Penapisan Bakteri Kitinolitik Dari Limbah Udang Yang Menghambat Pertumbuhan Beberapa Jamur Patogen
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Udang
Pada tahun 1993 diperkirakan dunia dapat memperoleh kembali kitin dari invertebrata
laut sebanyak 37.000 ton dan meningkat menjadi 80.000 ton pada tahun 2000 (Ogawa
et al., 2002). Di Indonesia, sebaran ketersediaan kulit udang mencakup Pantura Jawa,
Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Tenggara dan Tengah, dan Kalimantan
Timur. Volume ekspor udang (kupas dan tanpa kepala) sekitar 135 ribu ton per
tahunnya dengan limbah kulit udang sekitar 60 ribu ton. Dari hasil survei Badan Riset
Kelautan dan Perikanan (BRKP) diketahui bahwa dari 100 ton kulit udang
mengandung sekitar 13 ton kitin (Waltam, 2009).
Pabrik pembekuan udang (cold storage) yang mengolah udang untuk ekspor
dalam bentuk udang beku tanpa kepala (headless) dan kulit (peeled) menghasilkan
limbah berupa kulit keras (cangkang) sekitar 50-60% yang dibuang atau hanya
digunakan sebagai campuran makanan ternak (Hedriyastuti et al., 2009; Xu et al.,
2008). Limbah udang mengandung protein sekitar 30 – 40%, kalsium karbonat 30–
50% dan kitin 20–30% (Kurita, 2006). Kulit udang juga mengandung karotinoid
berupa astaxantin, daging dan sedikit lemak (Zhai dan Hawkins, 2002; Gimeno et al.,
2007).
Kulit dan kepala udang mengandung kitin yang cukup besar dibandingkan
dengan cangkang atau kulit crustaceae lainnya. Persentase perbandingan kitin dalam
kulit crustaceae sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Persentase Kandungan Kitin pada Cangkang Crustaceae.
Jenis Crustaceae
Kepiting Biru
Kepiting Batu
Kepiting Merah
Kepiting Ladam
Rajungan
Udang
Sumber : Austin et. al, 1981
Kitin (%)
14,9
18,1
27,6
26,4
17,0
27,2
Limbah udang merupakan bahan yang mudah busuk. Proses degradasi
dilakukan oleh mikroba pembusuk dengan menghasilkan enzim-enzim pendegradasi.
Adanya kandungan kitin pada limbah udang menyebabkan munculnya bakteri
penghasil enzim kitinase. Organisme ini biasanya memiliki berbagai macam gen
penyandi enzim kitinase yang ekspresinya diinduksi oleh kitin dan derivatnya. Hasil
pemecahan polimer kitin kemudian dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan nitrogen
(Donderski dan Brzezinska, 2003).
2.2 Kitin
Kitin merupakan homopolimer linear yang tersusun dari monomer N-asetil-Dglukosamin dengan ikatan glikosidik β-(1,4) (Gooday, 1990). Monomer N-asetil-Dglukosamin pada polimer kitin dihubungkan dengan ikatan hidrogen yang sangat kuat
antara gugus –NH dari satu monomer dan gugus C=O dari monomer yang berdekatan,
sehingga membentuk formasi fibril yang bersifat stabil dan kaku (Gambar 2.2). Kitin
bersifat tidak larut air dan hanya larut dalam pelarut asam mineral pekat seperti HCl
(Herdyastuti et al., 2009). Berdasarkan penyusun rantai polimernya, kitin fibril
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu α-kitin, β-kitin dan γ-kitin dengan perbedaan pada
susunan rantai kristalnya (Enibu, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Struktur kimia kitin
Setelah selulosa, kitin merupakan biopolimer yang paling banyak ditemukan
di alam dan terdistribusi di lingkungan biosfer. Kitin merupakan polimer linier yang
tersusun dari 2.000–3.000 monomer N-asetil-D-glukosamin yang dihubungkan
dengan
ikatan
β-1,4-glikosida.
Monomer
dari
kitin
dimanfaatkan
oleh
mikroorganisme di alam, antara lain bakteri, sebagai sumber karbon dan nitrogen
untuk nutrisi (Donderski dan Brzezinska, 2003). Kitin merupakan komponen utama
pada kutikula serangga, dinding sel jamur, yeast dan alga hijau (Enibu dan Varum,
2008; Sato et al.,1998; Yoshihiro et al., 2008). Penyumbang kitin terbesar di tanah
adalah jamur dengan jumlah sekitar 500-5000 kg/ha (Shahidi dan Abuzaytoun, 2005).
Sedangkan pada lingkungan perairan, kitin banyak ditemukan pada kulit kepiting dan
udang (Wang dan Xing, 2007). Sumber komersial kitin terbesar didapat dari kulit
crustaceae seperti udang, kepiting, lobster dan lainnya yang berasal dari proses
pengolahan udang (Arbia et al., 2012).
Kitin memiliki sifat yang unik, yaitu; biodegradable, biocompatible dan tidak
toksik. Hal ini menyebabkan kitin dan derivatnya banyak digunakan dalam berbagai
macam aplikasi dalam industri dan biomedik sehingga kitin dan derivatnya memiliki
nilai ekonomi yang besar (Synowiecki dan Al-Khateeb, 2000; Wang et. al, 2010; Arbia
et al., 2012). Misalnya digunakan dalam bioremediasi logam berat (Sirait, 2002),
biotermitisida (anti rayap) (Sabeth dan Zulfahmi, 2010), nutrisi (Mahmoud et al.,
2007), penyaring jus buah-buahan (Rabea et al., 2003), antioksidan, pengawetan
makanan (Chatterjee et al., 2004) antitumor (Koide, 1998), bahan pembawa obatobatan (Nagahama et al., 2008), serat untuk tekstil (Pacheco et al., 2009), bahan untuk
menjaga kesehatan rambut dan kulit (moisturizer) (Felse dan Panda, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Enzim Kitinase dan Pemanfaatannya
Kitinase dapat dihasilkan oleh beberapa mikroorganisme dan mempunyai peran
penting pada fisiologi dan ekologi. Semua enzim yang dapat mendegradasi kitin
disebut sebagai kitinase total atau kitinase non spesifik. Enzim kitinase dibagi menjadi
tiga, yaitu: (i) Eksokitinase atau kitobiosidase, mengkatalisis pembebasan N-asetilglukosamin atau unit dimmer kitobiosa (β-1,4-N-asetil-glukosamin); (ii) Endokitinase
(EC.3.2.1.14) enzim yang mendegradasi kitin secara acak dari dalam menghasilkan
oligomer pendek N-asetil-glukosamin; (iii) N-asetilglukosaminidase (EC.3.2.1.30)
bekerja
pada
pemutusan
diasetilkitobiosa
menghasilkan
N-asetil-glukosamin
(Tronsmo dan Harman, 1993).
