Dokumen skripsi 1 . docx

si

ANALISIS PERSEPSI AKUNTAN
TERHADAP STANDAR AKUNTANSI
KEUANGAN ENTITAS TANPA
AKUNTABILITAS PUBLIK (SAK ETAP)
Posted by adriansyahnantu ⋅ Januari 30, 2012 ⋅ & Komentar
ANALISIS PERSEPSI AKUNTAN TERHADAP STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN
ENTITAS TANPA AKUNTABILITAS PUBLIK (SAK ETAP)
OLEH
ADITYAWAN SALAM
A 311 06 088
Skripsi Sarjana Lengkap Untuk Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Pada Fakultas Ekonomi
Universitas Hasanuddin
2010
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN
ABSTRAK
KATA

DAFTAR
DAFTAR
DAFTAR
DAFTAR
BAB
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
BAB
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
Standar

JUDUL
PENGESAHAN


I
Latar
Rumusan
Tujuan
Kegunaan
Sistematika
II
TINJAUAN
Definisi
Definisi
Jenis-Jenis
Akuntansi
Yang
Berlaku

PENGANTAR
ISI
GAMBAR
TABEL
LAMPIRAN

PENDAHULUAN
Belakang
Masalah
Penelitian
Penelitian
Penulisan
PUSTAKA
Persepsi
Akuntan
Akuntan
di
Indonesia

2.5.
Standar
Akuntansi
Keuangan
Entitas
Tanpa
Akuntabilitas

Publik
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1.
Populasi
dan
Sampel
Penelitian
3.2.
Jenis
dan
Sumber
Data
3.3.
Metode
Pengumpulan
Data
3.4.

Metode
Analisis
Data
BAB
IV
ANALISIS
DATA
DAN
PEMBAHASAN
4.1.
Deskripsi
Sampel
Penelitian
4.2.
Uji
Kualitas
Data
4.3.
Analisis
Data

BAB
V
PENUTUP
5.1
Simpulan
5.2
Keterbatasan
Penelitian
5.3
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN : KUISIONER
DAFTAR PUSTAKA
Berry, A., E. Rodriguez dan H. Sandeem, Small and Medium Enterprises Dynamics in Indonesia.
Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (3):363-384, 2001
Damarjati, Rudita Arya, Exposure Draft Standar Akuntansi Keuangan Untuk Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) serta Analisa Perbandingannya dengan PSAK, FEUI: 2007
Dewan Standar Akuntansi Keuangan, Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas
Publik, Ikatan Akuntan Indonesia, Jakarta, 2009

Dewan SPAP IAI Kompartemen Akuntan Publik , Standard Profesi Akuntan Publik, per 1 januari
2001, Jakarta: Salemba Empat. 2001
Dewan Standar Akuntansi Keuangan, Standar Akuntansi Keuangan, Ikatan Akuntan Indonesia
Jakarta: Salemba Empat, 2007
http://www.iaiglobal.or.id. Diakses 27 Juli 2010.
http://www.pwc.com. Diakses 27 Juli 2010
http://wikipedia.com. Diakses 27 Juli 2010
Ikhsan, Arfa dan Muhammad Ishak. Akuntansi Keprilakuan. Salemba Empat : Jakarta. 2005.
International Accounting Standards Board (IASB), International Fnancial Reporting Standard
for Small Medium Entities (IFRS for SMEs).2009

Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, Metode Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan
Manajemen,
Edisi
Pertama,
Jakarta:
BPFE
Yogyakarta.
2002
Kell, Water G. dan William G. Boynton, Modem Auditing, Seventh Edition, USA : John Willey

and Sons,Inc. 2001.
Kuncoro, M., A Quest for Industrial Districts: An Empirical study of Manufacturing Industries
in Java. Makalah disajikan dalam lokakarya Economic Growth and Instutional Change in
Indonesia during the 19th and 20th Centuries, Amsterdam 25-26 Februari. 2002.
Mubyarto, “Mengembangkan Ekonomi Rakyat Sebagai Landasan Ekonomi Pancasila,” Seminar
Ekonomi Untuk Masa Depan Indonesia Pasca-IMF, KOPMA-UGM, 11 Oktober 2003
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Standar Akuntansi Pemerintahan, Cetakan
Pertama, Bandung: Fokus Media, 2005
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1993
Robbins, Stephen P. Prinsip-Prinsip Perilaku Keorganisasian. Erlangga: Jakarta. 2002.
Soemarso, Akuntansi Suatu Pengantar, Edisi lima (Revisi), Jakarta: Salemba Empat, 2004
Sugiyono. Statistik untuk Penelitian. Cetakan Kesepuluh. Bandung: Alfabeta. 2007
Sugiyarso, Dasar – Dasar Akuntansi, Edisi pertama, Yogyakarta. 2005
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa
Indonesia”, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka, 1999
“Uni European Decision”, 2002
Wahdini dan Suhairi, “Persepsi Akuntan terhadap Overload Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
bagi Usaha Kecil dan Menengah”, Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang: 2006
Wahyudi, Muhammad, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Informasi

Akuntansi pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Yogyakarta, Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro, 2009
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Persepsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:674) persepsi diartikan sebagai tanggapan

(penerimaan) langsung dari sesuatu atau merupakan proses seseorang mengetahui bebarapa hal
melalui panca inderanya. Sedangkan menurut Rakhmat (1993:88) disebutkan bahwa persepsi
merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubugan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Ikhsan dan Ishak (2005:57), persepsi
adalah bagaimana orangorang melihat atau menginterpretasikan peristiwa, objek, serta manusia.
Pada kenyataanya, masing-masing orang memiliki persepsinya sendiri atas suatu kejadian
sehingga berbeda satu dengan yang lainnya. Definisi persepsi yang formal adalah proses dengan
mana seseorang memilih, berusaha, dan menginterpretasikan rangsangan ke dalam suatu
gambaran yang terpadu dan penuh arti.
Riset tentang persepsi secara konsisten menunjukkan bahwa individu yang berbeda dapat melihat
hal yang sama tetapi memahaminya secara berbeda. Kenyatannya adalah bahwa tak seorang pun

dari kita dapat melihat realitas. Yang kita lakukan adalah menginterpretasikan apa yang kita lihat
dan menyebutnya sebagai realitas. Persepsi setiap individu mengenai suatu objek atau
peristiwa sangat tergantung pada kerangka ruang dan waktu yang berbeda. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam diri seseorang (aspek kognitif) dan faktor dunia
luar (aspek stimulus visual). Robins (2002: 32) mengatakan bahwa persepsi suatu individu
terhadap objek sangat mungkin memiliki perbedaan dengan persepsi individu lain terhadap objek
yang sama. Fenomena ini menurutnya disebabkan oleh beberapa faktor yang apabila
digambarkan tampak seperti gambar berikut:
Gambar 2.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Sumber: Tesis Novius 2008 (Robins:2002)
Berdasarkan gambar di atas, terdapat faktor yang bekerja untuk membentuk persepsi dan
kadangkala membiaskan persepsi. Faktor-faktor tersebut dapat terletak pada orang yang
mempersepsikannya, objek atau konteks di mana persepsi itu dibuat. Ketika seorang individu
melihat suatu sasaran dan berusaha menginterpretasikan apa yang ia lihat, interpretasi itu sangat
dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi meliputi sikap,
kepribadian, motif, kepentingan, pengalaman masa lalu, dan harapan. Begitu pula
dengan karakteristik sasaran yang diobservasi dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan.
Faktor situasi seperti waktu, keadaan tempat, keadaan sosial juga mempengaruhi dalam
membentuk persepsi seseorang tehadap objek/peristiwa yang akan dipersepsikan.

