Kesetaraan Gender Dan Pemberdayaan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Internasional

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arivia, Gadis,. Perempuan Untuk Perdamaian Indonesia, UI Press, Jakarta, 2007. Azis, Asmaeny,. Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Sosial Budaya, Makassar, Bening Multi Media, 2007.

Azwar, Teror Dalam Tatanan Struktur Politik. PT. Gramedia, Jakarta, 2001. Bashin, Kamla,. Memahami Gender, Cetakan Kelima, Teplok Press, Jakarta, 2002.

Bashin, Kamla dan Nighat Said Khan,. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme

dan Relevansinya. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

CEDAW., “Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan – Mengembalikan Hak-Hak Perempuan”. New York; Partners for

Law in Develompent (PLD), 2004.

Achie Sudiarti Luluhilima,. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan dan Alternatif Pemecahannnya, Jakarta: Pokja “Convention Wacth”, Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas indonesia, 2000.

Garner, Briyan A., Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul, Minn, 1999.

Hadiz, Liza, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, LP3ES, Jakarta, 2004. Handayani, Trisakti., Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang, 2002. Holzsner, Pendekatan-pendekatan Dasar Dalam Analisis Gender, Malang, 2004. Karo-karo, Ida Sampit,SH., Dalam Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Penyunting Dr,T.O. Ihromi,SH,MA, Alumni, Bandung, 2000.

Kelompok Kerja Convention Watch, Hak Azasi Perempuan , Instrumen Hukum

Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2012.

Lubis Solly, Prof.Dr.SH, Serba Serbi Politik Dalam Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 1989.


(2)

Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Mansour Faqih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 1996.

Mehra, Madhu & Amita Punj., CEDAW Mengembalikan Hak-Hak Perempuan, Jakarta, Unifem Cedaw-CIDA, 2004.

Muthaliin, Ahmad,. Bias Gender Dalam Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Press, Surakarta, 2001.

Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, Kebijakan Publik Pro Gender, Surakarta, UPT Penerbitan

dan Percetakan UNS (UNS Press), 2009.

Prijono, Onny S dan A.M.W. Pranarka, Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan

Implementasi, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 1996.

Ruth Rubio-Marin, Perempuan Menggugat, Masalah Gender dan Reparasi dalam Kejahatan Hak Asasi Manusia, ELSAM, Jakarta, 2008.

Sadli, Saparinah,. Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed)

Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Yayasan Obor , Jakarta, 1995.

Sagala, Valentina., Ellin Rozana, Pergulatan Feminisme dan HAM, Institut Perempuan, Bandung, 2007.

Soetjipto, Ani dan Trimayuni Pande,. Gender dan Hubungan Internasional,

Sebuah Pengantar, Jalasutra, Yogyakarta, 2013.

Supanto, Peranan wanita dan Perlindungan Hukumnya. Surakarta, Fak. Hukum Universitas Sebelas Maret, 1999.

Suprijadi dan Siskel, Gender, PT. Danur Wiajay Press, Surabaya, 2004.

Suyono, Haryono, Pendidikan Perempuan Aset Bangsa, Yayasan Damandiri, Jakarta, 2003.

Sastroamidjojo, Ali, Pengantar Hukum Internasional, Bharatara, Jakarta, 1971. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jilid II Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.


(3)

Starke, J.G, An Introduction to International Law, 7th Edition, Butterworths, London.

Uzair Fauzan dan Heru Prasetio, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2006. Vitayala, Aida,. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa, IPB Press, 2010.

Perundang-undangan

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Instruksi Presiden No. 9/2000 Tentang Pengarusutamaan Gender.

Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women


(4)

BAB III

PENGATURAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MENURUT HUKUM INDONESIA

A.Hak dan Kedudukan Perempuan Sebagai Warga Negara Dalam Melakukan Suatu Perbuatan Hukum

Menjadi Warga Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 mempunyai arti yang sangat penting dalam sistem hukum dan pemerintahan. UUD 1945 mengakui dan menghormati hak asasi setiap individu manusia yang berada dalam wilayah negara Republik Indonesia. Penduduk Indonesia, apakah berstatus sebagai Warga Negara Indonesia atau bukan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak dasar yang diakui universal. Prinsip-prinsip hak asasi manusia itu berlaku pula bagi setiap individu Warga Negara Indonesia. Bahkan, di samping jaminan hak asasi manusia itu, setiap Warga Negara Indonesia juga diberikan jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945.

Di samping itu, terdapat pula ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku bagi Warga Negara atau setidaknya bagi Warga Negara diberikan kekhususan atau keutamaan-keutamaan tertentu, misalnya, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan dan lain-lain yang secara bertimbal balik menimbulkan kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak-hak itu khusus bagi Warga Negara Indonesia.


(5)

1. Hak Dan Kedudukan Perempuan Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Jika Dipandang Dari Sudut Hak Asasi Manusia Secara Universal

Hak Asasi Manusia (HAM) dewasa ini secara universal sudah diterima sebagai a moral, political, legal framework as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai, sejahtera, bebas dari rasa takut, dan perlakuan yang tidak adil. Perkembangan HAM dimulai sejak abad ke-13 ditandai dengan penandatanganan Magna Charta tahun 1215 oleh Raja John Lackland, yang walaupun secara substansi piagam tersebut belumlah memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia secara keseluruhan, melainkan memberikan perlindungan kepada kaum bangsawan dan gereja.

Memasuki abad ke 16, perjuangan hak asasi manusia sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para sarjana, salah satunya adalah pemikiran John Locke. Menurut John Locke, manusia sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan dan hak asasi. Diantara hak asasi tersebut adalah hak kehidupan, hak kemerdekaan, kesehatan, dan hak milik yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Pemikiran inilah yang pada perkembangannya menjadi pijakan bagi perjuangan hak asasi manusia di penjuru dunia. Sebagaimana yang tertuang dalam

Declaration of Independence Amerika Serikat Tahun 1776, yang selanjutnya

membidani lahirnya Declaration des droit de L’Homme et du citoyen Tahun 1789, sehingga John Locke dikenal juga sebagai Bapak Hak Asasi Manusia. Kedua naskah deklarasi tersebut sangat berpengaruh dan menjadi dasar bagi perjuangan hak asasi manusia di abad ke 20, dengan dirumuskannya The Universal


(6)

Dalam catatan sejarah, perempuan menempati posisi yang tidak menguntungkan. Perempuan dipandang hanya sebagai kaum kelas dua yang keberadaannya tergantung pada kehadiran laki-laki di sampingnya. Dalam arti kata lain, wanita bisa dipersamakan dengan manusia yang tidak memiliki kedudukan dan hak untuk melakukan perbuatan hukum atau tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, terlebih ketika dia telah diperistri oleh orang lain.

Dengan tidak memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, tentunya perempuan tidak memperoleh kemerdekaan dan diperlakukan secara diskriminasi dalam pergaulan masyarakat. Pada akhirnya, pengkondisian perempuan pada keadaan yang tidak berpihak pada hak-hak asasinya sebagai manusia, menimbulkan tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan di berbagai belahan dunia, hal ini disebabkan karena masih dianutnya pemikiran bahwa perempuan adalah manusia yang tidak bebas, sehingga dia dapat diperlakukan seperti apa pun oleh orang yang merasa memiliki hak atas dirinya.

Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan dari perjuangan hak asasi manusia itu sendiri, bahwa dalam penegakan hak asasi manusia prinsip non diskriminasi menjadi elemen pentingnya. Ini terlihat pada rumusan Pasal 2 DUHAM, “setiap orang bebas atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, ...” dan Pasal 7 DUHAM, “ setiap orang sama di depan hukum...”. Dari rumusan dua pasal tersebut, secara eksplisit diuraikan bahwa tidak terdapat pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menikmati hak asasi mereka. Secara sederhananya, ketika seorang laki-laki


(7)

memiliki hak untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atau dipandang sebagai orang yang cakap dalam bertindak, maka hal demikian juga berlaku pada perempuan.

Melihat pada beberapa instrumen internasional tersebut, semuanya mengandung asas non diskriminasi dan menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang setara dan sama di hadapan hukum. Banyaknya negara yang menyetujui untuk tunduk pada kovenan-kovenan tersebut, khususnya CEDAW memberikan gambaran bahwa masyarakat internasional secara universal telah memandang perempuan juga memiliki hak yang sama layaknya laki-laki dalam melakukan perbuatan hukum dan sudah saatnya menghapuskan derita perempuan yang selalu dimarginalkan dalam sejarah pergaulan masyarakat dan peradaban manusia yang pernah ada di muka bumi ini.

2. Hak Dan Kedudukan Perempuan Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Jika Ditinjau Dari Sudut Pandang Hukum Positif Indonesia

Dengan diakomodirnya ketentuan atau pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945) merupakan konsekuensi logis dari dianutnya prinsip negara hukum oleh Indonesia. Hal ini tertuang secara tegas dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Dimana, salah satu elemen terpenting yang menopang berdirinya sebuah negara hukum adalah adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Pada tahun 1999, Indonesia sudah mempunyai undang-undang mengenai hak asasi manusia (UU No. 39 Tahun 1999) dan sebagai bentuk keseriusan pemerintahan Indonesia dalam upaya menjamin dan melindungi hak asasi


(8)

manusia, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai perlindungan terhadap hak asasi manusia. Terkhusus terhadap hak perempuan dalam melakukan perbuatan hukum, pengaturan secara positif di Indonesia dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang sejarah atau masa lalu dan sudut pandang sekarang.