Keberadaan kitin di alam yang sangat melimpah ini dengan cepat terdegradasi,
karena banyaknya bakteri dan fungi yang mempunyai enzim kitinase yang mampu
mendegradasi kitin. Degradasi kitin secara enzimatis memiliki dua alternatif lintasan
degradasi yaitu dengan mekanisme kitinase dan mekanisme kitosanase. Lintasan
dengan kitinase mekanismenya dengan menghidrolisis ikatan glikosidik β-(1,4) dan
mekanisme ini sering disebut sebagai kitinolitik. Lintasan degradasi kitin yang kedua
yaitu mekanisme pengubahan kitin oleh deasetilase kitin menjadi kitosan. Pada
mekanisme ini enzim kitosanase akan menghidrolisis ikatan glikosida β-(1,4) pada
kitosan dan menghasilkan diasetilkitobiosa (kitobiosa) yang kemudian dihidrolisis
kembali oleh β-Nasetilglukosaminidase menjadi glukosamin (Gooday, 1990).
Kitinase dapat diperoleh dari mikroorganisme perairan, misalnya dari danau,
laut dan kolam. Pada lingkungan biosfer juga tersedia kitinase yang melimpah yang
dihasilkan dari berbagai macam organisme (Herdyastuti et al., 2009). Limbah
pengolahan pabrik udang juga merupakan sumber kitinase karena banyak didapatkan
kitin sebagai substratnya. Limbah udang mempunyai kandungan jumlah jamur lebih
sedikit daripada bakteri, tetapi jamur dapat menghasilkan kitinase lebih banyak
daripada bakteri (Brzezinska et al., 2007).
Kitinase merupakan salah satu enzim yang menarik untuk diisolasi karena
kemampuannya untuk menghidrolisis kitin menjadi turunan kitin yang sangat banyak
Universitas Sumatera Utara
manfaatnya. Enzim kitinase berperan penting dalam kontrol jamur patogen tanaman
secara mikroparasitisme (Nugroho et al., 2003). Kitinase banyak dimanfaatkan
sebagai agen biokontrol terutama bagi tanaman yang terserang infeksi jamur. Hal ini
berhubungan dengan komponen utama dinding sel jamur yang tersusun atas kitin.
Kitin pada dinding sel jamur patogen dapat didegradasi oleh enzim kitinase dan
menghasilkan produk yang ramah lingkungan dibandingkan penggunaan zat kimia
(Herdyastuti et al., 2009). Natsir et al. (2012) melaporkan bahwa produksi kitinase
ekstraseluler dari Bacillus licheniformis HSA3-1a dapat menghidrolisis limbah udang
dan dinding sel jamur Ganoderma sp. penyebab busuk batang pada kelapa sawit.
Selain itu kitinase juga berperan dalam proses pembuatan senyawa kitosan melalui
proses deasetilase secara termokimia. Kitinase juga dapat dimanfaatkan dalam
penanganan limbah terutama limbah yang mengandung kitin berasal pabrik
pembekuan udang. Pabrik tersebut menghasilkan limbah cangkang udang yang bila
dibiarkan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga meningkatkan BOD
dan COD (Herdyastuti et al., 2009). Dibandingkan kitin, aplikasi kitosan lebih luas
dan dapat ditemukan pada berbagai bidang seperti industri pangan, pengolahan
limbah, kesehatan, bioteknologi, pertanian, kosmetik, dan industri kertas (Rahayu et
al., 1999).
2.4 Mikroorganisme Penghasil Kitinase
Mikroorganisme kitinolitik adalah mikroorganisme yang dapat mendegradasi kitin
dengan menggunakan enzim kitinase. Mikroorganisme ini dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti rizosfer, filosfer, tanah atau dari lingkungan air seperti laut,
danau, kolam, tambak udang atau limbah udang dan sebagainya (Ilmi, 2007; Suryanto,
2011; Asril, 2011; Dewi, 2011; Fauziah dan Herdyastuti, 2013). Selain lingkungan
mesofil, mikroorganisme kitinolitik juga dapat diisolasi dari lingkungan termofilik
seperti sumber air panas, daerah geotermal dan lain-lain (Dewi, 2008; Herdyastuti et
al., 2009) dan lingkungan yang asam (Natsir, 2002).
Organisme yang mampu memanfaatkan kitin sebagai sumber nutrisinya
terutama berasal dari kelompok aktinomisetes, bakteri dan jamur. Dari beberapa
Universitas Sumatera Utara
laporan diketahui bakteri yang mampu menghasilkan kitinase diantaranya adalah dari
genus Bacillus (B. pumilus, B. firmus, B. cereus) Streptomyces hygroscopicus,
Streptomyces griceus, Serattia marcescens, Vibrio spp., Flavobacterium sp.
