Analisis Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Dan Konsumsi Masyarakat Terhadap Ketergantungan Keuangan Daerah, Pdrb Perkapita, Dan Kemiskinan Di Provinsi Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Desentralisasi Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh
pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan
pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara. Dari
semua unsur APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan pajak yang
dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiskal.
Tujuan

kebijakan

fiskal

adalah

untuk


mempengaruhi

jalannya

perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil
pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerintah (Tr), dan
jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi
tingkat pendapatan nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).
Kebijakan fiskal atau penganggaran memiliki tiga fungsi:(1) fungsi
alokasi, (2) fungsi distribusi, dan (3) fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi
berhubungan dengan persediaan barang-barang sosial dan proses pemanfaatan
sumber daya secara menyeluruh untuk produksi barang-barang swasta, barangbarang sosial, dan kombinasi dari barang-barang sosial yang telah dipilih. Fungsi
distribusi berhubungan dengan persamaan kesejahteraan dan distribusi pendapatan
dalam masyarakat. Selama fungsi stabilisasi ditujukan untuk menstabilkan atau

mempertahankan rendahnya tingkat pengangguran, harga atau tingkat inflasi, dan
pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan.
Era baru Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia efektif
dilaksanakan pada 1 Januari 2001. Proses pelaksanaannya juga diwarnai dengan
berbagai penyempurnaan terhadap kedua UU yang telah ada. Pada tahun 2004

dikeluarkan UU otonomi daerah yang baru, yakni UU no. 32 tahun 2004
mengganti UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta UU no. 33
tahun 2004 mengganti UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD).
Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function,
yang berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam
pelaksanaannya, seiring dengan penyerahan kewenangan kepada daerah, maka
kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan untuk melaksanakan
kewenangan tersebut. Mekanisme pendanaan atas pelaksanaan kewenangan yang
telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azas desentralisasi. Di
samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang oleh
Pemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya
dilaksanakan di daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan
(Mahmudi, 2010).
Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah
tersebut dilakukan melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus
dan Penyesuaian. Dalam pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai
satu kesatuan yang utuh karena masing-masing komponen mempunyai tujuan


yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan
instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan daerah.
Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan fiskal
antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu,
instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan
antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan
keuangan yang relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk
mendukung pencapaian tujuan dan prioritas nasional serta meningkatkan
pemerataan akses terhadap layanan publik.

Pajak Daerah

Restribusi
Daerah

Penerimaan
Daerah

Hasil pengelolaan
Kekayaan Daerah


PAD

Lain lain PAD
yang syah

BH
Pajak

Dana Bagi Hasil
(DBH)

Pendapatan
Daerah

Dana
Perimbangan

BH
SDA

Dana Alokasi
Umum (DAU)

Dana Alokasi
Khusus (DAK)

Lain lain
Pendapatan

SILPA
Pembiayaan
Daerah

Penerimaan
Pinjaman

Dana Cadangan
Daerah

Hasil Penjualan

Kekayaan

Sumber : UU Nomor 33 Tahun 2004

Gambar 2.1 Komponen Penerimaan Daerah di Era Desentralisasi Fiskal.

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 19). Menurut UU
No. 33 tahun 2004 pasal 10 dan UU No.12 tahun 2008 pasal 159, tentang dana
perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kelompok pendapatan dana
perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: Dana Bagi
Hasil,Dana Alokasi Umum,Dana Alokasi Khusus.
2.1.1. Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil (DBH) tersebut bersumber dari pajak dan bukan pajak.
Dana yang bersumber dari pajak terdiri dari pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea
Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pajak penghasilan (PPh)
pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak pribadi dalam negeri, dan PPh pasal 21,
sedangkan dana bagi hasil yang bersumber dari bukan pajak berasal dari:
kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,

pertambangan gas alam,dan pertambangan panas bumi.
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai
kebutuhan

daerah

dalam

rangka

pelaksanaan

desentralisasi.

Kebijakan

pelaksanaan alokasi DBH tahun 2011 mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor
1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang, dan UU Nomor

39 Tahun 2007 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta
PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari daerah dibagi antara
Pemerintah dan daerah dengan prinsip by origin, dengan proporsi yang lebih besar
bagi daerah penghasil, serta memperhitungkan porsi pemerataan di wilayah
provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan jenis penerimaannya, DBH terdiri dari
DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam , (Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab
V Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-29)
Adapun mekanisme penetapan dan penyaluran DBH ke tiap-tiap daerah
yang berhak menerima diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam
tahun 2011, arah kebijakan DBH diarahkan untuk: (1) lebih meningkatkan akurasi
data melalui koordinasi dengan institusi pengelola penerimaan negara bukan pajak
(PNBP); (2) menyempurnakan proses penghitungan dan penetapan alokasi DBH
secara lebih transparan dan akuntabel; (3) menyempurnakan sistem penyaluran
DBH tepat waktu dan tepat jumlah; dan (4) penyelesaian kurang bayar DBH SDA
dan DBH Pajak. Dari arah kebijakan tersebut, diharapkan penyelesaian dokumen

transfer yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan penyaluran DBH ke daerah
dapat dipercepat, sehingga akuntabilitas dan efektifitas penggunaannya dapat
dilaksanakan dengan baik.
2.1.2. Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU
No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 21). Menurut UU No. 33 tahun 2004, DAU

bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antara daerah yang
dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah
melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi
daerah.
2.1.3. Dana Alokasi Khusus
Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 23). DAK dimaksudkan
untuk membantu membiayai kegiatankegiatan khusus di daerah tertentu yang
merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk

membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang
belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan
daerah.
Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan,
kesehatan, jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air
bersih, serta pertanian. Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui
DAK ditambah bidang lingkungan hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua
bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana (KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan
pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu bidang perdagangan dan bidang
sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang. Selanjutnya, pada tahun
2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK Air Minum dan
DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang.

Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada
daerah diwajibkan menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurangkurangnya 10 persen dari besaran alokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan
penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK, alokasi DAK juga terus
meningkat, dari Rp 3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005,
menjadi Rp 20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan
meningkat menjadi Rp 24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2009.
Pada tahun 2010, alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp 21,1 triliun

sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keuangan negara. Sementara itu,
dengan semakin bertambahnya daerah otonom baru berdampak terhadap
bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK.