Dalam konteks hukum, perbuatan hukum merupakan perbuatan untuk bersikap tindak yang membawa akibat secara hukum yang dilakukan oleh subyek hukum (pengemban hak dan kewajiban) yang berwenang atau cakap secara hukum. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa hukum tidak dapat mengakibatkan kematian perdata bagi setiap manusia, sehingga dia tidak dapat menikmati segala hak nya sebagai manusia dan menjalankan kewajiban sebagai manusia. Akan tetapi, pada kenyataan yang ada dalam lembaran sejarah adalah ada manusia yang tidak mempunyai hak dan kewajiban, yang berarti bukan subjek hukum yaitu budak dan seorang perempuan yang telah kawin.

Pada Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang istri tidak cakap melakukan perbuatan hukum sendiri, dan harus melalui persetujuan dari suaminya. Jika diperhatikan ketentuan pada pasal ini, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan KUHPerdata yang merujuk pada hukum eropa kontinental kala itu menempatkan perempuan sebagai manusia yang tidak cakap secara hukum, yang berarti tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Tentunya, ketentuan ini kontradiktif dengan ketentuan yang lainnya. Pada pasal 3 KUHPerdata disebutkan bahwa hukum tidak dapat mengakibatkan manusia mati secara perdata, yang artinya bahwa setiap manusia terlahir dengan membawa hak. Akan tetapi disisi


(9)

lain, perempuan malah tidak diakui keberadaannya sebagai manusia yang cakap melakukan perbuatan hukum.

Selain itu, ketentuan KUHPerdata tersebut dinilai tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang dianut oleh Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka. KUHPerdata adalah produk hukum yang kental dengan nuansa penjajahan dan memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, yang pastinya memihak pada kaum penjajah. Melihat hal ini, pada tahun 1963, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 yang menganggap KUHPerdata tidak sebagai undang-undang, dengan konsekuensinya ada beberapa ketentuan yang sudah tidak berlaku lagi, salah satu dari ketentuan tersebut adalah Pasal 108 KUHPerdata yang menyatakan perempuan yang sudah kawin tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Berdasarkan instrumen hukum nasional yang telah dijabarkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perempuan terlebih perempuan yang telah bersuami adalah subyek hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum, dan ketentuan mengenai ketidakcakapan perempuan dalam melakukan perbuatan hukum seperti yang diatur dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia yang merdeka dan menjunjung tinggi keadilan bagi warga negaranya (laki-laki maupun perempuan) tanpa diskriminasi.

3. Hak-Hak Perempuan Dalam Budaya Dan Masyarakat Adat

Bertitik tolak dari persamaan harkat dan martabat, serta persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum sesuai falsafah negara kita


(10)

Pancasila serta penjabarannya di dalam pasal-pasal UUD 1945 dan mengingat pula akan rasa keadilan umum, serta nilai-nilai hukum yang hidup serta diindahkan berlakunya di dalam masyarakat yang bersangkutan (living law), maka didalam kasus posisi ini kelompok kami sependapat dan berpedoman kepada Yurisprudensi MA Indonesia yang berlaku untuk seluruh Indonesia tertanggal 11 Nopember 1961, No. 179 K/Sip/1961.

Pada kebudayaan masyarakat adat Batak misalnya, konsep kesetaraan gender umumnya masih memperlihatkan suatu keadaan dimana perempuan masih menduduki posisi yang termajinalkan, tersubordinasi yaitu dalam hal warisan karena pada asasnya dalam susunan masyarakat Batak yang mempertahankan garis keturunan laki-laki (patrilineal), anak perempuan hanya dapat memperoleh harta dari orang tuanya dengan cara pemberian yang didasari oleh kasih sayang saja dan juga pemberian yang dimaksud tergantung pada kemampuan orang tua mereka.

Hal ini menunjukkan tidak ada persamaan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris dari kedua orang tuanya. Padahal Keputusan Mahkamah Agung No. 179/K/SIP/1961 dengan jelas mengatakan: bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.

Teori kebudayaan memandang gender sebagai akibat dari konstruksi budaya. Identitas gender dari perempuan dan laki-laki ditentukan secara psikologis dan sosial yang berarti secara historis dan budaya.17

17

Kamla Bashin, Memahami Gender, Cetakan Kelima, Jakarta, Teplok Press, 2002, hal. Pemilihan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing.


(11)

Dengan demikian pembentukan sifat yang berbeda yang disebut dengan sifat-sifat feminim dan maskulin merupakan hasil dari proses sosial budaya masyarakat, bahkan bisa lebih khusus lagi yaitu dapat dibentuk melalui pendidikan dan latihan.18

B. Perlindungan Hukum Terhadap Pemberdayaan Perempuan dalam Tatanan Masyarakat

Hingga saat ini, berbagai upaya dalam memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dilakukan oleh masyarakat baik itu mendapat campur tangan pemerintah ataupun tidak. Selain itu, juga terdapat sejumlah lembaga maupun aliansi yang dalam programnya akan selalu menjadi payung terhadap bebagai kemungkinan pelanggaran yang dialami oleh kaum perempuan.

Secara umum, setiap manusia berperilaku dalam masyarakat harus sesuai dengan kaedah-kaedah sosial. Dengan kaedah sosial ini menjadi pedoman perilaku atau sikap bagi setiap warga masyarakat, mana yang seyogya nya dilakukan dan yang tidak dilakukan, yang dilarang atau yang dianjurkan. Ini terdiri dari kaedah/norma agama, kaedah kesusilaan, kaedah sopan-santun, dan kaedah hukum. Masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni, dan bila terjadi kesalahan fungsi dari salah satu bagian struktur, maka akan melahirkan gejolak.19

18

Ahmad Muthaliin, Bias Gender Dalam Pendidikan, Surakarta, Universitas Muhammadiyah Press, 2001, hal. 27.

19

Mansour Faqih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Jadi hukum hanyalah salah satu dari kaedah sosial, yang merupakan peraturan mengenai perilaku orang dalam kehidupan bermasyarakat, yang dibuat oleh organ/lembaga yang mempunyai otoritas/kewenangan, dalam bentuk tertentu, dengan sanksi yang lebih tegas dan berlakunya dapat dipaksakan.


(12)

Kaedah hukum diberlakukan untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat. Lengkapnya terkait dengan fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita.

Di dalam masyarakat, kaum wanita mempunyai kedudukan yang merupakan posisi tertentu dalam suatu susunan kemasyarakatan. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai peranan. Di sini wanita memiliki kedudukan, maka sekaligus sebagai pemegang peran dalam masyarakat. Peranan ini mengalami dinamika yang berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan masyarakat.

Wanita sebagai warga negara maupun sumber daya insani mempunyai kedudukan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di segala bidang. Peranan wanita sebagai mitra sejajar pria diwujudkan melalui peningkatan kemandirian peran aktifnya dalam pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga beriman dan bertakqwa, sehat, serta untuk pengembangan anak, remaja dan pemuda. Untuk itu, sebelumnya dalam Program Pembangunan Nasional (2000-2004) ditentukan Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan sebagai individu, yaitu baik sebagai insan dan sumber daya pembangunan, sebagai bagian dari keluarga yang merupakan basis terbentuknya generasi sekarang dan masa mendatang, sebagai makhluk sosial yang merupakan agen perubahan sosial d berbagai


(13)

kualitas dan peranan perempuan terutama di bidang hukum ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan budaya.

Isu permasalahan perempuan tidak lagi hanya merupakan masalah individu/perseorangan/domestik melainkan menjadi masalah publik, bahkan menjadi bersifat global. Hal ini berkaitan dengan kedudukan wanita sebagai ibu yang akan menurunkan dan mendidik anak, yang disyaratkan anak yang sejak dikandung hingga dilahirkan harus sehat fisik dan mental menjadi penentu warna generasi mendatang. Perhatian demikian ini tidak tertuju pada saat wanita menjadi ibu namun dimulai pada wanita sejak anak-anak.

Perkembangan lebih lanjut wanita tidak lagi hanya beraktivitas di dalam rumah, melainkan di luar rumah untuk berkarya menduduki jabatan tertentu baik di lembaga swasta maupun pemerintah, juga aktif dalam gerakan-gerakan sosial lainnya. Ini berarti sudah merambah lingkup publik, oleh karenanya, upaya pengembangan dan juga antisipasi terhadap hambatan/ gangguannya mestinya bersifat publik yang melibatkan berbagai komponen masyarakat dan pemerintah, tidak dapat diserahkan pada perorangan.

Dalam perkembangan kehidupan manusia, peranan wanita tidak selamanya dapat berjalan sebagaimana mestinya, banyak hambatan karena pengaruh aspek kultural, politik, ekonomi, dan sosial. Tren kekinian yang juga berentetan jauh kebelakang dengan tradisi dan budaya masyarakat di negara-negara telah terjadi diskriminasi ataupun dominasi dari sekelompok orang terhadap kelompok lainnya, utamanya berkaitan dengan jenis–kelamin, sehingga menimbulkan penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap HAM, dan termasuk wanitalah yang menjadi korban.

