Risiko Dalam Perjanjian Jual Beli Benda Bergerak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

(1)

RISIKO DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BENDA BERGERAK

MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

INDONESIA

SIKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

BETTY AYU R J NIM : 070200311

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN SIKRIPSI

RISIKO DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BENDA BERGERAK

MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

INDONESIA

NAMA : BETTY AYU R J NIM : 070200311

Medan, Maret 2011

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

NIP : 196603031983081001 Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH, M.S

NIP : 196204211988031004 NIP : 195112311985031006


(3)

ABSTRAK

Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat di saat ini masih menggunakan undang-undang yang bersal dari zaman kolonial, yang membuat kabur dan terselubungnya sesuatu permasalahan, yang tidak lagi sesuai dengan Negara yang merdeka, yang seharusnya sudah dirobah dan di modrenisasi agar sesuai dengan zamannya sebagai suatu Negara yang sedang berkembang dan membangun. Dalam keadaan ini akibat kaburnya peraturan mengenai resiko dalam kehidupan masyarakat mengakibatkan timbulnya masalah yang seharusnya tidak terjadi. Dan tidak mustahil hal ini menyebabkan orang-orang kedalam kehancuran, kepailitan dan yang sangat ditakutkan lagi membawa orang-orang tidak percaya terhadap hukum. Pokok permasalahan yang diangkat penulis skripsi ini adalah Apakah peraturan dari KUHPerdata merupakan suatu ketentuan yang keliru, yang tidak sesuai dengan sistim jual beli dan pemindahan hak milik yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengandung maksud bukankah musnahnya barang tersebut si pembeli belum merupakan pemilik ?, Mengapa ada pasal undang-undang yang memberikan peraturan yang tidak adil itu ?, Pasal peraturan dari bentuk perjanjian yang mana harus diterapkan atau dipakai terhadap perjanjian-perjanjian tersebut ?, Apakah perjanjian sewa beli itu harus diklasifikasikan sebagai perjanjian “jual-beli” atau perjanjian “sewa-menyewa” ataupun diklasifikasikan ke bentuk perjanjian lainnya ?

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua macam metode penelitian yaitu Dalam mengumpulkan data melalui studi keperdataan diperoleh


(4)

melalui buku-buku, tulisan-tulisan , majalah-majalah, surat kabar serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan isi skripsi ini. Dalam mengadakan penelitian lapangan dilakukan dengan cara melakukan wawancara langsung dengan narasumber yang yang berkompeten.

Pembahasan yang diangkat penulis adalah untuk menentukan apakah masalah risiko jual beli benda bergerak dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia sudah tepat, karena ketidak adanya pengaturan mengenai risiko yang khusus dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia.Kesimpulan dalam pembahasan skripsi ini adalah Kekeliruan dari ketentuan pasal 1460 (pasal 1461, 1462 KUH Perdata) adalah dikarenakan pengutipan yang dengan begitu saja pasal-pasal tersebut dari Code Civil Perancis dengan tidak menyadari bahwa BW sudah mengambil sistim lain dari sistim perjanjian jual – beli yang dianut Code Civil Perancis, dimana menurut Code Civil tersebut bahwa “hak milik telah diperoleh sejak dicapainya kata sepakat tentang barang dan harga”, adanya bentuk perjanjian dari Hukum Perjanjian yang tidak terdapat pasal undang-undang peraturan soal risiko. Saran yang ingin saya berikan didalam skripsi ini adalah Terhadap pemecahan masalah risiko di dalam perjanjian yang tidak ditemukan pasal pengaturan risikonya, dapat menerapkan pasal 1237, 1444 KUH Perdata kepada perjanjian sepihak untuk menerima barang bukan untuk dimiliki sedangkan kepada perjanjian sepihak untuk menerima barang untuk dimiliki hanya dapat menerapkan pasal 1237 KUH Perdata, apabila perkataan “si berpiutang” diganti dengan perkataan “si berhutang” dan didepannya ditambahkan perkataan “hingga penyerahan dilakukan”. Dan pasal 1545 KUH


(5)

Perdata kepada perjanjian bertimbal balik. Begitupun kiranya dalam pembentukan Hukum Perjanjian Nasional, agar dibedakan pasal undang-undang yang mengatur akan masalah risiko dalam perjanjian sepihak antara menerima barang untuk dimiliki dan menerima barang bukan untuk dimiliki secara tegas.


(6)

KATA PENGANTAR

Pertama dan segalanya, sembah dan puji syukur kepadamu Allahku. Besar kuasaMu dan ajaib segala sentuhan tanganmu. Terima kasih Bapa, Tuhan Yesus Kristus dan Allah Roh Kudus. Tak terhitung berkatMu dalam setiap perjalanan hidupku. Biarlah dalam perjalanan hidupku aku semakin mendekatkan diri padaMu.

Penulisan sikiripsi ini berjudul “RISIKO DALAM PERJANJIAN JUAL

BELI BENDA BERGERAK MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA INDONESIA” ini merupakan salah satu syarat yang

harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatra Utara.

Penulis mengakui bahwa dalam penulisan ini masih memiliki kekurangan dalam berbagai hal, terutama penyajian, tata bahasa maupun materi muatannya. Oleh karena itu penulis menerima segala bentuk saran dan kritikan yang membangun terciptanya perbaikan dihari – hari yang akan datang.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada maha guru penulis yang telah memberikan ilmu yang sangat tak terhitung dan akan berguna dalam hidup penulis. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara ;


(7)

2. Bapak Prof. Dr Suhaidi, SH, M.H, Bapak Syafrudin, SH, DFM, dan Bapak Muh. Husni, SH, M.H selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku selaku Ketua Departemen Hukum Perdata.

4. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Azwar Mahyuzar, SH selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan membimbing penulis dalam penyelesaian sikripsi ini.

6. Ibu Maria Kaban, SH. M.Hum selaku Dosen Wali yang telah banyak memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan sikripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan disusun tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Skiripsi ini lahir hanya karena Doa, Cinta, Dorongan, perhatian dan segala bentuk kasih sayang dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Terkhusus untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Berlian Napitupulu,

SH, M.Hum dan Ibunda Mindo Sarma Sihombing yang telah banyak

membantu dalam hal materi dan doa. Dan tidak lupa kepada saudara-saudara saya yang selalu memberikan semangat dalam menjalani perkuliahan saya.


(8)

2. Kepada sahabat-sahabat saya Dea, Nova, Linda yang telah memberikan dukungan selama ini sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis sadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari sempurna baik dari isi, penulisan, dan juga materinya. Oleh karena itu penulis meminta maaf sebesar– besarnya. Namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2011 Penulis


(9)

DAFTAR ISI ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah ... 1

B. Permasalahan... 6

C. Tujuan dan manfaat ... 7

D. Keaslian penulisan ... 8

E. Tinjauan kepustakaan... 9

F. Metode penulisan... 10

G. Sistematika penulisan... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI JUAL BELI A. Perjanjian secara umum ... 14

B. Perjanjian jual beli ... 32

BAB III: KETENTUAN-KETENTUAN UMUM MENGENAI RISIKO A. Pengertian risiko secara umum ... 46

B. Risiko dalam perjanjian tukar menukar ... 55

C. Risiko dalam perjanjian sewa menyewa ... 56

D. Risiko dalam perjanjian jual beli ... 58

E. Risiko dalam perjanjian pinjam pakai ... 62

F. Risiko dalam perjanjian pinjam meminjam ... 68

G. Masalah yang timbul akibat dari pengaturan resiko yang keliru dan tidak adanya pengaturannya ... 69


(10)

BAB IV: RISIKO DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BENDA BERGERAK MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA INDONESIA ... 73

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 119 B. Saran ... 122


(11)

ABSTRAK

Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat di saat ini masih menggunakan undang-undang yang bersal dari zaman kolonial, yang membuat kabur dan terselubungnya sesuatu permasalahan, yang tidak lagi sesuai dengan Negara yang merdeka, yang seharusnya sudah dirobah dan di modrenisasi agar sesuai dengan zamannya sebagai suatu Negara yang sedang berkembang dan membangun. Dalam keadaan ini akibat kaburnya peraturan mengenai resiko dalam kehidupan masyarakat mengakibatkan timbulnya masalah yang seharusnya tidak terjadi. Dan tidak mustahil hal ini menyebabkan orang-orang kedalam kehancuran, kepailitan dan yang sangat ditakutkan lagi membawa orang-orang tidak percaya terhadap hukum. Pokok permasalahan yang diangkat penulis skripsi ini adalah Apakah peraturan dari KUHPerdata merupakan suatu ketentuan yang keliru, yang tidak sesuai dengan sistim jual beli dan pemindahan hak milik yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengandung maksud bukankah musnahnya barang tersebut si pembeli belum merupakan pemilik ?, Mengapa ada pasal undang-undang yang memberikan peraturan yang tidak adil itu ?, Pasal peraturan dari bentuk perjanjian yang mana harus diterapkan atau dipakai terhadap perjanjian-perjanjian tersebut ?, Apakah perjanjian sewa beli itu harus diklasifikasikan sebagai perjanjian “jual-beli” atau perjanjian “sewa-menyewa” ataupun diklasifikasikan ke bentuk perjanjian lainnya ?

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua macam metode penelitian yaitu Dalam mengumpulkan data melalui studi keperdataan diperoleh


(12)

melalui buku-buku, tulisan-tulisan , majalah-majalah, surat kabar serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan isi skripsi ini. Dalam mengadakan penelitian lapangan dilakukan dengan cara melakukan wawancara langsung dengan narasumber yang yang berkompeten.

