Perjanjian Jual Beli Barang Secara Internasional Menurut UPICCs Dan CISG Serta KUH Perdata

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegiatan jual beli adalah kegiatan yang secara universal atau umum
ditemukan pada setiap dan seluruh bagian dunia ini, dan hal ini sudah berlangsung
sejak zaman dahulu kala. Meskipun kegiatan jual beli ini boleh dikatakan merupakan
kegiatan atau transaksi yang paling lama dilakukan oleh umat manusia yang dimulai
dengan aksi barter, dimana para pihak saling menyerahkan benda satu kepada pihak
yang lainnya, namun ternyata pengaturan mengenai transaksi jual beli ini tidaklah
sesederhana yang diperkirakan.
Munculnya persoalan hukum dalam kegiatan jual beli sebenarnya sudah ada
dan lahir mulai sejak para pihak melakukan negosiasi hingga terjadi kesepakatan
dagang, yang berlanjut pada pelaksanaan penyerahan benda yang diperjualbelikan,
peralihan risiko atas benda dan hak milik atas benda yang diperjualbelikan, metode,
dan tata cara pembayaran yang paling aman bagi penjual, masalah cidera janji atau
wanprestasi dan ganti rugi sebagai akibat tidak dilaksanakannya kesepakatan yang
sudah dicapai, sampai dengan persoalan interpretasi atau penafsiran dan itikad baik
dalam melaksanakan kesepakatan yang sudah dibuat. Kompleksitas dari kegiatan jual

beli menjadi bertambah manakala kegiatan ini kemudian meningkat menjadi kegiatan

1

Universitas Sumatera Utara

2

jual beli secara internasional, atau yang dilaksanakan secara lintas negara dan sering
disebut dengan perdagangan internasional.1
Dalam transaksi perdagangan internasional ini tidak lepas dari suatu
perjanjian/kontrak. Perjanjian atau kontrak ini menjadi jembatan pengaturan dari
suatu aktivitas komersial.2 Karena konteksnya perdagangan internasional, maka
kontrak yang digunakan adalah kontrak dagang internasional. Kontrak dagang
internasional ini mencakup kontrak jual beli barang, jasa (contohnya: arsitektural,
atau jasa telekomunikasi), perjanjian lisensi paten dan perjanjian lisensi Hak
Kekayaan Intelektual lainnya, joint ventures, dan perjanjian waralaba.3 Dalam tulisan
ini, penelitian ini difokuskan pada kontrak jual beli barang.
Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional
bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem hukum

nasional, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang
bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Perbedaan
sistem hukum memberikan pengaruh yang signifikan kepada masing-masing negara
dalam pembentukan hukum (undang-undang) yang mengatur mengenai kontrak baik

1

Gunawan Widjaja, “Aspek Hukum Kontrak Dagang Internasional: Analisis Yuridis Terhadap
Kontrak Jual Beli Internasional”, Jurnal Hukum Bisnis Vol.27 No.4, 2008, Hal. 23
2

Ricardo Simanjuntak, “Asas-asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang
Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 4, 2008, Hal. 14
3

Angga
Handian
Putra,
“Konvensi
Jual

Beli
http://mhs.blog.ui.ac.id/angga.handian/2009/07/05/konvensi-jual-beli-internasional/,
Minggu, Tanggal 19 Pebruari 2012.

Internasional”,
diakses Hari

Universitas Sumatera Utara

3

dari aspek formil maupun materiilnya. Hukum kontrak pada kenyataanya sangat
beragam karena adanya perbedaan sistem hukum di masing-masing negara tersebut.4
Pada umumnya masing-masing negara yang terkait dalam transaksi
perdagangan internasional menginginkan agar kontrak yang mereka buat tunduk pada
hukum di Negara mereka,5 dimana setiap negara memiliki peraturan mengenai
kontrak yang berbeda-beda.
Permasalahan lainnya yang timbul karena transaksi perdagangan internasional
adalah:6
1.


2.
3.

4.

5.

6.

Penjual tidak mengirimkan barang kepada pembeli tanpa adanya jaminan
pembayaran, dan pembeli tidak membayar terlebih dahulu sampai ia memeriksa
kualitas barang yang dibelinya, atau setidak-tidaknya ia tahu bahwa barang
tersebut telah dikapalkan.
Salah satu pihak harus mengatasi masalah mata uang asing.
Hampir selalu terjadi bahwa para pihak memiliki bahasa yang berbeda sehingga
dapat menimbulkan salah pengertian mengenai prakondisi atau persyaratan dasar
transaksi dagang yang dilakukan.
Transaksi dagang internasional berhadapan dengan berbagai peraturan
pemerintah (yang membedakannya dengan transaksi bisnis domestik), dan sering

kali transaksi tersebut tunduk pada peraturan lebih dari satu negara.
Transaksi dagang internasional tunduk pada lebih dari sistem hukum yang
berlainan dan kebiasaan yang berbeda sehingga dapat menimbulkan kesulitan
ketika terjadi perselisihan. Hukum atau kebiasaan yang mana yang dipakai untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut.
Apabila perselisihan timbul atau jika kontrak dilanggar, penentuan dan
pelaksanaan kewajiban kontrak lebih sulit jika pengadilan asing dan aturanaturan asing ikut terkait didalamnya.
4

Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama,
2008), Hal. 29
5

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan
Imbal Beli), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), Hal.1
6

Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), Hal. 92

Universitas Sumatera Utara


4

Berbagai permasalahan tersebut diatas telah dicoba untuk diatasi dengan
adanya unifikasi dan harmonisasi aturan dan praktik melalui berbagai upaya,
diantaranya yaitu:7
a. Penciptaan konvensi-konvensi yang disetujui berbagai negara dan diterapkan
dalam situasi-situasi tertentu,
b. Penyusunan model law atau model hukum yang diusulkan berbagai organisasi
internasional yang dimasukkan ke dalam hukum nasional masing-masing
negara, dan
c. Ketentuan-ketentuan dari kebiasaan yang berlaku di dalam praktik yang
dimasukkan ke dalam perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pihak
dalam transaksi dagang internasional.
Unifikasi dan harmonisasi merupakan dua kata yang sering sekali dipadukan
dalam penggunaannya, namun keduanya memiliki makna yang berlainan.
Kastely mengatakan unifikasi berarti “to subject people around the world to a single
set of rules and principles and to have them understand and conform to these rules
and principles as they would to the laws of their own communities”. Menurut
Kastely, bahwa unifikasi itu merupakan kesatuan aturan atau seperti yang di katakan

