Kesetaraan Gender Peran Perempuan dalam

Sosiologi Gender
Kesetaraan Gender: Peran Perempuan dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga

Disusun oleh:
Evi Fadillawati (4815111569)

Pendidikan Sosiologi Reg 2011
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Peran dan kedudukan perempuan di masyarakat dahulu masih berkisar di dalam rumah

tangga dan berkutat dengan 3M, yaitu Masak (memasak), Macak (bersolek) dan Maranak
(melahirkan anak).1 Hal ini berhubungan dengan budaya patriarkhi yang kental pada zaman
kolonial, dimana pendidikan formal untuk kaum laki-laki dianggap lebih penting dibanding

kaum perempuan. Bahkan pada zaman itu kaum perempuan dilarang mendapatkan pendidikan,
dikarenakan tugas perempuan hanya di ruang privat. Perempuan memiliki peran dan tanggung
jawab terhadap pemeliharaan keutuhan keluarga atau rumah tangga, sedangkan laki-laki
memiliki peran dan tanggung jawab dalam hal pemenuhan ekonomi keluarga. Peran yang
berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat merupakan akibat dari
pembagian pekerjaan secara seksual. Karena perempuan hamil, melahirkan dan meyusui mereka
lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan reproduktif. Pekerjaan-pekerjaan yang termasuk
jenis pekerjaan ini antara lain pekerjaan tumah tangga dan merawat anak. Sebaliknya, laki-laki
lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang berada di luar rumah atau produksi (sektor
publik). Dari pembagian peran tersebut timbul anggapan bahwa kekuatan fisik perempuan tidak
lebih dari laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk yang lemah.
Namun, dengan adanya pergerakan kaum perempuan mendorong terjadinya perubahan
yang membuat perempuan kini mampu mengekpresikan dirinya tidak hanya di ranah domestik
tetapi di ruang publik. Pergerakan perempuan memberikan kesempatan kepada perempuan
untuk mengikuti pendidikan formal sebagaimana laki-laki. Tidak hanya kesempatan dalam
memperoleh pendidikan tetapi dalam berbagai bidang pun perempuan mendapatkan kedudukan
yang setara dengan laki-laki. Berbagai keberhasilan yang dulu hanya milik kaum laki-laki sudah
banyak bergeser. Perkembangan dunia perempuan dalam berbagai bidang semakin tidak
terelakan, salah satunya di bidang ekonomi. Banyak perempuan bekerja bermunculan dengan
adanya kesetaraan gender. Fenomena munculnya perempuan bekerja atau wanita karir di

1

Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm1

Indonesia mulai menjamur khususnya di daerah perkotaan sebagai pusat industri. Mereka bekerja
di pabrik, restoran, kantor, bahkan di pusat pemerintahan sebagai ruang publik. Tidak sedikit
perempuan yang menjadi anggota DPR, walikota, bahkan menjadi presiden. Tidak sedikit pula
perempuan yang bekerja dalam profesi yang biasa dilakukan oleh laki-laki, seperti halnya sopir
transjakarta, kondektur, buruh angkut, bahkan buruh bangunan.
Pandangan perempuan bekerja pun mulai bergeser. Perempuan bekerja dianggap sebagai
gambaran perempuan modern dan perempuan tidak bekerja atau ibu rumah tangga dianggap
sebagai perempuan tradisional. Begitupun dengan pandangan bahwa perempuan bekerja
merendahkan kaum laki-laki bergeser menjadi perempuan sebagai partner laki-laki untuk
menumbuhkan relasi dalam membangun keutuhan rumah tangga. Perempuan bekerja selain
sebagai bentuk kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, juga untuk membantu
perekonomian keluarga. Hal ini terjadi karena suami dianggap kurang mampu memenuhui
perekonomian keluarga. Namun menjadi seorang wanita karir yang telah berkeluarga atau ibu
bekerja memiliki beban ganda yang cukup berat. Selain bekerja, perempuan diupayakan tidak
mengurangi kewajibannya untuk mengurus keluarga sehingga diperlukan komitmen yang serius
antara suami dan isteri agar tidak terjadi pertikaian di dalam keluarga.