2.2. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah terdiri dari: pajak, restribusi daerah, hasil
pengolahan kekayaan daerah (BUMD) yang diperoleh dan lain lain pendapatan
asli daerah (PAD) yang sah yaitu hasil pengelolaan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan, jasa rasio, pendapatan tabungan, keuntungan selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, dan komisi pemotongan ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan /atau pengadaan barang dan /atau jasa oleh daerah (Bab
V pasal 6 ayat 2 UU no 33 tahun 2004).

2.3. Teori Konsumsi Masyarakat
Pengeluaran Konsumsi masyarakat merupakan salah satu variabel makro
ekonomi dalam identitas pendapatan nasional menurut pendekatan pengeluaran,

variabel ini lazim dilambangkan dengan dengan hurup C (Consumption).
Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari pendapatannya yang
dibelanjakan.
Bagian dari pendapatan yang tidak dibelanjakan disebut tabungan lazim
dilambangkan dengan hurup S (Saving). Apabila pengeluaran-pengeluaran
konsumsi semua orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah
pengeluaran konsumsi masyarakat negara yang bersangkutan. Dilain pihak jika
tabungan semua orang dalam suatu negara dijumlahkan hasilnya adalah tabungan
masyarakat negara tersebut. Selanjutnya, tabungan masyarakat bersama-sama
dengan tabungan pemerintah membentuk tabungan nasional. Dan tabungan
nasional merupakan sumber dana investasi.
Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya. Secara
makro agregat pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan
pendapatan nasional. Semakin besar pendapatan, makin besar pula pengeluaran
konsumsi. Perilaku tabungan juga begitu. Jadi bila pendapatan bertambah, baik
konsumsi maupun tabungan akan sama-sama bertambah. Perbandingan besarnya
tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut hasrat
marjinal untuk berkonsumsi (Marginal Propensity to Consume, MPC). Sedangkan
nisbah besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan
disebut hasrat marjinal untuk menabung (Marginal Propensity to Save, MPS).
Pada masyarakat yang kehidupan ekonominya relatif belum mapan, biasanya
angka MPC mereka relatif besar, sementara angka MPS mereka relatif kecil.
Artinya jika mereka memperoleh tambahan pendapatan maka sebagian besar
tambahan pendapatannya itu akan teralokasikan untuk konsumsi. Hal sebaliknya

berlaku pada masyarakat yang kehidupan ekonominya sudah relatif lebih mapan.
Perbedaan antara masyarakat yang sudah mapan dan yang belum mapan antara
negara maju dan negara berkembang bukan hanya terletak dalam atau
dicerminkan oleh perbandingan relatif besar kecilnya MPC dan MPS, akan tetapi
juga dalam pola konsumsi itu sendiri. Pola konsumsi masyarakat yang belum
mapan biasanya lebih didominasi oleh konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok atau
primer. Sedangkan pengeluaran konsumsi masyarakat yang sudah mapan
cenderung lebih banyak teralokasikan ke kebutuhan sekunder atau bahkan tersier.

2.4. Ketergantungan Keuangan Daerah dan Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa,
pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto, 2003).
Dalam rangka kegiatan ekonomi pembangunan, kebutuhan akan dana yang
menjadi beban pengeluaran pemerintah terus meningkat, kebutuhan dana yang
terus meningkat tersebut tidak boleh dipenuhi melalui pencetakan uang, namun
harus didanai dari sumber penerimaan negara dari pajak dan pendapatan negara
lainnya yang sah, termasuk dari bantuan atau pinjaman atau hutang dari dalam
dan luar negeri ataupun dengan mengadakan efisiensi pengeluaran pemerintah,
(Seda, 2004). Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan
agregat. Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran
menyatakan bahwa Y = C + I + G + X- M.

Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional, sekaligus
mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variable-variabel di ruas kanan
disebut permintaan agregat. Variable G menyatakan pengeluaran pemerintah
(Government expenditures), I investment, X-M adalah net ekspor. Dengan
membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamatinya dari waktu ke waktu
dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam
pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional. Dengan ini, dapat
dianalisis seberapa penting peranan pemerintah dalam perekonomian nasional.
Pemerintah tentu saja tidak hanya melakukan pengeluaran, tetapi juga
memperoleh penerimaan. Penerimaan dan pengeluaran pemerintah dimasukkan
dalam suatu konsep terpadu mengenai pendapatan dan belanja negara.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan

yang

berkenaan

dengan

penerimaan

dan

pengeluaran pemerintah (pendapatan dan belanja negara) disebut kebijksanaan
fiskal. Pengeluaran pemerintah biasanya direncanakan jauh lebih awal. Jadi
pemerintah membuat daftar anggaran yang akan dikeluarkan setiap tahunnya,
yang mana di Indonesia dijabarkan dalam Anggaram Perencanaan Belanja Negara
(APBN). Pengeluaran pemerintah sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu
pengeluaran negara dan pengeluaran daerah, yang masing-masing mempunyai
struktur pengeluaran tersendiri dan berbeda.
Adolf Wagner menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dan kegiatan
pemerintah semakin lama semakin meningkat. Tendensi ini oleh Wagner disebut
dengan hukum selalu meningkatnya peranan pemerintah. Inti teorinya yaitu makin
meningkatnya peran pemerintah dalam kegiatan dan kehidupan ekonomi
masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Wagner menyatakan bahwa dalam suatu

perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif
pengeluaran pemerintah pun akan meningkat terutama disebabkan karena
pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum,
pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya.
Managemen keuangan daerah sebagai usaha yang dilakukan manajer
yakni pemerintah daerah (pemda) dalam membelanjakan dana yang dimiliki
daerah sesuai dengan kebutuhan dan kataristik daerah tersebut serta dalam
mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengeluaran tersebut.
Menurut Coe 1989