Dalam Deklarasi Universal HAM PBB (1948) yang mendasari HAM pada umumnya adalah pernyataan bahwa “semua orang lahir dengan kebebasan dan


(14)

mempunyai martabat dan hak-hak yang sama”. Selain itu, “hak-hak dan kebebasan dalam deklarasi menjadi hak bagi siapapun tanpa perkecualian, baik berdasarkan jenis kelamin, bangsa, warna kulit, agama, politik, dsb" (Pasal 1, 2). Senada dengan hal ini ditentukan dalam Pasal 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dari sini tidak ada pembedaan hak-hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.

Seperti yang sudah diurarakan di bab sebelumnya, bahwa berkaitan dengan jaminan pencegahan perlakuan yang berbeda karena jenis kelamin, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, dengan UU No. 7 Tahun 1984. Yang dimaksud dengan diskriminasi terhadap wanita adalah setiap perbedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita (Pasal 1). Negara-negara harus mengutuk diskriminasi terhadap wanita dan melaksanakannya dengan berbagai kebijaksanaan.

C.Pemberdayaan Perempuan Menurut Hukum Nasional

Berdasarkan pasal 27 UUD 1945, wanita mempunyai kedudukan yang sama dalam bidang hukum dan pemerintahan dengan pria. Undang-Undang Dasar 1945 dalam perundang-undangan politik telah mencerminkan bahwa wanita dan pria sama-sama punya hak untuk di pilih dan memilih namun, kenyataannya memperlihatkan bahwa jumlah wanita yang menjadi anggota Legislatif selama tujuh kali Pemilu prosentasenya masih kecil, walaupun jumlah wanita lebih banyak dari pria. Demikian pula halnya dengan wanita yang memegang posisi pada jabatan pengambil keputusan juga masih


(15)

Peningkatan peranan wanita dalam pembangunan ini selaras dengan dasawarsa PBB untuk wanita dan pembangunan (1975-1985) dengan tujuan intregrasi wanita ke dalam pembangunan sebagai mitra sejajar pria. Konsep intregrasi wanita dalam pembangunan ini dengan asumsi bahwa ada kelompok tertentu yaitu kelompok wanita yang belum tercakup dalam pembangunan sehingga hal tersebut akan diintegrasikan ke dalam pembangunan.

Dengan demikian perlu mengintegrasi wanita dalam pembangunan mengingat selama ini pendekatan pembangunan lebih menekankan pada pembangunan ekonomi dan belum secara khusus mempertimbangkan manfaat pembangunan secara adil bagi perempuan dan laki-laki, sehingga hal tersebut telah menimbulkan konsekwensi ketidak setaraan dan ketidak adilan gender yang dikenal pula dengan kesenjangan gender yang pada gilirannya menimbulkan berbagai permasalahan gender.

Kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan dapat diperlihatkan oleh masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha serta rendahnya akses mereka terhadap sumber daya ekonomi, impormasi, teknologi, pasar kredit dan modal kerja terlebih-lebih dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang ditetapkan dilembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk TNI dan Polri.

Menurut Solly Lubis, mengutip pernyataan Joyce Mitchell mengatakan “Politics

is collective decicion making or the making public policies for an entire society”.20

20

Lubis Solly, Prof.Dr.SH, Serba Serbi Politik Dalam Hukum, Bandung, CV. Mandar Maju, Jaminan bagi hak berpartisifasi dalam jaringan pemerintah dan politik di Negara Republik Indonesia, pertama-tama ditetapkan pada Pasal 1 ayat (2). Pasal itu menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Selanjutnya


(16)

dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa MPR terdiri atas angota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu tugas yang dipercayakan oleh rakyat sesuai dengan Pasal 3 UUD adalah menetapkan UUD dan GBHN.

Undang-Undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan fundamental tentang organisasi dan kebijaksanaan Pemerintah, sedangkan GBHN Merupakan Garis Besar Kebijaksanaan Pemerintah dan Pembangunan dalam menjalankan ketatalaksanaan pemerintah pembangunan untuk mencapai tujuan tersebut dalam UUD. Jaminan lainnya tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menetapkan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam wilayah hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Hukum yang dimaksud dalam hal ini meliputi hukum tertulis dan tidak tertulis, hukum nasional dan hukum internasional, hukum publik dan hukum privat yang memberi jaminan hukum bagi berbagai aspek kehidupan rakyat. Pemerintahan yang dimaksud meliputi bidang pemerintah legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan lain-lainnya pada tingkat pemerintahan baik di pusat maupun daerah yang memberi jaminan hak partisipasi untuk turut menjalankan pemerintahan sepanjang memenuhi persyaratan sebagai diatur dalam perundang-undangan.

Wanita sebagai warga negara tentu mempunyai hak seperti diatur dalam pasal-pasal diatas. Ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 tersebut merupakan asas umum yang dipergunakan sebagai dasar pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang ada di


(17)

Indonesia dalam menjabarkan asas persamaan kedudukan pria dan wanita dalam bidang kehidupan.21

Terdapat peningkatan peran yang pesat dari kalangan wanita di berbagai belahan dunia, tetapi jika dibandingkan dengan pria. Emansipasi perempuan terhadap laki-laki bukan merupakan suatu permasalahan yang patut didiskusikan atau menjadi sasaran yang perlu diperhitungkan di dalam Islam. Sebab keberadaan perempuan itu sederajat dengan laki-laki; atau perempuan itu setara dengan laki-laki.

Khusus terkait dengan bidang kehidupan politik, gambarannya dapat dilihat dalam GBHN seperti diuraikan di muka dan lebih kongkrit dalam Undang-undang bidang politik, terakhir Undang No. 2 Tahun 1999 tentang partai Politik, Undang-Undang No.3 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD, dimana Undang-undang ini memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk memilih dan dipilih. Hal ini berarti bahwa dari perspektif konstitusi dan hukum secara Das Sollen peran wanita mendapatkan tempat yang proporsional. Namun, jika diukur kualitas maupun kuantitasnya, peran dan kemitra sejajaran itu belum memuaskan bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.

22

a) Sumbangan wanita dalam pembangunan ekonomi cukup besar sebab 1 orang dari 4 karyawan industri dan 4 dari 10 pekerja di bidang pertanian adalah wanita.

Pada tingkat global harapan masing-masing negara dan harapan badan-badan internasional tentang kedudukan wanita belumlah mencapai hasil yang menggembirakan, sesuatu yang ditandai oleh hal-hal sebagai berikut :

21

Ida Sampit Karokaro SH, dan Prof. Dr. T.D. Ihromi, SH, MA, Dalam Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita , Bandung, Aalumni, 2000, hal 239.

22


(18)

b) Wanita memberikan 66% dari jam kerjanya tetapi hanya mendapatkan 10% dari upahnya. Wanita bertanggung jawab terhadap 50% produksi pangan dunia, namun hanya menguasai 1% dari meterial goods yang ada. Wanita menikmati lebih sedikit dari pria sebagai hasil kontribusinya pada produksi nasional, dapat dilihat antara lain dari: rata-rata upah perjamnya lebih rendah dari upah pria, perlindungan hukum bagi wanita yang lebih sedikit daripada pria, wanita terbatas pada buruh kasar dengan bayaran rendah dan akses kepada sumber produksi lebih kecil dari pada pria.

Jika sorotan diarahkan pada bidang politik dan pemerintahan maka sebuah perbandingan kwantitatif akan memperlihatkan ketidakseimbangan proporsi antara pria dan wanita dalam arti jumlah wanita yang terlihat dalam bidang politik maupun hukum jauh lebih kecil dari pada jumlah kaum pria.


(19)

BAB IV

KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

A.Sejarah dan Perhatian Masyarakat Internasional Terhadap Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Isu kestaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah lama menjadi perhatian masyarakata internasional. Ide perbedaan, subjektivitas, relative universal milik posmodemisme—yang dikibarkan Lacan, Derrida, Lyotard, Wittgenstein dll—mewarnai wacana dan isu feminis, dan CEDAW adalah salah satu buah manifestasinya. Feminisme menyerap konsep ”differance”nya Derrida sekaligus menjadikannya motor politik saat menggagas perangkat hukum "khas perempuan" yang bernama CEDAW. Pada tahun 1963, Majelis Umum PBB mencatat bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih terus berlanjut, dan meminta agar dapat dibuat suatu rancangan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.23

23

Achie Sudiarti Luhulima, S.H., Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Perempuan benar-benar sadar bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda, memiliki "suara" dan pengalaman yang berbeda (bahkan di antara kelompok perempuan sendiri) sehingga merasa perlu mengedepankan suara perbedaan tersebut. Perbedaan ini adalah sebuah penawaran politik yang menolak suatu klaim nilai universalitas.


(20)

Munculnya kesadaran untuk membebaskan perempuan dari nestapa sangat dipengaruhi pula oleh kesadaran universal tentang perlunya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) tanpa pandang bulu. Dalam hal ini, dasawarsa 1970 adalah masa yang sangat penting dalam sejarah perkembangan hak asasi manusia perempuan.24 Disetujuinya Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan merupakan puncak dari upaya Internasional dalam dekade perempuan yang ditujukan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia.25 Deklarasi ini merupakan instrumen internasional yang berisi pengakuan secara universal dan hukum26 dan standar-standar tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan.27

Mehra menjelaskan bahwa ada perbedaan dengan instrumen hak azasi manusia pada umumnya yang menyatakan bahwa “diskriminasi berdasarkan jenis kelamain” dalam arti netral, CEDAW menyatakan bahwa perempuan adalah keompok yang dirugiakan karena tindak diskiriminasi berdasarkan jenis kelamin. CEDAW lebih memberikan perhatian pada adanya tekanan ekonomi dan budaya.28

Sebelum PBB dan masyarakat internasional mengadopsi CEDAW sebagai instrumen internasional untuk membela dan menjaga hak-hak perempuan,

24

Liza Hadiz, Partisipasi dan Kesetaraan Politik Gender dalam Pembangunan, dalam Liza Hadiz, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Jakarta, LP3ES, 2004, hal. 10.

