Bukti Deduktif Formal Dalam Geometri Dan Implikasinya Dalam Pengajaran

DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN

i

ABSTRAK

ii

ABSTRACT

iii

KATA PENGANTAR

iv

RIWAYAT HIDUP

vi


DAFTAR ISI

vii

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

BAB 1 PENDAHULUAN

1


1.1 Latar Belakang

1

1.2 Rumusan Masalah

5

1.3 Tujuan Penelitian

5

1.4 Manfaat Penelitian

6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

7


2.1 Penalaran dalam Pembelajaran Matematika

7

2.2 Pembuktian Deduktif formal dalam Matematika

8

2.3 Tahapan Berpikir Geometri Menurut Van Hiele

13

2.4 Penalaran Deduktif dalam Geometri

16

2.5 Jenis-Jenis Permasalahan yang Sesuai untuk Permasalahan dalam Pembuktian Secara Deduktif

19


2.6 Syarat untuk Menyelesaikan Permasalahan Matematika

19

vii
Universitas Sumatera Utara

2.7 Tujuan Pembelajaran Matematika Secara Deduksi

23

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

25

3.1 Tahapan Penelitian

25


3.2 Metode Penelitian

28

3.3 Desain Penelitian

28

3.4 Lokasi Penelitian

28

3.5 Populasi dan Sample Penelitian

29

3.6 Model Analisis

29


3.7 Kemampuan Penalaran Matematika

29

3.8 Indikator Pemecahan Masalah

33

3.9 Proses Pembuktian Pemecahan Masalah Geometri

34

3.10 Konten Pengetahuan Geometri dalam Pemecahan Masalah

36

3.11 Keterampilan Pemecahan Masalah Umum

39


3.12 Implikasi Pengajaran Geometri Melalui Pembuktian Deduktif
Formal Melalui Aspek Penilaian Test Kemampuan Penalaran
Matematika (KPM)

42

3.13 Gambaran Umum Hasil Tes Siswa

45

3.13.1 Uji hipotesis

48

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN

55

4.1 Kesimpulan


55

4.2 Saran

57

DAFTAR PUSTAKA

58

viii
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

Nomor

Judul

Halaman


3.1

Variabel-variabel pada penelitian

46

3.2

Nilai koefisient persamaan liner berganda

46

3.3

Nilai kontribusi tiap variable

48

3.4


Uji F

48

3.5

Uji T

49

ix
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Judul


Halaman

2.1

Skematik untuk mengalalisis argumentasi

11

2.2

Skema penalaran deduktif

12

2.3

Dua garis sejajar dipotong garis lain

16

2.4

Dua garis sejajar dan dipotong dua garis lain

17

2.5

Diagram penalaran deduktif tentang jumlah besar sudut dalam segitiga
1800

18

3.1

Skema tahap I

25

3.2

Skema tahap II

27

4.1

Diagram penalaran deduktif tentang jumlah besar sudut dalam segitiga
180o

56

4.2

Segi 4

64

4.3

Segitiga siku-siku

64

4.4

Segitiga siku-siku

65

4.5

Setengah lingkaran

66

4.6

Segitiga sama siku

67

4.7

Jajarangenjang

68

4.8

Jajarangenjang

69

x
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Judul

Halaman

1.

Data penelitian nilai siswa

61

2.

Soal geometri dan Pembahasan

64

xi
Universitas Sumatera Utara

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pandangan para pakar pendidikan matematika terhadap perlunya pembuktian matematika diperkenalkan di tingkat sekolah mengalami perkembangan yang
sangat menarik. Pada tahun 1970 dan 1980 ada suatu diskusi yang intensif di
kalangan guru matematika di Amerika Serikat untuk membahas apakah pembuktian matematika perlu dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah
menengah atas. Para guru matematika itu berpendapat bahwa pembuktian matematika di sekolah sebenarnya telah dikembangkan dalam suatu pokok bahasan
yang menekankan aspek-aspek formal, tetapi kurang memperhatikan pada pemahaman matematika (Hanna, 1983). Pandangan ini terus berkembang hingga National Council of Teachers of Mathematics, NCTM (1989) mengeluarkan suatu
pernyataan bahwa (1) pembuktian secara deduktif tidak perlu lagi diajarkan di
sekolah karena teknik heuristik lebih berguna bagi siswa dalam mengembangkan
keterampilan penalaran dan jastifikasi dibandingkan pembuktian secara deduktif, dan (2) pembelajaran pembuktian di sekolah hanya diberikan kepada siswa
yang bermaksud akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Pandangan terakhir mengenai perlunya pembuktian matematika diperkenalkan di sekolah
direkomendasikan oleh NCTM (2000) bahwa pembuktian merupakan bagian dari
kurikulum matematika di semua tingkatan. Bagian ” Reasoning dan Proof” dalam
dokumen NCTM ini dinyatakan bahwa siswa seharusnya dapat:

1. Mengenal penalaran dan pembuktian sebagai aspek-aspek fundamental matematika;
2. Membuat konjektur dan memeriksa kebenaran dari konjektur itu;
3. Mengembangkan dan mengevaluasi argumen dan pembuktian matematika;
4. Memilih dan menggunakan bermacam-macam jenis penalaran dan metode
pembuktian.
1
Universitas Sumatera Utara

