Studi Komparasi Kelimpahan Fitoplankton dan Laju Produktivitas Primer di Perairan Haranggaol Danau Toba

(1)

POSM

FAKULTAS MA

UN

SKRIPSI

OSMA TARIDA TUA LUMBAN GAOL

100805056

DEPARTEMEN BIOLOGI

ATEMATIKA DAN ILMU PENGETA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

OL

GETAHUAN ALAM

RA


(2)

Diajukan untuk mel

PO

FAKULTAS MA U

SKRIPSI

elengkapi tugas dan memenuhi syarat untu Sarjana Sains

POSMA TARIDA TUA LUMBAN GAOL 100805056

DEPARTEMEN BIOLOGI

MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015

tuk mencapai gelar


(3)

i

Judul : Studi Komparasi Kelimpahan Fitoplankton dan Laju Produktivitas Primer di Perairan Haranggaol Danau Toba

Kategori : Skripsi

Nama : Posma Tarida Tua Lumban Gaol Nomor Induk Mahasiswa : 100805056

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Agustus 2015

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. Hesti Wahyuningsih M. Si. Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus M. Sc. NIP: 19691018 199412 2002 NIP: 19581016 198703 1003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP: 19630123 199003 2 001


(4)

ii

STUDI KOMPARASI KELIMPAHAN FITOPLANKTON DAN LAJU PRODUKTIVITAS PRIMER DI PERAIRAN HARANGGAOL

DANAU TOBA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2015

POSMA TARIDA TUA LUMBAN GAOL 100805056


(5)

iii

Segala puji, hormat dan rasa syukur hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang penuh kasih dan kebijaksanaan melimpahkan hikmat, bijaksana dan kasih karunia-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul“Studi Komparasi Kelimpahan Fitoplankton dan Laju Produktivitas Primer di Perairan Haranggaol Danau Toba”.

Terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus M. Sc. dan ibu Dr. Hesti Wahyuningsih M. Si. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan penyusunan skripsi ini. Terimakasih kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya M.Si. dan ibu Dr. Nursahara Pasaribu M. Sc. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan demi penyempurnaan skripsi ini. Terimakasih kepada Ibu Dr. It Jamilah, M.Sc. selaku Dosen Penasehat Akademik, Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Sc. selaku Sekretaris Departemen Biologi, Ibu Mizarwati, Ibu Rosalina Ginting, Bang Ewin, seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Departemen Biologi FMIPA USU yang telah membimbing dan membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu.

Terimakasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua terkasih Ayahanda dan Ibunda tercinta, Radiun Lumban Gaol dan Sumarni Sinaga, opung terkasih Maria Nadeak dan Peteria Banjarnahor yang selalu memberikan dukungan doa, semangat, perhatian, motivasi, materi dan kasih sayangnya yang besar kepada penulis. Terimakasih juga kepada kedua adek terkasih Asha Lestari dan Nelly Kesuma yang senantiasa menghibur, memotivasi dan memberikan dukungan yang luar biasa kepada penulis.

Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada kekasih tersayang Tiur Mawarni Parhusip atas segala doa, bantuan dan semangat selama perkuliahan, penelitian dan penyusunan skripsi. Terimakasih juga kepada teman-temanku selama di Olagafood unit 3 Edwarman Zalukhu, Norton Adyanto Pane, Trisi Sanjaya, Richard Leonard Manullang, Doni Tua Hutahaean, Samuel Situmorang, Aprianto Sitorus yang selalu menasehati, mendoakan, tertawa dan berbagi cerita bersama. Terimakasih juga kepada Tonisman Harefa, Veronica HL Tobing, Lisbeth Simatupang S. Si, Silvia Julita Saragih, Julpiter Hutajulu, dan Bang Raymon Sianipar, yang sudah membantu penelitian ini dan memberikan doa, dan dukungan serta rekan-rekan Sunarti Sinaga, Netty Sonatha Gurning, Putri Anggarda, The True Liverpudlian Tien Pratiwi Sitinjak dan saudara asuhku Sri Rejeki Samosir terima kasih atas kerjasamanya selama di bangku perkuliahan. Terimakasih juga kepada

teman-teman seperjuangan stambuk 2010 ‘REVOLUTION’, PKBKB, BIOPALAS,

HIMABIO, MEDAN SLANKERS CLUB (MSC) seluruh adik-adik stambuk 2011, 2012, 2013, 2014 yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua ketulusan dan kebaikan dari semua pihak yang membantu penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Semoga rahmat dan karunia-Nya senantiasa menyertai kita semua. Amin.


(6)

iv ABSTRAK

Penelitian mengenai komparasi kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer di Perairan Haranggaol Danau Toba telah dilakukan pada bulan Desember 2014 sampai Maret 2015. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan nilai kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer pada beberapa lokasi yang berbeda seperti keramba, dermaga, pariwisata dan daerah bebas aktivitas di perairan Haranggaol Danau. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan

metode “Purposive Sampling” pada keempat lokasi penelitian. Fitoplankton

diambil dengan menggunakan plankton net dan identifikasi dengan menggunakan mikroskop cahaya. Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan menggunakan botol winkler gelap dan terang. Hasil yang diperoleh adalah terdapat 7 kelas, 32 famili dan 47 genus fitoplankton pada seluruh stasiun. Fitoplankton dengan nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun keramba jaring apung dengan nilai 15.265,31 ind/l, sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun bebas aktivitas dengan nilai 10.040,83 ind/l. Nilai produktivitas primer tertinggi terdapat pada stasiun keramba jaring apung sebesar 258,99 mg C/m3/hari sedangkan terendah pada stasiun bebas aktivitas sebesar 78,83 mg C/m3/hari. Nilai kelimpahan fitoplankton berpengaruh sangat kuat terhadap nilai produktivitas primer dan nilai BOD5 berpengaruh sangat kuat terhadap kelimpahan fitoplankton.


(7)

v ABSTRACT

Research on the comparative abundance of phytoplankton and primary productivity rate in the waters of Lake Toba Haranggaol was conducted in December 2014 and March 2015. The purpose of this study was to compare the value of the abundance of phytoplankton and primary productivity rates at several different locations such as cages, dock, tourism and free areas of activity in the waters of the lake Haranggaol. Sampling was conducted using the method of "purposive sampling" in the fourth study sites. Phytoplankton are taken by using a plankton net and identification by using a light microscope. Primary productivity measurements done using Winkler bottles of dark and light. The result is there are 7 classes, 32 families and 47 genera of phytoplankton in the entire station. Phytoplankton with the highest abundance values contained in floating cages station with a value of 15265.31 ind / l, while the lowest was at the station with a value-free activity 10040.83 ind / l. The highest primary productivity values contained in the station floating cages of 258.99 mg C / m3 / day while the lowest at station activity free of 78.83 mg C / m3 / day. Value abundance of phytoplankton very strong influence on the value of primary productivity and value BOD5very strong influence on the abundance of phytoplankton.


(8)

vi

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR LAMPIRAN x

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan 3

1.4 Manfaat 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Danau 4

2.2 Ekosistem Danau Toba 5

2.3 Plankton 7

2.3.1 Fitoplankton 8

2.4 Produktivitas Primer 10

2.5 Faktor Fisik-Kimia Perairan 11

2.5.1 Temperatur 11

2.5.2 Intensitas Cahaya 12

2.5.3 Penetrasi Cahaya 12

2.5.4 Oksigen Terlarut (DO) 13

2.5.5 pH air 13

2.5.6 Kecepatan Arus 14

2.5.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD) 14

2.5.8 Nitrat dan Fosfat 15

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 16

3.2 Alat dan Bahan 16

3.3 Deskripsi Area 16

3.3.1 Stasiun 1 16

3.3.2 Stasiun 2 17

3.3.3 Stasiun 3 17

3.3.4 Stasiun 4 17

3.4 Pengambilan Sampel 18


(9)

vii

3.5.2 Penetrasi Cahaya (m) 19

3.5.3 Intensitas Cahaya 20

3.5.4 pH (potential of Hydrogen) 20 3.5.5 DO (Disolved Oxygen) (mg/L) 20 3.5.6 BOD5(Biochemical Oxygen Demand) (mg/L) 20

3.5.7 Kejenuhan Oksigen 20

3.5.8 COD (Chemical Oxygen Demand) (mg/L) 20 3.5.9 Kandungan Nitrat dan Fosfat 21 3.5.10 Total Suspended Solid (TSS) 21 3.5.11 Total Disolved Suspended (TDS) 21

3.5.12 Warna Air 21

3.5.13 Amoniak 21

3.6 Analisis Data 21

a. Kelimpahan Plankton (K) 22

b. Kelimpahan Relatif (KR) 22

c. Frekuensi Kehadiran (FK) 22

d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’) 23 e. Indeks Equitabilitas/ Indeks Keseragaman (E) 23

f. Indeks Similaritas (IS) 23

g. Analisa Korelasi 24

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25

4.1. Fitoplankton pada Perairan Haranggaol 25

4.2. Kelimpahan fitoplankton 27

4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) 33

4.4. Indeks Similaritas 34

4.5. Nilai Produktivitas Primer (NPP) 35 4.6. Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan 37

4.7. Analisis Korelasi Pearson 46

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 49

5.1. Kesimpulan 49

5.2. Saran 49


(10)

viii Nomor

Gambar Keterangan Halaman

1 Stasiun 1 Daerah Keramba 16

2 Stasiun 2 Daerah Dermaga 17

3 Stasiun 3 Daerah Pariwisata 17

4 5

Stasiun 4 Daerah Bebas Aktivitas (Kontrol)

Fitoplankton Berdasarkan Kelas pada Stasiun Penelitian

18 26


(11)

ix Nomor

Tabel

Judul Halaman

1 Nilai Kelimpahan (ind/l), Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) pada masing-masing stasiun penelitian

31

2 Indeks Keanekaragaman Diversitas Shannon-Wiener (H’)

dan Indeks Equitabilitas/ Keseragaman (E)

33

3 Nilai Indeks Similaritas (IS) pada masing-masing stasiun penelitian

34

4 Nilai Produktivitas Primer (NPP) pada masing-masing stasiun penelitian

36

5 Nilai faktor fisik kimia perairan pada masing-masing stasiun penelitian

38

6 Nilai Korelasi Pearson antara produktivitas primer dengan kelimpahan fitoplankton dan faktor fisik kimia perairan


(12)

x Nomor

Lampiran Keterangan Halaman

1 Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)

57

2 Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5 58

3 Peta Lokasi 59

4 5 6 7 8

Tabel Kelarutan O2(Oksigen) Foto Fitoplankton yang diperoleh Contoh Perhitungan

Data Mentah Fitoplankton Analisis Korelasi Pearson

60 61 63 65 68


(13)

iv ABSTRAK

Penelitian mengenai komparasi kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer di Perairan Haranggaol Danau Toba telah dilakukan pada bulan Desember 2014 sampai Maret 2015. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan nilai kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer pada beberapa lokasi yang berbeda seperti keramba, dermaga, pariwisata dan daerah bebas aktivitas di perairan Haranggaol Danau. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan

metode “Purposive Sampling” pada keempat lokasi penelitian. Fitoplankton

diambil dengan menggunakan plankton net dan identifikasi dengan menggunakan mikroskop cahaya. Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan menggunakan botol winkler gelap dan terang. Hasil yang diperoleh adalah terdapat 7 kelas, 32 famili dan 47 genus fitoplankton pada seluruh stasiun. Fitoplankton dengan nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun keramba jaring apung dengan nilai 15.265,31 ind/l, sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun bebas aktivitas dengan nilai 10.040,83 ind/l. Nilai produktivitas primer tertinggi terdapat pada stasiun keramba jaring apung sebesar 258,99 mg C/m3/hari sedangkan terendah pada stasiun bebas aktivitas sebesar 78,83 mg C/m3/hari. Nilai kelimpahan fitoplankton berpengaruh sangat kuat terhadap nilai produktivitas primer dan nilai BOD5 berpengaruh sangat kuat terhadap kelimpahan fitoplankton.


