KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN TARIF IMPOR BERAS

KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN TARIF IMPOR BERAS DI INDONESIA
I. Latar Belakang
Indonesia adalah negara konsumen beras terbesar ke tiga di dunia setelah Cina dan
India. Di samping factor besarnya jumlah penduduk, hal ini juga disebabkan oleh kenyataan
bahwa 95% penduduk Indonesia masih menggantungkan konsumsi utama pangannya pada
beras. Tingginya ketergantungan penduduk Indonesia terhadap beras mengakibatkan komodi
ini tidak hanya memiliki nilai strategis secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan politik
(Simbolon, 2005).
Komodi beras merupakan bahan pangan utama bagi masyarakat Indonesia sehingga
komodi ini menjadi komodi penting dalam pembangunan nasional. Arti penting beras dilihat
dari dua sisi yaitu : Pertama, sebagai pangan utama beras harus tersedia dalam jumlah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, sebagai sumber pendapatan dan
lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terutama masyarakat pedesaan
(Sapuan, 2000).
Konsumsi beras masyarakat Indonesia dapat dikatakan tinggi karena setiap orang di
Indonesia mengkonsumsi beras setiap tahun sebesar 139,5 kg. Konsumsi beras Indonesia
lebih besar dua kali lipat dari konsumsi beras dunia pada angka 60 kg per tahun (EOCD;
2013; Christianto, E., 2013)
Begitu pentingnya beras, maka negara-negara berkembang terutama Indonesia telah
menjadikan swasembada beras sebagai tujuan kebijakan nasional. Dalam sejarah, Indonesia
pernah menjadi pelopor dalam revolusi hijau yang mendorong peningkatan produksi pangan

terutama padi pada tahun 1960-an. Mulai saat itu tingkat kesejahteraan penduduk meningkat
dan penduduk miskin berkurang secara signifikan. Tingkat ketahanan pangan pun terus
meningkat yang dicirikan dengan terjadinya surplus beras sehingga negara mencapai
swasembada pangan pada tahun 1984 (Riyadi, 2002;).
Garis kebijakan perberasan Indonesia adalah mengupayakan pemenuhan kebutuhan
beras domestik dari produksi dalam negeri atau swasembada. Dengan garis kebijakan
tersebut, kebijakan impor ditempatkan sebagai residual atau menutupi defisit kebutuhan beras
dalam negeri (Irawan, 2001). Oleh karena itu, penting untuk diketahui posisi neraca beras
nasional. Sebagai komoditas yang strategis, produksi beras domestik yang tersedia untuk

1

dikonsumsi merupakan tolak ukur bagi ketersediaan bahan pangan pokok bagi masyarakat
Indonesia.
Untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani,
pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kebijakan perberasan. Pada periode sebelum
krisis (1970-1996), pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan harga dasar gabah
(HDG), kebijakan subsidi benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi kredit usaha tani
padi, manajemen stok dan monopoli impor oleh bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) untuk pengadaan gabah oleh Bulog, subsidi untuk Bulog dalam melakukan

operasi pasar yaitu pada saat harga beras tinggi Bulog harus menjual dengan harga murah, dan
kebijakan tarif impor beras.
Pada periode krisis (1997-1999), pemerintah menerapkan kebijakan transisi yaitu
menghapus semua kebijakan kecuali kebijakan harga dasar gabah dan melakukan liberalisasi
impor beras dengan mencabut monopoli impor yang dipegang oleh Bulog dan menetapkan
tarif bea masuk beras sebesar nol persen. Pada periode pasca krisis (2000-2004), pemerintah
kembali menerapkan kebijakan harga dasar pembelian gabah oleh pemerintah (HDPP), dan
kebijakan tarif impor beras sejak 7 Januari 2004 sampai dengan saat ini. Peningkatan jumlah
penduduk dan tingkat konsumsi rata-rata per kapita beras mengakibatkan konsumsi beras
sering kali melebihi produksi. Sampai saat ini swasembada beras masih tetap diupayakan dan
menjadi salah satu prioritas kebijakan pemerintah meskipun konsepsi swasembada telah
berubah dengan membuka kemungkinan impor sampai batas tertentu yaitu terutama pada saat
kekeringan, dan melakukan ekspor pada saat surplus.
Adanya kecenderungan melakukan impor beras pada saat konsumsi beras lebih besar
dibanding produksi, perlu mendapat perhatian dari pemerintah agar supply beras dalam negeri
tidak meningkat yang akan berakibat pada penurunan harga beras yang dapat menurunkan
pendapatan petani. Oleh karena itu pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan tarif impor
beras untuk melindungi produsen beras dalam hal ini petani. Murahnya harga beras akan
menguntungkan konsumen akan tetapi sebaliknya produsen (petani) akan dirugikan. Oleh
karena itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bea masuk impor beras untuk melindungi

produsen (petani) dari gejolak pasar dunia. Tarif bea masuk berdasarkan atas Peraturan
Menteri Keuangan No. 180/ PMK.011/2007 sebesar Rp 450 per kg.

