Polri dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Polri dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Supriadi
Wacana tentang kepolisian, selalu dinamis dan memunculkan berbagai
perspektif yang beragam. Meskipun secara umum, bahwa secara filosofis, di
belahan dunia manapun, fungsi kepolisian lahir karena adanya kebutuhan
akan rasa aman di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, kompleksnya
kehidupan masyarakat di suatu negara mempengaruhi varian-varian yang
muncul kemudian. Tak terkecuali untuk konteks Indonesia, maka ciri
kepolisiannya sangat dipengaruhi oleh dinamika masyarakatnya.
Membahas tentang kemanan, yang menjadi domain utama dari kepolisian,
dapat ditafsirkan sebagai berikut. Tujuan dari pelaksanaan tugas kepolisian
secara universal adalah untuk menjaga ketertiban dan mencegah terjadinya
kejahatan (to maintain order and prevent crime ) serta melayani dan
melindungi masyarakat (to serve and protect the public ). Oleh karena itu,
keberadaan lembaga kepolisian dalam suatu negara menjadi sangat penting
serta mutlak diperlukan. Namun demikian, pada implementasinya,
penerapan model maupun sistem kepolisian berbeda antara satu negara
dengan negara lainnya. Hal ini dilandaskan pada latar belakang sejarah
lahirnya institusi kepolisian pada masing – masing negara, sistem politik dan
pemerintahan yang berlaku, serta sistem kontrol yang diselaraskan dengan
karakteristik dan budaya masyarakat setempat.

Keamanan negara merujuk pada pemeliharaan dan kelangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara, yang dapat diukur dari parameter-parameter
survivalitas pemerintah, dalam pengertian sebagai sosok atau wujud
kongkret
Negara.
Pemerintah
dimaknakan
bukan
sebagai
rejim
pemerintahan. Pemerintahan atau rejim pemerintahan dapat, bahkan harus,
berganti-ganti, tetapi Pemerintah sebagai representasi Negara tidak dapat
dan tidak boleh berubah-ubah.
Sekalipun banyak institusi pemerintahan yang ”dibebani” (imbued) dengan
kewenangan dan tugas seperti itu, fokus perhatian harus ditujukan pada dua
institusi terpenting dalam domain ini, yaitu TNI dan Polri. Kedua institusi ini
dibentuk untuk itu. Salah satu alasannya adalah polisi diberi kewenangan
untuk menggunakan kekerasan (coercive power) dan senjata—bukan untuk
”membunuh,” tapi melumpuhkan, karena polisi adalah non-combatant—
dalam rangka penegakan hukum, dengan batas tidak berlebihan (eksessiv).

Kewenangan tersebut dijabarkan ke dalam sejumlah parameter guna
mengukur derajat kinerja masing-masing aparat penegak hukum. Bagi Polri,
rumusan umum yang diterima adalah terciptanya ”keamanan” dan ”rasa
aman” masyarakat. Kedua konsep ini dioperasionalkan lagi ke dalam

sejumlah indikator seperti perlindungan bagi keselamatan nyawa dan harta
benda masyarakat. Sebaliknya, tentara bertugas menjaga dan memelihara
keutuhan nation-state dalam pengertian fisik teritorial. Di antara keduanya
lah masih terbentang perbedaan tafsir atas apa yang umum disebut sebagai
”wilayah abu-abu” (grey area). Harus ditegaskan di sini, bahwa ”wilayah abuabu” bagi polisi lebih menyangkut pada Protap mekanisme pengambilan
keputusan, prosedur operasi gabungan (seperti dalam hal BKO), dan rincian
lain yang landasan kewenangannya sudah jelas.
Cara pandang untuk melihat lembaga kepolisian di sebuah negara tidaklah
cukup hanya sebatas pada pendekatan politik atau sistem kenegaraan. Cara
pandangnya
harus
holistik,
dengan
mempertimbangkan
berbagai

