Penerapan Model Cooperative Learning Tip

Penerapan Model Cooperative Learning Tipe STAD sebagai
Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa
Laurensius Laka
Alumni Program Profesi Magister Psikologi Universitas Airlangga

Nono Hery Yoenanto
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Abstract.
This research problem was the students having low motivation in learning mathematics. The type of
this research was the classroom action research. Classroom action research is different with the
qualitative and quantitative research, but has both characteristics. Researcher designed plan and
intervention of Cooperative Learning using type Student Team-Achivement Division. The participants
in this study were 35 students from grade VII at Junior High School consisted of 21 male students and
14 female students. Collecting data used by several methods: (1) observation, (2) interviews, (3) field
notes, and (4) the relevant documents. Data collected through several methods were used to perform
triangulation as an effort to check the validity of the data. Based on these results can be concluded
that Cooperative Learning using type of Student Team-Achievement Division is effective to be applied
to increase student motivation.

Keywords: learning motivation, classroom action research, cooperative learning.

Abstrak.
Masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya motivasi siswa pada pelajaran matematika. Tipe
penelitian ini adalah riset aksi kelas. Riset aksi kelas pada dasarnya berbeda dengan penelitian
kualitatif dan kuantitatif, namun memiliki kedua karakteristik tersebut. Penulis mendesain
rancangan dan intervensi Cooperative Learning dengan tipe Student Team-Achivement Division.
Sampel pada penelitian ini adalah 35 siswa kelas 7 SMP, yang terdiri dari 21 siswa laki-laki dan 14
siswa perempuan. Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yakni observasi,
wawancara, catatan lapangan dan dokumen-dokumen lainnya yang dipandang relevan. Hal ini juga
merupakan bagian dari triangulasi untuk memastikan bahwa hasil penelitian ini adalah valid. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Cooperative Learning dengan menggunakan tipe Student TeamAchievement Division efektif untuk diterapkan dalam upaya meningkatkan motivasi belajar siswa.

Kata kunci: motivasi belajar, riset aksi kelas, cooperative learning

Korespondensi: Laurensius Laka, Kodim 0819 Pasuruan, Rumah: Perum Griya Inti Permata Blok L No. 17 Kec.
Purwosari–Pasuruan 67162. Telp. (0343) 613894, 081334763488, E-mail: laurens_laka@yahoo.com,
maslowua@yahoo.co.id
INSAN Vol. 13 No. 01, April 2011

41


Penerapan Model Cooperative Learning Tipe STAD sebagai Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

Dalam memasuki milenium ke tiga ini,
Indonesia dihadapkan pada suatu tantangan
untuk menyiapkan masyarakat menuju era baru,
yaitu era globalisasi. Era globalisasi adalah era
menguatnya pengaruh global yang menyentuh
semua aspek kehidupan, yang ditandai dengan
adanya jaringan komunikasi dan transaksi
ekonomi dari tingkat lokal hingga internasional.
Sebagai proses tatanan masyarakat yang
mendunia dan tidak mengenal batas wilayah,
globalisasi berlangsung melalui dua dimensi
dalam interaksi antar bangsa tersebut, yaitu
dimensi ruang dan dimensi waktu. Ruang makin
dipersempit dan waktu makin dipersingkat,
begitu pula ketika perdagangan bebas sudah
diberlakukan, maka persaingan dagang dan
tenaga kerja yang bersifat multi bangsa itu akan
semakin jelas dan hanya bangsa yang memiliki