Alcaligenes denitrificans, Actinomycetes, Pseudomonas stutzeri, Escherechia coli dan
genus Sanguibacter (Roberts dan Selitrennikoff, 1987; Yong et al., 2005; Ilmi, 2007;
Herdyastuti et al., 2009; Muharni dan Widjajanti, 2011; Priya et al., 2011; Suryanto et
al., 2011).
Mikroorganisme
kitinolitik
dapat
diseleksi
keberadaannya
dengan
mendegradasi media agar kitin yang dapat dideteksi dengan adanya zona bening di
sekitar koloni bakteri. Penggunaan media yang mengandung kitin, misalnya koloidal
kitin dapat menginduksi kitinase pada bakteri, jamur dan aktinomisetes. Substrat ini
mampu
menginduksi
enzim
hidrolitik
seperti
β-1,4-N-asetilglukosaminidase,
endokitinase dan kitobiosidase (Inbar dan Chet, 1991).
Bakteri
kitinolitik
memiliki
berbagai
peran
di
alam,
antara
lain
mempertahankan siklus karbon pada lingkungan yang kaya kitin, seperti ekosistem
perairan (Donderski dan Trzebiatowska, 1999; Donderski dan Brzezinska, 2001;
Metcalfe et al.,2002). Selain itu bakteri kitinolitik juga menyebabkan penyakit pada
crustaceae, terutama udang dan kepiting. Bakteri tersebut mendegradasi eksoskeleton
crustaceae sehingga terjadi kerusakan dan mempermudah terjadinya infeksi pada
jaringan tubuh yang berada di bawah eksoskeleton (Guzman dan Valle, 2000; Vogan
et al., 2002).
2.5 Dinding Sel Jamur
Dinding sel jamur tersusun atas komponen yang kompleks. Secara umum, dinding sel
jamur tersusun atas kitin, 1,3-β dan 1,6-β-glukan, mannan dan protein. Menurut
Gracia (1968), dinding sel jamur dapat tersusun dari beberapa polimer yang berbeda,
diantaranya selulosa-glikogen, selulosa-glukan, selulosa-kitin, kitosan-kitin, kitinglukan, mannan-glukan, mannan-kitin dan poligalaktosamin-galaktan. Struktur
dinding sel jamur secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Universitas Sumatera Utara
Sel Jamur
Membran sel dan dinding sel
Mannoprotein
β (1,6) Glukan
β (1,3) Glukan
Kitin
Fosfolipid bilayer
Sintesis β (1,3) Glukan
Gambar 2.5 Komponen Dinding dan Membran Sel Jamur (www.doctorfungi.org)
Sekitar 80% penyusun dinding sel jamur terdiri atas polisakarida. Sedangkan
protein hanya memiliki bagian yang kecil dari seluruh komponen penyusun dinding
sel jamur yaitu sekitar 20% dan biasanya dalam bentuk glikoprotein. Namun, dalam
proses mating, modifikasi hifa dan pengambilan nutrisi melibatkan protein yang
terikat pada dinding sel. Lipid juga terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit pada
dinding sel jamur yang berfungsi untuk mengontrol perpindahan jamur pada air
khususnya dalam mencegah terjadinya kerusakan sel. Dinding sel jamur juga
mengandung pigmen (misalnya melanin) dan garam-garam, namun hanya dalam
jumlah yang sangat sedikit. Melanin berperan penting dalam melindungi hifa dan
spora dari sinar UV terutama untuk patogenesis dan berhubungan dalam
memunculkan hifa baru dari spora (Gow dan Gadd, 1995).
Dinding sel jamur mempunyai struktur yang dinamis dan mengalami
perubahan secara konstan yang dipengaruhi oleh berbagai kondisi dan tempat
tumbuhnya (Bowman dan Free, 2006; Adams, 2004). Misalnya selama perbesaran
dan pembelahan pada yeast, pembentukan spora, percabangan hifa dan pembentukan
septat pada jamur berfilamen. Percabangan dan cross-linking dari dinding sel jamur,
dan juga pengaturan plastisitas dinding sel selama morfogenesis dipengaruhi oleh
aktivitas enzim hidrolitik yang ditemukan pada dinding sel (Adams, 2004).
Kitin merupakan homopolimer dari β-1,4-N-asetilglukosamin yang merupakan
komponen penting dalam dinding sel jamur. Namun kandungannya hanya sekitar 1-
Universitas Sumatera Utara
2% pada yeast dan 10-20% pada jamur berfilamen, misalnya Neurospora sp. dan
Aspergillus sp. Kitin pada dinding sel jamur berbentuk mikrofibril yang terbentuk dari
ikatan hidrogen antar rantai. Polimer kristalin ini memiliki kekuatan tarik yang sangat
besar dan secara signifikan berkontribusi pada integritas keseluruhan dinding sel.
Ketika sintesis kitin terganggu, dinding sel menjadi tidak teratur yang menyebabkan
bentuk sel jamur menjadi tidak normal dan kondisi osmotiknya tidak stabil (Bowman
dan Free, 2006). Pada kelompok Oomycetes, dinding selnya sebagian besar terdiri atas
polimer β-1,3 glukan dan selulosa. Tidak seperti dinding sel jamur yang lainnya,
kandungan kitin pada kelompok ini sangat sedikit. Meskipun demikian, gen kitin
sintase menyebar secara meluas pada jenis-jenis Oomycetes dan kitin sintase ini
menjadi penghambat polyoxin D yang menyebabkan penurunan pertumbuhan
Saprolegnia secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kitin merupakan
komponen yang penting pada dinding sel Oomycetes walaupun jumlanya sangat
sedikit (Kamoun, 2003). Komponen penyusun dinding sel dari masing-masing divisi
jamur dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5
Komponen Penyusun Dinding Sel Jamur (Gow dan Gadd, 1995)
Divisi
Basidiomycetes
Ascomycetes
Zygomycetes
Chytridiomycetes
Oomycetes
Fibrous
Kitin
β -(1-3), β-(1-6) Glukan
Kitin
β -(1-3), β-(1-6) Glukan
Kitin
Kitosan
Kitin
Glukan
β -(1-3), β-(1-6) Glukan
Glukan
Polimer
Xylomannoproteins
α (1-3) Glukan
Galactomannoproteins
α (1-3) Glukan
Polyglucuronic acid
Glucuronomannoproteins
Polyphosphate
Glukan
Glukan
Glukan merupakan polisakarida struktural utama dari sebagian besar jamur.