1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kesetaraan gender mampu membuat perempuan mengekspresikan diri di
ruang publik?
2. Bagaimana bentuk partisipasi perempuan dalam membantu perekonomian keluarga?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perempuan mengekspresikan diri melalui kesetaraan gender
2. Mengetahui bentuk partisipasi perempuan dalam membantu perekonomian keluarga

1.4. Manfaat Penulisan
1. Kegunaan praktis. Dapat mengetahui dan memahami peran perempuan dalam

membantu perekonomian keluarga
2. Kegunaan teoritis. Memberikan pemahaman mengenai kesetaraan gender dan
feminisme kepada masyarakat terutama pembaca.

BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
Konsep Keluarga
Kata keluarga berasal dari bahasa Latin, yaitu Famulus yang artinya pembantu rumah
tangga. Sedangkan kata familia berarti budak yang menjadi milik seorang laki-laki. Menurut asal

kata tersebut, dapat dikatakan bahwa perempuan merupakan milik suami dan laki-laki memiliki
kebebasan atas perempuan yang dinikahinya. Sehingga, tindak kekerasan terhadap perempuan
dilembagakan melalui sistem keluarga.2
Menurut Bailon dan Maglaya, keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam
satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi yang saling
berinteraksi satu sama lain. Ada beberapa fungsi keluarga, yang pertama adalah untuk mengatur
penyaluran dorongan seks. Fungsi kedua yaitu, reproduksi berupa pengembangan keturunan, hal
ini pun diatur dalam system keluarga. Ketiga, keluarga berfungsi mensosialisasikan anggota baru
di masyarakat sehingga dapat memerankan peranan yang harus dilakukan individu. Keempat,
keluarga memiliki fungsi afeksi yaitu memberikan kasih sayang kepada anggota keluarganya.
Kelima, keluarga memberikan status kepada anaknya. Keenam, keluarga memberikan
perlindungan kepada masing-masing anggota keluarganyanya. 3
Di dalam keluarga, masing-masing keluarga memiliki peranan masing-masing. Ayah
memiliki peranan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai
kepala keluarga, dan sebagai anggota dari masyarakat/kelompok sosial. Peranan ibu sebagai istri
dan ibu dari anak-anaknya berperan mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik dan
pelindung dari anak-anaknya. Selain itu, istri dapat memiliki peran sebagai pencari nafkah untuk
membantu kebutuhan ekonomi keluarganya. Kemudian, anak memiliki peranan sebagai
pelaksana peran psiko-sosial sesuai dengan lingkungan yang berdasarkan pada tingkatan
perkembangan baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.


2
3

Kalyanamedia, Gender dalam Keluarga, Jakarta: Kalyanamitra, 2006,hal.6.
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993, hal.162

Perempuan Bekerja
Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di tengah
masyarakat kita. Secara ekonomi, bekerja dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan
untuk menghasilkan barang atau jasa untuk digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu
imbalan. Menurut Moore, definisi tentang kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang
dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta
penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut.4
Keterlibatan perempuan dalam bekerja, dapat dipengaruhi oleh beberapa sebab,
yaitu:tekanan ekonomi, lingkungan keluarga yang mendukung, untuk kepuasan batin dan
sebagian lagi bekerja untuk kepentingan mereka sendiri. Adanya peningkatan atau kenaikan
jumlah perempuan bekerja di Indonesia, selain karena dorongan untuk mempertahankan
ketahanan ekonomi keluarga juga karena terbukanya kesempatan kerja di berbagai sektor yang
banyak menampung tenaga kerja perempuan, seperti pertanian, perdagangan dan jasa. 5 Adanya

