Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua terhadap Anak dalam Mensosialisasikan Pendidikan tentang Seks (Studi Deskriptif Kualitatif pada Siswa Siswi SMA Swasta Eria Medan)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Perspektif/Paradigma Kajian
Perspektif dalam bidang keilmuan sering juga disebut paradigma
(paradigm), kadang-kadang disebut pula mazhab pemikiran (school of thought)
atau teori. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas
dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam
sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka
apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif,
menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan
pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang. Akan tetapi, menurut
Patton, aspek paradigma inilah yang sekaligus merupakan kekuatan dan
kelemahannya.

Kekuatannya

adalah

hal


itu

memungkinkan

tindakan,

kelemahannya adalah bahwa alasan untuk melakukan tindakan tersebut
tersembunyi dalam asumsi-asumsi paradigma yang dipersoalkan (Mulyana, 2011:
8-9).
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dimana pada dasarnya landasan
teoritis dari penelitian kualitatif itu bertumpu secara mendasar pada fenomenologi.
Pada penelitian kualitatif teori dibatasi pada pengertian: suatu pernyataan
sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan
diuji secara empiris. Dalam uraiantentang teori tersebut, Bognan dan
Bikenmenggunakan istilah paradigma. Paradigma diartikan sebagai kumpulan
longgar tentang asumsi secara logis dianut bersama konsep, atau preposisi yang
mengarahkan cara berfikir dan cara penelitian (Moleong, 2005: 14).
Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan dengan sistematis dan
subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan
(empiris). Pendekatan kualitatif terus berkembang di bidang sains dan pendidikan.

Proses penelitian ini dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia

Universitas Sumatera Utara

dalam aneka bentuk. Penelitian kualitatif lebih berorientasi kepada upaya untuk
memahami fenomena secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih
konsisten dengan filosofi holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian
kualitatif berangkat dari ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial melalui
penelaahannya terhadap interaksi orang-orang dengan situasi sosial dalam
membangun pengetahuan melalui pemahaman dan penemuan (meaning and
discovery) (Iskandar, 2010:189).
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma
Konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma
positivisme. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh
seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua peran seperti yang biasa
dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari
pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan
perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi
dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun
pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.

Paradigma konstuktivisme ialah paradigma di mana kebenaran suatu
realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan bersifat relatif. Pertama,
dilihat dari penjelasan ontologis, realitas yang dikonstruksi itu berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Kedua, paradigma
konstruktivisme ditinjau dari konteks epistimologis, bahwa pemahaman tentang
suatu realitas merupakan produk interaksi antara peneliti dengan objek yang
diteliti. Dalam hal ini paradigma konstuktivisme bersifat transaksional atau
subjektif. Ketiga, dalam konteks aksiologi, yakni peneliti sebagai passionate
participation, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial
(Eriyanto, 2014: 13).
Kajian

pokok

dalam

paradigma

konstruktivisme


menurut

Weber,menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak
hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan
perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa
tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya tetapi dengan

Universitas Sumatera Utara

beberapa catatan, dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut
harus berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari
melalui penafsiran serta pemahaman (interpretive understanding). Kajian
paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa
mungkin

masuk

dengan

subjeknya,


dan

berusaha

memahami

dan

mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman isi subjek yang akan
diteliti. Implikasi dalam paradigma konstruktivisme menerangkan bahwa
pengetahuan itu tidak lepas dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk
mengerti (Ardianto, 2007: 161).
Menurut Ardianto, konstruktivisme merupakan salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi
(bentukan) kita sendiri. Menurut Ardianto, prinsip dasar konstruktivisme
menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh konstruk diri sekaligus
juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri. Sehingga komunikasi itu dapat
dirumuskan, dimana ditentukan oleh diri di tengah pengaruh lingkungan luar.
Pada titik ini kita dapat mengemukakan teori Ron Herre mengenai perbedaan

antara person dan self. Personadalah diri yang terlibat dalam lingkup publik,
padadirinya terdapat atribut sosial budaya masyarakatnya, sedangkanself adalah
diri yang ditentukan oleh pemikiran khasnya di tengah sejumlah pengaruh sosial
budaya masyarakatnya (Ardianto, 2007: 154-161).
Ada tiga macam konstruktivisme, (1) konstruktivisme radikal; (2)
konstruktivisme realisme hipotesis; (3) konstruktivisme biasa. Ketiga macam
konstruktivisme di atas memiliki kesamaan, di mana konstruktivisme dilihat
sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada,
karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang
disekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas
yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada
sebelumnya, yang oleh Piaget disebut dengan skema/skemata(Suparno, 1997: 30).
Kata kunci paradigma konstruktivisme adalah pendekatan antar pesona
melalui komunikasi yang berbasis pada “konsep diri”. Paradigma ini dalam
membangun (mengkonstruksi) pemahaman atau makna, secara bersama-sama

Universitas Sumatera Utara

melalui pemahaman berbasis pada subjek, dengan menggunakan elaborasi kode
yang mana, menghargai perasaan, kepentingan, dan sudut pandangan orang lain.

2.2 Uraian Teoritis
Teori adalah himpunan konstruk (konsep). Definisi dan proposisi yang
mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di
antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. Fungsi teori
dalam penelitian adalah untuk membantu peneliti menerangkan fenomena sosial
atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatian. Sebelum melakukan
penelitian, peneliti memerlukan kejelasan berpikir mengenai teori sebagai
landasan atau dasar dari penelitian. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang
memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah
penelitian yang akan diteliti. Berdasarkan alasan itu, maka peneliti melaksanakan
penelitian menggunakan teori–teori yang dianggap relevan adalah sebagai berikut:
2.2.1 Psikologi Komunikasi
2.2.1.1 Pengertian Psikologi Komunikasi
Psikologi

komunikasi

adalah

ilmu


yang

berusaha

menguraikan,

meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam
komunikasi. Perisitiwa mental adalah apa yang disebut Fisher “internal mediation
of stimuli”, sebagai akibat berlangsungnya komunikasi. Peristiwa behavioral
adalah apa yang nampak ketika orang berkomunikasi (Rakhmat, 2005: 9).
Psikologi meneliti kesadaran dan pengalaman manusia. Psikologi terutama
mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan
proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku itu. Menurut Fisher
(dalam Rakhmat, 2005: 8) menyebut empat ciri pendekatan psikologi pada
komunikasi penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli),
proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli),
prediksi respons (prediction of response), dan peneguhan response (reinforcement
of responses). Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respons yang terjadi
pada masa lalu dapat meramalkan respons yang akan datang. Kita harus