Di samping itu, persepsi bergantung pada rangsangan fisik dan kecenderungan individu tersebut.
Ransangan fisik adalah input yang berhubungan dengan perasaan, seperti penglihatan dan
sentuhan. Kecenderungan individu meliputi alasan, kebutuhan, sikap, pelajaran dari masa lalu,
dan harapan. Perbedaan persepsi antara orang-orang disebabkan karena perasaan individu
yang menerimanya berbeda fungsi dan disebabkan oleh kecenderungan perbedaan individu.
Kecenderungan individu seperti faktor keakraban, perasaan, arti penting, dan emosi.

Persepsi tentang objek atau peristiwa tersebut tergantung pada suatu kerangka, ruang, dan waktu
sehingga persepsi itu akan sangat subjektif dan situasional. Selain secara implisit, sudah terlihat
pada definisi diatas, argumentasi ini juga selaras dengan yang dikemukakan oleh Rakhmat
(1993:89) bahwa persepsi ditentukan oleh faktor personal dan situasional yang disebut dengan
faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman
masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk dalam apa yang disebut dengan faktor personal. Oleh
karena itu, yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimulus tetapi karakteristik orang
yang memeberikan respon pada stimulus tersebut. Sedangkan faktor situasional atau struktural
berasal semata-mata dari sifat fisik dan efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu.
Persepsi bersifat subjektif karena melibatkan aspek psikologis yaitu proses kognitif sehingga apa
yang ada dalam perkiraan individu akan ikut aktif dalam menentukan persepsi individu. Bagi
profesi akuntan, persepsi profesi merupakan pemahaman seorang akuntan terhadap apa yang
digelutinya. Pemahaman ini berkaitan dengan faktor kognitif masing-masing individu akuntan
tersebut sehingga persepsi akuntan satu dengan yang lain akan berbeda.
2.2. Definisi Akuntan
Menurut Soemarso (2004:14), akuntan merupakan suatu gelar bagi mereka yang telah lulus
ujian-ujian akuntansi seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1954.
Tenaga-tenaga akuntansi secara umum dapat didefinisikan sebagai mereka yang mempunyai
pengetahuan di bidang akuntansi.
Sedangkan menurut Sugiyarso (2005:5), akuntan adalah seseorang yang mempunyai izin akuntan
yang diberikan oleh universitas negeri atau badan perguruan tinggi lainnya yang dibentuk
menurut undang-undang yang diakui pemerintah. Akuntan mempunyai pengetahuan dan
penerapan standar akuntansi keuangan yang diterima umum. Seorang akuntan diharapkan cakap
untuk mengawasi dan mengatur pekerjaan pemegang buku dalam pencatatan, penggolongan,
peringkasan, penyajian, dan penafsiran data akuntansi.
Ketentuan mengenai praktek Akuntan di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 1954 tentang Pemakaian Gelar Akuntan (Accountant) yang mensyaratkan bahwa gelar
akuntan hanya dapat dipakai oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya dari
perguruan
tinggi
dan
telah
terdaftar
pada
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
2.3. Jenis-jenis Akuntan
Menurut Soemarso (2004:6), secara garis besar akuntan dapat digolongkan menjadi :
1.
Akuntan
Publik
Akuntan publik atau kadang disebut akuntan ekstern (external accountant) adalah akuntan
independen yang memberikan jasa-jasanya atas dasar pembayaran tertentu. Mereka bekerja
secara bebas, pada umumnya mendirikan suatu kantor akuntan. Termasuk dalam
kategori akuntan publik adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik.

Untuk dapat berpraktik sebagai akuntan publik dan mendirikan kantor akuntan, seseorang harus
memperoleh izin dari kementerian keuangan. Seorang akuntan publik dapat memberikan: (1)
Jasa Pemeriksaan; (2) Jasa perpajakan; (3) Jasa Konsutasi manajemen; (4) Jasa
akuntansi (accounting services)
2.
Akuntan
Manajemen
Akuntan manajemen atau disebut juga akuntan intern (internal accountant) adalah akuntan yang
bekerja dalam suatu perusahaan atau organisasi. Jabatan yang dapat diduduki mulai dari staf
biasa sampai dengan kepala bagian akuntansi, controller atau direktur keuangan. Tugas yang
dikerjakan dapat berupa: (1) Penyusunan sistem akuntansi; (2) Penyusunan laporan akuntansi
kepada
pihak-pihak
di
luar
perusahaan;
(3)
Penyusunan laporan akuntansi kepada pihak manajemen; (4) penyusunan anggaran; (5)
menangani masalah perpajakan; (6) melakukan pemeriksaan intern.
3.
Akuntan
Pemerintah
Akuntan pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada badan-badan pemerintah, seperti di
departemen-departemen, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan
Pemeriksa
Keuangan
(BPK), Direktorat Jenderal Pajak dan lain-lain.
4.
Akuntan
Pendidik
Akuntan Pendidik terutama bertugas dalam pendidikan akuntansi, yaitu mengajar, menyusun
kurikulum, pendidikan akuntansi dan melakukan penelitian di bidang akuntansi.
2.4. Standar Akuntansi Keuangan yang Berlaku di Indonesia
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) hingga saat ini telah menerbitkan empat standar akuntansi di
Indonesia atau yang biasa disebut empat pilar standar akuntansi Indonesia. Empat pilar standar
akuntansi tersebut yaitu:
1. Standar Akuntansi Keuangan
Standar Akuntansi Keuangan ini memuat berbagai macam standar akuntansi yang sering disebut
dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). PSAK memuat standar akuntansi yang
diperuntukkan untuk seluruh entitas tergantung jenis entitas usaha tersebut. PSAK ini telah
mengalami beberapa perubahan dari tahun ke tahun dan berkiblat kepada IFRS. Sehingga
beberapa standar mengadopsi kepada IFRS.
2.
Standar
Akuntansi
Pemerintahan
Standar akuntansi pemerintahan ini diperuntukkan bagi entitas sektor publik. Standar akuntansi
pemerintahan ini merupakan suatu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 dan merupakan
pedoman
bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam melakukan pengelolaan keuangannya.
3.
Standar
Akuntansi
Keuangan
Syariah
Merupakan perubahan atas akuntansi perbankan syariah yang ada di PSAK. Karena semakin
berkembangnya usaha berbasis syariah di Indonesia. Landasan konseptual untuk akuntansi