Jumlah glukan pada dinding sel jamur sekitar 50-60% dari berat keringnya. Polimer
glukan terdiri atas kumpulan residu glukosa yang membentuk rantai melalui berbagai
ikatan kimia. Secara umum, antara 65-90% dari glukan yang ditemukan pada dinding
sel jamur adalah β-1,3 glukan, dan pada jamur tertentu ditemukan pula gabungan β1,3 dan β-1,6-glukan, β-1,4-glukan, α-1,3-glukan dan α-1,4-glukan (Bowman dan
Free, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Semua dinding sel jamur memiliki komponen protein yang berikatan kuat
dalam kitin dan glukan yang tesusun dalam struktur matriks. Kandungan protein pada
dinding sel S. cerevisiae dan C. albicans dinding sel sekitar 30-50% dari berat kering.
Jumlah protein dalam dinding sel jamur berfilamen telah diperkirakan mewakili
sekitar 20-30% dari total dinding sel. Perhitungan secara empiris pada dinding sel hifa
Neurospora crassa didapatkan kandungan protein sekitar 15% dari total berat
keringnya (Bowman et al., 2006).
2.6 Mekanisme Kerja Agen Biokontrol terhadap Patogen
Agen biokontrol yang biasa digunakan dalam mengatasi pertumbuhan patogen adalah
jamur dan bakteri. Ada tiga tipe antagonisme yang dilakukan oleh jamur dalam
mengatasi patogen, yaitu (1) antagonisme secara langsung, (2) antagonisme tidak
langsung dan (3) kombinasi antara antagonisme langsung dan tidak langsung. Pada
antagonisme secara langsung jamur mampu memparasiti dan membunuh patogen.
Jamur agen biokontrol mampu berpenetrasi dan merusak spora patogen. Antagonisme
tidak langsung, tidak ada kontak fisik antara jamur dengan patogen. Jamur agen
biokontrol akan meningkatkan level resistensi dengan mengaktifkan mekanisme
pertahanan dari inangnya. Sebagian besar jamur sudah menunjukkan kemampuannya
dalam menginduksi resistensi inangnya dalam melawan patogen. Selain itu persaingan
nutrisi juga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh agen biokontrol untuk
melindungi inangnya dari serangan patogen. Kombinasi antagonisme langsung dan
tidak langsung yaitu dengan cara menghasilkan enzim, antibiotik ataupun metabolit
toksik lainnya untuk menghambat patogen (Narayanasamy, 2013).
Penelitian jamur sebagai agen biokontrol telah banyak dilakukan diantaranya
oleh El-Katatny et al. (2000) yang menggunakan Trichoderma harzianum dalam
mengontrol pertumbuhan Sclerotium rolfsii penyebab penyakit busuh batang dan akar
pada tanaman kacang tanah. Howell (2003) juga menggunakan Trichoderma virens
dalam mengontrol pertumbuhan Rhizoctonia solani penyebab busuk akar. Mekanisme
yang dilakukan oleh T. virens adalah dengan berpenetrasi pada hifa jamur patogen dan
membentuk haustoria untuk menyerap nutrisi dari R. solani (Gambar 2.6.1).
Universitas Sumatera Utara
a
b
Gambar 2.6.1
Aktivitas Mikoparasit oleh T.virens terhadap R. solani. (a) Hifa T.
virens membentuk haustoria dan (b) hifa R. solani (Howell, 2003)
Bakteri sebagai agen biokontrol memiliki mekanisme antagonisme yang tidak
jauh berbeda dengan jamur sebagai agen biokontrol. Bakteri agen biokontrol
mengatasi patogen melalui dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung dengan
mekanisme yang berbeda seperti antibiosis, kompetisi nutrisi, kolonisasi pada tempat
yang spesifik untuk mengatasi infeksi patogen dan menginduksi resistensi inangnya
dari patogen dengan cara mengaktifkan sistem pertahanan inangnya. Sebagai contoh,
Plant-growth promoting
rhizobacteria (PGPR)
yang telah diketahui dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan juga melindungi tanaman dari serangan
mikroba patogen tanaman. Pada mekanisme biokontrol ada tiga komponen yang
berperan yaitu tanaman, bakteri sebagai agen biokontrol dan patogen tanaman
(Narayanasamy, 2013).
Bacillus subtilis yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan Curvularia
gudauskasii penyebab penyakit pada bibit tebu menunjukkan adanya mekanisme
penghambatan dengan metabolit yang dikeluarkan oleh B. subtilis. Mekanisme ini
dapat dilihat dari adanya zona hambat yang terbentuk pada uji in vitro dan adanya
keabnormalan
bentuk
hifa
pada pengamatan
mikroskopi.
Hifa
mengalami
pembengkokan dan membengkak (Gambar2.6.2) (Raton et al., 2012). Penggunaan
bakteri sebagai agen biokontrol juga telah dilakukan untuk menghambat pertumbuhan
Fusarium oxysporum f. sp. cucumerinum, Phytophthora capsici, Botrytis cinerea,
Scopulariopsis sp. dan Ganoderma boninense (Chae et al., 2006; Robert et al., 2007;
Singh, 2008; Suryanto et al., 2012 dan Novitasari, 2013).
Universitas Sumatera Utara
ZH
Gambar 2.6.2
Mekanisme Penghambatan C. gudauskasii oleh B.subtilis.