“Single set” yang mana ini diperlukan agar pemahaman setiap subjek hukum yang
berbeda prinsip dan sistem dapat di samakan, atau minimal meminimalisir perbedaan
pandangan masing-masing.8 Menurut Komar Kantaatmadja, mengatakan bahwa
Harmonisasi hukum dimaksud sebagai “suatu upaya yang dilaksanakan melalui
proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota memiliki prinsip

7

Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, Ibid, Hal. 93

8

Jun, “Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Internasional”,
http://juninternationallaw.blogspot.com/, diakses Hari Senin, Tanggal 5 November 2012

Universitas Sumatera Utara

5

serta pengaturan yang sama mengenai masalah yang serupa di masing-masing

jurisdiksinya”.9 Goldring menganggap harmonisasi menjadi proses dimana “efek dari
jenis transaksi dalam satu sistem hukum yang dibawa sedekat mungkin dengan efek
dari transaksi yang sama berdasarkan hukum negara lain”. Oleh karena harmonisasi
tidak hanya mentolerir perbedaan antara unsur-unsur individu (undang-undang) yang
diselaraskan, tetapi juga perbedaan dalam penerapan ukuran harmonisasi.10
Tujuan dari diperlukannya kerjasama regional atau internasional adalah untuk
mengharmonisasikan dan unifikasi hukum akibat dari adanya perbedaan sistem
hukum pada setiap negara yang warga negaranya melakukan perdagangan
internasional. Pada mulanya upaya harmonisasi ini dilakukan oleh The International
Institute for the Unification of Privat Law (UNIDROIT). UNIDROIT adalah sebuah
organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. Lembaga UNIDROIT ini
dibentuk sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB
bubar, UNIDROIT dibentuk pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian
multilateral yakni Statuta UNIDROIT (The UNIDROIT Statute). Lembaga
UNIDROIT ini berkedudukan di kota Roma dan dibiayai oleh lebih 50 negara yang

9

Eman Suparman, “Harmonisasi Hukum di Era Global Lewat Nasionalisasi Kaidah
Transnasional”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung, Vol.XI, November 2009, Hal.245

10

Philip James Osborne, “Unification or Harmonisation: A Critical Analysis of the United
Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods 1980”,
http://www.cisg.law.pace.edu/cisg/biblio/osborne.html, diakses Hari Selasa, Tanggal 6 November
2012.

Universitas Sumatera Utara

6

menginginkan perlunya unifikasi hukum dalam jual beli internasional.11 UNIDROIT
Principles of International Commercial Contracts (selanjutnya disebut UPICCs) yang
mengatur tentang Kontrak Komersial Internasional, pertama kali diadopsi pada tahun
1994 dan direvisi pada tahun 2004, banyak digunakan dalam praktek kontrak dan
arbitrase internasional serta oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Arbitrase
Internasional untuk menafsirkan dan melengkapi baik kontrak ketentuan dan hukum
nasional yang relevan. Perubahan terakhir diadopsi pada tahun 2010 dan disetujui
oleh Dewan Pengurus UNIDROIT pada Mei 2010.
Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Prinsip-prinsip UNIDROIT

melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law
(Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata), dimana sejak
tanggal 2 Januari 2009 Indonesia resmi menjadi anggota ke 63 dalam UNIDROIT
melalui instrument aksesi pada Lembaga UNDROIT,12 oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa sebagai anggota UNIDROIT, Indonesia seharusnya mengikuti dan
menjalankan prinsip-prinsip yang diatur oleh UNIDROIT.
Peraturan Presiden (selanjutnya disebut dengan Perpres) tersebut telah
membuka lebar pintu harmonisasi hukum bagi Indonesia dalam konteks hukum
kontrak internasional untuk menghilangkan hambatan pelaksanaan perdagangan
11

Victor Purba, Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Konvensi Vienna 1980), Disertasi
Doktor Universitas Indonesia, (Jakarta, 2002), Hal. 1
12

DetikNews, “Dubes RI Serahkan Letter of Appointment kepada UNIDROIT”,
http://news.detik.com/read/2009/08/20/040137/118602910/dubes-ri-serahkan-letter-of-appointmentkepada-unidroit.html, diakses Hari Jumat, Tanggal 9 Maret 2012.

Universitas Sumatera Utara


7

internasional. Sudah sepatutnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam UPICCs bisa
dijadikan sebuah sistem hukum tulen yang mengatur secara lebih lengkap, terstruktur,
fleksibel, dan mengakomodir perkembangan perdagangan internasional.
Dimana hal-hal yang dapat dijadikan urgensi bagi Indonesia dari UPICCs
adalah:13
1.

2.

KUHPerdata sama sekali tidak mengatur kontrak baku padahal dalam kegiatan
dagang baik dalam lingkup nasional maupun internasional kontrak semacam ini
lazim digunakan. Dalam UPICCs, kontrak baku telah diatur secara proporsional
yaitu berkaitan dengan perlindungan pihak yang lemah dalam Syarat Baku
sebagaimana diatur dalam Pasal 2.1.19 sampai Pasal 2.1.22 UPICCs. Disamping
itu, UPICCs juga memuat aturan mengenai prinsip Contra Proferentem dalam
penafsiran kontrak baku. UPICCs mengatur prinsip ini dalam 8 (delapan) Pasal
yaitu Pasal 4.1 sampai 4.8 UPICCs. Pada prinsipnya, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 4.6 UPICCs, jika syarat yang diajukan oleh salah satu pihak tidak
jelas maka penafsiran berlawanan dengan pihak tersebut harus didahulukan.
KUHPerdata tidak mengatur keadaan apabila kontrak tidak terlaksana akibat
perubahan keadaan yang fundamental, misalnya krisis ekonomi yang terjadi
diIndonesia beberapa tahun silam telah menyebabkan banyak kontrak tidak dapat
diselesaikan. Dimana akibat hukum bila terjadi kesulitan (hardship) dapat dilihat
dalam Pasal 6.2.3 UPICCs.
Adopsi ketentuan yang termuat dalam UPICCs tentunya membawa Indonesia

kepada proses harmonisasi hukum kontrak dalam konteks internasional sehingga
tercipta suatu kepastian hukum guna mendukung partisipasi dan peningkatan
perdagangan internasional secara optimal. Dalam hal ini, perbedaan sistem hukum
dari masing-masing negara tentunya tidak lagi menjadi penghalang bagi perdagangan

