Kesetaraan Gender Dan Pemberdayaan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Internasional

BAB II
KEDUDUKAN PEREMPUAN BERDASARKAN KONVENSI
INTERNASIONAL

A. Kedudukan Perempuan Berdasarkan Konsep Mengenai Gender
Perempuan dan perannya memang selalu mengundang kontroversi,
terutama di era yang menjunjung tinggi persamaan hak antara wanita dengan pria.
Tuntutan ini akrab dengan istilah Kesetaraan Gender. Jika membahas mengenai
gender dan peran sosial yang dimainkannya di Indonesia, maka hal ini tidak
terlepas dari budaya atau kultur yang kental akan budaya patriarki.
Budaya patriarki adalah budaya yang menjadikan kaum laki-laki sebagai
pusat otoritas (kekuasaan), kedudukan lelaki yang lebih tinggi dari perempuan.
Laki-laki sebagai pusat otoritas dalam mengambil keputusan yang di dalamnya
terdapat kaum perempuan yang terlibat, seperti dalam keluarga maupun
organisasi. Laki-laki identik sebagai ketua atau penanggung jawab. Pada zaman
dahulu, hal ini memang dipegang teguh oleh semua orang dan mereka yakin
bahwa pria memang bertanggung jawab penuh sebagai seorang pemimpin.
Dengan begitu besarnya porsi laki-laki dalam hal tanggung jawab
membuat laki-laki memiliki pengaruh yang kuat dan mutlak. Di keluarga,
misalnya, jika kepala keluarga sudah megatakan sesuatu hal, maka seluruh
anggota keluarga akan menyepakati. Hal ini juga berlaku dalam hal pengambilan

keputusan akan masalah yang terjadi di keluarga. Tradisi inilah yang membuat
peran perempuan tenggelam dan tidak berkembang. Perempuan cenderung pasrah

Universitas Sumatera Utara

dan nrimo (menerima) akan keputusan apa pun yang diambil, meski tidak jarang
mengorbankan kepentingannya.
Hal ini tentu berakibat kemampuan perempuan dalam hal berpikir kritis
pun semakin tumpul. Ruang gerak perempuan terbatas hanya di ranah urusan
rumah tangga. Tentu saja hal ini kelak membuat sekelompok perempuan jenuh
dan memberontak. Demikian pula diskriminasi terhadap perempuan adalah istilah
yang layak digunakan untuk mendefinisikan dampak patriarki ini. Kesetaraan
gender adalah istilah yang mewakili aspirasi yang disuarakan oleh sekelompok
perempuan yang merasa terkekang akan tradisi dan budaya yang sudah kuat
terbangun ini.
Kesetaraan gender didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana semua
manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan kemampuan
personal mereka dan membuat pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender
yang kaku. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu
sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh

apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan.
Secara umum, gender itu berasal dari bahasa latin “genus” yang berarti
jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan
perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. 10 Kalau begitu antara
gender dengan seks adalah sama? Pertanyaan itu sering muncul dari pengertian
kata asli dari genus atau gender itu sendiri.

10

Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed) Kajian
Wanita Dalam Pembangunan. Yayasan Obor , Jakarta, 1995, Hal. 14.

Universitas Sumatera Utara

Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara
laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat
tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan
budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan
oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan
menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan

melahirkan serta menyusui dan menopause. 11
Begitu juga terhadap bentuk hubungan gender dengan seks (jenis
kelamin). Dapt dikatakan bahwa hubungannya adalah sebagai hubungan sosial
antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya
malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan.
Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu
dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai
tradisi dan norma yang dianut.
Dalam melaksanakan peran ataupun tingkah laku yang diproses
pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan”
misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang,
sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dan lainnya. Sedangkan laki-laki harus
kuat, rasional, wibawa, perkasa, pencari nafkah dan lain sebagainya. Proses
pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita,
masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa
sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa

11

Ibid Hal. 15.