dalam Halim, 2007 pengertian managemen keuangan

pemerintah daerah yang meliputi hal hal seperti:
1. Rencana hasil anggaran belaja dan biaya
2. Laporan mengenai kwitansi dan pembayaran dari dana yang dianggarkan
3. Pembelian barang dan pelayanan
4. Penanaman modal
5. Utang jangka pendek dan jangka pajang yang dibayar jatuh tempo sesuai
perjanjian
6. Pengawasan
7. Kehilangan dan pertanggungjawaban yang benar tentang keuangan pada
akhir tahun
8. Pemerikaaan transaksi keuangan secara resmi
9. Laporan yang di terima sesuai dengan kondisinya.
Halim (2007) Perubahan mendasar dalam pengelolan anggaran daerah
(APBD) adalah pada PP Nomor 105/2000 dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun
2002 adalah adanya tuntutan akan akuntabilitas dan tranparansi yang lebih besar

dalam pengelolaan anggaran. Secara umum, terdapat enam pergeseran dalam
pengelolaan anggaran daerah ,yaitu:
1. Dari vertical accountability menjadi horizontal accountability.
Sebelum reformsi keuangan daerah, pertanggungjawaban atas pengelolaan
anggaran daerah lebih ditujukan pada pemerintah yang lebih tinggi.
Dengan adanya reformasi , pertanggungjawaban lebih ditujukan kepada
rakyat melalui DPRD.
2. Dari tradisional budget memjadi performance budget.
Proses penyusunan anggaran dengan sistem tradisional menggunakan
pendekatan inkremental dan “line item” dengan penekanan pada
pertanggungjawaban setiap imput yang dialokasikan. Reformasi keuangan
daerah menuntut penyusunan anggaran menggunakan pendekatan /sistem
anggaran kinerja,dengan penekanan pertanggungjawaban tidak sekadar
pada input , tetapi juga pada output dan outcome.
3. Dari pengendalian dan audit keuangan, ke pengendalian dan audit
keuangan dan kinerja.
Pada era prareformasi, pengendalian dan audit keuangan dan kinerja telah
ada, namun tidak berjalan dengan baik. Penyebab hal ini adalah karena
sistem anggaran tidak memasukkan kinerja. Pada era reformasi, karena
sistem penganggaran menggunakan sistem penganggaran kinerja, maka
pelaksanaann dan audit keuangan dan kinerja akan menjadi lebih baik.
4. Lebih menerapkan konsep value for money.
Penerapan konsep value for money lebih dikenal dengan konsep 3E
(Ekonomis, Efisien, dan Efektif). Artinya, dalam mencari maupun

menggunakan dana, pemerintah daerah dituntut selalu menerapkan prinsip
3E tersebut. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk selalu
memperhatikan tiap sen/rupiah dana (uang) yang diperoleh dan digunakan.
5. Penerapan konsep pusat pertanggungjawaban.
Penerapan pusat pertanggungjawaban dilakukan melalui , salah satunya,
diberlakukannya dinas pendapatan sebagai pusat pendapatan (revenue
centre), bagian keuangan sebagai pusat biaya (expense centre) dan BUMN
sebagai pusat laba (profit centre). Pusat pendapatan adalah unit dalam
suatu

organisasi

yang

prestasinya

diukur

dari

kemampuannya

menghasilkan pendapatan. Pusat biaya adalah unit organisasi dalam suatu
organisasi yang prestasinya diukur dari kemampuannya mengefisienkan
pengeluaran. Pusat laba adalah unit dalam suatu organisasi yang
prestasinya diukur dari perbandingan antara laba yang dihasilkan dengan
investasi yang ditanamkan dalam organisasi terebut.
6. Perubahan akuntansi keuangan pemerintah.
Reformasi sistem akuntansi keuangan pemerintah daerah merupakan
‘jantung” dari reformasi keuangan daerah karena sistem inilah yang akan
menghasilkan output yang sesuai dengan PP Nomor 105 Tahun 2000 .
Sistem

akuntansi

keuangan

pemerintahan

selama

ini

berjalan

menggunakan sistem pencatatan tunggal (single entry system) dengan
basis pencatatan atas dasar kas (cash basis). Di era reformasi keuangan
daerah, sistem pencatatan yang digunakan adalah sistem ganda (double
entry system) dengan basis pencatatan atas dasar kas modifikasian
(modified cash basis) yang mengaarah pada basis akrual. Basis kas

modifikasian diatur dalam Kemendagri Nomor 29 Tahun 2002, sedangkan
basis akrual diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2004.
Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang, juga segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang,
yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh
negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak pihak lain sesuai
ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku. Tata usaha keuangan daerah
dibagi menjadi dua golongan yaitu tata usaha umum dan tata usaha keuangan.
Tata usaha umum menyangkut kegiatan surat menyurat, mengagenda,
mengekpedisi, menyimpan surat surat penting atau mengarsipkan, dan kegiatan
dokumen lainnya. Di lain pihak ,tata usaha keuangan pada intinya adalah “tata
buku yang merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis di
bidang keuangan berdasarkan prinsip, standarisasi,dan prosedur tertentuatau tata
buku inilah yang sering disebut akutansi keuangan daerah,meskipun tidak tepat
benar karena tata buku hanya merupakan bagian kecil dari akutansi
(Mamesah,1995).
Indikator kinerja pemerintah daerah tidak hanya mencakup: a.
perbandingan antara anggaran dan realisasinya, b. perbandingan antara standar
biaya dengan realisasinya, c. target dan persentase fisik proyek

tetapi juga

meliputi standar pelayanan yang diharapkan (Halim, 2007).
Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga
maksud. Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk dapat
membantu memperbaiki kinerja pemerintah guna meningkatkan efisiensi dan
efektifitas dalam pemberian pelayanan publik. Kedua, untuk pengalokasian

sumber

daya

dan

pembuatan

keputusan.