Universitas Sumatera Utara

mengetahui sejarah respons sebelum meramalkan respons individu masa ini. Dari
sinilah timbul perhatian pada gudang memori (memory storage) dan set
(penghubung masa lalu dan masa sekarang).
2.2.1.2 Hubungan Komunikasi dengan Psikologi
Dilihat dari perkembangannya, komunikasi memang dibesarkan oleh para
peneliti psikologi. Tiga di antara empat orang bapak ilmu komunikasi yang
disebut Wilbur Schramm adalah sarjana psikologi. Paul Lazarsfeld, pendiri ilmu
komunikasi lainnya, adalah psikolog yang banyak dipengaruhi Sigmund Freud,
Bapak

Psikoanalisis.

Hovland,

Janis,

dan


Kelly

semuanya

psikolog,

mendefinisikan komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme sebagai
usaha “menimbulkan respons melalui lambang-lambang verbal”, ketika lambanglambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli. Kamus psikologi, dictionary of
behavioral science(dalam Fajar, 2009: 3-4), menyebutkan enam pengertian
komunikasi:
1.

Penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat lain seperti dalam
sistem saraf atau penyampaian gelombang-gelombang suara.

2.

Penyampaian atau penerimaan signal atau pesan oleh organisme.


3.

Pesan yang disampaikan.

4.

Proses yang dilakukan satu sistem untuk mempengaruhi sistem yang lain melalui
pengaturan signal-signal yang disampaikan.

5.

Pengaruh satu wilayah persona pada wilayah persona yang lain sehingga
perubahan dalam satu wilayah lain menimbulkan perubahan yang berkaitan pada
wilayah lain.

6.

Pesan pasien kepada pemberi terapi dalam psikoterapi.
Psikologi komunikasi mempunyai makna yang luas, meliputi segala
penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara tempat, sistem atau
organisme. Kata komunikasi sendiri dipergunakan sebagai proses, sebagai pesan,
sebagai pengaruh atau secara khusus sebagai pesan pasien dalam psikoterapi. Jadi,
psikologi menyebut komunikasi pada penyampaian energi dari alat-alat indera ke

Universitas Sumatera Utara

otak, pada peristiwa penerimaan dan pengelohan informasi, pada proses saling
pengaruh di antara berbagai sistem dalam diri organisme dan di antara organisme.
Psikologi mencoba menganalisa seluruh komponen yang terlibat dalam
proses komunikasi. Pada diri komunikan, psikologi memberikan karakteristik
manusia komunikan serta faktor-faktor internal yang mempengaruhi perilaku
komunikasinya. Pada komunikator, psikologi melacak sifat-sifatnya dan bertanya:
Apa yang menyebabkan satu sumber komunikasi berhasil dalam mempengaruhi
orang lain, sementara sumber komunikasi yang lain tidak.
Psikologi juga tertarik pada komunikasi di antara individu: bagaimana
pesan dari seorang individu menjadi stimulus yang menimbulkan respons pada
individu

yang

lain.

Psikologi bahkan

meneliti lambang-lambang

yang

disampaikan. Pada saat pesan sampai pada diri komunikator, psikologi melihat ke
dalam proses penerimaan pesan, menganalisa faktor-faktor personal dan
situasional yang mempengaruhinya dan menjelaskan berbagai corak komunikan
ketika sendirian atau dalam kelompok (Fajar, 2009: 4-5).
2.2.2 Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
2.2.2.1 Pengertian Pengungkapan Diri
Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi
fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses
mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya
(Sendjaja, 2005: 2.41). Self disclosure adalah salah satu tipe komunikasi di mana
informasi mengenai diri (self) yang biasanya disembunyikan dari orang lain, kini
dikomunikasikan kepada orang lain (Devito, 1997: 215).
Pembukaan diri atau self disclosure adalah mengungkapkan reaksi atau
tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi, serta memberikan
informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami
tanggapan kita di masa kini tersebut (Supraktiknya, 1995: 4).
Self disclosure mengacu pada mengkomunikasikan informasi tentang diri
kita kepada orang lain (Devito, 1997: 215). Membuka diri berarti membagikan
kepada

orang

lain

perasaan

kita

terhadap

suatu

yang

telah

Universitas Sumatera Utara

dikatakan/dilakukannya, atau perasaan kita terhadap suatu kejadian yang baru saja
kita saksikan. Mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang
sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.
Teori self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama
menjadi fokus penelitian dalam teori komunikasi. Pengertian pengungkapan diri
adalah mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang
kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang
berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini (Supratiknya, 1995: 8).
Tanggapan terhadap orang lain atau kejadian tertentu berarti membagikan
kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau
dilaksanakan atau perasaan kita terhadap kejadian yang baru saja kita saksikan.
Mengungkapkan hal yang sangat pribadi di masa lalu dapat menimbulkan
perasaan intim untuk sesaat.
Dalam suatu interaksi antara individu dengan orang lain, apakah yang lain
akan menerima atau menolak kita, bagaimana kita ingin orang lain mengetahui
tentang diri kita ditentukan oleh bagaimana individu mengungkapkan dirinya.
Pengungkapan diri adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam
kegiatan membagi perasaan dan informasi pada orang lain (Wrightsman dalam
Dayaksini, 2003: 87).
Menurut Morton, pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi
perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam
pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu
melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui
oleh orang lain. Sedangkan, evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat
atau perasaannya terhadap sesuatu.
Joseph Luft mengemukakan teori Self Disclosure berdasarkan pada model
interaksi manusia yang disebut Johari Window, dimana terdapat empat bidang
didalamnya, yakni: terbuka, buta, tersembunyi, dan tidak diketahui.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Johari Window