Universitas Sumatera Utara

memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita
menganggapnya sebagai kodrat.
Selain itu ada juga beberapa pendapat tentang gender. Berikut ini beberapa
pengertian gender menurut para ahli, antara lain :
1. Gender adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan peran
perempuan ditentukan. 12
2. Gender adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki
yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang
berlaku dalam periode waktu tertentu. 13
3. Gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi
perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya. 14
4. Gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk
menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. 15
Perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender (gender inequality). Namun, yang menjadi persoalan adalah
bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum
laki-laki maupun kaum perempuan, terutama kaum perempuan. Ketidakadilan

gender merupakan system dan struktur di mana baik kaum laki-laki maupun kaum
perempuan menjadi korban dari system tersebut.
Untuk memahami bagaimana peran gender melahirkan ketidakadilan
gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni;
12

Suprijadi dan Siskel, Gender. PT. Danur Wiajay Press, Surabaya, 2004 Hal. 76
WHO, Gender and Feminism in Politic, dalam Said Khan Wanita, Gender dan
Feminisme Perjuangan Partisipasi Politik Kaum Perempuan. 2011. Hal. 10
14
Azwar, Teror Dalam Tatanan Struktur Politik. PT. Gramedia; Jakarta, 2001 Hal. 52
15
Ibid Hal. 52.
13

Universitas Sumatera Utara

marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan
negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak

(burden), serta sosialisasi ideology nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan
gender ini tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan,
saling mempengaruhi secara dialektis. 16
B. Gender Sebagai Suatu Bentuk Yang Harus Diutamakan
Hingga saat ini berbagai instrumen yuridis telah dibuat untuk mendukung
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Komitmen pemerintah melalui
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk mewujudkan kesetaraan
dan keadilan gender juga sangat tinggi. Namun, dalam kenyataannya ketimpangan
gender dalam segala aspek kehidupan tetap terjadi, sehingga sangat perlu
dilakukan identifikasi terhadap berbagai faktor yang menjadi penyebabnya agar
diperoleh solusi yang tepat sesuai dengan persoalannya. Wacana tentang isu
gender sudah menjadi isu yang mendunia.
Pada umumnya isu gender yang paling sering dibahas adalah masalah
status dan kedudukan perempuan di masyarakat yang masih dinilai subordinal
atau marginal. Persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender bukanlah
persoalan sederhana dan berdimensi lokal, namun persoalan ini ditemui di seluruh
belahan dunia, serta berkaitan erat dengan segala sendi kehidupan manusia. Maka
tidaklah mengherankan jika boleh dikatakan perjuangan para pemerhati masalah
perempuan, untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender yang sudah
16


Mansour Fakih, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
1991, hal. 8 – 9.

Universitas Sumatera Utara

sekian lama seolah-olah jalan di tempat, atau paling sedikit hasil yang dicapai
belum sesuai dengan harapan.
Jika dilihat dari sejarah perhatian dunia secara formal mengenai persamaan
antara lakilaki dan perempuan sudah dimulai pada tahun 1948 melalui suatu
deklarasi yang disebut sebagai The Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), dan tahun 1976 dilengkapi menjadi The International Bill of Human
Rights (Pernyataan Hak Asasi Manusia). Dalam prakatanya Presiden Amerika
pada saat itu Jimmy Carter menyatakan bahwa Piagam PBB berbicara tentang
keyakinan pada hak asasi manusia yang fundamental, pada martabat dan
penghargaan manusia, pada persamaan hak laki-laki dan perempuan dan bangsabangsa besar dan kecil. Pernyataan tersebut secara implisit mengemukakan bahwa
ada ketidaksamaan hak antara laki-laki dan perempuan didunia ini, sehingga perlu
dibuat dalam sebuah pernyataan agar negara, maupun masyarakat, mengindahkan
persamaan hak tersebut sebagai sebuah hak asasi manusia.

Kesetaraan gender juga sangat penting artinya dalam peningkatan kualitas
kehidupan keluarga melalui penurunan tingkat fertilitas dalam sebuah keluarga.
Seperti tingkat kesetaraan gender yang tinggi sangat diperlukan bagi negaranegara berkembang yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi
dalam rangka menurunkan tingkat fertilitas di negara-negara tersebut. Penurunan
fertilitas ini terjadi melalui kesetaraan gender di empat bidang yaitu kesetaraan
ekonomi/pendapatan, kesetaraan waktu kerja dalam mencari nafkah, kesetaraan

Universitas Sumatera Utara

peran dalam kemasyarakatan, kesetaraan dalam pengambilan keputusan penting
dalam rumah tangga.
Peningkatan kesetaraan gender pada empat bidang tersebut mengakibatkan
penurunan fertilitas melalui hak reproduksi istri, yang pada akhirnya berdampak
pada peningkatan kualitas keluarga. Dengan demikian jika pemerintah
menginginkan terjadi penurunan fertilitas di dalam sebuah keluarga, maka cara
tidak langsung yang dapat digunakan adalah melalui peningkatan maupun
pemahaman bahwa kesetaraan gender merupakan hal yang harus diutamakan
dalam setiap sisi kehidupan manusia.
Negara Indonesia telah sejak lama memiliki pendekatan kebijakan untuk
program-program khusus perempuan, yang dilaksanakan melalui Program