Pembahasan yang diangkat penulis adalah untuk menentukan apakah masalah risiko jual beli benda bergerak dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia sudah tepat, karena ketidak adanya pengaturan mengenai risiko yang khusus dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia.Kesimpulan dalam pembahasan skripsi ini adalah Kekeliruan dari ketentuan pasal 1460 (pasal 1461, 1462 KUH Perdata) adalah dikarenakan pengutipan yang dengan begitu saja pasal-pasal tersebut dari Code Civil Perancis dengan tidak menyadari bahwa BW sudah mengambil sistim lain dari sistim perjanjian jual – beli yang dianut Code Civil Perancis, dimana menurut Code Civil tersebut bahwa “hak milik telah diperoleh sejak dicapainya kata sepakat tentang barang dan harga”, adanya bentuk perjanjian dari Hukum Perjanjian yang tidak terdapat pasal undang-undang peraturan soal risiko. Saran yang ingin saya berikan didalam skripsi ini adalah Terhadap pemecahan masalah risiko di dalam perjanjian yang tidak ditemukan pasal pengaturan risikonya, dapat menerapkan pasal 1237, 1444 KUH Perdata kepada perjanjian sepihak untuk menerima barang bukan untuk dimiliki sedangkan kepada perjanjian sepihak untuk menerima barang untuk dimiliki hanya dapat menerapkan pasal 1237 KUH Perdata, apabila perkataan “si berpiutang” diganti dengan perkataan “si berhutang” dan didepannya ditambahkan perkataan “hingga penyerahan dilakukan”. Dan pasal 1545 KUH


(13)

Perdata kepada perjanjian bertimbal balik. Begitupun kiranya dalam pembentukan Hukum Perjanjian Nasional, agar dibedakan pasal undang-undang yang mengatur akan masalah risiko dalam perjanjian sepihak antara menerima barang untuk dimiliki dan menerima barang bukan untuk dimiliki secara tegas.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

“Zoon –Politicon” demikian Aristoteles manamakan manusia itu , artinya ; manusia itu tidak diciptakan sebagai individu, otonom dan bebas, terpisah dari individu lainnya, melainkan sebagai mahluk hidup yang hidup dengan sesamanya.1

Prof . Hans Kelsen berpendapat, bahwa “ Zoon Poloticon “ itu berarti

“social and political being”.2

Sebagaimana diketahui, hanyalah manusia yang diakui mempunyai suatu tingkat kebebasan untuk bertindak serta memiliki kehendak yang berfungsi normal dan hanya manusialah yang dapat memiliki hak milik.

“ Social being “ artinya adalah manusia yang hidup bersama-sama dengan manusia lainnya. “ political being“ artinya, manusia itu dalam pergaulan hidupnya itu selalu mengadakan organisasi di dalamnya.

Hak milik itu oleh yang satu dapat di ahlikan atau dipindahkan kepihak lain, sehingga pihak lain tadi memperoleh hak milik atau hak milik seseorang atas suatu barang tetap melekat padanya sedang barang tersebut dikuasai oleh pihak lain.

Dalam perbuatan-perbuatan seperti itu manusia yang satu dengan yang lainnya mengadakan perjanjian-perjanjian yang akan meletakkan hak dan kewajiban pada pundak masing-masing pihak , yang akan mereka penuhi setelah

1 Prof . Mr . Soediman Kartohadiprodjo Pengantar Tata Hukum di Indonesia 1 penerbit

bersama PT. Pembangunan, Ghalia Indonesia,1979,hal 22.


(15)

perjanjian di tutup. Sehingga siapa yang berjanji sesuatu berarti mengikatkan diri secara membebankan pada diri sendiri.

Hugo Grotius dengan teorinya yang berdasarkan hukum azasi, bahwa adalah suatu kewajiban moril dari pada manusia untuk melaksanakan apa yang dijanjikan. Teori Hugo Grotius kemudian menjelma kedalam peraturan, bahwa suatu janji yang di ucapkan dengan maksud untuk menciptakan suatu kewajiban hukum bagi pihak yang menjanjikan untuk melaksanakannya.3

Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; “ tiap-tiap perikatan adalah untuk menyerahklan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Dalam hal perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang kepada orang lain, pada umumnya mengatakan, bahwa pihak yang berwajib harus menjaga, jangan sampai barang yang akan diserahkan itu, sebelum penyerahan hilang atau musnah. Tetapi kadang walau pihak berwajib telah berusaha untuk menjaga dengan baik tidak mustahil perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan oleh sebab kejadian yang menimpa barang tersebut musnah atau hilang. Bila hal yang demikian terjadi, siapakah yang menurut hukum yang harus memikul kerugian tersebut ?

Persoalan seperti ini di dalam hukum yang dinamakan sebagai persoalan “ risiko “.

3 Dr . Sunaryati Hartono , SH , Mencari Bentuk Dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional , Cet


(16)

Persoalan risiko menurut ilmu hukum akhir-akhir ini menjadi sedemikian penting terutama dalam hubungan keperdataan, persoalan resiko ini mengambil bagian yang tidak kecil .

Risiko didalam pengertian ilmu hukum adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian di luar kesalah salah satu pihak.

Dalam bagian umum pada buku III dari kitab undang-undang hukum perdata, kita dapat menemukan satu pasal yang sengaja mengatur mengenai risiko dan dala bagian khusus dapat ditemukan beberapa pasal. Tapi dalam praktek pelaksanaanya sangat dirasakan tidak mencerminkan kepastian dan keadilan sehingga menimbulkan ketidakpuasaan.

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa macam bentuk perjanjian, tetapi tidak semua bentuk perjanjian itu dapat ditemukan pasal pengaturan mengenai risiko.

Adanya pengaturan soal risiko, hal ini bukan menjadi jaminan tercapainya kepastian hukum, walaupun memang pada umumnya adanya peraturan akan lebih menjamin atau membawa masyarakat baik secara individu maupun secara kolektif kearah kehidupan yang lebih harmonis, tetapi tidak semua peraturan selalu demikian, kadang adakalanya peraturan menjadi ketidakadilan bagi manusia, sebagaimana hal ini adakan di bahas dalam skripsi ini.

Pasal-pasal dalam KUHPerdata yang memberikan peraturan yang tidak adil, antaranya pasal 1460, 1461, 1462. Ketiga pasal ini pada hakekatnya memiliki pengertian yang sama bahwa sejak saat pembelian (saat di tutupnya perjanjian) musnahnya barang itu akan menjadi tanggungan si pembeli walaupun


(17)

belum dilakukan penyerahan. Ketidakadilan pasal tersebut akan tampak bilamana dikaitkan dengan sistem perjanjian jual beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu hanya “obligator” saja, artinya perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban secara timbal balik kepada penjual dan pembeli. Jadi perjanjian jual beli itu belum memindahkan hak milik. Sedangkan hak milik berpindah dengan dilakukannya “levering” hal ini menunjukka n bahwa menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata levering merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik.

Bila kita melihat dinamika perekonomian dan masyarakat di abad modern dan kompleks seperti sekarang ini, menuntut adanya suatu peraturan yang selaras dengan zamannya.

Negara kita Indonesia yang merdeka dan berdaulat di abad ini masih tetap memakai undang-undang yang berasal dari zaman colonial, yang membawa kabur dan terselubungnya suatu permasallahan yang sudah tidak sesuai dengan suatu negara yang merdeka , yang seharusnya sudah dirobah dan dimodernisasi agar sesuai dengan zamannya sebagai suatu Negara yang sedang berkembang dan membangun. Dalam keadaan seperti ini akibat kekaburan peraturan tentang risiko, akhirnya dalam hidup masyarakat sehari-hari membawa masalah-masalah atau menimbulkan permasalahan-permasalahan yang seharusnya tidak terjadi. Dan tidak mustahil hal ini bisa membawa orang-orang kedalam kehancuran, kepailitan dan sangat ditakutkan dan membawa orang tidak percaya kepada hukum.


(18)

Gerak pembangunan ditunjang beberapa sektor antara lain, ekonomi, politik, social, hukum, seperti halnya kita sekarang.

Pembangunan yang secara material ekonomis belaka tidaklah cukup apabila yang diingginkan dan di cita-citakan adalah suatu taraf kehidupan yang baik, oleh sebab taraf kehidupan merupakan serta paham yang mengandung berbagai segi dan hakekat. Secara sederhana maka di dalam proses pembangunan terlebih dahulu perlu diidentifikasi dengan seksama apa yang tidak ada, apa yang salah dan apa rusak atau salah, apa yang macet dan apa yang mundur ataupun lebih mengalami kemerosotan menurut kerangka pemikiran dan tindakan yang sangat disimplifikasikan, maka hal tersebut memerlukan pengadaan, pembetulan atau perbaikan, penambahan, pelancaran dan peningkatan secara proporsional.

Berangkat dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengadakan penelitian melalui penulisan hukum mengenai Risiko Dalam

Perjanjian Jual-Beli Benda Bergerak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan mencoba memberikan uraian-uraian

permasalahan dan uraian pemecahan jalan keluarnya dan yang diharapkan dapat berguna untuk penambahan pengetahuan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mengenai risiko di dalam perjanjian.

