Analisis Pengaruh Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PENGARUH TRANSFER DANA PERIMBANGAN, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)

TERHADAP BELANJA DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Oleh

SEFTIN SYAHPUTRA 130522058

PROGRAM STUDI STRATA SATU AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2015


(2)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul: “Analisis Pengaruh Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari instansi atau lembaga terkait, dan/atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapatkan izin, dan/atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

Medan, Agustus 2015 Yang Membuat Pernyataan

Seftin Syahputra NIM: 130522058


(3)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH TRANSFER DANA PERIMBANGAN, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL

BRUTO TERHADAP BELANJA DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh transfer dana perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap Belanja Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, serta menganalisis kemungkinan terjadinya flypaper effect pada belanja daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling sehingga terdapat 27 kabupaten/kota yang menjadi sampel penelitian. Model analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu Laporan Anggaran yang memuat data mengenai Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan Belanja Daerah untuk tahun anggaran 2009-2013 yang bersumber dari dokumentasi laporan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan data PDRB yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan ketiga komponen transfer dana perimbangan (Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Dana Alokasi Khusus), serta Pendapatan Asli Daerah ber-pengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Daerah. Sementara, PDRB berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Belanja Daerah. Kemudian, nilai koefisien regresi Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil lebih besar daripada nilai koefisien regresi Pendapatan Asli Daerah, yang menunjukkan telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Pengujian hipotesis terakhir juga menunjukkan tidak ada perbedaan terjadinya flypaper effect antara daerah yang PAD-nya tinggi dengan daerah yang PAD-nya rendah.

Kata Kunci: Flypaper Effect, Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Belanja Daerah


(4)

ABSTRACT

THE ANALYSIS OF INFLUENCE OF BALANCED BUDGET, LOCAL GOVERNMENT ORIGINAL RECEIPT, AND

GROSS DOMESTIC REGIONAL PRODUCT (PDRB) TO LOCAL EXPENDITURE IN REGENCY/CITY

OF SUMATERA UTARA PROVINCE

This research is intended to know the influence of the Balanced Budget, Local Government Original Receipt (PAD), and Gross Domestic Regional Pro-duct (PDRB) to Local Expenditure and to detect the possibility of flypaper effect occurrences at Local Expenditure in Sumatera Utara Province. Population in this research is the regency/city in Sumatera Utara Province, and 27 of them were selected to be the samples for this research through purposive sampling technique. Estimates conducted by the multiple regression analysis. The data that were used in this study were secondary data, consisted of General Alocation Funds (DAU), Revenue–Sharing Fund (DBH), Special Alocation Funds (DAK), Local Govern- ment Original Receipt (PAD), Gross Domestic Regional Product (PDRB), and Local Expenditure for the year 2009-2013, that data were obtained from DJPK and BPS–Statistics of Sumatera Utara Province. The results of this research, the first show that Balanced Budget and Local Government Original Receipt (PAD) have a significant and positive relationships to the Local Expenditure, but Gross Domestic Regional Product (PDRB) has an unsignificant and positivie relation-ships to the Local Expenditure. Second, the values of the coefficient of General Alocation Funds (DAU) and Revenue–Sharing Fund (DBH) are higher than Local Government Original Receipt (PAD). It indicates the occurrence of flypaper effect in regency/city of Sumatera Utara Province.

Keywords: Flypaper Effect, Balanced Budget, Local Government Original Receipt (PAD), Gross Domestic Regional Product (PDRB), Local Expenditure


(5)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah Swt. shalawat beriringkan salam bagi junjungan Nabi Muhammad Saw. Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Pro-duk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menye- lesaikan program pendidikan strata satu (S1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyusun skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucap - kan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec, Ac, Ak, CA selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Syafruddin Ginting Sugihen, MAFIS, Ak, CPA selaku Ketua Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumate-ra UtaSumate-ra dan juga Bapak Drs. Hotmal Ja’far, MM, Ak selaku Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumate-ra UtaSumate-ra.

3. Bapak Drs. Firman Syarif, M.Si, Ak, selaku Ketua Program Studi S1 Akuntansi juga selaku dosen penguji dan Ibu Dra. Mutia Ismail, MM, Ak selaku Sekretaris Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan


(6)

Bisnis Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Hasan Sakti Siregar, M.Si, Ak, CA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, koreksi, dan saran demi kesem-purnaan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Rasdianto, M.Si, Ak selaku dosen pembanding yang telah memberikan saran-saran yang konstruktif kepada penulis selama punyusu-nan skripsi ini.

6. Terimakasih tak terhingga penulis ucapkan kepada Ayahanda dan Ibunda Syaiful Amri Simanjuntak dan Emy Yanti Batubara atas pengorbanan baik moril maupun materil, doa, dukungan, arahan, motivasi yang senantiasa diberikan kepada penulis dari kecil sehingga dewasa, terutama pada masa akhir pendidikan penulis di program studi S1 Akuntansi.

Penulis yakin, bahwa berbagai kelemahan dan keterbatasan dapat terjadi di dalam penyusunan skripsi ini, karenanya kritik yang sehat dan membangun, serta saran dan masukan yang konstruktif sangat penulis harapkan dari handai taulan, dan untuk itu penulis mengucapkan apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Medan, Agustus 2015 Penulis

Seftin Syahputra NIM: 130522058


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Landasan Teori... 12

2.1.1 Transfer Dana Perimbangan ... 12

2.1.1.1 Unconditional Grants ... 15

2.1.1.2 Conditional Grant ... 18

2.1.2 Pendapatan Asli Daerah ... 19

2.1.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 23

2.1.4 Belanja Daerah ... 25

2.1.5 Teori Belanja Pemerintahan ... 29

2.1.6 Analisis Flypaper Effect ... 32

2.2 Review Penelitian Terdahulu ... 35

2.3 Kerangka Konseptual ... 39

2.3.1 Hubungan PAD terhadap Belanja Daerah ... 40

2.3.2 Hubungan Transfer Dana Perimbangan terhadap Belanja Daerah ... 41

2.3.3 Hubungan PDRB terhadap Belanja Daerah ... 42

2.3.4 Fenomena Flypaper Effect ... 43

2.3.5 Pengaruh Flypaper Effect pada Daerah Kaya dan Miskin ... 45

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis Penelitian... 47

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 48


(8)

3.5 Defenisi Operasional Variabel ... 50

3.6 Metode Analisis Data ... 52

3.6.1 Statistik Deskriptif ... 52

3.6.2 Uji Asumsi Klasik ... 53

3.6.2.1 Uji Normalitas ... 53

3.6.2.2 Uji Multikolinearitas ... 54

3.6.2.3 Uji Autokorelasi ... 55

3.6.2.4 Uji Heteroskedastisitas... 56

3.6.3 Pengujian Hipotesis ... 56

3.6.3.1 Uji Signifikansi Simultan (Uji F) ... 57

3.6.3.2 Uji Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t) ... 58

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 59

4.2 Hasil Penelitian ... 59

4.2.1 Statistik Deskriptif ... 59

4.2.2 Uji Asumsi Klasik ... 62

4.2.2.1 Uji Normalitas ... 62

4.2.2.2 Uji Multikolinearitas ... 64

4.2.2.3 Uji Autokorelasi ... 65

4.2.2.4 Uji Heteroskedastisitas... 65

4.2.3 Pengujian Hipotesis ... 67

4.2.3.1 Uji Koefisien Determinasi ... 67

4.2.3.2 Uji Signifikansi Simultan (Uji F) ... 68

4.2.3.3 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t) ... 69

4.2.3.4 Uji t (Uji Beda) ... 73

4.3 Pembahasan ... 75

4.3.1 Pengaruh Transfer Dana Perimbangan terhadap Belanja Daerah ... 75

4.3.2 Pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah ... 76

4.3.3 Pengaruh PDRB terhadap Belanja Daerah ... 77

4.3.4 Flypaper Effect ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

5.1 Kesimpulan ... 80

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 81

5.3 Saran ... 81


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu ... 38

Tabel 3.1 Pengambilan Keputusan Ada Tidaknya Autokorelasi ... 55

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian... 60

Tabel 4.2 Uji Normalitas OneSa mple KolmogorovSmirnov Test ... 62

Tabel 4.3 Uji Multikolinearitas ... 64

Tabel 4.4 Uji Autokorelasi ... 65

Tabel 4.5 Uji Heteroskedastisitas (Uji Glejser) ... 66

Tabel 4.6 Koefisien Determinasi... 67

Tabel 4.7 Uji Signifikansi Simultan (Uji F) ... 68

Tabel 4.8 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t) ... 69

Tabel 4.9 Statistik Deskriptif Uji Beda ... 74


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1.1 Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten, Kota ... 4