tuntutan untuk menopang perempuan keluarga menyebabkan sebagian besar suami dan istri
secara bersama-sama harus mencari nafkah. Sehingga, banyak perempuan justru memasuki
masa-masa dan dunia yang jauh lebih sulit dari sebelum menikah. Beban ekonomi keluarga dan
segala urusan rumah tangga kemudian lebih banyak jatuh ke pundak perempuan.
Konsep Gender
Gender adalah perbedaan sifat, peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang
dikonstruksikan oleh masyarakat (budaya). Menurut Sadli, konsep gender mengacu pada konsep
sosial yang menempatkan seorang sebagai maskulin dan feminin berdasarkan karakteristik
psikologis dan perilaku tertentu yang secara kompleks telah dipelajari melalui pengalaman
sosialisasi.6 Dalam budaya partiakhi, konsep gender yang membedakan perempuan dan laki-laki
berdasarkan konstruksi sosial membuat perempuan terkonsep sebagai perempuan yang lemah,
tidak berdaya dan tidak tegas membuat laki-laki menjadi pihak yang dominan. Laki-laki
dikondisikan selalu benar, logis, tegas, tidak boleh lemah atau cengeng dan harus siap

4

Ratna Saptari dan Brigette Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti,1997,hal 14
5
http://bps.jakarta.go.id/, diakses pada tanggal 17 Maret 2014

6
Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal.79.

melindungi perempuan. Sehingga yang terjadi adalah penempatan kekuasaan menjadi milik lakilaki.
Adanya konsep gender juga mengakibatkan terjadinya pembagian peran antara
perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Perempuan memiliki
peran dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan keutuhan keluarga atau rumah tangga,
sedangkan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab dalam hal pemenuhan ekonomi
keluarga. Peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat
merupakan akibat dari pembagian pekerjaan secara seksual. Karena perempuan hamil,
melahirkan dan meyusui mereka lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan reproduktif.
Pekerjaan-pekerjaan yang termasuk jenis pekerjaan ini antara lain pekerjaan tumah tangga dan
merawat anak. Sebaliknya, laki-laki lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang berada
di luar rumah atau produksi (sektor publik). Dari pembagian peran tersebut timbul anggapan
bahwa kekuatan fisik perempuan tidak lebih dari laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk
yang lemah. Anggapan itu melahirkan nilai-nilai yang menempatkan perempuan sebagai
makhluk

“kelas


dua”

lengkap

dengan

pencitraan-pencitraan

yang

tidak

semuanya

menguntungkan perempuan, bahkan sebaliknya. Nilai-niali itulah yang dianut, disosialisasikan,
dan dipraktekkan secara keseharian,sekaligus mempengaruhi ketidakseimbangan relasi gender
yang merugikan perempuan.7
Konsep gender yang berlaku di masyarakat disebabkan oleh adanya budaya partriarkhi.
Patriarkhi berasal dari bahasa Yunani; patria berarti bapak dan arche berarti aturan, merupakan
istilah antopologis yang digunakan untuk merumuskan kondisi sosiologis anggota laki-laki suatu

masyarakat yang cenderung menguasai posisi kekuasaan; semakin berkuasa mereka semakin
kuat dorongan seorang laki-laki untuk memegang posisi tersebut.8 Budaya patriarkhi dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki. Dalam keluarga, kedudukan isteri
tergantung suami, kedudukan anak perempuan tergantung pada ayah atau saudara laki-laki.

7

Noordjanah Djhantini, Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi
Keadilan, Jakarta: Komnas Perempuan,2006, hal.65
8
Kalyanamedia,Op.Cit., hal 8.