Ketiga,

untuk

mewujudkan

pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan ( Ihyaul,
2012).
Untuk mengetahui kinerja keuangan suatu daerah maka perlu dilakukan
suatu analisis terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah dalam mengelola
keuangan daerahnya demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam era otonomi
daerahnya dan untuk menghadapi kelemahan pertumbuhan ekonomi daerah akibat
adanya krisis ekonomi 2008. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan
melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan
dilaksanakannya. Analisis rasio keuangan indikator-indikatornya antara lain : 1)
kemandirian keuangan daerah, 2) efektivitas dan efisiensi pendapatan asli daerah
3) aktivitas 4) debt service coverage ratio (Halim, 2007).
Informasi yang digunakan untuk pengukuran kinerja dikelompokkan
dalam dua kategori, yaitu Pertama, Informasi finansial Penilaian Laporan Kinerja
finansial diukur berdasarkan pada anggaran yang telah dibuat. Penilaian tersebut
menganalisis varians (selisih atau perbedaan) anatara kinerja aktual dengan yang
dianggarkan. Analisis varians secara garis besar berfokus pada varians pendapatan
(revenue variance), varians pengeluaran (expenditure variance) termasuk belanja
rutin (recurerent expenditure variance) dan belanja investasi/modal (capital
expenditure variance) (Ilyaul, 2012) .

2.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Pembangunan

ekonomi

yang

dilakukan

oleh

pemerintah

daerah

merupakan serangkaian usaha kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, pemerataan hasil-hasilnya dan mengusahakan pergeseran proses
kegiatan ekonomi dari sektor primer kearah sekunder dan tersier. Dalam usaha
pembanguan

nasional

yang berkelanjutan

dan

tepat

sasaran

dilakukan

perencanaan pembangunan yang baik dan didukung oleh saranan dan prasarana
perekonomian suatu wilayah. Kondisi perekonomian suatu wilayah dapat dilihat
dari pendapatan nasional atau regional.Untuk menghitung angka-angka Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) ada tiga pendekatan yang digunakan , yaitu :
1.

Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan

oleh berbagai unit produksi suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (Biasanya
satu tahun). PBRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka
waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi tersebut adalah
upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya belum
dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. PDRB mencakup juga
penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tidak langsung dikurangi
subsidi).
2. Pendekatan pengeluaran
PDRB adalah komponen permintaan terakhir yang terdiri dari :
a. Pengeluaran komsumsi rumahtangga dan lembaga swasta nirlaba

b. Konsumsi pemerintah
c. Pembentukan modal tetap domestic bruto
d. Perubahan stok
e. Ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor)
Secara konsep ketiga pendapatan tersebut akan menghasilkan angka yang
sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah pendapatan untuk
faktorfaktor produksi.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat diartikan
dalam tiga pengertian, yaitu :
1.

Menurut pengertian produksi, PDRB adalah jumlah nilai produk barang
dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi didalam suatu
wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).

2.

Menurut pengertian pendapatan, PDRB adalah jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi
disuatu wilayah atau daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).

3.

Menurut pengertian pengeluaran, PDRB adalah jumlah pengeluaran yang
dilakukan untuk konsumsi rumahtangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari keuntungan, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap
bruto, perubahan stok dan ekspor neto (Ekspor dikurangi Impor).
Dari uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jumlah

pengeluaran untuk berbagai kepentingan tadi harus sama dengan jumlah produk
barang dan jasa akhir yang dihasilkan, dan harus sama juga dengan jumlah
pendapatan untuk factor - faktor produksinya.

2.5.1 PDRB Perkapita
PDRB perkapita merupakan gambaran dan rata-rata pendapatan yang
diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah/daerah. Data
statistik ini merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
tingkat kemakmuran suatu wilayah/daerah. PDRB perkapita diperoleh dari hasil
bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang
bersangkutan. Jadi besarnya PDRB perkapita tersebut sangat dipengaruhi oleh
kedua variabel diatas.
2.5.2 Agregat Produk Domestik Regional Bruto
Didasarkan kepada konsep perhitungannya, PDRB dibedakan atas tiga
pengertian yaitu : PDRB atas dasar harga pasar, PDRN atas dasar harga pasar,
PDRN atas dasar biaya faktor produksi. Berikut ini akan diuraikan ketiga konsep
tersebut serta agregat PDRB lainnya, antara lain pendapatan regional dan
pendapatan perkapita.
2.5.3 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Pasar
Angka PDRB atas dasar harga pasar diperoleh dengan menjumlahkan
NTB yang timbul dari seluruh sektor perekonomian dalam suatu wilayah/region.
NTB mencakup komponen-komponen pendapatan (upah dan gaji, sewa tanah dan
keuntungan), penyusutan dan pajak tak langsung neto. Jadi dengan menghitung
NTB dari masing-masing sektor dan menjumlahkan NTB seluruh sektor tersebut
akan diperoleh atas dasar harga pasar. Produk Domestik Regional Netto Atas
Dasar Harga Pasar Perbedaan antara konsep Bruto dan netto adalah bahwa pada
konsep bruto faktor penyusutan masih termasuk didalamnya, sedangkan pada
konsep netto komponen penyusutan telah dikeluarkan. Penyusutan yang dimaksud

disini adalah nilai barang-barang modal tetap (mesin-mesin, peralatan kendaraan,
dan sebagainya) yang terjadi selama barang modal tersebut ikut serta dalam
proses produksi.
Jadi nilai penyusutan dari seluruh sektor/sebsektor ekonomi dijumlahkan
maka hasilnya merupakan penyusutan yang dimaksud diatas. Jika PDRB atas
dasar harga pasar dengan penyusutan maka akan diperoleh PDRN atas dasar harga
pasar.

2.6. Pengentasan Kemiskinan
Secara umun kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang
atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Definisi

yang sangat luas ini menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang
multi dimensional, sehingga tidak mudah untuk mengukur kemiskinan dan perlu
kesepakatan pendekatan pengukuran yang digunakan.
Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan
di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah,
kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Persoalan pengangguran
lebih dipicu oleh rendahnya kesempatan dan peluang kerja bagi angkatan kerja di
perdesaan.

Upaya untuk menanggulanginya harus menggunakan pendekatan

multi disiplin yang berdimensi pemberdayaan. Pemberdayaan yang tepat harus
memadukan aspek-aspek penyadaran, peningkatan kapasitas, dan pendayagunaan.