B. Permasalahan

Jual beli dilakukan dengan persetujuan oleh karena itu pada saat ini umumnya perjanjian jual beli dilakukan dengan cara perjanjian baku dimana pihak penjual telah telah menyiapkan secara misalnya bentuk perjanjian yang


(19)

akan disepakati oleh pihak pembeli. Dalam kondisi seperti ini maka pihak pembeli akan berada dalam posisi yang lemah namun walaupun demikian wajib bagi pembeli untuk memperhatikan klausula atau butir-butir perjanjian yang tertuang dalam perjanjian tersebut yang disepakati. Pembeli harus benar-benar mengamati di setiap point yang tercantum dalam kesepakan untuk menghindari kerugian dan permasalahan yang muncul dibelakang hari nantinya. Setelah out baru dilakukan kesepakatan dengan pihak penjual karena kesepakatan yang terjadi akan mengikat para pihak sesuai dengan konsekuensi hukum yang telah disepakati bersama.

Keadaan yang demikian telah memunculkan permasalahan yang akan coba diangkat didalam skripsi ini yaitu:

1. Apakah peraturan dari pasal itu tidak merupakan suatu ketentuan yang keliru, yang tidak sesuai dengan sistim jual beli dan pemindahan hak milik yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengandung maksud bukankah musnahnya barang tersebut si pembeli belum merupakan pemilik ?

2. Mengapa ada pasal undang-undang yang memberikan peraturan yang tidak adil itu ?

3. Pasal peraturan dari bentuk perjanjian yang mana harus diterapkan atau dipakai terhadap perjanjian-perjanjian tersebut ?

4. Apakah perjanjian sewa beli itu harus diklasifikasikan sebagai perjanjian “jual-beli” atau perjanjian “sewa-menyewa” ataupun diklasifikasikan ke bentuk perjanjian lainnya ?


(20)

C. Tujuan pembahasan

Adapun maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas dan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada universitas sumatera utara yang bertujuan :

1 . Untuk mempelajari dan mengetahui tentang perihal peraturan system pemindahan hak milik yang dianut dalam kitab undang-undang hukum perdata dan mempengaruhinya terhadap masalah resiko mengenai barang yang menjadi objek suatu perjanjian dalam pentautannya terhadap system tersebut.

2 . Selanjutnya berkeinginan untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap pasal-pasal yang keliru itu dan juga berkeinginan untuk memperoleh suatu ketentuan mengenai bentuk perjanjian yang sesuai dengan bentuk perjanjian yang tidak terdapat pengaturan soal resiko baik yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum perdata maupun dalam bentuk perjanjian

D. Keaslian Penulisan

Penulisan ini diselesaikan berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh penulis sendiri dari berbagai sumber, selindari bacaan, juga berdasarkan hasil wawancara, dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang Risiko Dalam Perjanjian Jual-Beli Benda Bergerak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dengan studi kasus pada Toyota Auto 2000 belum pernah diteliti sebelumnya dan ini merupakan penelitian yang pertama sekali dilakukan sehingga keaslian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.


(21)

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk mengantarkan kita kepada pemahaman yang benar mengenai skripsi ini maka terlebih dahulu kita akan melihat tinjauan kepustakaan yang akan mengantarkan kita kepada pengertian umum atau gambaran mengenai “Risiko

Dalam Perjanjian Jual-Beli Benda Bergerak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.”

Dari judul diatas dapat diambil pengertian baik secara etimologi maupun berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia setiap kata demi kata mengandung pengertian sebagai berikut :

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “risiko” memiliki arti : akibat yang kurang menyenang (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan.4

Kata “dalam” berarti kata depan untuk menandai tempat yang mengandung isi.5

Kata “perjanjian” artinya suatu hubungan hukum dimana seseorang mengikatkan dirinya kepada pihak lain untuk memberikan sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Kata “jual-beli” merupakan suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga

4 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.1996.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Balai

Pustaka,Jakarta.,hlm.959


(22)

yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.6

Kata “ benda bergerak” menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata benda bergerak adalah benda yang kerena sifatnya adalah benda yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan.

F. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini mengunakan metode: 1. Metode studi keputsakaan (library research)

2. Metode penelitian lapangan (fieled research)

Dalam mengumpulkan data melalui studi keperdataan diperoleh melalui buku-buku, tulisan-tulisan, majalah-majalah, surat kabar serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan isi skripsi ini. kemudian bahan-bahan tersebut dipelajari dipahami dan dianlisa secara sistematis dan memilih hal-hal yang menjadi dasar pemikiran yang tertuang dalam penulisan skripsi ini.

Dalam mengadakan penelitian lapangan dilakukan dengan cara melakukan wawancara langsung dengan pihak yang terkaid di astra dan pihak pembeli serta pihak lain yang terkait dengan isi skripsi ini guna melihat secara langsung system dan penyelenggaraan jual beli tersebut serta masalah yang timbul dan proses penyelesaiannya di perusahaan tersebut.

Melalui penggunaan kedua metode diatas maka data yang diperoleh diolah dan disajikan sesuai dengan sistematika pembahasaan skripsi ini. berdasarkan hal


(23)

tersebut diterapkan konklusi berupa kesimpulan dan saran yang diharapkan berguna bagi perkembangan hukum di Indonesia.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermuda pembaca dalam memahami isi skripsi ini , disini akan diuraikan secara singkat gambaran isi yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Untuk itu , maka dalam pembahasan ini dibuat sistematika atau gambaran isi materi skripsi ini Dalam lima (5) bab dan setiap bab akan terbagi dalam sub bab dengan uraian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini merupakan pengantar bagi

pembaca untuk memberikan gambaran awal dari penulisam skripsi ini sehingga perlu adanya penegasan dan pengertian judul, alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan pembahasan, metode pengumpulan data dan gambaran isi serta keseluruhan dari skripsi ini .

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN Dalam bab

ini penulis menguraikan gambaran umum tentang perjanjian yang di mulai dengan definisi perjanjian,bagian-bagian perjanjian, jenis-jenis perjanjian, sistem atau syarat dan azas perjanjian.

BAB III : KETENTUAN-KETENTUAN UMUM MENGENAI RISIKO

dalam bab ini penulis menguraikan gambaran mengenai pengertian risiko,risiko dalam perjanjian sewa menyewa, jual beli, pinjam pakai, pinjam meminjam, serta masalah yang timbul


(24)

akibat pengaturan risiko yang keliru dan tidak adanya pengaturan mengenai risiko tersebut.

BAB IV : PEMECAHAN DARI MASALAH RISIKO DI DALAM

PERJANJIAN, KHUSUSNYA RISIKO DI DALAM PERJANJIAN JUAL – BELI dalam bab ini, penulis akan

menguraikan pokok dari permasalahan yakni analisa mengenai resiko dalam perjanjian khususnya resiko dalam perjanjian jual beli benda bergerak di Badan Usaha Toyota Auto 2000, berdasarkan KUHPerdata, yang terdiri atas latar belakang perjanjian pengikatan, ketentuan-ketentuan dan syarat dalam perjanjian pengikatan jual beli, serta resiko yang timbul dalam perjanjian jual beli benda bergerak.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN dalam bab terakhir ini, penulis

akan menguraikan segala kesimpulan dan memberi saran yang diperoleh berdasarkan bab-bab sebelumnya yang diharapkan dapat bermanfaat dan berguna untuk perkembangan ilmu hukum


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A. PERJANJIAN SECARA UMUM

A.1 PENGERTIAN PERJANJIAN

Sebelum kita membicarakan tentang pengertian perjanjian menurut ilmu hukum, ada baiknya lebih dahulu bila kita mengetahui dimana perjanjian itu diatur di dalam sistimatika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari 1993 pasal dibagi atas IV Buku, yang susunannya adalah sebagai berikut :

1. Buku kesatu berjudul : “Tentang Orang/”Van Personen” 2. Buku kedua berjudul : “Tentang Benda/”Van Zaken”

3. Buku ketiga berjudul : “Tentang Perikatan”/’’Van Verbintenissen” 4. Buku keempat berjudul : “Tentang Pembuktian” dan “Daluarsa”/”Van

Bewijsen Verjaring”

Buku ketiga diatas berjudul ‘Tentang Perikatan”/”Van Verbintenissen”. Menurut pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perikatan dapat terjadi karena :

- Undang-Undang - Perjanjian

Di atas telah kita mengetahui dimana diaturnya perjanjian itu dalam sistimatika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk itu apakah yang dinamakan “perjanjian” itu?


(26)

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi :

“Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Apabila kita secara seksama menganalisa perumusan pasal 1313 tersebut diatas ternyata rumusan tersebut kurang sempurna atau tidak lengkap. Sehingga pengertiannya disatu pihak bisa luas dan dilain pihak bisa sempit.

Dikatakan bisa luas : Dari perumusan dari pasal 1313 diatas hanya menyebutkan “perbuatan” saja. Tentu dalam benak pikiran kita akan timbul pertanyaan, apakah ini maksudnya hanya perbuatan hukum saja atau meliputi semua perbuatan baik yang sudah dijanjikan terlebih dahulu maupun tidak (perbuatan yang menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan). Misalnya, A dengan mengenderai motor menabrak B yang menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan, ialah B akan menuntut ganti rugi kepada A berdasarkan perbuatan melanggar hukum di muka Pengadilan, pada hal tidak ada persetujuan antara A dan B terlebih dahulu.

Dikatakan sempit : Karena definisi pasal 1313 hanya mengenai persetujuan sepihak, sepihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi.

Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro S.H mendefinisikan : Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam


(27)

mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.7

Prof. R. Surbekti S.H. mendepinisikan :

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atua dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.8

Dengan berpedoman kepada kedua depinisi sarjana di atas, maka dari itu perkataan “perbuatan” dalam pasal 1313, harus ditambah dengan perkataan “hukum”. Mengganti perkataan “satu” dengan perkataan “dua”. Kemudian menambahkan perkataan “saling” didepan perkataan “mengikatkan dirinya”, selanjutnya perkataan “terhadap satu orang lain atau lebih” dihilangkan dan diganti dengan perkataan”untuk melaksanakan sesuatu hal” ………..