2
Berdasarkan uraian diatas maka pembuktian deduktif formal merupakan
salah satu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan dapat menumbuh kembangkan kemampuan membuktikan dalam pembelajaran geometri. Hal yang sama
juga disebutkan
”Formal deductive proof has its own instructional requirements. These requirements are not addressed in instructional practices born in the research related to
algorithmic mathematical problem solving processes. Instead of prescriptive procedures, heuristicstrategies may be required on emergence. Appropriate knowledge
elements related tocontent knowledge, skills in problem solving process including
representational advancesand planning strategies, metacognitive functions are major requirements for learningproof-type geometry problem solving”.( Maduna B. E.
: 2003)
Rekomendasi dari NCTM (2000) itu mengindikasikan bahwa pembuktian
matematika merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pembelajaran matematika di sekolah. Sedikit atau banyaknya pengalaman siswa di dalam
menyusun suatu pembuktian di sekolah menengah atas akan berdampak pada
kemampuan membuktikan ketika mengikuti kuliah di perguruan tinggi tingkat
pertama, seperti yang dinyatakan oleh Moore (1994) bahwa salah satu alasan
mengapa mahasiswa menemui kesulitan di dalam pembuktian adalah pengalaman dalam mengkonstruksi bukti terbatas pada pembuktian geometri sekolah.
Sejalan dengan itu, berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Sabri (2003) terhadap konsep pembuktian matematika mahasiswa calon guru disarankan agar
kurikulum sekolah menengah atas hendaknya mempersiapkan siswa lebih baik
lagi dalam pembelajaran pembuktian matematika. Hal ini menunjukkan bahwa
konsep pembuktian matematika siswa menengah pertama sangat lemah. Di samping itu, aspek-aspek penalaran yang terkandung di dalam pembuktian matematik tidak akan berkembang secara optimal, sehingga peningkatan kemampuan
berpikir matematik siswa menegah atas akan berjalan lambat. Aspek-aspek penalaran itu adalah aspek konjektur (membuat dugaan mengenai gagasan utama
dalam pembuktian), aspek analisis (menganalisis fakta-fakta yang ada), aspek
koneksi (membuat hubungan diantara fakta-fakta dengan kesimpulan yang ingin
dicapai), aspek sintesis (mensintesa dengan memanipulasi fakta-fakta untuk men-

Universitas Sumatera Utara

3
capai kesimpulan), bahkan evaluasi (mengevaluasi aturan-aturan penarikan kesimpulan dari fakta-fakta yang diberikan atau yang diperoleh dan strategi pembuktian secara kritis), dan aspek komunikasi matematik (mengekspresikan ide
serta proses pembuktian secara lisan maupun tulisan).
Kesulitan siswa menengah atas dalam pembuktian itu tentu saja akan berpengaruh pada pembelajaran matematika topik yang lebih berat yang sarat dengan pembuktian, seperti topik geometri, dan yang lainnya. Geometri adalah
mata pelajaran khusus yang membantu perkembangan keahlian deduktif yang di
buktikan secara formal di tingkat pendidikan umum. Pemecahan dari permasalahan pada pembuktian deduktif formal ini dianggap sebagai bukti dari pencapaian
tingginya tingkat kompetensi matematika. Untuk alasan ini, pembuktian deduktif
formal tampaknya menjadi alat ukur/indikator yang wajar siswa menengah pertama bagaimana kemampuan penalalarannya tidak hanya geometri tetapi materi
lain dari kurikulum matematika SMP .
Saat ini, dapat di perhatikan hanya sedikit sekali penelitian yang di buat khusus untuk pengembangan permasalahan pembuktian deduktif formal pada
siswa menengah pertama. Pada level SMP, siswa mulai mempelajari secara khusus
bagaimana cara penyelesaian berbagai permasalahan geometri melalui pembuktian deduktif. Hal ini dapat meningkatkan logika berfikir siswa secara nyata
dibandingkan dengan pelajaran lainnya pada di tingkat tersebut. Pembuktian
deduktif formal yang diberikan di dalam kurikulum, dapat membiasakan siswa
untuk mengatasi masalah secara sistematis. Namun pada kenyataan yang terjadi,
saat dilakukan observasi awal bagaimana kemampuan siswa menegah atas dalam
memecahkan permasalahan geometri melalui pembuktian deduktif formal ternyata dapat diambil kesimpulan bahwa siswa dalam observasi ini berada pada level
SMP, menunjukkan performa (kinerja) yang buruk dalam pemecahan masalah
geometri melalui pembuktian deduktif formal. Hal ini, sejalan dengan hasil yang
di peroleh oleh suatu badan National Examinations and Testing Service (NETS)
menunjukkan bahwa para siswa memiliki minat yang rendah dalam menyelesaikan
permasalahan geometri melalui pembuktian deduktif formal, hanya sedikit dari
sampel yang diteliti meraih nilai yang memuaskan (NETS, 2003: 14).

Universitas Sumatera Utara

4
Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengupaya untuk mengembangkan suatu model pembelajaran yang dapat mengatasi kesulitan-kesulitan siswa
menengah pertama dan dapat menjembatani peningkatan tahap berpikir siswa
menengah pertama. Sehingga dapat meningkatkan kompetensi kemampuan siswa
menegah atas atas dapat berkembang secara optimal dan dapat meningkatkan
minat siswa untuk membiasakan diri menggunakan pembuktian deduktif formal
dalam memecahkan masalah geometri sehingga pembuktian deduktif formal dapat
strategi yang efektif dalam pembelajaran untuk membantu para siswa memecahkan masalah dalam geometri.
Pembuktian deduktif formal merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan dapat menumbuh kembangkan kemampuan membuktikan dalam pembelajaran geometri. Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan
pembelajaran yang dimulai dengan menyajikan masalah kepada siswa menengah
pertama, kemudian siswa dituntut untuk dapat mengelaborasi setiap informasi
atau fakta yang diberikan. Melalui pendekatan ini, masalah yang diberikan harus
dapat mengantarkan siswa menengah pertama untuk memahami objek-objek matematika dan kaitan antara objek matematika yang satu dengan objek yang lainnya.
Guru mendorong siswa menengah pertama untuk melakukan transactive reasoning seperti mengkritik, menjelaskan, mengklarifikasi, menjastifikasi dan mengelaborasi suatu gagasan yang diajukan, baik yang diinisiasi oleh siswa maupun guru. Untuk dapat terlibat didalam diskusi transaktif, kemampuan awal matematika siswa memegang peranan yang sangat penting, sehingga suatu gagasan yang
muncul dapat berkembang secara bertahap sehingga membangun suatu konsep
matematika yang komprehensif.
Berdasarkan berbagai uraian diatas maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitan yang berjudul Pembuktian Deduktif Formal Dalam Geometri dan
Implikasinya Dalam Pengajaran.