Nurkse

dalam

Sukirno

(2006;113)

menyatakan

bahwa

adanya

keterbelakangan, ketidaksempurnaan, ketertinggalan, kekurangan modal, adalah
merupakan ciri dari masyarakat miskin yang akhirnya akan menyebabkan
rendahnya

produktivitas.

Rendahnya

produksi

mengakibatkan

rendahnya

pendapatan yang diterima. Dan rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada
rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi akan berakibat pada
keterbelakangan dan seterusnya akan terjadi siklus seperti semula. Pemikiran
Nurkse ini lebih dikenal dengan Teori Lingkaran Setan Kemiskinan (the vicious
circle of poverty), maksud dari teori ini adalah adanya serangkaian kekuatan yang
saling mempengaruhi, sehingga dapat menimbulkan keadaan, dimana seseorang
atau kelompok atau bahkan negara, akan tetap miskin dan tetap akan mengalami
banyak kesukaran dalam mencapai tingkat yang lebih tinggi.

Ketidak-sempurnaan
Keterbelakangan
Ketertinggalan

Kekurangan Modal

Investasi Rendah

Produktivitas Rendah

Tabungan Rendah

Pendapatan Rendah

Sumber : Sakirno ,2006

Gambar 2.2. Lingkaran Setan Kemiskinan (the vicious circle of poverty)

Deepa Narayan, dkk, 2001 dalam bukunya Voices of the Poor menulis
bahwa yang menyulitkan atau membuat kemiskinan itu sulit ditangani adalah
sifatnya yang tidak saja multidimensional tetapi juga saling mengunci; dinamik,
kompleks, sarat dengan sistem institusi (konsensus sosial), gender dan peristiwa
yang khas per lokasi. Pola kemiskinan sangat berbeda antar kelompok sosial,
umur, budaya, lokasi dan negara juga dalam konteks ekonomi yang berbeda.
Lebih lanjut mereka juga memberikan 4 dimensi utama dari definisi kemiskinan
yang dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, sebagai berikut di bawah ini.
a) Dimensi 1 : Dimensi material kekurangan pangan, lapangan kerja dengan
muaranya adalah kelaparan atau kekurangan makan.
b) Dimensi 2: Dimensi psikologi, seperti antara lain ketidakberdayaan
(powerlessness), tidak mampu berpendapat (voicelessness), ketergantungan
(dependency), rasa malu (shame), rasa hina (humiliation)
c) Dimensi 3 : Dimensi akses ke pelayanan prasarana yang praktis tidak dimiliki
d) Dimensi 4: Dimensi aset/milik, praktis tidak memiliki aset sebagai modal
untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak seperti antara lain :


kapital fisik (physical capital), antara lain mencakup tanah, ternak,
peralatan kerja, hunian, perhiasan, dsb



kapital manusia (human capital), antara lain menyangkut kesehatan,
pendidikan dan pekerjaan. Kesehatan yang buruk sering menghalang
orang untuk bekerja apalagi bila pekerjaannya menuntut tenaga fisik yang
sering ditemukan pada masyarakat yang berada pada tingkat survival,
begitu juga rendahnya pendidikan sangat menghambat kemajuan
seseorang.



aset sosial (social capital), atau sering diartikan dalam hal ini sebagai
sistem kekerabatan yang mendukung kaum miskin untuk tetap bertahan
hidup sebab pada umumnya kaum miskin tidak masuk jaringan formal
pengamanan sosial seperti asuransi yang mampu melindungi mereka dari
berbagai krisis seperti musibah, keuangan, dll



aset lingkungan (environmental asset), antara lain mencakup iklim dan
musim yang sangat berpengaruh pada petani, nelayan dan sebagai pekerja
lapangan.

Secara rinci ke empat aset tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.
Aset fisik (physical capital),
a) Pada dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki bendabenda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara lain
tanah yang memadai, rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah
tangga, kendaraan, peralatan kerja dan benda-benda fisik lainnya
b) Aset kemanusiaan (human capital),
Pada dasarnya masyarakat miskin juga tidak memiliki kwalitas sumber daya
manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka,
mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dsb belum lagi
kwalitas manusia yang lain seperti etos kerja yang ulet, jiwa kewirausahaan,
kepemimpinan, dsb
c) Aset sosial (Social capital)
Masyarakat miskin memang selalu tersisih dari pranata sosial yang ada
termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi
mereka agar mendapatkan jaminan sosial (social security) yang dibutuhkan

untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar
mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab
rasa senasib sepenangungan, dsb.
d) Aset lingkungan (environmental asset).
Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan memang kurang atau malah
tidak memiliki sumber-sumber lingkungan sebagai modal hidup mereka
seperti air baku, udara bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon-pohon, dsb,
sementara para petani dan nelayan sangat tergantung kepada aset lingkungan
dalam bentuk musim dan iklim.
Lebih lanjut keempat dimensi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks yang
lebih luas yaitu tatanan ekonomi makro dan sistem politik yang berlaku di negara
tersebut. Beberapa pendapat lain melihat kemiskinan dari sudut pandang yang
sangat berbeda dan menyimpulkan kemiskinan sebagai berikut di bawah ini


Kemiskinan absolut, yaitu bila penghasilan seseorang di bawah garis
kemiskinan absolut, yaitu suatu ukuran tertentu yang telah ditetapkan dimana
kebutuhan minimum masih dapat dipenuhi, dengan kata lain penghasilannya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum yang ditetapkan dalam
garis kemiskinan tersebut.



Kemiskinan relatif, yaitu suatu kondisi perbandingan antara kelompok
penghasilan dalam masyarakat.