keunggulan saja yang akan mampu
berkompetisi.
Mengacu pada Human Development Index
yang dikeluarkan oleh sebuah badan yang
bernaung dibawah PBB yakni United Nations
Development Programme (UNDP), dimana
formula dan sasarannya mendeskripsikan
pembangunan manusia pada masing-masing
Negara. Pada tahun 2009 yang lalu ternyata
Indonesia hanya mampu berada pada klasifikasi
sebagai Medium Human Development, yakni
peringkat 111 dari 182 negara yang menjadi objek
studi (“List of countries by Human Development
Index”, 2009). Peringkat yang tidak jauh bergeser
dari tahun 2008, yakni peringkat 109 dari 179
negara. Adapun angka peringkat tiap-tiap negara
itu diolah berdasarkan perhitungan terhadap tiga
dimensi sekaligus, yakni panjang usia (longevity),
pengetahuan (knowledge), dan standar hidup
(standard of living), yang kemudian dapat

dijabarkan menjadi indikator; kesehatan dan
kependudukan, pendidikan, dan ekonomi. Dalam
hal ini semakin jelas bahwa salah satu komponen
penting untuk menyiapkan warga bangsa yang
berkualitas “menuju era baru” adalah melalui
bidang pendidikan. Sayangnya, dunia pendidikan
Indonesia hingga saat ini tidak pernah sepi dari
berbagai persoalan. Lokomotif pendidikan
Indonesia memang sudah lama berjalan, tetapi
gerbong yang ditarik begitu panjang daftar
permasalahannya.
Mengingat persoalan pendidikan yang

42

demikian kompleks itu, penulis tertarik untuk
meneliti salah satu masalah yang dihadapi dunia
pendidikan yaitu berkenaan dengan lemahnya
proses pembelajaran di sekolah. Dalam proses
pembelajaran, siswa kurang didorong untuk

mengembangkan kemampuan berpikir, siswa
hanya dipersilakan duduk, dengar, catat, dan
hafalkan. Proses pembelajaran lebih diarahkan
pada kemampuan siswa untuk menimbun
informasi semata. Guru dipandang sebagai yang
mahatahu sementara siswa adalah botol kosong
yang siap diisi dengan beragam informasi (apa
saja) yang dipandang perlu oleh guru. Adapun
upaya yang ditempuh oleh penulis adalah
“mengurangi batasan-batasan penelitian yang
sulit dicerna,” apalagi langsung digunakan yaitu
mengadakan Classroom Action Research pada
sebuah SMP Swasta Berbasis Agama di Kabupaten
Pasuruan.
Para siswa di SMP Swasta Berbasis Agama
pada umumnya berasal dari keluarga petani atau
buruh tani. Profesi sebagai petani atau buruh tani
dan rendahnya tingkat pendidikan (sebagaimana
atribut yang melekat pada para petani pada
umumnya), tentu saja bukan sebuah masalah

tetapi merupakan fakta yang melatarbelakangi
masalah terutama ketika mengupas peran
pengasuhan orang tua dalam pendidikan putraputrinya.
Berkaitan dengan lemahnya proses
pembelajaran di sekolah, ditinjau dari aspek guru,
tampaknya sebagian besar guru yang berjumlah 17
orang adalah “sekumpulan orang sibuk yang
peduli” pendidikan. Kepala Sekolah mengeluh,
ada perbedaan penampilan siswa di kelas, ketika
berhadapan dengan guru tertentu dibandingkan
ketika berhadapan dengan oleh guru yang lain.
Menurutnya, kondisi paling baik bagi siswa untuk
belajar adalah ketika siswa termotivasi dengan
baik dan tertarik dengan apa yang dipelajari.
Kecenderungan rendahnya motivasi belajar siswa
juga terungkap melalui wawancara dengan para
guru, antara lain; siswa jarang bertanya, namun
ketika diajukan pertanyaan, umumnya mereka
menjawab dengan ragu-ragu. Tidak jarang pula
siswa tampak melamun, mengganggu temannya,

terkadang terdengar mereka berbicara diluar
materi pelajaran, membaca buku pelajaran lain,
atau kadang kala terlihat mengantuk.
Dalam diskusi dengan guru matematika,
INSAN Vol. 13 No. 01, April 2011