Universitas Sumatera Utara

5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pembuktian pemecahan masalah jenis geometri (PJG), Konten Pengetahuan
Geometri (KPG), dan Pemecahan Masalah Umum (PMU) terhadap Kemampuan
Penalaran Matematika (KPM)
1. Bagaimanakah kemampuan pembuktian pemecahan masalah jenis geometri
(PJG) pada siswa menengah pertama;
2. Bagaimanakah Konten Pengetahuan Geometri (KPG) siswa menengah pertama dalam pelajaran geometri;
3. Bagaimanakah kemampuan Pemecahan Masalah Umum (PMU) siswa menengah pertama dalam pembelajaran geometri;
4. Bagaimanakan Kemampuan Penalaran Matematika (KPM) siswa menengah
pertama dalam pembelajaran geometri.
5. Bagaimanakah implikasi pengajaran geometri melalui pembuktian deduktif
formal melalui aspek penilaian test untuk kemampuan pembuktian pemecahan masalah jenis geometri (PJG), Konten Pengetahuan Geometri (KPG),
dan Pemecahan Masalah Umum (PMU), serta Kemampuan Penalaran Matematika (KPM)

1.3

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kemampuan pembuktian pemecahan masalah jenis geometri (PJG) pada siswa menengah pertama;
2. Untuk mengetahui Konten Pengetahuan Geometri (KPG) siswa menengah
pertama dalam pelajaran geometri;
3. Untuk mengetahui kemampuan Pemecahan Masalah Umum (PMU) siswa
menengah pertama dalam pembelajaran geometri;

Universitas Sumatera Utara

6
4. Untuk mengetahui Kemampuan Penalaran Matematika (KPM) siswa menengah pertama dalam pembelajaran geometri;
5. Untuk mengetahui implikasi pengajaran geometri melalui pembuktian deduktif formal melalui aspek penilaian test untuk kemampuan pembuktian
pemecahan masalah jenis geometri (PJG), Konten Pengetahuan Geometri
(KPG), dan Pemecahan Masalah Umum (PMU), serta Kemampuan Penalaran Matematika (KPM).

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
Manfaat Praktis:
Hasil penelitian dapat mengatasi kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan masalah geometri melalui pembuktian deduktif formal, khususnya siswa
SMP N 1 Medan.
Manfaat Teoritis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang matematika untuk menambah wawasan,
baik penulis sendiri, maupun pihak dalam dunia pendidikan lainnya terutama di
dalam pengajaran geometri serta sebagai bahan referensi bagi penulis selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penalaran dalam Pembelajaran Matematika
Selama mempelajari Matematika di kelas, aplikasi penalaran sering ditemukan meskipun tidak secara formal disebut sebagai belajar bernalar. Beberapa
contohnya adalah:

1. Jika besar dua sudut pada suatu segitiga adalah 60o dan 100o maka sudut
yang ketiga adalah 180o − (100o + 60o ) = 20o . Hal ini didasarkan pada
teori matematika yang menyatakan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu
segitiga adalah 180o .
2. Jika (x − 1)(x + 10) = 0 maka x = 1 atau x = −10.
Sejalan dengan contoh-contoh yang telah dikemuka kan di atas, dimana telah
terjadi proses penarikan kesimpulan dari beberapa fakta yang telah diketahui
siswa, maka istilah penalaran (jalan pikiran atau reasoning ) dijelaskan Keraf
(1982: 5) sebagai: ”Proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan faktafakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan”.
Sebagai contoh, Dari pengetahuan tentang besar dua sudut suatu segitiga yaitu
60o dan 100o maka dapat disimpulkan ataupun dibuat pernyataan lain bahwa
besar sudut yang ketiga pada segitiga itu adalah 20o . Pada intinya, penalaran
merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu ak tivitas berpikir untuk
menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar
pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan
sebelumnya.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa aplikasi penalaran telah digunakan para siswa selama proses pembelajaran matematika berlangsung di kelas.
Untuk itulah, Depdiknas (2002: 6) menyatakan bahwa ”Materi matematika dan
penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
7
Universitas Sumatera Utara

8
materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.”
Bayangkan sekarang jika para siswa tidak belajar matematika, apa yang
akan terjadi dengan keterampilan berpikir siswa? Pola berpikir yang dikembangkan matematika seperti dijelaskan di atas memang membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis, dan kreatif. Sekali lagi, bayangkan jika
para siswa tidak belajar matematika. Akan cepatkah siswa menarik kesimpulan
dari beberapa fakta atau data yang siswa dapatkan ataupun yang di ketahui?
Kemampuan bernalar tidak hanya dibutuhkan para siswa ketika siswa belajar
matematika maupun mata pelajaran lainnya, namun sangat dibutuhkan setiap
manusia di saat memecahkan masalah ataupun di saat menentukan keputusan,
sebagaimana dikemukakan mantan Presiden AS Thom as Jefferson dan dikutip
Copi (1978: vii) berikut ini: ” In a republican nation, whose citizens are to be led
by reason and persuasion and not by force, the art of reasoning becomes of first
importance”. Pernyataan itu menunjukkan pentingnya penalaran dan argumentasi dipelajari dan di kembangkan di suatu negara sehingga setiap warga negara
akan dapat dipimpin dengan daya nalar (otak) dan bukannya dengan kekuatan
(otot) saja.
Pendapat mantan Presiden AS Thomas Jefferson di atas sudah seharusnya
makin meningkatkan tekad para guru matematika untuk makin meningkatkan
kemampuan bernalar para siswanya. Sekali lagi, kemampuan dan keterampilan
bernalar ini akan dibutuhkan para siswa dan seluruh warga bangsa ini ketika mempelajari matematika, ilmu lain, maupun ketika terjun langsung ke masyarakat.
Dikenal dua macam penalaran, yaitu induksi atau penalaran induktif dan deduksi atau penalaran deduktif. Namun padathesis ini hanya penlaran deduktif saja
yang akan dibahas.
2.2 Pembuktian Deduktif formal dalam Matematika
Strategi pembuktian dikembangkan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami pembuktian, dan mengerjakan (membuktikan) suatu pernyataan matematik. Berbagai pendekatan dan metode telah dikembangkan,
di antaranya Tall (1991) menyarankan konsep bukti generik sebagai cara untuk