Dengan demikian pasal 1313 akan berbunyi sebagai berikut ;

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan sesuatu hal.

Dari depinisi diatas jelaslah bagi kita bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat para pihak agar supaya mereka melaksanakan penyerahan sesuatu barang, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian perjanjian itu adalah merupakan tali pengikat bagi para pihak-pihak untuk mana mereka dituntut memenuhi apa yang telah mereka sepakati.

Adanya suatu perjanjian adalah karena suatu perbuatan hukum, perbuatan hukum mana menimbulkan perhubungan antara dua orang atau lebih,

7 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu

Cet Ke VII Penerbit “Sumur-Bandung” Hal 17, tahun 1981.


(28)

perhubungan ini dinamakan “perikatan”. Jadi perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara orang-orang yang membuatnya.

Dengan demikian maka hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah, bahwa perjanjian menerbitkan perikatan Perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber-sumber lainnya.

Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Jadi perjanji-janjian itu suatu hal yang kongkrit atau “peristiwa” karena kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya. Lain halnya dengan perikatan adalah suatu pengertian abstrak, kita tidak dapat “melihat” dengan mata kepala kita suatu “perikatan”, kita hanya dapat membayangkan dalam alam pikiran kita.9

Perjanjian terjadi dari tiga bagian, yaitu : Bagian-bagian Perjanjian

a. ESSENTIALIA, misalnya ; harga dan barang adalah essentialia dari perjanjian jual beli

b. NATURALIA, misalnya ; jaminan kenikmatan tenteram dan aman serta tidak adanya cacad-cacad tersembunyi dari penjual ke pada pembeli dalam perjanjian jual beli.

c. AKSIDENTALIA ialah ; bagian-bagian yang ditambah kepada perjanjian oleh para pihak yang tidak diatur oleh undang-undang, misalnya ; dalam perjanjian

9 Prof. R. Surbekti S.H. Hukum Perjanjian, Edisi ke V. Penerbit – 1 Alumni Bandung, Hal 1-2


(29)

jual beli rumah kedua belah pihak menetapkan bahwa tidak turut dijual-belikan wastafel yang melekat pada rumah.

a. Perjanjian dengan cuma-cuma dan perjanjian dengan beban Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dengan cuma-cuma ialah perjanjian dimana satu pihak memberi keuntungan kepada pihak lainnya tanpa menerima kontra prestasi. Pasal 1314 ayat 2. Misalnya, hibah. Perjanjian dengan beban ialah perjanjian yang mewajibkan pihak masing-masing untuk memberikan sesuatu atau tak berbuat sesuatu. Pasal 1314 ayat 3.

b. Perjanjian Sepihak Dan Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian sepihak ialah perjanjian yang hanya memberi kewajiban kepada pihak yang satu dan hak kepada pihak yang lain.

Misalnya, perjanjian. Perjanjian timbal balik ialah perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa.

c. Perjanjian Formil Dan Perjanjian Riil

Perjanjian formil ialah perjanjian yang dianggap sah apabila diadakan dengan tertulis. Misalnya, perjanjian perdamaian, perjanjian penghibaan barang tak bergerak. Perjanjian riil ialah perjanjian yang dianggap sah apabila barang yang menjadi objek perjanjian telah diserahkan. Misalnya, perjanjian penitipan barang.

Hukum Perjanjian menganut sistim terbuka dan azas konsensualitas.


(30)

Sistim terbuka mengandung azas kebebasan membuat perjanjian, lain dengan sistim tertutup yang mengandung sifat memaksa dari peraturan-peraturannya, sebagaimana halnya dengan Hukum Benda, yang macam-macamnya hak atas benda itu adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa.

Sistim terbuka dari Hukum Perjanjian, memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan yang dinamakan “Hukum pelengkap” (“optional law” Bah. Inggris) yang berarti pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuatnya, mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian. 10 Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu

soal, maka diartikan bahwa mereka mengenai soal itu akan tunduk kepada undang-undang.11

Memang biasanya orang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu dan biasanya hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja. Misalnya kalau kita mengadakan perjanjian jual beli, cukuplah apabila kita sudah setuju tentang harga dan barangnya. Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang harus memikul biaya penghantaran barang, tentang bagaimana kalau barnag musnah dalan perjalanan, soal-soal itu lazimnya tidak dipikirkan dan tidak diperjanjikan.

10 Op. Cit 13 11 Ibid


(31)

Dan apabila timbul perselisihan maka menyerah saja kepada hukum dan undang-undang.

Sistim terbuka yang dianut Hukum Perjanjian kita simpulkan dari pasal 1338 ayat I yang berbunyi ; “Semua perjanjian yang diadakan secara sah, berlaku bagi mereka yang mengadakannya sama seperti undang-undang”

Dari rumusan pasal diatas kita dapat mengetahui makna isi pasal itu adalah, merupakan suatu pernyataan kepada khalayak ramai bahwa kita diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat siapa yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Hal ini kita dapat melihat dari perkataan “semua”

Disamping pengertian – pengertian diatas dari sistim terbuka, juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk.

12

12 Op Cit Hal 14

Misalnya, perjanjian “sewa-beli” dalam undang-undang Hukum Perjanjian, kita tidak akan menemukannya, tetapi dalam praktek kita sering menemukan dan mendengarkannya, yang merupakan suatu campuran antara jual-beli dengan sewa-menyewa.


(32)

Asas-asas dalam suatu perjanjian

Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa asas yang berlaku, antara lain13

1. Azas Kebebasan Berkontrak

:

Azas kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak azasi manusia. Azas kebebasan berkontrak ini didasari oleh pasal 1338 KUH perdata, yakni suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

2. Azas Konsensualisme

Azas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 dan pasal 133814

3. Azas Kepercayaan

KUH perdata. Dalam pasal 1320 KUH Perdata, desebutkan secara tegas bahwa adanya kesepakatan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian dan pada pasal 1338, disebutkan “semua perjanjian”. Kata-kata dalam pasal 1338 dan 1320 ini menunjukkan bahwa setiap orang diberikan kesempatan untuk menyatakan keinginannya yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Azas ini sangat erat hubungannya dengan azas kebebasan mengadakan perjanjian.

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itubahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di kemudian

13 Prof.Miriam Darus Badrulzaman.2001.Kompilasi Hukum Perikatan Citra Aditya

Bakti,Bandung. Hlm 83

14 Pasal 1338 KUH perdata : semua perjanjian yang dibuat sah berlaku bagi undang-undang bagi


(33)

hari. Tanpa kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin diadakan oleh para pihak.

4. Asas Kekuatan Mengikat

Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan tetapi juga terhadap beberapa unsure lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral. Demikian sehingga asas-asas, moral, kebiasaan dan kepatutan mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.

5. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kekayaan, jabatan, bangsa, dan lain-lain. Masing-masing para pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai ciptaan Tuhan.

6. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang diadakan. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur memiliki kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga memikul beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.


(34)

7. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang para pihak.

8. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugatkontraprestasi dari debitur. Asas ini juga terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata15

9. Asas Kepatutan

. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan atau moral, sebagai panggilan dari hati nuraninya.

Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, asa ini patut dipertahankan Karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

Syarat-syarat perjanjian

Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian,diatur pada pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu “untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 syarat yakni :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

15 Pasal 1339 KUH Perdata: suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan

tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan., kebiasaan atau oleh undang-undang


(35)

2. Kecakapan untuk membuat perjanjian 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Syarat-syarat diatas dapat dikelompokknan menjadi dua bagian yaitu kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan

syarat obektif, karena mengenai objek dari perjanjian. 1. Syarat Subjektif

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

dengan diberlakukan keta sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan berkehendak. Para pihak tidak mendapat suatu unsure paksaan atau tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengartian sepakat di lukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui para pihak. Sedangkan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUH Perdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacatpada kesepakatan tersebut. Yaitu kehilafan, pakasaan dan penipuan.

b. cakap untuk membuat suatu perikatan

pasal 1329 : Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.


(36)

subjek hukum yang tidak cakap hukum pasal 1330 : b.1 Orang-orang yang belum dewasa

Orang yg telah dianggap dewasa oleh hukum, atau berumur 18 tahun berdasarkan hukum perkawinan (ini yg berlaku dalam hukum perdata) atau dalam KUHPerdata berumur 21 tahun.

b.2 Dibawah pengampuan

b.3 Orang-orang perempuan, dalam hal ini ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Mengenai sub 3 pasal 1330 KUH Perdata ini tidak berlaku lagi sejak tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 mengatakan kedudukan wanita yang telah memiliki suami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, ia tidak memerlukan bantuan dari suaminya.

2. Syarat Objektif

a. Syarat tentang barang

suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti aka nada secara ringkas, ketentuan mengenai barang yang menjadi objek perjanjian adalah sebagai berikut :


(37)

2) Barang- barang yang di pergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti pelabuhan, gedung-gedung umum, jalan raya dan sebagainya tidaklah dapat di jadikan objek perjanjian

3) Dapat di tentukan jenisnya. (pasal 133316

4) Barang yang akan datang atau barang yang aka nada. (pasal 1334 KUH Perdata)

17

KUH Perdata)

b. Syarat tentang suatu sebab yang halal

berdasarkan pasal 1335 samapai dengan pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat tanpa sebab, dengan sebab palsu atau larangan serta bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan adalah tidak sah, dan tidak memiliki kekuatan hukum.