Diketahui oleh orang lain

Tidak diketahui oleh orang lain

Diketahui oleh

Tidak diketahui

diri sendiri

oleh diri sendiri

1

2

TERBUKA

BUTA

3

4

TERSEMBUNYI

TIDAK
DIKETAHUI

Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan
terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing ke
dalam kuadran “terbuka”. Kuadran 4 sulit untuk diketahui, tetapi mungkin dapat
dicapai melalui kegiatan seperti refleksi diri dan mimpi. Meskipun self disclosure
mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya.
Artinya, perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu
tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi hubungan
kita dengan orang tersebut. Beberapa manfaat dan dampak pembukaan diri
terhadap hubungan antar pribadi menurut Devito adalah sebagai berikut:
1. Pembukaan diri merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua orang.
2. Semakin kita bersikap terbuka kepada orang lain, maka orang tersebut akan
menyukai kita, sehingga ia akan semakin membuka diri terhadap kita.
3. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung memiliki
sifat-sifat, seperti: kompeten, terbuka, ekstrovert, fleksibel, adaptif, dan intelijen.
4. Membuka diri kepada orang lain merupakan dasar reaksi yang memungkinkan
komunikasi intim yang baik dengan diri kita sendiri ataupun orang lain.
5. Membuka diri berarti bersikap realistis sehingga harus jujur, tulus, dan autentik.

Universitas Sumatera Utara

Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi
perilaku, keinginan, motivasi, dan ide yang sesuai yang terdapat di dalam diri
orang yang bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang
tergantung pada situasi dan orang yang diajak berinteraksi. Jika orang yang
berinteraksi dengan kita menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta
dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi kita untuk lebih
membuka diri sangat besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu kita dapat
saja menutup diri karena kurang percaya. Dalam proses pengungkapan diri
nampaknya individu-individu yang terlibat memiliki kecenderungan mengikuti
norma resiprok (timbal balik). Jika seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat
pribadi pada kita, kita akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada
umumnya kita mengharapkan orang lain memperlakukan kita sama seperti kita
memperlakukan mereka (Dayaksini, 2003: 88). Seseorang yang mengungkapkan
informasi yang bersifat pribadi lebih akrab daripada yang kita lakukan akan
membuat kita merasa terancam dan membuat kita lebih senang untuk
mengakhirinya. Bila sebaliknya kita yang mengungkapkan diri terlalu akrab
dibandingkan orang lain, maka kita akan merasa tidak aman.
Luft, 1969 (dalam Tubbs, 2005: 19) menggambarkan beberapa ciri
pembukaan diri yang tepat. Lima ciri terpenting adalah sebagai berikut:
1. Merupakan fungsi dari suatu hubungan sedang berlangsung.
2. Dilakukan oleh kedua belah pihak.
3. Disesuaikan dengan keadaan yang berlangsung.
4. Berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini pada dan antara orang-orang yang
terlibat.
5. Ada peningkatan dalam penyikapan, sedikit demi sedikit.
Selain konsep Johari Window, ada juga konsep diri yang diperkenalkan
oleh Weaver (1978). Konsep ini terdiri atas empat macam yakni, self awareness,
self acceptance, self actualization dan self disclose (Cangara, 2005:85). Self
awareness ialah proses menyadari diri tentang siapakah aku, dimana aku berada
dan bagaimana orang lain memandang diriku. Jika orang sadar pada dirinya, maka

Universitas Sumatera Utara

apa yang terjadi akan diterimanya sebagai kenyataan (self aceeptance). Dengan
menerima kenyataan itu, orang baru dapat mengembangkan dirinya (self
actualization) sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Jadi jika seseorang
memiliki keinginan untuk maju (self actualization), maka keinginan itu perlu
diungkapkan atau dikomunikasikan, apakah itu secara terang-terangan atau
terselubung, agar orang lain dapat mengetahuinya (self disclose). Keinginan untuk
Menampakkan self disclose merupakan jendela atau etalase yang dibuat untuk
memperlihatkan diri.
2.2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri terjadi lebih lancar dalam situasi-situasi tertentu,
berikut beberapa faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri:
a. Besar Kelompok
Pengungkapan diri lebih banyak terjadi dalam kelompok kecil daripada
kelompok besar. Diad (kelompok yang terdiri atas dua orang) merupakan
lingkungan yang paling cocok untuk pengungkapan diri. Dengan satu pendengar,
pihak yang melakukan pengungkapan diri dapat meresapi tanggapan dengan
cermat. Orang dapat memantau pengungkapan diri ini, meneruskannya apabila
situasi mendukung atau menghentikannya jika situasi tidak mendukung. Bila ada
lebih dari satu orang pendengar, pemantauan akan lebih sulit dilakukan karena
tanggapan yang muncul pasti akan berbeda dari setiap orang.
b. Perasaan Menyukai
Kita membuka diri kepada orang-orang yang kita sukai atau cintai, dan
kita tidak akan membuka diri kepada orang yang kita tidak sukai (Derlega dkk.,
1987). Ini tidak mengherankan karena orang yang kita sukai (dan barangkali
menyukai kita) akan bersikap mendukung dan positif. Kita juga membuka diri
lebih banyak kepada orang yang kita percayai (Wheels dan Grotz, 1977).