2

Ketersediaan beras sangat penting bagi penduduk Indonesia, karena beras merupakan
makanan pokok penduduk Indonesia. Dikalangan masyarakat ada istilah yang berkembang
bahwa belum makan kalau belum makan nasi (beras), hal ini membuktikan betapa pentingnya
beras bagi penduduk Indonesia. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk akan
meningkatkan permintaan terhadap beras. Permasalahan timbul dengan terjadinya
peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang tidak diikuti dengan peningkatan produksi
beras di Indonesia.
Beberapa tahun terakhir produksi beras mengalami peningkatan, hal disebabkan antara
lain karena tingkat produktivitas lahan akibat menggunakan teknologi produksi yang semakin
membaik. Akan tetapi peningkatan produksi beras tersebut, belum dapat memenuhi
kebutuhan akan konsumsi beras masyarakat yang juga semakin meningkat disebabkan karena
pertambahan jumlah penduduk. Oleh karena itu impor beras diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dalam negeri terutama mengandalkan kemampuan produksi domestic
(Amrullah, S. 2005).
Bagi Indonesia, rumusan di atas merupakan definisi ketahanan pangan yang

diformulasikan dalam Undang - undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Untuk
implementasinya, GBHN 1999-2004 mengarahkan agar ketahanan pangan ini dicapai dengan
memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal; serta memperhatikan
kesejahteraan para produsennya, yang pada umumnya adalah para petani, peternak dan
nelayan kecil.
II. Tujuan dan Sasaran Kebijakan Impor Beras
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 06/MDAG/PER/2/2012 tentang ketentuan impor dan ekspor beras menyebutkan bahwa untuk
menjaga ketersediaan beras nasional, mempertahankan kondisi perberasan nasional yang
kondusif saat ini, dan menciptakan stabilitas ekonomi nasional, maka perlu diambil kebijakan
terkait pengadaan beras khususnya yang berasal dari luar negeri.
Kebijakan Pemerintah tersebut mengundang pro dan kontra. Di satu pihak
dikemukakan bahwa impor beras harus dilakukan sebagai upaya pengamanan pangan dan di
pihak lain impor beras tersebut ditakutkan akan menghancurkan keberadaan para petani beras
nasional. Tindakan mengimpor, dan juga mengekspor, dalam kamus ekonomi makro
sebenarnya adalah hal yang biasa. Jika kebutuhan konsumsi belum dapat dipenuhi dari hasil
3

produksi dalam negeri, artinya terjadi excess demand, maka cara pemenuhannya adalah
dengan melakukan impor. Dan sebaliknya jika produksi melebihi konsumsi, yakni terjadi
excess suplly maka suatu Negara bisa melakukan ekspor.


Adanya kebijakan pemerintah mengimpor beras dengan sendirinya memojokan petani
di wilayah yang surplus. Para petani merasa bahwa pemerintah tidak berpihak pada
kepentingan petani kecil. Sebab dengan impor beras itu menyebabkan harga dasar gabah tetap
rendah. Padahal petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia selain telah banyka
berjasa bagi negara juga selalu menjadi pangkal dan tujuan produksi pangan. Latar belakang
dilakukannya impor beras oleh pemerintah adalah karena beberapa faktor. Di antaranya
karena harga beras dari luar negeri relatif lebih murah dan lebih bermutu daripada beras dari
dalam negeri. Namun hal ini sangatlah tidak baik, karena dapat mematikan pasaran produk
dalam negeri.
Keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras menuai kritikan dan penolakan
dari berbagai kalangan di daerah, mulai dari petani, LSM, mahasiswa dan tanpa terkecuali
juga dari aparatur Negara. Mereka yang menolak, khawatir impor beras akan semakin
menenggelamkan kehidupan petani yang terpuruk. Di sisi lain, hal itu menunjukkan tidak
adanya program pembangunan yang konkret terhadap sektor pangan (Tempo,2013).
Adanya kebijakan impor beras tersebut, maka untuk melindungi produsen dalam
negeri (petani), memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan tarif impor beras. Tarif
impor beras yang ditetapkan berdaskan Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.011/2007
yaitu sebesar Rp 450 per kg.
Untuk melindungi petani dari kejatuhan harga gabah, Pemerintah mengambil

kebijakan dengan menyediakan pasar alternatif (alternative market) bagi gabah petani.
Kebijakan pasar alternatif tersebut konsisten dengan kebijakan pengadaan gabah/beras,
dimana pemerintah menugaskan Perum Bulog selaku pelaksana dari kebijakan tersebut.
Dewasa ini, kebijakan pengadaan tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan beras di
dalam Program Beras untuk Masyarakat Miskin (Program Raskin) dan Cadangan Beras
Pemerintah (CBP).
Dalam pengadaan beras/gabah dalam negeri, Perum Bulog diharuskan menyerap beras
dari petani dengan tingkat harga tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, yang disebut
dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Secara singkat, Harga Pembelian Pemerintah
4

(HPP) dapat didefinisikan sebagai harga pembelian gabah/beras, baik di tingkat petani
maupun di tingkat penggilingan, oleh Pemerintah berdasarkan peraturan yang terkait dengan
kebijakan perberasan nasional. Kebijakan HPP tersebut diharapkan dapat melindungi petani
untuk tetap mendapatkan tingkat harga yang menguntungkan. Lebih lanjut, keberadaan HPP
diharapkan dapat menjadi insentif bagi petani untuk tetap memproduksi bahan pangan
(khususnya beras) di dalam mendukung terwujudnya ketahanan pangan nasional. Sementara
itu, secara tidak langsung penerapan kebijakan HPP dapat mendorong dan memfasilitasi
petani di dalam penggunaan benih padi unggul bersertifikat, pupuk anorganik dan organik
secara berimbang, serta teknologi pascapanen padi yang lebih tepat. Kebijakan HPP diarahkan

sepenuhnya bagi petani produsen gabah/beras, sehingga diharapkan penerima manfaat utama
dari pelaksanaan kebijakan HPP adalah petani padi.
III.