A.3 SUBJEK DAN OBJEK PERJANJIAN a. Subjek Perjanjian

Yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang teikat dengan diadakannya suatu perjanjian. KUH Perdata membedakan 3 golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu :

16

Pasal 1333 KUH Perdata : dinyatakan secara tegas “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

17 Pasal 1334 KUH Perdata : jelas dinyatakan “Barang yang baru ada pada waktu yang akan

datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu………”


(38)

1. Para pihak yang mengadaka perjanjian itu sendiri

2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapatkan hak dari padanya.

3. Pihak ketiga

b. Objek Perjanjian

Objek perjanjian yang merupakan tujuan dari perjanjian yaitu adanya hak dan kewajiban dari setiap pihak-pihak biasanya disebut prestasi, yang berupa: 1. Memberikan sesuatu

2. Berbuat sesuatu 3. Tidak berbuat sesuatu

Agar objek perjanjian itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat antara lain18

1. Lahir dari perjanjian maupun undang-undang

:

2. Prestasinya harus tertentu dan dapat ditentukan 3. Dapat dilaksanakan

4. Diperbolehkan, dalam arti tidak bertentangan denga undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

A.4. Bentuk-Bentuk Perjanjian

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suau bentuk tertentu, perjanjian dapat dibuat secara lisan dan atau lisan, apabila dibuat secara tulisan, apabila dibuat secara tulisan maka bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan dan juga menjadi syarat untuk adanya perjanjian itu, kerena beberapa perjanjian tertentu, undang-undang mnentukan suatu bentuk tertentu dimana apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian tidak sah, misalnya perjanjian


(39)

mendirikan perseroan terbatas harus dengan akta notaris (pasal 38 Kitab Undang0Undang Hukum Dagang)

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut

1. Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok ke dua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli

2. Perjanjian Cuma-Cuma

Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak

3. Perjanajian atas beban

Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadapprestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum

4. Perjanjian bernama/perjanjian khusus

Perjanjian khusus adalah perjanjiann yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentukl undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari

5. Perjanjian tidak bernama

Di luar perjanjian bernama, ada juga perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Namun tetap tunduk peda peraturan umum yang


(40)

terdapat dalam KUHPerdata sesuai dengan pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan : “semua perjanjian baik yang memiliki nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab lainnya.” Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolahan. Dasar hukum dari adanya perjanjian. 6. Perjanjian obligator

Perjanjian obligator adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi mengakibatkan beralihnya hak milik atas benda tersebut dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsesual) dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).

7. Perjanjian kebendaan

Perjanjian kebendaan dengan mana seseorang menyerahkan hak atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (lavering transfer). Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga perjanjian jual beli sementara. Untuk perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka perjanjian obligator dan perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan.


(41)

8. Perjanjian konsensual

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai kesesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUHPerdata perjanjian ini seudah mempunyai kekuatan mengikat (pasal 1338 KUHPerdata)

9. Perjanjian riil

Didalam KUHPerdata ada perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata), pinjam meminjam (pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil.

10.Perjanjian liberatoir

Perjanjian diman apara pihak membebaskan diri kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang pasal 1438 KUHPerdata19

11.Perjanjian pembuktian

Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

12.Perjanjian utung-untungan

Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanian asuransi pasal 1774 KUHPerdata

13.Perjanjian public

Perjanjian public yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum public, karena salah satu pihak yang bertindak adalah

19 Pasal 1438 KUHPerdata : pembebasab sesuatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus


(42)

pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama, misalnya perjanjian iaktan dinas.

14.Perjanjian campuran

Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsure perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi juga menyajikan makanan (jual beli) juga pelayanan.

B. Perjanjian Jual Beli

B.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli

Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan contract of sale. Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457 samapi dengan pasal 1540 KUHPerdata jual beli (menurut BW) adalah suatu perjanjian timabal balik dalam mana piahk yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (sipembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri dari atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

Terjadinya perjanjian jual beli dan peralihan hak.

Unsur-unsur pakok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Dimana pertama-tama antara penjuan dan pembeli harus ada akata sepakat tentang harga dann benda yang menjadi objek jual beli. Sesuai dengan asas “ konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian BW, perjanjian jual beli itu


(43)

sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak telah setuju dengan barang dan harg, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifatnya konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahakn maupun harganya belum dibayar.”20

Namun perlu diperhatikan, bahwa dengan persetujuan ini, sipembeli belumlah menjadi pemilik (eigenaar), kerena persetujuan ini hanya bersifat obligator. Untuk menjadi pemilik, harus diadakan penyerahan (lavering) lebih dulu. Penyerahan inilah yang mengakibatkan terjandinya pemindahan kebendaan. Penyerahan ini bergantung pada jenis bendanya, apakah bergerak, tidak bergerak maupun benda tidak bertubuh. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 1459 KUHPerdata, yakni “hak milik atas barang yang di jual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 61221, 61322,

dan 61623

Bagi sipembeli untuk mendapatkan kepastian bahwa ia benar-benar akan menjadi pemilik benda yang bersangkutan maka dapat di berikan semacam uang panjar. Karena dalam pasal 1464 KUHPerdata menegaskan, bahwa dengan panjar

20 Prof.R>Subekti 1995.Aneka Perjanjian .Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.2

21 Pasal 612 KUHPerdata : penyerahan kebendaan bergerak, terkecualai yang tidak bertubuh,

dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu atau atas naman pemilikk, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada.

22 Pasal 613 KUHPerdata : penyerahan atas nama piutang-piutang dan kebendaan tak bertubuh

lainnya, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah tangan dengan mana hakl-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.

23 Pasal 616 KUHPerdata :penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tidak bergerak dilakukan

dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 620


(44)

ini, kedua belah pihak tidak dapat membatalkan persetujuan jual beli, baik dengan memberikan uang itu di tangan penjual maupun dengan pengembalian uang itu ketanggan pembeli. Biasanya uang yang diberikan itu diperhitungkan dengan harga pembelian sebelumnya, sehinggan lebih merupakan suatu pemberian perschoot pembayaran. Artinya dari pada penyerahan ini ditegaskan dalam pasam 1475 KUHPredata.24

Penyerahan adalah pemindahan benda yang dijual kedalam kekuasaan pembeli. Penyerahan ini harus memperhatikan jenis bendanya, apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak, karena apabila benda bergerak, penyerahan nyata dan penyerahan juridis adalah satu tindakan, sedangkan untuk benda bergerak, maka perlu diperhatikan pasal 612,613,616 KUHPerdata. Juga disini berlaku ketentuan bahwa jual beli milik orang lain tidak sah.25

Macam-macam jual beli antara lain:

1. Jual beli dengan percobaan ; diatur dalam pasal 1463 KUHPerdata. Jual beli percobaan berarti pembeli baru akan membeli kepastian jadi tidaknya jual beli, setelah pembeli melakukan percobaan atau mencoba barang yang hendak dibeli26

2. Jual beli dengan system panjar; diatur dalam pasal 1464 KUHPerdata. Jual beli dengan sistem panjar merupakan suatu jual beli yang dilakukan antara penjual dengan pembeli. Dimana jual beli itu pihak pembelian menyerahkan uang perschoot/panjar atas harga barang, sesuai dengan kesepakatan antara dalam jual beli dengan percobaan, dibuat dengan syrat tangguh, dimana jadi atau tidaknya transaksi jual beli berdasarkan hasil percobaan itu

24 Achmad Ichsan.1969.Hukum Perdata IB.jakarta; Pembimbing Masa,Jakarta.hlm 102 25 Ibid


(45)

kedua belah pihak. Dalam sistem jual beli ini salah satu pihak tidak dapat meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.

3. Jual beli dengan contoh; dalam hal ini barang yang menjadi objek jual beli sebelum dilakukan perjanjian jual beli. Diberikan contohnya terlebih dahulu. Apabila pembeli telah melihat contoh dan sesuai dengan keinginan pembeli, maka perjanjian jual beli pun dapat dilakukan, apabila pembeli merasa sesuai dengan contoh barang yang dimaksud/ kalau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh maka dapat dituntut pembatalan perjanjjian.

4. Jual beli dengan hak membeli kembali; dalam jual beli ini puhak penjual dapat memperjanjikan pada pihak pembeli bahwa barang yang sudah sijualnya dapat dibelinya kembali dari pembeli itu. Waktu yang diperjanjian untuk membeli kembali barang yang sudah dijual itu tidak boleh lebih dari 5 tahun (pasal 1519 KUHperdata). Apabila setelah lampau waktu yang diperjanjikan, penjual tidak membeli kembali, maka perjanjian untuk memeli kembali itu gugur. Dalam jual beli dengan hak membeli kembali, apabial objeknya barang bergerak, maka hak untuk membeli kembali itu hanya ada pada penjualanpertama, sedangkan untuk barang tidak bergerak, hak membeli kembali itu tetap ada walaupun barang itu berada pada pihak lain.