Laurensius Laka, Nono Hery Yoenanto

diperoleh informasi bahwa ia dipercaya mengajar
matematika berbekal ijazah Sarjana Peternakan
yang memiliki pengalaman mengajar di Lembaga
Bimbingan Belajar. Pendekatan pembelajaran
yang digunakan pun masih menerapkan cara-cara
yang konvensional, di mana guru sebagai pusat
dan sumber belajar sementara siswa pada posisi
yang relatif pasif (teacher centered). Hasil
observasi terhadap siswa juga memberikan
petunjuk tentang rendahnya motivasi belajar
siswa pada mata pelajaran matematika, misalnya
ketika guru menerangkan di depan kelas beberapa

siswa tampak tidak melihat ke papan tulis, bahkan
beberapa siswa tampak berpindah-pindah tempat
duduk dengan suara yang berisik.
Dari uraian di atas, ternyata begitu banyak
permasalahan
yang teridentifikasi. Tidak
mungkin memperbaiki kadar keterpengaruhan
setiap unsur tersebut dalam sekejap dan simultan.
Oleh karena dugaan permasalahan rendahnya
motivasi belajar siswa merupakan akumulasi dari
pengaruh faktor eksternal dan internal, yang
manifestasinya tampak dalam proses
pembelajaran, maka cukup beralasan kiranya
apabila Classroom Action Research ini mengambil

fokus penelitian tentang, “upaya meningkatkan
motivasi belajar siswa pada mata pelajaran
matematika.”

METODE PENELITIAN

Subyek penelitian ini adalah seluruh siswa
Kelas VII pada sebuah SMP Swasta Berbasis Agama
di Kabupaten Pasuruan yang berjumlah 35 siswa,
terdiri dari 21 siswa laki-laki dan 14 siswa
perempuan. Sedangkan desain intervensi yang
digunakan adalah model Cooperative Learning
tipe Student Team- Achievement Division (STAD).
Tipe penelitian ini adalah action research.
Menurut Tomal (2003, dalam Suparno, 2008) tipe
penelitian ini memang berbeda dengan penelitian
kualitatif dan penelitian kuantitatif, tetapi
mempunyai sifat keduanya. Menurut Arikunto
(2008), ada beberapa ahli yang mengemukakan
model Classroom Action Research dengan bagan
yang berbeda. Namun apabila digambarkan, maka
empat tahapan dasar yang terkait tersebut
mencakup; (1) perencanaan (planning), (2)
pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing),
dan (4) refleksi (reflecting).


Gambar 1. Siklus Classroom Action Research
INSAN Vol. 13 No. 01, April 2011

43

Penerapan Model Cooperative Learning Tipe STAD sebagai Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu; (1) observasi
(participant observation), (2) wawancara informal,
(3) catatan lapangan, dan (4) dokumen yang
relevan.

Metode Analisis Data

ini menggunakan model Miles dan Huberman
(1984, dalam Sugiyono, 2007), yaitu menganalisis
data dalam pada saat pengumpulan data
berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan

data dalam periode tertentu, yang meliputi
aktivitas data reduction, data display, dan
conclusion drawing/verif ication. Langkahlangkah analisisnya sebagai berikut:

Metode analisis data dalam penelitian

Gambar 2. Komponen analisis data (interactive model)

Keabsahan (trustworthiness) Data

Kerangka Konseptual

Untuk menetapkan keabsahan
(trustworthiness) data, diperlukan teknik
pemeriksaan, yang meliputi empat kriteria
(Moleong, 2007), yakni; (1) derajat kepercayaan
(credibility) menggunakan uji triangulasi dengan
maksud me-recheck temuan di lapangan dan
kemudian membandingkannya dengan berbagai
sumber, metode, atau teori; (2) keteralihan
(transferability), (3) kebergantungan
(dependability), dan (4) kepastian
(confirmability).

Apabila upaya meningkatkan motivasi
belajar siswa tersebut digambarkan dalam setting
Classroom Action Research, maka alur berpikir
peneliti dapat di-padatkan sebagaimana kerangka
konseptual proses penelitian di bawah ini.