pendekatan, seperti antropologis-sejarah, politik-hukum, analisis problema
yang ada,pendekatan struktural-institusional, dan pendekatan falsafahsosial. Dengan pendekatan filosofis, misalnya, dianggap bahwa polisi tumbuh
dan berkembang dari sebuah komunitas lokal, bukan berangkat dari
perbandingan dengan negara lain. Memang, dalam hal memajukan sistem
kepolisian kadang perlu mengacu pada negara lain yang lebih maju. Namun,
bukan berarti bahwa perbandingan dengan negara lain menjadi jawaban
untuk sistem kepolisian yang ideal untuk konteks negara negara lain,
termasuk Indonesia. Untuk alasan itu, maka sistem kepolisian di Indonesia
tidak bisa dibandingkan dengan negara manapun di dunia, karena
karakteristik wilayah dan dinamika masyarakatnya pun berbeda dengan
negara lain.
Pengalaman selama beberapa dekade sebelum era reformasi, menempatkan
Pori di bawah ABRI. Konsekuensi dari masuknya Polri menjadi bagian dari
ABRI adalah, adanya “pengaburan” secara pelan-pelan mengenai fungsi Polri
sebagai penegak hukum, pelindung dan pembimbing masyarakat. Di sisi lain,
dalam kerangka kaderisasi pimpinan Polri, pendidikan perwira Polri dilakukan
melalui Akademi ABRI (AKABRI) yang menggunakan metode pendidikan
militer. Sebagai konsekuensi logis, Polri wajib menganut doktrin dwi fungsi
ABRI, dimana dalam doktrin tersebut ditetapkan fungsi TNI/POLRI : (1)
sebagai alat pertahanan dan keamanan negara; dan (2) sebagai alat

stabilisator pembangunan nasional. Dengan doktrin tersebut, politisasi
terhadap Polri menimbulkan kesan yang mendalam di kalangan anggota
bahwa tugas polisi adalah mempertahankan pemerintahan yang sah.
Mencermati perkembangan kedudukan, tugas, fungsi dan peranan kepolisian
dari jaman penjajahan Belanda hingga jaman Orde Baru, tersirat adanya
pergeseran misi, visi dan tujuan Kepolisian. Hal ini disebabkan oleh
kedudukan Polri dan peran kepolisian dalam sistem politik negara yang
memberikan beban kepada Kepolisian sebagai alat kekuasaan yang jelas
bertentangan dengan visi, misi dan tujuan kepolisian secara universal.
Tujuan menangkal bahaya, memberikan pelayanan dan pengayoman untuk
mencapai ketenteraman serta memberikan jaminan terhadap tegaknya

kebenaran dan keadilan menjadi terabaikan. Pada akhirnya Polri menjadi
tidak profesional dan jauh dari masyarakat.
Di era reformasi, Polri dipisahkan dari ABRI. Ini adalah salah satu tuntutan
reformasi dengan harapan harapan Polri menjadi lembaga yang profesional,
mandiri dan sipil. Jauh dari intervensi pihak lain dalam menjalankan peran
penegakan hukum. Pemisahan Polri dari ABRI merupakan buah reformasi
1998 yang paling berharga dalam aspek penegakan hukum di Indonesia
sebagai prasyarat supremasi sipil.

Pemisahan Polri dari ABRI merupakan pemaknaan ulang terhadap fungsi dan
tugas polisi secara universal (kepolisian modern). Dalam konteks pemaknaan
universal, kedudukan TNI dan Polri pada masa itu harus diresposisi. Konsep
penegakan hukum di dalam negeri harus dikembalikan kepada institusi
kepolisian yang memiliki visi penegakan hukum sipil untuk menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), sesuai dengan amanat
UUD 1945 pasal 30 ayat (4): Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas
menlindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”
Hal paling mendasar dan tak mungkin diabaikan adalah bahwa Polri sebagai
institusi sipil, sesuai dengan norma universal yang tertuang dalam Resolusi
PBB Nomor 143 tahun 1960, 14 Juli di Kongo, tentang Polisi Non-Combatant
(institusi sipil). Pasca pemisahan Polri dari ABRI maka salah satu aspek
mendasar dalam perubahan konsep kepolisian pasca reformasi 1998 adalah
status Polri sebagai institusi sipil. Polri sebagai “ democratic policing,” atau
pemolisian demokratis adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata
tertib (orde) dan hukum yang menjunjung tinggi HAM, sepenuhnya di bawah
otoritas pemerintahan sipil, demokratis, mandiri, akuntabel, transparan serta
menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional.
Polri sebagai institusi sipil bersama-sama dengan masyarakat dalam sistem