transaksi syariah telah disusun oleh DSAK dalam bentuk Kerangka Dasar Penyusunan
dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Hal ini diperlukan karena transaksi syariah
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan transaksi usaha umumnya sehingga ada beberapa
prinsip akuntansi umum yang tidak dapat diterapkan dan diperlukan suatu penambahan prinsip
akuntansi yang dapat dijadikan landasan konseptual.
4.
Standar
Akuntansi
Keuangan
Entitas
Tanpa
Akuntabilitas
Publik
Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik atau biasa disebut dengan SAK
ETAP merupakan standar akuntansi yang diperuntukkan untuk Usaha Mikro Kecil dan
Menengah
(UMKM).
SAK
ETAP merupakan suatu standar yang merupakan jawaban atas kelemahan dari PSAK. PSAK
dinilai terlalu kompleks dan rumit jika diterapkan bagi entitas yang tidak listing di pasar modal.
2.5. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP)
2.5.1. Ruang Lingkup
Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP)
dimaksudkan untuk digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik. Entitas tanpa akuntabilitas
publik adalah entitas yang:
1. Tidak memiliki akuntabilitas publik yang signifikan; dan
2. Menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statement)
bagi pengguna eksternal. Contoh pengguna eksternal adalah pemilik yang tidak terlibat
langsung dalam pengelolaan usaha, kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.
Suatu entitas dikatakan memiliki akuntabilitas publik signifikan jika:
1. Entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam proses pengajuan
pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal atau regulator lain untuk tujuan
penerbitan efek di pasar modal; atau
2. Entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar
masyarakat, seperti bank, entitas asuransi, pialang dan atau pedagang efek, dana pensiun,
reksa dana, dan bank investasi.
Dari pernyataan diatas, jelas mengandung makna bahwa entitas kecil dan menengah yang
dimaksud oleh SAK ETAP adalah entitas kecil menengah non- listed atau entitas yang tidak
masuk dalam bursa saham. Artinya ada dua standar akuntansi yang berbeda yang dijadikan acuan
dalam
penyusunan
dan
pelaporan
keuangan. Ini berarti juga akan ada standar pengukuran dan pengungkapan yang berbeda dari
masing-masing standar akuntansi tersebut. Di satu sisi ada SAK ETAP yang khusus ditujukan
untuk entitas kecil menengah yang non-listed, di sisi lain ada SAK umum, dalam hal ini PSAK
yang ditujukan untuk entitas lainnya, termasuk entitas kecil menengah jika entitas tersebut
termasuk listed company. Laporan keuangan yang dihasilkan oleh suatu entitas nantinya

harus menyebutkan bahwa laporan keuangan tersebut telah dinyatakan sesuai dengan standar
akuntansi yang digunakan, apakah SAK ETAP atau PSAK.
2.5.2. Karakteristik Kualitatif Informasi dalam Laporan Keuangan
Tujuan dari laporan keuangan SAK ETAP itu sendiri adalah menyediakan informasi mengenai
posisi keuangan, kinerja, dan laporan arus kas suatu entitas yang bermanfaat bagi sejumlah besar
pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi oleh siapapun yang tidak dalam posisi dapat
meminta
laporan
keuangan
khusus untuk memenuhi informasi tertentu. Dalam memenuhi tujuannya, laporan keuangan juga
menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen (stewardship) atau pertanggungjawaban
manajemen atas sumberdaya yang dipercayakan kepadanya.
Salah satu ciri khas ynag membuat informasi dalam laporan keuangan berguna bagi
penggunanya adalah karakteristik kualitatif, yaitu:
1.
Dapat
dipahami
(Understandability)
Kualitas penting informasi yang disajikan dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk
segera dapat dipahami oleh penggunanya. Untuk maksud ini, pengguna diasumsikan memiliki
pengetahuan
yang
memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi serta kemauan untuk mempelajari
informasi tersebut dengan ketekunan yang wajar. Namun demikian, kepentingan agar laporan
keuangan dapat dipahami tetapi tidak sesuai dengan informasi yang relevan harus diabaikan
dengan pertimbangan bahwa informasi tersebut terlalu sulit untuk dipahami oleh pengguna
tertentu.
2.
Relevan
(Relevance)
Agar bermanfaat, informasi harus relevan dengan kebutuhan pengguna untuk proses
pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan jika dapat mempengaruhi keputusan
ekonomi pengguna dengan cara membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini,
masa depan dan menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu.
3.
Materialitas
(Materiality)
Informasi dipandang material jika kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat
informasi tersebut dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna yang diambil atas dasar
laporan keuangan. Materialitas tergantung pada besarnya pos atau kesalahan yang dinilai sesuai
dengan situasi tertentu dari kelalaian dalam mencantumkan (omission) atau kesalahan dalam
mencatat (misstatement). Namun demikian, tidak tepat membuat atau membiarkan kesalahan
untuk menyimpang secara tidak material dari SAK ETAP agar mencapai penyajian tertentu dari
posisi keuangan, kinerja keuangan atau arus kas suatu entitas.
4.
Keandalan
(Reliability)
Agar bermanfaat, informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus handal. Informasi
memiliki kualitas andal jika bebas dari kesalahan material dan bias, dan penyajian secara jujur
apa
yang
seharusnya
disajikan
atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. Laporan keuangan tidak bebas dari bias