13

“Argumen Hukum Kontrak Internasional”, ml.scribd.com/doc/.../Argumen-HukumKontrak-Internasional-1, diakses Hari Senin, Tanggal 5 November 2012, Hal.1

Universitas Sumatera Utara

8

internasional. Dengan adanya kepastian hukum tersebut kepentingan nasional pun
akan lebih terlindungi.14
Hal-hal yang mendorong pentingnya harmonisasi dan unifikasi hukum,
terutama adalah untuk menyamakan suatu persepsi atau titik pandang yang
memudahkan para pihak memenuhi kebutuhan hukum. Akibat dari perbedaan sistem
hukum dari berbagai negara yang pada umumnya menganut Common Law dan Civil
Law, sulit menyelesaikan masalah dalam perdagangan internasional. Menyusul
munculnya berbagai masalah, dan didasarkan pada usul dan pengalaman dari
berbagai Negara.15
Sebelum adanya harmonisasi dan unifikasi terdapat berbagai masalah hukum
terkait dengan kegiatan perdagangan internasional, yaitu masalah kompetensi
lembaga hukum yang berwenang atau yurisdiksi, masalah hukum mana yang akan
dipilih, dan masalah implementasi atau pelaksanaan putusan pengadilan asing.16
Dengan memperhatikan berbagai hal tersebut dan hambatan yang dialami dalam
praktek hukum, maka harmonisasi dan unifikasi diwujudkan dengan berbagai
konvensi internasional antar Negara-negara.
Pada tanggal 10 Maret sampai dengan 11 April 1980, diselenggarakan
konferensi oleh Perserikatan Bangssa-Bangsa (PBB) yang diprakarsai oleh The
United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Konferensi

14

“Argumen Hukum Kontrak Internasional”, Ibid.
Victor Purba, Op.cit, Hal.1-2
16
Ridwan Khairandy, “Tiga Problema Hukum dalam Transasksi Bisnis Internasional di Era
Globalisasi Ekonomi”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 4, 2008, Hal. 39
15

Universitas Sumatera Utara

9

ini berhasil menghasilkan kesepakatan mengenai hukum materiil yang mengatur
perjanjian jual beli (barang) internasional yaitu Contracts for the International Sales
of Goods, yang sering disingkat juga dengan singkatan CISG. Selain itu konvensi ini
juga sering disebut dengan Konvensi Jual Beli 1980 (Konvensi Vienna 1980).
Konvensi Vienna 1980 ini berlainan dengan konvensi sebelumnya, dimana konvensi
ini berlaku untuk kontrak jual beli barang antara para pihak yang mempunyai tempat
usaha di negara yang berlainan.17 Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaanperbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi
perdagangan internasional dan CISG mengkhususkan pada kontrak jual beli
internasional.
Berdasarkan keterangan Cyril R. Emery, Librarian UNCITRAL Law Library
dari Vienna International Centre, dikatakan bahwa Indonesia belum meratifikasi
Konvensi CISG.18 Indonesia sebagai salah satu negara yang tercantum sebagai negara
yang meratifikasi Penegakan dan Pengakuan Putusan Arbitrase Asing dari
UNCITRAL pada tanggal 7 Oktober 1981 dan berlaku pada tanggal 5 Januari 1982,
Indonesia meratifikasi konvensi ini untuk pengakuan dan penegakan penghargaan
dilakukan di wilayah negara lain dan Indonesia menerapkan konvensi untuk

17

Victor Purba, Op.cit, Hal. 29
Dheswita
Email,
Need
Information
about
http://www.uncitral.org/uncitral/contact_us.html, diakses Hari Kamis, Tgl. 1 November 2012.
18

CISG,

Universitas Sumatera Utara

10

perbedaan yang timbul dari hubungan hukum, baik kontrak atau tidak, yang dianggap
komersial di bawah hukum nasional.19
Dengan status CISG sebagai hukum dagang internasional yang diterima
secara luas di negara-negara di dunia secara internasional, maka perlunya urgensi
untuk meratifikasi CISG ini oleh Pemerintah Indonesia. Dimana sampai saat ini
Pemerintah Indonesia belum meratifikasi CISG, hal ini dilatarbelakangi oleh aktivitas
perdagangan di wilayah ASEAN (Association of South East Asia Nations) di kawasan
AFTA (ASEAN Free Trade Area), dimana Indonesia merupakan salah satu negara
anggota dari ASEAN, dikatakan bahwa kegiatan perdagangan hanya mencapai 22%
dari total kegiatan perdagangan di kawasan AFTA, sementara 78% kegiatan dagang
dilakukan dengan patner/rekan dagang yang berasal dari negara-negara diluar AFTA.
Dengan rendahnya aktivitas perdagangan dikalangan sesama AFTA mengakibatkan
tidak adanya urgensi dari pemerintah negera-negara AFTA untuk menyeragamkan
aturan jual beli barang internasional. Dengan kata lain, tidak ada urgensi untuk
meratifikasi CISG, kecuali di Singapura. Keadaan ini bertolak belakang dengan
negara-negara Office for Official Publications of the European Communities (EU)
dimana aktivitas perdagangan di wilayah EU justru lebih tinggi daripada perdagangan

19

UNCITRAL, 1958-Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards,
http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/NYConvention_status.html, diakses Hari
Selasa, Tanggal 7 Agustus 2012.