Nasional P2W-KSS (Peningkatan Peran Wanita Untuk Membina Keluarga Sehat
dan Sejahtera). Karena peran utama perempuan terutama dinilai sebagai peran
rumah tangga, maka program-program seperti itu terutama difokuskan pada
kesejahteraan keluarga dan upaya untuk mendapatkan tambahan penghasilan
keluarga sehingga program-program pembangunan lainnya tidak diwajibkan
bersifat responsif terhadap gender. Akibatnya, secara keseluruhan tidak dijumpai
adanya kesadaran kelembagaan mengenai kaitan antara pemberdayaan perempuan
dan pembangunan berkelanjutan.
Gender sebagai suatu bentuk yang harus diutamakan sesungguhnya sudah
diamanatkan melalui Instruksi Presiden/INPRES Pengarusutamaan Gender No.
9/2000, yang mengharuskan semua instansi pemerintah di tingkat nasional dan
daerah, untuk mengarusutamakan gender ke dalam perencanaan, implementasi,

Universitas Sumatera Utara

monitoring dan evaluasi seluruh kebijakan dan program. Menurut INPRES
tersebut, Kementrian dan lembaga ditingkat nasional dan lokal harus mengatasi
persoalan ketidak-setaraan gender dan menghapuskan dikriminasi gender.
Peraturan Menteri Dalam Negeri/Kepmendagri No. 15/2008 berisi pedoman untuk
pelaksanaan pengarusutamaan gender di tingkat propinsi dan kabupaten. UUD

Negara Indonesia dan ratifikasi berbagai konvensi internasional menunjukkan
komitmen negara terhadap kesetaraan gender dan menyebabkan dikeluarkannya
berbagai undang-undang lokal yang efektif.
Sasaran-sasaran kesetaraan gender mendapat penguatan lebih lanjut
dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9/2000 mengenai Pengarusutamaan
Gender pada bulan Desember 2000, yang dilengkapi dengan Manual
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang mengklarifikasi
peran dan tanggung jawab pengarusutamaan gender di lingkungan departemendepartemen dan instansi-instansi pemerintah. Lima instansi pemerintah, yaitu
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pertanian, Kantor
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Menengah Kecil, Departemen Pendidikan
Nasional dan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, telah
berpartisipasi dalam suatu program percontohan menggunakan Jalur Analisa
Gender atau Gender Analysis Pathway (GAP), yang dikembangkan oleh Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (dengan dukungan dari CIDA).
Perangkat analisa yang sederhana ini digunakan untuk membantu
melakukan analisa gender, menyusun perencanaan, kebijakan dan pembangunan
program yang sensitif terhadap gender serta menawarkan peluang-peluang untuk

Universitas Sumatera Utara


melakukan pengembangan lebih lanjut kepada kelompok-kelompok pemerintah,
pengusaha dan pekerja.
C. Prinsip Tentang Kesetaraan Gender
Sebagai upaya dalam mengatasi permasalahan gender saat ini, maka dapat
dilihat beberapa prinsip-prinsip kesetaraan yang dikutip dari hasil Konvensi
CEDAW. Konvensi ini merupakan konvensi internasional tentang hak asasi
perempuan dengan tiga pendekatan: kesetaraan substantif, non-diskriminasi, dan
kewajiban negara.
a. Prinsip Kesetaraan Substantif
Prinsip ini mempertimbangkan dan memberikan fokus pada keragaman,
perbedaan, ketidakberuntungan, dan diskriminasi. Pendekatan prinsip ini berusaha
mengembangkan “perlakuan yang berbeda” terhadap perempuan dalam rangka
mengejar ketertinggalan mereka akibat dari pembedaan masa lalu yang dialami
dalam keluarga dan masyarakat.
b. Prinsip Non-Diskriminasi
Prinsip ini menganut setiap langkah dan upaya yang tidak menyebabkan
diskriminasi pada perempuan, seperti pembedaan, pengucilan, atau pembatasan
yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan
untuk menghalangi, mengurangi, menghapuskan pengakuan atau pelaksanaan
HAM dan kebebasan pokok di berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial budaya,
dan sipil).
Diskriminasi dilarang dalam lebih dari satu traktat hak asasi manusia.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melarang