masyarakat madani akan saling melengkapi satu dengan yang lain. Dimana
tujuannya adalah untuk terciptanya rasa aman, dengan Polri sebagai leading
sector-nya. Rasa aman akan menjadikan masyarakat dapat beraktivitas baik
ekonomi, politik, dan sosial budaya dengan sempurna, untuk terciptanya
tingkat kesejahteraan masyarakat menuju negara yang sentosa.
Wujud pelaksanaan tugas Polri dalam kehidupan nyata adalah hadirnya polisi
setiap saat sepanjang waktu sebagai wakil negara dengan memberikan
tugas pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Dalam proses pelaksanaan
tugas tersebut, anggota Polri akan selalu berinteraksi dengan seluruh
komponen masyarakat, dimana hal ini dapat dipandang sebagai bentuk
kerjasama aktif antara Polri dengan masyarakat. Di sisi lain, semangat ini
dapat diarahkan guna fungsi pengawasan secara eksternal oleh masyarakat
terhadap Polri.

Secara historis, setiap aspek perubahan dalam perjalanan Polri sejak awal
reformasi hingga tahun 2014, hampir cukup memadai dengan kondisi alam
demokrasi yang sedang berjalan. Wacana perdebatan publik terhadap Polri
merupakan rangkaian dalam euforia alam demokrasi tersebut. Dimana
pergulatan diskusi publik banyak menyoroti soal kewajiban versus
kewenangan Polri yang semakin lama semakin menghangat. Ditambah

dengan serangkaian persoalan-persoalan lainnya yang terus berdatangan.
Kewajiban Polri adalah perlindungan, pengayoman dan pelayanan serta
menegakkan hukum. Secara hakikat, hal tersebut merupakan tugas pokok
dan fungsi Polri. Sejak Polri terpisah dari militer, Polri telah banyak
melakukan berbagai perubahan diantaranya adalah budaya organisasi dan
pandangan hidup Polri. Hal tersebut tercermin dalam Tribrata dan Catur
Prasetya Polri sebagai landasan akhlak bagi seluruh anggota Polri. Ditambah
lagi dengan menerapkan asas-asas polisi sipil dalam bentuk pelaksanaan
Pemolisian Masyarakat (Polmas).
Ujung dari proses yang dilakukan Polri tersebut tidak lain adalah untuk
mewujudkan pelayanan kepolisian yang berkualitas. Pelayanan Polri yang
berkualitas adalah untuk mewujudkan rasa aman di masyarakat. Dengan
demikian diharapkan output atau keluarannya adalah terciptanya law
abiding citizen atau sebuah kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum dan
norma-norma yang berlaku. Penerapannya dalam keseharian mengenai
aturan-aturan hukum dan norma-norma yang ada, untuk mendapatkan
suasana aman dan nyaman dalam bermasyarakat.
Dalam perkembangannya, kedudukan dan sistem Polri seringkali
mengundang diskusi di berbagai kalangan masyarakat. Mulai dari kalangan
politisi, akademisi, birokrat,dan lainnya. Kedudukan Polri langsung di bawah

presiden dengan sistem terpusat-nasional memiliki sejarah panjang dalam
sistem ketatanegaraan. Mulai masa pemerintahan Hindia-Belanda sampai
pasca reformasi, Polri pernah di bawah departemen, perdana menteri dan
dikembalikan lagi langsung di bawah presiden.
Sebelum membahas lebih jauh tentang kedudukan Polri, maka perlu menlik
kembali aspek filosofis dari kepolisian secara universal. Organisasi kepolisian
di setiap negara demokrasi memiliki kedudukan dan peran strategis yang
berbeda antara satu dengan lainnya, terutama yang terkait pada nilai-nilai
filosofi universal tentang tugas kepolisian, yaitu” to fight crime, help
delinquent and love humanity.” Nilai-nilai filosofis ini yang menjadi bibit
lahirnya pemolisian modern atau lebih dikenal dengan istilah “ democratic
policing.” Democratic policing merupakan konsepsi tentang polisi yang
menghargai hak-hak sipil, tunduk pada prinsip-prinsip demokratis, good
governance dan melaksanakan pemolisian modern yaitu pemolisian
masyarakat.