Universitas Sumatera Utara

11

yang dilakukan pedagang dari negara diluar anggota EU. Hal ini yang dapat juga
menjadi alasan Pemerintah Indonesia belum merasa perlu untuk meratifikasi CISG. 20
Alasan lain Indonesia tidak meratifikasi CISG adalah dalam Pasal1 (1) ayat
(1) butir (b) CISG akan membawa kejelasan kepada penentuan mana hukum berlaku
jika kedua belah pihak berasal dari negara yang meratifikasi CISG maka CISG
berlaku tetapi jika tidak, maka CISG tidak berlaku. Menciptakan banyak
ketidakpastian dan kebingungan besar sehubungan dengan hukum yang berlaku dan
juga mendorong belanja forum. bahwa pilihan klausul hukum yang menggabungkan
CISG dalam kontrak dengan kata-kata seperti “meskipun pemesanan Singapura”
implisit mengecualikan Pasal 1 dan 95 CISG. Lebih baik lagi, pilihan klausul hukum
dapat disusun dengan cara yang secara eksplisit mengecualikan Pasal 1 dan 95 CISG.
Namun ada akan kesulitan lainnya. Mungkin ada ketentuan lain dari CISG yang dapat
menyebabkan hasil yang aneh ketika konvensi diterapkan sebagai aturan dimasukkan
daripada hukum nasional atau hukum perjanjian. Misalnya kebijaksanaan untuk
mengecualikan ketentuan dalam Pasal 89-101 CISG yang menangani pemesanan,
waktu datang dan lain-lain, berlaku sejak CISG tidak diterapkan sebagai konvensi
atau hukum domestik. Kesulitan lainnya adalah bahwa CISG dimaksudkan untuk
dilengkapi dengan hukum domestik nasional. Para pihak harus memilih hukum
nasional. Ketika suatu negara memiliki status konvensi internasional yang dibuat

20

Afifah Kusumadara, “Pentingnya Ratifikasi UNCISG oleh Pemerintah Indonesia”, Jurnal
Forum Penelitian No.2, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Desember 2006, Hal. 10

Universitas Sumatera Utara

12

bagian dari hukum suatu Negara, CISG lebih diutamakan daripada hukum
domestik.21
Untuk menyatakan masalah dalam hal hukum perdata, para pihak dapat
dengan kontrak mereka mengecualikan ketentuan hukum nasional yang berlaku
bahwa para pihak dapat memilih tempat pengiriman ditentukan oleh CISG bukan oleh
hukum nasional, tetapi mereka mungkin tidak mengecualikan ketentuan-ketentuan
hukum nasional yang mengutamakan ketertiban umum (misalnya ketentuan wajib
dari hukum nasional yang membutuhkan menulis untuk keabsahan modifikasi
kontrak). Pasal 29 CISG menyatakan bahwa kontrak dapat diubah tanpa modifikasi
yang secara tertulis akan menimpa ketentuan hukum nasional yang bertentangan.
Namun, Pasal 29 yang sama jika itu bukan bagian dari konvensi internasional dan
bukan bagian dari hukum nasional, tetapi hanyalah sebuah istilah kontrak yang dipilih
oleh para pihak tidak dapat mengesampingkan ketentuan wajib hukum nasional yang
memerlukan modifikasi untuk dibuat secara tertulis. Oleh karena itu CISG ketika
dimasukkan ke kontrak sebagai istilah kontrak mungkin tidak memiliki efek yang
sama seperti CISG diterapkan sebagai perjanjian atau sebagai bagian dari hukum
nasional. Ini karena membawa ukuran tertentu ketidakpastian.
Ada begitu banyak risiko dan ketidakpastian yang terkait dengan memilih
CISG sebagai hukum yang mengatur meskipun pemesanan Singapura bahwa saya
pasti tidak akan merekomendasikan pilihan semacam pihak. Oleh karena itu, dengan
21

Gary F. Bell, “Why Singapore Should Withdraw Its (Article 95) Reservation to the
UNCISG”, http://www.cisg.law.pace.edu/cisg/biblio/bell2.html, diakses Hari Selasa, Tanggal 1 Januari
2013.

Universitas Sumatera Utara

13

tidak menarik reservasi nya, Singapura efektif mengurangi otonomi pihak mereka
yang tidak dapat secara efektif dan aman memilih CISG sebagai hukum mereka dan
karena itu mereka memiliki satu pilihan lebih sedikit. Jika mereka ingin kontrak
mereka diatur oleh CISG mereka harus menghindari hukum Singapura dan Singapura
sebagai yurisdiksi. Singapura adalah satu-satunya negara di Asosiasi Bangsa Asia
Tenggara (ASEAN) yang menjadi negara anggota dalam CISG. Fakta bahwa
Singapura telah membuat reservasi di atas berarti bahwa CISG tidak dapat digunakan
dalam ASEAN sehingga tidak dapat digunakan dengan memilih hukum Singapura
antara dua negara yang bukan anggota CISG (misalnya Thailand dan Indonesia yang
melakukan kontrak) atau antara Singapura dan negara anggota ASEAN lainnya.
Singapura melihat perlunya undang-undang yang seragam dalam ASEAN untuk
memfasilitasi perdagangan. Singapura harus memberikan kesempatan bagi para pihak
dalam ASEAN untuk menggunakan CISG dengan memilih hukum Singapura. Ini
tidak memaksakan CISG sebagai pihak selalu dapat mengecualikan konvensi, tetapi
memungkinkan mereka untuk menggunakan dan pengalaman CISG dalam konteks
ASEAN.22
Alasan lainnya Indonesia tidak meratifikasi CISG adalah bahwa CISG
bukanlah perjanjian yang komprehensif. Itu tidak berhubungan sendiri dengan
keabsahan kontrak yang mengatakan dengan isu-isu seperti ilegalitas, penipuan,
keliru berkaitan dengan kontrak. Menurut Arthur Rossett itu adalah menggunakan

22

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

14

“bahasa yang pertama-tama adalah asing berkaitan dengan hukum kontrak dan karena
itu tidak memiliki arti yang jelas dan, kedua, terlalu luas dan eksak sehingga
menyebabkan ketidakpastian”. Oleh karena itu, CISG mendivestasikan pembeli hak
legislatifnya menyerap berdasarkan hukum nasional untuk menolak barang ketika
mereka tidak cocok dengan kuantitas atau kualitas. Tubuh perdagangan India dan
konselor hukum mereka telah menemukan kesalahan dalam CISG aturan
mengkhawatirkan karena bahasa samar-samar dari CISG dan pengantar gagasan
“pelanggaran mendasar”. Demikian pula, dalam Pasal 8 dari CISG, tindakan itu
rentan terhadap keganjilan. Klausul maksud menjemput dalam penilaian fungsi
representasi flouting nilai asli. Selain itu, CISG membangun situasi yang lebih
membingungkan dalam segi itikad baik. CISG benar-benar diam tentang penjelasan
itikad baik, apakah itu itikad baik sehubungan dengan sikap para pihak atau yang
ditunjukkannya terhadap transaksi wajar. Dalam CISG, Pasal 7 (2), yang biasanya
disebut sebagai kesenjangan penyediaan, bertindak sebagai kekacauan karena lagi itu
membawa kita ke tur medan acak dan karena itu sangat berprasangka sesuai keadaan.
Kata-kata dalam menggunakan prinsip-prinsip umum membuat ketentuan CISG
banyak samar-samar.23
Dari fakta yang menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia merasa belum
perlu meratifikasi CISG, akan tetapi kenyataan dilapangan Indonesia membutuhkan
ratifikasi CISG. Dimana di Indonesia belum ada pengaturan khusus yang mengatur
23