44

INSAN Vol. 13 No. 01, April 2011

Laurensius Laka, Nono Hery Yoenanto

Rancangan Kegiatan Intervensi
Adapun siklus Classroom Action Research
yang dijalankan oleh penulis dan guru mata
pelajaran matematika dalam penelitian ini, terdiri
dari dua siklus, di mana pada masing-masing
siklus mengikuti tahap-tahap sebagai berikut: (1)
Pada tahap perencanaan (planning), menyusun
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP),
menyusun langkah-langkah kegiatan
pembelajaran sesuai dengan tahapan
pembelajaran Cooperative Learning tipe STAD,
menentukan alat penggalian data, menyusun
rencana pengolahan data, memberikan peringkat

INSAN Vol. 13 No. 01, April 2011

prestasi belajar siswa berdasarkan nilai akademis
dan menyiapkan cara penghitungan skor
individual untuk kemudian melihat prestasi
kelompok, dengan memunculkan skor awal,
menemukan skor kuis saat ini, dan menemukan
skor peningkatan; (2) Pada tahap pelaksanaan
(acting), guru matematika mengimplementasikan
sebagaimana rencana yang telah disusun pada fase
kegiatan pembelajaran. Sementara peneliti
melakukan pengamatan (participant observation)
terhadap kegiatan pembelajaran pada tiap-tiap
kelompok; (3) Pada tahap pengamatan
(observing), sesungguhnya terjadi dua kegiatan

45

Penerapan Model Cooperative Learning Tipe STAD sebagai Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

dalam waktu yang bersamaan, apa yang
diobservasi adalah acting-nya; (4) Pada tahap
refleksi (reflecting), peneliti dan guru berusaha
memahami proses tindakan, hasil tindakan,
kendala-kendala yang dihadapi melalui analisis
data hasil observasi, Lembar Kerja Siswa, catatan
lapangan serta penyajian kuis yang memunculkan
skor kemajuan individu dari skor dasar.

Pelaksanaan Siklus II
Pada siklus II ini, proses pembelajaran
diawali guru dengan membacakan hasil belajar
siklus I terhadap tiap-tiap kelompok siswa, di
mana 1 kelompok “super hebat,” 3 kelompok
“hebat,” dan 3 kelompok baik, yang disambut siswa
dengan applause penuh kegembiraan. Selanjutnya
proses pembelajaran berjalan mengikuti
rancangan kegiatan intervensi. Sebagai catatan
refleksi, apabila pada siklus I ketua kelompok
cenderung mendominasi penyelesaian LKS, maka
pada siklus II ini anggota-anggota kelompok juga
sudah mulai memunculkan tanggung jawab
individu. Terjadi pula peningkatan hasil belajar

46

HASIL DAN BAHASAN
Pelaksanaan Siklus I
Pelaksanaan siklus I mengikuti tahaptahap sebagaimana rancangan kegiatan intervensi
di atas. Ada 7 kelompok siswa yang terdiri dari
masing-masing 5 siswa, di mana setelah proses
Cooperative Learning berakhir, disusul dengan
penyajian kuis untuk melihat peningkatan skor
individu. Adapun distribusi frekuensi motivasi
belajar siswa sebagaimana tabel yang disajikan di
bawah ini.

siswa, dari 7 kelompok yang dibentuk dengan
kemampuan yang setara itu, 2 kelompok berhasil
meraih prestasi “super hebat,” sedangkan sisanya
berhasil meraih kategori “hebat.” Terkait dengan
motivasi belajar siswa yang diamati oleh guru
dalam proses pembelajaran berdasarkan
komponen-komponen motivasi belajar, dan
kategori motivasi belajar siswa yang diolah melalui
statistik deskriptif, dibuat dalam lampiran
tersendiri. Namun secara keseluruhan, tabel di
bawah ini menunjukkan motivasi belajar siswa
dalam mengikuti pelajaran matematika yang
cenderung meningkat.