: Hifa C. gudauskasii membengkak dan membengkok
ZH : Zona Hambat (Raton et al., 2012)
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Udang
Pada tahun 1993 diperkirakan dunia dapat memperoleh kembali kitin dari invertebrata
laut sebanyak 37.000 ton dan meningkat menjadi 80.000 ton pada tahun 2000 (Ogawa
et al., 2002). Di Indonesia, sebaran ketersediaan kulit udang mencakup Pantura Jawa,
Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Tenggara dan Tengah, dan Kalimantan
Timur. Volume ekspor udang (kupas dan tanpa kepala) sekitar 135 ribu ton per
tahunnya dengan limbah kulit udang sekitar 60 ribu ton. Dari hasil survei Badan Riset
Kelautan dan Perikanan (BRKP) diketahui bahwa dari 100 ton kulit udang
mengandung sekitar 13 ton kitin (Waltam, 2009).
Pabrik pembekuan udang (cold storage) yang mengolah udang untuk ekspor
dalam bentuk udang beku tanpa kepala (headless) dan kulit (peeled) menghasilkan
limbah berupa kulit keras (cangkang) sekitar 50-60% yang dibuang atau hanya
digunakan sebagai campuran makanan ternak (Hedriyastuti et al., 2009; Xu et al.,
2008). Limbah udang mengandung protein sekitar 30 – 40%, kalsium karbonat 30–
50% dan kitin 20–30% (Kurita, 2006). Kulit udang juga mengandung karotinoid
berupa astaxantin, daging dan sedikit lemak (Zhai dan Hawkins, 2002; Gimeno et al.,
2007).
Kulit dan kepala udang mengandung kitin yang cukup besar dibandingkan
dengan cangkang atau kulit crustaceae lainnya. Persentase perbandingan kitin dalam
kulit crustaceae sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Persentase Kandungan Kitin pada Cangkang Crustaceae.
Jenis Crustaceae
Kepiting Biru
Kepiting Batu
Kepiting Merah
Kepiting Ladam
Rajungan
Udang
Sumber : Austin et. al, 1981
Kitin (%)
14,9
18,1
27,6
26,4
17,0
27,2
Limbah udang merupakan bahan yang mudah busuk. Proses degradasi
dilakukan oleh mikroba pembusuk dengan menghasilkan enzim-enzim pendegradasi.
Adanya kandungan kitin pada limbah udang menyebabkan munculnya bakteri
penghasil enzim kitinase. Organisme ini biasanya memiliki berbagai macam gen
penyandi enzim kitinase yang ekspresinya diinduksi oleh kitin dan derivatnya. Hasil
pemecahan polimer kitin kemudian dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan nitrogen
(Donderski dan Brzezinska, 2003).
2.2 Kitin
Kitin merupakan homopolimer linear yang tersusun dari monomer N-asetil-Dglukosamin dengan ikatan glikosidik β-(1,4) (Gooday, 1990). Monomer N-asetil-Dglukosamin pada polimer kitin dihubungkan dengan ikatan hidrogen yang sangat kuat
antara gugus –NH dari satu monomer dan gugus C=O dari monomer yang berdekatan,
sehingga membentuk formasi fibril yang bersifat stabil dan kaku (Gambar 2.2). Kitin
bersifat tidak larut air dan hanya larut dalam pelarut asam mineral pekat seperti HCl
(Herdyastuti et al., 2009). Berdasarkan penyusun rantai polimernya, kitin fibril
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu α-kitin, β-kitin dan γ-kitin dengan perbedaan pada
susunan rantai kristalnya (Enibu, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Struktur kimia kitin
Setelah selulosa, kitin merupakan biopolimer yang paling banyak ditemukan
di alam dan terdistribusi di lingkungan biosfer. Kitin merupakan polimer linier yang
tersusun dari 2.000–3.000 monomer N-asetil-D-glukosamin yang dihubungkan
dengan
ikatan
β-1,4-glikosida.
Monomer
dari
kitin
dimanfaatkan
oleh
mikroorganisme di alam, antara lain bakteri, sebagai sumber karbon dan nitrogen
untuk nutrisi (Donderski dan Brzezinska, 2003). Kitin merupakan komponen utama
pada kutikula serangga, dinding sel jamur, yeast dan alga hijau (Enibu dan Varum,
2008; Sato et al.,1998; Yoshihiro et al., 2008). Penyumbang kitin terbesar di tanah
adalah jamur dengan jumlah sekitar 500-5000 kg/ha (Shahidi dan Abuzaytoun, 2005).
Sedangkan pada lingkungan perairan, kitin banyak ditemukan pada kulit kepiting dan
udang (Wang dan Xing, 2007). Sumber komersial kitin terbesar didapat dari kulit
crustaceae seperti udang, kepiting, lobster dan lainnya yang berasal dari proses
pengolahan udang (Arbia et al., 2012).
Kitin memiliki sifat yang unik, yaitu; biodegradable, biocompatible dan tidak
toksik. Hal ini menyebabkan kitin dan derivatnya banyak digunakan dalam berbagai
macam aplikasi dalam industri dan biomedik sehingga kitin dan derivatnya memiliki
nilai ekonomi yang besar (Synowiecki dan Al-Khateeb, 2000; Wang et. al, 2010; Arbia
et al., 2012). Misalnya digunakan dalam bioremediasi logam berat (Sirait, 2002),
biotermitisida (anti rayap) (Sabeth dan Zulfahmi, 2010), nutrisi (Mahmoud et al.,
2007), penyaring jus buah-buahan (Rabea et al., 2003), antioksidan, pengawetan
makanan (Chatterjee et al., 2004) antitumor (Koide, 1998), bahan pembawa obatobatan (Nagahama et al., 2008), serat untuk tekstil (Pacheco et al., 2009), bahan untuk
menjaga kesehatan rambut dan kulit (moisturizer) (Felse dan Panda, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Enzim Kitinase dan Pemanfaatannya
Kitinase dapat dihasilkan oleh beberapa mikroorganisme dan mempunyai peran
penting pada fisiologi dan ekologi. Semua enzim yang dapat mendegradasi kitin
disebut sebagai kitinase total atau kitinase non spesifik. Enzim kitinase dibagi menjadi
tiga, yaitu: (i) Eksokitinase atau kitobiosidase, mengkatalisis pembebasan N-asetilglukosamin atau unit dimmer kitobiosa (β-1,4-N-asetil-glukosamin); (ii) Endokitinase
(EC.3.2.1.14) enzim yang mendegradasi kitin secara acak dari dalam menghasilkan
oligomer pendek N-asetil-glukosamin; (iii) N-asetilglukosaminidase (EC.3.2.1.30)
bekerja
pada
pemutusan
diasetilkitobiosa
menghasilkan
N-asetil-glukosamin
(Tronsmo dan Harman, 1993).