Kebijakan Pemberlakuan Tarif Impor beras Indonesia
Terpenuhinya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu, aman, merata, dan

terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama dalam pembangunan
ekonomi setiap negara di dunia, apakah itu negara produsen dan net eksportir maupun
pengimpor pangan. Bagi negara industri yang miskin sumber daya pertanian seperti
Singapura, sasaran tersebut dapat dipenuhi dengan meningkatkan daya beli rakyat dan
kemampuan ekonomi negaranya. Bagi sebagian besar negara berkembang, pemenuhan
kebutuhan pangan itu terutama mengandalkan kemampuan produksi domestik (Amrullah, S.
2005).
Dalam upaya menstimulasi pertumbuhan produksi komoditas pertanian domestic
pemerintah menerapkan kebijakan berlingkup makro dan mikro secara terpadu. Kebijakan
makro diarahkan untuk menciptakan kondisi kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya
produksi pangan, kelancaran distribusi dan meningkatkan akses masyarakat untuk
memperoleh pangan yang cukup. Dari sisi mikro, kebijakan diarahkan untuk mewujudkan
peningkatan produktivitas, efisiensi, pemerataan pendapatan dan peningkatan daya saing

(Rachmat et al., 2001).
Untuk tata niaga beras, penerapan instrument kebijakan bea masuk impor dipandang
sangat relevan untuk merangsang petani berproduksi. Penetapan bea masuk impor perlu
dirancang secara hati – hati dan realistis sehingga tidak memberatkan konsumen, namun
masih tetap memberikan insentif bagi petani untuk berproduksi. Bea masuk impor ditetapkan
5

mengacu dan antisipatif terhadap perubahan harga beras dunia dan kurs rupiah sehingga dapat
merefleksikan kekuatan permintaan dan penawaran domestic. Disamping itu, kebijakan
lainnya yang dipandang penting adalah kebijakan harga dasar/harga pengadaan (procurement
price). Kombinasi tarif impor dan penetapan harga dasar/harga pengadaan gabah dipandang

efektif dalam upaya mengantisipasi menurunnya harga beras impor (Rachmat et al., 2001).
Kebijakan perberasan

tersebut diatur melalui Inpres Nomor 9 tahun 2002. Inpres

tersebut sebenarnya merupakan penyempurnaan dari Inpres Nomor 9 tahun 2001, yang
mengatur tentang kebijakan perberasan secara komprehensif. Perubahan pada Inpres Nomor 9
Tahun 2002 dan terakhir adalah Inpres No.13/2005 yang berlaku 1 Januari 2006. Salah satu

ketentuan yang diatur di sana adalah penetapan impor dan ekspor beras dalam kerangka
menjaga kepentingan petani dan konsumen; serta impor manakala ketersediaan beras dalam
negeri tidak mencukupi. Ketentuan ini bermakna bahwa, perlindungan terhadap petani
diutamakan. Rasionalnya adalah karena harga beras murah di pasar dunia tidak merefleksikan
tingkat efisiensi, namun telah terdistorsi oleh berbagai bantuan dan subsidi. Hasil penelitian
Husein Sawit dan Rusastra (2005) memperlihatkan bahwa hampir 80% pendapatan petani
padi di negara kaya kelompok OECD misalnya, berasal dari bantuan pemerintah. Oleh karena
itu, adalah tidak adil buat petani padi/beras, yang sebagian besar petani dengan lahan yang
sempit untuk bersaing dalam dunia perdagangan yang amat tidak adil itu.
Perlindungan dari serbuan impor, tidak terkecuali beras dapat ditempuh dengan dua cara
yaitu hambatan tarif (tariff Barrier; TB) dan hambatan bukan tarif (non tariff Barrier; NTB).
Instrumen yang paling primitif dalam NTB adalah pelarangan impor atau pelarangan ekspor.
Namun, ada juga yang menempuh kebijakan monopoli dan penetapan kuota impor untuk
mengelola impor/ ekspor suatu produk. Hambatan tarif dianggap paling transparan, sehingga
semua hambatan non tarif wajib dihapus dan dikonversikan ke dalam hambatan tarif sesuai
dengan ketentuan perdagangan multilateral World Trade Organization (WTO). Indonesia
telah menotifi kasikan tarif beras di WTO sebesar 180% dan diturunkan menjadi 160% untuk
2004, membuka pasar minimum (minimum market access) sebesar 70 ribu ton/tahun dengan
tingkat tarif dalam kuota (in-quota tariff ) 90%.
Mulai Januari 2000, pemerintah menetapkan tarif spesifik sebesar Rp 430/kg atau setara

dengan 30% advalorem. Impor dikontrol ketat, misalnya harus melalui jalur merah guna
mencegah penyelundupan, dan terakhir adalah tarif bea masuk berdasarkan atas Peraturan
6

Menteri Keuangan No. 93/PMK.011/2007 sebesar Rp 450 per kg. melindungi produsen
maupun konsumen domestik berupa kebijakan tarif, kuota dan monopoli impor untuk kasus
negara pengimpor dalam upaya melindungi atau subsidi ekspor untuk Negara pengekspor.
Kebijakan ini umumnya berdampak terhadap konsumen, produsen dan pemerintah (Tweeten,
L. 1989; Pindiyck, R.S., dan D.L. Rubinfeld. 2007).
Selama tahun 2004-2011 telah terjadi sebanyak 8 kali perubahan kebijakan perberasan
yang ditetapkan melalui berbagai Inpres. Nomor-nomor Inpres dan masing-masing alasan
diterbitkannya Inpres tersebut adalah sebagai berikut:


Inpres No. 2/2005 yang diterbitkan pada bulan April 2005 dilatarbelakangi oleh
adanya kebijakan penyesuaian harga BBM (terutama solar) yang berpengaruh cukup



kuat terhadap kinerja sektor pertanian.

Inpres No. 13/2005 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2006 bertujuan untuk
mempertahankan profitabilitas usahatani padi sebesar 30%, sejalan dengan



kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM 124%.



gabah/beras pada akhir tahun 2006 sampai 2007.