Universitas Sumatera Utara

c. Efek Diadik
Kita melakukan pengungkapan diri bila orang yang bersama kita juga
melakukan pengungkapan diri. Efek diadik ini barangkali membuat kita merasa
lebih aman dan nyatanya memperkuat perilaku pengungkapan diri kita sendiri.
d. Kompetensi
Orang yang kompeten lebih banyak melakukan pengungkapan diri
daripada yang kurang kompeten. Orang yang kompeten barangkali memiliki lebih
banyak hal positif tentang diri mereka sendiri untuk diungkapkan daripada orang
yang tidak kompeten (James McCroskey dan Lawrence, 1976).
e. Kepribadian
Orang-orang yang pandai bergaul (sociable) dan ekstrovert melakukan
pengungkapan diri lebih banyak daripada mereka yang kurang pandai bergaul.
Perasaan gelisah juga mempengaruhi derajat pengungkapan diri. Rasa gelisah ada
kalanya meningkatkan pengungkapan diri namun bisa juga menguranginya hingga
batas minimum. Orang yang kurang berani berbicara pada umumnya juga kurang
mengungkapkan diri dibandingkan mereka yang merasa lebih nyaman dalam
berkomunikasi.
f. Topik
Kita lebih cenderung membuka diri tentang topik tertentu. Sebagai contoh,
kita lebih mungkin mengungkapkan hal-hal yang baik dibandingkan hal yang
kurang baik. Umumnya, makin pribadi dan negatif suatu topik, makin kecil
kemungkinan kita untuk mengungkapkannya.
g. Jenis Kelamin
Faktor terpenting yang mempengaruhi pengungkapan diri adalah jenis
kelamin. Umumnya, pria lebih kurang terbuka ketimbang wanita. Judy Person
(1980) berpendapat bahwa peran seks (sex role) dan bukan jenis kelamin dalam
arti biologis yang menyebabkan perbedaan dalam hal pengungkapan diri.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2.3 Tingkatan Dalam Pengungkapan Diri
Dalam proses hubungan antarpribadi, terdapat tingkatan-tingkatan yang
berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut Powell (dalam Dayaksini, 2003: 89)
tingkatan-tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi yaitu:
1.

Basa-basi: merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal,
walaupun terdapat keterbukaan di antara individu, tetapi tidak terjadi hubungan
antarpribadi.

Masing-masing

individu

berkomunikasi

basa-basi

sekedar

kesopanan.
2.

Membicarakan orang lain: yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang
orang lain atau hal-hal di luar dirinya walaupun pada tingkat ini isi komunikasi
lebih mendalam, tetapi individu tidak mengungkapkan diri.

3.

Menyatakan gagasan atau pendapat: setiap individu dapat memiliki gagasan atau
pendapat yang sama, tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan setiap
individu berbeda-beda. Setiap hubungan harus didasarkan atas kejujuran,
keterbukaan, dan pernyataan perasaan-perasaan yang mendalam.

4.

Hubungan puncak: pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu
yang menjalin hubungan antarpribadi dapat menghayati perasaan yang dialami
oleh individu lain. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati haruslah
berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.

2.2.3 Komunikasi Keluarga
2.2.3.1 Pengertian Komunikasi Keluarga
Dalam pengertian psikologis menurut Soleman (dalam Gunarsa, 2003: 10)
keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal
bersama, dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga
terjadi saling mempengaruhi, dan saling memperhatikan.
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia
dimana ia belajar dan menyatakam diri sebagai manusia sosial dalam interaksi
dengan kelompoknya. Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi
merupakan sesuatu yang harus dibina sehingga anggota keluarga merasakan

Universitas Sumatera Utara

ikatan yang dalam serta saling membutuhkan. Keluarga juga merupakan
kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat, yang terbentuk dari
hubungan laki-laki dan perempuan untuk menciptakan dan membesarkan anakanak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri
dari ayah, ibu, dan anak-anak.
Dilihat dari pengertian di atas bahwa kata-kata, sikap tubuh, intonasi suara
dan tindakan, mengandung maksud mengajarkan, mempengaruhi dan memberikan
pengertian. Sedangkan tujuan pokok dari komunikasi ini adalah memprakarsaidan
memelihara interaksi antara satu anggota dengan anggota lainnya sehingga
tercipta komunikasi yang efektif.
Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah
keluarga, yang merupakan cara seorang anggota keluarga untuk berinteraksi
dengan anggota lainnya sekaligus sebagai wadah dalam membentuk dan
mengembangkan nilai-nilai yang dibutuhkan sebagai pegangan hidup. Agar
komunikasi dan hubungan timbal balik dapat terpelihara dengan baik, maka
hubungan timbal balik dalam keluarga harus mengembangkan ikatan yang sangat
kuat (dalam Gunarsa, 2002: 13) sebagai berikut:
a. Hubungan suami-istri berdasarkan cinta kasih.
b. Hubungan orangtua dengan anak didasarkan kasih sayang.
c. Hubungan orangtua dengan anak remaja berdasarkan rasa sabar.
d. Hubungan antara anak didasarkan atas kasih sesama.
e. Komunikasi dalam keluarga akan memberikan rasa aman dan bahagia bila
berlandaskan kasih sayang.
Setiap individu dilahirkan, tumbuh dan berkembang di dalam keluarga.
Peranan individu ditentukan adat istiadat, norma-norma dan nilai-nilai serta
bahasa yang ada pada keluarga itu melalui proses sosialisasi dan internalisasi.
Keluarga merupakan kelompok perantara pertama yang mengenalkan nilai-nilai
budaya kepada si anak. Di sinilah anak mengalami hubungan sosial dan disiplin
pertama yang dikenalkan kepadanya dalam kehidupan sosial.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Koentjaraningrat (dalam Posman, 1998: 61), fungsi pokok
keluarga ada dua, yaitu:
a. Sebagai kelompok di mana individu pada dasarnya dapat menikmati bantuan
utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidupnya.
b. Sebagai kelompok di mana individu mendapat pengasuhan permulaan dari
pendidikannya.
Perlu disadari bahwa ada banyak jenis keluarga. Ada keluarga kecil dan
besar, keluarga miskin dan kaya, keluarga di desa dan di kota, keluarga yang
harmonis dan kurang harmonis, dan seterusnya. Banyak hal yang didapat seorang
anak sebagai anggota keluarga, yaitu sebagai berikut:
a. Keagamaan: keluarga harus mampu menjadi wahana yang pertama dan utama
untuk membawa seluruh anggotanya melaksanakan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Kebudayaan: keluarga dikembangkan menjadi wahana untuk melestarikan budaya
nasional yang luhur dan bermartabat.
c. Kasih sayang: keluarga dikembangkan menjadi pertama dan utama untuk
menumbuhkan rasa kasih sayang sesama anggotanya.
d. Perlindungan: keluarga dikembangkan menjadi pelindung yang utama dan kokoh
dalam memberikan kebenaran dan keteladanan kepada anak-anak.
e. Reproduksi: keluarga menjadi pengatur dan pembina reproduksi keturunan secara
sehat dan berencana, sehingga anak berkualitas prima.
f. Pendidikan: keluarga sebagai tokoh dan guru yang pertama dan utama dalam
mengantarkan anak-anak untuk mandiri dan menjadi panutan.
g. Ekonomi: keluarga menyiapkan dirinya untuk menjadi suatu unit yang mandiri
dan sanggup meningkatkan kesejahteraan baik lahir maupun batin.
h. Pemeliharaan lingkungan: keluarga siap dan sanggup untuk memelihara
kelestarian lingkungannya guna memberikan yang terbaik kepada generasi yang
akan datang.
Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan
membicarakan