Universitas Sumatera Utara

9
meningkatkan pemahaman siswa terhadap bukti suatu pernyataan. Bukti generik
diberikan dalam level contoh yang menjelaskan konsep secara umum dengan memandang contoh khusus. Hal ini tentu saja berbeda dengan pembuktian secara
umum yang mensyaratkan abstraksi dengan level yang lebih tinggi.
Kemudian, Leron (dalam Tall, 1991) mengajukan bukti terstruktur dengan
sifat menggabungkan metode penyajian formal dan informal ke dalam suatu pembuktian.

Tujuan utama dari bukti terstruktur ini bukan untuk meyakinkan,

tetapi untuk membantu pembaca dalam meningkatkan pemahamannya terhadap
gagasan di belakang bukti itu, dan bagaimanakah hubungannya dengan hasil-hasil
matematika lainnya.
Menurut Suriasumantri (2001: 49), ” Penalaran deduktif adalah cara berpikir
di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.”
Contoh :
Semua manusia akan mati.
Si Polan adalah manusia.
Jadi Si Polan akan mati.
Salah satu karakteristik matematika adalah bersifat deduktif. Dalam pembelajaran matematika, pola pikir deduktif itu penting dan merupakan salah satu
tujuan yang bersifat formal, yang memberi tekanan pada penataan nalar. Pola
pikir deduktif itu sangat penting, namun dalam pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi (2000: 46), ”Bila kondisi kelas memungkinkan, kebenaran teorema
dapat dibuktikan secara deduktif. Namun jika pembuktian dipandang berat, pola
pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi ataupun teorema”. Pendekatan deduktif merupakan pendekatan yang berproses dari umum ke
khusus, dari teorema ke contoh-contoh. Teorema diberikan kepada siswa dan guru membuktikan. Selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan soal-soal yang
relevan dengan teorema yang diberikan. Dengan menggunakan pendekatan ini
pembelajaran berjalan efisien.

Universitas Sumatera Utara

10
Berdasarkan pemikiran, Reiss dan Renkl (2002) mengajukan konsep contoh
jawab huristik yang menyediakan overviu dari suatu jenis contoh yang tidak hanya
memberikan bukti dari contoh itu, tetapi juga membantu siswa menunjukkan
aspek-aspek pembuktian secara umum. Langkah-langkah huristik dalam contoh
yang dibuktikan itu adalah sebagai berikut: (1) mengeksplorasi situasi masalah,
(2) membuat konjektur, (3) mengumpulkan informasi untuk memeriksa konjektur,
(4) membuktikan konjektur, (5) memeriksa kembali.
Pendekatan penalaran secara umum dapat dilakukan dengan cara mengeksplorasi secara intuitif terhadap pernyataan yang harus dibuktikan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: What happens if ? Why does it happen? How
do different cases occur ? What is true here ? (Uhlig, 2003). Dengan pertanyaan
yang bersifat eksploratif ini, diyakini bahwa pengetahuan tentang Theorems yang
dihadapinya akan bertambah. Demikian pula pemahamannya secara konseptual.
Pendekatan ini mengembangkan suatu pembuktian dengan melakukan pertanyaan
yang di singkat dengan WWHWT.
Strategi pembuktian yang telah dikembangkan di atas, belum ada yang
membahas secara eksplisit bagaimana memunculkan gagasan utama dari struktur pembuktian, baik untuk memahami pembuktian yang ada maupun untuk
mengkonstruksi suatu pembuktian.
Dalam penelitian yang dilakukan ini, pernyataan-pernyatan di dalam pembuktian matematika dipandang sebagai salah satu bentuk argumentasi dengan
struktur mengikuti struktur argumentasi yang dikembangkan oleh Toulmin (dalam Pedemonte, 2003). Struktur argumentasi dari Toulmin ini digunakan Krummheuer (dalam Hoyles & Kuhemann, 2003) untuk menganalisis argumentasi, seperti
pada gambar 2.1:

Universitas Sumatera Utara

11

Gambar 2.1 Skematik untuk mengalalisis argumentasi
Hubungannya dengan pembuktian matematika, pernyataan-pernyataan di
dalam pembuktian matematika dipandang sebagai salah satu bentuk argumentasi. Di dalam argumentasi pembuktian matematika, sebagai data adalah premispremis, sedangkan yang menjadi warrant adalah definisi atau teorema. Diagram
skematik ini dapat digunakan sebagai model untuk membantu membaca pembuktian suatu pernyataan matematika, dan dengan sedikit modifikasi dapat digunakan untuk mengkonstruksi pembuktian matematika.
Diagram skematik Krummheuer dapat juga digunakan untuk mengembangkan suatu model strategi pembuktian matematika secara informal. Konklusi di
dalam skematik itu, baik sebagai target-conclussion maupun claim perantara yang
dilakukan di atas menggunakan penarikan kesimpulan secara deduktif. Argumentasi dengan cara seperti ini dinamakan argumentasi deduktif .
Dalam argumentasi deduktif terdapat 4 (empat) proses kognitif yang dilakukan yaitu: analisis masalah, representasi (perwakilan), planning (perencanaan)
dan applying (penggunaan) pengetahuan digunakan dalam proses pemecahan masalah. Analisa permasalahan meliputi penguraian (dekomposisi) informasi masalah agar menjadi bermakna sehingga merupakan bagian dari permasalahan seperti
kata kunci, ungkapan dan kalimat. Sehingga dapat dipahami apakah data cukup
untuk membuktikan tujuan. Kesalahan informasi mungkin akan menyulitkan
pemrosesan pemecahan masalah. Representasi informasi dari masalah dikonver-

Universitas Sumatera Utara

12
sikan ke dalam suatu bentuk lain misalnya menjadi bentuk simbolis, diagram atau
persamaan untuk mempercepat memproses. Diagram permasalahan berguna untuk mempermudah pemecahan masalah.

