Prevalensi Hipertensi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipertensi

2.1.1. Definisi dan Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan abnormal dari tekanan darah yakni

≥ 140/90 mmHg yang diukur pada setidaknya tiga kesempatan yang berbeda dari orang yang telah beristirahat selama minimal 5 menit . Hipertensi sering diklasifikasikan menjadi hipertensi primer atau sekunder, berdasarkan apakah penyebabnya dapat diidentifikasi atau tidak. Kebanyakan kasus hipertensi tidak dapat diketahui penyebabnya dan disebut hipertensi primer atau hipertensi essensial. Jika penyebab pasti hipertensi diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. (Corwin, 2008).

Menurut The Seventh Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) dalam Chobanian et al (2003), klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 ditunjukkan pada tabel 1 di bawah.

Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 Klasifikasi

Tekanan Darah

Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

Tekanan Darah Diastolik (mmHg)

Normal <120 dan <80

Prahipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi derajat 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥ 160 atau ≥100

Hipertensi juga diklasifikasikan berdasarkan tipe-nya (hipertensi sistolik-diastolik atau hipertensi sistolik terisolasi) dan berdasarkan ada tidaknya manifestasi ke organ-organ target (hipertensi dengan komplikasi atau hipertensi tanpa komplikasi) seperti jantung, serebrovaskular, pembuluh darah perifer, ginjal atau retinal. (Furberg dan Psaty, 2003).


(2)

2.1.2. Etiologi Hipertensi

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan hipertensi sekunder.

2.1.2.1. Hipertensi Primer

Lebih dari 90% kasus hipertensi memiliki penyebab yang tidak jelas, dan disebut hipertensi primer atau hipertensi essensial. Hipertensi primer merupakan penyakit genetik multifaktorial, yang artinya penurunan gen abnormal pada seorang individu akan memperbesar kemungkinan orang tersebut menderita hipertensi, ditambah lagi adanya faktor lingkungan dan gaya hidup seperti konsumsi garam berlebihan dan stress psikososial. Gen yang terlibat dalam proses ini belum teridentifikasi, sehingga penentuan mekanisme terjadinya hipertensi lebih difokuskan pada mengungkap gangguan fungsional yang terjadi akibat hipertensi. (Aaronson, Ward, Wiener, Schulman, Gill, 2007).

2.1.2.2. Hipertensi Sekunder

Kurang dari 10% kasus hipertensi dapat diidentifikasi penyebabnya dan disebut hipertensi sekunder. Penyebab paling sering dari hipertensi sekunder antara lain: (a) penyakit renovaskular, mengganggu regulasi cairan dan/atau mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAA), (b) gangguan endokrin, biasanya di korteks adrenal dan berhubungan dengan sekresi berlebihan dari aldosteron, kortisol, dan/atau katekolamin, (c) kontrasepsi oral, yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah melalui aktivasi sistem RAA dan hiperinsulinemia. (Aaronson, Ward, Wiener, Schulman, Gill, 2007).

2.1.3. Faktor Resiko Hipertensi

Faktor resiko terjadinya hipertensi terbagi atas dua, yaitu yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

2.1.3.1 Faktor resiko yang dapat dimodifikasi a.) Merokok


(3)

Lebih dari 400.000 orang, atau satu dari lima orang meninggal setiap tahun akibat merokok di Amerika Serikat. Rokok mengandung nikotin, zat karsinogenik, dan 4000 jenis racun lainnya. Nikotin merupakan bahan utama dalam rokok yang menyebabkan sifat addiktif dari rokok. Zat-zat racun terutama nikotin yang terkandung didalam rokok dapat menyebabkan penggumpalan di pembuluh darah sehingga menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Bahan-bahan yang berasal dari endotel ini selanjutnya akan mengakibatkan hipertrofi struktural yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan curah jantung dan/atau tahanan perifer. (Burns, 2008).

b.) Kurang aktifitas fisik

Berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan latihan fisik ringan hingga sedang mampu menurunkan resiko terjadinya mortalitas akibat berbagai penyakit kardiovaskular pada pria dan wanita. Olahraga yang teratur dan efektif dapat menurunkan resiko terjadinya hipertensi dan membantu menurunkan tekanan darah orang yang sudah menderita hipertensi. Olahraga yang dianjurkan yakni jalan cepat (30 meter per jam) setidaknya 30-45 menit setiap harinya secara teratur, bersepeda atau bekerja di sekitar rumah atau pekarangan. (Froelicher, Oka, Fletcher, 2003).

c.) Obesitas

Obesitas telah lama dikenal sebagai faktor penentu penting dari peningkatan tekanan darah. Studi eksperimental menunjukkan bahwa peningkatan berat badan mengakibatkan peningkatan tekanan darah, begitu juga sebaliknya. Namun, mekanisme yang mendasari hubungan ini masih kurang dipahami. Beberapa mekanisme yang dipercaya antara lain peningkatan aktivitas simpatetik, retensi sodium dan cairan, abnormalitas ginjal, dan resistensi insulin. (Sharma, 2003).