dengan

terbuka

setiap

hal

dalam

keluarga

baik

yang

Universitas Sumatera Utara

menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Juga siap menyelesaikan
masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam
kesabaran,

kejujuran

serta

keterbukaan.

Dengan

adanya

komunikasi,

permasalahan yang terjadi dalam keluarga dapat dibicarakan dan dicari solusi
terbaiknya. Suasana kekeluargaan dan kelancaran berkomunikasi antara anggota
keluarga dapat tercapai apabila setiap anggota keluarga menyadari dan
menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing sambil menikmati haknya
sebagai anggota keluarga (Gunarsa, 2002: 13).

2.2.3.2 Pola Komunikasi Keluarga
Pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga bisa dinyatakan langsung
ataupun hanya disimpulkan dari tingkah laku dan perlakuan yang terjadi dalam
keluarga tersebut. Keluarga perlu mengembangkan kesadaran dari pola interaksi
yang terjadi dalam keluarganya, apakah pola tersebut benar-benar diinginkan dan
dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga, apakah pola itu membantu dalam
menjaga kesehatan dan fungsi dari keluarga itu sendiri, atau malah merusak
keutuhan keluarga. Kesadaran akan pola itu dapat dibedakan antara keluarga yang
sehat dan bahagiadengan keluarga yang dangkal dan bermasalah.
Pola-pola komunikasi yang lebih kompleks berkembang pada waktu si
anak mulai tumbuh dan menempatkan diri ke dalam peranan orang lain. “Menurut
Hoselitz, dengan menempatkan pribadi ke dalam peranan orang lain maka si anak
juga belajar menyesuaikan diri (conform) dengan harapan orang lain”.
Berdasarkan pandangan Klinger dan Gillin yang dikutip Soekanto, maka kita
dapat mengetahui bahwa setiap proses komunikasi didorong oleh faktor-faktor
tertentu. Misalnya pada waktu bayi menangis, tangisan itu mempengaruhi ibu
sehingga sang ibu segera datang membawa botol susu. Sang bayi mulai belajar
dari pengalamannya bahwa setiap tangisan merupakan tanda (sign) yang selalu
dapat digunakan untuk menyatakan kebutuhan makan dan minum (Liliweri, 1997:
45).
Hubungan dengan anggota keluarga, menjadi landasan sikap terhadap
orang, benda, dan kehidupan secara umum. Mereka juga meletakkan landasan

Universitas Sumatera Utara

bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri mereka sebagaimana
dilakukan anggota keluarga mereka. Akibatnya mereka belajar menyesuaikan
pada kehidupan atas dasar landasan yang diletakkan ketika lingkungan untuk
sebagian besar terbatas pada rumah.
Dengan meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya
dan orang dewasa di luar rumah, landasan awal ini, yang diletakkan di rumah,
mungkin berubah dan dimodifikasi, namun tidak pernah akan hilang sama sekali.
Sebaliknya, landasan ini mempengaruhi pola sikap dan perilaku di kemudian hari.
C. H. Cooley (dalam Daryanto, 1984: 64) berpendapat bahwa keluarga
sebagai kelompok primer, tiap anggotanya memiliki arti yang khas yang tak dapat
digantikan oleh anggota lain tanpa mengganggu emosi dan relasi di dalam
kelompok. Anggota-anggota sebuah keluarga, suami isteri dan anak-anaknya
mempunyai status dan peranan masing-masing, sehingga interaksi dan inter-relasi
mereka menunjukkan pola yang jelas dan tetap. Status anggota-anggota keluarga
ini sedemikian pentingnya, sehingga bila salah seorang anggota keluarga keluar
dari ikatan atau hubungan keluarga, maka anggota-anggota yang lain akan
merasakan sesuatu yang kurang menyenangkan dalam hatinya, di samping itu
pola relasi di dalam keluarga itu akan berubah. Tiap anggota keluarga merupakan
kepribadian yang khas dan diperlukan sama oleh anggota-anggota yang lain.
Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1986)
mengungkapkan empat pola komunikasi keluarga pada umumnya, yaitu:
1. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern)
Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara
merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga adalah
sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas
mengemukakan ide-ide, opini, dan kepercayaan. Komunikasi yang terjadi berjalan
dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi
pada hubungan interpersona lainnya. Dalam pola ini tidak ada pemimpin dan
pengikut, pemberi pendapat dan pencari pendapat, tiap orang memainkan peran
yang sama. Komunikasi memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui

Universitas Sumatera Utara

intensitas, kedalaman dan frekuensi pengenalan diri masing-masing, serta tingkah
laku nonverbal seperti sentuhan dan kontak mata yang seimbang jumlahnya. Tiap
orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan, baik yang
sederhana seperti film yang akan ditonton maupun yang penting seperti sekolah
mana yang akan dimasuki anak-anak, membeli rumah, dan sebagainya. Konflik
yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman. Masalah diamati dan dianalisa.
Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari yang lain tetapi
sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau perbedaan nilai dan
persepsi yang merupakan bagian dari hubungan jangka panjang. Bila model
komunikasi dari pola ini digambarkan, anak panah yang menandakan pesan
individual akan sama jumlahnya, yang berarti komunikasi berjalan secara timbal
balik dan seimbang.
2. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern)
Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini
tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya masing-masing.
Tiaporang dianggap sebagai ahli dalam wilayah yang berbeda. Sebagai contoh,
dalamkeluarga biasa, suami dipercaya untuk bekerja/mencari nafkah untuk
keluarga dan istri mengurus anak dan memasak. Dalam pola ini, bisa jadi semua
anggotanya memiliki pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni,
dan satu pihak tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak
dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri.
Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang atau kalah.
Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal bisnis, suami lah yang menang, dan
bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah yang menang. Namun tidak
ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki
wilayahnya sendiri-sendiri.
3. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern)
Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli
lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu orang yang

Universitas Sumatera Utara

mendominasi ini sering memegang kontrol. Dalam beberapa kasus, orang yang
mendominasi ini lebih cerdas atau berpengetahuan lebih, namun dalam kasus lain
orang itu secara fisik lebih menarikatau berpenghasilan lebih besar. Pihak yang
kurang menarik atau berpenghasilan lebih rendah berkompensasi dengan cara
membiarkan pihak yang lebih itu memenangkan tiap perdebatan dan mengambil
keputusan sendiri. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas,
memberi tahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas,
memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang
lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar
meyakinkan pihaklain akan kehebatanargumennya. Sebaliknya, pihak yang lain
bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam
mengambil keputusan.
4. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern)
Satu orang dipandang sebagai kekuasaan. Orang ini lebih bersifat
memerintah daripada berkomunikasi, memberi wejangan daripada mendengarkan
umpan balik orang lain. Pemegang kekuasaan tidak pernah meminta pendapat,
dan ia berhak atas keputusan akhir. Maka jarang terjadi perdebatan karena semua
sudah mengetahui siapa yang akan menang. Dengan jarang terjadi perdebatan
itulah maka bila ada konflik masing-masing tidak tahu bagaimana mencari solusi
bersama secara baik-baik. Mereka tidak tahu bagaimana mengeluarkan pendapat
atau mengungkapkan ketidaksetujuan secara benar, maka perdebatan akan
menyakiti pihak yang dimonopoli. Pihak yang dimonopoli meminta ijin dan
pendapat dari pemegang kuasa untuk mengambil keputusan, seperti halnya
hubungan orang tua ke anak. Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan
perannya tersebut dengan cara menyuruh,membimbing, dan menjaga pihak lain,
sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya
dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung
konsekuensi dari keputusan itu sama sekali.

Universitas Sumatera Utara

2.2.4 Komunikasi yang Efektif
2.2.4.1 Pengertian Komunikasi yang Efektif
Komunikasi efektif (effective communications) adalah komunikasi yang
tepat sasaran, berhasil guna, atau mencapai tujuan menyampaikan informasi (to
inform), menghibur (to entertain), atau membujuk (to persuade). Barbara Brown
dalam “What is Effective Communication?” di laman Live Strong menyebutkan,
komunikasi efektif itu melibatkan kejelasan, perkataan langsung, dan aktif
mendengarkan (clear, direct speech, active listening). Komunikasi adalah proses
berbagi informasi, pemikiran, dan perasaan antara orang-orang melalui
pembicaraan, tulisan, atau bahasa tubuh. Komunikasi dikatakan efektif jika
informasi, pemikiran, atau pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami
dengan baik sehingga menciptakan kesamaan persepsi, mengubah perilaku, atau
mendapatkan informasi (http://www.komunikasipraktis.com).
Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi paling efektif untuk
mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang. Oleh karena itulah,
komunikasi antarpribadi dipandang sebagai sebuah strategi dalam mencapai
tujuan, khususnya dalam merubah sikap, perilaku maupun watak seseorang. Ada
lima kualitas umum (dalam DeVito, 1997: 259) yang harus dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
1. Keterbukaan (openness)
Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi antarpribadi.
a. Komunikasi antarpribadi yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya
berinteraksi.
b. Sebaiknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri, mengungkapkan informasi
yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut untuk
diungkapkan.
c. Mengikuti bahwa perasaan dan pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik
anda dan bertanggung jawab atas hal tersebut.
2. Empati (empathy)
Kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain
pada suatu saat tertentu.

Universitas Sumatera Utara

3. Dukungan (supportiveness)
Hubungan antarpribadi yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap
mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif (2) spontan, bukan
strategi dan (3) professional, bukan sangat yakin.
4. Rasa positif (positiveness)
Sikap positif merupakan komunikasi antarpribadi yang terbina jika orang
memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri.
5. Kesetaraan (equality)
Kesetaraan merupakan komunikasi antarpribadi yang harus ada pengakuan secara
bernilai dan berharga, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
Salah satu yang paling kita lakukan dalam mengabaikan kesetaraan adalah pada
cara kita mengajukan pertanyaan.

Akan lebih baik lagi apabila dalam strategi itu diperhatikan komponenkomponen komunikasi dan faktor-faktor pendukung dan penghambat. Komponen
komunikasi efektif antara lain:
a. Encoding
Komunikasi efektif diawali dengan encoding atau penetapan kode atau simbol
yang memungkinkan pesan tersampaikan secara jelas dan dapat diterima serta
dipahami dengan baik oleh komunikan (penerima pesan).
b. Decoding
Merupakan komponen penting dalam komunikasi efektif, yaitu kemampuan
penerima memahami pesan yang diterimanya. Karena dalam komunikasi efektif
pemaham tentang audiens sangat penting guna menentukan metode penyampaian
dan gaya bahasa yang cocok.
c. Konteks (context)
Konteks komunikasi yaitu ruang, tempat, dan kepada siapa kita melakukan
komunikasi dan juga mengacu kepada level komunikasi. Komunikasi pribadi,
komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi massa.

Universitas Sumatera Utara

d. Bahasa tubuh (body language)
Bahasa tubuh dikenal juga dengan bahasa non verbal meliput postur, posisi tangan
dan lengan, kontak mata dan ekspresi mata. Gerakan anggota badan harus sesuai
dengan yang diucapkan dan bahasa tubuh terpenting adalah senyum dan kontak
mata.
e. Gangguan atau hambatan
Kemampuannya mengirim pesan efektif berpengaruh negatif begitu juga jika
komunikan dalam keadaan kecewa atau setuju dengan komunikator, mungkin dia
mendengar sesuatu yang berbeda.
f. Pikiran terbuka (be open minded)
Merupakan komponen penting dalam komunikasi efektif yang jangan terburu
menilai atau mengkritik ucapan orang lain menghargai pendapat atau pandangan
orang lain, juga menunjukkan empati dengan berusaha memahami situasi atau
masalah dari perspektif orang lain.
g. Mendengar aktif (active listening)
Menjadi pendengar yang baik dan aktif akan meningkatkan pemahaman atau
pemikiran orang lain.
h. Refleksi (reflection)
Meringkas pesan utama yang disampaikan orang lain dan mengulang yang
diucapkan orang lain sekaligus klarifikasi bahwa maksud perkataannya.
(http://www.komunikasipraktis.com)
Komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss
(dalam Rakhmat, 2004: 13-16) paling tidak menimbulkan lima hal: pengertian,
kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan.
a. Pengertian
Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud
oleh komunikator. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan
komunikasi primer (primary breakdown in communication). Perlu pemahaman
mengenai psikologi pesan dan psikologi komunikator untuk menghindari hal
tersebut.
b. Kesenangan

Universitas Sumatera Utara

Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan
membentuk pengertian. Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita
hangat, akrab, dan menyenangkan. Dalam hal ini kita perlu mempelajari psikologi
tentang sistem komunikasi interpersonal
c. Mempengaruhi sikap
Komunikasi untuk mempengaruhi orang lain yaitu komunikasi persuasif sebagai
proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang denganmenggunakan
manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya
sendiri.
d. Hubungan sosial yang baik
Komunikasi untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia adalah
makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Kebutuhan sosial adalah
kebutuhan

untuk

menumbuhkan

dan

mempertahankan

hubungan

yang

memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion),
pengendalian dan kekuasaan (control), dan cinta serta kasih sayang (affection).
e. Tindakan
Komunikasi untuk mempengaruhi sikap. Persuasi juga ditujukan untuk
melahirkan tindakan yang dihendaki. Menimbulkan tindakan, kita harus berhasil
lebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau
menumbuhkan hubungan yang baik.
Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling
penting karena untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil dahulu
menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan
hubungan yang baik. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi.
Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis
yang terlibat dalam proses komunikasi tetapi juga faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku manusia (Fajar, 2009: 9).
Fungsi dari komunikasi sangat berkaitan dengan satu sama lain meskipun
terdapat suatu fungsi yang dominan yang terbagi atas 4 bagian (Fajar, 2009: 1011), yaitu:
1. Komunikasi Sosial

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi sebagai komunikasi sosial sangat penting untuk membangun konsep
diri kita. Aktualisasi untuk kelangsungan hidup untuk memperoleh keberhasilan.
Orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia bisa dibuktikan akan
tersesat karena tidak dapat menata dirinya dalam satu lingkungan sosial.
Komunikasiyang memungkinkan mempelajari dan menerapkan strategi-strategi
adaptif atau situasi yang problematic.
2. Komunikasi Ekspresif
Sangat berkaitan dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang
dapat dilakukan baik sendirian atau dalam kelompok. Komunikasi tersebut
menjadi alat untuk menyampaikan perasaan-perasaan kita. Perasaan-perasaan
tersebut dapat diungkapkan melalui musik, lukisan, tarian.
3. Komunikasi Ritual
Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual yang
biasanya dilakukan secara kolektif, suatu komunitas sering melakukan upacaraupacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup yang disebut para
antropologis.
4. Komunikasi Instrumental
Komunikasi berfungsi sebagai instrument untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi
dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang.

2.2.4.2 Hambatan dalam Komunikasi Efektif
Tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi efektif. Bahkan beberapa
ahli komunikasi menyatakan bahwa tidak mungkinlah seseorang melakukan
komunikasi yang sebenar-benarnya efektif. Ada banyak hambatan yang bisa
merusak komunikasi berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan hambatan
komunikasi yang harus menjadi perhatian bagi komunikator kalau ingin sukses
komunikasinya (Efendy, 2003: 45-49).
1. Gangguan
a. Gangguan mekanik (mechanical, channel noise).
b. Gangguan semantik (semantik noise).

Universitas Sumatera Utara

2.

Kepentingan

3.

Motivasi terpendam

4.