Teori Feminisme Liberal
Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang
memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan
kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Pandangan
dasar dari kaum feminis liberal ialah bahwa setiap laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak
mengembangakn kemampuan dan rasionalitasnya secara optimal.9
Feminis liberal memandang bahwa subordinasi perempuan berakar pada seperangkat
kendala dan kebiasaan budaya yang mkenghambat akses perempouan terhadap peremupan untuk

berkompetisi secara adil dengqan laki-laki. Begitu pula dengan kedudukan perempuan yang
relatif rendah pada pasar tenaga kerja tidak dapat dipisahkann dari struktur sosial yang
menempatkan perempuan pada kedudukan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Perempuan
disosialisikan pada kegiatan-kegiatan domesitik, dimana perbedaan antara perempuan dan lakilaki disosialisasikan dalam keluarga kemudian terefleksi dalam kecenduerungan pekerjaan
menerima pemrintah bagai perempuan dan memberi perintah bagi laki-laki.
Menurut Berger dan Luckmann, ada dua penyebab terbentuknya dua perbedaan peranan
antara perempuan dan laki-laki yang menyebabkan adanya pemisahan wilayah kekuasaan
perempuan di dalam dan laki-laki di luar, yaitu kontruksi sosial dan reproduksi sosial. Kontruksi
sosial yaitu menerangakn bagaimana proses awal bidang domestik dan bidang publik itu
terbentuk. Kontruksi sosial terbentuk dari tiga proses, yaitu proses eksternalisasi, proses
objektifikasi, dan proses internalisasai. Sedangakan reproduksi sosial yaitu bagaimana
seharusnya perbedaan bidang domestik dan publik itu dikuatkan. Hal itu dilakukan dengan
simbol-simbol, reproduksi status biologis perempuan dan reproduksi status kultural perempuan.
Menurut faham ini, kunci dari penghapusan diksrimnasi dan ketimpangan sosial atas
gender terletak teruatam pada pendidikan (formal dan non formal) dan pembukaan kesempatan
kerja. Feminisme liberal juga mengusahakan untuk menyadarkan perempuan bahwa mereka
adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan perempuan di sektor domestik
dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan memposisikan perempuan pada posisi
subordinat. Akar dari teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan
9


Ratna Saptari dan Brigette Holzner, Op.Cit.,hal.50

adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki sehingga harus diberi hal yang
sama juga dengan laki-laki.10
Industrialisasi dalam Perubahan Ekonomi Keluarga
Salah satu cara berfikir mengenai alasan mengapa terjadi perubahan sosial dan
transformasi sosial adalah menyatakan bahwa suatu masyarakat dan masing-masing bagiannya
mempunyai kebutuhan untuk menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik
mereka, atau lebih tepatnya menyesuaikan dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan
keluarga.11 Perubahan yang terjadi dalam keluarga, terutama perubahan ekonomi, sejalan dengan
perubahan zaman. Perubahan yang diinginkan biasanya diharapkan bermuara pada kesejahteraan
dan kebahagiaan, namun kenyataannya sering menjadi lain. Sejahtera dan bahagia tidak hanya
sebagai tujuan keluarga, tetapi lebih luas dari itu, yaitu tujuan hidup.
Dalam usaha untuk mengkaji masalah keluarga pada masa kini, maka suatu hal yang
sangat relevan untuk dipikirkan adalah masalah industrialisasi dan keluarga. Dimana terjadi
suatu perubahan struktur dari masyarakat yang agraris menjadi industrialis. Goode
mengemukakan pada masa kini bersamaan dengan proses industrialisasi dapat diamati suatu
perubahan ke arah bentuk yang disebut keluarga konjugal. Secara singkat, keluarga konjugal
menurut Goode adalah keluarga dimana keluarga batih menjadi semakin mandiri melakukan
peran-perannya lebih terlepas dari kerabat-kerabat luas pihak suami istri.12 Secara ekonomi
keluarga konjugal itu berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara sendiri, tidak bersatu dengan
kerabat luas. Secara psikologis, satuan yang kecil ini menjadi semakin berdikari. Ini berarti juga
bahwa hubungan emosional di antara suami istri lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang
memang menyebabkan hubungan mereka menjadi akarab. Akan tetapi kemungkinan keluarga
pecah juga lebih besar karena yang mengikatnya adalah terutama suami istri itu saja. Sedangkan
dalam keluarga tradisional masih ada anggota keluarga luas yang mengikat keluarga kecil.
Sistem ekonomi yang bertopang pada industri, sistem keluarga juga telah berubah dari
yang tradisional menjadi modern. Keluarga modern diamsusikan memiliki ciri-ciri tipe keluarga
10