(14)

v ABSTRACT

Research on the comparative abundance of phytoplankton and primary productivity rate in the waters of Lake Toba Haranggaol was conducted in December 2014 and March 2015. The purpose of this study was to compare the value of the abundance of phytoplankton and primary productivity rates at several different locations such as cages, dock, tourism and free areas of activity in the waters of the lake Haranggaol. Sampling was conducted using the method of "purposive sampling" in the fourth study sites. Phytoplankton are taken by using a plankton net and identification by using a light microscope. Primary productivity measurements done using Winkler bottles of dark and light. The result is there are 7 classes, 32 families and 47 genera of phytoplankton in the entire station. Phytoplankton with the highest abundance values contained in floating cages station with a value of 15265.31 ind / l, while the lowest was at the station with a value-free activity 10040.83 ind / l. The highest primary productivity values contained in the station floating cages of 258.99 mg C / m3 / day while the lowest at station activity free of 78.83 mg C / m3 / day. Value abundance of phytoplankton very strong influence on the value of primary productivity and value BOD5very strong influence on the abundance of phytoplankton.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fitoplankton merupakan produsen primer terpenting dalam ekosistem perairan. Produksi zat organik dari anorganik yang dapat dilakukan oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis merupakan sumber energi yang paling utama yang mendasari struktur trofik suatu ekosistem. Hampir semua biota air apabila ditelusuri rantai makanannya akan menunjukkan pangkalnya pada fitoplankton. Oleh karena itu kelimpahan fitoplankton penting artinya dalam menentukan kesuburan suatu perairan (Nurdin, 2010).

Kemampuan fitoplankton yang dapat berfotosintesis dapat menghasilkan senyawa organik membuat fitoplankton disebut sebagai produsen primer. Selain itu baik langsung maupun tidak langsung, fitoplankton tersebut merupakan makanan bagi konsumer terutama zooplankton (Prabandani, 2002). Fitoplankton juga dapat dijadikan indikator biologi dalam menentukan kualitas perairan baik melalui pendekatan keragaman spesies maupun spesies indikator. Fitoplankton sebagai indikator biologis bukan saja menentukan tingkat kesuburan perairan, tetapi juga fase pencemaran yang terjadi dalam perairan (Basmi, 1998).

Produktivitas primer adalah laju penyimpanan energi radiasi matahari oleh organisme produsen dalam bentuk bahan organik melalui proses fotosintesis oleh fitoplankton. Produktivitas primer pada umumnya dinyatakan dalam gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air per interval waktu. Produksi merupakan jumlah karbon per m2per hari ( g C/m2/hari ) (Erlina, 2007).

Laju produksi primer ditentukan oleh lingkungan fisik misalnya temperatur optimum dan cukup sinar matahari dan juga ketersediaan nutrien anorganik misalnya N dan P (Valiela 1995). Distribusi cahaya dan unsur hara di perairan pada umumnya tidak serasi dengan kebutuhan fitoplankton. Adanya kekeruhan yang disebabkan oleh partikel- partikel tersuspensi mengakibatkan adanya perbedaan potensi tumbuh fitoplankton pada suatu kolom air. Hal ini akan berpengaruh pada produktivitas primer fitoplankton (Alianto, et al., 2007).


(16)

Fitra (2013) juga menambahkan bahwa semakin tinggi kadar klorofil menandakan tingginya kelimpahan fitoplankton di perairan. Kelimpahan fitoplankton yang tinggi mengindikasikan tingginya produktivitas primer di suatu perairan.

Danau Toba merupakan sumberdaya alam akuatik yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi serta fungsi ekonomis. Pemanfaatan danau memberikan dampak terhadap penurunan kualitas air akibat berbagai aktivitas masyarakat di Danau Toba. Danau Toba juga digunakan sebagai tempat membuang berbagai jenis limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian di sekitar Danau Toba. Limbah domestik dari pemukiman dan perhotelan, limbah nutrisi dari sisa pakan ikan yang tidak habis dikonsumsi oleh ikan yang dibudidayakan dalam keramba jaring apung, limbah pariwisata dan limbah transportasi air. Berbagai penelitian di Danau Toba memberikan indikasi telah terjadi penurunan kualitas air di lokasi-lokasi yang terkena dampak kegiatan masyarakat (Barus, 2001).

Desa Haranggaol merupakan salah satu dari 13 desa di Kecamatan Haranggaol Horisan yang berbatasan langsung dengan Danau Toba. Desa Haranggaol memiliki tingkat aktivitas yang lebih tinggi pada kawasan perairannya dibandingkan desa-desa lainnya yang juga berbatasan langsung dengan Danau Toba. Aktivitas tersebut meliputi pemukiman, keramba apung, dermaga, pariwisata dan perkebunan. Aktivitas tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap biota perairan, salah satunya adalah fitoplankton yang ada pada kawasan sekitar danau.

Namun sejauh ini belum diketahui kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer serta bagaimana hubungannya dengan nilai faktor fisik-kimia pada setiap stasiun penelitian seperti keramba, dermaga, pariwisata dan daerah bebas aktivitas di perairan desa Haranggaol. Sehubungan dengan itu, maka

dilakukan penelitian tentang “Studi Komparasi Kelimpahan Fitoplankton dan Laju Produktivitas Primer di Perairan Haranggaol Danau Toba”.


(17)

1.2 Permasalahan

Berbagai aktivitas manusia yang berlangsung di sekitar perairan desa Haranggaol seperti keramba, dermaga, pariwisata dan perkebunan mengakibatkan perubahan faktor fisik-kimia perairan yang berdampak pada kelimpahan plankton khususnya fitoplankton dan laju produktivitas primer di kawasan perairan tersebut. Sejauh ini belum diketahui studi komparasi kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer serta hubungan kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer tersebut dengan faktor fisik-kimia perairan.

1.3 Tujuan

a. Membandingkan nilai kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer pada beberapa lokasi yang berbeda seperti keramba, dermaga, pariwisata dan daerah bebas aktivitas di perairan Haranggaol Danau Toba.

b. Menganalisis hubungan antara faktor fisik-kimia perairan dengan kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer pada beberapa lokasi yang berbeda seperti keramba, dermaga, pariwisata dan daerah bebas aktivitas di perairan Haranggaol Danau Toba.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai studi komparasi kelimpahan fitoplankton dan laju produktivitas primer pada beberapa lokasi yang berbeda seperti keramba, dermaga, pariwisata dan daerah bebas aktivitas bagi pihak terkait yang membutuhkan data dari perairan Danau Toba desa Haranggaol Kabupaten Simalungun Sumatera Utara.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Danau

Ekosistem perairan dapat dibedakan menjadi air tawar, air laut dan air payau seperti terdapat di muara sungai yang besar. Dari ketiga ekosistem perairan tersebut, air laut dan air payau merupakan bagian terbesar yaitu lebih dari 97%. Walaupun habitat air tawar menempati bagian yang sangat kecil, namun sangat penting bagi manusia sebagai sistem pembuangan (Fitra, 2008).

Sebagian besar air tawar yang ada di permukaan bumi tersimpan dalam bentuk massa es yang sangat besar di daerah kutub dan sebagai gletser di daerah pegunungan tinggi. Selain itu, air tawar juga terdapat dalam tanah yang muncul sebagai mata air, mengalir di permukaan sebagai sungai, dan menggenang dalam danau dan kolam yang jumlahnya ±0,3% dari total volume air. Jumlah yang sedikit inilah yang dapat dimanfaatkan langsung oleh manusia dan jasad hidup lainnya (Barus, 2007).

Ekosistem air tawar dibagi menjadi 2 jenis yaitu air diam misalnya kolam, danau dan waduk, serta air yang mengalir seperti misalnya sungai. Air diam digolongkan sebagai perairan lentik, sedangkan air yang mengalir deras disebut lotik. Perairan lentik atau perairan menggenang dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu rawa, danau dan waduk (Barus, 2004).

Danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Keberadaan ekosistem danau memberikan fungsi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia (rumah tangga, industri, dan pertanian) (Yazwar, 2008).

Danau sebagai salah satu habitat air tawar memiliki fungsi yang sangat penting diantaranya sebagai pencegah kekeringan dan banjir, perikanan, pariwisata serta penyedia air bersih. Melihat pada fungsi dan peranan danau bagi manusia, maka danau juga tidak terlepas dari pencemaran akibat ulah manusia itu


(19)

sendiri. Kegiatan masyarakat di sekitar danau, seperti keramba jaring apung dan pariwisata dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan berbagai macam limbah domestik baik organik maupun anorganik (Adawiyah, 2011).

Berdasarkan keadaan nutrisinya, Sinaga (2009) menggolongkan 3 jenis yaitu:

a. Danau Oligotrofik yaitu danau yang mengandung sedikit nutrien (miskin nutrien), biasanya dalam dan produktivitas primernya rendah. Sedimen pada bagian dasar kebanyakan mengadung senyawa anorganik dan konsentrasi oksigen pada bagian hipolimnion tinggi. Walaupun jumlah orgnisme pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi.

b. Danau Eutrofik, yaitu danau yang mengandung banyak nutrien (kaya nutrien), khususnya nitrat dan fosfor yang menyebabkan pertumbuhan alga dan tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas primer pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman spesies rendah.

c. Danau Distrofik yaitu yang memperoleh sejumlah bahan-bahan organik dari luar danau, khususnya senyawa-senyawa asam yang menyebabkan air berwarna coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang umumnya berasal dari hasil fotosintesa plankton. Tipe danau distrofik ini juga sedikit mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit oksigen. Suatu danau berlumpur mewakili bentuk danau distrofik.