INSAN Vol. 13 No. 01, April 2011

Laurensius Laka, Nono Hery Yoenanto

Dengan membandingkan kualitas proses
belajar dalam kelompok-kelompok belajar,
tampaknya bahwa proses pembelajaran yang
terjadi pada siklus II secara umum lebih baik
dibandingkan siklus I. Data observasi juga
mencerminkan hadirnya unsur-unsur Cooperative
Learning dalam tim siswa, di mana pada siklus I,
proses “belajar bersama” siswa cenderung
memerlukan peningkatan, sedangkan pada siklus
II data obser vasi menunjukkan proses
pembelajaran yang berjalan cukup baik. Hal ini
juga dikuatkan oleh pengakuan guru serta hasil
wawancara dengan siswa yang dilaksanakan
pascaintervensi.
Mengidentifikasi bahwa siswa bermotivasi
belajar tinggi atau rendah dapat digali melalui
perilaku atau dihubungkan dengan teori-teori
yang mendasarinya, tetapi mengukur motivasi
belajar siswa itu sendiri ternyata bukanlah sesuatu
yang mudah. Kesulitan tersebut terjadi antara lain
karena demikian banyaknya definisi mengenai
motivasi, sebanyak teori yang melandasinya,
sehingga Chaplin (2002) menegaskan bahwa
konsep motivasi adalah konsep yang paling
kontroversial dan paling tidak bisa memuaskan.
Hal ini juga dikatakan oleh para pakar pendidikan,
Nur (2001) misalnya menyatakan bahwa motivasi
adalah satu komponen paling penting dari

INSAN Vol. 13 No. 01, April 2011

pembelajaran dan satu komponen yang paling
sukar untuk diukur. Senada dengan pandangan
Nu r,
G a ge d a n B e r l i n e r ( 1 9 8 8 ) j u g a
mengemukakan pendapat bahwa melakukan
pengukuran motif berprestasi siswa di kelas
bukanlah hal yang mudah. Guru biasanya harus
memperkirakan kebutuhan siswa dengan
observasi hati-hati ditambah dengan intuisi dan
akal sehat.
Tanpa bermaksud menafikan pengaruh
lingkungan keluarga terhadap motivasi belajar
siswa sebagaimana pembahasan di atas, dorongan
dari dalam diri siswa (motivasi intrinsik) untuk
belajar (matematika) juga layak diperhitungkan.
Menurut Sardiman (2008), baik motivasi intrinsik
maupun ekstrinsik sama pentingnya. Beberapa
teori memang berfokus pada upaya memberikan
perbedaan antara motivasi intrinsik dan motivasi
ekstrinsik. Menurut Sansone & Harackie (2000,
dalam Eccles & Wigfield, 2002), ketika individu
secara intrinsik termotivasi, mereka terlibat dalam
sebuah kegiatan karena mereka tertarik dan
menikmati kegiatan itu, namun terhadap motivasi
ekstrinsik, individu terlibat dalam suatu kegiatan
karena alasan-alasan lain seperti menerima
hadiah.
Dalam hal ini, adalah tugas guru untuk
memberikan motivasi dan melibatkan para siswa

47

Penerapan Model Cooperative Learning Tipe STAD sebagai Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