Gambar 2.2 Skema penalaran deduktif
Perencanaan yang mencakup strategi untuk menemukan proses informasi
untuk menemukan proses informasi untuk mengubah permasalahan informasi
menjadi tujuan sebenarnya. Dalam penyelesaian masalah pembuktian geometri, membuat dugaan atau inferensi logis untuk teorema yang berlaku, bekerja
mundur, dan menggambar garis bantu yang sering digunakan sebagai strategi
dalam bidang geometri. Perencanaan yang mencakup keputusan antara langkahlangkah adalah tergantung subjektif dan orang. (Koedinger et al.,1993).
Pengetahuan yang diperlukan dalam masalah geometri meliputi konsep bentuk geometris dan sifat siswa, hubungan geometris dan teorema, bukti prosedur
dan penalaran. Secara umum, analisis masalah, representasi, perencanaan dan
penggunaan retrievals pengetahuan adalah komponen kunci dari proses pemecahan masalah. Sebaliknya, dapat disimpulkan bahwa gagalnya proses pemecahan masalah yang dihadapi di sebabkan oleh: kegagalan dalam menganalisis masalahnya, kegagalan untuk mewakili masalah dalam bentuk yang efektif,
kegagalan untuk merencanakan masalah solusi, kegagalan dalam mengakses atau
mendapatkan kembali komponen pengetahuan yang relevan, atau kegagalan dalam memanfaatkan pengetahuan yang diambil untuk menghasilkan informasi baru
yang diperlukan. Rancangan pembelajaran bertujuan untuk mendukung pemeca-

Universitas Sumatera Utara

13
han masalah kemampuan sehingga harus menyertakan kemampuan menganalisis
masalah, representasi (keterwakilan), perencanaan dan penggunaan pengetahuan
mendapatkan data.
2.3 Tahapan Berpikir Geometri Menurut Van Hiele
Salah satu pelajaran matematika di sekolah yang dipelajari oleh siswa adalah
pelajaran geometri. Geometri adalah cabang matematika yang sudah dikenal
siswa sejak kecil karena geometri banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Pembelajaran geometri terdapat beberapa teori belajar yang relevan, di
antaranya dikemukakan oleh Van Hiele.
Dalam teori yang kemukakan, berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahaptahap tertentu. Van Hiele (Suherman, 2001: 52) menyatakan bahwa terdapat
5 tahap dalam berpikir gometri, yaitu: tahap pengenalan, tahap analisis, tahap
pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi. Tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Tahap pengenalan (visualisasi)
Pada tahap ini, siswa memandang suatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan. Pada tahap ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen
dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tahap ini
siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati sifatsifat dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tahap ini siswa tahu suatu
bangun bernama persegi panjang, tetapi siswa belum menyadari sifat-sifat
bangun persegi panjang tersebut.
b. Tahap analisis
Pada tahap ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan
sifat-sifat dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tahap ini
siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tahap ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu

Universitas Sumatera Utara

14
bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu mempunyai empat
sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.
c. Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu
dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tahap
ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi
yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang.
Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi
untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami
hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya
pada tahap ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah
juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
d. Tahap deduksi
Pada tahap ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geometri. Pada tahap ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara
formal. Ini berarti bahwa pada tahap ini siswa sudah memahami proses
berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses
berpikir tersebut.
e. Tahap akurasi Pada tahap ini, siswa mampu melakukan penalaran secara
formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada
tahap ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu
geometri. Menurut teori Van Hiele adalah sebagai berikut:
(a) Belajar merupakan suatu proses yang diskontinu, yaitu ada lompatan
dalam kurva belajar yang menyatakan adanya tahap pemikiran diskret
dan berbeda secara kualitatif.;
(b) Tahap-tahap tersebut berurutan dan hierarkhi. Agar siswa dapat berperan dengan baik pada suatu tahap berikutnya dalam hirarkhi Van
Hiele, maka dia harus menguasai sebagian besar dari tahap yang lebih
rendah. Kemajuan darisatu tahap ketahap berikutnya lebih banyak

Universitas Sumatera Utara

15
tergantung pada pembelajaran dari pada umur atau kematangan biologis;
(c) Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tahap menjadi eksplisit dipahami pada tahap berikutnya. Setiap tahap mempunyai
bahasa dan simbol bahasa sendiri yang menghubungkan simbol-simbol
itu.

Pada tahap ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang
sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tahap ini, siswa memahami
bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Teori Van Hiele adalah
sebagai berikut:

1. Belajar merupakan suatu proses yang diskontinu, yaitu ada lompatan dalam kurva belajar yang menyatakan adanya tahap pemikiran diskret dan
berbeda secara kualitatif;
2. Tahap-tahap tersebut berurutan dan hierarkhi. Agar siswa dapat berperan dengan baik pada suatu tahap berikutnya dalam hirarkhi Van Hiele,
maka dia harusmenguasai sebagian besar dari tahap yang lebih rendah. Kemajuan darisatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak tergantung pada
pembelajaran dari pada umur atau kematangan biologis;
3. Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tahap menjadi
eksplisit dipahami pada tahap berikutnya;
4. Setiap tahap mempunyai bahasa dan simbol bahasa sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu.