2.2 Ekosistem Danau Toba

Danau Toba merupakan danau vulkanik dengan panjang sekitar 100 km dan lebar 30 km yang terletak pada beberapa kabupaten dalam Propinsi Sumatera Utara. Pada pemekaran wilayah kabupaten beberapa tahun lalu, Pulau Samosir dan perairan Danau Toba di sekitarnya adalah termasuk dalam Kabupaten Samosir yang beribukota di Pangururan. Pulau Samosir, sebagai pulau vulkanik demikian juga dataran tinggi lainnya yang mengelilingi Danau Toba merupakan daerah perbukitan yang terjal. Pembentukan Danau Toba diperkirakan terjadi saat ledakan vulkanis sekitar 73.000 –75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan


(20)

supervulkano (gunung berapi super) yang paling baru. Sebagian perairan Danau Toba di sebelah utaranya termasuk kedalam wilayah Kabupaten Simalungun dengan kota di tepi danaunya adalah Haranggaol dan Parapat. Sebelah barat laut Danau Toba termasuk wilayah Kabupaten Tanah Karo dengan kota di tepi danau adalah Tongging. Sedangkan di sebelah barat Danau Toba adalah wilayah Kabupaten Dairi dengan kota di tepi danau adalah Silalahi. Sementara itu disebelah timur danau adalah wilayah Kabupaten Tobamas dengan kota-kota di tepi Danau Toba adalah Ajibata dan Balige. Sedangkan Kabupaten Samosir meliputi wilayah seluruh Pulau Samosir dan perairan sekitar pantainya dengan kota-kota di tepi danaunya adalah: Pangururan, Tomok, Ambarita, Simanindo dan Nainggolan dan banyak desa di sepanjang tepi danau dan di perbukitan Pulau Samosir (Sagala, 2012).

Danau ini merupakan sumberdaya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari segi ekologi, hidrologi, serta fungsi ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai jenis organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitarnya, sebagai sumber air untuk kegiatan pertanian dan budidaya perikanan serta untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti kebutuhan untuk industri pembangkit listrik Sigura-Gura dan Asahan. Tak kalah pentingnya adalah fungsi Danau Toba sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal ke mancanegara dan sangat potensial untuk perkembangan kepariwisataan di Sumatera Utara (Barus, 2007).

Secara umum kondisi perairan Danau Toba masih tergolong Oligotropik (miskin zat hara). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lokasi yang terletak di tengah danau (sekitar 500 m dari pinggir danau), kecerahan air mencapai 11-14 m dengan kandungan nutrisi dalam air masih rendah dan kadar oksigen masih terdeteksi sampai ke dasar danau pada kedalaman antara 200 – 500 m. Pada bagian pinggir Danau Toba yang dekat dengan pemukiman dan aktivitas penduduk serta lokasi budidaya ikan dalam jaring apung terdeteksi kadar nutrisi yang tinggi. Secara kasat mata di beberapa kawasan pinggiran Danau Toba kita bisa melihat tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan air terutama jenis eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang telah menutupi lapisan permukaan danau. Hal ini terjadi akibat proses eutrofikasi (pengayaharaan) yang merupakan


(21)

suatu gejala peningkatan unsur hara, terutama fosfor dan nitrogen di suatu ekosistem air (Barus, 2007).

Banyaknya aktivitas yang terjadi di sekitar dan dalam badan air wilayah danau termasuk banyaknya transportasi motor air dan kapal-kapal penumpang yang beroperasi di wilayah perairan danau, maka tentu kualitas badan air danau akan mengalami perubahan dengan beban introduksi segala material dan energi yang diterima oleh lingkungan perairan Danau Toba tersebut. Dengan berbagai kegiatan yang terjadi di sekitar dan dalam wilayah Danau Toba, maka perairan danau akan menerima suatu dampak lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia di sekitarnya dan kehidupan organisme akuatik yang ada dalam badan air danau. Kehidupan akuatik yang dipengaruhi adalah demikian komplek yaitu terhadap rantai makanan (food chain) dan jaring makanan (foodweb) dalam ekosistem perairan. Komunitas biotik yang cukup peka oleh pengaruh gangguan-gangguan terhadap kualiatas air antara lain plankton (Sagala, 2012).

2.3 Plankton

Plankton adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya

”mengembara” kemudian plankton dipergunakan untuk mendefinisikan semua

organisme air yang pergerakannya lebih dipengaruhi oleh pergerakan air dari pada kemampuan berenangnya (Soegianto, 2004). Suin (2002) juga menyatakan bahwa plankton merupakan organisme yang terapung atau melayang- layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif.

Kehidupan dan keragaman organisme ini dipengaruhi oleh keseimbangan faktor-faktor lingkungan yang berada di sekitarnya, seperti faktor fisika yaitu pencahayaan dan suhu. Faktor kimia seperti ketersediaan unsur hara juga diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Adanya pencemaran yang mengakibatkan perubahan keseimbangan faktor lingkungan di badan air habitat plankton, dapat langsung berdampak pada keragaman jenis dan kehidupan plankton di badan air tersebut. Hal ini bergantung pada tingkat toleransi plankton di badan air tersebut. Ketika terjadi pencemaran, jumlah plankton yang bersifat intoleran terhadap bahan pencemar akan menurun atau bahkan hilang sama sekali dari badan air yang tercemar tersebut. Sementara plankton yang bersifat toleran


(22)

akan mengalami peningkatan atau ”blooming” dikarenakan sifatnya mampu mentoleransi bahan pencemar yang masuk ke habitatnya (Afihandarin, 2011).

Dalam suatu perairan plankton memegang peranan yang sangat penting. Fungsi ekologisnya sebagai produser primer dan awal mata rantai dalam jaringan makanan menyebabkan plankton sering dijadikan skala ukuran kesuburan suatu ekosistim (Umar, 2002). Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif (Suin, 2002).

Dengan melihat struktur komunitas plankton dapat diketahui tingkat pencemaran suatu perairan ( Faza, 2012). Plankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem perairan terutama dalam siklus karbon (Reigada, et al., 2003).

Nontji (2006) menggolongkan jenis plankton berdasarkan ukurannya menjadi beberapa jenis, diantaranya megaplankton (20-200 mm), makroplankton (2-20 mm), mesoplankton (0,2-20 mm), mikroplankton (20-200 µm), nanoplakton (2-20 µm), pikoplankton (0,2-2 µm), dan femtoplankton (≤ 0,2 µm). Berdasarkan

daur hidupnya plankton dapat digolongkan menjadi holoplankton yaitu organisme yang sepanjang hidupnya sebagai plankton, meroplankton yaitu organisme yang hidupnya sebagai plankton hanya pada waktu tertentu saja dalam siklus hidupnya dan tikoplankton yaitu bukan merupakan plankton sejati karena dalam keadaan normal organisme ini hidup di dasar perairan tetapi karena adanya arus air mereka bergerak seperti plankton.

Menurut Barus (2004), plankton dibagi menjadi 2 yaitu fitoplankton yang merupakan organisme plankton yang bersifat tumbuhan dan zooplankton yang merupakan organisme plankton bersifat hewan. Imani (2014) menyatakan bahwa plankton baik fitoplankton maupun zooplankton merupakan salah satu faktor penting untuk keberhasilan budidaya ikan. Pemberian pakan buatan pada ikan yang dipelihara dapat mempengaruhi kondisi plankton yang ada.

2.3.1 Fitoplakton

Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang hidupnya melayang-layang dalam air, pergerakannya pasif tergantung pada gerakan air. Fitoplankton dapat berbentuk satu sel, koloni, atau bentuk filamen (Arifin, 2009).


(23)

Fitoplankton memegang peranan yang sangat penting dalam suatu perairan, fungsi ekologinya sebagai produsen primer dan awal mata rantai dalam jaring makanan menyebabkan fitoplankton sering dijadikan skala ukuran kesuburan suatu perairan. Tingkat berikutnya adalah pemindahan energi dari produsen ke tingkat tropik yang lebih tinggi melalui rantai makanan (Handayani dan Patria, 2005).

Dalam pertumbuhannya setiap jenis fitoplankton mempunyai respon yang berbeda terhadap perbandingan nutrien yang terlarut dalam badan air. Oleh karena itu perbandingan nutrien, khususnya nitrogen sangat menentukan dominasi suatu jenis fitoplankton di perairan (Soetrisno, 2002).

Komposisi dan kelimpahan tertentu dari fitoplankton pada suatu perairan sangat berperan sebagai makanan alami pada tropik level diatasnya, juga berperan sebagai penyedia oksigen dalam perairan (Abida, 2010). Komposisi dan kelimpahan fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respons terhadap perubahan- perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi (Makmur dan Fahrur, 2011).

Keberadaan fitoplankton dapat dijadikan sebagai bioindikator adanya perubahan kualitas lingkungan perairan yang disebabkan ketidakseimbangan suatu ekosistem akibat beban pencemaran. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan keaneragaman jenis, komposisi dan keberadaan jenis fitoplankton yang mendominasi diperairan tersebut (Ferianita, et al., 2008). Keberadaan fitoplankton sangat mempengaruhi kehidupan di perairan karena memegang peranan penting sebagai produsen primer bagi berbagai organisme laut. Hal ini dikarenakan fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam fotosintesis yang menghasilkan bahan organik dan oksigen terlarut yang digunakan sebagai dasar mata rantai pada siklus makanan di perairan (Pramitha, 2010).

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton yang dapat dibagi dalam: (a) Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fisiologis secara langsung, misalnya dalam proses fotosintesis dan respirasi, termasuk dalam golongan ini faktor-faktor seperti cahaya, suhu, salinitas, hara makro, hara mikro. (b) Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan berkurangnya jumlah fitoplankton


(24)

misalnya karena pemangsa oleh herbivor, turbulensi dan penenggelaman (Nurdin, 2010).

2.4 Produktivitas Primer

Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan sinar matahari (Parson et al. 1984). Pengukuran produktivitas primer fitoplankton merupakan satu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan (Gocke & Lenz 2004).

