TAP.COM - EKONOMI TENAGA KERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA DALAM ...

EKONOMI TENAGA KERJA PERTANIAN DAN
IMPLIKASINYA DALAM PENINGKATAN
PRODUKSI DAN KESEJAHTERAAN
BURUH TANI
I Wayan Rusastra dan M. Suryadi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161

ABSTRAK
Kesempatan kerja sektor pertanian selama periode 1995−2000 meningkat 0,51%/tahun. Pada tahun 2000, posisinya
tetap dominan (45,28%) dengan status pekerjaan berburuh tani meliputi 5,38 juta orang. Permasalahan tenaga
kerja pertanian mencakup produktivitas, daya beli, dan tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Tulisan ini
membahas perkembangan struktur kesempatan kerja dan tingkat upah serta dampaknya terhadap produksi padi,
struktur pendapatan, dan tingkat kesejahteraan petani dan buruh tani di pedesaan. Terdapat indikasi kelangkaan
tenaga kerja dan kenaikan tingkat upah absolut, namun kenaikan upah riil berjalan lambat. Elastisitas tenaga kerja
terhadap produksi relatif tinggi (0,13) dan tingkat upah berdampak negatif inelastis terhadap penawaran dan
keuntungan usaha tani padi. Sumber pendapatan dominan rumah tangga buruh tani adalah kegiatan berburuh dan
nonpertanian dengan proporsi 68,10%. Implikasinya adalah kelangkaan dan kenaikan tingkat upah perlu
dikendalikan dan perbaikan kesejahteraan buruh tani perlu dilakukan melalui pendekatan yang holistik dan
komprehensif. Produktivitas dan kesejahteraan buruh tani dapat ditingkatkan melalui pengembangan kelembagaan
mekanisasi pertanian, agribisnis dan agroindustri, serta perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian.
Kata kunci: Produktivitas tenaga kerja, produksi pertanian, buruh tani, kesejahteraan sosial


ABSTRACT
Agricultural labor economy and its impact on agricultural production and hired labor welfare
During the period of 1995−2000, the growth of agricultural employment was 0.51%/year. Its role in the year 2000
was still dominant (45.28%), with hired agricultural labor approaching to 5.38 million. The problems faced by
agricultural labor are low productivity, weak purchasing power, and low welfare status. This paper analyses the
perspective of employment structure and wage rate as well as their impact on rice production, income structure,
and hired labor welfare in rural area. The evidence showed the indication of labor shortage as well as the increasing
of absolute wage rate, but with sluggish real wage growth. Elasticity of rice production with respect to labor was
relatively high (0.13), and elasticity of supply and profit with respect to wage rate was negative inelastic. The main
source of hired labor household income was hired labor and non-agricultural activity with the proportion of
68.10%. All of those implied that labor shortage and wage rate increase had to be controlled, and improvement of
hired labor welfare should be conducted in holistic and comprehensive manner. The productivity and welfare of
hired labor can be improved through implementing appropriate institutional arrangement on agricultural
mechanization, agribusiness and agroindustry development, as well as non-agricultural employment generation.
Keywords: Labour productivity, agricultural production, hired labour, social welfare

K

ompleksitas ekonomi tenaga kerja

pertanian mencakup dimensi yang
relatif luas. Penurunan peran relatif sektor
pertanian terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional yang relatif cepat
tidak diikuti oleh akselerasi yang sama
pada aspek kesempatan kerja sehingga
produktivitas tenaga kerja pertanian
menurun. Perkembangan tingkat upah

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

sektor pertanian pun tidak berjalan selaras
dengan kenaikan harga kebutuhan pokok
sehingga berimplikasi negatif terhadap
daya beli dan kesejahteraan buruh tani.
Rendahnya pendapatan buruh tani juga
tidak terlepas dari rendahnya partisipasi
dan aksesibilitas buruh tani terhadap
kesempatan kerja di luar sektor pertanian.


Pada tahun 2000, kesempatan kerja
sektor pertanian menempati posisi
dominan dengan proporsi 45,28% dari
total kesempatan kerja yang mencapai
89,84 juta orang. Menurut status pekerjaan, kesempatan kerja berburuh
(karyawan) mencapai 32,83% atau sebesar
29,49 juta orang. Kesempatan kerja
berburuh di sektor pertanian mencapai
91

5,38 juta orang atau 13,23% dari total
kesempatan kerja sektor pertanian yang
besarnya 40,68 juta orang (Badan Pusat
Statistik 2001).
Upaya memperbaiki tingkat upah
dan kesejahteraan buruh tani menghadapi permasalahan yang kompleks
(Sumaryanto dan Rusastra 2000) yaitu: 1)
permintaan tenaga kerja di sektor pertanian
bersifat fluktuatif dan musiman, 2)
penggunaan tenaga per unit luasan usaha

tani cenderung menurun karena berkembangnya mekanisasi pertanian
(traktor), aplikasi herbisida, dan maksimisasi penggunaan tenaga kerja dalam
keluarga, 3) adanya indikasi penurunan
upah riil, daya beli dan kesejahteraan buruh
tani, 4) sulitnya mengimplementasikan
instrumen kebijakan karena posisi buruh
tani yang bersifat dilematis, yaitu sebagai
pemasok dan sekaligus juga pengguna
tenaga kerja pertanian, dan 5) strategi
perbaikan kesejahteraan dan tingkat upah
melalui upaya tidak langsung seperti
peningkatan intensitas garapan dan
kesempatan kerja nonpertanian.
Tulisan ini menyajikan perkembangan kesempatan kerja menurut sektor
utama dan status pekerjaan serta perkembangan tingkat upah sektor pertanian
dengan basis data agregat dan data Panel
Petani Nasional (Patanas) di enam propinsi
penelitian. Di bahas pula dinamika dampak
penggunaan tenaga kerja dan tingkat
upah terhadap penawaran dan produksi

usaha tani padi, struktur kesempatan kerja
dan tingkat pendapatan rumah tangga
buruh tani, serta nilai tukar petani dan
kesejahteraan buruh tani di pedesaan.