(melalui pemilihan atau penyajian informasi) jika dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan
suatu
keputusan
atau
kebijakan untuk tujuan mencapai suatu hasil tertentu.
5.
Substansi
mengungguli
bentuk
(subtance
over
form)
Transaksi, peristiwa dan kondisi lain dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realita
ekonomi dan bukan hanya bentuk hukumnya. Hal ini untuk meningkatkan keandalan laporan
keuangan.
6. Pertimbangan Sehat (Prudence)
Ketidakpastian yang tidak dapat diabaikan meliputi berbagai peristiwa dan keadaan yang
dipahami berdasarkan pengungkapan sifat dan penjelasan peristiwa dan keadaan tersebut dan
melalui penggunaan pertimbangan sehat dalam menyusun laporan keuangan. Pertimbangan sehat
mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan pertimbangan yang diperlukan
dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau penghasilan tidak disajikan lebih tinggi dan
kewajiban atau beban tidak disajikan lebih rendah. Namun
demikian, penggunaan pertimbangan sehat tidak memperkenankan pembentukan aset atau
penghasilan ynag lebih rendah atau pencatatan kewajiban atau beban yang lebih tinggi.
Singkatnya, pertimbangan sehat
tidak mengijjinkan bias.
7.
Kelengkapan
(completeness)
Agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam batasan
materialitas dan biaya. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan mengakibatkan informasi
menjadi tidak benar atau menyesatkan dan karena itu tidak dapat diandalkan dan kurang
mencukupi ditinjau dari segi relevansi.
8.
Dapat
dibandingkan
(comparability)
Pengguna harus dapat membandingkan laporan keuangan entitas antar periode untuk
mengidentifikasi kecenderungan posisi dan kinerja keuangan. Pengguna juga harus dapat
membandingkan laporan keuangan antar entitas untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja
serta perubahan posisi keuangan secara relatif. Oleh karena itu, pengukuran dan penyajian
dampak keuangan dari transaksi dan peristiwa lain yang serupa harus dilakukan secara konsisten
untuk
suatu
entitas,
antar
periode
untuk
entitas
tersebut
dan
untuk entitas yang berbeda. Sebagai tambahan, pengguna laporan keuangan harus mendapat
informasi tentang kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan,
perubahan kebijakan akuntansi dan pengaruh dampak perubahan tersebut.
9.
Tepat
waktu
(Timeliness)
Agar relevan, informasi dalam laporan keuangan harus dapat mempengaruhi keutusan ekonomi
para penggunanya. Tepat waktu meliputi penyediaan informasi laporan keuangan dalam jangka
waktu pengambilan keputusan. Jika terdapat penundaan yang tidak semestinya dalam
pelaporan, maka informasi yang dihasilkan akan kehilangan relevansinya. Manajemen mungkin
perlu menyeimbangkan secara relatif antara pelaporan tepat waktu dan penyediaan informasi
yang
andal.
Untuk
mencapai
keseimbangan
antara

relevansi dan keandalan, maka pertimbangan utama adalah bagaimana yang terbaik untuk
memenuhi kebutuhan pengguna dalam mengambil keputusan ekonomi.
10. Keseimbangan antara biaya dan manfaat (balance between benefit and cost)
Manfaat informasi seharusnya melebihi biaya penyediaannya. Namun demikian, evaluasi biaya
dan manfaat merupakan proses pertimbangan yang substansial. Biaya tersebut juga tidak perlu
ditanggung oleh pengguna yang menikmati manfaat. Dalam evaluasi manfaat dan biaya, entitas
harus memahami bahwa manfaat informasi mungkin juga manfaat yang dinikmati oleh pengguna
eksternal.
2.5.3. Penyajian Laporan Keuangan
Penyajian laporan keuangan dalam SAK ETAP tidak berbeda dengan sebagaimana yang diatur
dalam PSAK 1: Penyajian laporan keuangan, dimana secara substansi pengaturan tersebut
merupakan ringkasan dari PSAK yang juga mencakup pengaturan mengenai komponen laporan
keuangan. Perbedaan yang paling mendasar adalah, dalam SAK ETAP, entitas yang
menggunakan standar ini harus mengungkapkan pernyataan bahwa entitas patuh secara
keseluruhan terhadap SAK ETAP ini dalam catatan atas laoran keuangannya. Hal lain terkait
dengan pengaturan mengenai penyajan laporan keuangan ini adalah kelangsungan
usaha, frekuensi pelaporan, konsistensi penyajian, informasi komparatif, materialitas, agregasi
dan komponen lengkap laporan keuangan. Posisi dan kinerja keuangan yang ada dalam SAK
ETAP secara umum tidak berbeda dengan yang ada dalam PSAK, yaitu Aset , kewajiban,
ekuitas, penghasilan dan beban. Dalam SAK ETAP, ada beberapa perbedaan yang signifikan
dengan PSAK yaitu :
1. Tidak diperkenankannya adanya “pos luar biasa”
2. Diperkenankannya untuk menggabungkan laporan laba rugi dan laporan perubahan jika
memenuhi kondisi tertentu, yaitu perubahan ekuitas yang hanya berasal dari :


Laba Rugi periode berjalan



Pembayaran dividen



Koreksi kesalahan periode sebelumnya



Perubahan kebijakan akuntansi

Adanya pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan mengenai judgement ketidakpastian
dan persyaratan modal. Adapun perbedaan mendasar antara Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) dengan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP),
menurut Pricewaterhouse Coopers yaitu:
Tabel 2.2. Perbedaan PSAK dengan SAK ETAP Perbedaan PSAK SAK ETAP

Sumber : http://www.pwc.com
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah sekelompok orang, kejadian atau segala sesuatu yang mempunyai karakteristik
tertentu. Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu
yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili
populasi (Indriantoro dan Supomo, 2002:18).
1. Populasi dalam penelitian ini adalah akuntan yang berada di kota Makassar.

2. Sampel ditentukan berdasarkan purposive sampling. Purposive Sampling digunakan
karena peneliti menganggap bahwa akuntan mempunyai pengetahuan terhadap akuntansi
(information rich), dan seringkali berhadapan dengan pengusaha baik yang tergolong
usaha kecil maupun usaha besar. Adapun identifikasi sampel yang digunakan yaitu
akuntan publik yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ada di Makassar dan
juga akuntan manajemen yang bekerja pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang ada di
Makassar. Kedua sampel tersebut dipilih karena akuntan publik memiliki arus informasi
yang cepat sehingga isu tentang SAK ETAP telah diketahui sebelumnya. Sedangkan
untuk akuntan manajemen yang bekerja di BPR dipilih karena BPR telah menerapkan
SAK ETAP per tanggal 1 januari 2010 sehingga akuntan manajemen memiliki
pengetahuan yang lebih tentang SAK ETAP.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu data
yang diperoleh dari jawaban responden terhadap pertanyaan yang ada dalam kuesioner berupa
nilai atau skor. Sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang diperoleh
langsung dari responden berupa jawaban terhadap kuesioner. Angket (kuesioner) merupakan
suatu teknik pengumpulan data dan informasi dengan memakai daftar pertanyaan yang diajukan
kepada responden mengenai suatu masalah. Pertanyaan yang diajukan kepada responden
berkaitan mengenai persepsi akuntan terhadap Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa
Akuntabilitas Publik (SAK ETAP).
3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Angket (kuesioner) merupakan suatu teknik pengumpulan data dan informasi dengan
memakai daftar pertanyaan yang diajukan kepada responden mengenai suatu masalah.
2. Penelusuran kepustakaan (library research) adalah pengumpulan data dan informasi yang
relevan melalui membaca dan menelaah buku, majalah, artikel, jurnal, dan tulisan-tulisan
di situs-situs internet yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
3.4.
Metode
3.4.1. Variabel dan Pengukuran