Gambar 1.2 Komposisi Pendapatan Daerah ... 6

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual ... 39

Gambar 4.1 Grafik Histogram ... 63

Gambar 4.2 Grafik Normal Probability Plot ... 64


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Jadwal dan Waktu Penelitian ... 87

2 Populasi dan Kriteria Pengambilan Sampel ... 88

3 Laporan Ringkas DAU Kabupaten/Kota di Sumatera Utara .... 89

4 Laporan Ringkas DBH Kabupaten/Kota di Sumatera Utara .... 90

5 Laporan Ringkas DAK Kabupaten/Kota di Sumatera Utara .... 91

6 Laporan Ringkas PAD Kabupaten/Kota di Sumatera Utara ... 92

7 Laporan Ringkas PDRB Kabupaten/Kota di Sumatera Utara .. 93

8 Laporan Ringkas Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara ... 94

9 Hasil Output SPSS Statistik Deskriptif Variabel ... 95

10 Hasil Output SPSS Uji Asumsi Klasik ... 96

11 Hasil Output SPSS Pengujian Hipotesis ... 99

12 Hasil Output SPSS Uji t (Uji Beda)... 100

13 Daftar Kabupaten/Kota dengan Kategori PAD Rendah dan Tinggi ... 101


(12)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH TRANSFER DANA PERIMBANGAN, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL

BRUTO TERHADAP BELANJA DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh transfer dana perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap Belanja Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, serta menganalisis kemungkinan terjadinya flypaper effect pada belanja daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling sehingga terdapat 27 kabupaten/kota yang menjadi sampel penelitian. Model analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu Laporan Anggaran yang memuat data mengenai Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan Belanja Daerah untuk tahun anggaran 2009-2013 yang bersumber dari dokumentasi laporan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan data PDRB yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan ketiga komponen transfer dana perimbangan (Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Dana Alokasi Khusus), serta Pendapatan Asli Daerah ber-pengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Daerah. Sementara, PDRB berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Belanja Daerah. Kemudian, nilai koefisien regresi Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil lebih besar daripada nilai koefisien regresi Pendapatan Asli Daerah, yang menunjukkan telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Pengujian hipotesis terakhir juga menunjukkan tidak ada perbedaan terjadinya flypaper effect antara daerah yang PAD-nya tinggi dengan daerah yang PAD-nya rendah.

Kata Kunci: Flypaper Effect, Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Belanja Daerah


(13)

ABSTRACT

THE ANALYSIS OF INFLUENCE OF BALANCED BUDGET, LOCAL GOVERNMENT ORIGINAL RECEIPT, AND

GROSS DOMESTIC REGIONAL PRODUCT (PDRB) TO LOCAL EXPENDITURE IN REGENCY/CITY

OF SUMATERA UTARA PROVINCE

This research is intended to know the influence of the Balanced Budget, Local Government Original Receipt (PAD), and Gross Domestic Regional Pro-duct (PDRB) to Local Expenditure and to detect the possibility of flypaper effect occurrences at Local Expenditure in Sumatera Utara Province. Population in this research is the regency/city in Sumatera Utara Province, and 27 of them were selected to be the samples for this research through purposive sampling technique. Estimates conducted by the multiple regression analysis. The data that were used in this study were secondary data, consisted of General Alocation Funds (DAU), Revenue–Sharing Fund (DBH), Special Alocation Funds (DAK), Local Govern- ment Original Receipt (PAD), Gross Domestic Regional Product (PDRB), and Local Expenditure for the year 2009-2013, that data were obtained from DJPK and BPS–Statistics of Sumatera Utara Province. The results of this research, the first show that Balanced Budget and Local Government Original Receipt (PAD) have a significant and positive relationships to the Local Expenditure, but Gross Domestic Regional Product (PDRB) has an unsignificant and positivie relation-ships to the Local Expenditure. Second, the values of the coefficient of General Alocation Funds (DAU) and Revenue–Sharing Fund (DBH) are higher than Local Government Original Receipt (PAD). It indicates the occurrence of flypaper effect in regency/city of Sumatera Utara Province.

Keywords: Flypaper Effect, Balanced Budget, Local Government Original Receipt (PAD), Gross Domestic Regional Product (PDRB), Local Expenditure


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah. Tujuan utama implementasi transfer adalah untuk mengatasi eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan fiskal antardaerah, dan mencapai tujuan pembangunan tertentu (Kuncoro, 2007).

Sebelum era baru desentralisasi fiskal digulirkan pada tahun 2001, setiap daerah tingkat I dan II memiliki dua sumber penerimaan guna membiayai belanja mereka, yaitu pendapatan asli daerah dan dana yang ditransfer oleh pemerintahan pusat. Krisis politik dan ekonomi yang terjadi telah memicu pemerintahan daerah untuk mengambil peran dan tanggung jawab yang lebih besar mengatur urusan daerahnya masing-masing. Pada 1998, menyusul lengsernya Presiden Soeharto, terdapat tekanan untuk mereformasi setiap kebijakan yang bernuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di antara kebijakan dimaksud adalah adanya beberapa daerah yang mempunyai sumber daya alam yang berlimpah namun memperoleh bagi hasil pendapatan yang tidak fair dari pemerintahan pusat (Iskandar, 114: 2001).

Selanjutnya, pada tahun 1999 pemerintahan Habibie meluncurkan dua produk hukum fenomenal yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


(15)

Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang membawa Indonesia memasuki era baru dalam desentralisasi di bidang fiskal (fiscal decentralization atau fiscal federalism). Dua produk legislasi tersebut disusun untuk menciptakan otonomi antardaerah dan mendorong sistem pemerintahan yang lebih demokratis, sehingga dengan paradigma desentralisasi fiskal yang baru diharapkan provinsi dan kabupaten/kota dapat mengambil alih semua peran pemerintahan pusat kecuali lima hal yaitu pertahanan dan keamanan, kebijakan luar negeri, peradilan, kebijakan ekonomi makro, dan perencanaan nasional (Iskandar, 2012: 114).

Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi dan desentralisasi, pemerintahan pusat telah melakukan revisi atas UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Menurut undang-undang tersebut, sumber-sumber pendanaan kegiatan pemerintahan daerah terdiri atas pendapatan a sli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan asli daerah terdiri dari komponen pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Secara umum Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) digolongkan ke dalam bentuk unconditional transfer atau biasa disebut dengan transfer tak bersyarat, sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK)


(16)

digolongkan ke dalam bentuk conditional transfer atau biasa disebut dengan transfer bersyarat (Brojonegoro dan Vazquez, 2005).

Perubahan iklim politik dalam negeri yang terjadi lima belas tahun lalu sebenarnya memberikan momentum bagi upaya perbaikan kesejahteraan masyarakat. Adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, menjadikan setiap daerah memiliki kewenangan besar untuk mengelola daerahnya sendiri. Daerah dianggap sebagai pihak yang paling mampu memahami potensi dan problem lokal. Perubahan ini juga memungkinkan masyarakat memiliki hak dan kedaulatan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara langsung dan demokratis. Mardiasmo (2004) dalam Syahputra (2010: 9) mengatakan, berdasarkan pengamatan dan analisis para pakar diperoleh kesimpulan bahwa, sesungguhnya tuntutan yang mendesak dalam perluasan otonomi daerah ada tiga pokok permasalahan. Pertama, sharing of power. Kedua, distribution of income. Ketiga, kemandirian sistem manajemen di daerah.

Pada dasarnya, transfer pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Banyak literatur mengenai ekonomi dan keuangan publik menerangkan beberapa alasan mengapa transfer dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah sangat diperlukan. Paling tidak ada lima alasan yang mendukung diselenggarakannya transfer dari pusat ke daerah. Kelima alasan tersebut, menurut Mulyana et. al. (2006) yaitu menjaga atau menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh pelosok negeri. Selain itu, tujuan transfer adalah mengurangi kesenjangan keuangan horisontal antardaerah, mengurangi kesenjangan vertikal


(17)

pusat-daerah, mengatasi persoalan efek pelayanan publik antardaerah, dan untuk menciptakan stabilisasi aktifitas perekonomian di daerah.