Produktivitas primer merupakan sumber pokok energi bagi proses metabolik yang terjadi dalam biosfer. Susilo dan Basmi (1995) menyatakan bahwa produktivitas primer perairan perairan bukan saja penting bagi perikanan tetapi juga bagi lingkungan. Produktivitas perairan dapat digunakan sebagai penduga produksi ikan (potensi sumberdaya perikanan) dengan mengetahui faktor efesiensi ekologi dalam jaring- jaring pakan (food web). Faktor ini adalah faktor konversi untuk menduga produksi bahan organisme tingkat atas dalam jenjang aliran energi.

Rata-rata fotosintesis fitoplankton sangat dipengaruhi oleh jumlah dan aktivitas material sel fotosintesis yang ada, intensitas cahaya, konsentrasi karbondioksida, dan suhu. Jumlah dan aktivitas material sel fotosintesis dipengaruhi antara lain oleh suplai nutrien, yang tergantung kepada laju pemasukannya ke perairan laut dan pergerakan massa air laut. Selain itu fotosintesis juga merupakan fungsi yang kompleks dari beberapa faktor termasuk kelimpahan fitoplankton (Naibaho, 1996).

Produktivitas primer fitoplankton merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian lingkungan perairan (Manu et al., 2010). Nilai produktivitas primer dari satu perairan dengan perairan lainnya berbeda. Naibaho (1996) mendapatkan rata- rata produktivitas di permukaan perairan Teluk Bone adalah 2.5 mg C/m3/hari, sedangkan Tambaru (2000) di Teluk Hurun nilainya berkisar 31.25- 63.28 mg C/m3/jam. Hariyadi et al. (2010) menambahkan bahwa produktivitas perairan yang terlalu tinggi dapat mengindikasikan telah terjadi


(25)

eutrofikasi, sedangkan yang terlalu rendah dapat memberikan indikasi bahwa perairan tidak produktif atau miskin.

Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Berdasarkan nilai tersebut, cahaya matahari merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Sedangkan di bawahnya merupakan cahaya pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi atau kedalaman kompensasi (Valiela, 1995).

Distribusi cahaya dan unsur hara di perairan pada umumnya tidak serasi dengan kebutuhan fitoplankton. Adanya kekeruhan yang disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi mengakibatkan adanya perbedaan potensi tumbuh fitoplankton pada suatu kolom air. Hal ini akan berpengaruh pada produktivitas primer fitoplankton (Alianto, et al., 2007).

Pengukuran nilai produktivitas primer dapat dilakukan dengan menggunakan metode botol gelap dan botol terang. Botol gelap mewakili konsumsi oksigen oleh plankton tanpa adanya proses fotosintesis sedangkan botol terang mewakili konsumsi oksigen oleh plankton disertai dengan adanya proses fotosintesis. Abida (2010) juga menyatakan bahwa pengukuran produktivitas primer ditentukan dengan menggunakan metode oksigen botol gelap-botol terang. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi sampel air setelah diinkubasi pada kedalaman perairan. Waktu inkubasi dilakukan pada saat matahari optimal yaitu pada jam 09.00-14.00 WIB.

2.5 Faktor Fisik-Kimia Perairan 2.5.1 Temperatur

Pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis- fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur 10 oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya


(26)

matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi dari pepohonan yang tumbuh di tepi perairan (Barus, 2004).

Menurut Supriharyono (2000), menyatakan bahwa kenaikan temperatur diatas kisaran toleransi organisme dapat meningkatkan laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi, dan aktivitas organisme. Kenaikan laju metabolisme dan aktivitas ini berbeda untuk setiap spesies, proses dan level atau kisaran temperatur.

2.5.2. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optik dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya plankton. Vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air (Barus, 2004).

Sebaran vertikal ditandai dengan berkumpulnya fitoplankton di zona eufotik yaitu zona dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Dari hasil berbagai penelitian, ternyata sebaran vertikal plankton tergantung dari berbagai faktor, antara lain intensitas cahaya (Wijaya, 2009).

2.5.3. Penetrasi Cahaya

Cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Odum (1993), menyatakan bahwa penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat aquatik dibatasi oleh kedalaman, kekeruhan, terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, sering kali penting sebagai faktor pembatas.

Dengan demikian kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada


(27)

pada titik keseimbangan. Kemampuan penetrasi cahaya yang sampai pada kedalaman tertentu akan mempengaruhi distribusi serta intensitas tumbuhan air pada perairan sungai.

2.5.4. Oksigen Terlarut (DO)

(Disolved Oxygen) DO merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang penting dalam ekosistem perairan, terutama dalam proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 00 C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis (Barus, 2004).

Menurut Kristanto (2004), untuk mempertahankan hidupnya, mahluk yang tinggal dalam air, baik tumbuhan maupun hewan, bergantung pada oksigen terlarut ini. Jadi kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air. Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm, selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan pencemar, suhu air dan sebagainya. Konsentrasi oksigen terlarut rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan hewan air lain yang membutuhkan oksigen akan mati.

2.5.5. pH air

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan, didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH= log 1/H+, dimana H+ adalah banyaknya ion hidrogen dalam mol perliter larutan. Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5 (Barus, 2004).

Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH, dan dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Hal yang perlu diperhatikan adalah cara pengambilan


(28)

sampelnya yang benar sehingga nilai pH yang diperoleh benar (Suin, 2002). Nilai pH air yang normal adal netral, yaitu 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar, misalnya oleh limbah cair berbeda- beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahannya sebelum dibuang (Kristanto, 2004).

2.5.6. Kecepatan Arus

Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut. Penyebaran plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton, sangat ditentukan oleh aliran air. Selain itu, aliran air juga ikut berpengaruh terhadap kelarutan udara dalam air, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air. Kecepatan arus air permukaan tidak sama dengan air bagian bawah. Semakin ke bawah gerakan air biasanya semakin lambat dibanding dengan permukaan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kecepatan arus antar kedalaman, maka tampak bentuk antara organisme air pada kedalaman yang berbeda tidak sama (Suin, 2002).

Menurut Barus (2004), kondisi dengan gerakan air yang sanagat lambat , umumnya terdapat pada batu-batuan didasar perairan. Daerah yang berarus lambat ini merupakan habitat yang ideal bagi organisme air yang tidak mempunyai adaptasi khusus melawan arus yang deras. Michael (1984) menyatakan bahwa kecepatan aliran air yang mengalir beragam dari permukaan dasar, meskipun berada dalam saluran buatan yang dasarnya halus tanpa rintangan apapun. Perubahan air seperti itu tercermin dalam modifikasi yang diperlihatkan oleh organisme yang hidup di dalam air yang mengalir, yang kedalamannya berbeda.

2.5.7. (Biochemical Oxygen Demand) BOD5

Nilai (Biochemical Oxygen Demand) BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam penguraian senyawa organik dalam lingkungan air (Barus, 2004). Wardhana (2001) menyatakan peristiwa penguraian buangan bahan-bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.


(29)

Dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah dilakukan pengukuran selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, BOD yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari. Menurut Suin (2002), untuk itu maka perlu diukur kadar oksigen terlarut pada saat pengambilan contoh air (DO0hari) dan kadar oksigen terlarut dalam sampel air yang telah disimpan selama 5 hari (DO5). Selama dalam penyimpanan itu, harus tidak ada penambahan oksigen melalui proses fotosintesis, dan selama 5 hari tersebut semua organisme yang berada dalam sampel air itu bernafas menggunakan oksigen yang ada di dalam sampel tersebut.

2.5.8. Nitrat dan Fosfat

Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan dan keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif sedikit dengan konsentrasi yang relatif kecil dibandingkan nitrogen. Sumber antropogenik fosfor di perairan adalah limbah industri dan domestik, yaitu fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan konstribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi 2003).

Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen. Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas (Wijaya, 2009).


(30)

3.1 Waktu dan Temp Penelitian ini t 2015. Pengambilan sa Haranggaol Horisan se Sumber Daya Alam dan Ilmu Pengetahuan A

3.2 Alat dan Bahan Adapun alat y GPS, ember 5 liter, mikroskop cahaya, bot sedangkan bahan ya Na2S2O30,00125N da

3.3 Deskripsi Area 3.3.1 Stasiun 1

Stasiun 1 mer

danau dan secara geogr

G

BAB 3

METODE PENELITIAN

mpat Penelitian

ni telah dilaksanakan pada bulan Desember 2014 n sampel plankton dilaksanakan di perairan Da

n serta identifikasi dilaksanakan di Laboratorium m dan Lingkungan Departemen Biologi Fakul huan Alam Universitas Sumatera Utara.

an

t yang digunakan pada penelitian ini adalah: r, botol sampel, pipet tetes, lakban coklat, c , botol winkler gelap dan terang, tali tamban yang digunakan adalah lugol, MnSO4, KO dan amilum.

a

erupakan daerah keramba dan jaraknya 200

eografis terletak pada 02º52’09,9” LU & 098º40’

Gambar 1. Stasiun 1 Daerah keramba

2014 sampai Maret Danau Toba desa orium Pengelolaan kultas Matematika

lah: plankton net, , coolbox, plastik, bang dan alat tulis KOH-KI, H2SO4,

200 meter dari tepi


(31)

3.3.2 Stasiun 2 Stasiun 2 merupaka

02º52’34,6” LU & 098º

G 3.3.3 Stasiun 3

Stasiun 3 merupakan

02º51’56,6” LU & 098º4

G 3.3.4 Stasiun 4

Stasiun 4 merupa

terletak pada 02º51’06,3”

upakan daerah dermaga dan secara geografis

098º40’44,7” BT.

Gambar 2. Stasiun 2 Daerah Dermaga

kan daerah parawisata dan secara geografis

098º41’17,0” BT.

Gambar 3. Stasiun 3 Daerah Pariwisata

erupakan daerah bebas aktivitas (kontrol) dan s

02º51’06,3” LU & 098º41’30,7” BT.

fis terletak pada

afis terletak pada


(32)

Gambar 3.4 Pengambilan Sam 3.4.1 Pengambilan S Pengambilan sampel menggunakan ember sebanyak 5 kali tuang ulangan sebanyak 25 kali ulangan untuk set dalam bucket yang dilakukan dengan me dan diberi label (Mich

Identifikasi pl Daya Alam dan Ling Pengetahuan Alam menggunakan mikrosk menggunakan buku Pennak (1978) dan D

3.4.2 Pengukuran Laj Pengambilan sampel gelap dan terang. mikroorganisme tanpa mewakili konsumsi oks Botol winkler gelap d

ar 4. Stasiun 4 Daerah Bebas Aktivitas (Kont ampel

Sampel Plankton

pel plankton menggunakan metode purposive sam er bervolume 5 liter yang disaring ke dalam uang sehingga total volume air yang tersarin

25 liter. Pengambilan sampel plankton dilakuka uk setiap stasiun. Sampel plankton yang tersaring

g selanjutnya dituang ke dalam botol sampe menggunakan lugol sebanyak 3 tetes pada setia Michael, 1984).

plankton dilakukan di Laboratorium Penge ngkungan Departemen Biologi Fakultas Matem

Universitas Sumatera Utara. Sampel di kroskop cahaya dan selanjutnya diident buku identifikasi Edmondson (1963), Bold &

Djuhanda (1980).