Universitas Sumatera Utara

16
2.4 Penalaran Deduktif dalam Geometri
perhatikan masalah atau pertanyaan berikut, yaitu:
Tunjukkan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 1800

Untuk membuktikan bahwa 1800 merupakan jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah dengan menggunakan penalaran deduktif yang proses pembuktiannya akan melibatkan teori atau rumus matematika lainnya yang sebelumnya
sudah dibuktikan kebenarannya secara deduktif juga, yaitu: ”Jika dua garis sejajar dipotong garis lain, maka sudut-sudut dalam berseberangannya adalah sama,”
seperti ditunjukkan gambar 2.3.

Gambar 2.3 Dua garis sejajar dipotong garis lain
Pada gambar 2.3, ∠A1 = ∠B2 dan ∠A2 = ∠B1 karena garis m dan n merupakan dua garis sejajar dan dipotong garis ketiga, sehingga sudut-sudut dalam
berseberangannya akan sama besar, yaitu ∠A1 = ∠B2 dan ∠A2 = ∠B1. Perhatikan △ABC di bawah ini, dimana melalui titik C telah dibuat garis m yang
sejajar dengan garis n, sehingga sudut-sudut dalam berseberangannya akan sama
besar, yaitu: ∠A1 = ∠C1 dan ∠B3 = ∠C3

Universitas Sumatera Utara

17

Gambar 2.4 Dua garis sejajar dan dipotong dua garis lain
Dengan demikian, berdasar gambar 2.4
∠A1 = ∠C1
∠B3 = ∠C3
∠C2 = ∠C2
∠A1 + ∠B3 + ∠C2 = ∠C1 + ∠C3 + ∠C2
Karena ∠C1 + ∠C3 + ∠C2 = 1800 maka:
∠A1 + ∠B3 + ∠C2 = ∠A + ∠B + ∠C = 1800
Contoh di atas menunjukkan bahwa pada penalaran deduktif, suatu rumus, teorema, atau dalil tentang jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah
1800 telah dibuktikan dengan menggunakan atau melibatkan teori maupun rumus
matematika sebelumnya yang sudah dibuktikan kebenarannya secara deduktif juga. Sedangkan teori maupun rumus matematika yang digunakan sebagai dasar
pembuk tian itu tadi telah dibuktikan berdasar teori maupun rumus matematika sebelumnya lagi. Begitu seterusnya. Disamping itu, pem buktian tentang
jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 1800 telah melibatkan atau me
nggunakan definisi yang sudah ditetapkan sebelumnya, seperti pengertian sudut
lurus besarnya 1800 . Proses di atas dapat digambarkan dengan diagram berikut.
Diagram ini menunjukkan bahwa dalam matematika ”benar” atau ”nalar”
berarti ”konsisten” dan diagram di atas menunjukkan juga bahwa bangunan matematika telah disusun dengan dasar pondasi berupa kumpulan pengertian pangkal (unsur pangkal dan relasi pangkal) dan kumpulan sifat pangkal (aksioma).

Universitas Sumatera Utara

18

Gambar 2.5 Diagram penalaran deduktif tentang jumlah besar sudut dalam segitiga 1800
Aksioma atau sifat pangkal adalah semacam dalil yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan namun sangat menentukan, karena sifat pangkal inilah yang akan
menjadi dasar untuk membuktikan dalil atau teorema matematika selanjutnya.
Depdiknas (2002: 6) menyatakan bahwa: ”Unsur utama pekerjaaan matematika
adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi, yaitu kebenaran suatu
konsep atau pe rnyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelum
nya”.
Disamping itu, pengertian-pengertian matematika secara berantai didefinisikan dari pengertian sebelumnya. Sebagaimana aksioma yang tidak perlu
dibuktikan kebenarannya karena akan menjadi dasar pembuktian dalil atau sifat
berikutnya, maka pengertian pangkal tidak didefinisikan karena pengertian pangkal akan menjadi dasar pendefinisian pengertian-pengertian atau konsep-konsep
matematika berikutnya. Suatu bangunan matematika akan runtuh jika terdapat sifat, dalil, atau teorema yang diturunkan dari aksioma serta pengertian
pangkalnya ada yang saling bertentangan (kontradiksi).
Itulah sebabnya, pernyataan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga
adalah 180o akan terkategori bernilai benar, karena sesuai dengan teori koherensi, pernyataan yang terkandung didalam kalimat itu bersifat koheren, konsisten,
atau tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang diang-

Universitas Sumatera Utara

19
gap benar. Karenanya, Jacobs (1982: 32) menyatakan: ”Deductive reasoning is
a method of drawing conclusions from facts that we accept as true by using logic ”. Artinya, penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan dari
pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar dengan menggunakan logika.
Sekali lagi, bangunan pengetahuan matematika didasarkan pada deduksi
semata-mata,kepada aksioma-aksioma yang dianggap benar tadi. Suatu hal yang
banyak sudah jelas benar pun harus ditunjukkan atau dibukt ikan kebenarannya
dengan langkah-la ngkah yang benar secara deduktif. Karena itulah, bangunan
matematika dikenal sebagai mata pelajaran yang dikembangkan secara deduktifaksiomatis, atau sistem aksiomatik.