Kemampuan fiskal merupakan isu penting dan strategis, karena di masa mendatang pemerintahan daerah diharapkan dapat mengurangi ketergantungannya secara finansial kepada pemerintahan pusat. Sayangnya, alokasi transfer di negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih banyak didasarkan pada aspek belanja tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak lokal. Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintahan daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar lagi dari pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara maksimal. Keadaan tersebut juga ditemui pada kasus pemerintahan daerah kabupaten dan kota di Indonesia.

Grafik 1.1 Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota

Sumber: APBD 2013 (Diolah)

Grafik di atas memberikan potret rasio PAD dan dana transfer (DAU, DBH, DAK) terhadap total pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan per provinsi. Perhitungannya dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk wilayah


(18)

yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk rasio dana transfer. Secara agregat (provinsi, kabupaten, dan kota), rata-rata rasio PAD terhadap total pendapatan hanya sebesar 17% dan rata-rata rasio dana transfer terhadap total pendapatan mencapai hingga 82%, sedangkan sekitar 1% lainnya merupakan rasio Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah terhadap total pendapatan. Kenyataan ini tidak sejalan dengan tujuan otonomi, yaitu memandirikan daerah dengan segala potensi yang dimilikinya. Saat pemerintahan daerah merespon (belanja) lebih banyak menggunakan dana transfer daripada menggunakan kemampuan (pendapatan) sendiri, maka itu disebut flypaper effect. Flypaper effect merupakan fenomena utama dalam penelitian ini (Kuncoro, 2007: 2).

Terdapat suatu teori yang menjelaskan tentang perkembangan belanja pemerintahan, di antaranya adalah teori Peacock dan Wiseman. Peacock dan Wiseman mengemukakan teori mengenai perkembangan belanja pemerintahan. Teori Peacock dan Wiseman menyebutkan bahwa meningkatnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah (tetap), dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintahan juga semakin meningkat. Karenanya, dalam keadaan normal, meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan penerimaan pemerintahan semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintahan yang menjadi semakin besar pula. Pengeluaran tersebut digunakan untuk administrasi pembangunan dan kegiatan belanja pembangunan di berbagai jenis infrastruktur yang penting. Anggaran-anggaran tersebut tenatu akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi (Purnomo, 2011: 6).


(19)

Berdasarkan teori tersebut, idealnya, peningkatan belanja pemerintahan daerah harusnya berkorelasi dengan peningkatan pendapatan dari optimalisasi pajak. Namun, pada kenyataannya banyak daerah yang masih tergantung pada dana transfer dari pusat karena minimalnya PAD. Data APBD 2013 menunjukkan rata-rata secara agregat komposisi dana transfer (DAU, DBH, dan DAK) dalam pendapatan daerah mencapai 66,3 persen.

Grafik 1.2 Komposisi Pendapatan Daerah

Sumber: APBD 2013 (Diolah)

Grafik menunjukkan besaran jumlah uang dan persentase dari ketiga sumber pendapatan daerah. Terlihat bahwa dana perimbangan masih mendominasi sumber Pendapatan Daerah yaitu sebesar sebesar 66,3% atau Rp 432,697 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 21,5% atau sebesar Rp140,302 triliun dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah sebesar 12,2% atau sebesar Rp79,866 triliun (Ditjen Perimbangan Keuangan, 2013).

Hal tersebut di atas menggambarkan porsi bantuan dari pemerintahan pusat masih sangat mendominasi pendapatan (penerimaan) daerah. Artinya, angka belanja daerah sudah tidak sinkron dengan angka PAD. Fenomena ini perlu dikaji,


(20)

karena jika dilihat berdasarkan data yang ada, potensi ekonomi yang dimiliki daerah untuk mengembangkan PAD masih cukup besar, namun potensi tersebut belum dapat digali dengan baik.

Sumatera Utara, sebagai contoh tahun 2003, Kabupaten Nias dimekarkan menjadi Nias dan Nias Selatan. Empat tahun kemudian, dari Kabupaten Nias lahir tiga daerah otonom baru, yaitu Kabupaten Nias Barat dan Nias Utara serta Kota Gunungsitoli. Setelah pemekaran, gedung-gedung baru dibangun, pejabat baru ditunjuk, pegawai negeri sipil direkrut. Namun, pelayanan kepada masyarakatnya masih mengecewakan. Beberapa kali investor asing yang ingin menanamkan modalnya melakukan kunjungan ke Nias, namun, kunjungan tersebut tak kunjung membuahkan hasil karena minimnya infrastruktur yang ada. Infrastruktur jalan, misalnya, tidak tersedia dengan baik. Dari Kota Gunungsitoli menuju Nias Barat, yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu satu jam, harus ditempuh dalam waktu lebih dari dua jam karena kondisi jalan yang rusak.

Akibatnya, pembangunan ekonomi pun lambat dan pemekaran nyaris tak memberikan manfaat. Angka kemiskinan relatif tetap. Angka kemiskinan di Kabupaten Nias pada 2008 mencapai 25,19 persen penduduk, memang setelah dimekarkan menurun menjadi 19,98 persen pada 2010. Boleh jadi, hal itu dikarenakan penduduk miskin tersebar di daerah-daerah yang dimekarkannya. Buktinya, angka kemiskinan di Nias Utara yang pada 2010 sebesar 31,94 persen, Nias Barat sebesar 30,89 persen, dan Kota Gunungsitoli sebesar 33,87 persen, pada 2013 masih berkisar di angka 30 persen alias penurunannya tidak signifikan (Wirasti dan Herin, 2015: 167).


(21)

Anggaran lebih banyak habis untuk operasional pegawai daripada belanja pembangunan sehingga terkesan hanya sebagian elite yang menikmati pemekaran. Menurut pengamat otonomi daerah dari Universitas Sumatera Utara, Heri Kusmanto, daerah baru cenderung mengandalkan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dari transfer pemerintahan pusat tanpa ada upaya yang optimal untuk mencari sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD). Kondisi tersebut merupakan indikasi flypaper effect, yang mencerminkan belum mandirinya suatu daerah otonom. Lebih parah lagi, belum juga terbukti mandiri, muncul lagi usulan pemekaran baru. Lima kabupaten/kota tersebut diusulkan menjadi satu provinsi baru, Provinsi Kepulauan Nias, terpisah dari Sumatera Utara. Langkah yang hanya akan semakin membelenggu masyarakatnya (Wirasti dan Herin, 2015: 167).

Tercapainya kemandirian daerah otonom merupakan harapan yang besar dari pemerintahan daerah untuk membangun daerah berdasarkan kemampuan dan inisiasi daerah sendiri. Namun faktanya, dari tahun ke tahun harapan itu dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Fakta yang sering terjadi saat ini, daerah terlalu bergantung pada dana alokasi umum untuk membiayai belanja daerahnya, tanpa berusaha mengoptimalkan, mengembangkan serta menggali sumber-sumber potensi pendapatan daerah.

Fakta tersebut di atas secara umum memperlihatkan bahwa perilaku fiskal pemerintahan daerah dalam merespon transfer dari pemerintahan pusat menjadi perhatian utama dalam menunjang efektivitas transfer. Bukti empiris mengenai respon pemerintahan daerah untuk transfer dan pendapatan sendiri (pajak) telah


(22)

banyak dibahas oleh beberapa peneliti, misalnya Kuncoro, 2007; Schoeman, 2011; Messina dan Gennari, 2012; dan Panggabean, 2014. Hasil analisisnya tidak berbeda. Artinya, ketika penerimaan daerah berasal dari transfer, maka stimulus atas belanja yang ditimbulkannya berbeda dengan stimulus yang muncul dari pendapatan daerah (terutama pajak daerah). Saat pemerintahan daerah merespon (belanja) lebih banyak dengan menggunakan dana transfer daripada menggunakan kemampuan (pendapatan) sendiri, maka itu disebut flypaper effect.