Keberadaan kitin di alam yang sangat melimpah ini dengan cepat terdegradasi,
karena banyaknya bakteri dan fungi yang mempunyai enzim kitinase yang mampu
mendegradasi kitin. Degradasi kitin secara enzimatis memiliki dua alternatif lintasan
degradasi yaitu dengan mekanisme kitinase dan mekanisme kitosanase. Lintasan
dengan kitinase mekanismenya dengan menghidrolisis ikatan glikosidik β-(1,4) dan
mekanisme ini sering disebut sebagai kitinolitik. Lintasan degradasi kitin yang kedua
yaitu mekanisme pengubahan kitin oleh deasetilase kitin menjadi kitosan. Pada
mekanisme ini enzim kitosanase akan menghidrolisis ikatan glikosida β-(1,4) pada
kitosan dan menghasilkan diasetilkitobiosa (kitobiosa) yang kemudian dihidrolisis
kembali oleh β-Nasetilglukosaminidase menjadi glukosamin (Gooday, 1990).
Kitinase dapat diperoleh dari mikroorganisme perairan, misalnya dari danau,
laut dan kolam. Pada lingkungan biosfer juga tersedia kitinase yang melimpah yang
dihasilkan dari berbagai macam organisme (Herdyastuti et al., 2009). Limbah
pengolahan pabrik udang juga merupakan sumber kitinase karena banyak didapatkan
kitin sebagai substratnya. Limbah udang mempunyai kandungan jumlah jamur lebih
sedikit daripada bakteri, tetapi jamur dapat menghasilkan kitinase lebih banyak
daripada bakteri (Brzezinska et al., 2007).
Kitinase merupakan salah satu enzim yang menarik untuk diisolasi karena
kemampuannya untuk menghidrolisis kitin menjadi turunan kitin yang sangat banyak
Universitas Sumatera Utara
manfaatnya. Enzim kitinase berperan penting dalam kontrol jamur patogen tanaman
secara mikroparasitisme (Nugroho et al., 2003). Kitinase banyak dimanfaatkan
sebagai agen biokontrol terutama bagi tanaman yang terserang infeksi jamur. Hal ini
berhubungan dengan komponen utama dinding sel jamur yang tersusun atas kitin.
Kitin pada dinding sel jamur patogen dapat didegradasi oleh enzim kitinase dan
menghasilkan produk yang ramah lingkungan dibandingkan penggunaan zat kimia
(Herdyastuti et al., 2009). Natsir et al. (2012) melaporkan bahwa produksi kitinase
ekstraseluler dari Bacillus licheniformis HSA3-1a dapat menghidrolisis limbah udang
dan dinding sel jamur Ganoderma sp. penyebab busuk batang pada kelapa sawit.
Selain itu kitinase juga berperan dalam proses pembuatan senyawa kitosan melalui
proses deasetilase secara termokimia. Kitinase juga dapat dimanfaatkan dalam
penanganan limbah terutama limbah yang mengandung kitin berasal pabrik
pembekuan udang. Pabrik tersebut menghasilkan limbah cangkang udang yang bila
dibiarkan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga meningkatkan BOD
dan COD (Herdyastuti et al., 2009). Dibandingkan kitin, aplikasi kitosan lebih luas
dan dapat ditemukan pada berbagai bidang seperti industri pangan, pengolahan
limbah, kesehatan, bioteknologi, pertanian, kosmetik, dan industri kertas (Rahayu et
al., 1999).
2.4 Mikroorganisme Penghasil Kitinase
Mikroorganisme kitinolitik adalah mikroorganisme yang dapat mendegradasi kitin
dengan menggunakan enzim kitinase. Mikroorganisme ini dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti rizosfer, filosfer, tanah atau dari lingkungan air seperti laut,
danau, kolam, tambak udang atau limbah udang dan sebagainya (Ilmi, 2007; Suryanto,
2011; Asril, 2011; Dewi, 2011; Fauziah dan Herdyastuti, 2013). Selain lingkungan
mesofil, mikroorganisme kitinolitik juga dapat diisolasi dari lingkungan termofilik
seperti sumber air panas, daerah geotermal dan lain-lain (Dewi, 2008; Herdyastuti et
al., 2009) dan lingkungan yang asam (Natsir, 2002).
Organisme yang mampu memanfaatkan kitin sebagai sumber nutrisinya
terutama berasal dari kelompok aktinomisetes, bakteri dan jamur. Dari beberapa
Universitas Sumatera Utara
laporan diketahui bakteri yang mampu menghasilkan kitinase diantaranya adalah dari
genus Bacillus (B. pumilus, B. firmus, B. cereus) Streptomyces hygroscopicus,
Streptomyces griceus, Serattia marcescens, Vibrio spp., Flavobacterium sp.
Alcaligenes denitrificans, Actinomycetes, Pseudomonas stutzeri, Escherechia coli dan
genus Sanguibacter (Roberts dan Selitrennikoff, 1987; Yong et al., 2005; Ilmi, 2007;
Herdyastuti et al., 2009; Muharni dan Widjajanti, 2011; Priya et al., 2011; Suryanto et
al., 2011).