(4)

Karena garam secara osmotis menahan air, dan karenanya meningkatkan volume darah dan berperan dalam kontrol jangka panjang tekanan darah, maka asupan garam berlebihan secara teoris dapat menyebabkan hipertensi. (Sherwood, 2009).

e.) Diet yang kurang mengandung buah, sayuran dan produk susu

Studi DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) menemukan bahwa diet rendah lemak kaya buah, sayur dan produk susu dapat menurunkan tekanan darah pada orang dengan hipertensi ringan sama seperti pemberian terapi dengan satu jenis obat. Penelitian memperlihatkan bahwa asupan kalium tinggi yang berkaitan dengan banyak makan buah dan sayur dapat menurunkan tekanan darah dengan melemaskan arteri. Selain itu, kurangnya asupan kalsium dari produk susu diidentifikasi sebagai pola diet yang paling sering pada orang dengan hipertensi yang tidak diobati, meskipun peran kalsium dalam mengatur tekanan darah masih belum jelas. (Sherwood, 2009).

f.) Stress psikososial

Hubungan terjadinya hipertensi akibat stress psikososial diduga akibat aktivitas berlebihan dari saraf simpatis sehingga mengakibatkan peningkatan kontraktilitas jantung dan pada akhirnya terjadi peningkatan curah jantung dan/atau tahanan perifer. (Yogiantoro, 2009).

g.) Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol kadar rendah hingga sedang (1-2 gelas per hari) dapat menurunkan resiko terjadinya penyakit seperti stroke, penyakit jantung koroner dan hipertensi hingga 30%, namun konsumsi dalam kadar tinggi dapat merusak otot jantung. (Mackay and Mensah, 2004).

2.1.3.2 Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi a.) Usia


(5)

Beberapa perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskular dan tekanan darah pada proses menua antara lain: peningkatan tekanan darah sistolik tetapi tekanan darah diastolik tidak berubah, peningkatan resistensi vaskular perifer, lapisan subendotel menebal dengan jaringan ikat,ukuran dan bentuk yang irregular pada sel-sel endotel, dan berkurangnya vasodilatasi yang dimediasi beta-adrenergik. (Setiati, Harimurti, Govinda R, 2009).

b.) Genetik

Angiotensinogen adalah bagian dari jalur hormon yang menghasilkan vasokonstriktor kuat angiotensin II serta mendorong retensi garam dan air. Salah satu varian gen pada manusia tampaknya berkaitan dengan peningkatan insidens hipertensi. Para peneliti berspekulasi bahwa versi gen yang dicurigai ini menyebabkan sedikit peningkatan pembentukan angiotensinogen sehingga jalur penambah tekanan darah ini menjadi aktif. (Sherwood, 2009).

c.) Jenis kelamin

Dari berbagai penelitian, insidens hipertensi lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita usia premenopause. Pada wanita faktor resiko terjadinya hipertensi akan meningkat setelah masa menopause akibat perubahan aktivitas hormon. (Mackay and Mensah, 2004).

d.) Etnis

Berdasarkan studi epidemiologi, faktor resiko utama terjadinya penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, dislipidemia, merokok dan diabetes paling banyak ditemukan pada populasi kulit putih. (Anand, Ounpuu, Yusuf, 2003). 2.1.4. Patogenesis Hipertensi

Untuk dapat mengerti patogenesis dan penatalaksanaan hipertensi, amatlah penting untuk terlebih dahulu mengerti faktor-faktor yang terlibat dalam regulasi tekanan darah normal maupun hipertensif. Curah jantung dan resistensi perifer merupakan faktor penentu tekanan darah. Curah jantung ditentukan oleh stroke


(6)

volume dan denyut jantung; stroke volume berhubungan dengan kontraktilitas miokard dan ukuran kompartemen vaskular. Resistensi perifer ditentukan oleh perubahan fungsional maupun anatomis dari arteri dan arteriol. (Kotchen, 2008).