PERKEMBANGAN
KESEMPATAN KERJA
NASIONAL DAN SEKTOR
PERTANIAN

kesempatan kerja nasional yang mencapai
89,84 juta jiwa. Dengan mengacu pada
sumbangan sektor pertanian pada PDB
nasional tahun 2000 yang besarnya 16%,
tampak adanya disparitas produktivitas
tenaga kerja antara sektor pertanian dan
nonpertanian (Badan Pusat Statistik 2001).
Dibandingkan dengan pertumbuhan
kesempatan kerja nasional yang mencapai
1,94%/tahun, pertumbuhan kesempatan

kerja di enam propinsi wilayah penelitian
Patanas yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Utara, dan Sulawesi Selatan berkisar
antara 1,59%/tahun (Jawa Tengah) dan
3,28%/tahun di Sulawesi Selatan (Tabel 1).
Di luar Jawa (kecuali NTB), laju pertumbuhan kesempatan kerja agregat
melebihi laju pertumbuhan nasional, tetapi
laju kesempatan kerja pertanian mengalami penurunan 0,07%/tahun (Sulawesi
Selatan) sampai dengan 2,63%/tahun
(Lampung). Andalan pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa adalah sektor
pertanian, sedangkan di luar Jawa mulai
bergeser ke sektor industri, perdagangan
dan jasa dengan besarnya kontribusi
yang bervariasi antardaerah. Dibutuhkan
fasilitasi kebijakan yang memungkinkan
terjadinya mobilisasi tenaga kerja yang
lebih cepat ke luar Jawa.
Di enam propinsi penelitian Patanas,
sektor pertanian masih tetap merupakan

penyumbang kesempatan kerja terbesar
(khususnya di luar Jawa), dengan kisar-

Tabel 1. Pertumbuhan dan proporsi kesempatan kerja menurut sektor utama
di enam propinsi Indonesia, 1995−1999.
Pertumbuhan dan proporsi kesempatan kerja (%)1
Sektor utama

Pertanian
Industri

Dalam periode 1995–2000, total kesempatan kerja nasional meningkat 1,94%/
tahun, dari 80,11 juta menjadi 89,84 juta
orang. Sektor pertanian memberikan
sumbangan dominan dengan peningkatan
proporsi dari 43,98% menjadi 45,28%,
dan tumbuh dengan laju 0,51%/tahun.
Kesempatan kerja di sektor perdagangan
tumbuh dengan laju terbesar (2,75%/
tahun), serta proporsi penyerapan tenaga

kerja menempati posisi kedua terbesar
dengan pangsa 20,58% terhadap total
92

an 41,10% (Jawa Tengah) sampai dengan
59,42% di Lampung (Tabel 1). Penyumbang kesempatan kerja kedua
terbesar adalah sektor perdagangan
dengan kisaran 14,32% (Lampung) sampai
dengan 20,08% (Jawa Tengah). Di Jawa,
posisi berikutnya adalah sektor industri
dan jasa, namun sebaliknya untuk luar
Jawa. Di luar Jawa, sektor jasa menempati
posisi ketiga dengan kisaran 10,98%
(Lampung) sampai dengan 15,06%
(Sulawesi Selatan). Kisaran sumbangan
sektor industri adalah 5,39% (Sulawesi
Selatan) sampai dengan 11,29% (NTB).
Dengan demikian, fase pertumbuhan
ekonomi yang direfleksikan oleh peran
masing-masing sektor secara spasial

menunjukkan perbedaan sehingga strategi dan fokus kebijakan pembangunan
pun berbeda. Dalam jangka pendek, peran
sektor industri belum dapat diharapkan
mengingat masih lemahnya dukungan
stabilitas politik, keamanan, dan penegakan hukum.
Proporsi kesempatan kerja nasional
menurut status pekerjaan dalam periode
1995−2000 menunjukkan bahwa status
sebagai buruh/karyawan menempati
posisi dominan, diikuti oleh kategori
berusaha sendiri, berusaha dibantu anggota keluarga/buruh tidak tetap, pekerja
keluarga, dan terakhir adalah berusaha
dengan buruh tetap (Badan Pusat Statistik
2001). Tampak bahwa bidang kewirausahaan masih perlu pembinaan dan

Perdagangan
Jasa
Lainnya 2
Total kesempatan
('000 orang)


Jawa
Tengah

Jawa
Timur

41,10
(1,12)
17,65
(0,68)
20,08
(1,95)
11,43
(-5,88)
9,75
(-1,97)
14.621
(1,59)


44,01
(1,46)
14,73
(-1,23)
18,92
(0,13)
11,71
(-2,89)
10,64
(-1,04)
16.982
(1,97)

Lampung
59,42
(-2,63)
8,14
(5,18)
14,32
(4,96)
10,98
(3,88)
7,14
(3,38)
3.041
(2,30)

Nusa Tenggara Barat
47,41
(-1,53)
11,29
(0,95)
17,23
(-0,40)
11,31
(0,94)
12,76
(5,50)
1.716
(1,67)

Sulawesi
Utara
51,21
(-0,47)
7,29
(-2,89)
14,95
(2,84)
14,15
(-2,68)
12,41
(4,31)
1.162
(2,73)

Sulawesi
Selatan
54,71
(-0,07)
5,39
(-4,80)
17,17
(2,97)
15,06
(-1,39)
7,65
(0,69)
3.078
(3,28)

1

Angka dalam kurung adalah pertumbuhan kesempatan kerja (%/tahun).
Bangunan, angkutan, pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan
bangunan, tanah, jasa perusahaan, pertambangan, listrik, gas, dan air.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2001, diolah).
2

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

dukungan fasilitasi kebijakan untuk
mendorong partisipasi dan kesempatan
berusaha bagi masyarakat luas. Implikasi
lainnya adalah peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui perbaikan taraf hidup
dan kesejahteraan buruh dan karyawan
memegang peranan sentral. Walaupun
kesempatan kerja berburuh mengalami
penurunan 1,52%/tahun, posisinya pada
tahun 2000 tetap dominan (32,83%), dan
diyakini dalam satu dekade ke depan akan
tetap memegang peranan penting dalam
ekonomi ketenagakerjaan nasional.
Di sektor pertanian, status pekerjaan
berburuh menempati posisi keempat
setelah kategori berusaha dibantu
anggota keluarga/buruh tidak tetap,
pekerja keluarga, dan berusaha sendiri
(Tabel 2). Seperti halnya pada kesempatan
kerja agregat nasional, dalam sektor
pertanian, kategori status pekerjaan
berusaha dengan buruh tetap menempati
peringkat terakhir. Selama periode 1995−
2000, posisi status pekerjaan berburuh di
sektor pertanian relatif stagnan yang