Inpres No. 3/2007 dimaksudkan untuk menanggulangi ketidakstabilan harga

Inpres No. 1/2008 bertujuan untuk mengantisipasi tingginya harga beras dunia
sebagai akibat dari berbagai masalah di negara-negara produsen beras seperti



bencana alam, disamping tingginya harga minyak mentah dunia.
Inpres No. 8/2008 diterbitkan karena harga gabah/beras sudah berada jauh di atas
HPP yang menyebabkan Bulog menemui kesulitan dalam melakukan pengadaan



beras dari dalam negeri.



APBN untuk subsidi pupuk turun.

Inpres No. 7/2009 (kenaikan HPP) dilatarbelakangi oleh kondisi dimana alokasi

Inpres No. 8/2011 tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan yang dikelola oleh
Pemerintah dalam menghadapi kondisi iklim ekstrim, didasari oleh kesulitan Bulog
dalam melaksanakan pengadaan beras dari dalam negeri karena harga gabah/beras



berada yang jauh di atas HPP sehingga cadangan beras pemerintah terlalu rendah.
Pada tahun 2015 presiden Joko Widodo juga mengeluarkan Inpres No 5/2015
tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah.

7

3.1 Institusi Pelaksana Kebijakan
Berdasarkan peraturan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP), yaitu Inpres No. 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan,
lembaga yang terkait dengan kebijakan perberasan nasional secara umum dan
pelaksanaan kebijakan HPP di dalam pengadaan beras dan Beras untuk Masyarakat
Miskin (Raskin) secara khusus adalah: (1) Kementerian/Lembaga di tingkat pusat seperti
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan,
dan Menteri Keuangan; (2) Gubernur, Bupati, dan Walikota di tingkat daerah; dan (3)
BUMN, khususnya Perum Bulog. Di dalam pelaksanaannya, Perum Bulog bertugas
sebagai: (1) Pelaksana pembelian gabah/beras secara nasional; (2) Pelaksana penyediaan
dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta
penyediaan dan penyaluran beras untuk menjaga stabilitas harga beras, menanggulangi
keadaan darurat, bencana, dan rawan pangan; dan (3) Pelaksana pengelolaan Cadangan
Beras Pemerintah. Namun demikian, pembeliangabah/beras oleh Pemerintah di daerah,
selain dilakukan oleh Perum Bulog, dapat pula dilakukan oleh Badan Pemerintah atau
Badan Usaha di bidang pangan. Demikian pula untuk pengadaan dan pengelolaan
cadangan beras oleh Pemerintah di daerah dapat dilakukan oleh Badan Pemerintah atau
Badan Usaha di bidang pangan.
Dalam pengadaan beras dari dalam negeri, Bulog bekerjasama dengan Mitra
Kerja. Salah satu Mitra Kerja tersebut adalah Usaha Penggilingan Padi. Persyaratan
sebuah usaha penggilingan padi untuk menjadi mitra Bulog adalah: (1) Mempunyai lantai
jemur sendiri; (2) Mempunyai izin usaha lengkap; (3) Mempunyai tempat penggilingan
dan gudang; (4) Memberikan jaminan pengadaan dan karung; dan (5) Menyimpan uang
di Bulog sebagai jaminan kontrak kerja pengadaan gabah beras. Besarnya jaminan uang
di Bulog adalah 98,5% dari nilai setoran gabah pertama ke Bulog (1,5% diberikan ke
Mitra). Setelah itu, pada transaksi berikutnya, kedua ketiga dan seterusnya, 100% nilai
setoran gabah diberikan kepada Mitra, dan tidak dipotong lagi. Setelah kontrak putus atau
berakhir, uang jaminan dikembalikan. Sesuai dengan Pedoman Umum Pengadaan
Gabah/Beras Dalam Negeri Tahun 2009 di Lingkungan Perusahaan Umum (Perum)
Bulog dinyatakan bahwa pengadaan gabah dan beras pada wilayah kerja, yang dalam hal
ini adalah Sub Divisi Regional (Divre) Perum Bulog Maros (Sulawesi Selatan), dilakukan
8

melalui tiga saluran yaitu: (1) Mitra kerja pengadaan gabah dan beras dala negeri yang
terdiri dari koperasi, non koperasi dan lembaga petani yang berbadan hukum; (2) Unit
pengelolaan gabah beras (UPGB); dan (3) Satuan Tugas pengadaan gabah dalam negeri
(Satgas ADA DN). Para mitra kerja ini dalam memenuhi kuota penyetoran gabah ke
gudang Dolog yang telah disepakati dengan pihak Dolog diharuskan memenuhi kualitas
gabah sesuai dengan Inpres Perberasan No. 7/2009 yaitu : kadar air maksimum 14% dan
kadar hampa/kadar kotoran maksimum 3%.. Demikian pula dengan penyetoran beras
yang harus sesuai dengan ketentuan Inpres Perberasan.
Unit Pengelolaan Gabah Beras (UPGB) adalah unit usaha yang mendukung
kegiatan pelayanan publik dan pengembangan usaha Perum Bulog. UPGB melakukan
pembelian gabah langsung ke petani atau ke pedagang dengan menggunakan patokan
harga pasar yang berlaku pada saat transaksi. Jadi pembelian gabah oleh UPGB tidak
terikat Inpres Perberasan. Dalam melaksanakan kegiatannya, UPGB dibekali dengan
fasilitas pengeringan dan mesin penggilingan gabah-beras sehingga dapat meningkatkan
kualitas gabah yang dibeli dari petani. Setelah gabah memenuhi kualitas sesuai dengan
ketentuan dalam Inpres Perberasan, UPGB melakukan penjualan gabah (GKG) ke Dolog
dan menerima harga juga sesuai ketentuan Inpres.
Satuan Tugas Pengadaan Beras Dalam Negeri (Satgas ADA DN) dapat
dibentuk oleh Kepala Divisi Regional (Kadivre) atau Kepala Sub Divisi Regional
(Kasubdivre) dalam rangka pengamanan harga di tingkat petani dan pencapaian prognosa
pengadaan dalam negeri dengan mempertimbangkan kondisi obyektif di masing-masing
wilayah kerja. Jadi Satgas ADA DN (Satgas Sub Divre) ini tidak selalu ada pada tiap
musim panen, tergantung pada kebutuhan. Dalam pelaksanaan tugasnya, Satgas Sub
Divre melakukan pembelian gabah langsung ke petani. Harga beli gabah petani oleh
Satgas Sub Divre sesuai dengan kualitas gabah dan berpedoman pada Tabel Rafaksi yang
diterbitkan oleh Kementerian Pertanian. Satgas Sub Divre ini kemudian melakukan
penyesuaian kualitas gabah agar sesuai kualitas penjualan ke gudang Dolog. Usaha yang
dilakukan Satgas biasanya adalah melakukan penyewaan lantai jemur untuk melakukan
penjemuran, atau dapat menyewa blower, atausehingga harus bekerjasama dengan pihak
pengusaha penggilingan gabah-beras. Selain gabah, Satgas Sub Divre juga dapat membeli
beras dari pedagang. Setelah memenuhi kualitas gabah Dolog, Satgas dapat melakukan
9