25

Assesing the Status of Women, A Guide to Reporting Under the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Update by the Division for the Advancement of Women Department of Economic and Social Affairs, United Nations 2000.

26

Ibid, Achi. 27

Opcit, Assesing the Status of Women.

28


(21)

masyarakat internasinal telah lama memberikan perhatian terhadap kesetaraan gender ini, antara lain dapat dilihat dari agenda berikut ini :

1) Tahun 1951 Konvensi ILO 100 tentang Persamaan Upah. 2) Tahun 1952 Konvensi tentang Hak Politik Perempuan.

3) Tahun 1956 Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan. 4) Tahun 1957 Konvensi mengenai Kewarganegaraan Perempuan yang

Menikah.

5) Tahun 1962 Konvensi mengenai Ijin Perkawinan, Usia Minimum Perkawinan.

6) Tahun 1974 Deklarasi Perlindungan Perempuan dan Anak Dalam Situasi Darurat.

7) Tahun 1979 Adopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

8) Tahun 1981 CEDAW mulai berlaku efektif 9) Tahun 2000 Protokol Optional CEDAW.

Demikian sejarah dan latar belakang pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan yang telah dilakukan oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia.

B.Lahirnya Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW)

Convention on the elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) adalah salah satu konvensi utama internasional hak asasi


(22)

Desember 1979, CEDAW terbuka untuk diadopsi dan diratifikasi oleh negara anggota PBB. Tiga tahun kemudian CEDAW, yang memuat 30 pasal, secara formal dinyatakan sebagai dokumen internasional (entry into force) tertanggal 3 September 1981.

CEDAW sendiri telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7/1984 tanggal 24 Juli 1984. Sayangnya, Indonesia mereservasi Pasal 29 ayat (1). Ini mengandung arti bahwa Indonesia tidak mengakui suatu mekanisme abritrase maupun penyelesaian di Pengadilan Intemasional, jika terdapat problem interpretasi isi konvensi dengan negara lain. Isi pasal tersebut sebagai berikut:

"Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of the present Convention which is not settled by negotiation shall, at the request of one of them, be submitted to arbitration. If within six months from the date of the request for arbritation the parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in conformity with the Statue of the Court."

CEDAW pada dasarnya memiliki tiga prinsip utama. Pertama, prinsip persamaan menuju persamaan substantif yakni memandang persamaan hak lelaki dan perempuan. Prinsip ini mengakui bahwa benar adanya perempuan itu berada pada posisi yang lemah atau tidak setara serta tidak seimbang, oleh sebab itu perempuan harus diberlakukan secara berbeda dengan outputnya yaitu manfaat hasil akhir yang setara.29

29

Valentina Sagala, Ellin Rozana, Pergulatan Feminisme dan HAM, Bandung, Institut

Kedua, prinsip non diskriminasi terutama diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pemenuhan kebebasan-kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Ketiga, prinsip kewajiban negara bahwa negara peserta adalah aktor utama yang memiliki tanggungjawab untuk memastikan terwujudnya


(23)

persamaan hak lelaki dan perempuan dalam menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. Prinsip kewajiban Negara ini tertuang di dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 serta Pasal 18 CEDAW, mengenai pembuatan laporan pelaksanaan konvensi.

Prinsip ini memiliki tujuan bahwa negara berkewajiban untuk tidak menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan serta mengharuskan negara untuk tidak membuat peraturan perundang-undangan, kebijakan, program-program dan lain-lain yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan perempuan tidak dapat menikmati secara setara hak-haknya. Negara juga berkewajiban untuk menyediakan peralatan, cara, kesempatan, mekanisme yang efektif untuk melindungi hak asasi perempuan.30

(a) Persamaan kesempatan bagi lelaki maupun perempuan.

Ringkasnya prinsip persamaan substantif yang dianut oleh CEDAW adalah: Pertama, Langkah-langkah untuk merealisasikan hak-hak perempuan yang ditujukan untuk mengatasi kesenjangan, adanya perbedaan atau keadaan yang merugikan perempuan. Kedua, Persamaan substantif dengan pendekatan koreksi merupakan langkah khusus agar perempuan memiliki akses dan menikmati manfaat yang sama seperti halnya lelaki pada kesempatan dan peluang yang ada. Ketiga, CEDAW mewajibkan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :

30


(24)

(b) Persamaan lelaki dan perempuan untuk menikmati manfaant dan penggunaan kesempatan itu yang berarti bahwa lelaki dan perempuan menikmati manfaat yang sama/adil.

(c) Hak hukum yang sama antara lelaki dan perempuan dalam kewarganegaraan, perkawinan dan hubungan keluarga dan perwalian atas anak.

(d) Persamaan kedudukan dalam hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Sementara itu, Prinsip Non-Diskriminasi dimuat dalam Pasal 1 CEDAW sebagai berikut:

"demi tujuan konvensi ini, maka istilah 'diskriminasi terhadap perempuan’ akan berarti pembedaan, pengesampingan, atau pembatasan, yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penjaminan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok kaum perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara lelaki dan perempuan."

Pasal 1 ini merupakan definisi kerja arti diskriminasi terhadap perempuan yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi kelemahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan formal atau netral. Perhatikan kata kuncinya ...pengaruh atau tujuan... Barangkali suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan tidak dimaksudkan untuk peniadaan pemenuhan hak perempuan tetapi apabila mempunyai pengaruh atau dampak merugikan terhadap perempuan untuk jangka pendek atau jangka panjang, dianggap sudah diskriminatif. Adapun yang tidak termasuk bentuk diskriminasi adalah affirmative actions (Pasal 4 CEDAW) yakni langkah-langkah khusus sementara (temporary special measures) yang


(25)

dilakukan untuk mencapai persamaan perlakuan dan kesempatan antara lelaki dan perempuan. Pada Pasal 5 ayat (2) disebutkan pula perlindungan kehamilan dan kehamilan sebagai fungsi sosial.

Pasal 2 hingga Pasal 16 memuat daftar situasi dan kondisi serta hal-hal apa yang menjadi tanggung jawab negara dalam rangka mengeliminasi diskriminasi terhadap perempuan sebagai berikut: Pertama, Mengakhiri diskriminasi dengan cara menjamin hak-hak perempuan melalui aturan perundang-undangan dan kebijakan di level domestik. Kedua, Menjamin pelaksanaan praktis dari hak-hak tersebut melalui langkah-langkah atau aturan khusus dengan menciptakan kondisi yang kondusif dalam meningkatkan kesempatan akses perempuan pada peluang dan kesempatan yang ada. Ketiga, Mengadopsi mekanisme sanksi bagi pelaku kejahatan diskriminasi dan penyelenggaraan perlindungan hukum. Perlindungan ini dilakukan dengan cara menghapus aturan-aturan yang memberikan peluang terjadinya praktek-praktek diskriminasi. Keempat, Negara juga bertanggungjawab melakukan upaya mengeliminasi diskriminasi yang dilakukan orang per orang, keluarga, organisasi dan swasta.

Konvensi juga memuat peran negara untuk melakukan perubahan di bidang sosial dan budaya yang melanggengkan dominasi dan menghambat pemenuhan prinsip persamaan lelaki dan perempuan. Pada titik ini, negara harus melakukan pendidikan keluarga yang bertujuan untuk membangun pengertian mengenai tanggung jawab bersama bagi lelaki (suami) dan perempuan (isteri) dalam pemeliharaan dan perkembangan anak. Konvensi ini juga menaruh perhatian pada kasus perdagangan dan eksploitasi perempuan.


(26)

CEDAW: Tolak Ukur dalam Pemenuhan Hak Sipil Perempuan.

CEDAW dalam hal ini memberikan alat analisis bagi problem-problem utama yang dihadapi kaum perempuan. Pertama, kebijakan-kebijakan negara termasuk peraturan perundang-undangan yang memuat aturan djskriminatif terhadap perempuan. Kedua, situasi dimana partisipasi permpuan ditingkat politik, sosial , ekonomi dan budaya masih rendah bahkan diabaikan. Ketiga, adanya fakta dimana kemiskinan kaum perempuan berkaitan erat dengan pelanggaran terhadap akses atas pangan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Keempat, penghapusan dan eliminasi terhadap dominansi atas perempuan merupakan hal esensial bagi pemenuhan hak-hak asasi .

Dari keempat problem tsb, saya berasumsi bahwa masih terjadi tindakan diskriminatif terhadap perempuan terutama menyangkut pemenuhan hak sipilnya. Selain itu terjadi juga disparitas/kesenjangan ketika jargon kesetaraan jender dimunculkan. Berikut ini, ada beberapa isu strategis yang diidentifikasi oleh Komite P3B yakni Committee on the Elimination of Discrimination against

Women. Di sini saya hanya mencantumkan yang terkait dengan isu hak sipil

perempuan saja:

Peraturan perundang-undangan masih bertentangan dengan isi CEDAW berkenaan dengan :

a) keluarga dan perkawinan, termasuk poligami, usia perkawinan, perceraian dan syarat persetuuan suami dalam pembuatan paspor, b) hak-hak ekonomi, termasuk kepemilikan tanah, akses pinjaman dan


(27)

c) kesehatan, termasuk persetujuan suami untuk melakukan strerilisasi atau aborsi, walau keselamatan istri dalam kondisi terancam.