Menariknya, sebagai antitesis penelitian-penelitian sebelumnya, adalah penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2012). Iskandar meneliti kemungkinan terjadinya flypaper effect pada unconditional grants di Jawa Barat. Hasilnya ditemukan bahwa nilai koefisien pendapatan asli daerah (PAD) lebih besar dari unconditiona l grants dan keduanya signifikan. Ini menunjukkan tidak terjadinya flypa per effect di Jawa Barat. Dalam artian kapasitas fiskal kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap belanja daerah daripada pengaruh dana alokasi umum terhadap belanja daerah. Provinsi Jawa Barat telah mandiri dari segi keuangan karena telah mampu bertumpu pada kemampuan keuangan daerah itu sendiri.

Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian terdahulu dan temuan-temuan fakta baru di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan semacam penelitian pengembangan, sebagai sebuah upaya melengkapi hasil penelitian-penelitian terdahulu, sehingga diharapkan, hasilnya lebih mencerminkan kondisi Sumatera Utara saat ini yang sesungguhnya. Penelitian ini diberi judul Analisis Pengaruh Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan PDRB Terhadap


(23)

Belanja Daerah (Studi pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun 2009-2013)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat diidentifikasi suatu rumusan masalah sebagai berikut.

1. Apakah Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan PDRB berpengaruh terhadap Belanja Daerah baik secara simultan maupun parsial pada Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara?

2. Apakah terjadi Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara?

3. Jika terjadi Flypaper Effect, apakah ada perbedaan pada Pemerintahan Kabupaten/kota yang nya tinggi dengan Kabupaten/kota yang PAD-nya rendah?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui apakah Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, PDRB berpengaruh terhadap Belanja Daerah baik secara simultan maupun parsial pada Pemerintah Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.


(24)

2. Untuk mengetahui apakah terjadi Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

3. Untuk membuktikan secara empiris kemungkinan adanya perbedaan Flypa per Effect antara Pemerintahan Kabupaten/kota yang PAD-nya tinggi dengan Kabupaten/kota yang PAD-nya rendah.

1.4 Manfaat Penelitian

Beberapa kegunaan dalam penelitian ini berupa kontribusi empiris, teori, dan kebijakan. Di antaranya dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Kontribusi kebijakan, memberi masukan bagi pemerintahan daerah sebagai pertimbangan atau evaluasi dalam menentukan kebijakan penggunaan anggaran dari transfer pemerintahan pusat, sehingga pemerintahan daerah diharapkan dapat mengambil langkah-langkah untuk memaksimalkan semua potensi pendapatan yang ada.

2. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan secara praktis yang dihubungkan dengan teori yang diperoleh.

3. Kontribusi teori bagi calon peneliti selanjutnya, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan informasi atau sumber referensi terpercaya dalam upaya pengembangan penelitian yang lebih komprehensif.

4. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan akan melengkapi temuan-temuan empiris yang telah ada di bidang Akuntansi Pemerintahan untuk kemajuan dan pengembangan karya ilmiah di masa yang akan datang.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Transfer Dana Perimbangan

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini yang akan menjadi dasar pemikiran teori adalah komponen transfer dana perimbangan. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 19). Dana perimbangan terdiri atas, 1) Dana Bagi Hasil (DBH); 2) Dana Alokasi Umum (DAU); dan 3) Dana Alokasi Khusus (DAK). Menurut Bastian (2006) dalam Syahputra (2010: 30), perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.

Pada dasarnya, transfer pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Banyak literatur mengenai ekonomi publik dan keuangan publik menerangkan alasan mengapa transfer dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah sangat diperlukan. Setidaknya ada lima alasan yang mendukung diselenggarakannya transfer dari pusat ke daerah. Kelima alasan tersebut, menurut Mulyana et. al.


(26)

(2006) yaitu menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh daerah. Selain itu, tujuan transfer adalah mengurangi kesenjangan keuangan horisontal antardaerah, mengurangi kesenjangan vertikal pusat-daerah, mengatasi persoalan ketimpangan pelayanan publik antardaerah, dan untuk menciptakan stabilisasi aktifitas perekonomian di daerah.

Rosen (2002) dalam Purnomo (2011: 4), membagi jenis transfer menjadi dua macam yaitu conditonal grant dan unconditional grant. Conditional grant adalah transfer khusus yang diberikan kepada pemerintahan daerah untuk tujuan khusus, misalnya untuk Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Jadi, conditional grant serupa dengan matching grant. Sementara, unconditona l gra nt diberikan kepada pemerintahan daerah tanpa persyaratan tertentu dan pada umumnya berkaitan dengan usaha-usaha produktif untuk investasi pada badan usaha. Sering juga unconditional grant disebut r evenue sha ring. Menurut Brojonegoro dan Vazquez (2005: 159), transfer tidak bersyarat (unconditional grants) di Indonesia adalah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil, sedangkan transfer bersyarat (conditional grants) berupa Dana Alokasi Khusus.

Transfer tanpa syarat (unconditional grants) ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antardaerah, sehingga setiap daerah dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat horisontal (horizontal equalization). Ciri utama dari transfer ini adalah daerah memiliki keleluasaan (diskresi) penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini


(27)

sesuai dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan yang menjadi prioritas daerahnya (Iskandar, 2012: 115).

Menurut BPPK (2006) dalam Iskandar (2012: 115), conditional transfer digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh pemerintahan pusat namun kurang dianggap penting oleh daerah. Transfer ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis.

a) Tra nsfer Pengimba ng (matching grants). Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan pusat kepada daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Di sini pemerintahan daerah telah mengalokasikan sejumlah dana dari pendapatan daerahnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut, hanya dananya belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari pemerintahan pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Transfer pengimbang ini juga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu transfer pengimbang tidak terbatas (open-ended matching grants) dan transfer pengimbang terbatas (closed-ended ma tching grants).

b) Tra nsfer bukan Pengimba ng (non-matching grants). Transfer bukan pengimbang adalah transfer yang diberikan pusat kepada pemerintahan daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintahan daerah itu sendiri akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini oleh pemerintahan pusat difungsikan sebagai sarana menginternalisasikan


(28)

limpahan manfaat (eksternalitas) terutama kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat tersebut. Jadi meskipun pemerintahan daerah telah mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh pemerintahan pusat untuk mendorong pemerintahan daerah agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi tersebut.

2.1.1.1 Unconditional Grants

Menurut Brojonegoro dan Vazquez (2005: 159), transfer tidak bersyarat (unconditional grants) di Indonesia adalah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil.

1. Dana Alokasi Umum–selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 21). Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU juga dimaksud untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) antardaerah dalam rangka mewujudkan kemandirian pemerintahan daerah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya melayani masyarakat (Panggabean, 2014: 13).


(29)

Tim asistensi Kementerian Keuangan bidang desentralisasi fiskal mengatakan, DAU merupakan dana perimbangan yang memiliki tujuan utama untuk pengurangan kesenjangan fiskal antardaerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk pengalokasian DAU sudah tepat untuk diadopsi di Indonesia, karena memperhitungkan dua aspek sekaligus, yaitu kebutuhan dan juga kemampuan fiskal pemerintahan daerah, dengan kondisi yang diharapkan, antara lain: 1) DAU harus mampu mengatasi horizonta l imba lance yang sampai saat ini masih cukup tinggi; 2) Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah; 3) Perhitungan DAU dilakukan oleh lembaga independen yang terlepas dari berbagai kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu kepentingan pemenuhan standar pelayanan minimum.

2. Dana Bagi Hasil–untuk selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu sesuai realisasi penerimaan pajak dan bukan pajak (sumber daya alam), guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan utama transfer DBH dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. DBH merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah yang memiliki


(30)

sumber-sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi penerimaan pajak pusat dan penerimaan dari sumber daya alam. Bagian daerah dari pajak maupun sumber daya alam tersebut telah ditetapkan besarnya berdasarkan suatu persentase tertentu (Masdjojo dan Sukartono, 2009: 37).