Mikroorganisme
kitinolitik
dapat
diseleksi
keberadaannya
dengan
mendegradasi media agar kitin yang dapat dideteksi dengan adanya zona bening di
sekitar koloni bakteri. Penggunaan media yang mengandung kitin, misalnya koloidal
kitin dapat menginduksi kitinase pada bakteri, jamur dan aktinomisetes. Substrat ini
mampu
menginduksi
enzim
hidrolitik
seperti
β-1,4-N-asetilglukosaminidase,
endokitinase dan kitobiosidase (Inbar dan Chet, 1991).
Bakteri
kitinolitik
memiliki
berbagai
peran
di
alam,
antara
lain
mempertahankan siklus karbon pada lingkungan yang kaya kitin, seperti ekosistem
perairan (Donderski dan Trzebiatowska, 1999; Donderski dan Brzezinska, 2001;
Metcalfe et al.,2002). Selain itu bakteri kitinolitik juga menyebabkan penyakit pada
crustaceae, terutama udang dan kepiting. Bakteri tersebut mendegradasi eksoskeleton
crustaceae sehingga terjadi kerusakan dan mempermudah terjadinya infeksi pada
jaringan tubuh yang berada di bawah eksoskeleton (Guzman dan Valle, 2000; Vogan
et al., 2002).
2.5 Dinding Sel Jamur
Dinding sel jamur tersusun atas komponen yang kompleks. Secara umum, dinding sel
jamur tersusun atas kitin, 1,3-β dan 1,6-β-glukan, mannan dan protein. Menurut
Gracia (1968), dinding sel jamur dapat tersusun dari beberapa polimer yang berbeda,
diantaranya selulosa-glikogen, selulosa-glukan, selulosa-kitin, kitosan-kitin, kitinglukan, mannan-glukan, mannan-kitin dan poligalaktosamin-galaktan. Struktur
dinding sel jamur secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Universitas Sumatera Utara
Sel Jamur
Membran sel dan dinding sel
Mannoprotein
β (1,6) Glukan
β (1,3) Glukan
Kitin
Fosfolipid bilayer
Sintesis β (1,3) Glukan
Gambar 2.5 Komponen Dinding dan Membran Sel Jamur (www.doctorfungi.org)
Sekitar 80% penyusun dinding sel jamur terdiri atas polisakarida. Sedangkan
protein hanya memiliki bagian yang kecil dari seluruh komponen penyusun dinding
sel jamur yaitu sekitar 20% dan biasanya dalam bentuk glikoprotein. Namun, dalam
proses mating, modifikasi hifa dan pengambilan nutrisi melibatkan protein yang
terikat pada dinding sel. Lipid juga terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit pada
dinding sel jamur yang berfungsi untuk mengontrol perpindahan jamur pada air
khususnya dalam mencegah terjadinya kerusakan sel. Dinding sel jamur juga
mengandung pigmen (misalnya melanin) dan garam-garam, namun hanya dalam
jumlah yang sangat sedikit. Melanin berperan penting dalam melindungi hifa dan
spora dari sinar UV terutama untuk patogenesis dan berhubungan dalam
memunculkan hifa baru dari spora (Gow dan Gadd, 1995).
Dinding sel jamur mempunyai struktur yang dinamis dan mengalami
perubahan secara konstan yang dipengaruhi oleh berbagai kondisi dan tempat
tumbuhnya (Bowman dan Free, 2006; Adams, 2004). Misalnya selama perbesaran
dan pembelahan pada yeast, pembentukan spora, percabangan hifa dan pembentukan
septat pada jamur berfilamen. Percabangan dan cross-linking dari dinding sel jamur,
dan juga pengaturan plastisitas dinding sel selama morfogenesis dipengaruhi oleh
aktivitas enzim hidrolitik yang ditemukan pada dinding sel (Adams, 2004).
Kitin merupakan homopolimer dari β-1,4-N-asetilglukosamin yang merupakan
komponen penting dalam dinding sel jamur. Namun kandungannya hanya sekitar 1-
Universitas Sumatera Utara
2% pada yeast dan 10-20% pada jamur berfilamen, misalnya Neurospora sp. dan
Aspergillus sp. Kitin pada dinding sel jamur berbentuk mikrofibril yang terbentuk dari
ikatan hidrogen antar rantai. Polimer kristalin ini memiliki kekuatan tarik yang sangat
besar dan secara signifikan berkontribusi pada integritas keseluruhan dinding sel.
Ketika sintesis kitin terganggu, dinding sel menjadi tidak teratur yang menyebabkan
bentuk sel jamur menjadi tidak normal dan kondisi osmotiknya tidak stabil (Bowman
dan Free, 2006). Pada kelompok Oomycetes, dinding selnya sebagian besar terdiri atas
polimer β-1,3 glukan dan selulosa. Tidak seperti dinding sel jamur yang lainnya,
kandungan kitin pada kelompok ini sangat sedikit. Meskipun demikian, gen kitin
sintase menyebar secara meluas pada jenis-jenis Oomycetes dan kitin sintase ini
menjadi penghambat polyoxin D yang menyebabkan penurunan pertumbuhan
Saprolegnia secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kitin merupakan
komponen yang penting pada dinding sel Oomycetes walaupun jumlanya sangat
sedikit (Kamoun, 2003). Komponen penyusun dinding sel dari masing-masing divisi
jamur dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5
Komponen Penyusun Dinding Sel Jamur (Gow dan Gadd, 1995)
Divisi
Basidiomycetes
Ascomycetes
Zygomycetes
Chytridiomycetes
Oomycetes
Fibrous
Kitin
β -(1-3), β-(1-6) Glukan
Kitin
β -(1-3), β-(1-6) Glukan
Kitin
Kitosan
Kitin
Glukan
β -(1-3), β-(1-6) Glukan
Glukan
Polimer
Xylomannoproteins
α (1-3) Glukan
Galactomannoproteins
α (1-3) Glukan
Polyglucuronic acid
Glucuronomannoproteins
Polyphosphate
Glukan
Glukan
Glukan merupakan polisakarida struktural utama dari sebagian besar jamur.