Universitas Sumatera Utara

pembedaan berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, dan bahasa sebagai jaminan
atas hak individu. Pembedaan dalam pemberian hak atas dasar yang manapun
merupakan

tindakan

diskriminatif dan

bukan

perlakuan

berbeda

yang

memfasilitasi kesetaraan pengakuan, penikmatan, dan penerapan hak yang sama
bagi semua. CEDAW memberikan arti yang lebih komprehensif tentang
diskriminasi yang terdapat pada Pasal 1:
Dalam Konvensi ini istilah "diskriminasi terhadap perempuan" berarti
setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau
apapun lainnya bagi kaum perempuan terlepas dari status pekawinan mereka atas
dasar persamaan laki-laki dan perempuan.
Walaupun Pasal di atas dengan jelas menjabarkan definisi diskriminasi,
kedalaman dan cakupannya lebih dapat dipahami melalui ketentuan-ketentuan
substantif Konvensi. Pasal 4 menentukan diskriminasi positif atau 'korektif'
sebagai aspek penting penghapusan diskriminasi dan Rekomendasi Umum 19
memperluas cakupannya dengan memasukkan bentuk-bentuk kekerasan khusus
gender (gender-specific forms of violence). Pelaksanaan dan kewajiban yang
diembannya meliputi ranah publik dan ranah privat dan juga negara dan bukannegara sebagai pelaku. Definisi dalam Pasal 1 dapat juga diaplikasikan pada
diskriminasi yang dijabarkan dalam ICCPR. Menurut CEDAW, diskriminasi
terjadi bila ada elemen-elemen berikut yang berkaitan satu dengan lainnya:
a) Ideologi.
Asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan
perempuan.

Universitas Sumatera Utara

Diskriminasi yang ditentukan dalam CEDAW tidak terbatas pada
pembedaan perlakuan yang didasarkan hanya pada jenis kelamin
tetapi juga diskriminasi yang bersumber dari asumsi-asumsi sosial
budaya negatif yang dilekatkan pada keadaan karena dia adalah
'perempuan' atau yang disebut "ideologi gender." Konstruksi ideologis
peran dan kemampuan perempuan mempengaruhi akses perempuan
dalam memperoleh berbagai kesempatan di berbagai tingkatan:
individu, kelembagaan, dan sistem. Sebagai contoh, kenyataan bahwa
pekerjaan

yang dilakukan perempuan sebagian besar adalah

pekerjaan-pekerjaan tertentu saja dan di sisi lain tidak adanya
perempuan dalam jenis-jenis pekerjaan lainnya merupakan akibat dari
asumsi-asumsi ideologi bahwa perempuan hanya cocok untuk
pekerjaan tertentu saja. Bahwa perempuan lebih banyak mengerjakan
pekerjaan pengasuhan, pelayanan dan pekerjaan-pekerjaan subordinat
lainnya didasarkan pada pilihan dan kesempatan yang diberikan
kepada perempuan pada lingkup pekerjaan tersebut, dan bukan karena
perempuan tidak mampu atau tidak berminat untuk pekerjaan lain.
Asumsi gender seperti ini telah membatasi kesetaraan kesempatan
bagi perempuan di tempat kerja.
b) Tindakan
-

Perbedaan perlakuan, pembatasan atau pengucilan

Universitas Sumatera Utara

Asumsi berbasis gender telah memberikan dampak negatif pada
hak dan kebebasan perempuan dan menjadi sebab adanya
diskriminasi dalam hal-hal sebagai berikut:
-

Perbedaan perlakuan terhadap perempuan dibandingkan dengan
laki-laki :
Dalam Pasal 1 CEDAW, perbedaan perlakuan terhadap laki-laki
dan perempuan

tidak

dengan

sendirinya

disebut

sebagai

diskriminasi, tetapi diskriminasi terjadi bila perbedaan perlakuan
tersebut menimbulkan pengurangan atau penghapusan hak dan
kebebasan perempuan. Dengan demikian, tindakan afirmasi untuk
mengoreksi ketidakberuntungan yang dialami perempuan pada
saat ini (contemporary) atau yang sudah lama berlangsung
(historic) sebagai upaya untuk mencapai kesetaraan substantif
tidak masuk dalam cakupan definisi ini.
-

Pembatasan hak dan kebebasan perempuan: Pembatasan berarti
pengurangan atau pembatasan yang dipaksakan pada hal yang
diakui

sebagai

hak.