Dasar hukum DBH dalam undang-undang terbaru selain Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/ 07/ 2012 tentang pengalokasian anggaran transfer ke daerah, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/ 03/ 2013 tentang penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari: Pajak Bumi dan Bagunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang penetapan alokasinya diatur dalam lampiran PMK No. 05 Tahun 2007, sedangkan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 serta Wajib Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh 21) penetapan alokasinya diatur dalam lampiran PMK No. 127 Tahun 2006. Kemudian, untuk bagi hasil dari sumber daya alam (bukan pajak), terdiri dari: sumber daya kehutanan, sumber daya kelautan (perikanan), pertambangan umum, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

Belakangan, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 31/ PB/ 2013 tentang tata cara penerimaan, pembagian, dan penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak Bumi Bangunan (DBH


(31)

PBB). Peraturan baru ini menjelaskan persentase pembagian DBH PBB yang baru antara pemerintahan pusat dan daerah untuk sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan sektor pertambangan (Peraturan Ditjen Perbendaharaan, 2013).

2.1.1.2 Conditional Grant

Menurut Brojonegoro dan Vazquez (2005: 159), transfer bersyarat (conditional grant) di Indonesia adalah dalam bentuk Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Khusus–selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 23). Pemerintahan pusat menetapkan DAK untuk suatu daerah dengan memperhatikan beberapa kriteria tertentu: a) kriteria umum, ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); b) kriteria khusus, ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah; dan terakhir c) kriteria teknis, ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis (Ulum, 2008: 105).

DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karenanya, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintahan pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional secara khusus. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi: 1) kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain; 2) kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung transmigrasi; 3) kebutuhan


(32)

prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan yang tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan/kondisi khusus adalah: 1) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam artian kebutuhan tersebut tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, seperti: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis sarana/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan 2) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional (Syahputra, 2010: 28).

Sebagai contoh, beberapa waktu lalu Gubsu telah memaparkan mengenai kemajuan pembangunan infrastruktur jalan dan irigasi. Mengenai infrastruktrur, ujar Gubsu, memang ruas jalan di Provinsi Sumatera Utara merupakan ruas jalan terpanjang dari Provinsi lain. Tak bisa dipungkiri, keluhan akan infrastruktur jalan ini menjadi keluhan utama saat para Gubernur melakukan rapat koordoinasi dengan Presiden. Hal yang menggembirakan di Sumut adalah telah dimulainya pembangunan jalan tol Medan-Binjai dan jalan tol Medan-Tebing Tinggi yang tentunya akan memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Untuk tahun 2015, pembenahan infrastruktur seperti jalan dan irigasi dianggarkan dari DAK (Waspada Online, 9 November 2014).

2.1.2 Pendapatan Asli Daerah

Pemerintahan daerah dalam membiayai belanjanya, selain menggunakan transfer dari pemerintahan pusat, juga menggunakan sumber dananya sendiri yaitu Pendapatan Asli Daerah. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah—untuk selanjutnya disingkat PAD, adalah pendapatan daerah yang


(33)

bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah yang dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan desentralisasi (Ndadari dan Adi, 2008: 5).

Menurut Ndadari dan Adi (2008: 6), PAD memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian daerah. Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk mencapai pendapatan per kapita yang lebih baik. Apabila suatu daerah PAD-nya meningkat maka dana yang dimiliki pemerintahan akan meningkat pula. Peningkatan ini akan menguntungkan pemerintahan, karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerahnya.

Kendala utama yang dihadapi pemerintahan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari PAD. Proporsi PAD yang rendah, di lain pihak menyebabkan pemerintahan daerah memiliki derajat kebebasan (diskresi) yang rendah pula dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik belanja rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum. Kenyataan ini tentu tidak sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi daerah, yaitu memandirikan daerah dengan potensi-potensi yang dimilikinya.

Daerah yang mandiri bukan berarti daerah yang mampu membiayai semua belanjanya dari PAD, karena bukan itu yang dimaksud dengan kemandirian keuangan daerah. Hal yang penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya sejumlah sumber penerimaan yang cukup signifikan bagi daerah untuk memanfaatkannya secara lebih leluasa. Dalam artian bahwa, ketika pemerintahan


(34)

daerah dapat menghasilkan PAD yang signifikan, tentu pemerintahan daerah lebih memiliki keleluasaan yang lebih besar dalam merencanakan pembangunan sesuai dengan inisiasi sendiri (Kuncoro, 2007: 2).

Wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi yang diatur dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2000, yang tata cara pelaksanaannya diperbaharui dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi (Rahmawati, 2009: 34). Pemerintahan daerah dituntut kemandiriannya dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal secara bertanggungjawab. Karenanya, pajak dan retribusi yang pemungutannya telah diserahkan dan menjadi urusan pemerintahan daerah sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi fiskal, harus dikelola dan ditingkatkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Hal ini mengingat bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan kelompok PAD dan menjadi sumber pendanaan bagi keberlangsungan pembangunan dalam kerangka otonomi daerah (Peraturan Pemerintah, 2010).

Menurut jenisnya, PAD dikelompokkan menjadi empat jenis pendapatan, adalah sebagai berikut.

1. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah yang dikelola oleh pemerintahan provinsi antara lain: Pajak Kendaraan


(35)

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Bermotor, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak yang dipungut oleh kabupaten/kota meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengelolahan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir.

2. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintahan daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi ini dirinci menjadi:

a) Retribusi Jasa Umum, meliputi: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Maya, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksanaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, dan Retribusi Pengujian Kapal Perikanan,

b) Retribusi Jasa Khusus, meliputi: Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penginapan/Pesangrahan/villa, Retribusi


(36)

Penyedotan Kakus, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Penyeberangan di atas Air, dan Retribusi Pengolahan Air Limbah,

c) Retribusi Perijinan Tertentu, meliputi: Retribusi Izin Mendirikan Bagunan, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan, dan Retribusi Izin Trayek.

3. Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan, terdiri dari: bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintahan daerah/negara dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, seperti penerimaan jasa giro, penerimaan bunga, penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah, komisi denda keterlambatan pekerjaan, dan lain-lain.

2.1.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Kegiatan perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah tersebut. PDRB merupakan salah satu indikator yang penting dalam menggambarkan kemajuan perekonomian suatu daerah. Produk Domestik Bruto (PDB) dapat diartikan sebagai nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perekonomian dalam periode waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berarti PDRB


(37)

juga mempunyai pengertian yang sama tapi hanya dalam lingkup suatu daerah (Risuhendi, 2012: 22).

Perhitungan PDRB dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, pertama yaitu pendekatan produksi yang menyangkut jumlah nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu daerah selama jangka waktu tertentu. Pendekatan kedua yaitu pendekatan pendapatan, merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi dalam suatu proses produksi. Pendekatan ketiga yaitu pendekatan pengeluaran, menyangkut jumlah pengeluaran yang dilakukan baik oleh rumah tangga, swasta, maupun pemerintahan.

Badan Pusat Statistik (BPS), Lembaga Keuangan, dan Bappeda baik tingkat kabupaten maupun provinsi selalu mencantumkan PDRB menurut harga berlaku (current year price) dan harga konstan (basic year price), menurut harga berlaku artinya nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan harga pada tahun yang bersangkutan, sedangkan harga konstan dihitung berdasarkan tahun dasar yang telah ditetapkan menurut suatu tahun tertentu. Tahun dasar biasanya digunakan tiap sepuluh tahun sekali. Dari pengalaman diketahui bahwa nilai satuan uang sepanjang waktu mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi karena penurunan nilai uang, akibat inflasi atau kenaikan harga umum, ataupun sebaliknya terjadi penurunan tingkat harga umum (Abonia. 2014: 29).

Jika kegiatan perekonomian meningkat, maka PDRB yang dalam hal ini diwakili oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi akan mengalami peningkatan secara dinamis, peningkatan tersebut akan berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat yang naik dan tingkat


(38)

kekayaan yang bertambah. Dan pada gilirannya juga akan berdampak pada PAD yang mengalamai kenaikan, sehingga sangat dimungkinkan ada hubungan antara PDRB dengan PAD.

2.1.4 Belanja Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 16, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sumber -sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan pinjaman daerah. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah, pada prinsipnya lebih menyangkut persoalan tentang pembagian kekuasaan. Terutama hak mengambil keputusan mengenai anggaran, yaitu bagaimana memperoleh dan membelanjakannya. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyaraka yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Belanja urusan pilihan, terdiri dari: pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan perikanan, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi (Syahputra, 2010: 31).