India
Law
Jurnal,
“Why
India
Should
Opt
For
CISG”
http://indialawjournal.com/volume4/issue_3/article_5.html, diakses Hari Selasa, Tanggal 1 Januari
2013.

Universitas Sumatera Utara

15

tentang jual beli internasional, tampak bahwa ketentuan-ketentuan jual beli dalam
pasal 1457-1540 KUHPerdata Buku III Bab V memang difokuskan pada ketentuan
jual beli domestik, bukan internasional. Tidak ada pembedaan pengaturan antara jual
beli yang bersifat commercial transaction dan yang bersifat consumer transaction,
serta dalam KUHPerdata tidak mengatur penggunaan international trade usage atau
hukum kebiasaan dagang internasional dan tidak mengatur penggunaan aturan hukum
perdata internasional untuk memecahkan masalah yang muncul dari kontrak jual beli
internasional. Pasal-pasal dalam KUHPerdata juga tidak spesifik mengatur
pengangkutan atas barang yang diperjualbelikan para pihak. Sedang masalah
pengangkutan barang yang memang sangat umum terjadi dalam jual beli
internasional ada diatur dalam CISG. Sehingga CISG dianggap penting untuk
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia guna kepastian hukum dalam melakukan
kegiatan jual beli internasional.24
Pembentukan suatu konvensi internasional pada dasarnya bertujuan agar
terciptanya suatu harmonisasi dan unifikasi hukum atas aturan-aturan dalam
perdagangan internasional. Seperti halnya lembaga UNIDROIT, Konvensi CISG pun
berupaya menciptakan suatu unifikasi agar perbedaan hukum nasional tidak menjadi
rintangan atau kendala bagi para pihak pembuat perjanjian dalam melakukan
transaksi perdagangan internasional.

24

Afifah Kusumadara, Ibid

Universitas Sumatera Utara

16

Dengan berlakunya beberapa konvensi internasional mengenai jual beli
internasional, diperlukan suatu pembaharuan hukum kontrak dari negara peserta
dengan konvensi-konvensi tersebut. Menurut Sudargo Gautama bahwa “pembaharuan
dari bidang hukum kontrak (termasuk jual beli) harus diselenggarakan sesuai dengan
syarat-syarat dan kebutuhan lalu lintas perdagangan internasional”.25
Kecenderungan unifikasi dan harmonisasi hukum sangat potensial mengingat
upaya pembangunan hukum, dilakukan secara serentak diberbagai negara. Dengan
demikian melalui intensitas transaksi dagang dan pembaharuan hukum, akan timbul
lex mercatoria atau hukum komersial melalui kontrak, penyelesaian perselisihan,
maupun pembentukan hukum. Pada hukum kebiasaan internasional yang berkembang
dalam praktik dan telah diadopsi kedalam konvensi internasional, dapat dikategorikan
kedalam lex mercatoria.26
Kitab

Undang-undang

Hukum

Perdata

(selanjutnya

disebut

dengan

KUHPerdata) merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk Pemerintah
Hindia Belanda, yang diundangkan dengan maklumat tanggal 30 April 1847, Stb.
1847, Nomor 23, sedangkan di Indonesia diumumkan dalam Stb. 1848. Berlakunya
KUHPerdata berdasarkan pada asas konkordasi.27 Ketentuan hukum yang mengatur
tentang Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang terdiri atas 18 bab
25

Sudargo Gautama, Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional,
(Jakarta: Alumni, 1978), Hal 50
26

Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT (Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan
Penyelesaian Bisnis Internasional), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Hal.9
27

Salim dan dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU),
(Mataram: Sinar Grafika, 2006), Hal.3

Universitas Sumatera Utara

17

dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata. Dan
masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian. Beberapa hal yang diatur didalam
Buku III KUHPerdata, meliputi:
1) Perikatan pada umumnya, diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan 1312
KUHPerdata.
2) Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, diatur dalam Pasal 1313 sampai dengan
1351 KUHPerdata.
3) Jual beli, diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan 1540 KUHPerdata.
4) Persetujuan untuk melakukan pekarjaan, diatur dalam Pasal 1601 sampai dengan
1617 KUHPerdata.
5) Bunga tetap atau abadi, diatur dalam Pasal 1770 sampai dengan 1773
KUHPerdata.
Selain KUHPerdata, di Indonesia juga terdapat peraturan tertulis di bidang
Hukum Perdata Internasional (HPI) namun dinilai tidak memadai lagi. Pasalnya,
Indonesia masih menggunakan tiga pasal lama warisan Belanda, yaitu Pasal 16, Pasal
17, dan Pasal 18 Algemene Bepalingen (AB).
Pasal 16 AB, menyatakan bahwa “ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang
kedudukan hukum dan kewenangan individu bertindak tetap mengikat warga negara
Indonesia walaupun berada di luar negeri”. Pasal ini dikenal dengan asas personal
(lex rei sitae) atau statuta personalia.