penjualan ke gudang Dolog seperti pedagang rekanan. Kontrak mitra dengan Bulog
dalam penyetoran gabah dapat terdiri dari 2 jenis yaitu kontrak terikat dan kontrak lepas.
Kontrak terikat adalah mitra menyetor gabah sesuai persyaratan ke Bulog dan kemudian
seterusnya bertanggungjawab menggiling gabahnya menjadi beras dengan rendemen
63,5%. Dalam prakteknya, rendemen bisa mencapai 67- 69%. Jika rendemen melebihi
angka tersebut maka kelebihannya menjadi keuntungan mitra atau sebagai ongkos giling.
Sementara pada kontrak lepas, mitra hanya menyetor gabah tanpa dibebani
tanggungjawab menggiling gabah menjadi beras. Selain itu, ada juga kontrak giling
dengan mitra, dimana mitra hanya dibebani tanggungjawab menggiling gabah dari
gudang Bulog tetapi tidak menyetorkan gabah ke Bulog (disebut sebagai Unit Pengolahan
Gabah Beras/UPGB Bulog).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa mitra kerja Bulog dapat membeli
gabah tanpa ketentuan apapun (bebas) dengan harga berapapun dan kualitas apapun.
Sementara penyaluran ke Bulog harus memenuhi ketentuan pemerintah secara ketat
mengenai harga dan kualitas gabah dan beras. Perlu dicermati bahwa mesin-mesin
pengering dan penggilingan mempunyai kemampuan untuk mengubah gabah dengan
berbagai kualitas untuk mencapai persyaratan kualitas beras untuk penyetoran ke gudang
Bulog. Penentuan kualitas gabah yang ditransaksikan oleh petani dan pedagang pada
umumnya diukur secara visual tanpa menggunakan alat. Dengan adanya perbedaan
kualitas berdasarkan persepsi petani dan pedagang, terkesan ada komunikasi yang tidak
simetris dalam bertransaksi yang cenderung merugikan petani.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.05/Permentan/PP.200/2/2011
tentang pedoman HPP untuk gabah dan beras di luar kualitas yang disyaratkan, Bulog
dapat membeli gabah dan beras yang kualitasnya berbeda dari peraturan sebelumnya
(kualitas HPP). Gabah dapat dibeli hingga kategori diluar kualitas 3 yang berkadar air 2630% dengan harga tertentu. Dengan kata lain, Bulog dapat membeli gabah dengan
kualitas gabah kering panen di sawah karena gabah ini mempuyai kadar air tersebut.
Demikian pula dengan beras, Bulog dapat membeli beras berkualitas rendah yang
harganya lebih rendah daripada beras berkualitas medium (HPP). Selain itu, Bulog juga
dapat membeli beras berkualitas premium atau di atas kualitas beras medium. Di

10

Kabupaten Maros misalnya, penyerapan gabah dan beras di luar kualitas ini sudah
dilakukan walaupun jumlahnya masih sangat sedikit.
Inpres No. 8/2011 tanggal 15 April tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan
Beras yang Dikelola oleh Pemerintah dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim
menginstruksikan antara lain: (1) Pembelian gabah/beras oleh Perum Bulog harus
memperhatikan HPP; dan (2) Dalam hal harga pasar gabah/beras lebih tinggi daripada
HPP, pembelian gabah/beras dapat dilakukan oleh Perum Bulog pada harga yang lebih
tinggi daripada HPP dengan memperhatikan harga pasar yang dicatat oleh BPS.
3.2 Mekanisme Pengadaan dan Penyaluran Beras Bersubsidi
Pemerintah menugaskan Perum Bulog untuk melakukan pengadaan beras dalam
negeri. Dengan adanya penugasan dari Pemerintah tersebut, Perum Bulog melakukan
pembelian gabah, baik langsung dari petani dengan harga HPP maupun melalui Mitra
Kerjanya. Selanjutnya Perum Bulog melakukan penyaluran beras untuk masyarakat miskin
(Raskin) dengan Harga Tebus Raskin. Pengadaan beras dari dalam negeri dilaksanakan
berdasarkan prognosa pengadaan pada tahun berjalan. Prognosa tersebut didasarkan pada
hasil penghitungan kebutuhan Perum Bulog terhadap stok beras untuk keperluan
penyaluran serta stok akhir yang diperlukan. Dalam proses penyusunannya, prognosa
dibuat secara berjenjang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi obyektif daerah
masing-masing. Namun apabila terjadi perubahan di lapangan, prognosa tersebut dapat
direvisi.
IV. Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras Di Indonesia
Pada tahun 2010 produksi beras dalam negeri sebesar 37.854.537 ton sementara
konsumsi beras dalam negeri sebesar 38.550.000 ton. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
masyarakat atau kebutuhan nasional akan beras, maka pemerintah melakukan impor beras
sebesar 695.463 ton. Beberapa dampak yang terjadi apabila pemerintah menerapkan
kebijakan impor beras. Bagi Indonesia, dengan semakin membanjirnya beras impor akan
mengakibatkan petani semakin tidak memiliki daya saing baik dari sisi harga maupun mutu
sehingga berakibat pada melemahnya daya beli masyarakat terutama dari pihak petani.
Dengan melemahnya daya beli pada akhirnya kesejahteraan petani pun semakin tidak
membaik.