Pemerintahan daerah menetapkan target capaian kinerja setiap belanja, baik dalam konteks daerah, satuan kerja perangkat daerah, maupun program dan


(39)

kegiatan, yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran dan memperjelas efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Berdasarkan Permendagri No. 22/ 2011, belanja daerah dapat diklasifikasikan ke beberapa bagian.

1. Belanja Tidak Langsung, merupakan belanja yang penganggarannya tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya usulan program atau kegiatan. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan setiap bulan dalam satu tahun anggaran sebagai konsekuensi kewajiban pemerintahan daerah secara periodik kepada pegawai yang bersifat tetap (pembayaran gaji dan tunjangan) dan atau kewajiban untuk pengeluaran belanja lainnya yang diperlukan secara periodik. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

a) Belanja Pegawai, merupakan belanja kompensasi dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,

b) Belanja Bunga, digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outsta nding) berdasarkan perjanjian-pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang,

c) Belanja Subsidi, digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada perusahaan atau lembaga yang menghasilkan produk dan jasa pelayanan umum kepada masyarakat agar harga


(40)

jual dari produksi/jasa yang dihasilkan tersebut dapat terjangkau oleh masyarakat luas,

d) Belanja Hibah, digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang, dan atau jasa kepada pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya,

e) Belanja Bantuan Sosial, digunakan untuk pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan atau barang kepada kelompok atau anggota masyarakat, dan partai politik, yang pemberiannya secara selektif, serta memiliki kejelasan peruntukan penggunaanya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan berdasarkan keputusan kepala daerah,

f) Belanja Bagi Hasil, digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan pemerintahan provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan pemerintahan desa atau pendapatan pemerintahan tertentu kepada pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,

g) Belanja Bantuan Keuangan, digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintahan desa, dan pemerintahan desa lainnya dalam rangka pemerataan dan peningkatan kemampuan keuangan,


(41)

h) Belanja Tidak Terduga, merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan terjadi berulang, seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah untuk tahun-tahun yang telah ditutup.

2. Belanja Langsung, merupakan belanja yang penganggarannya dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

a) Belanja Pegawai, merupakan belanja digunakan untuk mendanai pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah,

b) Belanja Barang dan Jasa, yang digunakan untuk mengangarkan pengadaan barang dan jasa yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan daerah, berupa belanja habis pakai, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/pengadaan, sewa rumah/gedung/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah, jasa konsultasi dan lain-lain pengadaan barang/jasa, dan belanja lainnya yang sejenis,


(42)

c) Belanja Modal, merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka menambah nilai aset tetap berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan.

2.1.5 Teori Belanja Pemerintahan

Teori belanja pemerintahan yang digunakan sebagai kajian pustaka dalam penelitian ini adalah Hukum Wagner dan Teori Peacock dan Wiseman.

1) Hukum Wagner

Hukum Wagner berbicara mengenai perkembangan aktivitas pemerintahan. Wagner mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintahan yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner berpendapat bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita menunjukkan peningkatan, maka secara relatif pengeluaran pemerintahan pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The La w of Expa nding Sta te Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju, seperti Amerika, Jerman, dan Jepang. Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintahan menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintahan harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat (Iskandar, 2012: 117).

Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut dengan organic theory of state, yaitu teori yang menganggap pemerintahan sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat


(43)

lainnya. Menurut Wagner, ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintahan selalu meningkat, yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, trend urbanisasi yang mengiringi laju pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi, dan ketidakefisienan birokrasi (Purnomo, 2011: 6).

Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan hubungan antarsektor industri dan hubungan antara industri dengan masyarakat akan semakin kompleks, sehingga potensi terjadinya eksternalitas negatif menjadi semakin besar. Misalnya, pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengendalikan dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintahan juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Di antara tujuan utama implementasi transfer adalah untuk mengatasi masalah eksternalitas yang dimaksud.

2) Teori Peacock dan Wiseman

Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori terbaik mengenai perkembangan pengeluaran pemerintahan. Teori yang mendasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintahan senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin tinggi untuk membiayai pengeluaran pemerintahan yang semakin besar tersebut. Teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar dari teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman


(44)

mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat di mana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintahan untuk membiayai pengeluaran pemerintahan tersebut. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintahan membutuhkan dana untuk membiayai aktivitasnya sehingga mereka membutuhkan tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintahan untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena (Iskandar, 2012: 117).

Teori Peacock dan Wiseman menyebutkan bahwa meningkatnya pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun mungkin tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintahan juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintahan akan semakin besar. Begitu juga dengan pengeluaran pemerintahan yang akan menjadi semakin besar pula. Pengeluaran tersebut sebagian digunakan untuk administrasi pembangunan dan sebagian lagi untuk kegiatan belanja pembangunan di berbagai jenis infrastruktur yang penting dan strategis. Anggaran-anggaran tersebut akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi (Purnomo, 2011: 6).

Satu hal yang perlu dicacat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit


(45)

perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak tersebut. Disebutkan bahwa limit perpajakan adalah sebesar 25 persen dari pendapatan nasional. Apabila limit dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan lainnya.

2.1.6 Analisis Flypaper Effect

Seperti yang sudah disinggung di pendahuluan, bahwa fenomena utama dalam penelitian ini adalah flypaper effect. Sejauh ini, belum ada padanan kata flypa per effect dalam bahasa Indonesia sehingga kata ini dituliskan sebagaimana adanya tanpa diterjemahkan. Flypaper effect merupakan suatu kondisi di mana belanja daerah lebih besar dipengaruhi oleh transfer tak bersyarat (unconditional gra nts) dari pemerintahan pusat ketimbang dari pendapatan daerah itu sendiri, dalam konteks ini PAD. Dalam pengertian lain, flypaper effect disebut sebagai suatu kondisi yang terjadi saat pemerintahan daerah merespon (belanja) lebih banyak menggunakan dana transfer daripada menggunakan pendapatan sendiri. Istilah flypaper effect dikembangkan oleh Dollery dan Worthington (1995) yang menyatakan kecenderungan pemerintahan daerah menggunakan transfer untuk memperluas belanja publik ketimbang menggunakan pendapatan daerah. Sebuah studi yang dilakukan oleh Maimunah dan Akbar (2008) untuk kasus penelitian pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera mengonfirmasi bahwa perilaku belanja pemerintahan daerah kaitannya dengan sektor-sektor yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik baik berupa kesehatan maupun infrastruktur ternyata menunjukkan fenomena yang disebut flypaper effect (Iskandar, 2012: 119).


(46)

Interpretasi tentang flypaper effect ini berangkat dari asumsi bahwa dana yang ditransfer dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah haruslah setara dengan kenaikan pendapatan masyarakatnya. Pendekatan tersebut memberikan gambaran bahwa setiap kenaikan transfer yang diberikan oleh pemerintahan pusat untuk daerah otonom haruslah sepadan dengan kenaikan pendapatan masyarakat daerah otonom tersebut. Artinya bahwa, setiap rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintahan pusat sebagai bantuan (transfer) ke pemerintahan daerah, mestinya memberikan pengaruh yang juga sama besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat lokal, otomatis akan memperbesar potensi pajak lokal, oleh karena peningkatan pendapatan tersebut disetor ke kas daerah sebagai pajak untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (Suyanto, 2010: 74).

Namun praktiknya, dalam memenuhi kebutuhan publik, pemerintahan daerah masih sangat mengandalkan unconditional grants (DAU dan DBH). Sehingga seolah menciptakan ilusi fiskal (fiscal illusion), di mana masyarakat membayar pajak dan berharap mendapatkan kontraprestasi tidak langsung yang sepadan, akan tetapi pemerintahan daerah tersebut dalam memenuhi kebutuhan publik lebih cenderung menggunakan DAU dan DBH ketimbang PAD. Sehingga yang terjadi adalah peningkatan belanja daerahnya menjadi tidak sepadan dengan peningkatan PAD-nya. Selain itu, flypaper effect juga akan memengaruhi kecenderungan belanja pemerintahan daerah untuk periode selanjutnya sehingga efek tersebut akan berdampak jangka panjang. Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintahan daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar dari pemerintahan


(47)

pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara optimal (Kuncoro, 2007: 6).