Sejauh mana perempuan Muslim dapat memilih aplikasi hukum publik selain dari hukum Islam yang diberlakukan padanya jika ia seorang Muslimah. Larangan perkawinan antar agama, khususnya perempuan Muslim yang akan mendapat tentangan keras saat ia memutuskan menikahi lelaki non Muslim, namun tidak berlaku jika lelaki muslim menikahi perempuan non Muslim, artinya telah terjadi diskriminasi ganda. Adanya norma sosial, agama dan budaya yang memposisikan lelaki sebagai kepala rumah tangga sehingga posisi perempuan subordinat terhadap posisi suaminya. Strereotipe perempuan yang tradisional masih melekat bahkan buku teks pun masih menganut nilai-nilai lama tentang perempuan, misalnya, ibu Budi menyapu, ayah Budi membaca koran. Angka pengangguran perempuan yang serius, perbedaan jumlah upah, segregasi pekerjaan dimana perempuan bekerja dengan upah rendah dan menjadi pekerja kasar.

Dari beberapa poin yang diidentifikasi oleh Komite tersebut, saya berasumsi bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi perempuan, dan juga terjadinya desparasi/kesenjangan jender ketika perempuan akan menikmati hak sipilnya. Saya berpijak pada pemahaman bahwa hak sipil adalah hak yang berkenaan dengan peran individu yang bersangkutan sebagai warga negara. Karenanya, sebagai warga negara yang terikat "kontrak" ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya yang berkelamin lelaki.


(28)

Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menyuarakan aspirasi politiknya. Ia juga berhak diakui kewarganegaraannya (termasuk mendapatkan pasport, hak kepemilikan, NPWP dll). la berhak mendapat pengesahan atas perkawinan yang dilakukannya (menyangkut surat nikah dari catatan sipil/KUA). Berikut ini beberapa prinsip tentang diskriminasi dan ketidakadilan jender yang dialami perempuan dalam kaitannya dengan pemenuhan hak sipil mereka.

Prinsip 1 : perempuan dan perkawinan/perceraian

Dalam beberapa kasus, banyak perempuan tidak memiliki hak untuk memutuskan dengan siapa ia menikah, dan juga kapan ia siap menikah. Hal ini terjadi pada perempuan daerah, Cililin-Bandung misalnya. Angka pernikahan dini (tingkat kawin muda) sangat tinggi berbanding lurus dengan angka perceraian. Poligami juga marak. Kondisi ini bertentangan dengan CEDAW Pasal 16 ayat (1)/b: "Hak yang sama untuk secara bebas memilih seorang istri/suami dan untuk mengikatkan din dalam perkawinan hanya dengan persetujuan mereka sendiri secara bebas dan penuh."

Perempuan ketika menikah, sering terabaikan hak-haknya sebagai individu. la kehilangan hak untuk menjual properti, tidak berhak memiliki NPWP sendiri, harus ada ijin dari suami saat membuat pasport, ijin aborsi (bahkan disaat nyawanya terancam) dll. Kasus yang terkenal misalnya "Ayam Goreng Ny. Suharti". Sebagai perempuan pengusaha, ia mengelola modal, mengajukan kredit dan pinjaman atas persetujuan sang suami. la dalam hal ini tidak memiliki NPWP sebab ada ketentuan dari pemerintah bahwa NPWP istri mengikuti suami.


(29)

Ketika bercerai, sang suami dapat menuntut ini-itu dengan alasan klaim perusahaan atas surat perijinan suami lah perusahaan dapat berkembang pesat. Pada titik ini, kita sadar bahwa terjadi pengabaian hak sipil perempuan; ia tidak memiliki hak untuk "berdiri” sebagai individu ketika menikah. la tidak memiliki hak untuk mempunyai NPWP sendiri dsb. Aturan tersebut jelas merugikan perempuan dan bertentangan dengan CEDAW Pasal 16 ayat (1)/g :"Hak pribadi yang sama sebagai istri/suami mengenai pemilikan dan perolehan, manajemen, administrasi, penikmatan, dan pengaturan harta kekayaan." Di satu sisi juga bertentangan dengan CEDAW Pasal 13 butir b :"Hak atas pinjaman bank, hipotek, dan bentuk kredit keuangan lain."

Kasus pernikahan antarnegara yang terkait dengan jejaringan narkoba internasional banyak melibatkan perempuan sebagai korban. Mereka diiming-imingi dengan janji kehidupan mewah, traveling, dll. Tetapi kenyataannya mereka hanyalah alat untuk memuluskan jalannya perdagangan. Kasus hukuman mati pun acap menimpa kaum perempuan, sedangkan penjahatnya raib entah kemana.

Kasus perdagangan perempuan yang berbungkus pernikahan antarnegara, misalnya perempuan etnis Tionghoa di Kalimantan dengan pria Korea atau pria Taiwan. Setelah menikah, sebagai istri mereka diperbudak, dilacurkan atau ditempatkan di daerah pertanian dengan kedudukan "terhormat" sebagai isteri tetapi menjadi budak di tanah asing. Sampai sekarang kasus ini masih marak, dan negara belum bertindak tegas. Ini tentu bertentangan dengan CEDAW Pasal 6 :" Negara anggota akan melaksanakan kebijakan yang tepat, termasuk membuat


(30)

perangkat perundang-undangan, untuk menghapus segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi."

Perempuan juga acap menjadi korban dalam kasus "nikah di bawah tangan". Secara hukum ia tidak terlindungi, terutama bila terjadi kasus kekerasan domestik. Dari beberapa kasus yang saya tangani, pernikahan tersebut dilakukan secara "sirri" dengan memakai klaim hukum Islam. Namun, pada kenyataan jauh dari syariat Islam sebab terjadi kekerasan domestik. Hal ini bertentangan dengan CEDAW Pasal 16 ayat (2): "...wajib mengisi pendaftaran perkawinan pada kantor pendaftaran resmi."

Berikut ini peraturan perundangan-undangan yang bias jender dan diskriminatif terhadap perempuan.

a) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 4 ayat (1): "Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dulu dari pejabat."

b) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 8 ayat (4) : "Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya."

Dua contoh pasal di atas menurut pendapat saya merupakan bias jender, sebab meniadakan "suara perempuan". Sebagai isteri, ia tidak diminta persetujuannya pada saat suami hendak memadunya. Sebagai istri ia juga akan kehilangan hak "tunjangan" pada saat ia menuntut cerai; padahal bisa jadi keinginannya itu didorong oleh alasan terjadinya kekerasan domestik yang


(31)

menahun. Istri tak tahan dan meminta cerai, tapi akibatnya ia tidak mendapat tunjangan.

Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa posisi perempuan adalah subordinat, sehingga ia tidak boleh memiliki inisiatif. Jika ia melanggamya, "hukuman" akan jatuh : ia tidak memperoleh tunjangan. Karenanya UU No 1/1974 Pasal 8 ayat (4) tersebut bertentangan dengan CEDAW Pasal 16 ayat (1)/c : "Hak dan tanggungjawab yang sama selama perkawinan dan pada waktu perceraian."

Prinsip 2 : perempuan dan pekerjaan

Tindakan diskriminatif terhadap perempuan di sektor pekerjaan masih tetap berlangsung. Perempuan dibayar lebih rendah dari laki-laki sekalipun pada bidang dan kapasitas kemampuan yang sama. Pada persoalan promosi, perempuan menempati posisi rendah atau menengah dan jarang ada yang mencapai posisi eksekutif. Inti masalahnya oleh karena adanya bias budaya yang memasung posisi perempuan sebagai pekerja domestik dan dianggap bukan sebagai pencari nafkah utama. Hal ini bertentangan dengan CEDAW Pasal 11 ayat (l)/d: "Hak atas jumlah upah yang sama, termasuk manfaat dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan yang nilainya sama, seperti juga kesetaraan perlakuan dalammenilai kualitas pekerjaan".

Di beberapa perusahan seperti perbankan dan media massa, hak-hak reproduksi perempuan dipasung. Ada satu contoh yang dekat dengan saya. Seorang teman memutuskan untuk melanjutkan S2 (pascasarjana) tanpa sepengetahuan atasan, dan juga sedang hamil. Ia dihadapkan dengan pilihan


(32)

dilematis, yaitu memilih untuk tetap sekolah atau berhenti bekerja. "Anda ini serakah sekali, bekerja kemudian sekolah dan hamil..." Begitulah kalimat melecehkan dari sang atasan. Perempuan ini kemudian mengajukan keberatan kepada pemimpin perusahaan dan kasusnya diakhiri dengan damai. Selain itu, ia diberi cuti hamil sedangkan tindakan diskriminatif sang atasan dipeti-eskan. Kasus ini terjadi di sebuah perusahaan media nomor satu di Indonesia. Beberapa perusahaan dalam realitanya meminta kesediaan para pekerja perempuannya untuk menunda perkawinan dan kehamilan selama beberapa tahun oleh karena dianggap mengganggu produktivitas. Ini tentu bertentangan dengan CEDAW Pasal 11 ayat (2) : "Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan perkawinan dan fungsi keibuan dan untuk menjamin hak mereka atas pekerjaan, maka negara anggota harus melaksanakan kebijakan yang tepat untuk : a) melarang pemecatan atas alasan seperti kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemecatan atas dasar status perkawinan.."