Pembatasan

jam

kerja,

pembatasan

gerak/mobilitas, bekerja atau pindah kerja harus dengan izin suami
atau penanggung jawab lainnya merupakan contoh diskriminasi
seperti ini.
-

Pengucilan: Pengucilan adalah pengingkaran hak dan kebebasan
perempuan berdasarkan jenis kelamin atau asumsi-asumsi gender.
Contoh dari pengucilan seperti ini adalah tidak membolehkan

Universitas Sumatera Utara

perempuan ditahbiskan sebagai pendeta menurut ketentuan agama,
mewarisi harta pusaka, memilih, atau menduduki posisi tertentu.
Terjadinya perubahan kebijakan dapat menyebabkan perubahan dari
satu bentu diskriminasi ke bentuk yang lain, atau bahkan dapat
mengakibatkan ketiga bentuk diskriminasi tersebut berlaku secara
bersamaan. Sebagai contoh, sesudah revolusi 1979 di Iran, perempuan
dilarang berpartisipasi dalam semua jenis olah raga. Tetapi kemudian,
para pemimpin politik membolehkan perempuan berpartisipasi dalam
berbagai jenis olah raga, kecuali sepak bola, tetapi dengan syarat
mereka harus berpakaian sederhana dan badan tertutup semuanya.
Namun, syarat tersebut tidak berlaku bagi perempuan yang berolah
raga di dalam fasilitas privat atau fasilitas terpisah laki dan
perempuan.
Contoh ini dengan jelas merefleksikan adanya perubahan, dari situasi
pengucilan terhadap semua jenis olah raga ke dalam situasi dimana
tiga jenis bentuk diskriminasi, yaitu pengucilan, pembatasan dan
perbedaan perlakuan, dilakukan secara bersamaan.

c) Niat
Diskriminasi langsung atau tidak langsung.
Diskriminasi langsung adalah hasil dari tindakan-tindakan yang
dirancang dan dimaksudkan untuk memperlakukan perempuan secara
berbeda. Sebuah perundangan yang memberikan hak perwalian

Universitas Sumatera Utara

kepada bapak dan melimpahkan hak tersebut kepada ibu hanya bila
bapak tidak ada makna sebenarnya atau secara fungsional.
mensubordinasi perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu terhadap
laki-laki dalam kapasitasnya sebagai bapak. CEDAW mencakup
diskriminasi tidak langsung yang merupakan akibat dari apa yang
kelihatannya sebagai netral, atau persyaratan yang mempunyai
dampak

diskriminatif

terhadap

perempuan,

walaupun

tidak

dimaksudkan sebagai tindak diskriminasi. Diskriminasi tidak langsung
merupakan akibat dari suatu tindakan yang dilakukan atau tidak
dilakukan karena menganggap bahwa dalam suatu keadaan tertentu
laki-laki dan perempuan adalah sama - padahal tidak demikian halnya.
Dengan demikian, maka standar laki-laki diterapkan terhadap
perempuan,

suatu

standar

yang

tidak

memungkinkan

atau

menghilangkan hak perempuan untuk memperoleh kesempatan sama.
Sebagai contoh, persyaratan mendapat kredit keuangan yang
mengharuskan adanya agunan berupa harta tak bergerak atau tanah.
Dalam konteks atau keadaan dimana hak waris perempuan dibatasi
berdasarkan kaidah hukum atau budaya, akan menafikan atau
menghalangi hak perempuan untuk memperoleh kredit keuangan,
walaupuan pengucilan semacam itu sebenarnya tidak dimaksudkan.
d) Akibat
Pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan
hak atau kebebasan

Universitas Sumatera Utara

Berbagai tindakan pembedaan perlakuan, pengucilan atau pembatasan
hak disebut diskriminasi tidak hanya karena tindakan tersebut
didasarkan pada asumsi berbasis gender, tetapi juga bila tindakan itu
mengakibatkan

pengurangan

atau

penghapusan

pengakuan,

penikmatan, dan penerapan hak asasi manusia serta kebebasan dasar
perempuan. Pengurangan terjadi bila pembatasan atau persyaratan
dilekatkan pada hak, yang mengakibatkan terbatasnya atau hilangnya
pengakuan akan hak tersebut serta kemampuan untuk menuntutnya.
Penghapusan merupakan pencabutan hak dan kebebasan perempuan
dalam bentuk penolakan atas hak itu atau tidak adanya lingkungan dan
mekanisme yang memungkinkan perempuan untuk menegaskan atau
menuntut hak mereka. Suatu keputusan dianggap diskriminatif jika
keputusan tersebut berdampak pada hak asasi perempuan dan
kebebasan dasar dengan cara :
-