Dari pola waktunya kemiskinan juga sering dibedakan sebagai berikut :


Kemiskinan menahun (persistent poverty), yaitu kemiskinan yang kronis atau
sudah lama terjadi, turun temurun, misalnya masyarakat di lokasi-lokasi kritis
atau terisolasi



Kemiskinan siklik (cyclical poverty), yaitu kemiskinan yang mengikuti pola
siklus ekonomi secara keseluruhan



Kemiskinan musiman (seasonal poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi secara
khusus sesuai dengan musim seperti yang sering terjadi pada nelayan atau
petani tanaman pangan



Kemiskinan mendadak (accidental poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi
oleh sebab bencana atau dampak oleh suatu kebijakan yang tidak adil.
Meskipun berbagai pihak melihat kemiskinan dari sudut pandangan yang

berbeda dan merumuskan kemiskinan secara berbeda pula tetapi semua pihak
sepakat bahwa pada dasarnya kemiskinan mengandung arti majemuk yang sering
kali sulit untuk dipahami dari satu sudut pandang saja. Secara umum kemiskinan
sering

kali

diartikan

sebagai

keterbelakangan,

ketidakberdayaan

atau

ketidakmampuan seseorang untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf
yang dianggap layak/manusiawi. Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat
disimpulkan

bahwa

keterbelakangan/ketidakberdayaan/ketidakmampuan

ini

mencakup beberapa dimensi sebagai berikut :
a) Dimensi politik
Tinjauan dari aspek politik ini, ketidakmampuan seseorang diterjemahkan
dalam bentuk rendahnya tingkat kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam
pengambilan keputusan politik yang penting yang langsung menyangkut
hidupnya,

tidak

dimilikinya

sarana-sarana

yang

memadai

termasuk

kelembagaan untuk terlibat secara langsung dalam proses politik. Akibatnya
kaum miskin tidak memiliki akses ke berbagai sumberdaya kunci yang
dibutuhkannya untuk menyelenggarakan hidupnya secara layak. Termasuk

dalam hal ini adalah sumber daya financial dan sumberdaya alam. Oleh sebab
tidak dimilikinya pranata sosial yang menjamin partisipasi masyarakat miskin
dalam proses pengambilan keputusan maka sering kali masyarakat miskin
dianggap tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki struktur sosial
yang paling bawah, malah sering kali masyarakat miskin seringkali secara
juridis tidak diakui sebagai warga negara. Kemiskinan politik sering kali
disebut juga sebagai kemiskinan struktural.
b) Dimensi ekonomi
Tinjauan kemiskinan dari dimensi ekonomi ini diartikan sebagai ketidak
mampuan seseorang untuk mendapatkan mata pencaharian yang mapan dan
memberikan penghasilan yang layak untuk menunjang hidupnya secara
berkesinambungan yang terlihat dari rendahnya gizi makanan, tingkat
kesehatan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, pakaian yang tidak
layak dan sebagainya. Pandangan ini banyak digunakan oleh berbagai pihak
untuk menetapkan garis kemiskinan.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Dengan kata lain kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan
dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan yang
bersifat mendasar. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata- rata
pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan makanan yang dimaksud adalah pengeluaran konsumsi
perkapita per bulan yang setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari.
Sedangkan garis kemiskinan non makanan adalah besarnya rupiah untuk
memenuhi kebutuhan non makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan,
angkutan, pakaian dan barang atau jasa lainnya. Komponen garis kemiskinan
makanan adalah nilai rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi 52 komoditi
makanan terpilih hasil survey sosial ekonomi nasional (susenas) modul konsumsi.
Sedangkan garis kemiskinan non makanan adalah nilai rupiah dari 27 sub
kelompok pengeluaran yang terdiri atas 51 jenis komoditi dasar non makanan di
perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Garis kemiskinan di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Sayogyo
berdasarkan konsumsi setara beras per tahun. Terdapat 3 (tiga) ukuran garis
kemiskinan yaitu: miskin, miskin sekali dan paling miskin / melarat yang diukur
berdasarkan konsumsi perkapita per tahun setara beras per tahun untuk sebanyak
menggambarkan






miskin di perkotaan 480 kg dan di perdesaan 320 kg
miskin sekali di perkotaan 360 kg dan diperdesaan 240 kg
paling miskin di perkotaan 270 kg dan perdesaan 180 kg
BPS menggunakan tingkat pengeluaran per kapita per hari untuk

memenuhi kebutuhan pokok yang dihitung sebagai kebutuhan kalori 2100 kalori
per kapita per hari dan kebutuhan dasar bukan makanan dan menetapkan pada
tahun 1999 Rp 93.896/kapita/bulan di perkotaan dan Rp 73.878/kapita/bulan di
perdesaan.

c) Dimensi Aset
Tinjauan

kemiskinan

dari

dimensi

aset

ini

dirumuskan

sebagai

ketidakmampuan seseorang yang diterjemahkan sebagai rendahnya tingat
penguasaan seseorang terhadap hal-hal yang mampu menjadi modal dasar
seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya (basic human needs) seperti
kapital manusia (pengetahuan, pendidikan, kesehatan, dsb), kapital fisik
(tanah, perumahan yang layak, peralatan kerja, sarana produksi, kendaraan,
dsb), kapital alam (udara, pohon, hewan, dsb), kapital sosial (jaringan sosial,
tradisi, dsb), kapital dana (tabungan, pinjaman, dsb)
d) Dimensi budaya dan psikologi
Dari

dimensi

budaya,

kemiskinan

diterjemahkan

sebagai

terinternalisasikannya budaya kemiskinan baik di tingkat komunitas, keluarga
maupun

individu.

Di

tingkat

komunitas

dicirikan

dengan

kurang

terintegrasinya penduduk miskin dalam lembaga-lembaga formal masyarakat,
di tingkat keluarga dicirikan dengan singkatnya masa kanak-kanak,
longgarnya ikatan keluarga, dsb, sedangkan di tingkat individu terlihat seperti
antara lain sifat tidak percaya diri, rendah diri, kurang mau berpikir jangka
panjang oleh sebab kegagalan-kegagalan yang sering dihadapinya, fatalisme,
apatis, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi, dsb.
Semua dimensi tersebut diatas bagi masyarakat miskin memiliki tingkat
kerentanan yang tinggi karena sifatnya yang tidak mantap, seperti misalnya
dimensi ekonomi bagi masyarakat miskin akan sangat berbeda dengan masyarakat
kaya karena kebanyakan masyarakat miskin dan masyarakat yang sedikit di atas

garis kemiskinan memiliki mata pencaharian yang sangat labil sehingga
guncangan sedikit saja (krisis) akan menyebabkan mereka terpuruk.
2.7. Penelitian Terdahulu
Tabel. 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu
No

Nama/Tahun

Judul Penelitian

Variabel

Hasil Penelitian

1.