5. Jual beli dengan cicilan/ angsuran; jual beli cicilan secara umum di atur dalam pasal 1576 samapai denga pasal 1576x KUHPerdata balanda, tetapi tidak dimuat dalam KUHPerdata Indonesia. Dalam jual beli dengan cicilan, hak milik atas barang telah berpindah kepada pembeli ketika barang diserahkan


(46)

walaupun barang belum lunas dibayar, dimana pelunasan barang dilakukan dengan cara mencicil. Begitu pembeli menerima barang, seketika itu juga ia berhak menjual barang itu, walaupun harga belum lunas. Jual beli dengan cicilan ini biasanya mengunakan uang panjar, yang ditentukan oleh penjual. Sisanya dibayar dengan waktu yang telah ditentukan kedua belah pihak.27

6. Sewa beli disebut juga dengan huurkoop.dalam hal ini pembayaran dilakukan dengan cara berangsuran, namaun demikian sudah ada penyerahan hanya dalam persetujuan ditegaskan bahwa dengan penyerahan ini hak milik belum berpindah. Hak milik baru berpindah setelah harga di bayar lunas. Karena itu sewa beli merupakan suatu pembelian dengan cara

Subjek dan objek jual beli

Pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek hukum dalam perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual atau pembeli dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atautelah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut ini28

a. Jual beli suami istri

:

Pertimbangan hukum tidak diperkenankan jual beli antara suami istri adalah karena mereka sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi percampuran harta, yang disebut harta bersama, kecuali ada perjanjian kawin, namun ketentuan ini ada pengecualiaannya, yakni:

27 Wan Sadjaruddin Baros.loc.cit

28 Salim SH.MS, 2003.HUkum Kontrak (TEori dan TeknikPenyusunan Kontrak)Sinar


(47)

1. Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-bendakepada istri atau kepada suaminya yang oleh pengadilan dipisahkan apa yang menjadi hak suami dan apa yang menjadi hak istri menurut hukum.

2. Jika penyerahan dilakukan seorang suami atau istrinya, juga dari pengembalian benda-bendasi istri yang telah di jual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.

3. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang telah ia janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.

b. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Juru sita dan Notaris, Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal ini tetap dilakukan, maka jual beli ini dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga. c. Pegawai yang memangku jabatan umum

yang dimaksud disini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang di lelang.

Objek Jual Beli

Yang dapat menjadi objek jual beli dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya, sedangkan yang tidak diperkenankan untuk di perjual belikan adalah29

29 ibid.hlm 51


(48)

a. Benda atau barang orang lain

b. Barang yang tidak dperkenankan oleh undan-undang. Seperti;obat terlarang c. Bertentangan dengan ketertiban, dan

d. Kesusilaan yang baik

B.3. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli Kewajiban Penjual Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu :

a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan

Kewajiban yang menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengelihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari pihak penjual kepada pembeli. Oleh karena itu KUHPerdata mengenal tiga macam barang, yaitu : barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing barang tersebut :

a. Penyerahan benda bergerak

Penyerahan benda bergerak cukup dengan penyerahan atas barang tersebut, sesuai dengan pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut : “penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan nyta akan kebendaan itu oleh atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci dari bangunan dalam mana kebendaan ituberada”


(49)

b. Penyerahan kebendaan tidak bergerak

Bagi kebendaan tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam pasal 50630 dan pasal 508 KUHPerdata, kecuali mengenai hak ats tanah

yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang pokok agrarian, penyerahan hak miliknya dilakukan dengan membuat suatu akta otentik yang bertujuan untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut dan selanjutnya mengumumkan dan mendaftarkan sesuai dengan pasal 620 KUHperdata31 terhadap kebendaan berupa

tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, yang di jual bersama-sama dengan tanah tersebut, berlakulah ketentuan yang diatur dalalm UUPA, dimana jual beli dilakukan secara terang (dihadapan pejabat pembuat akta tanah), dan tunai, (tanpa diperlukan dua peristiwa hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 584 KUHPerdata)32

Dengan demikian jelaslah jika dalam KUHPerdata penyerahan benda tidak bergerak harus dilakukan dengan cara balik nama penyerahan yuridis, namun dengan berlakunya UUPA No.5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintahan No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang mengantikan PP No. 10 Tahun 1961, maka

30

Pasal 506 KUHPerdata : kebendaan tidak bergerak adalah : 1. Perkarangan dan yang di atasnya

2. Penggilingan, kecuali yang termaksud pasal 510 KUHPerdata 3. Pohon-pohon dan tanaman lading

4. Kayu tebangan selama belum di potong

5. Pipa-pipa dan got-got yang diperuntukkan untuk menyalurkan air ke rumah

31 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi.2003.Seri Hukum Perikatan, JUAL BELI. Hlm 143 32 Ibid.hlm 149


(50)

segala hal yang berhubungan dengan jual beli, penyerahan dan pengakutan hak atas tanah serta pendaftarannya diatur didalam dan diselengarakan menurut PP No 24 tahun 1997, sedangkan untuk kapal laut peraturan mengenai hak milik masih diatur dalam Stb.1938-48

c. Penyerahan benda tidak bertubuh

Sesuai dengan pasal 613 KUHPerdata penyerahan akan piutang atas nama dan benda tidak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta autentik atauakta dibawah tangan dengan nama hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain

Kewajiban pihak pembeli ialah:

a. Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat

b. Memikul biaya yang timbl dalam jual beli, misalnya ongkos antar baiya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya

b.4 resiko dalam perjanjian jual beli

Dalam perundang-undangan masalah resiko dalam perjanjian jual beli diatur sebagai berikut :

a. Benda atau barang yang sudah ditentukan

Barang yang sudah ditentukan dijual, maka resiko barang itu saatpembelian menjadi tanggungan si pembeli walaupunbarang itu belum diserahkan (pasal 1460 KUHPerdata). Namun, ketentuan ini telah dicabut


(51)

dengan SEMA No 3 tahun 196333

(1). Bergantung pada letak dan tempat bendanya itu, dan

, sehingga ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara tegas, namun penerapannya harus memperhatikan:

(2). Bergantung pada yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang tersebut34

b. Benda menurut berat, jumlah, atau ukuran .

Barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran tetap menjadi tanggungan si penjual hingga barang itu ditimbang, dihitung, atau diukur. Jadi sejakterjadinya penimbangan, penghitungan dan pengukuran atas barang maka tanggungjawab atas benda tersebut beralih kepada si pembeli (pasal 1461 KUHPerdata)

c. Barang yang di jual secara tumpukan

Jika barang yang di jual menurut tumpukan maka sejak terjadinya kesepakatan tentang harga dan barang maka sejak saat itulah barang-barang itu menjadi tanggung jawab si pembeli, walaupun belum ditimbang, dihitung atau di ukur (pasal 1462 KUHPerdata)

Dalam sistem KUHPerdata suatu kontrak hanya bersifat obligator saja, yang berarti bahwa setelah kontrak tersebut dilakukan masih diperlukan tindakan hukum lainnya, yakni penyerahan (lavering) yang dapat dilakukan setelah kontrak jual beli dilakukan, mestinya resiko baru beralih pada saat seharusnya penyerahan benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli dilakukan.

33 Mahkamah Agung hendak menghindari kesalahan dalam penafsiran atau penerapan pasal 1460

KUHPerdata yang isinya antara lain menganjurkan kepada hakim di pengadilan-pengadilan untyk mengaggap pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi.


(52)

Ketidaktepatan pengaturan resiko dalam pasal 1460 KUHPerdata diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahum 196335

yang memintakan para ahakim tidak memberlakukan pasal 1460 tersebut36

Dalam praktiknya, ketentuan umum tentang risiko tidak banyak berperan, karena seperti yang banyak telihat pada prakteknya, masalah risiko telah banyak diatur dalam perjanjian khusus, padahal prinsipnya ketentuan khusus didahulukan terhadap ketentuan umum. Di luar itu, para pihak dalam perjanjian juga bebas untuk mengatur sendiri masalah resiko, menyimpang dari ketentuan undang-undang yang bersifat menambah.

Orang boleh memperjanjikan, bahwa kerugian yang timbul sebagai akibat dari kelalaiannya, dan juga kelalaian karyawannya, tidak ditanggung olehnya, tetapi orang tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab kerugian yang muncul dari kesengajaan, janji-janji dimana kreditur membebaskan diri dari kewajiban menanggung risiko sebagai yang ditentukan dalam hukum yang bersifat menambah, dinamakan klausula exonoratie. Klausula exonoratie banyak terdapat pada perjanjian standar yang isinya dibuat oleh salah satu pihak dan pihak lain ada pilihan untuk menerima atau menolak, klausula exonoratie ini juga mengambil bentuk tanpa mengubah prinsip tanggung jawabnya, hanya karena menetapkan maksimum ganti rugi yang akan dipikul apabila terjadi kerugian37

35 (“dengan tidak berlakunya lagi pasal ini (pasal 1460), maka harus ditinjau tiap-tiap keadaan,

apakah tidak sepantasnya pertanggung jawaban atau risiko atas musnahnya barang yang telah diperjanjikan dijual tetapi belum diserahkan, harus dibagi antara kedua belah pihak, dan kalau iya, ditentukan sampai mana”

.