11

Dampak yang terasa bagi kaum petani adalah dengan adanya kebijakan impor
beras, maka secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada petani
Indonesia. Dampak secara langsung yaitu pasokan padi yang telah di panen petani akan
semakin berkurang karena dengan adanya impor beras maka pemerintah cenderung
memproyeksikan beras impor. Dengan semakin berkurangnya pasokan beras dari dalam
negeri menyebabkan harga jual gabah semakin turun. Kemungkinan yang paling buruk yang
akan terjadi adalah petani akan kehilangan mata pencahariannya.
Dampak bagi pemerintah adalah Kebijakan ini dikhawatirkan akan mengurangi
kredibilitas Negara Indonesia sebagai Negara agraris, dan yang akan sangat mengancam
yaitu dengan adanya impor beras secara terus-menerus akan membuat Indonesia semakin
jauh dari keinginan untuk mewujudkan ketahanan pangan (Media Kompas, 2013). Selain itu,
dampak yang diterima pemerintah adalah pengeluaran devisa negara yang cukup besar untuk
melaksanakan impor.
Kebijakan tarif impor beras selain berdampak pada produsen juga berdampak pada
konsumen. Terjadinya Peningkatan konsumsi beras dan kesejahteraan konsumen disebabkan
karena, dengan turunnya tarif impor beras menyebabkan harga beras dalam negeri akan
lebih murah, sehingga konsumen dalam negeri akan menerima harga yang lebih rendah dari
harga sebelumnya.
Salah satu sumber penerimaan pemerintah antara lain berasal dari tarif impor. Pada
kajian dengan penerapan tarif impor beras sebesar Rp 450 per kg pada tahun 2010.
Pemerintah mengimpor beras sebesar 695.463 ton, maka tentunya menambah penerimaan
pemerintah sebesar Rp. 312.958.350.000, pada tahun 2010, Sementara itu, apabila
pemerintah menurunkan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp. 200 per kg
(skenario 1), maka penerimaan pemerintah dari tariff impor beras turun dari Rp.
312.958.350.000,- menjadi Rp. 166.601.200.000,- atau sebesar 46,76 persen. Penurunan
penerimaan pemerintah ini disebabkan karena turunnya tarif impor beras dari Rp.450 per kg
menjadi Rp. 200 per kilo gram, meskipun volume impor beras meningkat dari 695.463 ton
menjadi 833.006 ton. Sebaliknya apabila pemerintah menaikkan tarif impor beras dari Rp.
450 per kg menjadi Rp. 700 per kg (skenario 2), maka penerimaan pemerintah naik dari
Rp.312.958.350.000,- menjadi Rp. 327.696.208.000,-. Kenaikan penerimaan pemerintah ini
disebabkan karena tinggi tarif impor beras yang ditetapkan, walaupun impor dan konsumsi
12

beras dalam negeri menurun sebesar 104.659 ton yang disebabkan karena naiknya harga
beras dalam negeri.
Uraian di atas menunjukkan bahwa apabila tujuan pemerintah mengenakan tarif
impor beras untuk menambah penerimaan negara, maka pemerintah selayaknya lebih berhati
-hati , dan memperhitungkan dengan baik khususnya dampak tarif terhadap permintaan dan
penawaran beras di dalam negeri. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa apabila pemerintah
menaikkan tarif impor beras, maka penerimaan pemerintah dari tarif impor beras akan
meningkat, disebabkan naiknya tarif impor namun karena permintaan dalam negeri
berkurang sebagai akibat kenaikan harga di dalam negeri yang memaksa konsumen untuk
mengurangi konsumsinya dan produksi beras dalam negeri meningkat, sehingga kenaikan
penerimaan pemerintah atas kenaikan tarif tersebut relatif sangat kecil. Sebaliknya apabila
pemerintah menurunkan tarif impor beras, maka penerimaan pemerintah menurun,
disebabkan besarnya penurunan tarif impor tidak sebanding dengan peningkatan permintaan
beras dan penurunan volume produksi dalam negeri. Dengan demikian peningkatan tarif
impor tidak menjamin penerimaan pemerintah meningkat, dan sebaliknya penurunan tarif
juga tidak menjamin turunnya penerimaan pemerintah dari tariff impor beras.
Dampak kebijakan pemerintah dapat diukur dari kesejahteraan masyarakat atau
perekonomian secara keseluruhan (Total Net Walfare Effect). Ukuran ini sudah
memperhitungkan perubahan-perubahan yang terjadi pada surplus produsen, surplus
konsumen dan penerimaan pemerintah.
V. Kelemahan dan Kekuatan Kebijakan Pemberlakuan Tarif Impor Beras Di Indonesia
Temuan Hadi dan Wiryono (2005) yang mengkaji dampak kebijakan proteksi
terhadap ekonomi beras di Indonesia menemukan bahwa sistem perdagangan yang makin
liberal memberikan surplus ekonomi nasional yang makin besar, hal tersebut berarti ekonomi
nasional makin efisien. Namun dari segi distribusi, produsen menerima surplus yang jauh
lebih kecil daripada konsumen, yang berarti aspek pemerataan manfaat dari kebijakan
pemerintah tidak terwujud. Mengingat bahwa petani padi pada umumnya miskin, maka
keberpihakan pemerintah kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari
kemiskinan. Dengan alasan ini dan alasan lain seperti penyediaan lapangan kerja dan
pembangunan perdesaan, maka kebijakan yang bersifat protektif masih tetap diperlukan, baik