Flypa per effect erat kaitannya dengan efisiensi penggunaan anggaran untuk belanja daerah. Dalam konteks daerah yang mengalami flypaper effect, daerah tersebut akan cenderung menuntut transfer yang lebih besar untuk pembiayaan publik dari pemerintahan pusat, sehingga pengeluaran pemerintahan pusat menjadi berat sebelah. Penerimaan pajak yang dipungut oleh pemerintahan pusat akan bertambah untuk memenuhi permintaan daerah tersebut, sementara pelayanan yang diberikan pemerintahan pusat cenderung stagnan. Sebaliknya, penerimaan pajak daerah mungkin menurun tetapi pelayan publiknya tetap dan cenderung bertambah, karena dibiayai oleh unconditional grants.

Studi Kuncoro (2007) untuk pemerintahan kabupaten dan kota di Indonesia menemukan bahwa perubahan besaran transfer dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah menimbulkan perilaku asimetris pemerintah daerah dalam menggunakan dana transfer yang diterimanya tersebut. Penelitian tersebut menemukan bahwa setiap peningkatan alokasi transfer dari pemerintahan pusat akan direspon oleh pemerintahan daerah dalam bentuk peningkatan belanja daerah yang lebih tinggi dari periode sebelumnya. Artinya, terdapat indikasi terjadinya inefisiensi dalam belanja pemerintahan daerah, terutama belanja operasional. Di sisi lain, apabila terjadi penurunan alokasi transfer dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah, maka pemerintahan daerah merespon kebijakan tersebut dalam bentuk penurunan belanja daerah yang melebihi penurunan PAD. Perilaku


(48)

yang bersifat asimetris seperti ini menunjukkan tujuan efisiensi dalam penggunaan dana tidak berhasil dicapai.

Flypa per effect dapat terjadi dalam dua versi, yaitu: Pertama, merujuk pada peningkatan pajak dan retribusi daerah serta anggaran belanja pemerintahan yang berlebihan. Kedua, mengarah pada elastisitas pegeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah. Artinya, apabila elastisitas pengeluaran terhadap transfer lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah, ini merupakan indikasi telah terjadi flypaper effect (Kuncoro, 2007: 6).

Sementara, menurut Maimunah dan Akbar (2008), agar dapat dikatakan suatu daerah mengalami flypaper effect, maka hasil uji statistik yang diperoleh haruslah menunjukkan: Pengaruh koefisien DAU dan DBH terhadap Belanja Daerah nilainya lebih besar dari pengaruh koefisien PAD terhadap Belanja Daerah, dan keduanya signifikan. Atau, pengaruh PAD tidak signifikan terhadap Belanja Daerah (Panggabean, 2014: 20).

2.2 Review Penelitian Terdahulu

Belanja daerah sangat dipengaruhi oleh pendapatan yang diperoleh oleh suatu daerah baik yang bersumber dari PAD maupun dari dana transfer yang diberikan oleh pemerintahan pusat dalam bentuk DAU, DBH, dan DAK, yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antardaerah. Penelitian ini melakukan beberapa review dari penelitian terdahulu untuk disajikan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian pengembangan. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa perbedaan stimulus antara grants dan pendapatan asli daerah


(49)

memang terjadi di beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa stimulus terhadap belanja daerah yang disebabkan transfer (grants) mengalami kenaikan yang lebih besar daripada pendapatan asli daerah. Dalam artian bahwa, pemerintahan daerah lebih dominan menggunakan transfer dana perimbangan untuk membiayai belanjanya ketimbang mengandalkan Pendapatan Asli Daerah.

Peneliti sebelumnya seperti Maimunah dan Akbar (2008) menemukan terjadinya flypaper effect pada beberapa kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Pertama, hasil pengujian hipotesis menyebutkan bahwa besarnya nilai DAU dan PAD memengaruhi besarnya nilai Belanja Daerah (pengaruh positif). Kedua, hasil pengujian hipotesis yang tujuannya adalah untuk mengetahui terjadi tidaknya flypa per effect, juga diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi flypa per effect pada belanja daerah kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Flypaper effect terjadi pada belanja daerah bidang kesehatan dan pekerjaan umum. Namun, untuk bidang pendidikan tidak ditemukan adanya indikasi tersebut.

Lebih lanjut, studi empiris yang dilakukan oleh Kuncoro (2007) mengenai fenomena flypaper effect pada kinerja keuangan pemerintahan daerah kabupaten dan kota di Indonesia juga ditemukan. Studi ini menemukan bahwa setiap peningkatan alokasi transfer dari pusat diikuti dengan peningkatan belanja yang lebih tinggi. Gejala ini memperlihatkan bahwa birokrat pemerintahan daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat. Ada indikasi peningkatan belanja yang tinggi tersebut disebabkan karena inefisiensi bela nja pemerintahan daerah, terutama untuk belanja operasional. Temuan tersebut


(50)

mengisyaratkan bahwa ketergantungan pemerintahan daerah terhadap transfer dari pemerintahan pusat semakin membesar.

Menariknya, sebagai antitesis dua penelitian sebelumnya, adalah penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2012). Iskandar meneliti kemungkinan terjadinya flypa per effect pada unconditional grants di Jawa Barat. Hasilnya ditemukan bahwa nilai koefisien pendapatan asli daerah (PAD) lebih besar dari unconditional gra nts dan keduanya signifikan. Ini menunjukan tidak terjadinya flypaper effect di Jawa Barat. Dalam artian kapasitas fiskal kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap belanja daerah daripada pengaruh dana alokasi umum terhadap belanja daerah. Provinsi Jawa Barat telah mandiri dari segi keuangan karena telah mampu bertumpu pada kemampuan keuangan daerah itu sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.

Lebih lanjut, studi empiris mengenai perbedaan stimulus antara grants dan pendapatan asli daerah juga ditemukan di luar negeri, seperti Gennari dan Messina (2012). Penelitian ini memberikan bukti empiris tentang adanya flypaper effect dalam jangka panjang untuk sampel municipalities di Italia. Pemerintahan daerah merespon (local expenditure) lebih banyak dengan menggunakan unconditional gra nts daripada menggunakan kemampuan (local revenue) sendiri. Penjelasan dari dampak ini disebutkan bahwa para birokrat berusaha untuk memaksimalkan anggaran karena dengan melakukan hal tersebut akan membuat mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang lebih besar di masyarakat.


(51)

Daftar Tabel 2.2 Review Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Variabel Penelitian Cara yang

Digunakan Hasil Penelitian

Iskandar (2012)

Variabel Independen:

- Dana Alokasi Umum - Dana Bagi

Hasil

- Pendapatan Asli Daerah

- PDRB

Variabel Dependen:

- Belanja Daerah

Data dalam penelitian ini merupakan data skunder yang diperoleh dari BPS Jawa Barat, Bappeda, dan instansi terkait lainnya. Penelitian ini bersifat kuantitatif.

Nilai koefisien pendapatan asli daerah (PAD) lebih besar dari unconditional

grants dan keduanya signifikan. Ini menunjukan tidak terjadinya flypaper effect di Jawa Barat. Dalam artian pemerintahan daerah di Jawa Barat telah mandiri dari segi keuangan karena telah mampu bertumpu pada

kemampuan keuangan daerah itu sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan. Gennari dan Messina (2012) Variabel Independen: - Unconditional Grant - Local Government Own Revenue - Political Policy

Factors Variabel Dependen: - Local Expenditure Data dalam penelitian ini merupakan data representatif yang diambil dari database Municipal Accounts dan dari berbagai sumber informasi.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemerintahan daerah merespon (local expenditure) lebih banyak dengan

menggunakan unconditional grants daripada menggunakan kemampuan (local revenue) sendiri. Penjelasan dari dampak ini disebutkan bahwa para birokrat berusaha untuk

memaksimalkan anggaran karena dengan melakukan hal tersebut akan membuat mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang lebih besar di masyarakat.

Maimunah dan Akbar (2008)

Variabel Independen:

- Dana Alokasi Umum (DAU) - Pendapatan Asli

Daerah (PAD)

Variabel Dependen:

- Belanja Daerah

Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh melalui permintaan tertulis ke pejabat Pemerintahan Kabupaten/ Kota yang bersangkutan, serta sumber lain seperti laporan dari kabupaten/ kota yang diperiksa BPKP.