36 J Satrio SH. 1993. Hukum Perikatan (Perikatan pada umumnya). Alumni;Bandung. 37 Ibid.hlm.248


(53)

Ketentuan pasal 1481 KUHPerdata menentukan bahwa kebendaan yang dijual harus di serahkan, dalam keadaan seperti pada waktu penjualan dilakukan ketentuan tersebut memberikan arti bahwa keadaan kebendaan pada saat penyerahan dilakukan haruslah sesuai dengan saat kebendaan tersebut dijual. Dengan keadaan yang demikian, berarti dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kewajiban penjual untuk memelihara dan merawat kebendaan hingga saat penyerahan. Ini berarti meskipun jual beli telah berlaku secara sahpada saat penjual dan pembeli mencapai kata sepakat mengenai kebendaan yang di jual dan harga pembelian kebendaan, selama kebendaan belum diserahkan, maka segala hasil dan pendapatan yang diperoleh dari kebendaan tersebut masihlah menjadi milik dari penjualdengan demikian tepatlah rumusan pasal 1481 ayat 2 yang menyatakan “sejak waktu itu (waktu penyerahan) segala hal menjadi kepunyaan pembeli”38

Berdasarkan pasal 1482 KUHPerdata yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan umum yang diatur dalam pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

Dengan demikian maka jelaslah bahwa jual beli mengenai suatu objekkebendaan tertentu adalah jual beli yang berhubungan dengan manfaat yang akan ditarik dari kebendaan yang dibeli tersebut. Ini berarti secara objektif, jual beli meliputi segala hal yang melekat pada kebendaan tersebut agar kebendaan

38 Gunawan Widjaja.Op,cit.hlm. 150


(54)

tersebut dapat digunakan sebagaimana mestinya (sesuai peruntukan kebendaan tersebut dan agar pembeli dapat menikmati) penggunaan dan pemanfaatannya secara aman dan tentram dari genggaman pihak manapun juga.

B.5 Pembatalan Perjanjian Jual Beli

Perjanjian jual beli adalah sebuah persetujuan dan oleh karena itu supaya jual beli itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum oleh undang-undang untuk sahnya suatu perjanjian. Jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi maka persetujuan jual beli itu dapat batal demi hukum atau batal karena pembatalan atas permohonan salah satu pihak.

Batal demi hukum

Pembatalan ini mengakibatkan bahwa perjanjian itu dianggap tidak pernah dilakukan Undang-Undang mencantumkan bahwa suatu perbuatan hukum adalah batal demi hukum, apabila perbuatan itu dilakukan dengan cara melanggar ketentuan dalam undang-undang mengenai cara itu sendiri, juga termaksuk apabila mengancam ketertiban umum atau kesusilaan.

Batal karena pembatalan

Pembatalan ini memiliki akibat hukum setelah orang yang bersangkutan meminta kepada pengadilan supaya persetujuan itu dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa suatu perbuatan hukum dapat dibatalkan, apabila bertujuan untuk melindungi pihak yang dirugikan, seperti dalam hal terjadinya paksaan, penipuan, kekhilafan, dan orang tidak cakap. Pembatalan dalam perjanjian jual beli, umumnya terjadi apabila tidak terpenuhinya kewajiban salah satu pihak.


(55)

BAB III

KETENTUAN UMUM RESIKO

A. PENGERTIAN RISIKO

Hidupnya manusia dalam memenuhi kebutuhannya banyak menanggung risiko untuk kelangsungan hidupnya. Memeras keringat, membanting tulang dan kadang kala harus mempertaruhkan nyawanya, demikianlah ditakdirkan oleh Tuhan kepada manusia semenjak Adam dan Eva berbuat dosa.

Kata-kata risiko ini dalam hidup manusia bermasyarakat, apalagi zaman sekarang ini boleh dikatakan sudah berurat berakar dan oleh setiap orang selalu mengkaitkan dengan hal yang tidak enak.

Dalam penulisan skripsi ini kata “risiko” kami kaitkan dengan risiko dalam perjanjian menurut ilmu hukum.

Untuk itu apakah yang dinamakan dengan risiko dalam Hukum Perjanjian ? Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. 39

Misalnya, barang yang diperjual-belikan, musnah diperjalanan karena kapal laut yang mengangkutnya karam di tengah laut akibat serangan badai. Atau sebuah rumah yang sedang dipersewakan terbakar habis karena “kortsluiting” aliran listrik. Siapakah yang menurut hukum harus menanggung kerugian-kerugian tersebut. Inilah persoalan yang dengan satu istilah hukum disebut persoalan “risiko”. Pihak yang menderita karena barang yang menjadi objek perjanjian

39 Op. Cit. hal 36.


(56)

ditimpa oleh kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, pihak ini dinamakan pihak yang memikul risiko.

Persoalan tentang risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang tidak diduganya sejak dari semula. Peristiwa semacam ini dalam hukum perjanjian disebut dengan suatu istilah “keadaan memaksa” atau “overmacht”.

Wirjono Prodjodikoro, S.H. memberikan definisi sebagai berikut :

Keadaan memaksa adalah, keadaan yang mengakibatkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak terlaksana atau tidak dapat dilaksanakan.40

R.M. Suryodiningrat, S.H. memberikan depinisi sebagai berikut :

Keadaan memaksa adalah, peristiwa yang terjadi diluar kesalahan debitor setelah dibuatnya perikatan yang debitor tidak dapat memperhitungkannya terlebih dahulu pada saat dibuatnya perikatan, atau sepatutnya tidak dapat memperhitungkannya, dan yang merintangi pelaksanaan perikatan. 41

Jika kita telaah kedua definisi diatas, sebenarnya kedua definisi tersebut dapat dikatakan mempunyai maksud yang sama. Namun demikian bukan maksud bahwa kedua definisi itu memberikan arti yang sama dari keadaan memaksa itu. Maksud yang sama adalah, karena kedua depinisi tersebut mengatakan, bahwa dengan keadaan memaksa perhubungan hukum atau perjanjian, tidak dapat dilaksanakan atau merintangi pelaksanaan perjanjian. .

40 Wirjono Prodjodikoro, SH. Azas-Azas Hukum Perdata Indonesia, hal 63.

41 R.M.Suryodiningrat, SH. Azas-Azas Hukum Perikatan Penerbit Tarsito Bandung, hal 36 tahun


(57)

Kedua definisi tersebut tidak memberikan arti yang sama adalah, disatu pihak definisi yang diberikan Wirjono Prodjodikoro, SH, hanya memberikan apa akibat dari keadaan memaksa, sedangkan apa penyebab keadaan memaksa itu tidak diberikan. Jadi hanya dengan berdasarkan kepada definisi tersebut kita akan bingung, mengapa tidak, karena kita akan hanya menerima jawaban perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan. Disampingnya tidak menyebutkan apa penyebab dari keadaan memaksa itu, juga tidak menyebutkan pihak mana yang tidak dapat melaksanakan perjanjian tersebut dan bagaimana pertanggungjawabannya. Dilain pihak depinisi yang diberikan oleh R.M.Suryodiningrat, SH. Menurut hemat kami lebih baik karena disamping beliau memberikan akibat dari keadaan memaksa juga menyebutkan apa penyebab keadaan memaksa yaitu “peristiwa yang terjadi diluar kesalahan debitor”. Dan dengan menyimpulkan perkataan itu, maka pihak yang tidak dapat melaksanakan perjanjian adalah debitor, walaupun selanjutnya beliau tidak menyebutkan bagaimana pertanggung-jawaban debitor tersebut. Dan untuk lebih sempurnanya depinisi yang diberikan oleh R.M.Suryodiningrat,SH. Akan berikan definisi dari Prof. R.Subekti, SH.

Keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat dipertanggung-jawabkan kepada debitur dan memaksa dalam arti bahwa debitur ini terpaksa tidak dapat menepati janji.42

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, soal keadaan memaksa diatur dalam Psal 1244 dan 1245 yang terdapat dalam bagian tentang ganti rugi. Adapun dasar pikiran pembuat undang-undang menempatkan pasal ini dalam

42 Prof. R.Subekti, SH. Loc Cit, hal 53


(58)

bagian ganti rugi adalah karena keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. 43

Pasal 1244 berbunyi sebagai berikut; “ Jika dimungkinkan untuk itu, si debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak membuktikan bahwa hal debitur tidak melaksanakan atau melaksanakan tapi telah melewati waktu yang ditetapkan dalam perjanjian, disebabkan suatu hal yang tak terduga, tak dapatlah dipertanggungjawabkan kepadanya, kesemuanya itu haruslah itikat baik ada padanya”

Pasal 1245 berbunyi sebagai berikut ; “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus diganti debitur, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu peristiwa yang tidak disengaja si debitur berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Dari isi kedua pasal tersebut terlihat, bahwa maksudnya mengatur dua hal yang sama, yaitu dibebaskannya si debitur dari kewajibannya mengganti kerugian, karena suatu peristiwa yang dinamakan “keadaan memaksa”. Secara terus terang harus dikatakan bahwa dua pasal itu merupakan suatu “doublure”, dua pasal yang mengatur satu hal yang sama. 44

43 Op. Cit. hal 52.

Yang satu tidak memberikan suatu hal yang lebih dari pada yang sudah diberikan oleh yang lainnya. Hanyalah pasal 1245 menyebutkan kejadian yang termaksud itu dengan nama “keadaan memaksa” Jadi keadaan memaksa adalah merupakan suatu alat bagi debitur untuk membebaskan dirinya dari tuntutan kreditur, dengan menunjukkan bahwa tidak


(59)

terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi. Sehingga dengan pengajuan keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dikatakan lalai atau alpa.

Dengan penguraian yang singkat diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa debitur dapat menghindar dari tuntutan kreditur untuk pemenuhan prestasi karena keadaan memaksa setelahnya perjanjian ditutup dengan mengemukakan :

1. Adanya suatu keadaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap debitur.

2. Keadaan mana atau kejadian itu tidak diketahui sebelumnya.

3. Debitur dengan itikat baik hendak melaksanakan kewajibannya, tapi keadaan menghalanginya.

4. Debitur belum lalai untuk menyerahkan barang.

Dengan adanya overmacht ini terhentilah perikatan tapi bukan menghilangkan. Perikatan tetap ada hanya tidak dapat dilaksanakan. Sehingga bila dilihat dari pihak si kreditur, kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi. Sedangkan bila dilihat dari pihak si debitur risiko dipikul oleh kreditur.