Jumlah glukan pada dinding sel jamur sekitar 50-60% dari berat keringnya. Polimer
glukan terdiri atas kumpulan residu glukosa yang membentuk rantai melalui berbagai
ikatan kimia. Secara umum, antara 65-90% dari glukan yang ditemukan pada dinding
sel jamur adalah β-1,3 glukan, dan pada jamur tertentu ditemukan pula gabungan β1,3 dan β-1,6-glukan, β-1,4-glukan, α-1,3-glukan dan α-1,4-glukan (Bowman dan
Free, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Semua dinding sel jamur memiliki komponen protein yang berikatan kuat
dalam kitin dan glukan yang tesusun dalam struktur matriks. Kandungan protein pada
dinding sel S. cerevisiae dan C. albicans dinding sel sekitar 30-50% dari berat kering.
Jumlah protein dalam dinding sel jamur berfilamen telah diperkirakan mewakili
sekitar 20-30% dari total dinding sel. Perhitungan secara empiris pada dinding sel hifa
Neurospora crassa didapatkan kandungan protein sekitar 15% dari total berat
keringnya (Bowman et al., 2006).
2.6 Mekanisme Kerja Agen Biokontrol terhadap Patogen
Agen biokontrol yang biasa digunakan dalam mengatasi pertumbuhan patogen adalah
jamur dan bakteri. Ada tiga tipe antagonisme yang dilakukan oleh jamur dalam
mengatasi patogen, yaitu (1) antagonisme secara langsung, (2) antagonisme tidak
langsung dan (3) kombinasi antara antagonisme langsung dan tidak langsung. Pada
antagonisme secara langsung jamur mampu memparasiti dan membunuh patogen.
Jamur agen biokontrol mampu berpenetrasi dan merusak spora patogen. Antagonisme
tidak langsung, tidak ada kontak fisik antara jamur dengan patogen. Jamur agen
biokontrol akan meningkatkan level resistensi dengan mengaktifkan mekanisme
pertahanan dari inangnya. Sebagian besar jamur sudah menunjukkan kemampuannya
dalam menginduksi resistensi inangnya dalam melawan patogen. Selain itu persaingan
nutrisi juga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh agen biokontrol untuk
melindungi inangnya dari serangan patogen. Kombinasi antagonisme langsung dan
tidak langsung yaitu dengan cara menghasilkan enzim, antibiotik ataupun metabolit
toksik lainnya untuk menghambat patogen (Narayanasamy, 2013).
Penelitian jamur sebagai agen biokontrol telah banyak dilakukan diantaranya
oleh El-Katatny et al. (2000) yang menggunakan Trichoderma harzianum dalam
mengontrol pertumbuhan Sclerotium rolfsii penyebab penyakit busuh batang dan akar
pada tanaman kacang tanah. Howell (2003) juga menggunakan Trichoderma virens
dalam mengontrol pertumbuhan Rhizoctonia solani penyebab busuk akar. Mekanisme
yang dilakukan oleh T. virens adalah dengan berpenetrasi pada hifa jamur patogen dan
membentuk haustoria untuk menyerap nutrisi dari R. solani (Gambar 2.6.1).
Universitas Sumatera Utara
a
b
Gambar 2.6.1
Aktivitas Mikoparasit oleh T.virens terhadap R. solani. (a) Hifa T.
virens membentuk haustoria dan (b) hifa R. solani (Howell, 2003)
Bakteri sebagai agen biokontrol memiliki mekanisme antagonisme yang tidak
jauh berbeda dengan jamur sebagai agen biokontrol. Bakteri agen biokontrol
mengatasi patogen melalui dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung dengan
mekanisme yang berbeda seperti antibiosis, kompetisi nutrisi, kolonisasi pada tempat
yang spesifik untuk mengatasi infeksi patogen dan menginduksi resistensi inangnya
dari patogen dengan cara mengaktifkan sistem pertahanan inangnya. Sebagai contoh,
Plant-growth promoting
rhizobacteria (PGPR)
yang telah diketahui dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan juga melindungi tanaman dari serangan
mikroba patogen tanaman. Pada mekanisme biokontrol ada tiga komponen yang
berperan yaitu tanaman, bakteri sebagai agen biokontrol dan patogen tanaman
(Narayanasamy, 2013).
Bacillus subtilis yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan Curvularia
gudauskasii penyebab penyakit pada bibit tebu menunjukkan adanya mekanisme
penghambatan dengan metabolit yang dikeluarkan oleh B. subtilis. Mekanisme ini
dapat dilihat dari adanya zona hambat yang terbentuk pada uji in vitro dan adanya
keabnormalan
bentuk
hifa
pada pengamatan
mikroskopi.
Hifa
mengalami
pembengkokan dan membengkak (Gambar2.6.2) (Raton et al., 2012). Penggunaan
bakteri sebagai agen biokontrol juga telah dilakukan untuk menghambat pertumbuhan
Fusarium oxysporum f. sp. cucumerinum, Phytophthora capsici, Botrytis cinerea,
Scopulariopsis sp. dan Ganoderma boninense (Chae et al., 2006; Robert et al., 2007;
Singh, 2008; Suryanto et al., 2012 dan Novitasari, 2013).
Universitas Sumatera Utara
ZH
Gambar 2.6.2
Mekanisme Penghambatan C. gudauskasii oleh B.subtilis.
: Hifa C. gudauskasii membengkak dan membengkok
ZH : Zona Hambat (Raton et al., 2012)
Universitas Sumatera Utara