Pertama, hasil pengujian hipotesis menyebutkan bahwa besarnya nilai DAU dan PAD

memengaruhi besarnya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Kedua, hasil pengujian hipotesis yang tujuannya adalah untuk mengetahui terjadi tidaknya flypaper effect, juga diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah pada

kabupaten/kota di Pulau Sumatera.


(52)

Kuncoro (2007)

Variabel Independen:

- Dana Alokasi Umum (DAU) - Dana Bagi

Hasil (DBH) - Dana Alokasi

Khusus (DAK) - Pendapatan Asli

Daerah (PAD)

Variabel Dependen:

- Belanja Modal

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari BPS dan Ditjen PKPD Departemen Keuangan.

Setiap peningkatan alokasi transfer diikuti dengan

pertumbuhan belanja yang lebih tinggi. Memperlihatkan bahwa birokrat pemerintahan daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat. Mengisyaratkan bahwa

ketergantungan pemerintahan daerah pada transfer dari pusat akan semakin membesar.

2.3 Kerangka Konseptual

Menurut Erlina (2011: 35), kerangka konseptual adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka konseptual akan menghubungkan variabel independen dengan variabel dependen. Begitu juga apabila ada variabel lain yang menyertai, maka peran variabel tersebut harus dijelaskan. Berdasarkan landasan teori dan rumusan masalah penelitian, maka dapat dikembangkan kerangka konseptual yang diuji secara simultan dan parsial sebagaimana terlihat pada gambar 2.1 di bawah ini.

Dana Alokasi Umum (DAU)

(X1)

Dana Alokasi Umum (DAU) (X2)

Belanja Daerah (Y) Dana Bagi Hasil (DBH)

(X3)

Dana Alokasi Khusus (DAK) (X4)

PDRB (X5)


(53)

Peneliti mengidentifikasi enam variabel penelitian, yaitu Dana Alokasi Umum (X1) dan Dana Bagi Hasil (X2) yang dikategotikan sebagai unconditional tra nsfer, Dana Alokasi Khusus (X3) sebagai conditional transfer , Pendapatan Asli Daerah (X4), PDRB (X5), dan Belanja Daerah (Y). Dari gambar kerangka konseptual 2.1 dapat diuraikan bahwa Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan PDRB memengaruhi Belanja Daerah. Berkaitan dengan hal tersebut dapat diprediksi bahwa tinggi rendahnya Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan PDRB akan berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Di mana Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil mempunyai pengaruh secara langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah yang merupakan sumber dana utama dalam pembiayaan belanja daerah. Dengan pengaruh tersebut, maka total dana transfer dari pusat akan sangat berdampak pada besar kecilnya belanja di setiap daerah otonom.

2.3.1 Hubungan PAD terhadap Belanja Daerah

Hubungan pendapatan dan belanja daerah telah didiskusikan secara luas sejak akhir dekade 1950-an dan berbagai hipotesis tentang hubungan tersebut telah diuji secara empiris. Iskandar (2012) menyatakan bahwa tingkat pendapatan akan berpengaruh positif pada belanja publik. Bahwa, pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan belanja daerah. Sementara, sebagian lainnya menyatakan bahwa belanjalah yang memengaruhi pendapatan daerah (Maimunah, 2006). Hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan daerah (terutama pajak) akan memengaruhi anggaran belanja


(1)

Lampiran 10

Hasil Output SPSS Uji Asumsi Klasik

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 135

Normal Parametersa,b Mean .0000000

Std. Deviation 53202.02155957 Most Extreme Differences Absolute .090

Positive .090

Negative -.051

Kolmogorov-Smirnov Z 1.048

Asymp. Sig. (2-tailed) .222

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.


(2)

97

Lanjutan


(3)

Lanjutan

Heteroskedasticity Test: Glejser

F-statistic 1.694413 Prob. F(5,129) 0.1405 Obs*R-squared 8.319717 Prob. Chi-Square(5) 0.1395 Scaled explained SS 9.469435 Prob. Chi-Square(5) 0.0917

Test Equation:

Dependent Variable: ARESID Method: Least Squares Date: 07/29/15 Time: 19:53 Sample: 1 135

Included observations: 135

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 18398.64 9258.122 1.987297 0.0490 X1 0.022993 0.024566 0.935977 0.3510 X2 0.041380 0.117605 0.351853 0.7255 X3 0.213039 0.215202 0.989949 0.3241 X4 -0.033345 0.022372 -1.490519 0.1385 X5 0.000294 0.000693 0.425170 0.6714 R-squared 0.061628 Mean dependent var 39918.01 Adjusted R-squared 0.025257 S.D. dependent var 35001.66 S.E. of regression 34556.82 Akaike info criterion 23.78202 Sum squared resid 1.54E+11 Schwarz criterion 23.91115 Log likelihood -1599.287 Hannan-Quinn criter. 23.83450 F-statistic 1.694413 Durbin-Watson stat 1.876095 Prob(F-statistic) 0.140461


(4)

99

Lampiran 11

Hasil Output SPSS Pengujian Hipotesis

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .996a .992 .992 54223.26678 1.878

a. Predictors: (Constant), PDRB, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah

b. Dependent Variable: Belanja Daerah

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 4.845E13 5 9.691E12 3296.055 .000a Residual 3.793E11 129 2.940E9

Total 4.883E13 134

a. Predictors: (Constant), PDRB, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah

b. Dependent Variable: Belanja Daerah

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 13402.153 14526.963 .923 .358

Dana Alokasi Umum 1.108 .039 .412 28.736 .000 .293 3.417 Dana Bagi Hasil 1.488 .185 .119 8.063 .000 .277 3.612 Dana Alokasi Khusus 1.266 .338 .038 3.748 .000 .585 1.710 Pendapatan Asli Daerah 1.548 .035 .546 44.091 .000 .392 2.548

PDRB .001 .001 .017 1.073 .285 .239 4.187

a. Dependent Variable: Belanja Daerah


(5)

Lampiran 12

Hasil Output SPSS Uji t (Uji Beda)

Group Statistics

Kategori N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Flypaper Effect Daerah PAD Rendah 17 .037706 .0093526 .0022683

Daerah PAD Tinggi 10 .098900 .0886359 .0280291

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Flypaper Effect Equal variances

assumed

11.151 .003 -2.859 25 .008 -.0611941 .0214030 -.1052744 -.0171138

Equal variances not assumed


(6)

101

Lampiran 13

Daftar Kabupaten/Kota dengan Kategori PAD Rendah dan Tinggi

Kabupaten/Kota

PAD

Rendah

Kabupaten Asahan

0.039

Kabupaten Batubara

0.035

Kabupaten Dairi

0.034

Kabupaten Humbang Hasundutan

0.03

Kabupaten Langkat

0.04

Kabupaten Mandailing Natal

0.044

Kabupaten Nias

0.047

Kabupaten Nias Selatan

0.049

Kabupaten Padang Lawas

0.046

Kabupaten Padang Lawas Utara

0.027

Kabupaten Phakpak Barat

0.02

Kabupaten Samosir

0.048

Kabupaten Serdang Bedagai

0.046

Kabupaten Tapanuli Tengah

0.033

Kabupaten Tapanuli Utara

0.025

Kabupaten Toba Samosir

0.029

Kota Padangsidempuan

0.049

Kabupaten/Kota

PAD

Tinggi

Kabupaten Deli Serdang

0.157

Kabupaten Karo

0.053

Kabupaten Labuhanbatu

0.078

Kabupaten Simalungun

0.055

Kabupaten Tapanuli Selatan

0.07

Kota Binjai

0.057

Kota Medan

0.335

Kota Pematangsiantar

0.075

Kota Sibolga

0.052

Kota Tanjungbalai

0.057


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Disentralisasi Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2012

6 112 101

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

2 39 85

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

2 38 82

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Daerah pada Pemda di Provinsi Sumatera Utara

1 43 73

Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Produk Domestik Regioal Bruto (PDRB) Kabupaten Dairi

4 61 102

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara

0 35 106

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

1 40 75

Analisis Pengaruh Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

3 50 114

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Transfer Terhadap Belanja Modal pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

0 52 85

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Disentralisasi Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2012

0 0 24