pengurangan atau penghapusan pengakuannya

-

pengurangan atau penghapusan penikmatannya

-

pengurangan atau penghapusan penggunaannya

Diskrimisai dalam semua bidang dan oleh setiap pelaku
Wilayah diskriminasi menurut ketentuan CEDAW tidak terbatas
hanya pada ranah publik yang terkait langsung dengan negara dan
aparat negara. Diskriminasi mencakup tindakan dalam bidang-bidang
"politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Diskriminasi mencakup tindakan yang dilakukan oleh pelaku privat
mulai dari individu sampai korporasi bisnis, keluarga dan masyarakat.
Diskriminasi mencakup hukum tertulis, asumsi sosio-budaya tentang
perempuan dan norma-norma yang diperlakukan terhadap perempuan.
Diskriminasi dapat bersifat historis, atau terjadi pada saat ini, dan
saling terkait satu sama lain (cross-cutting). Diskriminasi historis
artinya bila suatu kelompok menderita karena pengaruh diskriminasi
di masa lalu, atau bila perlakuan diskriminatif semakin menekan suatu
kelompok yang secara historis mengalami penindasan institusional
dan sistemik.
Dengan jelas CEDAW menentukan bahwa sasaran diskriminasi itu
terlepas dari tempat dimana itu terjadi atau asalnya. Untuk menjamin
keluasan bidang yang dicakup CEDAW, Pasal 1 memperluas
pelaksanaannya ke "setiap bidang lainnya." Bidang yang dicakup
CEDAW termasuk diskriminasi de jure seperti kedudukan legal atau
formal perempuan. CEDAW juga mencakup diskriminasi de facto25
meliputi praktek-praktek informal yang tidak diberi sanksi hukum
tetapi mengatur hak dan kebebasan perempuan.
c. Prinsip Kewajiban Negara
Prinsip ini meliputi hal-hal yang berikut :
a) Menjamin hak perempuan melalui hukum, peraturan perundang-undangan
dan kebijakan, serta menjamin hasilnya.

Universitas Sumatera Utara

b) Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah tindak atau
aturan khusus sementara, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
meningkatkan kesempatan, dan akses perempuan pada peluang yang ada.
c) Negara tidak saja menjamin, tetapi juga merealisasi hak perempuan.
d) Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto
e) Negara tidak saja harus akuntabel (bertanggung jawab) dan mengaturnya
di ranah publik, tetapi juga di ranah privat (keluarga) dan sektor swasta.
Di Indonesia, kebijakan tentang Kesetaraan Gender masih berupa draft
Rancangan Undang-undang (RUU). Perwujudannya menjadi UU masih
mengundang kontroversi lintas bidang, terutama terkait agama. Secara ringkas
Parameter Kesetaraan Gender (PKG) yang tertuang dalam RUU Kesetaraan
Gender mencakup :
a) Terjaminnya keadilan gender di dalam berbagai kebijakan, baik yang
tertuang dalam Peraturan Perundangan-undangan, program pembangunan,
maupun dalam kebijakan teknis lainnya
b) Menurunnya kesenjangan kesempatan antara perempuan dan laki-laki
dalam pencapaian pembangunan, dan
c) Menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Secara singkat kesetaraan gender mengacu pada kesetaraan dalam
penilaian peran antara wanita dan pria. Hal ini bertujuan untuk mengatasi
hambatan akibat stereotip dan prasangka, sehingga kedua gender tersebut mampu
berkontribusi dengan setara (equal) dan bermanfaat bagi pengembangan ekonomi,
sosial, budaya, dan politik di masyarakat, termasuk kesempatan yang sama untuk