Prasangka
Komunikasi disebut efektif apabila penerima menginterpestasikan pesan
yang diterimanya sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengirim. Kenyataannya,
sering kita gagal saling memahami. Sumber utama kesalahfahaman dalam
komunikasi adalah cara penerima menangkap makna suatu pesan berbeda
yangdimaksud oleh pengirim, karena pengirim gagal mengkomunikasikan
maksudnya dengan tepat. Kegagalan dalam komunikasi yang timbul karena
adanya kesenjanganantara apa yang sebenarnya dimaksud pengirim dengan apa
yang oleh penerima diduga dimaksud oleh pengirim, menurut Johnson (dalam
Supratiknya, 2009: 34)bersumber pada sejumlah faktor berikut:
1. Sumber-sumber hambatan yang bersifat emosional dan social atau cultural.
2. Sering kita mendengarkan dengan maksud sadar maupun tidak sadar untuk
memberikan penilaian dan menghakimi si pembicara.
3. Sering kita gagal menangkap maksud konotatif di balik ucapannya kendati kita
sepenuhnya tahu arti denotative kata-kata yang digunakan oleh pembicara.
4. Kesalahfahaman atau distorsi dalam berkomunikasi sering terjadi karena kita
tidak saling mempercayai.
Wilbur Schramm menampilkan apa yang disebut “The condition of
success in communication”, yakni kondisi yang harus dipenuhi jika kita
menginginkan agar pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki.
Berikut adalah kondisi yang ditampilkan oleh Wilbur Schramm (dalam Efendy,
2003: 41) yaitu:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik
perhatian komunikan.
2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang
sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama mengerti.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan
beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan yang tadi
yang layak bagi situasi kelompok di mana komunikan berada pada saat ia
digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.
Bagaimana mengirimkan pesan secara efektif? Menurut Johnson (dalam
Supratiknya, 2009: 35) ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, kita
harus mengusahakan agar pesan-pesan yang kita kirimkan mudah dipahami.
Kedua, sebagai pengirim kita harus memiliki kredibilitas di mata penerima.
Ketiga, kita harus berusaha mendapatkan umpan balik secara optimal tentang
pengaruh pesan kita itu dalam diri penerima.Dengan kata lain, kita harus memiliki
kredibilitas dan terampil mengirimkan pesan.
Menurut teori penilaian sosial terdapat tiga faktor yang sangat berperan
menentukan apakah suatu ide atau pernyataan akan masuk kedalam wilayah
penerimaan atau penolakan yaitu sebagai berikut. 1) Krediblitas narasumber. 2)
Ambiguitas pesan. 3) Pemikiran Dogmatis (Morrisan, 2010:28).

2.2.5 Remaja
2.2.5.1 Pengertian Remaja
Masa remaja yaitu beralihnya anak-anak menjadi dewasa. Masa remaja
ditandai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai
matang secara hukum. Awal masa remaja berlangsung kira-kira pada usia 13
sampai 16 tahun dan akhir masa remaja berawal pada usia 17 sampai 18 tahun
(Hurlock, 1998: 45).
Seringkali dengan gampang orang mendefinisikan remaja sebagai periode
transisi antara anak-anak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau jika
seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah
terangsang perasaannya dan sebagainya. Tetapi mendefinisikan remaja ternyata
tidak semudah itu (Sarwono, 1997: 2).
Menurut Piaget (dalam Ali dan Asrorim 2005: 90), secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia

Universitas Sumatera Utara

di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada pada tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah
hak. Integrasi dalam masyarakat mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih
berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang
mencolok, dan transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja. Ini
memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang
dewasa yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode
perkembangan ini.
Menurut Graville Stanley Hall (dalam Yusuf, 2004: 185), pada masa
remaja, remaja seolah-olah harus lahir kembali karena harus tumbuh dan
terbentuk sifat-sifat manusiawi yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Pada masa
ini terlihat pula adanya keadaan labil dan kegoncangan emosionalitas. Hall
berpendapat bahwa remaja merupakan masa “strum and drung”, yaitu
kegoncangan penderitaan, asmara, dan pemberontakan dengan otoritas orang
dewasa.
Menurut Monks (2002: 82) batas usia remaja adalah antara usia 12 sampai
dengan 21 tahun. Monks membagi batasan usia tersebut ke dalam 3 fase, yaitu:
1. Remaja awal

: 12-15 tahun

2. Remaja pertengahan : 15-18 tahun
3. Remaja akhir

: 18-21 tahun

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “storm and
stress” (badai dan tekanan), suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik. Meningginya keadaan emosi terutama karena
anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi
kondisi baru. Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan
tampaknya irrasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan
perilaku emosional (Hurlock, 1998: 67).
Masa remaja merupakan masa di mana emosi menjadi meningkat.
Intensitas emosi remaja biasanya terlihat tidak seimbang dengan keadaan mereka.
Seringnya remaja tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka dengan baik.

Universitas Sumatera Utara

Terkadang mereka menjadikan orangtua dan saudara sebagai sasaran kemarahan
atau perasaan mereka terhada

Dokumen yang terkait

Hubungan Komunikasi Orangtua dan Anak Serta Kontrol Diri Siswa dengan Perilaku Seks Pranikah di SMA Prayatna Medan

5 91 164

Intensi Melakukan Seks Pranikah pada Mahasiswa Ditinjau dari Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua-Anak

0 3 10

Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua terhadap Anak dalam Mensosialisasikan Pendidikan tentang Seks (Studi Deskriptif Kualitatif pada Siswa/Siswi SMA Swasta Eria Medan)

2 25 114

Gaya Komunikasi Orangtua dengan Perilaku Asertif (Studi Deskriptif Kualitatif Gaya Komunikasi Orangtua Dengan Perilaku Asertif Pada Siswa SMPN 2 Medan)

0 0 17

Gaya Komunikasi Orangtua dengan Perilaku Asertif (Studi Deskriptif Kualitatif Gaya Komunikasi Orangtua Dengan Perilaku Asertif Pada Siswa SMPN 2 Medan)

0 0 2

Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua terhadap Anak dalam Mensosialisasikan Pendidikan tentang Seks (Studi Deskriptif Kualitatif pada Siswa Siswi SMA Swasta Eria Medan)

0 0 15

Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua terhadap Anak dalam Mensosialisasikan Pendidikan tentang Seks (Studi Deskriptif Kualitatif pada Siswa Siswi SMA Swasta Eria Medan)

0 0 2

Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua terhadap Anak dalam Mensosialisasikan Pendidikan tentang Seks (Studi Deskriptif Kualitatif pada Siswa Siswi SMA Swasta Eria Medan)

0 0 7

Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua terhadap Anak dalam Mensosialisasikan Pendidikan tentang Seks (Studi Deskriptif Kualitatif pada Siswa Siswi SMA Swasta Eria Medan)

0 0 3

Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua terhadap Anak dalam Mensosialisasikan Pendidikan tentang Seks (Studi Deskriptif Kualitatif pada Siswa Siswi SMA Swasta Eria Medan)

0 0 2