proporsinya pada tahun 2000 mencapai
13,23% (5,38 juta orang) dari total
kesempatan kerja sektor pertanian sekitar
40,68 juta orang.
Secara relatif terhadap total kesempatan kerja berburuh, proporsi
berburuh di sektor pertanian menempati
peringkat ketiga setelah sektor jasa dan
industri (Tabel 3), sedangkan sektor
perdagangan menempati posisi keempat
dari empat sektor utama pembangunan
nasional. Pada tahun 2000, pangsa
kesempatan kerja berburuh di sektor jasa,
industri, pertanian, dan perdagangan
berturut-turut adalah 27,18%, 25,70%,
18,24%, dan 10,64%. Selama periode
1995−2000, kesempatan kerja berburuh
di sektor pertanian meningkat dengan
laju 1,84%/tahun, dari 4,92 juta orang
tahun 1995 menjadi 5,38 juta orang
tahun 2000, atau 18,24% dari total kesempatan kerja berburuh yang mencapai
29,50 juta orang. Laju pertumbuhan ini
dinilai cukup tinggi dibandingkan dengan
laju kesempatan kerja total berburuh yang

hanya 0,45%/tahun. Tampaknya sektor
pertanian masih tetap merupakan sumber
kesempatan kerja berburuh yang potensial
dalam kondisi melemahnya daya tampung
sektor jasa dan sektor ekonomi lainnya
yang mengalami penurunan penyerapan
masing-masing 2,84% dan 2,47%.

PERKEMBANGAN TINGKAT
UPAH SEKTOR PERTANIAN
Deskripsi tingkat upah absolut menurut
jenis kegiatan di enam propinsi pada tahun
1990−2001 menunjukkan bahwa: 1) tingkat
upah berbeda antarwilayah, yaitu terendah
di Jawa Tengah dan tertinggi di Sulawesi
Utara, 2) tingkat upah meningkat secara
konsisten untuk seluruh jenis kegiatan
selama tiga segmen waktu analisis, 3)
kecuali di Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan, terdapat disparitas tingkat upah
di mana tingkat upah mencangkul lebih
tinggi dibandingkan dengan upah memanen dan menyiang (Badan Pusat

Tabel 2. Proporsi dan pertumbuhan kesempatan kerja sektor pertanian menurut status pekerjaan di Indonesia, 1995−
2000.
Proporsi kesempatan kerja (%)
1995

1996

1997

1998

1999

2000

Pertumbuhan
(%/tahun)

22,35
30,70

16,51
38,40

18,89
32,48

18,23
34,94

19,85
32,94

15,17
36,50

-4,09
1,26

0,86

0,83

1,22

1,18

2,59

1,71

19,35

13,96
32,13
35.233

13,10
31,16
37.720

13,42
33,99
35.849

13,22
32,44
39.415

14,10
30,52
38.378

13,23
33,39
40.677

1,84
0,25
2,47

Status pekerjaan
Berusaha sendiri
Berusaha dengan dibantu
anggota rumah tangga/buruh
tidak tetap
Berusaha dengan buruh
tetap
Buruh/karyawan
Pekerja keluarga
Total tenaga kerja
('000 orang)

Sumber: Badan Pusat Statistik (2001, diolah).

Tabel 3. Proporsi dan pertumbuhan kesempatan kerja berburuh menurut status pekerjaan di Indonesia, 1995− 2000.
Proporsi kesempatan kerja (%)
Status pekerjaan
Pertanian
Industri
Perdagangan
Jasa
Lainnya 1
Total buruh
('000 orang)

1995
17,26
21,96
7,57
33,70
19,51
28.498

1996
17,07
21,47
8,58
32,54
20,33
28.952

1997

1998

1999

2000

Pertumbuhan
(%/tahun)

15,78
21,87
8,95
32,70
20,69
30.489

18,09
20,68
8,51
34,30
18,43
28.805

18,42
22,79
8,87
32,23
17,68
29.384

18,24
25,70
10,64
27,18
18,24
29.498

1,84
2,74
5,09
-2,84
-2,47
0,45

1

Bangunan, angkutan, pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, jasa perusahaan, listrik, gas, dan air.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2001, diolah).

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

93

Statistik 1996a; 2002a). Informasi di atas
sedikitnya mengindikasikan dua hal,
yaitu adanya keterkaitan antara kelangkaan tenaga kerja dan tingkat upah, serta
terjadinya diskriminasi tingkat upah.
Perbedaan tingkat upah secara
spasial menunjukkan adanya kelangkaan
dan berfungsinya pasar tenaga kerja. Hal
ini dinilai positif bagi tenaga kerja buruh
tani. Perbedaan tingkat upah mencangkul
dengan upah menyiang/menanam menunjukkan adanya diskriminasi tingkat
upah, di mana kegiatan pertama dilakukan
tenaga kerja pria dan yang terakhir oleh
tenaga kerja wanita. Menurut Pasandaran
et al. (1990), jam kerja menanam lebih lama
31% daripada mencangkul, sehingga
disparitas upah per jam kerja antara
menanam dan mencangkul menjadi makin
melebar.
Perkembangan indeks upah absolut
secara spasial dan jenis kegiatan mengilustrasikan akselerasi atau konvergensi
tingkat upah (Badan Pusat Statistik
2001). Pada wilayah yang memungkinkan
terjadinya mobilitas tenaga kerja antarwilayah seperti Jawa Tengah dan Jawa
Timur, konvergensi tingkat upah tidak
terjadi. Pada jenis kegiatan yang sama,
Jawa Tengah dengan tingkat upah awal
(tahun 1990) lebih rendah, tidak memiliki
perkembangan indeks upah yang secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan Jawa Timur. Bila dibandingkan
antara Jawa Tengah (upah awal terendah)
dan Sulawesi Utara (tingkat upah tertinggi), peningkatan indeks upah di
Sulawesi Utara berlangsung lebih cepat
yang merefleksikan dampak dari kelangkaan tenaga kerja di wilayah tersebut.
Kecuali di NTB, indeks upah menanam
meningkat lebih cepat dibandingkan
dengan kegiatan mencangkul, yang
mengindikasikan adanya konvergensi
tingkat upah antara dua jenis kegiatan
ini dan juga menurunnya diskriminasi
tingkat upah. Hal ini berimplikasi pada
perbaikan dan pemerataan tingkat
kesejahteraan buruh tani serta meningkatnya produktivitas tenaga kerja.
Perkembangan tingkat upah absolut
dan riil menurut jenis kegiatan disajikan
pada Tabel 4. Jawa Tengah dengan tingkat
upah absolut yang lebih rendah dari
Jawa Timur ternyata memiliki laju pertumbuhan tingkat upah yang lebih tinggi.
Namun, pertumbuhan tingkat upah riil
lebih baik, terutama pada periode 1998−
2000. Sulawesi Utara dengan tingkat
upah absolut tertinggi memiliki laju
94