Laju Produktivitas Primer

pel produktivitas primer dilakukan menggunaka g. Botol winkler gelap mewakili konsum anpa proses fotosintesis sedangkan botol si oksigen oleh mikroorganisme disertai prose p dan terang diikat dengan tali dan direndam ke

ontrol)

e sampling dengan

lam plankton net ring untuk sekali kukan sebanyak 9 ng akan terkumpul mpel. Pengawetan etiap botol sampel

ngelolaan Sumber tematika dan Ilmu diamati dengan dentifikasi dengan Wayne (1985),

unakan botol winkler konsumsi oksigen ol winkler terang proses fotosintesis. ke dalam perairan


(33)

hingga kedalaman penetrasi cahaya di perairan tersebut. Proses tersebut dilakukan untuk semua stasiun penelitian. Setelah 4 jam botol winkler gelap dan terang diangkat kembali ke permukaan dan dilakukan pengukuran DO (Disolved Oxygen). Nilai respirasi (R) diperoleh dengan mengurangkan DO awal dengan DO akhir pada botol winkler gelap. Produktivitas kotor (PG) diperoleh dengan mengurangkan DO akhir pada botol winkler terang dengan DO akhir pada botol winkler gelap. Produktivitas bersih (PN) diperoleh dengan mengurangkan nilai produktivitas kotor dengan nilai respirasi. Hasil Produktivitas neto yang diperoleh dikonversi ke dalam satuan mg C/m3/hari dengan cara mengalikan nilai produktivitas bersih dengan 375,36 (konversi oksigen menjadi karbon) dan hasil yang diperoleh dikalikan lagi dengan 3 (diperoleh dengan cara membagikan 12 jam dengan 4 jam lamanya fotosintesis).

Respirasi (R) = DO awal–DO akhir botol gelap

Produktivitas kotor (PG) = DO akhir botol terang–DO akhir botol gelap Produktivitas bersih (PN) = Produktivitas kotor (PG)–Respirasi (R)

Konversi = PN×375,36 × (12/lama fotosintesis) mg C/m3/hari

(Barus, 2004)

3.5 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Faktor fisik kimia perairan yang diukur mencakup: 3.5.1 Temperatur (oC)

Suhu air diukur dengan menggunakan termometer air raksa berskala 0-100 o

C yang dimasukkan pada badan air kira-kira 10 menit sampai penunjuk pada skala konstan. Diamati dan dibaca suhu yang tertera pada termometer.

3.5.2 Penetrasi Cahaya (cm)

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan menggunakan keeping sechii yang dimasukkan ke dalam air hingga tidak tampak dari permukaan dan diukur panjang tali sebagai kedalaman penetrasi cahaya.


(34)

3.5.3 Intensitas Cahaya (candella)

Intensitas cahaya diukur menggunakan lux meter. Dicatat angka yang muncul pada lux meter tersebut.

3.5.4 pH (potential of Hydrogen)

Pengukuran pH menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi. Dimasukkan pH meter ke dalam air lalu dibaca skala yang tertera pada pH meter tersebut.

3.5.5 DO (Disolved Oxygen) (mg/L)

Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilakukan dengan menggunakan metode Winkler (lampiran A).

3.5.6 BOD5(Biochemical Oxygen Demand) (mg/L)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan metode Winkler. Sampel air yang diambil dari dalam perairan diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 oC. Diukur nilainya dengan menggunakan metode Winkler dimana nilai BOD5 didapat dari pengurangan DO awal–DO akhir (Lampiran B).

3.5.7 Kejenuhan Oksigen (%)

Harga kejenuhan oksigen(%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Barus (2004):

KEJENUHAN(%) = 2[ ]

2[ ] x 100%

O2[u] =Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/L)

O2[t] =Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya (pada tabel) sesuai dengan harga temperatur.

3.5.8 COD (Chemical Oxygen Demand) (mg/L)

Pengukuran COD dilakukan dengan menggunakan metode refluks di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Kelas I Medan.


(35)

3.5.9 Kandungan Nitrat dan Fosfat

Pengukuran kandungan nitrat dan fosfat dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Kelas I Medan.

3.5.10 Total Suspended Solid (TSS)

Pengukuran kandungan TSS dilakukan dengan menggunakan alat

spektrofotometer di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian

Penyakit (BTKLPP) Kelas I Medan.

3.5.11 Total Disolved Suspended (TDS)

Pengukuran kandungan TDS dilakukan dengan menggunakan alat

spektrofotometer di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian

Penyakit (BTKLPP) Kelas I Medan.

3.5.12 Warna Air

Pengukuran kandungan colour dilakukan dengan menggunakan alat

spektrofotometer di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian

Penyakit (BTKLPP) Kelas I Medan.

3.5.13 Amoniak

Pengukuran kandungan amoniak dilakukan dengan menggunakan alat

spektrofotometer di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian

Penyakit (BTKLPP) Kelas I Medan.

3.6 Analisis Data

Data plankton yang diperoleh dihitung nilai kelimpahan, kelimpahan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wiener (indeks keanekaragaman), indeks equitabilitas (keseragaman), dan indeks similaritas dengan persamaan menurut ( Brower et, al., 1990), Krebs (1985) dan Suin (2002) sebagai berikut:


(36)

a. Kelimpahan Plankton (K)

Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan menggunakan alat Haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut Isnansetyo & Kurniastuty (1995), yaitu:

T P V 1 K = x x x

L p v W Keterangan:

N = jumlah plankton per liter (l)

T = luas penampang permukaan Haemocytometer (mm2) L = luas satu lapang pandang (mm2)

P = jumlah plankter yang dicacah p = jumlah lapang yang diamati

V = volume konsentrasi plankton pada bucket (ml) v = volume konsentrat di bawah gelas penutup (ml)

W = volume air media yang disaring dengan plankton net (l)

Karena sebagian besar dari unsur – unsur rumus ini telah diketahui pada

Haemocytometer, yaitu T = 196 mm2 dan v = 0,0196 ml (19,6 mm3) dan luas penampang pada Haemocytometer sama dengan hasil kali antara luas satu lapang pandang (L) dengan jumlah lapang yang diamati (p) sehingga rumusnya menjadi:

P V

K = ind/L

0,0196 W

b. Kelimpahan Relatif (KR)

Jumlah K dalam setiap spesies

KR = x 100 %

Total K

( Brower et, al., 1990)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

Jumlah ulangan yang ditempati suatu spesies

FK = x 100 % Total ulangan


(37)

Dimana nila FK : 0–25 % = sangat jarang 25–50 % = jarang 50 –75 % = sering >75 % = sangat sering

( Krebs, 1985)

d. Indeks Diversitas Shannon– Wiener (H’)

H’ =-pi ln pi

Dimana : H’ = indeks diversitas Shannon–Wiener Pi = proporsi spesies ke–i

ln = logaritma Nature

pi = perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis

0 < H’ < 2,302 = keanekaragaman rendah

2.302 < H’ < 6,907 = keanekaragaman sedang

H’ > 6,907 = keanekaragaman tinggi

(Krebs, 1985)

e. Indeks Equitabilitas / Indeks Keseragaman (E) H’

E =

H max

Dimana: H’ = indeks diversitas Shannon–Wiener H max = keanekaragaman spesies maksimum

= ln S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0–1

(Krebs, 1985)

f. Indeks Similaritas (IS) 2 c

IS =

a + b

dimana: IS = Indeks Similaritas


(38)

b = Jumlah spesies pada lokasi B

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi A dan B

dengan nilai IS: 75–100 % = sangat mirip 50–75 % = mirip 25–50 % = tidak mirip

≤ 25 % = sangat tidak mirip

(Suin, 2002)

g. Analisa Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkolerasi terhadap nilai kelimpahan fitoplankton. Analisa korelasi dihitung menggunakan Analisa Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver 16.00.

Keterangan :

0,00–0,199 : Sangat rendah 0,20–0,399 : Rendah 0,40–0,599 : Sedang 0,60–0,799 : Kuat 0,80–1,00 : Sangat kuat


(39)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Fitoplankton pada Perairan Haranggaol

Fitoplankton yang diperoleh di perairan Haranggaol sebanyak 7 kelas yaitu kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Chrysophyceae, Conjugatophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae dan Xanthophyceae. Kelas Bacillariophyceae terdiri dari 13 famili yaitu famili Achnanthaceae dengan genera Coconeis, famili Berkeleyaceae dengan genera Climaconeis, famili Biddulphiaceae dengan genera

Ishtmia, famili Chaetoceraceae dengan genera Rhizosolenia, famili Chaetocerotaceae dengan genera Chaetoceros, famili Coscinodiscaceae dengan genera Coscinodiscus, Cyclotella, Melosira, famili Cymbellaceae dengan genera

Cymbella, famili Ephitemiaceae dengan genera Denticula, Ephitemia, Rhopalodia, famili Fragillariaceae dengan genera Diatoma, Fragillaria, Synedra,

famili Naviculaceae dengan genera Gyrosigma, Navicula, Neidium, Nitzchia,

Pinnularia, famili Rhizosoleniaceae dengan genera Guinardia, famili Surirellaceae dengan genera Surirella dan famili Thalassiosinaceae dengan genera

Skeletonema.

Kelas Chlorophyceae terdiri dari 11 famili yaitu famili Characiaceae dengan genera Actidesmium, famili Chladophoraceae dengan genera Cladophora dan Rizoclonium, famili Chlorobiaceae dengan genera Chlorobium, famili Coelastraceae dengan genera Coelastraum, famili Desmidiaceae dengan genera

Docidium dan Staurastrum, famili Dichotomosiphonaceae dengan genera Cosmarium, famili Hydrodictyaceae dengan genera Hydrodictyon dan

Pediastrum, famili Mesotaeniaceae dengan genera Gonatozygon, famili Microthamniaceae dengan genera Microthamnion, famili Shizogoniaceae dengan genera Shizogonium, famili Ulothrichaceae dengan genera Hormidium dan

Ulotrix.

Kelas Chrysophyceae terdiri dari 1 famili yaitu famili Dinobryaceae dengan genera Dinobryon. Kelas Conjugatophyceae terdiri dari 1 famili yaitu famili Zygnemataceae dengan genera Mougeotia dan Spirogyra. Kelas


(40)

Cyanophyceae terdiri dari 4 famili yaitu famili Chroococcaceae dengan genera

Dactylococcopsis, famili Nostocaceae dengan genera Lyngbya, famili Oscillatoriaceae dengan genera Oscillatoria, dan famili Stigonemataceae dengan genera Anabaena. Kelas Euglenophyceae terdiri dari 1 famili yaitu famili Phacaceae dengan genera Phacus. Kelas Xanthophyceae terdiri dari 1 famili yaitu famili Tribonemataceae dengan genera Tribonema.

Tingginya kelimpahan fitoplankton yang diperoleh dipengaruhi oleh faktor fisik kimia perairan khususnya intensitas cahaya. Nilai intensitas cahaya yang diperoleh pada keseluruhan stasiun penelitian yaitu 1150 x 2000 – 1858 x 2000 candella cukup sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton sehingga menyebabkan fitoplankton dapat berkembang dengan baik. Selain intensitas cahaya, faktor fisik kimia perairan lainnya seperti suhu dan pH sangat mempengaruhi keberadaan fitoplankton dalam perairan. Intensitas cahaya matahari yang cukup, suhu dan pH yang sesuai berperan dalam membantu proses metabolisme dan fotosintesis dari fitoplankton tersebut. Djuhanda (1980) menyatakan bahwa setiap proses fotosintesis membutuhkan cahaya matahari dan tentunya sejalan dengan jumlah cahaya yang tersedia di dalam perairan.

Gambar 5. Fitoplankton Berdasarkan Kelas pada Stasiun Penelitian

Berdasarkan Gambar 5 di atas, persentase kelimpahan fitoplankton berdasarkan kelasnya yang paling banyak ditemukan yaitu pada kelas Bacillariophyceae

Bacillariophyceae 49% Chlorophyceae

32% Cyanophyceae

9%

Conjugatophyceae 4% Chrysophyceae

2%

Euglenophyceae 2%

Xanthophyceae 2%


(41)

(49%), Chlorophyceae (32 %), Cyanophyceae (9 %), Cunjugatophyceae (4 %),

Chrysophyceae, Euglenophyceae, dan Xanthophyceae masing-masing 1 %.

Persentase tertinggi terdapat pada kelas Bacillariophyceae, dan merupakan kelas dengan genera yang paling banyak ditemukan. Hal ini disebabkan genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae merupakan anggota utama fitoplankton yang terdapat di seluruh bagian perairan. Kelas fitoplankton ini juga memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan kontribusi dalam produktivitas primer suatu perairan, khususnya perairan sungai dan danau. Nainggolan (2011) menyatakan bahwa Bacillariophyceae lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan perairan, selanjutnya Welch (1980) menambahkan bahwa

Bacillariophyceae merupakan kelas yang paling sering mendominasi di

lingkungan perairan dan kelimpahannya sangat tinggi, kecuali di kawasan yang bersubstrat lumpur. Selain itu perkembangan Bacillariophyceae relatif lebih cepat dibandingkan kelas alga lainnya karena tingkat toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan faktor lingkungan. Hal ini didukung oleh pernyataan Basmi (1999) yang menyatakan bahwa Bacillariophyceae dapat bereproduksi secara seksual dan aseksual, sehingga lebih cepat dalam memperbanyak diri dan mengakibatkan jumlahnya sangat berlimpah di perairan.

4.2 Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Haranggaol Danau Toba

Kelimpahan fitoplankton yang diperoleh di perairan Haranggaol Danau Toba bervariasi pada setiap stasiunnya. Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 15.265,31 ind/l, sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 10.040,83 ind/l. Berdasarkan data tersebut tingginya kelimpahan fitoplankton pada stasiun 1 terjadi karena cukupnya ketersediaan nutrisi dan suhu yang sesuai yang sangat mendukung kehidupan fitoplankton. Stasiun ini merupakan daerah keramba yang memiliki suhu 27 oC dan konsentrasi senyawa organik yang tinggi pada kawasan tersebut. Tingginya konsentrasi senyawa organik tersebut terlihat dari tingginya nilai TDS (Total Disolved Suspended) yaitu sebesar 78,5 mg/L. Hal ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Harahap (2013) di perairan Haranggaol didapatkan nilai nitrat tertinggi pada stasiun keramba jaring


(42)

apung dibandingkan stasiun lain yang lokasinya jauh dari keramba jaring apung yaitu sebesar 0,29-0,81 yang menyebabkan kelimpahan plankton di stasiun tersebut juga menjadi yang tertinggi. Tingginya nilai nitrat pada stasiun ini berasal dari sisa pakan ikan yang diberikan oleh masyarakat. Adanya akumulasi dari sisa pakan ikan tersebut meningkatkan konsentrasi senyawa organik berupa amoniak yang sangat baik dalam membantu perkembangan dari fitoplankton yang menyebabkan kelimpahan fitoplankton pada stasiun ini menjadi yang tertinggi. Suhu berperan sebagai pengatur proses metabolisme dan fungsi fisiologis. Suhu juga sangat berpengaruh terhadap percepatan maupun perlambatan pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton. Nilai suhu pada stasiun 1 menunjukkan suhu yang sangat baik bagi pertumbuhan fitoplankton, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa suhu yang baik bagi pertumbuhan jenis diatom, Chlorophyta dan Cyanophyta adalah 20-40oC.

Pada stasiun 1 dan 3 kelimpahan tertinggi terdapat pada genera Ishtmia, yaitu pada stasiun 1 sebesar 2639,46 ind/l (K), 17,29 % (KR), dan 77,77 % (FK) dan pada stasiun 3 sebesar 1061,22 ind/l, 10,05 % dan 66 % . Hal ini disebabkan cukup tingginya intensitas cahaya dan konsentrasi senyawa organik pada stasiun 1. Genera Ishtmia merupakan salah satu genera dari kelas Bacilariophycaeae yang didapatkan pada stasiun ini. Kelas Bacilariophyceae merupakan kelas fitoplankton yang paling sering mendominasi di kawasan perairan. Hal ini disebabkan dalam kondisi yang mendukung, kelas

Bacilariophyceae memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang relatif

lebih cepat dibandingkan kelas fitoplankton lainnya. Abida (2010) juga menyatakan bahwa kelas Bacillariophyceae umumnya ditemukan melimpah karena fitoplankton dari kelas ini merupakan anggota utama dari fitoplankton yang terdapat di seluruh bagian perairan. Tingginya kelimpahan genera Ishtmia pada stasiun 3 disebabkan karena pada stasiun ini memiliki nilai fosfat yang tertinggi dari stasiun lainnya yaitu sebesar 0,14 mg/l. Genera Ishtmia adalah genera dari kelas Bacillariophyceae yang pertumbuhan dan perkembangan relatif lebih cepat pada kondisi perairan dengan senyawa organik yang tinggi. Menurut Suin (2002), ketersediaan sumberdaya pada lingkungan menentukan keberadaan jenis, jumlah individu, kelimpahan dan frekuensi kehadirannya. Abida (2010)


(43)

menambahkan bahwa perbedaan nilai kelimpahan fitoplankton bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketersediaan nutrien, keberadaan cahaya di lingkungan perairan dan laju grazing oleh organisme lainnya. Pada stasiun 1 didapat nilai kelimpahan terendah terdapat pada genera Dinobryon dan

Dactylococcopsis yaitu dengan nilai K, KR dan FK berturut-turut adalah 54,42

ind/l, 0,36 % dan 33,33 %. Usman et al. (2013) menyatakan bahwa genera

Dinobryon dan Chaetoceros umumnya dijumpai pada kedalaman perairan 10

meter karena genera ini mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pada stasiun 2 nilai kelimpahan tertinggi adalah dari genera Cymbella dengan nilai K, KR dan FK berturut-turut adalah 1.401,36 ind/l, 9,83 %, dan 77,77% sedangkan nilai kelimpahan terendah pada stasiun ini terdapat pada genera Phacus dengan nilai K, KR dan FK berturut-turut adalah 40,82 ind/l, 0,29 % dan 33,33%. Genera ini merupakan salah satu anggota dari kelas

Euglenophyceae. Pada stasiun 2 didapatkan nilai kelarutan oksigen cukup tinggi

yaitu sebesar 6,5. Keadaan ini tidak mendukung kehidupan dari genera ini. Genera

Phacus umumnya berkembang baik pada kondisi kelarutan oksigen yang rendah.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Wijaya (2009) yang menyatakan bahwa kondisi perairan yang memiliki kelarutan oksigen rendah didominasi oleh fitoplankton dari kelas Euglenophyceae. Genera dari kelas Euglenophyceae mampu melindungi dirinya dari zat-zat beracun yang berada di perairan sehingga mampu hidup pada perairan yang mengalami pencemaran dan dapat dijadikan sebagai indikator perairan tercemar.

Pada stasiun 3 nilai kelimpahan terendah dari genera Staurastrum,

Microthamnion, Shizogonium, dan Anabaena yaitu sebesar 68,03 ind/l dan KR

sebesar 0,64 %. Nilai FK untuk Staurastrum dan Anabaena sebesar 33,33 %, sedangkan nilai FK untuk Microthamnion dan Shizogonium sebesar 44,44%. Keempat genera ini memliki nilai kelimpahan terendah disebabkan karena kandungan senyawa organik yang cukup rendah pada stasiun ini. Keempat genera fitoplankton tersebut mampu hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan senyawa organik yang tinggi. Nybakken (1992) menyatakan bahwa fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalah nitrit dan fosfat. Adawiyah (2011) juga


(44)

menambahkan bahwa jenis fitoplankton yang jarang ditemukan dapat diakibatkan oleh proses suksesi dan toleransi masing-masing jenis terhadap perubahan lingkungan sehingga mengakibatkan perbedaan struktur komunitas fitoplankton pada setiap waktu.

Pada stasiun 4 nilai kelimpahan tertinggi adalah genera Navicula dengan nilai K, KR dan FK berturut-turut sebesar 1442,18 ind/l, 14,36 %, dan 77 %. Hal ini disebabkan karena kelarutan oksigen pada stasiun ini lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Kelarutan oksigen yang tinggi pada suatu perairan sangat mendukung kehidupan dari genera ini dalam pertumbuhan maupun perkembangannya. Suin (2002) menyatakan bahwa pola penyebaran plankton di dalam air tidak sama. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya dan faktor-faktor lainnya di kedalaman air yang berbeda. Kadar oksigen dalam air sangat menentukan kehidupan biota air. Pada stasiun 4 nilai kelimpahan terendah adalah dari genera Shizogonium dengan nilai K, KR dan FK berturut-turut adalah 54,42 ind/l, 0,54 % dan 33,33 %. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan perairan yang tidak sesuai dengan kehidupan dari genus ini. Menurut Adawiyah (2011), jumlah individu fitoplankton yang tidak merata disebabkan terjadinya persaingan terhadap kebutuhan hidup fitoplankton di suatu perairan. Nontji (2006) juga menambahkan bahwa komponen komunitas fitoplankton di suatu perairan senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Jumlah genera fitoplankton yang diperoleh pada setiap stasiun juga bervariasi. Jumlah genera tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu sebanyak 33 genera, pada stasiun 2 sebanyak 31 genera, stasiun 3 sebanyak 28 genera dan stasiun 4 sebanyak 25 genera. Jumlah genera yang bervariasi tersebut disebabkan karena adanya perbedaan nilai faktor fisik kimia perairan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan fitoplankton seperti intensitas cahaya, pH air, TDS , amoniak dan fosfat. Hayati et al., (2012) juga menyatakan bahwa cahaya, suhu, pH, salinitas dan unsur hara dapat mempengaruhi keberadaan fitoplankton karena dapat mempengaruhi proses fisiologis secara langsung seperti dalam proses fotosintesis dan respirasi.


(45)

Tabel 1. Nilai Kelimpahan (ind/L), Kelimpahan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada masing-masing stasiun penelitian.

No Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK

1 Coconeis 340.14 2.23 55.55 625.85 4.39 77.77 489.8 4.64 66.66 163.27 1.63 55.55

2 Climaconeis 326.53 2.14 55.55 353.74 2.48 55.55 - - -

-3 Ishtmia 2639.46 17.29 77.77 - - - 1061.22 10.05 66.66 707.48 7.05 55.55 4 Rhizosolenia 380.95 2.5 55.55 408.16 2.86 66.66 - - - 435.37 4.34 66.66

5 Chaetoceros - - - 938.78 6.58 66.66 734.69 6.96 66.66 - -

-6 Coscinodiscus - - - 190.48 1.8 44.44 136.05 1.36 44.44

7 Cyclotella - - - 1387.76 9.73 77.77 870.75 8.25 55.55 - -

-8 Melosira 1455.78 9.54 66.66 1319.73 9.26 66.66 965.99 9.15 66.66 952.38 9.49 55.55

9 Cymbella 1387.76 9.09 66.66 1401.36 9.83 77.77 - - -

-10 Denticula - - - 489.8 4.64 66.66 340.14 3.39 66.66

11 Ephitemia - - - 489.8 3.44 77.77 489.8 4.64 77.77 - -

-12 Rhopalodia 163.27 1.07 44.44 163.27 1.15 44.44 231.29 2.19 55.55 - - -13 Diatoma 557.82 3.65 77.77 761.9 5.34 77.77 435.37 4.12 77.77 476.19 4.74 66.66 14 Fragillaria 1319.73 8.65 77.77 1129.25 7.92 88.88 - - - 1088.44 10.84 88.88 15 Synedra 136.05 0.89 55.55 - - - 217.69 2.06 66.66 95.24 0.95 33.33 16 Gyrosigma - - - 367.35 2.58 77.77 258.5 2.45 44.44 204.08 2.03 55.55 17 Navicula 1292.52 8.47 66.66 1224.49 8.59 77.77 - - - 1442.18 14.36 77.77

18 Neidium 217.69 1.43 44.44 - - - 190.48 1.8 66.66 - -

-19 Nitzchia 925.17 6.06 66.66 - - - 625.85 5.93 66.66 448.98 4.47 66.66 20 Pinnularia 421.77 2.76 55.55 - - - 312.93 2.96 77.77 244.9 2.44 44.44

21 Guinardia - - - 585.03 5.54 66.66 299.32 2.98 66.66

22 Surirella 1102.04 7.22 77.77 775.51 5.44 77.77 - - - 489.8 4.88 66.66 23 Skeletonema 204.08 1.34 55.55 136.05 0.95 55.55 190.48 1.8 55.55 231.29 2.3 77.77

24 Actidesmium 149.66 0.98 55.55 - - -

-25 Cladophora 122.45 0.8 44.44 81.63 0.57 44.44 - - -

-26 Rizoclonium - - - 244.9 2.32 55.55 312.93 3.12 66.66

27 Chlorobium 136.05 0.89 55.55 108.84 0.76 44.44 - - -


(46)

-Lanjutan Tabel 1.

No Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK

29 Docidium 108.84 0.71 55.55 81.63 0.57 44.44 - - - 81.63 0.81 55.55

30 Staurastrum 136.05 0.89 44.44 - - - 68.03 0.64 33.33 - -

-31 Cosmarium - - - 231.29 1.62 44.44 - - -

-32 Hydrodictyon - - - 81.63 0.57 44.44 - - - 68.03 0.68 44.44

33 Pediastrum 81.63 0.53 44.44 108.84 0.76 33.33 - - -

-34 Gonatozygon 829.93 5.44 77.77 816.33 5.73 88.88 802.72 7.6 77.77 1360.54 13.55 88.88

35 Microthamnion 68.03 0.45 44.44 - - - 68.03 0.64 44.44 - -

-36 Shizogonium 68.03 0.45 33.33 - - - 68.03 0.64 44.44 54.42 0.54 33.33 37 Hormidium 136.05 0.89 33.33 136.05 0.95 44.44 - - - 68.03 0.68 33.33

38 Ulotrix - - - 244.9 1.72 55.55 176.87 1.68 55.55 - -

-39 Dinobryon 54.42 0.36 33.33 54.42 0.38 33.33 - - -

-40 Mougeotia 68.03 0.45 44.44 68.03 0.48 44.44 - - -

-41 Spirogyra - - - 149.66 1.05 55.55 122.45 1.16 44.44 108.84 1.08 55.55

42 Dactylococcopsis 54.42 0.36 33.33 - - -

-43 Lyngbya 122.45 0.8 55.55 68.03 0.48 44.44 - - - 68.03 0.68 44.44 44 Oscillatoria - - - 408.16 2.86 66.66 408.16 3.87 44.44 163.27 1.63 55.55

45 Anabaena 68.03 0.45 33.33 - - - 68.03 0.64 33.33 - -

-46 Phacus 68.03 0.45 33.33 40.82 0.29 33.33 - - -

-47 Tribonema 122.45 0.8 44.44 - - - 81.63 0.77 33.33 - -

-Total 15.265,31 100 - 14.258,5 100 - 10.557,84 100 - 10.040,83 100

-Jumlah genera 33 - - 31 - - 28 - - 25 -

-Keterangan: Stasiun 1 : Daerah Keramba Stasiun 2 : Daerah Dermaga Stasiun 3 : Daerah Pariwisata Stasiun 4 : Daerah Bebas Aktifitas


(47)

4.3. Indeks Keanekaragaman Diversitas Shannon-Wiener(H’) dan Indeks Equitabilitas / Keseragaman (E).

Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh pada

masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Indeks Keanekaragaman Diversitas Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Equitabilitas/ Keseragaman (E) pada masing-masing stasiun penelitian

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

H' 2,88 3,00 3,05 2,81

E 0,82 0,87 0,92 0,87

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa kisaran indeks keanekaragaman (H’)

fitoplankton pada seluruh stasiun penelitian adalah 2,81-3,05. Nilai H’ yang

berbeda pada masing-masing stasiun tersebut disebabkan karena adanya aktivitas masyarakat yang mempengaruhi kualitas air. Silaban (2006) menyatakan bahwa perbedaan aktivitas masyarakat pada kawasan perairan dapat mempengaruhi kualitas air dan akhirnya akan mempengaruhi keanekaragaman. Menurut Krebs (1985), nilai 0<H’<2,302 keanekaragaman rendah, 2,302<H’<6,907 keanekaragaman sedang dan H’>6,907 keanekaragaman tinggi. Berdasarkan

indeks keanekaragaman fitoplankton yang diperoleh pada setiap stasiun masuk ke dalam kategori sedang. Barus (2004) menambahkan bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies, jumlah individu dan penyebaran individu pada masing-masing spesies. Pirzan et al. (2008) menyatakan bahwa semakin besar nilai H’ menunjukkan semakin beragamnya kehidupan di perairan, kondisi ini merupakan tempat hidup yang lebih baik.

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 3,05. Hal ini disebabkan karena pada stasiun 3 memiliki nilai fosfat yang lebih tinggi daripada ketiga stasiun lainnya. Fosfat merupakan salah satu faktor kimia perairan yang penting bagi pertumbuhan fitoplankton pada suatu perairan. Kadar fosfat yang tinggi dapat menjadikan perkembangan dan pertumbuhan fitoplankton semakin cepat dan melimpah atau

blooming. Asprianti et al., (2013) menyatakan bahwa fosfat juga merupakan

senyawa penting bagi pertumbuhan alga, akan tetapi fosfat pada konsentrasi tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan alga yang tak terbatas.


(48)

Berdasarkan tabel 2 diperoleh juga nilai Indeks Keseragaman (E) pada setiap lokasi penelitian adalah 0,92-0,82. Stasiun yang memiliki nilai Indeks Keseragaman tertinggi adalah stasiun 3 sebesar 0,92 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0,82. Pada stasiun 3 menunjukkan bahwa keseragaman populasi fitoplankton besar artinya penyebaran individu tiap jenis lebih merata dibandingkan stasiun lainnya. Pada stasiun 1 yang nilai keseragamannya lebih kecil dibandingkan stasiun lainnya menunjukkan penyebaran individu jenis yang kurang merata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fachrul (2007), bahwa nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1, apabila nilai keseragaman mendekati 0, maka tingkat keseragamannya dikatakan tidak merata dan ada jenis yang mendominasi. Apabila indeks keseragaman (E) mendekati 1 maka sebaran individu tiap jenis merata. Soedibjo (2006) menambahkan bahwa populasi fitoplankton yang hanya didominasi oleh beberapa jenis atau nilai kemerataan yang rendah akan diikuti pula oleh rendahnya kekayaan jenis.

Menurut Odum (1993), apabila suatu komunitas terdiri dari jenis-jenis dengan jumlah banyak tetapi penyebaran individunya tidak merata maka keragaman jenis dinilai rendah. Hal ini menunjukkan bahwa Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener merupakan salah satu indeks keanekaragaman biota pada suatu daerah, bila nilainya semakin tinggi maka semakin tinggi tingkat keragamannya dan sebaliknya jika nilai indeks keanekaragaman rendah maka keragamannya juga rendah.

4.4. Indeks Similaritas (IS)

Indeks Similaritas (IS) antara stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Nilai Indeks Similaritas (IS) pada masing-masing stasiun penelitian

IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Stasiun 1 - 65,62% 52,46% 58,62%

Stasiun 2 - - 47,46% 57,14%

Stasiun 3 - - - 64,15%

Stasiun 4 - - -

-Berdasarkan Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa Indeks Similaritas (IS) yang diperoleh dari setiap stasiun adalah 65,62-47,46 %. Perbandingan pada stasiun 1


(49)

dan 2 memiliki Indeks Similaritas tertinggi yaitu 65,62 % sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3 sebesar 47,46 %. Hal ini sesuai dengan total kelimpahan dan indeks keanekaragaman yang cukup berbeda antara stasiun 2 dan 3. Nilai kelimpahan fitoplankton pada stasiun 2 jauh lebih besar dibandingkan nilai kelimpahan stasiun 3, sedangkan nilai indeks keanekaragaman terjadi hal sebaliknya yaitu nilai indeks keanekaragaman pada stasiun 3 lebih besar dibandingkan stasiun 2. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor fisik kimia perairan seperti intensitas cahaya, penetrasi cahaya, dan pH yang berbeda pada kedua stasiun.

Berdasarkan kategori tersebut, maka perbandingan antara stasiun 1 dan 2, stasiun 1 dan 3, stasiun 1 dan 4, stasiun 2 dan 4, serta stasiun 3 dan 4 tergolong kategori mirip sedangkan perbandingan antara stasiun 2 dan 3 tergolong tidak mirip. Dari hasil tersebut, adanya perbedaan golongan dari setiap stasiun dipengaruhi oleh faktor ekologis perairan dan aktifitas yang ada pada setiap stasiun. Pada stasiun dengan indeks similaritas yang tergolong mirip, tidak terdapat nilai faktor fisik kimia yang jauh berbeda sehingga pada stasiun tersebut terdapat kemiripan genus fitoplankton. Cheremer et al., (2007) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi komposisi alga di perairan, baik secara alami seperti cahaya, arus, suhu dan tipe substrat ataupun berbagai macam aktifitas manusia.

Menurut Barus (2004), suatu perairan yang belum tercemar akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari hampir semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan yang tercemar akan menyebabkan penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies tertentu yang bersifat dominan.

4.5. Nilai Produktivitas Primer (NPP)

Nilai Produktivitas Primer yang diperoleh berdasarkan kelimpahan fitoplankton dan intensitas cahaya pada masing-masing stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:


(1)

15 Synedra - - - 4 2 - 2 1 1 - - - 2 2 1 5 4 - - 2 - 2 - - 4 - - 1

-J Naviculaceae

16 Gyrosigma - - - 4 - 2 2 - 5 6 6 2 - - - - 8 2 2 7 - - 2 2 6 4 1 - -

-17 Navicula 32 18 12 - 8 6 19 - - 22 10 - 9 7 2 - 22 18 - - - 18 14 16 15 - 10 21 - 12

18 Neidium - 8 4 - 2 2 - - - 1 4 2 - 2 - 4 1 - - -

-19 Nitzchia 20 16 10 - 8 10 4 - - - 10 8 8 - 6 4 - - 10 8 8 9 - - 4 2 2

-20 Pinnularia - - - 9 10 2 - 6 4 - - - 4 4 2 3 - 1 - 5 4 - - 8 - 2 6 2 -

-K Rhizosoleniaceae

21 Guinardia - - - 18 8 - 6 4 - 2 5 - 4 2 8 2 - - 4 2

L Surirellaceae

22 Surirella 20 19 8 - 12 8 8 6 - 19 8 8 6 4 - - 8 4 - - - 10 8 8 6 - 2 2

-M Thalassiosinaceae

23 Skeletonema - - 6 2 - 4 2 1 - - 1 2 4 - 2 1 - - - - 5 2 - 4 2 1 - - 3 3 2 - 4 1 2 2

II Chlorophyceae

N Characiaceae

24 Actidesmium 4 - - 2 2 - - 1 2 - - -

-O Cladophoraceae

25 Cladophora - - 5 2 1 1 - - - 2 2 1 - 1 - - -

-26 Rizoclonium - - - 9 4 2 - 2 1 - - 8 2 3 - 4 - 4 2

-P Chlorobiaceae

27 Chlorobium 1 - - 2 2 4 - - 1 - - - 4 2 - - 1 1 - - -

-Q Coelastraceae

28 Coelastraum - - - 1 1 - 2 - 2 - 1 - - 2 4 1 - - 1 - - -

-R Desmidiaceae

29 Docidium - 2 1 - 2 - 2 - 1 - - 2 1 1 - - 2 - - - 1 1 - 2 - - 1 1

30 Staurastrum - - 2 2 - - 4 2 - - - 1 - 2 - - - 2 - - -

-S Dichotomosiphonaceae

31 Cosmarium - - - 8 2 - 4 3 - - -


(2)

32 Hydrodictyon - - - 2 2 1 - - - 1 - - - 2 1 - 1 1

-33 Pediastrum 2 - - 2 - - 1 - 1 - 4 - 3 - 1 - - -

-U Mesotaeniaceae

34 Gonatozygon 14 4 4 - 17 - 8 8 6 4 4 9 5 20 12 4 2 - - 6 14 9 8 8 4 10 - 28 14 8 6 9 - 20 9 6

V Microthamniaceae

35 Microthamnion - - - 2 - 1 1 1 - - - 1 - - 2 - 1 1 - - -

-W Shizogoniaceae

36 Shizogonium - - - 2 2 - 1 - - - 1 - - 1 - 2 - 1 - - - 2 - - - 1 - 1

X Ulothrichaceae

37 Hormidium - - 4 3 - 3 - - - 2 - - 4 - 3 - 1 - - - 2 2 - - - 1

-38 Ulotrix - - - 4 8 2 - - - 2 2 - - 3 2 - - 2 5 1 - - -

-III Chrysophyceae

Y Dinobryaceae

39 Dinobryon - - 1 1 - - 2 - - - - 2 - - - 1 - 1 - - -

-IV Conjugatophyceae

Z Zygnemataceae

40 Mougeotia - 2 - - 1 1 - - 1 2 1 - 1 - - 1 - - -

-41 Spirogyra - - - 2 2 1 4 - - 2 - - 4 - - 2 2 - - 1 - - 3 - 1 2 - 1 1

V Cyanophyceae

A' Chroococcaceae

42 Dactylococcopsis - - 1 - 1 - 2 - - -

-B' Nostocaceae

43 Lyngbya 1 - - 1 2 - 4 - 1 - 1 - - 1 - 2 1 - - - 1 - 2 - - 1 - 1

C' Oscillatoriaceae

44 Oscillatoria - - - 12 6 - 4 4 2 - 2 - 10 8 - 4 - - 8 - 4 - - 2 - 3 1 - 2

D' Stigonemataceae

45 Anabaena - 2 - 1 - - 2 - - - 1 - - 2 - 2 - - -

-VI Euglenophyceae


(3)

46 Phacus - - 1 - - 2 2 - - - - 1 1 - - - 1 - - - -VII Xanthophyceae

F' Tribonemaceae


(4)

-Correlations

Temperatur

Penetrasi Cahaya

Intensitas

Cahaya pH air DO BOD5

Kejenuhan

Oksigen TDS TSS Warna Amoniak Fosfat COD

.054 -.303 .398 -.658 -.980* .932 -.955* .449 .295 .168 .397 -.577 .574

.946 .697 .602 .342 .020 .068 .045 .551 .705 .266 .603 .423 .426

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

.121 -.199 .502 -.568 -.999** .885 -.975* .597 .279 .362 .218 -.469 .415

.879 .801 .498 .432 .001 .115 .025 .403 .721 .261 .782 .531 .585

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

1 .920 -.515 .707 -.072 -.312 .096 -.206 .905 .707 -.662 -.532 .229

.080 .485 .293 .928 .688 .904 .794 .095 .293 .338 .468 .771

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

.920 1 -.501 .917 .247 -.624 .385 -.209 .687 .384 -.865 -.188 -.120

.080 .499 .083 .753 .376 .615 .791 .313 .616 .135 .812 .880

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

-.515 -.501 1 -.573 -.526 .563 -.652 .944 -.620 -.156 .072 .519 -.469

.485 .499 .427 .474 .437 .348 .056 .380 .844 .928 .481 .531


(5)

.707 .917 -.573 1 .608 -.883 .707 -.365 .426 .000 -.843 .084 -.324

.293 .083 .427 .392 .117 .293 .635 .574 1.000 .157 .916 .676

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

-.072 .247 -.526 .608 1 -.906 .984* -.606 -.238 -.709 -.256 .449 -.411

.928 .753 .474 .392 .094 .016 .394 .762 .291 .744 .551 .589

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

-.312 -.624 .563 -.883 -.906 1 -.942 .499 -.047 .442 .621 -.358 .466

.688 .376 .437 .117 .094 .058 .501 .953 .558 .379 .642 .534

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

.096 .385 -.652 .707 .984* -.942 1 -.686 -.060 -.571 -.322 .310 -.313

.904 .615 .348 .293 .016 .058 .314 .940 .429 .678 .690 .687

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

-.206 -.209 .944 -.365 -.606 .499 -.686 1 -.373 .073 -.191 .412 -.473

.794 .791 .056 .635 .394 .501 .314 .627 .927 .809 .588 .527

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

.905 .687 -.620 .426 -.238 -.047 -.060 -.373 1 .853 -.280 -.841 .623

.095 .313 .380 .574 .762 .953 .940 .627 .147 .720 .159 .377

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

.707 .384 -.156 .000 -.709 .442 -.571 .073 .853 1 -.094 -.836 .649

.293 .616 .844 1.000 .291 .558 .429 .927 .147 .906 .164 .351

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

-.662 -.865 .072 -.843 -.256 .621 -.322 -.191 -.280 -.094 1 -.280 .577


(6)

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

-.532 -.188 .519 .084 .449 -.358 .310 .412 -.841 -.836 -.280 1 -.943

.468 .812 .481 .916 .551 .642 .690 .588 .159 .164 .720 .057

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

.229 -.120 -.469 -.324 -.411 .466 -.313 -.473 .623 .649 .577 -.943 1

.771 .880 .531 .676 .589 .534 .687 .527 .377 .351 .423 .057