Analisis

Data

Pengukuran variabel dilakukan berdasarkan tingkat relevan dan efektifitas, dengan menggunakan
skala likert 1 – 5. Suatu standar dikatakan relevan apabila informasi yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Suatu standar dikatakan efektif apabila
manfaat yang dihasilkan dari informasi yang dihasilkan lebih besar atau seimbang dengan biaya
yang dikeluarkan untuk menghasilkan informasi tersebut.
3.4.2. Teknik Pengolahan Data

Sebelum pengujian hipotesis, akan dilakukan analisis validitas dan reliabilitas data. Analisis
validitas dilakukan dengan menggunakan metode corrected item-Total Correlation dan melihat
Cronbach Alpha untuk menguji reliabilitas.
1)
Uji
Validitas
Data
Validitas berhubungan dengan ketepatan alat ukur untuk melakukan tugasnya mencapai
sasarannya. Uji validitas ditujukan untuk mengukur seberapa nyata suatu pengujian/instrument
mengukur
apa
yang
seharusnya
diukur.
Pengukuran dinyatakan valid jika mengukur tujuannya dengan nyata atau benar. Pengujian
validitas data dalam penelitian ini dilakukan secara statistik yaitu dengan menghitung korelasi
antara masing-masing pertanyaan dengan skor total dengan menggunakan metode corrected item
– Total Correlation.
2) Uji Reliabilitas Data
Reliabilitas data untuk mengetahui seberapa besar pengukur mengukur dengan stabil dan
konsisten (Indriantoro,2002:28). Jadi reliabilitas menunjukkan apakah instrumen tersebut secara
konsisten memberikan hasil ukuran yang sama tentang sesuatu yang diukur pada waktu yang
berlainan. Besarnya tingkat reliabilitas ditunjukkan oleh nilai koefisiennya, yaitu koefisien
reliabilitas.
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan cronbach alpha. Koefisien cronbach alpha
yang lebih dari 0,60 menunjukkan keandalan (reliabilitas) instrumen. Selain itu, cronbach alpha
yang semakin mendekati 1 menunjukkan konsistensi reliabilitas internalnya.
3)
Uji
Hipotesis
Setelah melakukan pengujian data, dilakukan pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan T-Test dengan memanfaatkan program komputer SPSS. Pengujian ini
menggunakan independent sample T Test.

//
you're reading...
Uncategorized

BAB I PENDAHULUAN – PERSEPSI
MAHASISWA TERHADAP FRAUD (Studi
Empiris Pada Mahasiswa Akuntansi
Universitas Hasanuddin)
Posted by adriansyahnantu ⋅ Maret 17, 2012 ⋅ & Komentar

Daftar Isi >> Abstrak >> Bab I Pendahuluan >> Bab II Landasan Teori >> Bab III Metoda
Penelitian >> Bab IV Tinjauan Umum Objek Penelitian >> Bab V Pembahasan >> Bab VI
Penutup >> Lampiran Kuisioner
BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk hidup dan mahluk sosial tentunya memiliki beberapa kebutuhan yang
harus dipenuhi. Robins (2008:224) mengutip Abraham Maslow dalam teorinya mendefinisikan
kebutuhan manusia menjadi lima. Pertama, kebutuhan psikologis manusia, yaitu kebutuhan akan
makanan, minuman, tempat berlindung (rumah), dan pertolongan dari kesulitan. Kedua,
kebutuhan akan keamanan yaitu kebutuhan manusia akan kebebasan dari ancaman atau
keamanan atas kejadian atau lingkungan yang mengancam. Ketiga, kebutuhan akan rasa
memiliki, secara sosial, dan kasih sayang yang meliputi kebutuhan akan persahabatan, persatuan
dan interaksi secara sosial. Keempat, kebutuhan manusia akan penghargaan baik terhadap diri
sendiri maupun dari orang lain. Yang kelima, kebutuhan akan penunjukan diri yang sebenarnya
yaitu kebutuhan manusia untuk memenuhi diri sendiri dengan memaksimalkan penggunaan dari
kemampuan, keahlian dan potensi diri.
Beragam kebutuhan diatas merupakan motivasi bagi seseorang untuk melakukan suatu tindakan
nyata agar kebutuhannya dapat terpenuhi. Sayangnya, tidak semua orang dapat memenuhi
kebutuhannya dengan cara yang dibenarkan. Adanya hambatan-hambatan seperti perbedaan
kepentingan, tekanan dari lingkungan keluarga maupun dari lingkungan kerja, gaji yang rendah
dan sedikitnya penghargaan yang diterima, memotivasi seseorang untuk mengambil jalan pintas
dengan melakukan tindakan fraud.
Fraud merupakan bentuk dari ketidakjujuran manusia. Namun, melakukan fraud kadang menjadi
suatu pilihan bagi sebagian orang yang berada dalam kondisi terdesak oleh besarnya hambatan
yang harus dihadapi. situasi seperti ini dapat saja terjadi di lingkungan kita khususnya ketika
terdapat sebagian orang yang merasa bahwa kejujuran itu bersifat situasional. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Wells (2007) yang mengemukakan bahwa there is no such thing as a person
who is completely honest (or dishonest, for the matter) in all situations; it depends on what is at
stake – a scrupulously honest individual is likely to lie to avoid execution. Bahkan adapula yang
mengangap bahwa fraud itu sebagai suatu kebutuhan.
Di indonesia, beragam fraud sering kita temukan, lebih dikenal dengan istilah korupsi. Berbagai
kasus korupsi di Indonesia salah satunya adalah seperti yang dilaporkan oleh Indonesian
Corruption Watch (ICW) bahwa terdapat kasus penggelapan pajak di Indonesia yang dilakukan
oleh suatu perusahaan dengan memberi uang suap kepada aparat pajak.Beberapa aparat legislatif
yang juga merupakan pengusaha besar dan memiliki perusahaan-perusahaan besar di Indonesia
terkena kasus skandal penunggakan pajak, Beberapa politisi menjadikan power force
(kekuasaan) untuk menekan aparat pajak melakukan penagihan terhadap mereka. Selain itu,
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesaia juga menemukan adanya