Bentuk-bentuk overmacht dapat diakibatkan oleh 3 hal, :

Bentuk-bentuk Overmacht

1) Peristiwa 2) Kehilangan 3) Pencurian


(60)

Agar debitur dapat mengemukakan, overmacht berdasarkan salah satu hal diatas maka harus dipenuhi tiga syarat :

1) Debitur harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah

2) Debitur tidak harus menanggung risiko baik berdasarkan undang-undang atau pun perjanjian.

3) Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain.

Overmacht dapat bersifat tetap atau sementara. Overmacht bersifat tetap; Jika prestasinya sama sekali tidak mungkin. Misalnya, barangnya telah musnah. Atapun bila prestasi itu pemenuhannya sesudah overmacht tidak berguna lagi. Contoh : Misalnya, si A memesan kartu undangan untuk keperluan perkawinan adiknya yang bungsu, akan tetapi karena tidak ada bahannya, kartu undangan tadi tidak dibuatkan, sehingga bila kartu undangan itu dibuatkan lagi, prestasinya tidak ada lagi. Overmacht bersifat sementara; Jika kewajiban untuk memenuhi prestasi timbul lagi sesudah keadaan overmacht berlalu. Mengenai overmacht sementara ini menimbulkan kesulitan. Jika sesudah berlalunya atau berhentinya keadaan overmacht harga barang sangat tinggi, sehingga dirasakan oleh debitur sangat tidak adil. Akhirnya timbul masalah, apakah debitur harus berprestasi menurut harga-harga sebelumnya terjadi overmacht, ataukah menurut harga setelah terjadinya overmacht ?

Sifat-sifat Overmacht

Penyelesaiannya : menganggap bahwa setiap perjanjian dibuat clausula “Rebus Sic Stantibus” artinya bahwa : pihak yang membuat perjanjian harus menganggap


(61)

bahwa perjanjian itu hanya dimaksudkan oleh mereka selama keadaan-keadaan tidak berubah.

Paham ini termasuk paham kuno, menurut paham modern perjanjian tidak lagi menggunakan clausula “Rebus Sic Stantibus”, akan tetapi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada pasal yang secara tegas mengatur mengenai pelaksanaan perjanjian itu, yakni pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi : “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Yang dimaksudkan pasal ini adalah bahwa pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi dimaksudkan adalah ukuran-ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan tadi. “Pelaksanaan perjanjian harus berjalan diatas rel yang benar”

Dalam pasal 1338 ayat 3 Hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti bahwa Hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya, manakala pelaksanaan menurut huruf bertentangan dengan “itikad baik”. Sehingga adalah bahwa pasal 1338 itu harus kita pandang sebagai suatu tuntutan keadilan.

Berbicara mengenai masalah “risiko” didalam perjanjian, maka hal ini berarti menelaah isi Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dari berbagai macam bentuk perjanjian di dalam Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak akan menelaah kesemuanya, tapi hanya beberapa bentuk diantaranya.


(1)

123 bukan untuk dimiliki sedangkan kepada perjanjian sepihak untuk menerima barang untuk dimiliki hanya dapat menerapkan pasal 1237 KUH Perdata, apabila perkataan “si berpiutang” diganti dengan perkataan “si berhutang” dan didepannya ditambahkan perkataan “hingga penyerahan dilakukan”. Dan pasal 1545 KUH Perdata kepada perjanjian bertimbal balik. Begitupun kiranya dalam pembentukan Hukum Perjanjian Nasional, agar dibedakan pasal undang-undang yang mengatur akan masalah risiko dalam perjanjian sepihak antara menerima barang untuk dimiliki dan menerima barang bukan untuk dimiliki secara tegas.

4. Dengan berdasarkan ketentuan bahwa, si penyewa – beli selama angsuran harga belum dibayar lunas;

- Ia tiada lain hanya sebagai seorang penyewa terhadap barang yang dikuasainya.

- Karenanya tiada ia diperbolehkan menjual barang tersebut,

- Bila ia menjual barang tersebut ia akan dapat dituntut dengan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan.

Setelahnya angsuran harga telah lunas barulah ;

- Ia menjadi seorang pemilik terhadap barang tersebut - Ia leluasa untuk menjualnya

Maka untuk sementara hingga nantinya terbentuk Hukum Perjanjian Nasional, demi untuk terlindunginya pihak ekonomi lemah dari kesewenangan pengusaha dan kepastian hukum maupun keadilan, maka


(2)

124 bila mengadakan perjanjian sewa – beli, perjanjian harus dipakai judul “sewa-menyewa” dengan syarat ketentuan :

- Si penyewa beli mempunyai hak opsi untuk membeli barang yang disewanya.

- Kemusnahan barang, kehancuran dan kehilangan barang karena keadaan memaksa adalah tanggung jawab yang menyewa – belikan - Si penyewa – beli menunggak angsuran dengan telah mengangsur

lebih dari sepertiganya harga barang, harus dikembalikan setengah dari yang telah diangsur.

- Si penyewa – beli menunggak angsuran dengan hanya baru mengangsur belum sepertiganya dari harga barang, maka uang menjadi hak milik yang menyewa-belikan bila dalam dua kali angsur berturut-turut si penyewa beli tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melanjutkan pembayaran angsuran padahal ia sudah diberi tegoran. - Dalam hal punt 3,4 diatas maka tiada diperkenankan yang menyewa

– belikan mengambil begitu saja tetapi harus melewati hakim.

5. Apabila dalam pembentukan hukum perjanjjian nasional yang akan datang bentuk perjanjian yang disebut dalam punt 4 diatas dimuat kedalamannya, maka untuk bentuk perjanjian tersebut judul yang sesuai dan tepat adalah perjanjian “sewa – beli” dengan syarat ketentuan :


(3)

125 - Apabila si penyewa beli tetap menuaikan kewajiban membayar uang sewa (uang angsuran) selama waktu yang telah ditetapkan, maka barang yang disewa-beli, beralih menjadi miliknya

- Selama hak milik atas barang yang disewa, belum beralih kepada si penyewa, maka seberapa boleh peraturan tentang sewa.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo Pengantar Tata Hukum di Indonesia 1 penerbit bersama PT. Pembangunan, Ghalia Indonesia,1979, hal 22.

Dr . Sunaryati Hartono , SH , Mencari Bentuk Dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional , Cet kedua , Penerbit Alumni Bandung , 1974 ,hal 26.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.1996.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka,Jakarta.,hlm.959

Djoko Prakoso. Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia Bina Aksara, Jakarta 1987.1

Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu Cet Ke VII Penerbit “Sumur-Bandung” Hal 17, tahun 1981.

R. Surbekti S.H. Hukum Perjanjian Cet Ke V Hal I.

Prof. R. Surbekti S.H. Hukum Perjanjian, Edisi ke V. Penerbit – 1 Alumni Bandung, Hal 1-2 tahun 1978.

Prof.Miriam Darus Badrulzaman.2001.Kompilasi Hukum Perikatan Citra Aditya Bakti,Bandung. Hlm 83

Wan Sadjaruddin Baros.1992. Beberapa Sendi Hukum Perikatan USU Press, Medan.

Prof.R. Subekti 1995.Aneka Perjanjian .Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.2 Achmad Ichsan.1969.Hukum Perdata IB.jakarta; Pembimbing Masa,Jakarta.hlm

102

Salim SH.MS, 2003.HUkum Kontrak (TEori dan TeknikPenyusunan Kontrak)Sinar Grafika.Jakarta.hlm 50

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi.2003.Seri Hukum Perikatan, JUAL BELI. Hlm 143

J Satrio SH. 1993. Hukum Perikatan (Perikatan pada umumnya). Alumni;Bandung.


(5)

R.M.Suryodiningrat, SH. Azas-Azas Hukum Perikatan Penerbit Tarsito Bandung, hal 36 tahun 1979.

Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH. Azas-azas Hukum Perjanjian Cet Kesembilan Penerbit “Sumur-Bandung” 1981.

Prof. R. Subekti, SH, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional Cet. Pertama tahun 1976 Penerbit Alumni Hal. 20.

Prof. Mr. Dr. L.J.Van Apeldoorn Pengantar Ilmu Hukum Cet ke 13 hal Penerbit Pradnya Paramita – Jakarta 1975.

Dr. Sri Soemantri, SH, Hak menguji Matril di Indonesia Bandung, 1972 hal 73 Prof. R. Subekti, SH. Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional Cet-Pertama

Penerbit Alumni hal 45 tahun 1976.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

Pasal 1338 KUH perdata : semua perjanjian yang dibuat sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya

Pasal 1339 KUH Perdata: suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan., kebiasaan atau oleh undang-undang

Pasal 1333 KUH Perdata : dinyatakan secara tegas “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

Pasal 1334 KUH Perdata : jelas dinyatakan “Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu………” Pasal 616 KUHPerdata :penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tidak

bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 620


(6)

Pasal 612 KUHPerdata : penyerahan kebendaan bergerak, terkecualai yang tidak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu atau atas naman pemilikk, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada.

Pasal 613 KUHPerdata : penyerahan atas nama piutang-piutang dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah tangan dengan mana hakl-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.

Pasal 1438 KUHPerdata : pembebasab sesuatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan

Mahkamah Agung hendak menghindari kesalahan dalam penafsiran atau penerapan pasal 1460 KUHPerdata yang isinya antara lain menganjurkan kepada hakim di pengadilan-pengadilan untyk mengaggap pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi.