Studi Komparasi Kelimpahan Fitoplankton dan Laju Produktivitas Primer di Perairan Haranggaol Danau Toba

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Danau

Ekosistem perairan dapat dibedakan menjadi air tawar, air laut dan air payau seperti terdapat di muara sungai yang besar. Dari ketiga ekosistem perairan tersebut, air laut dan air payau merupakan bagian terbesar yaitu lebih dari 97%. Walaupun habitat air tawar menempati bagian yang sangat kecil, namun sangat penting bagi manusia sebagai sistem pembuangan (Fitra, 2008).

Sebagian besar air tawar yang ada di permukaan bumi tersimpan dalam bentuk massa es yang sangat besar di daerah kutub dan sebagai gletser di daerah pegunungan tinggi. Selain itu, air tawar juga terdapat dalam tanah yang muncul sebagai mata air, mengalir di permukaan sebagai sungai, dan menggenang dalam danau dan kolam yang jumlahnya ±0,3% dari total volume air. Jumlah yang sedikit inilah yang dapat dimanfaatkan langsung oleh manusia dan jasad hidup lainnya (Barus, 2007).

Ekosistem air tawar dibagi menjadi 2 jenis yaitu air diam misalnya kolam, danau dan waduk, serta air yang mengalir seperti misalnya sungai. Air diam digolongkan sebagai perairan lentik, sedangkan air yang mengalir deras disebut lotik. Perairan lentik atau perairan menggenang dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu rawa, danau dan waduk (Barus, 2004).

Danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Keberadaan ekosistem danau memberikan fungsi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia (rumah tangga, industri, dan pertanian) (Yazwar, 2008).

Danau sebagai salah satu habitat air tawar memiliki fungsi yang sangat penting diantaranya sebagai pencegah kekeringan dan banjir, perikanan, pariwisata serta penyedia air bersih. Melihat pada fungsi dan peranan danau bagi manusia, maka danau juga tidak terlepas dari pencemaran akibat ulah manusia itu


(2)

sendiri. Kegiatan masyarakat di sekitar danau, seperti keramba jaring apung dan pariwisata dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan berbagai macam limbah domestik baik organik maupun anorganik (Adawiyah, 2011).

Berdasarkan keadaan nutrisinya, Sinaga (2009) menggolongkan 3 jenis yaitu:

a. Danau Oligotrofik yaitu danau yang mengandung sedikit nutrien (miskin nutrien), biasanya dalam dan produktivitas primernya rendah. Sedimen pada bagian dasar kebanyakan mengadung senyawa anorganik dan konsentrasi oksigen pada bagian hipolimnion tinggi. Walaupun jumlah orgnisme pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi.

b. Danau Eutrofik, yaitu danau yang mengandung banyak nutrien (kaya nutrien), khususnya nitrat dan fosfor yang menyebabkan pertumbuhan alga dan tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas primer pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman spesies rendah.

c. Danau Distrofik yaitu yang memperoleh sejumlah bahan-bahan organik dari luar danau, khususnya senyawa-senyawa asam yang menyebabkan air berwarna coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang umumnya berasal dari hasil fotosintesa plankton. Tipe danau distrofik ini juga sedikit mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit oksigen. Suatu danau berlumpur mewakili bentuk danau distrofik.

2.2 Ekosistem Danau Toba

Danau Toba merupakan danau vulkanik dengan panjang sekitar 100 km dan lebar 30 km yang terletak pada beberapa kabupaten dalam Propinsi Sumatera Utara. Pada pemekaran wilayah kabupaten beberapa tahun lalu, Pulau Samosir dan perairan Danau Toba di sekitarnya adalah termasuk dalam Kabupaten Samosir yang beribukota di Pangururan. Pulau Samosir, sebagai pulau vulkanik demikian juga dataran tinggi lainnya yang mengelilingi Danau Toba merupakan daerah perbukitan yang terjal. Pembentukan Danau Toba diperkirakan terjadi saat ledakan vulkanis sekitar 73.000 –75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan


(3)

supervulkano (gunung berapi super) yang paling baru. Sebagian perairan Danau Toba di sebelah utaranya termasuk kedalam wilayah Kabupaten Simalungun dengan kota di tepi danaunya adalah Haranggaol dan Parapat. Sebelah barat laut Danau Toba termasuk wilayah Kabupaten Tanah Karo dengan kota di tepi danau adalah Tongging. Sedangkan di sebelah barat Danau Toba adalah wilayah Kabupaten Dairi dengan kota di tepi danau adalah Silalahi. Sementara itu disebelah timur danau adalah wilayah Kabupaten Tobamas dengan kota-kota di tepi Danau Toba adalah Ajibata dan Balige. Sedangkan Kabupaten Samosir meliputi wilayah seluruh Pulau Samosir dan perairan sekitar pantainya dengan kota-kota di tepi danaunya adalah: Pangururan, Tomok, Ambarita, Simanindo dan Nainggolan dan banyak desa di sepanjang tepi danau dan di perbukitan Pulau Samosir (Sagala, 2012).

Danau ini merupakan sumberdaya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari segi ekologi, hidrologi, serta fungsi ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai jenis organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitarnya, sebagai sumber air untuk kegiatan pertanian dan budidaya perikanan serta untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti kebutuhan untuk industri pembangkit listrik Sigura-Gura dan Asahan. Tak kalah pentingnya adalah fungsi Danau Toba sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal ke mancanegara dan sangat potensial untuk perkembangan kepariwisataan di Sumatera Utara (Barus, 2007).

Secara umum kondisi perairan Danau Toba masih tergolong Oligotropik (miskin zat hara). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lokasi yang terletak di tengah danau (sekitar 500 m dari pinggir danau), kecerahan air mencapai 11-14 m dengan kandungan nutrisi dalam air masih rendah dan kadar oksigen masih terdeteksi sampai ke dasar danau pada kedalaman antara 200 – 500 m. Pada bagian pinggir Danau Toba yang dekat dengan pemukiman dan aktivitas penduduk serta lokasi budidaya ikan dalam jaring apung terdeteksi kadar nutrisi yang tinggi. Secara kasat mata di beberapa kawasan pinggiran Danau Toba kita bisa melihat tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan air terutama jenis eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang telah menutupi lapisan permukaan danau. Hal ini terjadi akibat proses eutrofikasi (pengayaharaan) yang merupakan


(4)

suatu gejala peningkatan unsur hara, terutama fosfor dan nitrogen di suatu ekosistem air (Barus, 2007).

Banyaknya aktivitas yang terjadi di sekitar dan dalam badan air wilayah danau termasuk banyaknya transportasi motor air dan kapal-kapal penumpang yang beroperasi di wilayah perairan danau, maka tentu kualitas badan air danau akan mengalami perubahan dengan beban introduksi segala material dan energi yang diterima oleh lingkungan perairan Danau Toba tersebut. Dengan berbagai kegiatan yang terjadi di sekitar dan dalam wilayah Danau Toba, maka perairan danau akan menerima suatu dampak lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia di sekitarnya dan kehidupan organisme akuatik yang ada dalam badan air danau. Kehidupan akuatik yang dipengaruhi adalah demikian komplek yaitu terhadap rantai makanan (food chain) dan jaring makanan (foodweb) dalam ekosistem perairan. Komunitas biotik yang cukup peka oleh pengaruh gangguan-gangguan terhadap kualiatas air antara lain plankton (Sagala, 2012).

2.3 Plankton

Plankton adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya ”mengembara” kemudian plankton dipergunakan untuk mendefinisikan semua organisme air yang pergerakannya lebih dipengaruhi oleh pergerakan air dari pada kemampuan berenangnya (Soegianto, 2004). Suin (2002) juga menyatakan bahwa plankton merupakan organisme yang terapung atau melayang- layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif.

Kehidupan dan keragaman organisme ini dipengaruhi oleh keseimbangan faktor-faktor lingkungan yang berada di sekitarnya, seperti faktor fisika yaitu pencahayaan dan suhu. Faktor kimia seperti ketersediaan unsur hara juga diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Adanya pencemaran yang mengakibatkan perubahan keseimbangan faktor lingkungan di badan air habitat plankton, dapat langsung berdampak pada keragaman jenis dan kehidupan plankton di badan air tersebut. Hal ini bergantung pada tingkat toleransi plankton di badan air tersebut. Ketika terjadi pencemaran, jumlah plankton yang bersifat intoleran terhadap bahan pencemar akan menurun atau bahkan hilang sama sekali dari badan air yang tercemar tersebut. Sementara plankton yang bersifat toleran


(5)

akan mengalami peningkatan atau ”blooming” dikarenakan sifatnya mampu mentoleransi bahan pencemar yang masuk ke habitatnya (Afihandarin, 2011).

Dalam suatu perairan plankton memegang peranan yang sangat penting. Fungsi ekologisnya sebagai produser primer dan awal mata rantai dalam jaringan makanan menyebabkan plankton sering dijadikan skala ukuran kesuburan suatu ekosistim (Umar, 2002). Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif (Suin, 2002).

Dengan melihat struktur komunitas plankton dapat diketahui tingkat pencemaran suatu perairan ( Faza, 2012). Plankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem perairan terutama dalam siklus karbon (Reigada, et al., 2003).

Nontji (2006) menggolongkan jenis plankton berdasarkan ukurannya menjadi beberapa jenis, diantaranya megaplankton (20-200 mm), makroplankton (2-20 mm), mesoplankton (0,2-20 mm), mikroplankton (20-200 µm), nanoplakton (2-20 µm), pikoplankton (0,2-2 µm), dan femtoplankton (≤ 0,2 µm). Berdasarkan daur hidupnya plankton dapat digolongkan menjadi holoplankton yaitu organisme yang sepanjang hidupnya sebagai plankton, meroplankton yaitu organisme yang hidupnya sebagai plankton hanya pada waktu tertentu saja dalam siklus hidupnya dan tikoplankton yaitu bukan merupakan plankton sejati karena dalam keadaan normal organisme ini hidup di dasar perairan tetapi karena adanya arus air mereka bergerak seperti plankton.

Menurut Barus (2004), plankton dibagi menjadi 2 yaitu fitoplankton yang merupakan organisme plankton yang bersifat tumbuhan dan zooplankton yang merupakan organisme plankton bersifat hewan. Imani (2014) menyatakan bahwa plankton baik fitoplankton maupun zooplankton merupakan salah satu faktor penting untuk keberhasilan budidaya ikan. Pemberian pakan buatan pada ikan yang dipelihara dapat mempengaruhi kondisi plankton yang ada.

2.3.1 Fitoplakton

Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang hidupnya melayang-layang dalam air, pergerakannya pasif tergantung pada gerakan air. Fitoplankton dapat berbentuk satu sel, koloni, atau bentuk filamen (Arifin, 2009).


(6)

Fitoplankton memegang peranan yang sangat penting dalam suatu perairan, fungsi ekologinya sebagai produsen primer dan awal mata rantai dalam jaring makanan menyebabkan fitoplankton sering dijadikan skala ukuran kesuburan suatu perairan. Tingkat berikutnya adalah pemindahan energi dari produsen ke tingkat tropik yang lebih tinggi melalui rantai makanan (Handayani dan Patria, 2005).

Dalam pertumbuhannya setiap jenis fitoplankton mempunyai respon yang berbeda terhadap perbandingan nutrien yang terlarut dalam badan air. Oleh karena itu perbandingan nutrien, khususnya nitrogen sangat menentukan dominasi suatu jenis fitoplankton di perairan (Soetrisno, 2002).

Komposisi dan kelimpahan tertentu dari fitoplankton pada suatu perairan sangat berperan sebagai makanan alami pada tropik level diatasnya, juga berperan sebagai penyedia oksigen dalam perairan (Abida, 2010). Komposisi dan kelimpahan fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respons terhadap perubahan- perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi (Makmur dan Fahrur, 2011).

Keberadaan fitoplankton dapat dijadikan sebagai bioindikator adanya perubahan kualitas lingkungan perairan yang disebabkan ketidakseimbangan suatu ekosistem akibat beban pencemaran. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan keaneragaman jenis, komposisi dan keberadaan jenis fitoplankton yang mendominasi diperairan tersebut (Ferianita, et al., 2008). Keberadaan fitoplankton sangat mempengaruhi kehidupan di perairan karena memegang peranan penting sebagai produsen primer bagi berbagai organisme laut. Hal ini dikarenakan fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam fotosintesis yang menghasilkan bahan organik dan oksigen terlarut yang digunakan sebagai dasar mata rantai pada siklus makanan di perairan (Pramitha, 2010).

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton yang dapat dibagi dalam: (a) Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fisiologis secara langsung, misalnya dalam proses fotosintesis dan respirasi, termasuk dalam golongan ini faktor-faktor seperti cahaya, suhu, salinitas, hara makro, hara mikro. (b) Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan berkurangnya jumlah fitoplankton


(7)

misalnya karena pemangsa oleh herbivor, turbulensi dan penenggelaman (Nurdin, 2010).

2.4 Produktivitas Primer

Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan sinar matahari (Parson et al. 1984). Pengukuran produktivitas primer fitoplankton merupakan satu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan (Gocke & Lenz 2004).

Produktivitas primer merupakan sumber pokok energi bagi proses metabolik yang terjadi dalam biosfer. Susilo dan Basmi (1995) menyatakan bahwa produktivitas primer perairan perairan bukan saja penting bagi perikanan tetapi juga bagi lingkungan. Produktivitas perairan dapat digunakan sebagai penduga produksi ikan (potensi sumberdaya perikanan) dengan mengetahui faktor efesiensi ekologi dalam jaring- jaring pakan (food web). Faktor ini adalah faktor konversi untuk menduga produksi bahan organisme tingkat atas dalam jenjang aliran energi.

Rata-rata fotosintesis fitoplankton sangat dipengaruhi oleh jumlah dan aktivitas material sel fotosintesis yang ada, intensitas cahaya, konsentrasi karbondioksida, dan suhu. Jumlah dan aktivitas material sel fotosintesis dipengaruhi antara lain oleh suplai nutrien, yang tergantung kepada laju pemasukannya ke perairan laut dan pergerakan massa air laut. Selain itu fotosintesis juga merupakan fungsi yang kompleks dari beberapa faktor termasuk kelimpahan fitoplankton (Naibaho, 1996).

Produktivitas primer fitoplankton merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian lingkungan perairan (Manu et al., 2010). Nilai produktivitas primer dari satu perairan dengan perairan lainnya berbeda. Naibaho (1996) mendapatkan rata- rata produktivitas di permukaan perairan Teluk Bone adalah 2.5 mg C/m3/hari, sedangkan Tambaru (2000) di Teluk Hurun nilainya berkisar 31.25- 63.28 mg C/m3/jam. Hariyadi et al. (2010) menambahkan bahwa produktivitas perairan yang terlalu tinggi dapat mengindikasikan telah terjadi


(8)

eutrofikasi, sedangkan yang terlalu rendah dapat memberikan indikasi bahwa perairan tidak produktif atau miskin.

Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Berdasarkan nilai tersebut, cahaya matahari merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Sedangkan di bawahnya merupakan cahaya pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi atau kedalaman kompensasi (Valiela, 1995).

Distribusi cahaya dan unsur hara di perairan pada umumnya tidak serasi dengan kebutuhan fitoplankton. Adanya kekeruhan yang disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi mengakibatkan adanya perbedaan potensi tumbuh fitoplankton pada suatu kolom air. Hal ini akan berpengaruh pada produktivitas primer fitoplankton (Alianto, et al., 2007).

Pengukuran nilai produktivitas primer dapat dilakukan dengan menggunakan metode botol gelap dan botol terang. Botol gelap mewakili konsumsi oksigen oleh plankton tanpa adanya proses fotosintesis sedangkan botol terang mewakili konsumsi oksigen oleh plankton disertai dengan adanya proses fotosintesis. Abida (2010) juga menyatakan bahwa pengukuran produktivitas primer ditentukan dengan menggunakan metode oksigen botol gelap-botol terang. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi sampel air setelah diinkubasi pada kedalaman perairan. Waktu inkubasi dilakukan pada saat matahari optimal yaitu pada jam 09.00-14.00 WIB.

2.5 Faktor Fisik-Kimia Perairan 2.5.1 Temperatur

Pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis- fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur 10 oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya


(9)

matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi dari pepohonan yang tumbuh di tepi perairan (Barus, 2004).

Menurut Supriharyono (2000), menyatakan bahwa kenaikan temperatur diatas kisaran toleransi organisme dapat meningkatkan laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi, dan aktivitas organisme. Kenaikan laju metabolisme dan aktivitas ini berbeda untuk setiap spesies, proses dan level atau kisaran temperatur.

2.5.2. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optik dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya plankton. Vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air (Barus, 2004).

Sebaran vertikal ditandai dengan berkumpulnya fitoplankton di zona eufotik yaitu zona dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Dari hasil berbagai penelitian, ternyata sebaran vertikal plankton tergantung dari berbagai faktor, antara lain intensitas cahaya (Wijaya, 2009).

2.5.3. Penetrasi Cahaya

Cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Odum (1993), menyatakan bahwa penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat aquatik dibatasi oleh kedalaman, kekeruhan, terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, sering kali penting sebagai faktor pembatas.

Dengan demikian kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada


(10)

pada titik keseimbangan. Kemampuan penetrasi cahaya yang sampai pada kedalaman tertentu akan mempengaruhi distribusi serta intensitas tumbuhan air pada perairan sungai.

2.5.4. Oksigen Terlarut (DO)

(Disolved Oxygen) DO merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang penting dalam ekosistem perairan, terutama dalam proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 00 C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2.

Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis (Barus, 2004).

Menurut Kristanto (2004), untuk mempertahankan hidupnya, mahluk yang tinggal dalam air, baik tumbuhan maupun hewan, bergantung pada oksigen terlarut ini. Jadi kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air. Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm, selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan pencemar, suhu air dan sebagainya. Konsentrasi oksigen terlarut rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan hewan air lain yang membutuhkan oksigen akan mati.

2.5.5. pH air

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan, didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH= log 1/H+, dimana H+ adalah banyaknya ion hidrogen dalam mol perliter larutan. Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5 (Barus, 2004).

Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH, dan dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Hal yang perlu diperhatikan adalah cara pengambilan


(11)

sampelnya yang benar sehingga nilai pH yang diperoleh benar (Suin, 2002). Nilai pH air yang normal adal netral, yaitu 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar, misalnya oleh limbah cair berbeda- beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahannya sebelum dibuang (Kristanto, 2004).

2.5.6. Kecepatan Arus

Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut. Penyebaran plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton, sangat ditentukan oleh aliran air. Selain itu, aliran air juga ikut berpengaruh terhadap kelarutan udara dalam air, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air. Kecepatan arus air permukaan tidak sama dengan air bagian bawah. Semakin ke bawah gerakan air biasanya semakin lambat dibanding dengan permukaan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kecepatan arus antar kedalaman, maka tampak bentuk antara organisme air pada kedalaman yang berbeda tidak sama (Suin, 2002).

Menurut Barus (2004), kondisi dengan gerakan air yang sanagat lambat , umumnya terdapat pada batu-batuan didasar perairan. Daerah yang berarus lambat ini merupakan habitat yang ideal bagi organisme air yang tidak mempunyai adaptasi khusus melawan arus yang deras. Michael (1984) menyatakan bahwa kecepatan aliran air yang mengalir beragam dari permukaan dasar, meskipun berada dalam saluran buatan yang dasarnya halus tanpa rintangan apapun. Perubahan air seperti itu tercermin dalam modifikasi yang diperlihatkan oleh organisme yang hidup di dalam air yang mengalir, yang kedalamannya berbeda.

2.5.7. (Biochemical Oxygen Demand) BOD5

Nilai (Biochemical Oxygen Demand) BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam penguraian senyawa organik dalam lingkungan air (Barus, 2004). Wardhana (2001) menyatakan peristiwa penguraian buangan bahan-bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.


(12)

Dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah dilakukan pengukuran selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, BOD yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari. Menurut Suin (2002), untuk itu maka perlu diukur kadar oksigen terlarut pada saat pengambilan contoh air (DO0hari) dan kadar oksigen terlarut dalam sampel air

yang telah disimpan selama 5 hari (DO5). Selama dalam penyimpanan itu, harus

tidak ada penambahan oksigen melalui proses fotosintesis, dan selama 5 hari tersebut semua organisme yang berada dalam sampel air itu bernafas menggunakan oksigen yang ada di dalam sampel tersebut.

2.5.8. Nitrat dan Fosfat

Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan dan keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif sedikit dengan konsentrasi yang relatif kecil dibandingkan nitrogen. Sumber antropogenik fosfor di perairan adalah limbah industri dan domestik, yaitu fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan konstribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi 2003).

Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen. Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas (Wijaya, 2009).


(1)

misalnya karena pemangsa oleh herbivor, turbulensi dan penenggelaman (Nurdin, 2010).

2.4 Produktivitas Primer

Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan sinar matahari (Parson et al. 1984). Pengukuran produktivitas primer fitoplankton merupakan satu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan (Gocke & Lenz 2004).

Produktivitas primer merupakan sumber pokok energi bagi proses metabolik yang terjadi dalam biosfer. Susilo dan Basmi (1995) menyatakan bahwa produktivitas primer perairan perairan bukan saja penting bagi perikanan tetapi juga bagi lingkungan. Produktivitas perairan dapat digunakan sebagai penduga produksi ikan (potensi sumberdaya perikanan) dengan mengetahui faktor efesiensi ekologi dalam jaring- jaring pakan (food web). Faktor ini adalah faktor konversi untuk menduga produksi bahan organisme tingkat atas dalam jenjang aliran energi.

Rata-rata fotosintesis fitoplankton sangat dipengaruhi oleh jumlah dan aktivitas material sel fotosintesis yang ada, intensitas cahaya, konsentrasi karbondioksida, dan suhu. Jumlah dan aktivitas material sel fotosintesis dipengaruhi antara lain oleh suplai nutrien, yang tergantung kepada laju pemasukannya ke perairan laut dan pergerakan massa air laut. Selain itu fotosintesis juga merupakan fungsi yang kompleks dari beberapa faktor termasuk kelimpahan fitoplankton (Naibaho, 1996).

Produktivitas primer fitoplankton merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian lingkungan perairan (Manu et al., 2010). Nilai produktivitas primer dari satu perairan dengan perairan lainnya berbeda. Naibaho (1996) mendapatkan rata- rata produktivitas di permukaan perairan Teluk Bone adalah 2.5 mg C/m3/hari, sedangkan Tambaru (2000) di Teluk Hurun nilainya berkisar 31.25- 63.28 mg C/m3/jam. Hariyadi et al. (2010) menambahkan bahwa produktivitas perairan yang terlalu tinggi dapat mengindikasikan telah terjadi


(2)

eutrofikasi, sedangkan yang terlalu rendah dapat memberikan indikasi bahwa perairan tidak produktif atau miskin.

Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Berdasarkan nilai tersebut, cahaya matahari merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Sedangkan di bawahnya merupakan cahaya pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi atau kedalaman kompensasi (Valiela, 1995).

Distribusi cahaya dan unsur hara di perairan pada umumnya tidak serasi dengan kebutuhan fitoplankton. Adanya kekeruhan yang disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi mengakibatkan adanya perbedaan potensi tumbuh fitoplankton pada suatu kolom air. Hal ini akan berpengaruh pada produktivitas primer fitoplankton (Alianto, et al., 2007).

Pengukuran nilai produktivitas primer dapat dilakukan dengan menggunakan metode botol gelap dan botol terang. Botol gelap mewakili konsumsi oksigen oleh plankton tanpa adanya proses fotosintesis sedangkan botol terang mewakili konsumsi oksigen oleh plankton disertai dengan adanya proses fotosintesis. Abida (2010) juga menyatakan bahwa pengukuran produktivitas primer ditentukan dengan menggunakan metode oksigen botol gelap-botol terang. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi sampel air setelah diinkubasi pada kedalaman perairan. Waktu inkubasi dilakukan pada saat matahari optimal yaitu pada jam 09.00-14.00 WIB.

2.5 Faktor Fisik-Kimia Perairan 2.5.1 Temperatur

Pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis- fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur 10 oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya


(3)

matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi dari pepohonan yang tumbuh di tepi perairan (Barus, 2004).

Menurut Supriharyono (2000), menyatakan bahwa kenaikan temperatur diatas kisaran toleransi organisme dapat meningkatkan laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi, dan aktivitas organisme. Kenaikan laju metabolisme dan aktivitas ini berbeda untuk setiap spesies, proses dan level atau kisaran temperatur.

2.5.2. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optik dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya plankton. Vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air (Barus, 2004).

Sebaran vertikal ditandai dengan berkumpulnya fitoplankton di zona eufotik yaitu zona dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Dari hasil berbagai penelitian, ternyata sebaran vertikal plankton tergantung dari berbagai faktor, antara lain intensitas cahaya (Wijaya, 2009).

2.5.3. Penetrasi Cahaya

Cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Odum (1993), menyatakan bahwa penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat aquatik dibatasi oleh kedalaman, kekeruhan, terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, sering kali penting sebagai faktor pembatas.

Dengan demikian kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada


(4)

pada titik keseimbangan. Kemampuan penetrasi cahaya yang sampai pada kedalaman tertentu akan mempengaruhi distribusi serta intensitas tumbuhan air pada perairan sungai.

2.5.4. Oksigen Terlarut (DO)

(Disolved Oxygen) DO merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang penting dalam ekosistem perairan, terutama dalam proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 00 C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2.

Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis (Barus, 2004).

Menurut Kristanto (2004), untuk mempertahankan hidupnya, mahluk yang tinggal dalam air, baik tumbuhan maupun hewan, bergantung pada oksigen terlarut ini. Jadi kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air. Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm, selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan pencemar, suhu air dan sebagainya. Konsentrasi oksigen terlarut rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan hewan air lain yang membutuhkan oksigen akan mati.

2.5.5. pH air

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan, didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH= log 1/H+, dimana H+ adalah banyaknya ion hidrogen dalam mol perliter larutan. Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5 (Barus, 2004).

Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH, dan dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Hal yang perlu diperhatikan adalah cara pengambilan


(5)

sampelnya yang benar sehingga nilai pH yang diperoleh benar (Suin, 2002). Nilai pH air yang normal adal netral, yaitu 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar, misalnya oleh limbah cair berbeda- beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahannya sebelum dibuang (Kristanto, 2004).

2.5.6. Kecepatan Arus

Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut. Penyebaran plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton, sangat ditentukan oleh aliran air. Selain itu, aliran air juga ikut berpengaruh terhadap kelarutan udara dalam air, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air. Kecepatan arus air permukaan tidak sama dengan air bagian bawah. Semakin ke bawah gerakan air biasanya semakin lambat dibanding dengan permukaan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kecepatan arus antar kedalaman, maka tampak bentuk antara organisme air pada kedalaman yang berbeda tidak sama (Suin, 2002).

Menurut Barus (2004), kondisi dengan gerakan air yang sanagat lambat , umumnya terdapat pada batu-batuan didasar perairan. Daerah yang berarus lambat ini merupakan habitat yang ideal bagi organisme air yang tidak mempunyai adaptasi khusus melawan arus yang deras. Michael (1984) menyatakan bahwa kecepatan aliran air yang mengalir beragam dari permukaan dasar, meskipun berada dalam saluran buatan yang dasarnya halus tanpa rintangan apapun. Perubahan air seperti itu tercermin dalam modifikasi yang diperlihatkan oleh organisme yang hidup di dalam air yang mengalir, yang kedalamannya berbeda.

2.5.7. (Biochemical Oxygen Demand) BOD5

Nilai (Biochemical Oxygen Demand) BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam penguraian senyawa organik dalam lingkungan air (Barus, 2004). Wardhana (2001) menyatakan peristiwa penguraian buangan bahan-bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.


(6)

Dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah dilakukan pengukuran selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, BOD yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari. Menurut Suin (2002), untuk itu maka perlu diukur kadar oksigen terlarut pada saat pengambilan contoh air (DO0hari) dan kadar oksigen terlarut dalam sampel air

yang telah disimpan selama 5 hari (DO5). Selama dalam penyimpanan itu, harus

tidak ada penambahan oksigen melalui proses fotosintesis, dan selama 5 hari tersebut semua organisme yang berada dalam sampel air itu bernafas menggunakan oksigen yang ada di dalam sampel tersebut.

2.5.8. Nitrat dan Fosfat

Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan dan keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif sedikit dengan konsentrasi yang relatif kecil dibandingkan nitrogen. Sumber antropogenik fosfor di perairan adalah limbah industri dan domestik, yaitu fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan konstribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi 2003).

Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen. Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas (Wijaya, 2009).