penyelewengan atas penerimaan negara yang seharusnya disetor ke kas negara tetapi justru
masuk ke rekening negara atas nama pribadi. Kasus fraud lain yang dapat ditemukan di
Indonesia adalah manipulasi pembukuan. Tuanakotta (2007) menunjukkan bahwa pada tahun
1998 terdapat enam bank Indonesia yang melakukan overstatement disisi asset dan
understatement disisi liabilities. Selain itu, Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani
(Koran Kompas,2006) juga pernah menyatakan bahwa banyak perusahaan yang telah membuat
laporan keuangan yang berbeda atau laporan keuangan ganda (double Bookkeeping) untuk bank,
BAPEPAM, maupun Kantor Pajak.
Maraknya kasus korupsi atau praktik-praktik fraud tersebut tentu saja menarik perhatian yang
besar dari penulis. Penulis sebagai mahasiswa dan salah satu elemen masyarakat merasa bahwa
para mahasiswa seharusnya peka dan tidak boleh menutup mata terhadap permasalahan ini. Kita
seharusnya tidak hanya mengetahui tetapi juga memahami tentang fraud dan isu-isu atau
permasalahan mengenai hal tersebut. Pemahaman dan tingkat kepekaan mengenai hal ini tentu
saja dapat mempengaruhi persepsi mahasiswa mengenai praktik-praktik fraud. Persepsi
mahasiswa terhadap fraud ini menjadi hal penting untuk dapat membantu dalam pemberantasan
kasus-kasus fraud yang terjadi disekitar kita. Seandainya saja, seluruh elemen masyarakat
termasuk mahasiswa memiliki persepsi yang sama bahwa fraud merupakan hal yang tidak dapat
dibenarkan dan mereka peduli akan hal ini maka berbagai kasus fraud di sekitar kita akan lebih
mudah terungkap dan ditindaklanjuti atau diberantas.
Jurusan Akuntansi Universitas Hasanuddin yang merupakan tempat dimana penulis menimba
ilmu pengetahuan juga memegang peranan penting dalam pembentukan persepsi mahasiswa.
Tempat ini dapat menjadi media untuk penyampaian informasi dan pembelajaran mengenai isuisu dan hal yang terkait dengan fraud bagi para mahasiswa. Jika para mahasiswa mendapatkan
pengetahuan dan pemahaman yang cukup mengenai fraud selama dibangku kuliah maka
seharusnya mereka akan memiliki suatu persepsi yang sama terhadap hal tersebut yaitu bahwa
fraud merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan. Akan tetapi, tingkat pemahaman dan
kepekaan mahasiswa dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya disebabkan oleh faktorfaktor dalam diri mahasiswa itu sendiri. Akibatnya, persepsi mahasiswa terhadap fraud bisa saja
berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul: “Persepsi
Mahasiswa Terhadap Fraud ( Studi Empiris pada Mahasiswa Akuntansi Universitas
Hasanuddin)”.
1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dikemukakan pada
penelitian ini adalah:
Bagaimanakah Persepsi Mahasiswa Akuntansi Universitas Hasanuddin terhadap Fraud ?
1.3
1.3.1

Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa Akuntansi
Universitas Hasanuddin terhadap Fraud.
1.3.2

Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)
Bagi Penulis, untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis, terutama yang terkait
dengan masalah dalam penelitian ini.
2)
Bagi Penulis Selanjutnya, sebagai bahan bacaan atau literatur tambahan bagi penulispenulis selanjutnya yang tertarik terhadap bidang kajian ini.
Bagi Institusi Terkait, sebagai bahan masukan bagi institusi terkait tentang pentingnya
pemahaman mahasiswa terhadap masalah dalam penelitian ini.
ategorized

BAB II LANDASAN TEORI – PERSEPSI
MAHASISWA TERHADAP FRAUD (Studi
Empiris Pada Mahasiswa Akuntansi
Universitas Hasanuddin)
Posted by adriansyahnantu ⋅ Maret 17, 2012 ⋅ & Komentar
Daftar Isi >> Abstrak >> Bab I Pendahuluan >> Bab II Landasan Teori >> Bab III Metoda
Penelitian >> Bab IV Tinjauan Umum Objek Penelitian >> Bab V Pembahasan >> Bab VI
Penutup >> Lampiran Kuisioner
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1

Persepsi

2.1.1

Defenisi Persepsi

Kehidupan individu sejak dilahirkan tidak lepas dari interaksi dengan lingkungan fisik maupun
lingkungan sosialnya (Sunaryo, 2004: 93). Dalam interaksi ini, individu menerima rangsang atau
stimulus dari luar dirinya.

Setiap hari kita dibombardir oleh ribuan stimuli (Simamora, 2002: 105). Sebenarnya, stimuli itu
dapat dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah stimuli pisik (phisical stimuly) yang
datang dari lingkungan sekitar. Tipe kedua adalah stimuli yang berasal dari dalam si individu itu
sendiri dalam bentuk predisposisi, seperti harapan (expectation), motivasi (motivation), dan
pembelajaran (learning) yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya.
Kombinasi keduanya menghasilkan gambaran yang bersifat pribadi. Karena manusia merupakan
entitas yang unik, dengan pengalaman, keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengharapan yang unik,
akibatnya persepsi juga unik.
Persepsi sebagai proses dimana individu mengatur dan mengintrepetasikan kesan-kesan sensoris
mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka.(Robins, 2008: 175). Namun, apa yang
diterima seseorang pada dasarnya bisa berbeda dari realitas objektif. Walaupun seharusnya tidak
perlu ada, perbedaan tersebut sering timbul.
Lalu mengapa persepsi orang-orang berbeda untuk realitas yang sama? karena adanya perbedaan
dalam perceptual selection, perceptual organization dan perceptual interpretation (Simamora,
2002: 105)
Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses penginderaan, yaitu
proses diterimanya stimulus oleh alat indera, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke
otak dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Dengan
persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya
maupun tentang hal yang ada dalam diri individu yang bersangkutan (Sunaryo, 2004: 93).
Sedangkan menurut Walgito (2002: 271), persepsi merupakan proses psikologis dan hasil dari
penginderaan serta proses terakhir dari kesadaran, sehingga membentuk proses berpikir.
Menurut Simamora (2002: 102) persepsi adalah “bagaimana kita melihat dunia sekitar kita”. Jika
dimisalkan ada sebuah objek , toko matahari. Objek tersebut kita atau dalam bahasa canggihnya
kita mendapat stimuli tentang objek tersebut. Berdasarkan stimuli itu, kita memberikan
gambaran tentang toko matahari: “menurut saya, toko matahari itu…….. dan seterusnya.
Secara formal, persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses, dengan mana seseorang
menyeleksi, mengorganisasikan, dan menginterpretasi stimuli ke dalam suatu gambaran dunia
yang berarti dan menyeluruh (Simamora, 2002: 102). Stimuli adalah setiap input yang dapat
ditangkap oleh indera, seperti produk, kemasan, merek, iklan, harga, dan lain-lain. Stimuli
tersebut diterima oleh panca indera, seperti mata, telinga, mulut,hidung dan kulit.
Dengan demikian persepsi merupakan suatu fungsi biologis (melalui organ-organ sensoris) yang
memungkinkan individu menerima dan mengolah informasi dari lingkungan dan mengadakan
perubahan-perubahan di lingkungannya.
Istilah persepsi adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian,
pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan
dari sumber lain (yang dipersepsi). Melalui persepsi kita dapat mengenali dunia sekitar kita,
yaitu seluruh dunia yang terdiri dari benda serta manusia dengan segala kejadian-kejadiannya.