13

dengan pengenaan tarif impor beras, maupun pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor
beras.
Sementara temuan Rachman et al (2008) yang mengkaji tentang dampak liberalisasi
perdagangan terhadap kinerja ketahanan pangan nasional yang mengatakan bahwa
peningkatan tarif impor beras yang disertai dengan nilai tukar yang terdepresiasi relatif
tinggi, akan menyebabkan harga beras di tingkat pedagang besar dan produsen meningkat,
selanjutnya jumlah penawaran meningkat dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen
bertambah. Liberalisasi perdagangan (tariff impor dihapuskan) disertai dengan penurunan
harga beras dunia akan menyebabkan harga beras di tingkat pedagang besar dan produsen
menurun. Akibatnya jumlah penawaran menurun dan dampaknya terhadap kesejahteraan
produsen berkurang. Besarnya perubahan penerimaan pemerintah tidak hanya ditentukan
oleh perubahan tarif, tetapi juga oleh faktor lain, seperti elastisitas transmisi harga dan
elastisitas permintaan dan penawaran.
VI. Kesimpulan Dan Rekomendasi
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Dalam kemandirian pangan, ada kebijakan jangka menengah dan panjang yang
secara sistematis harus dilakukan pemerintah. Untuk meningkatkan produksi beras,
usahatani beras harus menguntungkan, sehingga ada insentif bagi petani untuk
berproduksi. Untuk menjaga harga beras tetap terkendali, produksi nasional harus tetap
seimbang dengan konsumsi nasional. Terjadinya peningkatan impor hanya akan memicu
kenaikan harga beras internasional. Karena itu dalam jangka panjang semakin besar
ketergantungan terhadap impor, kian tidak terjamin pasokan beras secara murah. Indonesia
adalah net importer besar dalam pasar beras dunia. Intinya, kebijakan impor hanya relevan
untuk mengendalikan harga dalam jangka pendek tetapi amat riskan dalam jangka
menengah dan panjang.
Kebijakan tarif impor, apabila hanya dilihat dari sisi produsen, menunjukkan bahwa
semakin tinggi tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah akan menyebabkan tingginya
harga beras di dalam negeri, yang berdampak terhadap naiknya harga gabah di tingkat

14

petani, sehingga memacu produsen/petani untuk meningkatkan produksi beras dalam
negeri, sehingga kesejahteraan produsen/ petani meningkat.
Kebijakan tarif impor beras, jika hanya dilihat dari sisi konsumen saja, maka semakin
tinggi tarif impor yang dikenakan terhadap komoditas beras, akan menyebabkan tingginya
harga beras di dalam negeri, sehingga memaksa konsumen untuk mengurangi
konsumsinya, yang tentunya mengakibatkan permintaan beras dalam negeri berkurang, dan
kesejahteraan konsumen akan menurun. Kebijakan pemerintah menaikkan tarif impor
beras, tidak menjamin penerimaan pemerintah dari tarif impor akan meningkat, dan
sebaliknya penurunan tarif impor juga tidak menjamin turunnya penerimaan pemerintah
atas tarif impor beras. Besarnya perubahan penerimaan pemerintah tidak hanya ditentukan
oleh perubahan tarif, tetapi juga oleh faktor lain, seperti elastisitas transmisi harga, serta
elastisitas permintaan dan penawaran.
Liberalisasi perdagangan beras (pembebasan tarif) memberikan surplus ekonomi
nasional yang makin besar, hal tersebut berarti ekonomi nasional makin efisien. Namun
dari segi distribusi, produsen menerima surplus yang makin jauh lebih kecil daripada
konsumen, yang berarti aspek pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah tidak
terwujud. Oleh karena petani padi pada umumnya miskin, maka keberpihakan pemerintah
kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan
alasan ini dan penyediaan lapangan kerja serta pembangunan perdesaan, maka kebijakan
yang bersifat protektif masih tetap diperlukan, baik dengan pengenaan tarif impor beras,
maupun pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor beras.
Rekomendasi
Kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi kelangkaan
beras di pasaran, mendapat respon yang kurang positif. Kebijakan impor beras menjadi
komoditi politis bahkan lebih pelik dibanding BBM. Ketergantungan akan impor perlu
segera dikendalikan salah satunya dengan meningkatkan produksi pangan termasuk beras
agar kemandirian pangan dapat diwujudkan. Langkah ini perlu dilaksanakan, kalau kita
ingin menjadi bangsa yang mandiri, sehingga kebijakan dasar pemerintah tentang pangan
khususnya dan pertanian umumnya harus diperhatikan. Akan sangat ironis, suatu negara
agraris dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, ternyata tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri bahkan terus bergantung pada
15