dalam belajar. Menurut Alderman (2004), tugas
guru mengarahkan perhatian siswa pada aspekaspek tertentu dari isi dan dengan menetapkan
cara pengolahan informasi. Motivasi untuk
instruksi menuntut bahwa guru tidak hanya
sekedar "membawa untuk tugas siswa, "tapi juga"
membawa siswa pada tugas.
Classroom Action Research ini
mengandaikan penelitian yang berdaur dan
dijalankan secara berkelanjutan. Artinya,
terhadap tujuan penelitian yang belum tercapai
dalam siklus I dan siklus II, mengharapkan
kesediaan guru dan/atau peneliti untuk
menjadikannya sebagai bingkai permasalahan
yang harus dihadapi pada siklus-siklus berikutnya.
Sebab, sebagaimana juga telah disinggung pada
Bab I, bahwa tujuan utama dari penelitian ini
adalah untuk membantu meningkatkan motivasi
belajar siswa. Disamping tujuan pokok itu,
penerapan model pembelajaran yang berbeda dari
biasanya ini juga dapat berguna sebagai salah satu
upaya untuk mendorong kreatifitas guru
memikirkan apa yang dilakukan sehari-hari dalam
menjalankan tugasnya. Dengan demikian guru
dapat lebih kritis terhadap apa yang dilakukan
tanpa terpaku pada teori-teori yang muluk-muluk,
yang ditemukan oleh para researcher namun
sering kali tidak cocok dengan situasi dan kondisi
kelas.

SIMPULAN DAN SARAN

Tipe STAD menunjukkan data tentang proses dan
hasil pembelajaran yang cenderung meningkat.
Hal ini berarti, tujuan penelitian yang telah
penulis rancang di bagian awal telah terjawab,
karena memang terbukti model Cooperative
Learning tipe STAD efektif diterapkan untuk
meningkatkan motivasi belajar siswa dalam
menghadapi pelajaran matematika, khususnya
siswa Kelas VII pada sebuah SMP Swasta Berbasis
Agama di Kabupaten Pasuruan.
Kecenderungan peningkatan motivasi
belajar siswa ini dapat dilihat dari antara lain: (1)
hasil pengamatan guru terhadap siswa
berdasarkan komponen-komponen motivasi
belajar, (2) hasil pembelajaran Cooperative
Learning yang dimunculkan melalui penyajian
kuis individual, yang kemudian menghasilkan
penghargaan terhadap kelompok siswa, serta (3)
dikuatkan melalui pengakuan akan efektivitas
intervensi oleh guru melalui diskusi, dan oleh
siswa melalui wawancara pasca intervensi.
Oleh sebab itu, model pembelajaran ini
dapat dijadikan pilihan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran, karena cukup sederhana
dan mudah dalam penerapannya. Meskipun
demikian, guru harus mempersiapkan
pembelajaran dengan matang, agar peran guru
sebagai praktisi sekaligus peneliti dalam
Classroom Action Research yang
dikembangkannya dapat sungguh-sungguh
menghasilkan refleksi temuan yang optimal dan
fungsional.

Hasil penerapan model Cooperative Learning

PUSTAKA ACUAN
Arikunto, S., Suhardjono, & Supardi. (2008). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Alderman, M.K. (2004). Motivation for Achievement: Possibilities for Teaching and Learning. Diunduh pada
tanggal 2 Maret 2008, dari
Chaplin, J.P. (2002). Kamus Lengkap Psikologi. Cetakan kedelapan. Penerjemah Kartini Kartono. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Eccles, J.S. & Wigfield, A. (2002). Motivational Beliefs, Values, and Goals. Diunduh pada tanggal 20 Januari 2010,
dari
Gage, N.L. & Berliner, D.C. (1998). Educational Psychology. 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.
Moleong, L.J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mujiman, H. (2008). Belajar Mandiri. Cetakan kedua. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP)
UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press).

48

INSAN Vol. 13 No. 01, April 2011

Laurensius Laka, Nono Hery Yoenanto

Nur, M. (2001). Pemotivasian Siswa untuk Belajar. Buku Ajar Mahasiswa. Edisi 2. Surabaya: Unesa.
Sardiman. A.M. (2008). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cetakan Ketiga. Bandung: Alfabeta.
Suparno, P. (2008). Action Research: Riset Tindakan untuk Pendidik. Jakarta: Grasindo.
Wikipedia bahasa Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia. Diunduh pada tanggal 18 Desember 2008 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_ Manusia.
--------- List of countries by Human Development Index. Diunduh pada tanggal 17 Maret 2009 dari Index

INSAN Vol. 13 No. 01, April 2011

49