2.5 Jenis-Jenis Permasalahan yang Sesuai untuk Permasalahan dalam
Pembuktian Secara Deduktif
Jenis masalah adalah kriteria utama dalam merancang pembelajaran (Jonassen, 2000:63). Dalam menentukan jenis permasalahan, sedangkan pada pembuktian jenis permasalah geometri, jawabannya (tujuannya) diberikan, tetapi
prosedurnya tidak diketahui. Dengan demikian solusi terhadap masalah pembuktian deduktif ini adalah untuk mencapai tujuan dari informasi yang diberikan.
Penyelesaian tentang masalah jenis pembuktian geometri didasarkan pada tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa pembuktian deduktif ini adalah non-algoritma.
Perencanaan ini sangat penting dalam permasalahan nonalgoritma, sebab logika
pengambilan keputusan terjadi selama proses pemecahan masalah.
Praktek yang luas dalam penyelesaian permasalahan non-algoritma adalah
permasalahan yang mengarah ke pengenalan dari pada ke prorosedurnya. Meskipun pembuktian deduktif adalah non-algoritmia, namun permasalahannya sangat
terstruktur. Fasilitas ini mendukung rancangan pembelajaran. Sehingga pembelajaran menjadi lebih berarti.
2.6 Syarat untuk Menyelesaikan Permasalahan Matematika
Sebuah soal permasalahan matematika biasanya memuat suatu situasi yang
dapat mendorong seseorang untuk menyelesaikanya akan tetapi tidak secara lang-

Universitas Sumatera Utara

20
sung tahu caranya. Jika seorang anak dihadapkan pada suatu permasalah matematika dan anak tersebut langsung tahu cara menyelesaikannya dengan benar,
maka masalah yang diberikan tidak dapat digolongkan pada kategori soal pemecahan masalah. Pada awal abad ke sembilan belas, pemecahan masalah dipandang
sebagai kumpulan keterampilan bersifat mekanis, sistematik, dan seringkali abstrak sebagaimana keterampilan yang digunakan pada penyelesaian soal sistem
persamaan. Penyelesaian masalah seperti ini seringkali hanya berlandaskan pada
solusi logis yang bersifat tunggal.
Hudoyo (2002:427) yang menyatakan ”Secara alami manusia selalu menghadapi masalah karena itu pembelajaran matematika didasarkan masalah”. Masalah
sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Masalah yang dihadapi seseorang
berbeda dengan masalah yang dihadapi orang lain. Suatu pertanyaan atau soal
dapat merupakan masalah bagi seseorang tetapi mungkin tidak merupakan masalah bagi orang lain.
Beberapa pandangan tentang masalah dalam pembelajaran matematika telah dikemukakan oleh para ahli. mengemukakan bahwa suatu situasi adalah suatu
masalah bagi seseorang jika orang tersebut sadar akan adanya situasi itu, mengakui bahwa situasi itu memerlukan tindakan, menginginkan atau memerlukan
tindakan dan tidak dengan segera dapat memecahkan situasi tersebut. Polya
(1981:117) mengemukakan bahwa suatu masalah berarti mencari dengan sadar
beberapa tindakan yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang jelas, tetapi
tujuan tidak dapat segera dicapai.
Selanjutnya Polya mengemukakan bahwa didalam belajar matematika terdapat dua macam masalah yaitu masalah untuk menemukan dan masalah untuk
membuktikan. Ruseffendi (1988:336) menyatakan bahwa: Suatu persoalan itu
merupakan masalah bagi seseorang. Pertama bila persoalan itu tidak dikenalnya,
maksudnya ialah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk
menyelesaikannya.
Kedua ialah siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya
maupun pengetahuan siapnya, terlepas dari pada apakah akhirnya siswa sampai
atau tidak kepada jawabannya. Ketiga sesuatu itu merupakan pamacahan ma-

Universitas Sumatera Utara

21
salah baginya, bila siswa ada niat menyelesaikannya. Hudoyo (1988:175) berpendapat bahwa: Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah apabila pertanyaan
tersebut menantang untuk dijawab yang jawabannya tidak dapat dilakukan secara
rutin saja. Lebih lanjut pertanyaan yang menantang ini menjadi masalah bagi
seseorang bila orang itu menerima tantangan itu.
Dengan demikian suatu pertanyaan menjadi masalah bagi siswa, apabila
siswa diberi motivasi untuk menjawab masalah itu. Pandangan-pandangan tentang pengertian masalah dalam pembelajaran matematika banyak kesamaannya
namun pada prinsipnya sama. Suatu soal atau pertanyaan dikatakan masalah
bagi seseorang apabila soal itu tidak dikenalnya atau belum memiliki prosedur
atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya.
Konten pengetahuan yang berhubungan dengan pembuktian jenis masalah
geometri ini terdiri dari konsep geometrik, relasi/hubungan, penalaran deduktif
aksioma yang logis, dan ketentuan dalam bukti resmi matematika secara formal.
Berdasarkan pada pembuktian analisis terhadap para siswa, Reiss et al.,(2001:97)
menunjukkan bahwa pengetahuan konten geometris saja tidak cukup untuk menghasilkan bukti matematika. Reiss et al.,(2001:97) membantah bahwa pengetahuan
dan keahlian pemahaman secara metodologi juga mempengaruhi keberhasilan pemecahan bukti-jenis masalah geometri.
Menurut Reiss et al., (2001:97), metodologi pengetahuan merupakan perpaduan dari tiga aspek: membuktikan rencana/program, membuktikan struktur
dan rangkaian logika. Di antaranya, membuktikan skema merujuk pada argumen
deduktif, membuktikan struktur yang merujuk kepada keabsahan dalil matematika deduktif, dan rantai logika mengacu pada transparansi yang logis dari kemajuan secara bertahap. Ketiga aspek yang merupakan logika pemikiran deduktif
maupun kesepakatan bersama secara formal bukti matematika.
Pembuktian masalah geometri menggunakan langkah-langkah pengolahan
tentang memecahkan masalah umum misalnya menganalisa soal, representasi dan
pemanfaatan pengetahuan mendapatkan data. Di antaranya, analisis masalah,
representasi, dan penggunaan pengetahuan tentang mendapatkan data yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan keahlian pemahaman isi, sedangkan perencanaan

Universitas Sumatera Utara

22
dipengaruhi oleh mengenal permasalahan, strategi dan kemampuan pemahamannya. Gambaran permasalahan, perencanaan, dan penggunaan data pengetahuan
yang didukung oleh kemampuan menangani dengan diagram geometris.
Pembuktian masalah geometri menggunakan langkah-langkah pemrosesannya tentang memecahkan masalah secara umum misalnya seperti soal, perwakilan analisis perencanaan,dan pemakaian pengetahuan mendapatkan data. Hal
ini membutuhkan pengoperasian matematika dan penalaran matematika. Operasi seperti antara penjumlahan, pengurangan, kesamaan, dan ketidaksamaan
sangat diperlukan dalam proses pemecahan masalah pembuktian jenis geometri. Dalam kelas siswa sebelumnya, para siswa menemukan pemecahan masalah
geometri memiliki kemampuan penalaran matematika, seperti penalaran induktif
siswa dan kemampuan berfikir deduktif secara non formal.
Kompleksitas pembuktian proses pemecahan masalah geometri
Pembuktian Non-algoritma dari permasalah geometri mendorong para siswa
untuk menerapkan pengetahuan tersebut dapat mengarahkan pembuktian:
Geometry proof problem solving is hard.

