISTERINE®

(CPIS)

Keterangan :
: menyebabkan

: mencegah

Identifikasi Variabel
Variabel bebas :


Dekontaminasi oral dengan klorheksidin 0,2%



Dekontaminasi oral dengan listerine®

Varibel tergantung :


Kejadian VAP

33

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Prevalensi Karsinoma Hepatoseluler di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009-2012

1 66 71

Profil Penderita Asma pada Anak di Rumah Sakit Haji Adam Malik Tahun 2009

0 35 57

Analisis Kesesuaian Tarif Angkutan Umum dengan Pendapatan Para Supir Angkutan Umum (Studi Kasus : PT. Rahayu Medan Ceria)

1 29 102

Gambaran Tingkat Depresi pada Pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan

9 44 76

PENGARUH MOBILISASI DAN FISIOTERAPI DADA TERHADAP KEJADIAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) PADA PASIEN TERPASANG VENTILATOR DI UNIT PERAWATAN INTENSIF RS Dr.M DJAMIL PADANG TAHUN 2011.

0 0 11

Perbandingan Efek Dekontaminasi Oral Listerine® Dengan Klorheksidin 0,2% Terhadap Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

3 3 11

Perbandingan Efek Dekontaminasi Oral Listerine® Dengan Klorheksidin 0,2% Terhadap Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

1 2 4

Perbandingan Efek Dekontaminasi Oral Listerine® Dengan Klorheksidin 0,2% Terhadap Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

0 0 5

Perbandingan Efek Dekontaminasi Oral Listerine® Dengan Klorheksidin 0,2% Terhadap Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

0 1 3

Perbandingan Efek Dekontaminasi Oral Listerine® Dengan Klorheksidin 0,2% Terhadap Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

1 2 9