Membangun polisi sipil dengan menempatkan polisi yang bertanggung jawab
pada otoritas sipil dan melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya
tirani polisi. Pemikiran ini didasari keyakinan bahwa masyarakat Indonesia
menjamin legitimasi kewenangan polisi dan menghormati intervensi legal

kepolisian atas urusan setiap anggota masyarakat. Hal ini didasari oleh
beberapa realita, yakni pertama, kecenderungan perlawanan masyarakat
terhadap polisi terjadi sebagai reaksi atas sikap penyalahgunaan
kewenangan atau kesalahan prosedur dalam tindakan kepolisian. Kedua,
budaya paternalistik yang menempatkan polisi sebagai ”yang berwajib” atau
”yang berwenang” dapat dimanfaatkan sebagai pra kondisi yang kondusif
bagi polisi untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat.
Jika tafsir atas konsep sipil hanya sebagai antonim dari kata militer, maka
akan mempersempit norma kepolisian menjadi sekadar aparat penegak
hukum, bukan pencegah, apalagi penangkal kejahatan. Padahal, paradigma
pendekatan penegakan hukum (gakkum), yang dikenal sebagai pemolisian
reaktif, sudah mulai ditinggalkan dalam dunia kepolisian modern, untuk
digantikan dengan pemolisian proaktif atau lebih dikenal dengan konsep
Polmas. Ukuran keberhasilan polisi bukan pada banyaknya kasus kejahatan
yang mampu ditangani (koersif), melainkan pada pencegahan (preventif)
dan penangkalan (pre-emtif). Polri sudah berusaha ke arah sana, dengan
mengembangkan dan menerapkan community policing (pemolisian
masyarakat, atau Polmas).
Mata rantai sejarah kedudukan Polri dari di bawah departemen sampai
langsung di bawah Presiden, menunjukan bahwa kedudukan Polri—

langsungdi bawah Presiden—merupakan pilihan terbaik, sebagai upaya
membangun konstruksi kelembagaan Polri sesuai dengan aspirasi
masyarakat yang mengarah pada kehidupan negara yang lebih demokratis
dalam tatanan masyarakat madani. Ada banyak alasan kenapa kedudukan
Polri harus berada langsung di bawah presiden, bukan di bawah suatu
kementerian.
Untuk meletakkan Polri di bawah salah satu kementerian, problem pertama
adalah belum dewasanya sistem demokrasi di Indonesia, sehingga abuse of
power kepolisian justru akan menjadi kerawanan tersendiri. Kalau (langsung)
di bawah Presiden, seluruh tindakan Polri akan terkontrol, meskipun bisa saja
presidennya melakukan abuse of power dengan menggunakan kekuatan
Polri. Tetapi dalam sistem pemerintahan, ada beberapa lembaga yang selalu
mengawasi kebijakan Presiden, yaitu; mulai dari rakyat secara langsung
maupun dewan legislatif.
Kalau diletakkan dalam satu kementerian, sedangkan dalam konsep
pemerintah bahwa menteri adalah pejabat politik ( political appointees),
maka akan mudah terjadi kooptasi politik terhadap tugas dan kewenangan

Polri dalam rangka mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, dan
penegakan hukum.