(Mateson, 2005: 116). Dengan persepsi kita dapat berinteraksi dengan dunia sekeliling kita,
khususnya antar manusia. Dalam kehidupan sosial di kelas tidak lepas dari interaksi antara
mahasiswa dengan mahasiswa, antara mahasiswa dengan dosen. Adanya interaksi antar
komponen yang ada di dalam kelas menjadikan masing-masing komponen (mahasiswa dan
dosen) akan saling memberikan tanggapan, penilaian dan persepsinya. Adanya persepsi ini
adalah penting agar dapat menumbuhkan komunikasi aktif, sehingga dapat meningkatkan
kapasitas belajar di kelas. Persepsi adalah suatu proses yang kompleks dimana kita menerima
dan menyadap informasi dari lingkungan, persepsi juga merupakan proses psikologis sebagai
hasil penginderaan serta proses terakhir dari kesadaran, sehingga membentuk proses berpikir.
Persepsi seseorang akan mempengaruhi proses belajar (minat) dan mendorong mahasiswa untuk
melaksanakan sesuatu (motivasi) belajar. Oleh karena itu, menurut Semiun (2006: 279), persepsi
merupakan kesan yang pertama untuk mencapai suatu keberhasilan.
2.1.2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, dalam
diri objek atau target yang diartikan, atau dalam konteks situasi di mana persepsi tersebut dibuat.
Asumsi Yang Didasarkan Pada Pengalaman Masa Lalu dan Persepsi Persepsi yang dipengaruhi
oleh asumsi – asumsi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dikemukakan oleh Robert
(1993:19). Robert mengemukakan konsep yang disebut dengan pandangan transaksional
(transactional view). Konsep ini pada dasarnya menjelaskan bahwa pengamat dan dunia sekitar
merupakan partisipan aktif dalam tindakan persepsi. Gunarsa (2002: 104) berpendapat bahwa
persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Disamping faktor-faktor luar yang
mempengaruhi persepsi, ada faktor-faktor internal personal umum misalnya faktor-faktor
biologis, sosiopsikologis, faktor fungsional, yakni latar belakang kebutuhan, pengalaman masa
lalu orang yang memberi respons terhadap stimuli. Menurut Rakhmat (2007:55-56), persepsi
bersifat selektif secara fungsional, artinya objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi
biasanya adalah objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.
Robbins (2008:175), mengemukakan bahwa ketika seorang individu melihat sebuah target dan
berusaha untuk menginterpretasikan apa yang ia lihat, interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh
berbagai karakteristik pribadi dari pembuat persepsi tersebut, seperti sikap, kepribadian, motif,
minat, pengalaman-pengalaman masa lalu dan harapan-harapan seseorang. Selain itu
karakteristik target yang diobservasi juga bisa mempengaruhi apa yang diartikan. Lebih jauh
Robbins menjelaskan bahwa konteks dimana kita melihat berbagai objek atau peristiwa juga
penting selain dari faktor yang dua di atas. Waktu sebuah objek atau peristiwa dilihat dapat
mempengaruhi perhatian, seperti halnya lokasi, cahaya, panas, atau sejumlah faktor situasional
lainnya.
Menurut Robbins (2008:176) secara implisit persepsi suatu individu terhadap suatu obyek sangat
mungkin memiliki perbedaan dengan persepsi Individu lainnya terhadap obyek yang sama.
Fenomena ini dikarenakan oleh beberapa faktor yang jika digambarkan tampak sebagai berikut:

Faktor dalam situasi:
-Waktu
-Keadaan/ Tempat
-Keadaan Sosial
Persepsi
Faktor pada Pemersepsi:
-Sikap
-Motif
-Kepentingan
-Pengalaman
-Pengharapan
Faktor pada Target:
-Hal Baru
-Gerakan
-Bunyi
-Ukuran
-Latar Belakang
-Kedekatan
Gambar 2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Sumber: Robins:Perilaku Organisasi 2008.
2.1.3

Jenis-Jenis Persepsi

Proses pemahaman terhadap rangsang atau stimulus yang diperoleh oleh indera menyebabkan
persepsi terbagi menjadi beberapa jenis :
1)

Persepsi visual.

Persepsi visual didapatkan dari indera penglihatan. Persepsi ini adalah persepsi yang paling awal
berkembang pada bayi, dan mempengaruhi bayi dan balita untuk memahami dunianya. Persepsi
visual merupakan topik utama dari bahasan persepsi secara umum, sekaligus persepsi yang
biasanya paling sering dibicarakan dalam konteks sehari-hari.
2)

Persepsi auditori.

Persepsi auditori didapatkan dari indera pendengaran yaitu telinga.
3)

Persepsi perabaan.

Persepsi perabaan didapatkan dari indera taktil yaitu kulit.
4)

Persepsi penciuman.

Persepsi penciuman atau olfaktori didapatkan dari indera penciuman yaitu hidung.
5)

Persepsi pengecapan.

Persepsi pengecapan atau rasa didapatkan dari indera pengecapan yaitu lidah.
2.1.4

Pembedaan dengan Sensasi

Istilah persepsi sering dikacaukan dengan sensasi. Sensasi hanya berupa kesan sesaat, saat
stimulus baru diterima otak dan belum diorganisasikan dengan stimulus lainnya dan ingataningatan yang berhubungan dengan stimulus tersebut.
Sensasi adalah respons panca indera tiba-tiba dan langsung terhadap stimuli sederhana tertentu,
seperti merek, kemasan, maupun iklan (Simamora,2002:103). Kepekaan bereaksi dipengaruhi
oleh kualitas panca indera. Contohnya, orang buta tidak akan bereaksi terhadap gambar. Menurut
Simamora (2002:103), Sensasi tergantung pada perubahan energi (energy change) atau
diferensiasi input (differentiation of input). ”persepsi” Misalnya meja yang terasa kasar, yang
berarti sebuah sensasi dari rabaan terhadap meja.
Sebaliknya persepsi memiliki contoh meja yang tidak enak dipakai menulis, saat otak mendapat
stimulus rabaan meja yang kasar, penglihatan atas meja yang banyak coretan, dan kenangan di
masa lalu saat memakai meja yang mirip lalu tulisan menjadi jelek.
2.1.5