Universitas Sumatera Utara

18

Pasal 17 AB, menyatakan bahwa “mengenai benda tetap (tidak bergerak) berlaku
hukum dari negara tempat benda itu terletak”. Pasal 17 AB dikenal sebagai asas
hukum setempat (lex situs) yang disebut juga statuta realita.
Pasal 18 AB, menyatakan bahwa “bentuk suatu tindakan hukum mengikuti bentuk
hukum yang ditentukan oleh hukum negara atau tempat dilakukan itu”. Asas dari
pasal 18 AB ini dikenal sebagai asas locus regit actus yang disebut juga statuta mixta.
Sementara itu, masih adanya aktivitas hukum warga negara Indonesia yang
bersentuhan dengan warga negara asing, seperti jual beli barang secara internasional.
Dosen Hukum Perdata Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI),
Mutiara Hikmah mengatakan peraturan tertulis HPI perlu guna kepastian hukum dan
kepentingan hukum nasional. Kepala Seksi Harmonisasi Perundang-undangan Bidang
Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Surdiyanto mengatakan bahwa
Kementerian Hukum dan HAM sudah menyadari kebutuhan itu. Bentuk perhatian
yang dilakukan adalah mengkaji konvensi mana yang dibutuhkan dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan Indonesia. Surdiyanto menegaskan bahwa peraturan
HPI harus tetap meratifikasi sebuah konvensi terlebih dahulu. Pasalnya, unsur HPI
telah melibatkan warga negara asing, dimana harus ada ukuran perlindungan untuk
warga negara Indonesia dan asing. Pengajar Hukum Perdata Internasional FHUI,
Mutiara Hikmah pun meluruskan bahwa HPI bukanlah sebuah konvensi, tetapi

Universitas Sumatera Utara

19

sebuah produk hukum nasional yang dibuat orang Indonesia untuk melindungi
kepentingan nasionalnya.28
Penelitian ini membatasi terhadap KUHPerdata pada objek ketentuan
beberapa prinsip Hukum Kontrak pada umumnya dari Buku III Bab II dari Pasal 1313
sampai dengan Pasal 1351dan Ketentuan jual beli pada umumnya yang terdapat pada
Bab V Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Kemudian akan
dibandingkan dengan ketentuan kontrak pada UPICCs dan pada aturan CISG.
Untuk menghadapi perbedaan pilihan hukum ini, sebenarnya ada 3 teknik
yang dapat dilakukan:29
Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya.
Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur
hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka.
Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak
disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat
digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan
melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws30 adalah klausul pilihan
hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak
(internasional) yang mereka buat.
Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan
harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional.
Teknik ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya
konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.
28

Hukum Online, “Indonesia Butuh Kodifikasi Hukum Perdata Internasional”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt505175d29a703/indonesia-butuh-kodifikasi-hukumperdata-internasional, diakses Hari Sabtu, Tanggal 29 Desember 2012.
29

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Prinsip-prinsip dan Konsepsi Dasar),
(Bandung, 2004), Hal. 31
30

Klausul choice of law tidak wajib sifatnya untuk harus ada dalam kontrak-kontrak
internasional. Tetapi keberadaan klausul ini akan sedikit banyak membantu para pihak dalam
penyelesaian sengketanya (apabila sengketa memang timbul) di kemudian hari.

Universitas Sumatera Utara

20

Dalam kepustakaan, pilihan hukum dinamakan choice of law. Dimana jika
para pihak dalam suatu kontrak dagang internasional memilih hukum negara tertentu,
seperti umpamanya hukum Indonesia, maka kontrak dagang internasional itu akan
dilihat dari segi “kacamata hukum” serta dikuasai oleh hukum Indonesia.
Prinsip Hukum Kontrak Komersial Internasional yang dijadikan bahan
perbandingan, yaitu CISG dan UPICCs sebagai bagian dari lex mercatoria.31
Istilah lex mercatoria dapat dalam bahasa Inggris adalah the law of merchant.32
Dari makna yang disebut dapat dilihat bahwa sumber dari lex mercatoria adalah:
1.

Kebiasaan dalam praktek serta kepatuhan dalam perniagaan internasional yang
diikuti oleh pelaku-pelaku bisnis antar negara dan mengikatkan diri pada aturan
kebiasaan tersebut.

2.

Standar Kontrak termasuk ke dalam bagian dari kebiasaan sebagai sumber Lex
Mercatoria, asal memenuhi syarat tertentu :
a. Kontrak itu harus digunakan dalam praktek lingkungan masyarakat bisnis
Internasional.
b. Bahwa pada dasarnya para pihak tidak berkewajiban mengikatkan diri
terhadap kontrak baku tersebut.

3.

Putusan Arbitrase, yang dimaksud disini adalah putusan peradilan (tribunal)
yang memuat pertimbangan hukum yang diterima dalam lingkungan pelaku-

31

Huala Adolf, Op.cit, Hal. 6
Secara sederhana lex mercatoria dapat diberi makna sebagai sekumpulan prinsip dan aturan
kebiasaan yang dianut antara pelaku bisnis negara yang timbul secara spontan dari praktek perniagaan
yang tidak merujuk pada hukum nasional tertentu atau sistem hukum tertentu.
32

Universitas Sumatera Utara

21

pelaku bisnis internasional dan untuk itu diperlukan publikasi putusan arbitrase
tersebut.
4.

Prinsip Hukum Umum (Principle of Law) adalah prinsip hukum yang berlaku
di semua negara negara atau dalam sebagian besar sistem hukum negara di
dunia. Salah satu contoh dari prinsip umum adalah Prinsip Pacta Sunt
Servanda, berarti perjanjian yang dibuat pihak-pihak mengikat para pihak.

5.

Hukum bersifat seragam dalam bidang Komersial Internasional (Uniform
International Commercial Law). Mengenai hukum yang bersifat uniform atau
seragam yang mengatur perniagaan internasional dapat terjadi melalui
penerapan suatu Konvensi Internasional tentang perniagaan internasional atau
melalui produk dari suatu institusi tentang model law.
Keterkaitan prinsip-prinsip lex mercatoria dengan hukum nasional tidaklah

didasarkan pada keterkaitan formal yang sifatnya memaksa. Sebab dengan semakin
kuatnya desakan globalisasi atau transaksi kontraktual yang dilakukan saat ini
cenderung memiliki sifat internasional.
Terhadap ketentuan CISG, konvensi ini merupakan bagian dari perkembangan
lex mercatoria dimana CISG ini hanya mengatur aspek hukum kontrak khusus untuk
jual beli barang. Sehingga dimaksudkan untuk memberikan landasan yuridis dalam
rangka menjembatani perbedaan sistem hukum. Kajian ini difokuskan pada Hukum
Kontrak pada umumnya yang menjadi payung berbagai kontrak.
Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