impor. Efisien produksi dan tata niaga perlu dilakukan sebagai salah satu upaya dalam
berproduksi dengan tetap menjaga keterjangkauan harga serta menguntungkan petani.
Ada empat hal yang dapat dilakukan pemerintah :
1. Pembangunan infrastruktur fisik petanian dan pedesaan harus ditingkatkan.
Infrastruktur irigasi, jalan desa, dan kecamatan selama ini mengalami kemerosotan
tajam. Akibatnya disparitas harga ditingkat petani dan konsumen mencapai Rp.
1500 sampai Rp 1700/kg beras. Membaiknya infrastruktur akan mengurangi biaya
produksi.
2. Adopsi bibit unggul yang baru sehingga produktivitas dapat ditingkatkan. Ada dua
masalah disini. Pertama, dana riset terutama dalam pemuliaan tanaman masih
terbatas; kedua, adopsi di tingkat petani amat lamban. Dalam hal riset pertanian
mungkin sebaiknya kita berkaca pada Thailand yang rajanya memiliki perhatian
khusus untuk ini.
3. Harus ada reforma agrarian dengan fokus pemanfaatan lahan tidur dan tidak
produktif. Sementara banyak petani tidak berlahan, adalah ironis jika pemerintah
membiarkan peningkatan proporsi lahan yang menjadi tidak produktif.
4. Perlu dilakukan rekayasa ulang kelembagaan pangan. Dengan desentralisasi,
banyak penyuluh pertanian beralih profesi, sebaliknya jabatan di dinas pertanian
banyak diisi orang-orang dari luar pertanian. Keadaan ini mempersulit pencapaian
target produksi kemandirian pangan dapat diwujudkan.
Perlu transparansi dalam penentuan rafaksi terhadap gabah petani agar harga
gabah petani sesuai dengan kondisi obyektif gabahnya. Selain itu, HPP beras perlu
disesuaikan (dinaikkan) agar tidak terjadi penekanan terhadap harga gabah petani, namun
jangan sampai terlalu tinggi sehingga kenaikan harga beras tidak menyebabkan naiknya
angka inflasi secara signifikan yang dapat mengganggu kegiatan investasi. Impor beras
sejauh mungkin dihindari, kecuali dalam keadaan sangat mendesak dimana cadangan beras
nasional sudah tidak mencukupi lagi untuk waktu tertentu. Hal ini perlu ditekankan karena
impor beras, apalagi jika jumlahnya sangat besar, mencerminkan kegagalan pemerintah
dalam mencapai swasembada beras dalam rangka ketahanan pangan. Disamping itu, impor
beras sebenarnya juga melanggar UU Nomor 10 tahun 2010 tentang APBN, yang

16

didalamnya disebutkan bahwa pemerintah harus menciptakan swasembada pangan di
dalam negeri.
Penerapan kebijakan tarif impor beras untuk melindungi produsen/petani di
dalam negeri dan sekaligus meningkatkan produksi beras dalam negeri perlu
dipertahankan, namun perlu diikuti dengan kebijakan lain yang dapat meringankan beban
konsumen, terutama konsumen dari kalangan rumah tangga miskin. Untuk tetap
mempertahankan kesejahteraan rakyat (konsumen) yang telah dirugikan akibat
diterapkannya kebijakan impor maka sebaiknya pemerintah memberikan kompensasi
kerugian kepada konsumen seperti operasi pasar dan beras miskin (raskin). Memperhatikan
tingkat tarif impor beras, yang dipikul konsumen beras, kiranya bijaksana bila pemerintah
pada tahun-tahun yang akan datang tidak menaikkan tariff impor beras lebih dari 15 persen
atas harga border untuk memproteksi petani karena kenaikan tarif dihawatirkan akan
menimbulkan disparitas harga beras dalam negeri dan harga beras internasional yang dapat
memacu maraknya penyelundupan beras.

17

DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, S. 2005. Beras Dalam Dinamika Ekonomi Politik. Majalah Pangan, 14 (44): 48 – 60.
Christianto, E., 2013. Faktor Yang Memengaruhi Volume Impor Beras Di Indonesia. Jurnal
JIBEKA Volume 7 No 2 Agustus 2013: 38 – 43.
Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press, New
York.
EOCD. Kebijakan-kebijakan dalam bidang Pertanian: Pemantauan dan Evaluasi 2013 Negara
negara
OECD
dan
Negara-negara
Berkembang.
www.
oecd.org/publishing/corrigenda
Hadi, P.U. dan B. Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi Beras di
Indonesia. Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Iman Sugema, 2006. Krisis Kebijakan Beras. Harian Kompas 20 Januari. Jakarta
Irawan, P.B. 2001. Dimensi Kemiskinan dan Kewaspadaan Pangan. Majalah Pangan. 10 (37): 3
– 36.
Kompas.com.Hentikan Kebijakan Impor Beras.8 Januari 2013 (diakses tanggal 23 November
2013)
Rachman, H.P.S., S.H. Suhartini, dan G. S. Hardono. 2008. Dampak Liberalisasi Perdagangan
Terhadap Kenerja Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor
Riyadi, D. M. M. 2002. Permasalahan dan Agenda Pengembangan Ketahanan Pangan. Prosiding
Seminar: Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Pusat
Studi Pembangunan dan Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan,
Bogor.
Sapuan. 2000. Perjalanan Bulog 35 Tahun: Refleksi Terhadap Pelaksanaan Tugas Pokoknya.
Dalam Bulog: Pergulatan Dalam Pemantapan Peranan dan Penyesuaian
Kelembagaan. Kumpulan Naskah Dalam Rangka Menyambut 35 Tahun Bulog.
Editor; M. H. Sawit. T. Pranolo, A. Saifullah, B. Djanuardi,. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Simbolon, J.S.C. 2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik dengan Pasar Beras Dunia.
Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Tempo.co. Indonesia Akan Bebas Impor Beras. 24 Maret 2013 (diakses tanggal 23 November
2013)
18

Tweeten, L.1989. Agricultural Policy Analysis Tools for Economic Development. Westview
Press. New York.

19