Persepsi dalam Perspektif Gender

Gender adalah sebuah variabel sosial untuk menganalisa perbedaan antara anak laki-laki dan
perempuan, laki-laki dan perempuan dewasa berkaitan dengan peran, tanggungjawab dan
kebutuhan, peluang dan hambatan (Haspels dan Suriyasarn, 2005). Gender merujuk pada
pembedaan-pembedaan dan relasi-relasi sosial antara anak perempuan dan anak laki-laki,
perempuan dan laki-laki dewasa yang dipelajari dan sangat bervariasi di dalam dan antar budaya,
serta berubah dari waktu ke waktu (Haspels dan Suriyasarn, 2005).
Gender merupakan aspek identitas yang sangat berarti, perempuan dan pria mempunyai
pengalaman yag berbeda tentang pembentukan identitas jenis kelamin. Identitas jenis kelamin
terbentuk sekitar usia tiga tahun. Anak laki-laki dan perempuan mulai mengenal tingkah laku dan
ciri-ciri kepribadian yaang sesuai bagi masing-masing jenis kelaminnya.
Perempuan dan pria mempunyai perbedaan secara psikologis dimana perempuan lebih emosional
daripada pria karena perempuan lebih mudah tersinggung, mudah terpengaruh, sangat peka,
menonjolkan perasaan, dan mudah meluapkan perasaan. Sementara pria tidak emosional, sangat
objektif, tidak mudah terpengaruh, mudah memisahkan antara pikiran dan perasaan sehingga
terkadang kurang peka dan mampu memendam perasaannya (Dagun, 1992: 4).
Goleman (1999: 116) menyatakan bahwa perempuan umumnya mempunyai kesempatan lebih
banyak untuk mempraktekkan beberapa keterampilan relasional antar pribadi daripada pria, hal
ini dikarenakan perempuan lebih peka dan cenderung mengalami penyesuaian perasaan yang
spontan terhadap orang lain, sedangkan pria cenderung memandang diri sendiri, pria tampak
kurang termotivasi dalam hal berempati dengan orang lain daripada perempuan.
Jati diri seorang pria ditentukan oleh kemampuannya. Pria akan membanggakan diri atas
kemampuan memecahkan masalah atau menyelesaikan sebuah pekerjaan, sedangkan perempuan
lebih mementingkan rasa kepedulian, integritas dan nilai-nilai yang lebih personal menduduki
dan kepedulian untuk melayani (Gray, 2004: 30).
2.2

Fraud

2.2.1

Definisi Fraud

Fraud dalam bahasa Indonesia tidak hanya sempit diartikan sebagai kecurangan, dalam dunia
keuangan fraud bisa berarti pencurian (pasal 362 KUHP), pemerasan dan pengancaman (pasal
368 KUHP), penggelapan (pasal 372 KUHP), perbuatan curang (pasal 378 KUHP), dan
sebagainya.
Secara umum Webster’s New World Dictionary mendefinisikan kata fraud sebagai suatu
pembohongan atau penipuan (deception) yang dilakukan demi keuntungan pribadi. Menurut
Black’s Law Dictionary, fraud adalah berbagai sarana yang dapat direncanakan oleh manusia
yang menggunakan kecerdasannya untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan
memberi saran yang menyesatkan atau menutupi kebenaran. fraud mencakup semua cara tak
terduga, penuh siasat, licik, tersembunyi, serta setiap cara yang tidak jujur dimana ada pihak
lainnya yang tertipu (menjadi korban).

Menurut Wells (2007: 3). “Fraud is criminal deception intended to financially benefit the
deceiver. Lebih jauh fraud juga bisa berarti kebohongan, sengaja menceritakan hal yang tidak
benar, mengambil keuntungan secara tidak adil atau tidak sah dari pihak lain.
International Standards of Auditing (ISAs) seksi 240–The Auditor’s Responsibility to Consider
Fraud in an Audit of Financial Statements paragraf 6 mendefinisikan fraud sebagai:
“…tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen perusahaan, pihak yang berperan dalam
governance perusahaan, karyawan, atau pihak ketiga yang melakukan pembohongan atau
penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil atau ilegal”.
Sedangkan dalam Standar Auditing yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan IndonesiaKompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) fraud diterjemahkan sebagai kecurangan. Dalam
kaitannya dengan pelaporan keuangan, auditor berkepentingan untuk menguji apakah suatu
tindakan yang mengandung fraud mengakibatkan salah saji (misstatement) dalam pelaporan
keuangan.
Secara sederhana kata fraud, penipuan yang disengaja (intentional deception), kebohongan
(lying), curang (cheating), dan pencurian (stealing) adalah kata-kata yang saling bersinonim
meskipun pemahamannya bisa berbeda-beda tergantung konteks kasus yang terjadi. Penipuan
yang disengaja bisa disebut fraud ketika seorang pegawai dengan sengaja me-mark-up
pengadaan barang dan jasa dalam instansi pemerintah untuk kepentingan pribadinya.
Kebohongan bisa disebut fraud ketika pegawai sengaja tidak melaporkan transaksi akuntansi
yang terjadi demi mengeruk keuntungan. Kecurangan disebut fraud ketika pegawai sengaja
memanipulasi laporan keuangan entitas agar laporan keuangan terlihat “indah”. Kecurangan ini
biasa disebut fraudulent financial reporting atau kecurangan dalam pelaporan keuangan.
Pencurian disebut fraud ketika seorang pegawai dengan sengaja mencuri kas atau persediaan
perusahaan dengan berbagai cara kemudian memanipulasi dokumen-dokumen untuk
menghilangkan bukti kejahatannya. Bentuk fraud ini lebih dikenal dengan missappropriation of
assets atau penyalahgunaan aktiva. Kasus-kasus fraudulent financial reporting dan
missappropriation of assets ini merupakan kasus fraud yang umum terjadi baik di entitas swasta
maupun pemerintah.
Kata fraud, penipuan yang disengaja (intentional deception), kebohongan (lying), dan curang
(cheating) memiliki antonim kejujuran (truth), keadilan (justice), kewajaran (fairness), dan
kesamaan (equity). Fraud juga bisa berupa pemaksaan terhadap seseorang untuk berkelakuan
melawan keinginannya. Misalnya, seorang pegawai yang terbiasa jujur, namun karena ada
kesempatan dan kondisi ekonomi yang menghimpit maka pegawai tersebut melakukan fraud
yang menguntungkan pribadinya.
Cont