pertumbuhan tingkat upah yang juga
lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya, kecuali Lampung dan Sulawesi
Selatan, khususnya dalam empat tahun
terakhir. Jawa dan NTB dengan surplus
tenaga kerja yang relatif tinggi mengalami tekanan dalam peningkatan tingkat
upah, sementara daerah lainnya mengalami laju peningkatan upah yang relatif
tinggi. Pada seluruh wilayah dan jenis
kegiatan, secara konsisten laju pertumbuhan upah riil lebih rendah daripada
upah absolut. Tampak bahwa harga
kebutuhan pokok masyarakat meningkat
lebih cepat daripada tingkat upah
sehingga daya beli buruh tani juga
semakin rendah.
Data tingkat upah usaha tani padi di
desa penelitian Patanas umumnya menunjukkan pola yang serupa dengan data
Badan Pusat Statistik (Tabel 5). Luar Jawa
dengan tingkat kelangkaan tenaga kerja
yang lebih besar memiliki tingkat upah
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
dua propinsi di Jawa. Jawa juga memiliki
laju pertumbuhan tingkat upah yang lebih

rendah sehingga makin memperbesar
disparitas tingkat upah secara spasial.
Kegiatan mencangkul tetap memiliki
tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan kegiatan menanam dan
menyiang, sepanjang waktu untuk seluruh
wilayah. Pertumbuhan upah riil relatif
rendah pada seluruh wilayah dan jenis
kegiatan, yang merefleksikan kurangnya
akselerasi peningkatan daya beli tenaga
kerja buruh tani pada usaha tani padi.
Kecuali di Lampung dan NTB, laju
peningkatan upah menanam dan menyiang lebih tinggi dibandingkan dengan
upah mencangkul sehingga diharapkan
disparitas dan diskriminasi tingkat upah
antarkegiatan dan gender semakin
membaik.

RESPONS TINGKAT UPAH
TERHADAP PENAWARAN
Melalui pendekatan analisis kebijakan
dilakukan ulasan dan sintesis secara

Tabel 4. Perkembangan tingkat upah absolut dan riil (%/tahun) kegiatan
usaha tani di enam propinsi Indonesia, 1990−20011.
Propinsi/tahun

Mencangkul
Absolut

Lampung
1990−1993
12,70
1994−1997
8,14
1998−2001
28,15
Jawa Tengah
1990−1993
11,75
1994−1997
16,12
1998−2001
17,27
Jawa Timur
1990−1993
12,70
1994−1997
14
1998−2001
15,13
Nusa Tenggara Barat
1990−1993
12,53
1994−1997
10,92
1998−2001
20,41
Sulawesi Selatan
1990−1993
5,75
1994−1997
10,66
1998−2001
26,83
Sulawesi Utara
1990−1993
8,03
1994−1997
16,72
1998−2001
24,50

Menanam

Menyiang

Riil

Absolut

Riil

Absolut

Riil

5,31
0,62
18,41

11,70
9,88
30,97

4,52
2,40
21,53

12,87
6,66
24,56

5,60
-0,87
14,79

3,48
9,83
7,85

11,04
11,23
21,60

2,75
4,83
12,42

11,42
12,96
22,73

3,07
6,56
13,62

4,05
6,79
5,26

13,61
14,12
20,46

4,96
6,96
10,89

14,77
13,59
15,91

6,10
6,43
6,13

5,42
3,67
12,42

9,55
10,55
20,29

2,33
3,22
12,07

13,34
12,75
18,26

6,05
5,35
10,06

-1,14
4,33
19,11

5,95
11,08
35,93

-0,95
4,85
28,97

5
9,75
27,43

-1,90
3,41
19,60

1,15
8,28
13,05

11,25
19,45
21,01

4,31
11,17
9,22

7,50
21,44
27,46

0,44
13,28
15,94

1

Upah riil dihitung dengan menggunakan deflator indeks harga konsumen menurut propinsi
(Indeks harga konsumen di Ibukota Propinsi, Badan Pusat Statistik).
Sumber: Badan Pusat Statistik (1996a; 2002a, diolah).

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

Tabel 5. Tingkat upah absolut dan riil pada usaha tani padi di enam propinsi
penelitian Panel Petani Nasional (Patanas), Indonesia, 1995−1999.1
Tingkat upah (Rp/orang/hari)
Propinsi/tahun

Jawa Tengah
1995
1999
Pertumbuhan (%/tahun)
Jawa Timur
1995
1999
Pertumbuhan (%/tahun)
Lampung
1995
1999
Pertumbuhan (%/tahun)
Nusa Tenggara Barat
1995
1999
Pertumbuhan (%/tahun)
Sulawesi Utara
1995
1999
Pertumbuhan (%/tahun)
Sulawesi Selatan
1995
1999
Pertumbuhan (%/tahun)

Mencangkul
Absolut

Riil

3.429
4.670
8

2.064
2.493
4

3.094
4.530
10

Menanam
Absolut

Menyiang

Riil

Absolut

Riil

2.401
3.470
9

1.446
1.852
6

2.418
3.590
10

1.456
1.916
7

1.747
2.258
6

1.860
3.190
14

1.050
1.590
10

1.704
3.240
17

962
1.615
13

3.369
7.050
20

1.973
3.319
13

3.000
5.090
14

1.757
2.396
8

2.571
4.800
17

1.506
2.259
11

2.809
5.110
16

1.596
2.392
11

2.640
4.270
13

1.499
1.999
7

2.551
4.800
17

1.449
2.069
9

5.000
9.890
18

2.941
4.668
12

2.900
6.670
23

1.706
3.148
16

6.018 2
7.690
6

3.540
3.630
1

4.750
14.120
31

2.902
6.944
24

4.086
13.350
34

2.497
6.565
27

7.100 2
13.340
17

4.339
6.560
10

1

Upah riil dihitung dengan deflator indeks harga konsumen (BPS).
Pada usaha tani perkebunan.
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2000, diolah).
2

mendalam terhadap dampak tingkat upah/
tenaga kerja terhadap tingkat keuntungan,
penawaran, dan produksi usaha tani padi
pada berbagai wilayah di Indonesia (Tabel
6). Peningkatan tingkat upah umumnya
berdampak negatif terhadap keuntungan
usaha tani dengan kisaran elastisitas 0,13−
0,19. Penurunan keuntungan lebih besar
pada usaha tani padi di lahan sawah dibandingkan dengan di lahan kering,
dengan elastisitas tingkat upah terhadap
keuntungan (Ep) -0,15 vs. -0,13. Peningkatan upah tenaga kerja ternak juga
berdampak negatif terhadap keuntungan
dengan Ep -0,04 dan bersifat nyata pada
taraf kepercayaan 1% (α = 1%). Namun,
Wardana et al. (2001) melaporkan bahwa
tingkat upah justru meningkatkan keuntungan usaha tani padi dengan Ep 0,21
pada musim hujan dan 0,03 pada musim
kemarau. Tingkat upah yang lebih baik
(tambahan insentif) akan menstimulasi
efektivitas pemanfaatan tenaga kerja
sehingga produktivitas usaha tani padi
meningkat.
Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

Dampak peningkatan tingkat upah
terhadap penawaran usaha tani padi
menunjukkan respons yang inelastis,
dengan kisaran dampak penurunan
terhadap penawaran sebesar 0,21−0,33%
untuk setiap 1% peningkatan tingkat
upah. Tidak terdapat perbedaan elastisitas
penawaran (Es) antara usaha tani padi di
lahan kering dan di lahan sawah, dengan
elastisitas penawaran -0,20 vs -0,21.
Respons peningkatan tingkat upah tenaga
kerja ternak terhadap penawaran relatif
rendah dengan elastisitas -0,04 (Rachman
1986).
Pada usaha tani padi lahan sawah,
kisaran elastisitas tenaga kerja adalah 0,12
−0,14, sedangkan untuk lahan kering
nilainya sedikit lebih rendah yaitu 0,11
(Hutabarat 1988; Rusastra 1995). Dibandingkan dengan faktor produksi
lainnya, tenaga kerja dinilai yang terpenting (elastisitas 0,12), disusul oleh
pupuk (0,04), bibit (0,02), dan pestisida
dengan nilai elastisitas 0,01. Hasil ini
sesuai dengan kondisi di lapangan, di

mana usaha tani padi bersifat padat
tenaga kerja. Aplikasi teknologi varietas
unggul, pupuk, dan irigasi dapat mendorong aplikasi tenaga kerja (labor-using
technologies). Urutan kontribusi faktor
produksi terhadap keluaran seperti
tersebut di atas dinilai konsisten dengan
hasil penelitian yang dilakukan di
Indonesia atau di negara lain, di mana
tenaga kerja dan lahan merupakan faktor
produksi yang terpenting, diikuti oleh
pupuk atau modal (Yotopoulus et al. 1976;
Sidhu dan Baanante 1979; Sugianto 1982;
Erwidodo 1990).

PARTISIPASI DAN
STRUKTUR PENDAPATAN
BURUH TANI
Dalam periode 1995−1999, kegiatan rumah
tangga usaha tani padi makin bervariasi,
di mana peran kegiatan nonpertanian
mengalami peningkatan. Peningkatan
partisipasi rumah tangga pada kegiatan
nonpertanian cukup menonjol di Jawa
Timur, Lampung, NTB, dan Sulawesi
Selatan, dengan kisaran laju peningkatan
sebesar 8,06%/tahun (NTB) sampai
dengan 121,43%/tahun (Lampung). Bagi
rumah tangga dengan kegiatan berburuh,
partisipasi tertinggi adalah pada sektor
pertanian. Kecuali di Lampung dan NTB,
partisipasi kegiatan berburuh di sektor
pertanian mengalami peningkatan dengan kisaran 4,31%/tahun (Sulawesi
Selatan) sampai dengan 11,32%/tahun
(Sulawesi Utara) (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian 1996). Dalam kondisi krisis ekonomi
yang belum pulih sampai saat ini, sektor
pertanian tetap menjadi tumpuan kesempatan kerja bagi masyarakat. Sektor
pertanian menjadi katup pengaman dan
sekaligus menjadi beban karena akan
semakin berdampak terhadap penurunan
produktivitas tenaga kerja pertanian.
Secara absolut, pendapatan rumah
tangga buruh tani yang terendah adalah
di NTB (Rp788.454/tahun) dan tertinggi
di Sulawesi Selatan (Rp2.167.835) pada
tahun 1995 (Tabel 7). Kisaran proporsi
pendapatan berburuh di sektor pertanian
adalah 12% (Sulawesi Utara) sampai 45%
(Jawa Tengah). Sumber pendapatan
berburuh dari sektor pertanian yang
cukup menonjol adalah di Jawa Timur
(28%) dan Jawa Tengah (10%), sedangkan
di luar Jawa umumnya di bawah 10%.
95

Tabel 6. Tinjauan dampak penggunaan tenaga kerja/tingkat upah terhadap produksi atau penawaran komoditas pangan
di Indonesia.
Peneliti

Lokasi/jenis data

Model/fungsi

Sawit (1985)

Empat desa di Jawa Barat
Data primer petani padi

Fungsi keuntungan Cobb-Douglas
Peubah bebas tingkat upah

Es = -0,31

Kasryno (1986)

Jawa Barat
Data panel 360 rumah tangga
petani padi

Fungsi keuntungan Cobb-Douglas
Peubah bebas tingkat upah

Es = -0,33

Rachman (1986)

Enam desa DAS Cimanuk,
Jawa Barat
Data primer resurvei
Proyek SDP-SAE (padi)

Fungsi keuntungan Cobb-Douglas
Peubah bebas upah tenaga
kerja manusia dan tenaga kerja ternak

TK manusia:
E π = -0,1930
(S = α 1%)
Es = -0,2660
TK ternak:
E π = -0,0419
(S = α 1%)
Es = -0,0412

Hutabarat (1988)

Sulawesi Selatan
Tiga desa lahan kering dan
tiga desa lahan sawah (padi)

Fungsi produksi translog
Peubah bebas tenaga kerja

Lahan kering
Ep = 0,11
Lahan sawah
Ep = 0,14

Rusastra (1995)

Indonesia
Kombinasi data penampang
lintang (11 wilayah) dan deret
waktu (1973−1991)
Padi lahan sawah dan
padi lahan kering

Fungsi keuntungan Cobb-Douglas
Peubah bebas tingkat upah

Padi lahan sawah:
E π = -0,1463
(S = α 1%)
Ep= 0,1202
Es = -0,2067
Padi lahan kering:
E π = -0,1294
(S = α 1%)
Ep = 0,1073
Es = -0,2034

Rusastra et al. (1997)

Indonesia
Kombinasi data penampang
lintang (5 wilayah) dan deret
waktu, 1979−1993 (padi)

Fungsi produksi linier
Peubah tergantung
produktivitas padi
sawah; peubah bebas
tenaga kerja

Ep= 0,7180
(n.s.)

Wardana et al. (2001)

Pati, Jawa Tengah
Data primer padi tadah hujan
dataran rendah

Fungsi keuntungan Cobb-Douglas
Peubah bebas tingkat upah

Tabel 7. Struktur pendapatan rumah tangga buruh tani pada desa padi
sawah di enam propinsi Panel Petani Nasional (Patanas), 1995.
Proporsi jenis kegiatan utama (%)
Propinsi

Jawa Tengah
Jawa Timur
Lampung
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara

Total pendapatan

Berburuh
Pertanian

28
13
46
39
24
44

Nonpertanian

Pertanian

Nonpertanian

(Rp/tahun)

17
24
17
13
30
39

45
36
30
44
44
12

10
28
8
5
2
5

1.551.010
1.549.159
1.244.266
788.454
2.167.835
1.758.515

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (1996, diolah).

96

Respons

E π (MH): 0,2065
(S = α 1%)
E π (MK): 0,0288
(S = α 5%)

Rumah tangga buruh tani juga
terlibat pada kegiatan pertanian dan
nonpertanian dengan proporsi kegiatan
pertanian berkisar dari 13% (Jawa Timur)
hingga 46% (Lampung). Pangsa kegiatan
nonpertanian yang cukup menonjol
adalah di Sulawesi dan Jawa Timur,
sementara di daerah lainnya di bawah
20%. Rumah tangga buruh tani umumnya
adalah petani berlahan sempit atau petani
penyakap sehingga andalan sumber pendapatan utama adalah dari kegiatan
nonpertanian dan berburuh. Oleh karena
itu, perbaikan sistem sakap, tingkat upah,
dan kesempatan kerja di luar sektor
pertanian akan memegang peranan
Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

penting dalam peningkatan pendapatan
rumah tangga buruh tani.
Sumber pendapatan utama selain
dari kegiatan pertanian (usaha tani padi)
dan berburuh (pertanian dan nonpertanian) relatif terbatas. Sumber
pendapatan dari subsektor peternakan
dan perikanan hampir tidak ada. Kegiatan nonpertanian yang cukup menonjol
adalah perdagangan, sedangkan kegiatan
industri hanya ada di Jawa Timur, NTB,
dan Sulawesi Selatan. Kegiatan jasa
terdapat di semua propinsi dengan kisaran
3% (Lampung) sampai 24% di Sulawesi
Utara (Patanas P/SE).
Secara absolut, total pendapatan
berburuh yang cukup menonjol adalah di
Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah dengan nilai masing-masing
Rp1.001.000, Rp987.100, dan Rp858.400
pada tahun 1995 (Tabel 8). Di propinsi
lainnya, nilainya di bawah Rp500.000/
rumah tangga buruh tani/tahun. Sumber
pendapatan berburuh dari sektor pertanian menempati posisi dominan dengan
kisaran proporsi 56,50% (Jawa Timur)
sampai 94,60% (Sulawesi Selatan). Dalam
upaya meningkatkan pendapatan buruh
tani dan produktivitas tenaga kerja
pertanian, persoalan yang paling sulit
adalah mendorong tenaga kerja keluar
dari sektor pertanian primer. Upaya yang
dinilai strategis adalah mengembangkan
agroindustri melalui pendekatan agropolitan. Dengan pendekatan tersebut,
petani dapat mengakses kegiatan
agroindustri tanpa harus kehilangan
kesempatan kerja di sektor pertanian
atau sebagai tenaga kerja paruh waktu.
Pengembangan agroindustri diharapkan
akan meningkatkan respons permintaan
produk pertanian terhadap perubahan
pendapatan sehingga nilai tukar petani
makin membaik.

NILAI TUKAR DAN
KESEJAHTERAAN BURUH
TANI
Nilai tukar petani (NTP) dan kesejahteraan
buruh tani memiliki keterkaitan yang
kuat. Secara hipotetis, normatif kesejahteraan petani akan ditransmisikan dalam
bentuk perbaikan taraf hidup buruh
tani. Pembahasan NTP dan faktor pembentuknya menggunakan data Patanas,
sementara kinerja dan perspektif kesejahteraan buruh tani menggunakan
Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

• Di Lampung, rataan NTP adalah 83,52

pendekatan analisis kebijakan berdasarkan ulasan dan sintesis penelitian
kebijakan yang ada.
Analisis perkembangan NTP dan
faktor pembentuknya di enam propinsi
Patanas selama periode 1992−2001
memberikan gambaran (Tabel 9) sebagai
berikut:

dengan kisaran 71,80–95,60, cenderung fluktuatif dan menurun.
Pada tahun 2001, NTP relatif rendah
(81,40) terutama disebabkan oleh
meningkatnya indeks harga konsumsi
rumah tangga petani.

Tabel 8. Pendapatan berburuh (Rp/tahun) rumah tangga buruh tani pada
desa padi sawah di enam propinsi penelitian Panel Petani Nasional
(Patanas), 1995.
Jenis kegiatan berburuh

Propinsi

Pertanian
Jawa Tengah
Jawa Timur
Lampung
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara

701.444
557.267
368.423
344.109
946.831
208.483

Total

Nonpertanian

(81,70)
(56,50)
(79,40)
(90,20)
(94,60)
(69)

156.915
429.817
95.377
37.281
54.194
93.737

(18,30)
(43,50)
(20,60)
(9,80)
(5,40)
(310)

858.359
987.084
463.800
381.390
1.001.025
302.220

Angka dalam kurung menunjukkan proporsi dari jenis kegiatan berburuh.
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (1996, diolah).

Tabel 9. Indeks harga yang diterima (IT), indeks harga yang dibayar (IB),
dan nilai tukar petani (NTP) di enam propinsi Indonesia, 1992−
2001.
Indikator NTP

Uraian 1
1992

1994

1996

1998

2001

Lampung
IT
IB
NTP

121,80
135,50
89,90

174,30
182,30
95,61

160,80
207
77,68

307,90
428,60
71,84

261,40
321,20
81,38

Jawa Tengah
IT
IB
NTP

219
230,20
95,13

286,70
284,30
100,84

363,30
341,20
106,48

738,60
755
97,83

407,30
393,30
103,56

Jawa Timur
IT
IB
NTP

200,50
207,90
96,44

279,40
264,60
105,59

341,90
324,40
105,39

818,90
743,80
110,10

509
441,60
115,26

Nusa Tenggara Barat
IT
150
IB
150,40
NTP
99,73

197
185,50
106,20

243,30
216,60
112,33

740,50
500
148,10

381,50
443,50
86,02

Sulawesi Utara
IT
IB
NTP

132,40
133,20
99,40

157,90
161,30
97,89

197,50
198,60
99,45

437,60
623,90
70,14

980,50
434,30
225,77

Sulawesi Selatan
IT
IB
NTP

154,80
151,50
102,18

203,60
185,90
109,52

268,90
233,80
115,01

600,40
479,60
125,19

423
394,70
107,17

1

NTP = (IT : IB) x 100%.
Sumber: Badan Pusat Statistik (1996b; 2002b).

97

• Di Jawa Tengah, rataan NTP adalah
99,63, dengan kisaran 90,50–104,80,
cenderung stabil dan sedikit meningkat. Pada tahun 2001, NTP di
Jawa Tengah mencapai 103,60 yang
mengindikasikan indeks harga yang
diterima petani secara relatif lebih
baik, terutama indeks harga tanaman
pangan dan perkebunan.
• Di Jawa Timur, rataan NTP selama
periode 1992−2001 mencapai 105,30,
dengan kisaran 93,40−115,30, dan
meningkat secara konsisten. Pada
tahun 2001, NTP relatif tinggi
(115,30) karena adanya perbaikan
indeks harga yang diterima petani,
khususnya untuk komoditas tanaman
pangan.
• Di NTB, rataan NTP mencapai 109,10,
dengan kisaran 84,60–148,10, cenderung fluktuatif dan menurun. Pada
tahun 2001, NTP di NTB mencapai 86
yang mengindikasikan penurunan
daya beli petani karena meningkatnya
indeks harga yang dibayar petani
untuk kedua komponen utamanya,
yaitu biaya produksi dan konsumsi
rumah tangga petani.
• Di Sulawesi Utara, rataan NTP mencapai 115,90, dengan kisaran 83,50–
225,80, dan cenderung meningkat
secara konsisten dari waktu ke waktu.
Pada tahun 2001, NTP di Sulawesi
Utara mencapai angka tertinggi
(225,80) yang menunjukkan daya
beli petani relatif tinggi, khususnya terhadap barang-barang untuk
mendukung kegiatan produksi dan
konsumsi rumah tangga. Hal ini
terutama disebabkan oleh meningkatnya indeks harga komoditas
perkebunan.
• Di Sulawesi Selatan, rataan NTP
selama periode 1992−2001 mencapai
110,80, dengan kisaran 101,20 – 125,20
dan cenderung menurun. Pada tahun
2001, NTP di Sulawesi Selatan mencapai 107,20, yakni mendekati nilai
rataan dengan posisi daya beli yang
memadai. Hal ini juga disebabkan
oleh meningkatnya indeks harga
yang diterima petani, khususnya
untuk komoditas perkebunan.
Perkembangan nilai tukar pekerja
(buruh tani) pada tahun 1985, 1989, dan
1995, dengan memanfaatkan dua basis
data indeks upah yang disusun BPS dan
Patanas, memberikan informasi yang

98

menarik (Djauhari et al. 2000). Bila
berpedoman pada indeks upah BPS, nilai
tukar pekerja di Jawa Barat dan Jawa Timur
dalam periode 1985−1989 mengalami
penurunan, namun pada periode selanjutnya meningkat. Sebaliknya dalam
tujuh tahun berikutnya (1989−1995), nilai
tukar pekerja berkembang cukup pesat
yang disebabkan oleh meningkatnya
indeks upah yang cukup besar relatif
terhadap harga barang-barang konsumsi.
Pemerintah berperan penting dalam
pengendalian harga pangan yang terjangkau masyarakat luas. Dalam situasi
krisis yang diindikasikan oleh pemutusan
hubungan kerja atau semakin terbatasnya
kesempatan kerja, kelangkaan dan
peningkatan harga kebutuhan pokok
masyarakat akan menurunkan tingkat
kesejahteraan buruh tani.
Hasil perhitungan nilai tukar pekerja
versi Patanas menunjukkan perkembangan yang berbeda. Pada periode
1985−1989, nilai tukar meningkat dan
pada periode selanjutnya (1989−1995)
menurun. Walaupun demikian, perhitungan nilai tukar pekerja untuk kedua
versi ini (BPS dan Patanas) tidak berbeda
nyata, kecuali untuk tahun 1995. Hal
tersebut disebabkan adanya perbedaan cakupan pengumpulan data upah,
serta penetapan pembobotan perolehan
pendapatan dari upah sektor pertanian
dan kegiatan di luar pertanian. Namun,
secara umum selama periode 1985−1995
kesejahteraan pekerja di wilayah pedesaan Jawa Barat dan Jawa Timur relatif
meningkat. Perkembangan tingkat upah
yang cukup pesat di Jawa Timur mengakibatkan nilai tukar pekerja (buruh
tani) lebih baik dibandingkan dengan di
Jawa Barat. Dalam upaya mempertahankan kesejahteraan petani dan pekerja
perlu terus diupayakan peningkatan
bagian harga yang diterima petani dan
pengendalian harga barang konsumsi
dan sarana produksi pada tingkat harga
yang wajar.

KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Sektor pertanian masih tetap merupakan
sumber kesempatan kerja dan berburuh
tani yang potensial. Upaya meningkatkan
produktivitas dan kesejahteraan buruh

tani perlu terus dilakukan antara lain
melalui perbaikan sistem sakap dan pengupahan, mobilitas dan informasi tenaga
kerja, serta pengembangan agroindustri
dan kesempatan kerja di luar sektor
pertanian. Tingkat upah bergantung pada
penawaran tenaga kerja, perkembangan
mekanisasi pertanian, dan pertumbuhan
kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Walaupun indeks upah absolut
meningkat, harga kebutuhan pokok
meningkat lebih cepat sehingga laju
pertumbuhan upah riil menjadi sangat
lambat. Pengembangan infrastruktur, pendidikan dan pembinaan keterampilan
tenaga kerja (khususnya wanita) sangat
penting agar mereka dapat bekerja secara
mandiri dan posisi tawarnya meningkat.
Perbaikan infrastruktur perlu dikomplemenkan dengan pembenahan struktur
dan efisiensi pemasaran sehingga daya
beli petani dan buruh tani dapat ditingkatkan.
Tingkat upah berdampak negatif
inelastis terhadap keuntungan dan
penawaran pada usaha tani padi. Elastisitas tenaga kerja terhadap produksi
padi adalah yang tertinggi (0,13) dibandingkan faktor produksi lainnya (<
0,04). Kontribusi tenaga kerja dinilai
menentukan kinerja usaha tani padi yang
bersifat padat tenaga kerja. Kelangkaan
tenaga kerja dan peningkatan upah
secara tidak terkendali perlu dicegah.
Sumber pendapatan dominan buruh
tani adalah berburuh (pertanian) dan
kegiatan nonpertanian. Proporsi pendapatan berburuh tani adalah 78,60%
dari total pendapatan berburuh, sedangkan total pendapatan berburuh adalah
44,80% dari pendapatan keluarga.
Sumbangan pendapatan dari kegiatan
nonpertanian mencapai 23,30%. Keberhasilan dalam mempertahankan tingkat
upah yang wajar dan membangun kesempatan dan aksesibilitas kegiatan di luar
pertanian memegang peranan penting
dalam peningkatan kesejahteraan buruh
tani.
Untuk meningkatkan kesejahteraan
petani dan buruh tani, perlu diupayakan
peningkatan bagian harga yang diterima
petani dan pengendalian harga barang
konsumsi dan sarana produksi. Bagi
rumah tangga buruh tani, di samping perlu
mempertahankan tingkat upah yang wajar,
juga diperlukan upaya yang bersifat
inklusif dan integratif dalam peningkatan
kesejahteraannya.

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 1996a. Statistik Upah
Buruh Tani di Pedesaan 1990−1995. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Kasryno, F. 1986. Supply of rice and demand
for fertilizer for rice farming in Indonesia.
Jurnal Agro Ekonomi 5(2): 27−42.

terhadap permintaan pupuk dan produksi
padi nasional. Jurnal Agro Ekonomi 16(1
dan 2): 31−41.

Badan Pusat Statistik. 1996b. Indikator Ekonomi
1992−1995. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Pasandaran, E., I W. Rusastra, and B. Rachman.
1990. Wage Rate, Employment and Welfare
in Rural Java. Paper Presented in Workshop
on Rural Income and Employment in
Indonesia. University of Wollongong, NSW,
Australia, 6−8 February 1990.

Sawit, M.H. 1985. Fungsi respons dan fungsi
permintaan tenaga kerja. Jurnal Agro Ekonomi 4(1): 1−10.

Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Indonesia
Tahun 1996−2000. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2002a. Statistik Upah
Buruh Tani di Pedesaan, 1996−2001. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2002b. Indikator Ekonomi
1996−2001. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. 1996. Bank Data Struktur Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan
Panel Petani Nasional. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.

Sidhu, S.S. and C.A. Baanante. 1979. Farm level
fertilizer demand for Mexican wheat varieties
in the Indian Punjab. Am. J. Agric. Econ.
61(1): 445−462.
Sugianto, T. 1982. The Relative Economic
Efficiency of Irrigated Rice Farms, West
Java, Indonesia. Ph.D. Thesis. University
of the Illinois at Urbana-Champign, USA.

Djauhari, A., W. Sudana, dan I W. Rusastra. 2000.
Kesempatan kerja, konvergensi tingkat
upah dan kesejahteraan petani di pedesaan
Jawa. Prosiding Perspektif Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi
Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. 2000. Bank Data
Tingkat Upah Usaha Tani Padi, Panel
Petani Nasional. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.

Sumaryanto dan I W. Rusastra. 2000. Struktur
penguasaan tanah dan hubungannya dengan
kesejahteraan petani. Prosiding Perspektif
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam
Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.

Erwidodo. 1990. Panel Data Analysis of Farm
Level Efficiency, Input Demand and Output
Supply of Rice Farming in West Java,
Indonesia. Ph.D. Thesis. Michigan State
University, USA.

Rachman, H.P.S. 1986. Pendugaan Fungsi
Keuntungan dan Analisis Efisiensi Ekonomi
Relatif Usaha Tani Padi Sawah (Studi
Beberapa Desa di Jawa Barat). Thesis
Magister Sain, Fakultas Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Wardana, P., Mulyadi, and C.T. Aragon. 2001.
Economic efficiency of rice farmers in a
rainfed lowland environment before and
during the financial crisis. Jurnal Agro
Ekonomi 19(1): 85−105.

Hutabarat, B. 1988. Analisis Elastisitas Produksi
terhadap Masukan pada Usaha Tani Padi di
Sulawesi Selatan. Prosiding Patanas:
Perubahan Ekonomi Pedesaan menuju
Struktur Ekonomi Berimbang (F. Kasryno,
A. Suryana, A. Djauhari, P. Simatupang, B.
Hutabarat, dan Chairil A. Rasahan (Ed.).
Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor.

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

Rusastra, I W. 1995. A Profit Function Approach in Estimating Input Demand, Output
Supply and Economic Efficiency for Rice
Farming in Indonesia. Ph.D Dissertation, UP
Los Banos, Philippines.

Yotopoulus, P.A., L.J. Lau, and W.L. Lin. 1976.
Microeconomic output supply and factor
demand function in the agriculture of the
Province of Taiwan. Am. J. Agric. Econ.
58(2): 333−340.

Rusastra, I W., R. Kustiari, dan E. Pasandaran.
1997. Dampak penghapusan subsidi pupuk

99