Of the 27 definitions, postulates and

theorems that are introduced prior to such a problem in a traditional curriculum,
7 can be applied at the beginning of this problem. Some of these rules can be applied
in more than one way yielding 45 possible inferences that can be made from this
problem’s givens. The number of options continues to increase at further layers at
minimum it takes 6 such layers of inferences to reach the problem goal (Koedinger
and Anderson, 1993:16-17)
Di antara berbagai kesimpulan yang dibuat, beberapa mungkin tidak relevan
untuk perkembangan cara pembuktian, dan beberapa siswa dapat mengalami kesulitan membuat penilaian terhadap masalah yang dihadapi. Sebagai contoh jumlah kesimpulan yang berkaitan dengan persegi yang diberikan dengan pusatnya
melebihi 50, sementara hanya satu atau dua permasalahan yang relevan dengan
masalah yang diberikan. Penilaian kesimpulan yang relevan adalah keahlian yang
sangat penting yang harus dimiliki oleh seorang siswa. Pencarian dengan cara
mundur (backward search), pencarian dengan cara maju (forward search), pencarian dua arah (bi-directional search), serta menggambar garis bantu bukan meru-

Universitas Sumatera Utara

23
pakan aturan tetapi heuristika yang dapat mengurangi kesimpulan yang tidak
perlu. Kesesuaian strategi pada umumnya seperti heuristika dan perencanaan
yang di sorot dalam pemecahan masalah geometri (Schoenfeld,1985:125; Chinnappan & Lawson, 1996:3).
2.7 Tujuan Pembelajaran Matematika Secara Deduksi
Menurut Russeffendi (Dahlan, 2004) pembelajaran matematika secara deduksi dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa matematika merupakan ilmu yang
terstruktur dan terorganisasikan, sehingga pengetahuan matematika dimulai dari
unsur-unsur yang tidak didefinisikan; seperti titik, garis, dan lain-lain. Titik itu
dianggap ada, tetapi tidak dapat dinyatakan dalam suatu kalimat dengan tepat,
sebab titik itu adalah unsur yang tidak didefinisikan. Paling hanya mampu memberikan penjelasan misalnya: ”titik itu adalah sesuatu yang tidak mempunyai
ukuran panjang dan luas, isi, atau berat, yang belum jelas. Meskipun sepakat
bahwa titik itu ada. Dari unsur yang tidak didefinisikan, maka munculah unsurunsur yang didefinisikan, seperti lengkungan, sudut, dan lain-lain.
Menurut Ruseffendi (Dahlan, 2004) dari unsur yang tidak didefinisikan dan
didefinisikan dapat dibuat asumsi-asumsi dasar atau aksioma atau postulat, yakni
pernyataan dasar dalam matematika yang tidak dibuktikan kebenarannya karena kebenarannya tidak disangsikan lagi. Setelah itu disusunlah teori-teori atau
dalil-dalil yang benar yang berlaku umum. Dalil ini disusun dengan pembuktian
kebenarannya.
Menurut Inhelder dan Piaget (Dahlan, 2004: 29) hypotetico-deductive reasoning, merupakan bench-mark dari tahap operasi formal. Akan tetapi penalaran
deduktif bukan berarti proses operasi formal. Anak pada operasi konkrit dapat
tiba pada kesimpulan yang benar jika diberi fakta-fakta yang nyata. Akan tetapi,
penalaran dibatasi oleh hal-hal dan objek yang biasa di kenal. Pada tahap operasi konkrit disebut demikian karena anak-anak berfikir dibatasi oleh fakta-fakta
dan objek yang nyata dan tidak berupa dugaan-dugaan. Dilain pihak, anak-anak
pada operasi formal tidak dibatasi untuk berfikir tentang fakta-fakta yang telah dilaluinya tetapi dapat membangun dugaan (hipotesis); apa-apa yang lebih
mungkin dari yang nyata. Selama dalam periode operasi formal seseorang yang

Universitas Sumatera Utara

24
berfikir dapat bekerja dengan dasar simbol yang tidak memerlukan referensi dunia
nyatanya.
Meskipun kemampuan ini dapat membawa pikiran seseorang dalam otaknya
terus-menerus berada dalam lamunan dan tidak membawannya pada suatu pembicaraan tanpa sampai pada metafisik, dan hal ini bukan tujuan dari Piaget
(Dahlan, 2004: 29). Lebih baik digambarkan sebagai seseorang yang tidak mencoba untuk mengaktualkan fakta-fakta dalam berfikirnya tetapi dapat menyatakan
dalil-dalil dari apa-apa yang mungkin dengan sebaik-baiknya. Anak yang berada
pada tahap ini dapat memformulasikan ide-ide dari hal-hal yang tidak dialaminya,
mengarang cerita dan sering membuat gagasan yang hebat seperti orang dewasa
tentang moral, hukum, etnis, pemerintahan, keadilan, dan agama. Siswa memasuki, secara kognitif, arena orang dewasa dan turut berfikir tentang pembicaraan
yang berat meskipun tanpa pernah mengalaminya.

Universitas Sumatera Utara