Kita tak mungkin dengan serta merta mengadopsi sistem kepolisian di
negara lain, tanpa melihat konteks negara tersebut, kemudian
membandingkan dengan konteks negara kepulauan, Indonesia. Kepentingan
negara jelas harus menjadi prioritas dalam menata sistem kepolisian, hal
yang tak dapat ditawar sekiranya itu menjadi hal terbaik. Dalam konteks keIndonesia-an, persoalan kedewasaan politik masih menempuh jalan yang
sangat panjang. Hal ini berbeda dengan negara-negara demokrasi dengan
sistem pemerintahan yang sudah mapan seperti di Amerika Serikat. Karena
di negara-negara dengan sistem demokrasinya yang sudah mapan,
accountability kepolisian sudah terbentuk dengan semacam lembaga
Kompolnas yang saat ini sudah ada seperti di Indonesia dengan rasio
kesadaran hukum masyarakatnya yang tinggi.
Di samping itu, penempatan Polri di bawah kementerian hanya akan
mempersempit kewenangan kepolisian. Sistem dan struktur pemerintahan
NKRI tidak menganut federalisme dan bukan pula sentralisme. Manajemen
pemerintahan NKRI memberlakukan prinsip dekonsentrasi, dengan
kekuasaan (politik, atau power) tetap berada di tangan pemerintah pusat,
dan kewenangan (administratif, atau authority) diserahkan kepada daerah.
Dengan kewenangan yang lebih sempit, polisi akan kesulitan menangani
kasus-kasus lintas daerah. Bahkan penempatan (penugasan) anggota Polri
pun akan mengalami kendala. Daerah-daerah kaya memiliki sumberdaya
politik dan ekonomi yang lebih kuat untuk menarik SDM polisi yang terbaik
ke daerahnya. Yang lebih berbahaya justru kemungkinan hipotetis
sebaliknya, yaitu elite yang merasa kepentingan politiknya terganggu di
suatu daerah akan dapat memaksa dan menggerakkan kewenangan
kepolisian di luar kewenangannya.
Maka, pertanyaan paling relevan untuk diajukan adalah, apakah sistem
kepolisian di Indonesia paling ideal? Jawabanya tentu bukan. Namun, sistem
inilah yang paling ideal dengan kondisi Indonesia masa kini dengan segala
argumen yang menyertainya. Harus dipahami bahwa setiap negara memiliki
karakteristik dan kondisi keamanan masing-masing. Sehingga format dan
corak serta sistem kepolisian di suatu negara juga berbeda. Yang terpenting
dalam kedudukan Polri adalah bagaimana membangun paradigma tentang
akuntabilitas subtantif, bukan pada kajian posisi kelembagaan yang berlarutlarut. Posisi Polri di mana pun harus terukur sejauh mana akuntabilitas Polri
dalam rangka menjalankan amanat reformasi yaitu: pembenahan pada
aspek instrumental, struktural, dan kultural.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola keamanan negara, Polri
harus menjadi lembaga yang mandiri, bebas dari intervensi lembaga negara

lainnya. Bila misalnya terdapat penyelidikan perkara korupsi atau kejahatan
apapun, tidak boleh ada intervensi oleh atasan atau unsur kekuasaan
lainnya.
Kedudukan institusi kepolisian tidaklah mesti seragam di seluruh dunia. Jelas
akan disesuaikan dengan definisi setiap negara-bangsa mengenai peran dan
fungsi kepolisian mereka. Indonesia menetapkan Polri sesuai dengan definisi
dan kebutuhan nasional, yaitu sebagai Bhayangkara Negara. Suatu definisi
yang ditetapkan di dalam Konstitusi maupun peraturan perundangundangan, setelah melalui sejarah, dan eksperimen yang panjang.
Bertolak dari pahaman tentang tata negara, dikenal Trias Politika yang
memilah tiga cabang kekuasaan negara. Polri diberi tugas dan fungsi untuk
bekerja di bawah cabang kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif sekaligus.
Sebagai institusi negara yang bekerja dalam cabang kekuasaan Eksekutif
mengharuskan Polri melayani masyarakat, atau bekerja menjalankan fungsifungsi public services. Fungsi dan tugas ini oleh Polri dirumuskan sebagai
perlindungan, pengayoman dan pelayanan (lin, yom, yan) masyarakat.
Dengan kedudukan dan pelaksana fungsi-fungsi ini, maka Polri yang diwakili
oleh Kapolri menginduk pada Presiden RI selaku Kepala Pemerintahan.
Selain itu, Polri menjalankan tugas dan fungsi sebagai penegak hukum di
bawah cabang kekuasaan Yudikatif. Sementara Presiden RI adalah Kepala
Negara, yang menjalankan cabang kekuasaan Eksekutif dan sebagian
Yudikatif. Dalam kerangka inilah, Polri yang diwakili oleh Kapolri,
bertanggungjawab kepada dan berada langsung di bawah Presiden RI selaku
Kepala Negara.
Sesuai dengan pengalaman setelah pemisahan dengan ABRI, Polri terus
membenahi diri. Sudah lebih sepuluh tahun Polri melakukan tugasnya
mereformasi diri. Kedudukan Kapolri di bawah Presiden telah menjadikan
Polri lebih optimal dan maksimal dalam menjalankan tugasnya.
Polri dalam paradigma baru, hendaknya tidak dipandang secara sempit
sebagai institusi profesi—melainkan harus dicermati sebagai respresentasi
fungsi Negara—dalam melindungi warga negaranya di bawah payung
hukum. Oleh karena peran strategis Polri tersebut, maka diperlukan suatu
kedudukan Polri yang dapat menjamin kemandirian Polri dalam
melaksanakan tugas pokok dan wewenangnya sebagaimana yang
diamanatkan oleh undang-undang.
Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memasuki tahap yang memberi
arah civilian, dimana pendekatan kemasyarakatan begitu kental terarah
dalam setiap pasal dan bab yang ada dalam undang-undang kepolisian.
Karena telah melihat kondisi terbalik pada masa Orde Baru yang cukup
panjang, sehingga salah satu tuntutan reformasi tahun 1998 adalah