Ketidakadilan jender dialami oleh perempuan berkeluarga yang tetap dikategorikan sebagai perempuan lajang sehingga ia tidak mendapat tunjangan. Lain halnya dengan lelaki yang dianggap sebagai kepala keluarga, sehingga ia berhak mendapat tunjangan. Dalam beberapa kasus, banyak perempuan yang berstatus sebagai single parent, baik dengan alasan perceraian maupun pilihan hidup. Dengan demikian, ia menjadi kepala rumah tangga. Tapi aturan formal menempatkannya sebagai perempuan lajang sehingga ia tidak mendapat hak tunjangan anak.


(33)

Prinsip 3 : perempuan dan kesehatan reproduksi.

Ketika program Keluarga Berencana (KB) digembar-gemborkan, terjadi pelanggaran hak atas fungsi reproduksi perempuan. Negara memandang perempuan sebagai indikator penentu tercapainya program membatasi laju pertumbuhan penduduk. Maka tanpa penyuluhan yang memadai, alat KB dijejalkan pada tubuh perempuan, bahkan acap melalui tindakan pemaksaan. Kasus ini penah dialami oleh seorang perempuan. Dokter—tanpa meminta persetujuan sang ibu—kemudian memasangkan spiral, dan akibatnya hingga kini ia belum dikaruniai anak kedua meskipun ia sudah menghentikan program KBnya. Tentu saja ini melanggar hak reproduksi perempuan. Ada lagi kasus unik yang terjadi di Garut paruh waktu 1995 berdasarkan penetitian Anita Rahayu, M. Hum bahwa perempuan Garut ”dipaksa” untuk berKB dengan cara IUD (spiral). Pada subuh hari, mereka berbondong-bondong berendam di sungai hingga siang hari. Akibatnya alat KB tsb hanyut...Artinya mereka melakukan "perlawanan" dan bersikap anti pati terhadap alat KB. Pemerintah tidak pernah mengantisipasi hal demikian. Mereka hanya menggalakkan KB secara sepihak, bahkan KB lanang (laki-laki) yang relatif aman tidak gencar digaungkan. Dalam beberapa kasus, berKB memang berakibat negatif bagi perempuan.

Banyak efek samping yang dikeluhkan perempuan akibat berKB, misalnya saja pendarahan tak henti. Penyuluh KB juga hanya melakukan propanganda tanpa memberikan penyuluhan mendalam mengenai KB dan kesehatan reproduksi. Mereka biasanya hanya menawarkan satu jenis alat KB, juga minim


(34)

memberikan informasi dan data akurat mengenai efek samping berKB. Tentunya hal ini bertentangan dengan CEDAW Pasal 12 ayat (1): " Para negara anggota akan melaksanakan kewajiban yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang perawatan kesehatan agar dapat menjamin, atas dasar kesetaraan antara lelaki dan perempuan, akses ke jasa pelayanan termasuk keluarga berencana."

Prinsip 4: Perempuan dan aspirasi politik

Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak sipil dan hak politik untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Tetapi, sebagai perempuan yang bersuamikan pegawai negeri/ABRI, maka hak tersebut terkungkung. la acap tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti aspirasi politik sang suami. Hal ini sangat bertentangan dengan CEDAW Pasal 7: "Para negara anggota akan melaksanakan kebijakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan pemerintahan suatu negara dan, terutama, harus menjamin perempuan secara setara dengan laki-laki, hak untuk: memberikan suaranya dalam semua pemilihan umum atau referendum dan memenuhi persyaratan pemilihan untuk semua badan yang dipilih secara publik..."

D.CEDAW dan Hukum Nasional Indonesia

UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dengan demikian, jika terdapat ketentuan atau tindakan yang mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal itu melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga


(35)

negara, dan dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu setiap perempuan Warga Negara Indonesia memiliki hak konstitusional sama dengan Warga Negara Indonesia yang laki-laki. Perempuan juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan karena statusnya sebagai perempuan, ataupun atas dasar perbedaan lainnya. Semua hak konstitusional yang telah diuraikan sebelumnya merupakan hak konstitusional setiap perempuan Warga Negara Indonesia.

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia diatur dalam pembukaan dan dalam batang tubuh. Pada pembukaan ada disebutkan tentang hak kemerdekaan. Sedangkan pada batang tubuh diatur dalam Bab X tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut:

Pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Pasal 28B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selanjutnya, dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan beberapa hak sebagai berikut:


(36)

Pasal 28 I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

(5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.

Sesuai Pasal 28I ayat (5), dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perbuatan seorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia, baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh


(37)

undang-undang dimaksud akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran hak asasi yang demikian, disebut pelanggaran hak asasi yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi yang berat, seperti pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematik. Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak asasi manusia.

Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Demikian juga untuk tujuan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Adapun ruang lingkup hak asasi manusia adalah sebagai berikut:

1) setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya;

2) setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.


(38)

3) setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu; 4) setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan

dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya;

5) setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan undang-undang;

6) setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa;

7) setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang;

8) setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia tersebut, dapat dipahami bahwa di negara Republik Indonesia yang berdasar atas hukum, amat menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 halaman enam belas, diungkapkan bahwa peningkatan pemahaman dan penyadaran, serta peningkatan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak


(39)

asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan, dan penyelesaian berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.

Salah satu hak yang diatur UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah mengenai hak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif. Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.

Hak Asasi Manusia (HAM), yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia, harus menjadi akar dari negara, menghormati perbedaan, menerima keanekaragaman, menerima hubungan, serta menghargai hubungan gender. Kondisi yang diperlukan adalah negara harus konsisten terhadap konstitusi, hak-hak dasar, persamaan lelaki dan perempuan, persamaan antara muslim dan non-muslim.

Penegakan hak asasi manusia ini merupakan hal penting bagi negara Indonesia. Oleh karena itu, selain dimuat dalam UUD’45 dan dijabarkan melalui UU. No. 39 Tahun 1999, juga dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Keseriusan pemerintah menegakkan HAM ini juga dapat


(40)

diperhatikan dengan adanya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Kedudukan Pengadilan HAM ini berada di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ruang lingkup kewenangan pengadilan Ham, menurut UU No. 26 Tahun 2000 pasal 4-6, yaitu: Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat; Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia; dan Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.

Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia juga harus senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dengan kata lain tidak boleh bertentangan dengan HAM sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi (UUD 1945), karena HAM ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Konstitusi (UUD 1945) telah memberikan pengaturan tentang HAM sebagai berikut:

a. Personal Right (pasal 28 dan pasal 29)


(41)

c. Right of Legal Equality (pasal 27 ayat 1)

d. Political Right (pasal 27 ayat 1 dan pasal 28)

e. Sosial and Culture Right (pasal 31, pasal 32, pasal 34)

f. Procedural Right (pasal 27 ayat 1)

Amandemen kedua UUD 1945 telah memberikan perubahan terhadap pengaturan HAM di Indonesia. Kalau sebelum amandemen kedua pengaturan HAM dalam UUD 1945 diatur secara terpisah, namun pasca amandemen kedua, UUD 1945 telah mengatur HAM secara lebih sistematis dalam satu bab, yaitu di dalam pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945. Pasal tersebut telah menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan HAM di Indonesia.

Dalam alinea kedua dari Declaration of Independence of the united state of

America yang dideklarasikan oleh The Representative of The United State of America dalam general kongres assembly pada tanggal 4 Juli 1776 tertulis antara

lain sebagai berikut :

“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equel; that there are endowed by their creater with certain unalianable rights; that among these are life, liberty ang the pursuit of happiness”

Kalau kita menyimak kutipan di atas, di antara berbagai hak-hak dasar atau hak asasi manusia diantaranya yang disebut secara tegas yakni persamaan hak, hak hidup, hak kebebasan dan hak mengejar atau mencari kebahagiaan.


(42)

Macam-macam HAM menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 antara lain :

a. Hak untuk hidup

b. Hak mengembangkan diri

c. Hak memperoleh keadilan

d. Hak atas kebebasan pribadi

e. Hak atas rasa aman

f. Hak atas kesejahteraan

g. Hak urut serta dalam pemerintahan

Kemudian pada tahun 1946, Commition on Human Right (PBB) menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Right) pada tanggal 10 Desember 1948.

Dalam diskursus penegakkan HAM Internasional, ada konvensi internasional tentang HAM yang menjadi panutan negara di dunia, yaitu

International Convenant on Civil and Political Right-ICCPR (Perjanjian

Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik) dan International Convenant on

Economic, Social, and Cultural Right-ICESCR (Konvenan Internasional tentang

Hak Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. ICCPR telah diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan dalam Undang Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan


(43)

diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right. Dalam Konsep hak asasi manusia ini terdapat dua dimensi (dimensi ganda), yaitu:

1) Dimensi universalitas, yakni substansi hak-hak asasi manusia itu pada hakekatnya bersifat umum dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Hak asasi manusia akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan dimana pun itu berada, entah itu dalam kebudayaan barat maupun timur. Dimensi hak asasi manusia seperti ini pada hakekatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi individu untuk mengekspresikan secara bebas dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain hak asasi itu ada karena yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia.