Havid
Sularso
dan Yanuar E.
Restianto, 2011

Pengaruh Kineja
Keuangan
terhadap Belanja
Modal
dan
Pertumbuhan
ekonomi Kab/Kota
di Jawa Tengah.

Derajat
desentralisasi,
ketergantungan
keuangan,
kemandirian
keuangan,
efektifitas PAD,
derajat
kontribusi
BUMN, alokasi
belanja modal,
pertumbuhan
ekonomi

Alokasi Belanja Modal
dipengaruhi oleh kinerja
keuangan daerah ,lokasi
belanja
modal
berpengaruh
pada
pertumbuhan
ekonomi
dan pertumbuhan ekonoi
secara tidak langsung
dipengaruhi oleh kinerja
keuangan daerah.

2.

Fajar
2012

Nugroho,

Pengaruh Belanja
Modal
terhadap
Pertumbuhan
Kinerja Keuangan
Daerah
dengan
Pendapatan Asli
daerah
sebagai
Variabel
Intervening (Studi
kasus di Provinsi
Jawa Tengah)

Belanja modal,
Pad
dan
Pertumbuhan
Kinerja
keuangan
daerah.

Belanja
Modal
berpengaruh
negatif
terhadap
pertumbuhan
kinerja keuangan daerah
secara
langsung,
sedangkan secara tidak
langsung Belanja Modal
berpengaruh
positif
terhadap
Pertumbuhan
Kinerja Keuangan melalui
Pendapatan Asli daerah
sebagai
variabel
intervening.

3.

Erika.
A.
Sembiring,2011

Pengaruh
pendapatan Asli
Daerah , Dana
Alokasi
Umum
dan dana Alokasi
khusus terhadap
Indeks
Pembangunan
Manusia
di
Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera
Utara

PAD,DAU,DA
K,IPM

PAD berpengaruh positif
terhadap
Indeks
Pembangunan Manusia.
Sedangkan Dana Alokasi
Umum dan Dana Alokasi
Khusus negatif terhadap
Indeks
Pembangunan
Manusia.

4.

Friska
2010

Pendapatan Asli
daerah,
Dana
Alokasi
Umum
dan Fiscall Stress
terhadap Kinerja

PAD,DAU,Fisk
al Stress dan
Kinerja
Keuangan.

PAD dan Fiscall Stress
berpengaruh
positif
terhadap
Knerja
Keuangan.
Sedangkan
Dana Alokasi Umum

Sihite,

No

Nama/Tahun

Judul Penelitian

Variabel

Hasil Penelitian

Keuangan
di
Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera
Utara

negatif terhadap Kinerja
Keuangan.

5.

Anis Setiyawati
dan
Ardi
Hamzah, 2006

Analisis
kinerja
Keuangan
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi,
Pengangguran, dan
Kemiskinan
dengan
Pendekatan
Analisis Jalur

PAD,DAU,DA
K,Belanja
Investasi,Pertum
buhan
Ekonomi,Kemis
kinan
dan
Pengangguran.

Kinerja Keuangan: rasio
kemandirian, efektifitas,
efisiensi Analisis Jalur
Rasio
kemandirian1,
Rasio kemandirian2, dan
Rasio
efisiensi
berpengaruh positif secara
signifikan
terhadap
pertumbuhan
ekonomi,
sedangkan rasio efektifitas
tidak berpengaruh secara
signifikan
terhadap
pertumbuhan ekonomi.

6.

Usman, Bonar M.
Sinaga,
dan
Hermanto Siregar
,2004

Analisis
determinan
kemiskinan
sebelum
dan
sesudah
desentralisasi
fiskal

Karakteristik
rumah tangga,
jumlah anggota
keluarga, kepala
keluarga
bekerja,kepemili
kan asset,jumlah
tahun
bersekolah.

Faktor
determinan
kemiskinan
pada
karakteristik
rumah
tangga dan individu relatif
tidak berubah. Variabel
yang dapat menambah
kemiskinan berturut-turut
dari nilai marginal effect
terbesar adalah jumlah
anggota rumah tangga,
kepala keluarga sebagai
buruh tani, sumber air
yang tidak terlindung, dan
kepala keluarga bekerja di
bidang pertanian. Variabel
yang dapat mengurangi
kemiskinan adalah kepala
rumah
tangga
yang
bekerja, kepemilikan aset
lahan
pertanian,
dan
jumlah tahun bersekolah
seluruh anggota keluarga.

7.

Priyo Hari Adi,
2005

Dampak
desentralisasi
fiskal
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
(Studi
pada Kabupaten
dan Kota se JawaBali).

PDRB
PDRB
Kapita

Pelaksanaan desentralisasi
fiskal
terbukti
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
daerah.
Berdasarkan
tipologi
pertumbuhan
daerah, daerah lebih peka
terhadap kebutuhan dan
kekuatan ekonomi lokal.
Namun
tidak
semua
daerah benar-benar siap
memasuki desentralisasi
fiskal.
Data
awal
menunjukkan ada 46%

dan
per

No

8.

Nama/Tahun

Joko
2007

Waluyo,

Judul Penelitian

Pertumbuhan
ekonomi
dan
ketimpangan
pendapatan antar
propinsi,dan
kawasan
sejak
diberlakukannya
otonomi daerah di
Indonesia