Ibid.,51
Judistira K. Garna. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Universitas Padjajaran
12
William J. Goode. 2006. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara
11

konjugal. Seperti yang telah disebutkan diatas, keluarga konjugal suami istri terlibat dalam
hubungan yang setaraf, mempunayi hubungan personal yang akrab, antara anak dan orang tua
terdapat hubungan yang tidak otoriter atau berciri demokratis, para remaja kawin dalam umur
yang tidak terlalu muda. Perubahan yang berlangsung terhadap keluarga hanya dapat dipahami
sepenuhnya bila kita berangkat dari pengetahuan baseline mengenai keluarga dan hal itu harus
dilandaskan pada pengenalan sejarah dari keluarga sebagai pranata sosial.
Dalam kajian perubahan keluarga ketika masyarakat mengalami proses industrialisasi,
gejala wanita bekerja tentulah menjadi perhatian besar. Adanya perluasan bidang pekerjaan dan
pertumbuhan kemandirian keluarga sebagai fenomena yang muncul dalam masyarakat modern
mempengaruhi pola pikir khususnya kaum perempuan untuk ikut ambil bagian dalam arena yang
penuh persaingan tersebut. Dahulu perempuan dituntut untuk selalu berada di dalam rumah
mengurus rumah tangga, anak dan suami, tetapi di jaman modern saat ini kaum perempuan tidak
mau lagi selalu berada di lingkungan rumah tangga yang serba terbatas sehingga mereka tidak
bisa mengembangkan diri dan kariernya. Dengan perkembangan jaman para perempuan tidak
mau lagi hanya berdiam diri di rumah dan menggantungkan ekonominya pada suami. Namun
dalam kenyataan sebenarnya bnayak tantangan ternyata presentase wanita bekerja meningkat
juga dan kemungkinan besar terjadi karena di pasaran tenaga kerja yang memperoleh pekerjaan
yang ditawarkan adalah yang mampu.

BAB III
ANALISIS
Di dalam keluarga, masing-masing keluarga memiliki peranan masing-masing. Ayah
memiliki peranan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai
kepala keluarga, dan sebagai anggota dari masyarakat/kelompok sosial. Peranan ibu sebagai istri
dan ibu dari anak-anaknya berperan mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik dan
pelindung dari anak-anaknya. Selain itu, istri dapat memiliki peran sebagai pencari nafkah untuk
membantu kebutuhan ekonomi keluarganya. Pada saat ini tugas mencari nafkah tidak lagi
menjadi tugas kepala keluarga atau suami, tetapi sudah menjadi tugas siapa saja yang menjadi
anggota keluarga. Dalam kasus yang kami ambil, yaitu tentang seorang pengemudi Bus
TransJakarta perempuan, Henny Prichatiningsih. Sebelum menjadi seorang supir TransJakarta,
Henny sudah menjajal berbagai macam profesi. Mulai dari instruktur aerobik, pelatih tari, hingga
guru taman kanak-kanak. Wanita 40 tahun asal Cilacap itu, sama sekali tak menyangka akan
menekuni profesi pengemudi Bus TransJakarta. Dalam artikel tentangnya tersebut, ia bertutur
bahwa awal menjalani karirnya sebagai seorang pengemudi Bus TransJakarta karena ia merasa
tertantang menjalani sebuah profesi yang pada umumnya di dominasi oleh kaum pria ini. Selain
itu, ia juga mengatakan, dengan menjadi pengemudi Bus TransJakarta, dapat membantu
perekonomian keluarganya karena penghasilannya yang lumayan.
Dari hal tersebut kita bisa melihat, bahwa fenomena perempuan bekerja sebenarnya
bukanlah barang baru di tengah masyarakat kita. Sejak zaman purba pun ketika manusia masih
mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang isteri sesungguhnya sudah
bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan
mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga.
Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka
pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sektor domestik namun sebenarnya
mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi.