Universitas Sumatera Utara

dicalonkan, mencalonkan, atau dipilih sebagai pemimpin. Ketika pria dan
perempuan memiliki hubungan yang setara, kondisi ekonomi akan tumbuh dengan
pesat dan korupsi pun menurun. Ketika perempuan sehat dan terdidik, keluarga,
komunitas, dan bangsa pun akan mendapatkan manfaatnya.
D. Diskriminasi Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran Asas Persamaan
Hak
Banyak pertanyaan berkaitan dengan masalah diskriminasi terhadap
perempuan baik pada tingkat regional maupun dunia. Untuk menjawab
permasalahan-permasalahan tersebut, Konvensi perempuan disusun dan diterima
oleh Sidang Umum PBB tanggal 18 Desember 1979, kemudian diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984.
Segala bentuk instrumen yang sudah ada sampai saat ini belum efektif dan
maksimal, dengan demikian perlu ada pembenahan-pembenahan hak-hak
perempuan dan penghapusan diskriminasi. Pada tahun 1984 Indonesia melalui
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi Penghapusan
segala

bentuk

diskriminasi

terhadap

perempuan,

ratifikasi

ini

jelas

memperlihatkan bahwa Indonesia mempunyai kewajiban melaksanakan prinsipprinsip yang terkandung dalam konvensi perempuan dengan menciptakan
kepastian dan penegakan hukum dan melaksanakan peraturan perundangundangan yang non diskriminasi.
Banyak kalangan yang pesimis terhadap dampak dari konvensi perempuan
ini untuk memajukan status perempuan di Indonesia, karena apa yang dijanjikan
dan apa yang sudah tertuang dalam undang-undang belum tentu bisa diwujudkan

Universitas Sumatera Utara

dalam

kenyataan.

Namun para pemerhati masalah perempuan menganggap bahwa ratifikasi
konvensi perempuan ini sesungguhnya bisa dijadikan alat untuk memajukan
kesetaraan gender. Selain itu dengan memperluas jaringan hubungan dengan
lembaga-lembaga dan pemerhati masalah perempuan, diharapkan akan semakin
banyak orang yang menaruh perhatian terhadap ketimpangan jender dan upaya
untuk memperjuangkan keadilan jender akan lebih berdaya guna.
Hal tersebut berarti bahwa diskriminasi merupakan salah satu bentuk yang
terutama dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi
manusia atau tindakan pelanggaran asas persamaan hak. Seharusnya pada kondisi
saat ini, segala bentuk diskriminasi yang berujung pada mendiskreditkan peranan
perempuan dalam berbgai bidang sangat berpeluang menciptakan lahirnya bentuk
pelangggaran lainnya yang pada dasarnya akan merugikan pihak perempuan itu
sendiri.
Dalam Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (CEDAW) dijelaskan bahwa istilah “diskriminasi terhadap
perempuan” berarti perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin,

yang

berakibat

atau bertujuan untuk

mengurangi atau

menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau
apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka,
atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa negara-negara pihak
mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, dan
bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk
menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan,
dan untuk tujuan ini berusaha untuk :
b) Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam
undang undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang
layak apabila belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk menjamin
realisasi praktis pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan caracara lain yang tepat;
c) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya
lainnya, dan di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang
semua diskriminasi terhadap perempuan;
d) Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar
persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan
bagi

kaum

perempuan

yang

aktif

terhadap

setiap

perilaku

diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badanbadan pemerintah lainnya;
e) Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek
diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat
dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban
ini;

Universitas Sumatera Utara

f) Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan
perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi
atau lembaga apapun;
g) Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif,
untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturanperaturan, kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek yang ada yang
merupakan diskriminasi terhadap perempuan;
h) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan
diskriminasi terhadap perempuan.
Hal tersebut juga berkaitan langsung dengan adanya ketentuan bahwa
setiap negara wajib mengambil upaya yang tepat untuk menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang sama
dengan laki-laki di segala bidang yaitu pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan
terutama peranan dalam pembangunan dalam rangka untuk menjamin atas dasar
persamaan antara laki-laki dan perempuan:
a) Kondisi yang sama untuk pengarahan karir dan kejuruan, untuk akses
pada pembelajaran dan untuk memperoleh diploma dari lembagalembaga pendidikan pada semua kategori baik di wilayah pedesaan
maupun di wilayah perkotaan; persamaan ini harus dijamin dalam
pendidikan pra-sekolah, umum, teknik, profesi dan pendidikan teknik
yang lebih tinggi, demikian pula dalam semua jenis pelatihan
kejuruan;