Universitas Sumatera Utara

22

melepaskan sesuatu hal.33 Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan
timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu
prestasi. Sementara itu menurut M. Yahya Harahap, suatu perjanjian adalah “Suatu
hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan
hak pada suatu pihak yang memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada
pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.34 Menurut Rahman Hasanudin, kontrak
adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis.35 Sebagai perwujudan tertulis dari
perjanjian, kontrak adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undangundang (Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1233) yang dapat menimbulkan
perikatan. Perikatan adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu atau lebih
subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain.36
Dengan adanya perjanjian internasional telah menggariskan ketentuanketentuan hukum yang memaksa (mandatory law) yang harus di patuhi, antara lain
untuk melaksanakan berbagai standar yang seragam yang berlaku bagi Indonesia dan
negara lain. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu desakan internasional dibidang
hukum, karena aturan yang dimaksud menjadi aturan yang memaksa secara
internasional (international mandatory). Ferronica Taylor dalam bukunya Indonesia
Law and Society dengan subjudul The Transformations of Indonesian Commercial

33

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1996), Hal. 1
Syahmin, Op.cit. Hal. 2
35
Hasanudin Rahman, Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam
Merancang Kontrak Perorangan/Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), Hal.4
36
Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana, 2001), Hal.7
34

Universitas Sumatera Utara

23

Contracts and Legal Advises, menyarankan agar hukum kontrak Indonesia
memperhatikan UPICCs dan CISG.37
Persoalan yang semula hanya bersifat subtantif saja, yang hanya tekait dengan
keberlakuan hukum positif pada satu negara secara internasional, dihadapkan dengan
persoalan pilihan hukum, dan pilihan forum, guna mengatur mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para pihak sekaligus penyelesaian dari sengketa atau
perselisihan yang lahir dari perjanjian jual beli secara Internasional tersebut.
Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, dari sekian banyak persoalan hukum
yang dapat lahir dari suatu transaksi atau kontrak dagang internasional, khususnya
perjanjian jual beli internasional, penelitian ini mengangkat tentang perbandingan
hukum yang mengatur ketentuan jual beli internasional yang diatur dalam perjanjian,
antara UPICCs dengan konvensi CISG serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam
perjanjian jual beli internasional bila di tinjau dari ketentuan UPICCs,
konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

37

Taryana Soenandar, Op.cit. Hal.4

Universitas Sumatera Utara

24

2. Bagaimana suatu perjanjian jual beli internasional dapat dikatakan berlaku
bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ?
3. Bagaimana ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian
jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam
perjanjian jual beli internasional bila di tinjau dari ketentuan UPICCs,
konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Untuk mengetahui suatu perjanjian jual beli internasional dapat dikatakan
berlaku bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Untuk mengetahui ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya
Perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan, yaitu:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran
dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum perjanjian pada khususnya,
terutama mengenai perjanjian jual beli internasional.

Universitas Sumatera Utara

25

2. Secara Praktis
a. Diharapkan agar penulisan yang dilakukan dapat memberikan kontribusi
kepada pihak yang berkepentingan, khususnya kepada masyarakat.
b. Diharapkan dapat bermanfaat memberikan masukan kepada para pihak
yang melaksanakan perjanjian jual beli secara internasional, agar para
pihak mengetahui dan memahami hukum perjanjian baik dilihat dari
hukum perdata Indonesia maupun dari Konvensi Internasional yang telah
ada seperti pada prinsip-prinsip UNIDROIT dan konvensi CISG.
c. Diharapkan dapat bermanfaat dan dapat dijadikan masukan kepada
pemerintah sebagai upaya pembaharuan hukum perjanjian di indonesia
dalam hal pengaturan jual beli internasional.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah penulis lakukan, baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan,
khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sejauh yang
penulis ketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian
“Perjanjian Jual Beli Barang secara Internasional menurut UPICCs dan CISG
serta Kitab Undang-undang Hukum Perdata”.
Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan
sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu:
1.

Tesis Saudari Febrina Rezkitta Hasibuan (087005045), dengan judul: “Kebijakan
Di Bidang Perdagangan Yang Tanggap Terhadap Perubahan Makrostruktur

Universitas Sumatera Utara

26

Sistem Internasional (Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Afta ChinaIndonesia)”.
2.

Tesis Saudari Emmy Saragih, dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Pada PT. Prima Sarana Mandiri”.

3.

Tesis Saudari Raden Dian N (107011065), dengan judul: “Kajian Yuridis
Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis Speed Diesel Antara PT.
Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa”.
Dengan

demikian

hasil

penelitian

ini

adalah

asli

dan

dapat

dipertanggungjawabkan. Peneliti bertanggungjawab sepenuhnya bila dikemudian hari
dapat dibuktikan terdapat plagiat atau duplikasi dengan penelitian yang telah ada
sebelumnya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi.38 Dan suatu teori harus diuji menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.39
Menurut Soerjono Soekanto, Konstinuitas perkembangan ilmu hukum, selain
bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat
ditentukan oleh teori.40

38

JJJ M. Wuisman, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universits
Indonesia, 1996), Hal. 203
39
JJJ M. Wuisman, Ibid, Hal.16
40
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Hal. 6

Universitas Sumatera Utara

27

Menurut Burham Ashshofa, suatu teori merupakan serangkaian asumsi,
konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara
sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 41 Dengan kata lain
kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis
mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis dalam penelitian.42
Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah
Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance) serta Teori Pacta Sun
Servanda (kekuatan mengikat).
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya penawaran (offer) dan
penerimaaan (acceptance). Penawaran (offer) diartikan sebagai suatu janji untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang.
Pada prinsipnya, penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu atau
belum dicabut. Suatu penawaran akan berakhir, apabila:43
a.
b.

c.