Perempuan Bekerja Dalam Konstruksi Gender
Mulai maraknya fenomena perempuan bekerja di masyarakat kita merupakan tanda
bahwa sudah adanya transformasi sosial di dalam peran antara laki-laki dan perempuan.
Terjadinya transformasi sosial tersebut dikarenakan masyarakat dan masing-masing bagiannya
mempunyai kebutuhan untuk menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik
mereka, atau lebih tepatnya menyesuaikan dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan
keluarga.13 Artinya maraknya perempuan bekerja merupakan sebuah bentuk adaptasi dari
berbagai kebutuhan yang semakin meningkat. Dapat di katakan juga bahwa hampir semua
keluarga menginginkan adanya kesejahteraan serta kebahagiaan keluarga.
Dalam kasus yang kami ambil, Henny bisa dipandang sebagai seorang perempuan
bekerja. Seperti yang dijelaskan tadi, bahwa perempuan bekerja merupakan fenomena yang
sudah lazim di masyarakat kita. Secara ekonomi, bekerja dapat didefinisikan sebagai kegiatan
yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa untuk digunakan sendiri maupun untuk
mendapatkan suatu imbalan. Dalam fenomena Henny sebagai pengemudi Bus TransJakarta,
keterlibatan perempuan dalam bekerja, dapat dipengaruhi oleh beberapa sebab yaitu: tekanan
ekonomi, lingkungan keluarga yang mendukung, untuk kepuasan batin dan sebagian lagi bekerja
untuk kepentingan mereka sendiri.
Namun dalam pandangan konstruksi gender di masyarakat kita yang sebagian masih
menganut patriarki, Henny sebagai seorang perempuan yang bekerja bisa dianggap ssebagai
sesuatu yang tidak lazim, karena dalam pandangan gender patriarki perempuan dianggap lemah
dan hanya berada pada ranah domestik, tidak seperti laki-laki yang berada di ranah pubik. Akan
tetapi dalam kasus Henny sebagai pengemudi Bus TransJakarta pada dewasa ini, budaya atau
konstruksi patriarki sudah tidak lagi berpengaruh signifikan dalam pandangan masyarakat kita.
Henny yang bekerja sebagai pengemudi Bus TransJakarta merupakan contoh dari perempuan
yang sudah mulai memasuki pekerjaan yang biasanya didominasi oleh pria. Dalam pandangan
feminisme liberal, Henny bisa di katakan sebagai seorang perempuan yang memiliki kebebasan
secara penuh dan individual.
BAB IV
13

Judistira K. Garna. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Universitas Padjajaran

PENUTUP
Kesimpulan
Peran perempuan dahulu diidentifikasikan hanya mengurus keperluan domestic rumah
tangga saja, yaitu memasak, bersolek, melahirkan anak. Adanya pandangan tersebut
menyebabkan perempuan tidak diperbolehkan menampakkan diri dalam ruang publik baik dalam
bidang ekonomi, pendidikan, maupun politik mengingat system kebudayaan di Indonesia adalah
patriarki, dimana laki-laki yang memiliki hak dan kewajiban lebih besar dibandingkan
perempuan. Namun, gerakan perempuan/feminis timbul karena perempuan sadar bahwa harus
terdapat kesetaraan gender karena perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki di ruang
publik. Gerakan feminis ini kemudian menggeser paradigma yang menganggap perempuan
lemah dan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki di ruang publik, menjadi
memperbolehkan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki sehingga perempuan di
Indonesia saat ini sudah banyak yang memperoleh pendidikan tinggi dan bekerja di berbagai
sector perekonomian, bahkan melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki.
Saat ini, fungsi dan peranan perempuan dalam rumah tangga mengalami perubahan. Perempuan
tidak hanya mengurus anak, melahirkan, mendidik anak, namun perempuan sebagai istri mampu
bekerja untuk membantu suami mencari nafkah sehingga kesejahteraan ekonomi keluarga
meningkat.