mereposisi kepolisian secara utuh. Saat ini sudah hampir mendekati sistem
kepolisian ideal yang diharapkan oleh anggotanya sendiri maupun
masyarakat. Kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan terpisah dari ABRI,
dan sekarang yang perlu dilakukan Polri adalah melakukan peningkatan
sumberdaya manusianya serta melakukan pembenahan secara maksimal.
Kedudukan Polri yang tampak seolah-olah membuat Polri memiliki
kewenangan yang sangat luas, berlebihan (eksesif), dan dapat cenderung
disalahgunakan, namun adanya prinsip diskresi membuat Polri bukan sebuah
institusi yang kewenangannya bersifat komando dan tak terbatas, sehingga
pada
setiap
jenjang
kewenangan
seseorang
dapat
dimintai
pertanggungjawaban.
Prinsip diskresi membawa kesulitan lain jika Polri ditempatkan di bawah
kementerian. Birokrasi disusun berdasarkan prinsip kewenangan berjenjang,
sehingga eselon atau bawahan tidak mungkin mengawasi, apalagi
memeriksa, atasannya. Sebaliknya, diskresi memungkinkan seorang
bawahan dapat melakukan tindakan hukum terhadap atasan yang
melakukan pelanggaran hukum.
Kedudukan Polri di bawah Presiden saat ini sudah relevan dengan dinamika
situasi perpolitikan di Indonesia, mengingat bangsa Indonesia saat ini sedang
berada dalam masa transisi dari era Orde Baru yang kental dengan sifat
pemerintahan yang otoriter menuju era supremasi demokrasi di era
reformasi. Terkait dengan hal tersebut, Polri telah berupaya menunjukkan
kepada publik bahwa dengan kedudukan Polri saat ini, Polri dapat secara
optimal mengemban amanat undang-undang, dan tidak menjadikan Polri
arogan mengingat luasnya wewenang yang dimilikinya.
Program-program yang dilaksanakan dalam tugas kepolisian di kewilayahan
sudah dapat dilihat hasilnya, sementara yang perlu dan wajib dilakukan
adalah adanya penyederhanaan sistem birokrasi untuk pelayanan kepada
masyarakat. Pengawasan juga diperlukan dalam rangka menjaga supaya
tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam praktekpraktek kerja di lapangan. Dalam rangka menjaga Polri agar tetap pada rule
tugas dan wewenangnya adalah meningkatkan peran pengawasan, baik
internal maupun eksternal.
Olehnya itu, dengan segala perkembangan dinamika masyarakat Indonesia,
maka sistem kepolisian kita saat ini, menjadi pilihan paling logis untuk
menjaga keutuhan bangsa. Sebenarnya yang layak diajukan pertanyaan
adalah, sejauh mana kinerja Polri mampu menghadirkan rasa aman di
tengah masyarakat. Jaminan untuk kehidupan berbangsa yang harmonis.
Bukan malah berkutat pada pertanyaan posisi Polri atau disejajarkan dengan
siapa. Masing-masing lembaga negara jelas memiliki peran vital dalam
menjaga kedaulatan negara, termasuk Polri.[]

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24