Universitas Sumatera Utara

b) Penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki
dan perempuan di semua tingkat dan semua bentuk pendidikan,
dengan menganjurkan pendidikan campuran (perempuan dan lakilaki) dan bentuk pendidikan lain yang dapat membantu pencapaian
tujuan ini, dan terutama dengan merevisi buku-buku pelajaran dan
program-program

sekolah

serta

menyesuaikan

metode-metode

pengajaran.
c) Akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu
memastikan kesehatan dan kehidupan keluarga yang lebih baik.
d) Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama
hamil terhadap bentuk pekerjaan yang terbukti membahayakan
mereka.
e) Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang melekat pada semua umat
manusia;
f) Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria
seleksi yang sama terhadap suatu pekerjaan;
E. Kedudukan Perempuan Berdasarkan Konvensi Internasional
Terbukanya keran demokrasi dan kebebasan berbicara telah membuka suarasuara dan ide-ide yang selama ini cendrung bungkam karena ditekan oleh tindakan
represif penguasa. Sekarang, setiap orang bebas mengekspresikan kehendaknya tanpa
takut lagi akan dihukum, diberendel, dan diberangus oleh pihak-pihak tertentu yang
merupakan perpanjangan tangan penguasa.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu bidang yang mendapat porsi yang cukup besar dan mendapatkan ruang
gerak yang leluasa adalah menyangkut masalah perempuan. Isu-isu dan gerakan tentang
emansipasi, kesetaraan gender, dan perjuangan hak-hak perempuan telah menjadi
perbincangan dan wacana yang menarik.
Perbincangan tentang perempuan ini semakin hangat ketika kasus-kasus
pelecehan, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan semakin meningkat. Perlakuan
yang diskriminatif dan semena-mena terhadap perempuan ini tidak hanya berada pada
dataran kasus per kasus, namun telah menginjak dataran kebijakan pemerintah.
Prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hukum kita yang tertuang
dalam pasal 27 UUD 1945. Di samping itu, pemerintah telah meratifikasi berbagai
konvensi internasional seperti konvensi ILO No. 100 tentang upah yang sama untuk
pekerjaan yang sama nilainya, konvensi tentang hak-hak politik perempuan dan konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pemerintah pun juga telah
mengeluarkan berbagai kebijakan lain, seperti: dalam peraturan tentang perkawinan dan
perceraian yang bertujuan untuk meningkatkan status perempuan dalam keluarga dan
masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya jika dikaji lebih lanjut, peraturan itu justru bias
gender. Sebab dalam putusannya, di satu sisi menjamin hak yang sama dalam hukum dan
masyarakat antara perempuan dan laki-laki, di sisi lain dinyatakan bahwa laki-laki
berperan di sektok publik dan perempuan berperan di sektor privat. Sehingga justru UU
ini memberi peluang bagi seorang suami untuk beristri lebih dari satu.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW)
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada

Universitas Sumatera Utara

tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara
anggota PBB, merupakan Negara Peserta Konvensi.

CEDAW menetapkan secara

universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka, di semua bidang baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil.
Konvensi mendorong diberlakukannya

perundang-undangan nasional yang melarang

diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan khusus-sementara untuk mempercepat
kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek
kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis
kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.
Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap
tahun1982, setelah Konvensi

Perempuan

dibentuk pada

dinyatakan berlaku. Tugas utamanya adalah untuk

mempertimbangkan laporan periodik yang disampaikan kepada Komite dari Negaranegara Peserta mengenai langkah-tindak legislatif, judikatif, administratif dan tindakantindakan lain yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi. Komite memberikan
rekomendasi-rekomendasi bagi Negara-negara Peserta mengenai langkah-langkah yang
perlu diambil untuk melaksanakan Konvensi.
Protokol Opsional
Protokol Opsional pada CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa pada Desember 1999. Protokol Opsional pada CEDAW di satu pihak
memberi hak kepada perempuan

untuk mengajukan pengaduan perorangan kepada

Komite mengenai segala pelanggaran hak yang

dimuat dalam Konvensi oleh

pemerintahnya dan di lain pihak, memberikan wewenang kepada

Komite untuk

melakukan investigasi atas pelanggaran berat dan sistematk yang korbannya adalah

Universitas Sumatera Utara

perempuan di negara-negara yang telah meratifikasi atau aksesi pada Protokol ini. Pada
tanggal 20 Januari 2006 sudah ada 76 Negara Peserta Protokol Opsional.
Perbincangan dan perjuangan hak-hak perempuan timbul karena adanya suatu
kesadaran, pergaulan, dan arus informasi yang membuat perempuan semakin kritis
dengan apa yang menimpa kaumnya. Pejuang hak-hak perempuan di Indonesia juga
semakin gencar seiring dengan diratifikasinya beberapa Konvensi terhadap perlindungan
maupun kemajuan oleh kaum perempuan.

Universitas Sumatera Utara