Si pemberi tawaran (penawaran) atau penerima tawaran sakit ingatan atau
meninggal dunia sebelum terjadi penerimaan penawaran.
Penawaran dicabut, dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan sebelum
penawaran diterima. Jika suatu penawaran ditentukan dalam waktu tertentu maka
penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum waktunya berakhir, dan
Penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu kontrak
penawaran.
Dengan demikian, unsur yang menentukan agar penawaran mempunyai

kekuatan hukum adalah harus ada kepastian penawaran dan keinginan untuk terikat.
41

Burham Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), Hal.19

42

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Hukum dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), Hal. 80

43

Taryana Soenandar, Op.cit, Hal. 47

Universitas Sumatera Utara

28

Agar penawaran mengikat seketika apabila ada penerimaan, maka dalam penawaran
itu harus dimuat dengan tegas tentang persetujuannya.
Mengenai waktu dan tempat prestasi dapat saja ditetapkan dalam penawaran
itu, tanpa mengakibatkan penawaran menjadi tidak memiliki kepastian hukum.
Dengan demikian, ketentuan tersebut dapat membuktikan: 44
a)

Apakah pihak yang menawarkan sungguh-sungguh melakukan penawaran atau
tidak.

b) Apakah pihak yang diberi penawaran itu berkeinginan untuk mengadakan
persetujuan yang mengikat.
Penawaran tidak selamanya diterima dan suatu waktu dapat saja ditolak.
Apabila penawaran ditolak, dengan sendirinya penawaran itu berakhir. Berakhirnya
penawaran terjadi ketika berita penolakan sampai ditangan yang menawarkan.
Dalam penerimaan, terjadi pada saat yang menawarkan menerima langsung
jawaban dari pihak lawan. Penerimaan (acceptance) adalah kesepakatan dari pihak
penerima dan penawar tawaran untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh
penawar. Penerimaan ini harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar
tawaran. Penerimaan yang belum disampaikan kepada pemberi tawaran, belum
berlaku sebagai penerimaan tawaran. Bilamana memungkinkan, baik tawaran
maupun penerimaan tawaran sebaiknya dinyatakan secara tertulis dan jelas. Lagi

44

Taryana Soenandar, Ibid, Hal. 48

Universitas Sumatera Utara

29

pula, suatu penerimaan kalau dapat harus diterima sendiri, serta jangan sampai
membuat atau memberikan penawaran yang belum dapat diketahui tindakannya.45
Untuk menunjukkan adanya penerimaan, pihak yang ditawari harus
menunjukkan adanya persetujuan atas penawaran. Semata-mata pemberitahuan
tentang didapatnya penawaran, atau pernyataan tertarik terhadapnya, tidaklah cukup.
Persetujuan harus diberikan tanpa syarat, yakni persetujuan ini tidak boleh
digantungkan pada syarat-syarat yang harus di penuhi baik oleh pihak yang
menawarkan atau oleh pihak yang ditawari. Dengan kata lain, isi penerimaan tidak
boleh memuat variasi/jenis syarat-syarat dari penawaran atau mengubah secara
materil syarat tersebut. Penerimaan menjadi efektif pada saat pemberitahuan
persetujuan sampai pada pihak yang menawarkan.
Dengan disetujuinya penawaran oleh pihak penerima tawaran atau yang
disebut dengan penerimaan penawaran, maka persetujuan tersebut menjadi
kesepakatan yang ditegaskan dalam suatu perjanjian oleh para pihak, sehingga
berlakulah Teori Pacta Sunt Servanda (kekuatan mengikat), yaitu semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Ini berarti, jual beli yang telah dilangsungkan dan telah mengikat
dengan tercapainya kata sepakat mengenai kebendaan yang akan dijual dan harga beli

45

Syahmin, Op.cit, Hal. 39

Universitas Sumatera Utara

30

antara penjual dan pembeli, tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh pembeli
maupun penjual. Bahkan dalam hal jual beli dilakukan dengan pemberian uang
muka.46
Secara tegas dinyatakan bahwa suatu perjanjian jual beli tidak dapat diubah,
diganti atau bahkan diakhiri dengan hanya berdasarkan pada kemauan atau kehendak
salah satu pihak, baik penjual maupun pembeli. Dalam penyusunan suatu kontrak
dagang tentunya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku, salah satunya
adalah syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

2.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

3.

Suatu hal tertentu,

4.

Suatu sebab yang halal.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dan yang lazim dibuat dalam transaksi

dagang internasional adalah:47
a. Kebebasan Berkontrak, prinsip ini dianut oleh Hukum Indonesia (Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata) dan diberlakukan secara luas dalam praktik hukum di
indonesia, bahkan prinsip ini menjadi begitu penting karena dipergunakan
sebagai kata kunci dalam mengembangkan berbagai macam perjanjian yang
sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum dan praktik hukum di
Indonesia, misalnya perjanjian patungan (joint venture agreement), perjanjian
bantuan teknis (technical assistance agreement), perjanjian lisensi (licensi
agreement), dan perjanjian waralaba (franchising agreement), dan perjanjian
bagi hasil (production sharing contact). Jenis-jenis perjanjian tersebut baru
dikenal luas setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang
46
47

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit, Hal. 125
Syahmin, Op.cit, Hal. 95

Universitas Sumatera Utara

31

b.

c.

d.

e.

f.

Penanaman Modal Asing yang mengundang masuknya investor asing ke
Indonesia.
Penawaran dan Penerimaan, prinsip ini lebih dikenal sebagai persesuaian
kehendak diantara para pihak. Sulit untuk menentukan apakah terhadap MOU
(Memorandum of Understanding) termasuk dalam perjanjian dalam hukum
Indonesia karena banyak pihak yang menginginkan bentuk ini semata-mata
sebagai dokumen yang memuat saling pengertian diantara para pihak sebelum
perjanjian dibuat. Didalam hukum Indonesia dikenal suatu prinsip bahwa
perjanjian tidak hanya ditafsirkan dari apa yang tertulis, tetapi juga apa yang
secara wajar dimaksudkan para pihak atau secara umum berlaku dalam
masyarakat.
Asas Pacta Sunt Servanda, disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini
berhubungan dengan akibat perjanjian. Dimana Hakim atau pihak ketiga harus
menghormati subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah Undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. 48 Asas ini disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Itikad Baik (Goede Trouw), dalam prinsip ini pihak yang melakukan suatu
tindakan atau perbuatan dengan dasar itikad baik, walaupun tidak disebutkan
dalam perjanjian yang bersangkutan, dapat meyakini bahwa tindakannya
tersebut dilindungi hukum. Meskipun demikian, penyusunan kontrak yang
baik dan rinci daripada semata-mata mendasarkan diri pada prinsip itikad baik
tersebut.
Ganti Rugi (Penalty), bahwa pihak-pihak yang dirugikan berhak menuntut
ganti rugi atas tidak dipenuhi atau dilanggarnya atau diabaikannya suatu
ketentuan d