2) Dimensi kontekstualitas, yakni menyangkut penerapan hak asasi manusia bila ditinjau dari tempat berlakunya hak-hak asasi manusia tersebut. Maksudnya adalah ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan secara efektif, sepanjang “tempat” ide-ide hak asasi manusia itu memberikan suasana kondusif untuk itu. Dengan kata lain ide-ide hak asasi manusia akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan etik dalam pergaulan manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat entah itu di barat ataupun di timur sudah tidak memberikan tempat bagi terjaminnya hak individu yang ada di dalamnya.

Dua dimensi inilah yang memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia di dalam komunitas kehidupan masyarakat, bangsa dan


(44)

negara. Oleh sebab itu dengan adanya dua dimensi ini, maka perdebatan mengenai pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia yang diletakkan dalam konteks budaya, suku, ras maupun agama sudah tidak mempunyai tempat lagi atau tidak relevan dengan wacana publik masyarakat modern.

Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga negara yang beragam. Realitas masyarakat Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara. Perbedaan kemampuan tersebut bukan atas kehendak sendiri kelompok tertentu, tetapi karena struktur sosial yang berkembang cenderung meminggirkannya.

Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang dilakukan tanpa memperhatikan adanya perbedaan tersebut, dengan sendirinya akan mempertahankan bahkan memperjauh perbedaan tersebut. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus tersebut, dapat dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara.

Oleh karena itu, UUD 1945 menjamin perlakuan khusus tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.


(45)

Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus adalah perempuan. Tanpa adanya perlakuan khusus, perempuan tidak akan dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya karena perbedaan dan pembedaan yang dihasilkan dan dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarkis.Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu mencapai keadilan.

Dengan memperhatikan bahwa pentingnya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan melalui perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan juga telah diakui secara internasional. Bahkan hal itu diwujudkan dalam konvensi tersendiri, yaitu

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women

(CEDAW).

Penghapusan diskriminasi melalui pemajuan perempuan menuju kesetaraan jender bahkan dirumuskan sebagai kebutuhan dasar pemajuan hak asasi manusia dalam Millenium Development Goals (MDGs). Hal itu diwujudkan dalam delapan area upaya pencapaian MDGs yang diantaranya adalah; mempromosikan kesetaraan jender dan meningkatkan keberdayaan perempuan, dan meningkatkan kesehatan ibu. Rumusan tersebut didasari oleh kenyataan bahwa perempuan mewakili setengah dari jumlah penduduk dunia serta penduduk miskin dunia adalah perempuan.

Pada tingkat nasional upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan mencapai kesetaraan jender telah dilakukan walaupun pada


(46)

tingkat pelaksanaan masih membutuhkan kerja keras dan perhatian serius. CEDAW telah diratifikasi sejak 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.31 Upaya memberikan perlakuan khusus untuk mencapai persamaan jender juga telah dilakukan melalui beberapa peraturan perundang-undangan, baik berupa prinsip-prinsip umum32, maupun dengan menentukan kuota tertentu33. Bahkan, untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan yang sering menjadi korban kekerasan, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga34

Ketentuan konstitusional tersebut diwujudkan melalui seperangkat aturan hukum dan kebijakan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Oleh karena itu

.

Tantangan penegakan hak konstitusional warga negara dengan sendirinya juga merupakan tantangan bagi penegakan hak konstitusional perempuan. Di sisi lain, karena perbedaan yang ada dalam masyarakat, tantangan penegakan hak konstitusional bagi perempuan tentunya lebih berat dan memerlukan perlakuan-perlakuan khusus. Penegakan hak konstitusional perempuan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 tentu harus melibatkan semua komponen bangsa, baik lembaga dan pejabat negara maupun warga negara, baik perempuan maupun laki-laki.

31

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277.

32

Misalnya Pasal 13 Ayat (3) UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menyatakan “Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender”. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251.

33

Misalnya Pasal 65 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD menyatakan “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277.

34


(47)

upaya penegakan hak konstitusional harus dilakukan baik dari sisi aturan, struktur, maupun dari sisi budaya.

Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perermpuan, atau paling tidak telah disusun dengan perspektif kesetaraan jender, tentu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan, atau paling tidak belum sensitif jender. Apalagi hingga saat ini masih banyak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Untuk itu upaya identifikasi dan inventarisasi harus dilakukan yang diikuti dengan penataan dan penyesuaian berdasarkan UUD 1945 pasca perubahan.

1. Kesetaraan Gender Terhadap Perempuan Secara Universal

Sebelum membahas lebih lanjut tentang upaya dalam mewujudka n tercitanya kesetaraan gender terhadap kaum prempuan, maka terlebih dahulu dapat dijelaskan mengenai beberapa hal yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam konteks perlakuan terhadap kaum perempuan. Kekerasan terhadap perempuan masih terjadi pada beberapa negara karena adanya paham bahwa perempuan selalu berada di kelas bawah dan berada dalam kontrol dan kemauan laki-laki. Dianggap suatu hal yang sah bagi laki-laki untuk memukul dan mencambuk istri dan anak-anaknya dengan mengatasnamakan agama.

Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban domestik lebih banyak dan lebih lama dibanding laki-laki. Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara rumah tangga telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi


(48)

dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.

Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah pada perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bahwa hal tersebut bukan salah satu dari tanggung jawabnya bahkan dibanyak tradisi, mereka dilarang untuk terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut secara logis akan bertambah, jika perempuan yang juga bekerja dan menghasilkan nafkah di luar, karena mereka masih tetap harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik.

Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkait dan secara dialektika dan saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan tersebut “tersosialisasi” kepada kaum laki-laki secara perlahan namun pasti, yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender tersebut seolah-olah adalah kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan sudah tidak dirasakan lagi adanya sesuatu yang salah.

Persoalan ini yang mewarnai keterlibatan perempuan di banyak negara yakni yang akhirnya menjadi kepentingan kelas, dimana banyak pihak yang akhirnya berupaya untuk mempertahankan sistem dan struktur tersebut dan teradopsi dalam setiap aspek kehidupan masyarakat khusunya dibidang politik.

Salah satu manifestasi ketidakadilan gender adalah subordinasi gender khususnya kaum perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi


(49)

yang tidak penting. Subordinasi ini diperkuat oleh tatanan budaya dan agama yang semakin menekan kebebasan perempuan untuk memperoleh hak-hak politik mereka, perempuan dan politik dan hukum merupakan sebuah perpaduan kontras yang menurut sebagian besar masyarakat adalah tidak mungkin.

Keterwakilan kaum perempuan di dalam institusi-institusi politik dan hukum juga masih sangat minim. Berbagai tantangan dan kendala menghadang para perempuan yang masuk ke dalam panggung politik. Selain itu banyak laki-laki semakin enggan berbagi kekuasaan dengan perempuan. Kehadiran kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan masih jauh dari cukup. Banyak pemuka perempuan yang membicarakan kesetaraan gender dalam konteks ini.

Selain dari sisi substansi aturan hukum, tantangan yang dihadapi adalah dari struktur penegakan hukum dan konstitusi. Untuk mencapai perimbangan keanggotaan DPR dan DPRD misalnya, tidak cukup dengan menentukan kuota calon perempuan sebanyak 30% yang diajukan oleh setiap partai politik. Ketentuan tentang kuota itu tentu harus menjamin bahwa tingkat keterwakilan perempuan di parlemen akan semakin besar. Padahal, saat ini jumlah anggota DPR perempuan baru 11 persen, di DPD 21%. Bahkan jumlah pegawai negeri sipil eselon I yang perempuan hanya 12,8%. Untuk itu, perlu dirumuskan mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di sektor publik semakin meningkat di masa mendatang.

Tantangan di bidang struktur penegak hukum juga diperlukan misalnya terkait dengan proses hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebagai korban atau saksi, perempuan memerlukan kondisi tertentu untuk dapat


(50)

memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan. Untuk itu proses perkara, mulai dari penyelidikan hingga persidangan perlu memperhatikan kondisi tertentu yang dialami perempuan. Misalnya saat dilakukan penyidikan, perempuan korban kekerasan tentu membutuhkan ruang tersendiri, apalagi jika kekerasan tersebut adalah kekerasan seksual yang tidak semua perempuan mampu menyampaikannya secara terbuka. Demikian pula terkait dengan persidangan yang membutuhkan jaminan keamanan baik fisik maupun psikis.

Dalam upaya menegakan hak konstitusional perempuan, adalah menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi terutama yang terkait dengan hak konstitusional perempuan. Hal ini semakin penting karena kendala yang dihadapi selama ini memiliki akar budaya dalam masyarakat Indonesia. Akar budaya tersebut melahirkan dua hambatan, pertama, adalah dari sisi perempuan itu sendiri; dan kedua, dari masyarakat secara umum. Walaupun telah terdapat ketentuan yang mengharuskan mempertimbangkan prinsip kesetaraan jender dalam pimpinan partai politik misalnya, namun hal itu sulit dipenuhi salah satunya karena sedikitnya perempuan yang aktif di dunia politik. Demikian pula dengan pemenuhan kuota 30% dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD oleh partai politik. Sebaliknya, sering pula terjadi, seorang perempuan yang layak dipilih atau diangkat untuk jabatan tertentu, namun tidak dipilih atau diangkat karena dinilai perempuan mempunyai kelemahan tertentu dibanding laki-laki.