Daftar Pustaka
Bhasin, Kamla. 2000. Menggugat Patriarki, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Djhantini, Noordjanah. 2006. Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban
Kekerasan Demi Keadilan. Jakarta: Komnas Perempuan,
Irianto, Sulistyowati. 2003. Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
J. Goode, William. 2006. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara
K. Garna, Judistira. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Universitas Padjajaran
Kalyanamedia. 2006. Gender dalam Keluarga, Jakarta: Kalyanamitra
Saptari, Ratna dan Brigette Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti
Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sumber Internet
http://bps.jakarta.go.id/, diakses pada tanggal 17 Maret 2014

LAMPIRAN

Kisah Wanita Pengemudi Bus TransJakarta
Di tengah cibiran, menjalani profesi pengemudi bus kota tak membuatnya
merasa malu.

VIVAnews - Henny Prichatiningsih sudah menjajal berbagai macam profesi. Mulai dari
instruktur aerobik, pelatih tari, hingga guru taman kanak-kanak. Wanita 40 tahun asal Cilacap itu,
sama sekali tak menyangka akan menekuni profesi pengemudi Bus TransJakarta.
Dalam perjalanan dari halte Blok M sampai Kota, Henny bercerita tentang perjalanan kariernya
di sejumlah negara. "Sebelum disini saya pernah ke Selandia baru, Australia, dan kemudian
usaha restoran di Korea," katanya.
Henny memutuskan kembali ke Tanah Air atas desakan keluarga. Bukannya setia dengan jalur
karier sebelumnya, ia malah tertantang saat melihat lowongan pekerjaan sopir bus untuk wanita.
"Ini menarik, saya lalu mendaftar dan diterima," ujarnya.

Ia merasa tertantang menjalani profesi yang menjadi dominasi pria. "Awalnya kan penasaran,
Sepertinya asyik ya bawa bus, keliling Jakarta, lihat orang dengan berbagai macam karakter,
keliling- keliling," ujarnya. "Penghasilannya juga lumayan, bisa untuk bantu suami."
Sudah hampir enam tahun wanita yang sempat bercita-cita menjadi Polwan ini menjadi Pramudi
Bus TransJakarta. Masa-masa sulit dan adaptasi sudah lewat. Ia sudah sangat lihai
memberhentikan bus dengan posisi pintu pas dengan pintu halte.
Meski mengemudikan di jalur khusus yang lurus, ia tetap harus waspada. Pekerjaannya tetap
berisiko tinggi. Taruhannya adalah nyawa penumpang dan pengendara di sekitar. "Apalagi sering
sekali motor tiba-tiba menyerobot jalur," ujarnya.
Lulusan Diploma 3 Seni Tari ini bersyukur sampai saat ini belum mengalami insiden buruk.
Baginya, kuncinya adalah konsentrasi.
Menjalani profesi pengemudi bus kota tak membuatnya merasa malu. Di tengah cibiran
lingkungan sekitar, ia sama sekali tak terpikir alih profesi. "Orangtua saya justru bangga anak
perempuannya jadi sopir bus. Suami saya juga selalu support," ujarnya.
Sebagai wanita pengemudi bus, ia berharap hari Kartini menjadi momentum bagi pemerintah
untuk lebih memberikan perlindungan terhadap perempuan, khususnya di ruang publik.
"Perlindungan terhadap perempuan harus lebih ditingkatkan, ada kasus pemerkosaan, pelecehan
di angkot, itu nggak akan terjadi kalau pemerintah lebih serius," katanya.
Sumber: http://vivanews.com