Variabel

Desentralisasi
Fiskal,
Pertumbuhan
ekonomi,
Ketimpangan
Pendapatan
antar daerah

Hasil Penelitian
daerah yang pertumbuhan
ekonomi
maupun
pendapatan per kapitanya
dibawah rata-rata. Faktor
inilah yang diindikasikan
sebagai alasan terjadinya
perbedaan pertumbuhan
ekonomi yang positif
antar
daerah
setelah
memasuki
era
desentralisasi
fiskal.
Namun demikian bila
dilakukan analisis secara
parsial, perbedaan yang
terjadi,
hanya
antara
beberapa daerah saja.
Bukti
empiris
menunjukkan
adanya
kenaikan
pertumbuhan
ekonomi pada daerahdaerah yang diindikasi
kurang siap menghadapi
desentralisasi
fiskal
(daerah relatif tertinggal
tersisa 21%).
Desentralisasi
fiskal
berdampak meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
relatif lebih tinggi di
daerah pusat bisnis dan
daerah yang kaya sumber
daya alam daripada daerah
bukan pusat bisnis dan
miskin sumber daya alam.
Dana bagi hasil SDA
untuk investasi sektor
kunci
dalam
perekonomian
akan
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
daerah.
Mekanisme
DBHP
lebih
menguntungkan
daerah
kota yang merupakan
pusat bisnis dan industri,
karena
basis
pajak
daerahnya lebih tinggi.
Sedangkan daerah-daerah
yang miskin SDA dan
bukan pusat bisnis dan
industri
mengandalkan
penerimaan
daerahnya
dari DAU, dan DAK. Di
samping itu desentralisasi
fiskal akan berdampak
mengurangi ketimpangan

No

Nama/Tahun

Judul Penelitian

Variabel

Hasil Penelitian
pendapatan antardaerah
terutama antara daerahdaerah di Jawa dengan
Luar Pulau Jawa dan
Antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dengan
Kawasan Timur Indonesia
(KTI).

9.

Aan
2012

10.

11.

Zulyanto,

Pengaruh
Desentralisasi
Fiskal
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
di
Provinsi
Bengkulu.

Desentralisasi
Fiskal,
Initial
level of PDRB,
Pertumbuhan
Penduduk
,
Investasi,
Human Capital

Hasil studi menunjukkan
bahwa terdapat bentuk
hump-shaped (a humpshaped relation) dalam
pengaruh
desentralisasi
fiskal
di
provinsi
Bengkulu. Artinya pada
saat derajat desentralisasi
fiskal belum terlampau
tinggi, maka kebijakan
desentralisasi fiskal akan
membawa
pengaruh
positif
terhadap
pertumbuhan
ekonomi, namun pada
derajat
desentralisasi
fiskal terlampau tinggi,
kebijakan
desentralisasi fiskal justru
akan
menghambat
pertumbuhan ekonomi.

Irianto
N.Simanullang,
2011

Pengaruh Alokasi
Dana Perimbangan
Pemerintah Pusat
Terhadap
Pendapatan
Perkapita Delapan
Kabupaten/kota di
Sumatera Utara.

Dana
Alokasi
Umum (DAU),
Dana
Alokasi
Khus
(DAK),
Dana
Bagi
Hasil
(DBH)
dan
Pendapatan
Perkapita

Dana Alokasi Umum
(DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana
Bagi
Hasil
(DBH)
berpengaruh
positip
terhadap
pendapatan
perkapita baik secara
simultan dan parsial

Noni Hilda Muis,
2012

Pengaruh
dana
alokasi umum dan
dana
alokasi
khusus terhadap
pertumbuhan
ekonomi
dan
belanja
modal
sebagai variabel
intervening pada
kabupaten/kota di
provinsi sumatera
utara

DAK,
DAU,
Belanja Modal
dan
Pertumbuhan
ekonomi.

Dana Alokasi Umum
berpengaruh
langsung
terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi, Dana Alokasi
Khusus
berpengaruh
terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi melalui Belanja
Modal. Dana Alokasi
Khusus
berpengaruh
langsung
terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
dan berpengaruh terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
melalui Belanja Modal

Sumber : Hasil Olahan Peneliti

Gambar 2.3. Kerangka Penelitian

2.8. Kerangka Konseptual

Sumber : Hasil Olahan Peneliti

Gambar 2.4. Kerangka Konseptual

Keterangan :
DP
PAD
KONS
KTG
PDRB/KAP
KMKN
e1, e2, e3

= Dana Perimbangan (X1)
= Pendapatan asli Daerah(X2)
= Konsumsi (X3)
= Ketergantungan Keuangan Daerah( Y1)
= PDRB/Kapita (Y2)
= Kemiskinan(Y3)
= Tingkat Kesalahan dalam hubungan struktural antara variabel

2. 9. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan observasi / penelitian pendahuluan di lapangan, maka penulis
membuat suatu hipotesis dalam penelitian ini adalah :
4. Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah dan Konsumsi Masyarakat
mempengaruhi secara Simultan dan Parsial terhadap Ketergantungan
Keuangan Daerah pada Provinsi Sumatera Utara.
5. Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Konsumsi Masyarakat dan
Ketergantungan Keuangan Daerah mempengaruhi secara Simultan dan
Parsial terhadap PDRB perkapita pada Provinsi Sumatera Utara.
6. Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Konsumsi Masyarakat,
Ketergantungan Keuangan Daerah dan PDRB perkapita mempengaruhi
secara Simultan dan Parsial terhadap Kemiskinan pada Provinsi Sumatera
Utara.

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

3 50 114

ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA PERIMBANGAN DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA PERIMBANGAN DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB KABUPATEN SLEMAN TAHUN 1994– 2009.

0 3 14

Analisis Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Dan Konsumsi Masyarakat Terhadap Ketergantungan Keuangan Daerah, Pdrb Perkapita, Dan Kemiskinan Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

Analisis Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Dan Konsumsi Masyarakat Terhadap Ketergantungan Keuangan Daerah, Pdrb Perkapita, Dan Kemiskinan Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Analisis Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Dan Konsumsi Masyarakat Terhadap Ketergantungan Keuangan Daerah, Pdrb Perkapita, Dan Kemiskinan Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 7

Analisis Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Dan Konsumsi Masyarakat Terhadap Ketergantungan Keuangan Daerah, Pdrb Perkapita, Dan Kemiskinan Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 5

Analisis Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Dan Konsumsi Masyarakat Terhadap Ketergantungan Keuangan Daerah, Pdrb Perkapita, Dan Kemiskinan Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 25

Pengaruh Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Perkapita di Pemko Pemkab Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2013

0 0 11

Pengaruh Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Perkapita di Pemko Pemkab Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2013

0 0 2

Pengaruh Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Perkapita di Pemko Pemkab Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2013

0 0 7