Hal itu menunjukkan bahwa adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan hak konstitusional perempuan tidak cukup untuk memastikan tegaknya hak konstitusional tersebut. Peraturan perundang-undangan


(51)

harus diikuti dengan adanya penegakan hukum yang sensitif jender serta yang tidak kalah pentinganya adalah perubahan budaya yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai budaya tertentu bukanlah hal yang mudah, bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan hukum. Cara yang lebih tepat adalah dengan merevitalisasi nilai budaya setempat merefleksikan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.

2. Pemberdayaan Perempuan Sebagai Wujud Partisipasi Aktif Dalam Hukum Internasional.

Dalam banyak kasus, perempuan memang paling banyak mengalami problema dalam kasak-kusuk politik atau ekonomi, atau dalam lingkungan yang lebih sempit, rumah tangga. Masalah ini seolah sudah menjadi aksioma yang tidak lagi memerlukan pembuktian. Dengan kata lain, perempuan, sebagaimana halnya dengan anak-anak dan kelompok lanjut usia (Lansia), lebih rentan terhadap terjadinya gejolak yang memproduk ketidakstabilan pada ranah publik. Itulah sebabnya, pledoi-pledoi yang diajukan oleh kaum aktivif atau para pembela kaum ini sering pula diberi label “pembebasan” atau “pemberdayaan”. Maka, lahirlah istilah pemberdayaan perempuan sebagai antiklimaks dari gagasan peberdayaan masyarakat (people empowerment).

Munculnya kesadaran untuk membebaskan perempuan dari nestapa sangat dipengaruhi pula oleh kesadaran universal tentang perlunya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) tanpa pandang bulu. Dalam hal ini, dasawarsa 1970 adalah masa yang sangat penting dalam sejarah perkembangan


(52)

hak asasi manusia perempuan.35

Dari uraian di atas tampak bahwa cara atau strategi yang paling rasional untuk membebaskan kaum perempuan dari kungkungan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan adalah memberdayakan mereka, baik dari dimensi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Pemerintah Indonesia pada dasarnya sudah memperlihatkan kesungguhan dalam memajukan kaum perempuan melalui tujuan-tujuan pembangunan umumnya dan melalui program-program khusus. Namun demikian, berbagai kalangan menilai bahwa banyak kebijakan tetap saja

Itulah sebabnya, satu-satunya cara yang rasional untuk membebaskan mereka dari keestapaan itu adalah memberdayakan perempuan-perempuan tadi, tidak saja dari kemiskinan, tetapi juga dari kebodohan, dan keterbelakangan yang merupakan sejumlah faktor menghambat mereka dalam mengembangkan diri.

Membebaskan perempuan Indonesia dari problema tersebut merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena sesungguhnya, pemberdayaan perempuan adalah suatu proses yang memungkinkan setiap perempuan Indonesia mampu memenuhi pilihannya sendiri secara bijaksana. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan haruslah diterjemahkan sebagai upaya memperbaiki fungsi dan kemampuan kaum perempuan sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Hanya dengan begitu, proses pembangunan yang dilaksanakan dapat berlangsung secara seimbang karena di dalamnya tercakup pula elemen pemberdayaan kelompok yang selama ini dinilai paling lemah, yakni perempuan.

35


(53)

menyisakan persoalan lama bahkan menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Untuk menerangkan alasan-alasannya, kebijakan makro secara terpisah dari kebijakan-kebijakan yang ditujukan khusus bagi perempuan dijadikan sebagai titik tolak analisis. Ini penting ditegaskan karena kebijakan-kebijakan makro cenderung “buta gender” dalam pengertian bahwa kebijakan-kebijakan itu dirancang dan dilaksanakan tanpa memperhatikan lebih dahulu dampaknya bagi perempuan sebagai pekerja, anggota masyarakat dan keluarga, dan warga negara.

Sementara itu, kebijakan-kebijakan khusus bukannya tanpa persoalan juga, dan daya kemanjurannya dihambat oleh dua rintangan pokok: pertama, kebijakan-kebijakan itu bersifat “fungsionalis” karena ia lebih memberi prioritas pada fungsi perempuan untuk dapat berperan dalam pembangunan, bukannya sebaliknya. Kedua, kebijakan-kebijakan itu menyimpan sebuah kontradiksi. Pada satu sisi, kebijakan tersebut dibuat dalam konsepsi dominan tentang pembangunan, berpusat pada nilai kemajuan dan modernitas. Pada sisi lain, kebijakan-kebijakan ini menghasilkan ideologi gender yang mengagungkan paham-paham tradisional tentang tempat perempuan di masyarakat.36

Oleh sebab itu, meskipun terdapat kemajuan umum semacam itu, tatap saja ada persoalan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Lihatlah kenyataan, antara lain, bahwa perempuan sebagai sebuah kelompok ditinggal kaum laki-laki dalam pendidikan. Pada 1985 misalnya, data UNICEF/ESCAP menunjukkan, sepertiga penduduk perempuan yang aktif secara ekonomi tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, dibandingkan dengan laki-laki yang besarnya

36

2Ines Smyth, “Pandangan Kritis tentang Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Indonesia bagi Perempuan”, dalam Frans Husken et.al (editor), Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial


(1)

ABSTRAK

KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Kesetaraan merupakan penopang utama dalam membangun dan menegakkan proses demokrastisasi karena secara nyata dapat menjamin terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat. Tidak tercapainya cita-cita demokrasi dapat diakibatkan oleh perlakuan yang diskriminatif ataupun tindakan dari mereka yang dominan baik secara struktural maupun secara kultural. Jenis perlakuan diskriminatif ini merupakan konsekusensi logis dari suatu pandangan yang bias dan posisi asimetris dalam relasi sosial. Dengan adanya perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan ini akan menimbulkan banyak konflik. Oleh karena itu kesetaraan gender harus menjadi perhatian utama oleh pemerintah maupun dunia internasional.

Dengan adanya sejumlah konsep peraturan ataupun Konvensi Internasional yang diratifikasi ke dalam peraturan di Indonesia terkait kedudukan perempuan, maka saat ini posisi maupun peranan perempuan dalam pembangunan nasional maupun partisipasi dalam dunia internasional lebih diperhitungkan dan tidak dipandang sebelah mata. Dengan demikian tujuan pemberdayaan perempuan dapat lebih diutamakan dan diprioritaskan demi terciptanya kesetaraan dan prinsip-prinsip persamaan hak.

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan metode hukum normatif, yaitu menelaah dan menganalisa perundang-undangan khususnya perundang-undangan yang berhubungan dengan Hukum Internasional dan peraturan tentang ratifikasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional terkait kesetaraan gender terhadap kaum perempuan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library

research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur seperti:

buku-buku, undang-undang khususnya tentang perjanjian internasional, pendapat sarjana, bahan perkuliahan, artikel dan juga bahan yang diperoleh dari media internet, yang bertujuan untuk memperoleh atau mencari konsepsi, teori-teori, bahan-bahan yang berkenaan dengan pemberdayaan perempuan di Indonesia maupun dalam ruang lingkup internasional.

Kata Kunci : Kesetaraan Gender Dan Pemberdayaan Perempuan, Perspektif Internasional.


(2)

KATA PENGANTAR

. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan syafa’atnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara. Adapun judul yang penulis angkat adalah Kesetaraan Gender Dan

Pemberdayaan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Internasional” Dalam

menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materil. Kepada Yang Terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

4. Bapak Dr. O.K Saidin, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi.

6. Bapak Arif, SH., MH, selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ayahanda dan Ibunda tercinta H.Herry Lontung Siregar, SE dan Hj. Syahmim Ara yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah putus sampai sekarang.

9. Rekan-rekan terdekat penulis 09, rekan-rekan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak mendukung dan membantu penulis. 10.Seluruh pihak yang telah berjasa dalam membantu penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna di satu sisi karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif apresiatif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, semoga Allah STW meridhoi kita semua dan semoga skripsi ini bermanfaat untuk


(4)

Medan, Oktober 2014 Penulis

RIRI STEPHANIE SIREGAR 090200216


(5)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka... 7

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan.. ... 17

BAB II KEDUDUKAN PEREMPUAN BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL ... 19

A. Kedudukan Perempuan Berdasarkan Konsep Mengenai Gender... 19

B. Gender Sebagai Suatu Bentuk Yang Harus Diutamakan .. 23

C. Prinsip Tentang Kesetaraan Gender………. ... 27

D. Diskriminasi Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran Asas Persamaan Hak……… ... 36

E. Kedudukan Perempuan Berdasarkan Konvensi Internasional… ... 40

BAB III PENGATURAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MENURUT HUKUM INDONESIA ... 44

A. Hak dan Kedudukan Perempuan Sebagai Warga Negara dalam Melakukan Suatu Perbuatan Hukum………….. .... 44

B. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dalam Tatanan Masyarakat………….. ... 51


(6)

BAB IV KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM

INTERNASIONAL ... 60

A. Sejarah dan Perhatian Masyarakat Internasional Terhadap Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan ... 60

B. Lahirnya Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) ... 62

C. Beberapa Prinsip Dasar dari CEDAW... 69

D. CEDAW dan Hukum Nasional Indonesia... 75

BAB V PENUTUP ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 103