Faktor-faktor penentu tekanan darah menurut Kotchen (2008) antara lain: a.) Volume intravaskular

Volume vaskular adalah faktor penentu utama tekanan darah dalam jangka panjang. Meskipun ruang cairan ekstraseluler terdiri dari pembuluh darah dan ruang interstitial, secara umum, perubahan dalam total volume cairan ekstraseluler berhubungan dengan volume darah. Ion yang paling banyak di ekstraseluler adalah sodium, dan merupakan faktor penentu utama dari volume cairan ekstraseluler. Ketika asupan NaCl melebihi kapasitas ginjal untuk mengekskresikan sodium, volume vaskular dan curah jantung meningkat. Tubuh merespon hal ini dengan terjadinya mekanisme autoregulasi untuk mempertahankan aliran darah konstan, yang dalam jangka panjang akan meningkatkan resistensi perifer.

b.) Autonomic Nervous System

Autonomic nervous system mempertahankan homeostasis kardiovaskular melalui sinyal kemoreseptor. Refleks adrenergik mengatur tekanan darah dalam jangka pendek, sementara fungsi adrenergik mengatur tekanan darah dalam jangka panjang. Ada tiga katekolamin yang berperan penting dalam fase tonik dan fasik regulasi kardiovaskular, yakni norepinefrin, epinefrin dan dopamine. Neuron adrenergik mensintesa norepinefrin dan dopamine (prekursor dari norepinefrin), yang disimpan di vesikel di dalam neuron. Ketika neuron distimulasi, neurotransmitter ini dilepaskan ke celah sinaptik dan reseptor pada organ target. Selanjutnya, transmitter tersebut dapat dimetabolisasi atau dapat pula di reuptake ke dalam neuron. Epinefrin disintesa oleh medulla adrenal dan dilepaskan ke sirkulasi melalui stimulasi adrenal.


(7)

Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron berperan dalam regulasi tekanan darah terutama melalui sifat vasokonstriktor dari angiotensin II dan sifat retensi sodium dari aldosteron. Renin disintesa dari bentuk inaktifnya yaitu prorenin di sel jukstaglomerular. Prorenin dapat langsung disekresikan ke sirkulasi dan dapat pula diubah menjadi renin di sel sekretorik, setelah itu dilepaskan ke sirkulasi. Ketika dilepaskan ke sirkulasi, renin akan membentuk substrat baru, yakni angiotensinogen yang kemudian akan membentuk peptide inaktif, angiotensin I. Selanjutnya Angiotensin I-Converting Enzyme (ACE) akan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang merupakan faktor utama sekresi aldosteron di adrenal. Angiotensinogen II berperan penting dalam peningkatan tekanan darah karena kinerjanya meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH). Sekresi aldosteron yang dirangsang oleh angiotensinogen II juga mampu mengakibatkan peningkatan tekanan darah karena naiknya konsentrasi NaCl. Selain itu, angiotensin II juga memiliki efek langsung di dinding pembuluh darah dan berperan pada patogenesis aterosklerosis.

d.) Mekanisme vaskular

Diameter pembuluh darah dan resistensi arteri juga merupakan faktor penentu penting dalam tekanan darah. Diameter pembuluh darah berbanding terbalik dengan resistensi arteri, akibatnya semakin kecil ukuran diameter pembuluh darah maka semakin besar resistensinya. Pada pasien hipertensi, terjadi perubahan struktural, mekanikal atau fungsional yang mengakibatkan pengecilan lumen arteri dan arteriol. Mekanisme kompensasi terjadinya hipertrofik merngakibatkan pengecilan lumen arteri yang kemudian meningkatkan resistensi perifer. Diameter lumen arteri juga berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah. Pasien dengan hipertensi memiliki arteri yang lebih kaku.

2.1.5. Patofisiologi Hipertensi Menyebabkan PGK

Hipertensi berat dengan tekanan darah mencapai ≥ 180/120 mmHg dengan atau tanpa kerusakan organ target dapat terjadi pada pasien tanpa riwayat hipertensi sebelumnya, pasien dengan hipertensi primer maupun hipertensi


(8)

sekunder. Kebanyakan kasus hipertensi sekunder berhubungan dengan penyakit pada parenkim ginjal (glomerular atau tubulointerstisial) atau penyakit renovaskular. (Rodriguez-Iturbe and Garcia, 2008).

Patofisiologi PGK pada keadaan hipertensi berawal dari penurunan perfusi ginjal yang mengakibatkan terjadinya kerusakan parenkim ginjal. Hal ini menyebabkan peningkatan renin yang akan meningkatkan angiotensin II, selanjutnya angiotensin II dapat menyebabkan dua hal yaitu : peningkatan aldosteron dan vasokonstriksi arteriol. Pada kondisi peningkatan aldosteron, terjadi reabsorpsi natrium secara berlebihan sehingga kadar natrium di cairan ekstraseluler akan meningkat, menyebabkan retensi air dan peningkatan volume cairan ekstraseluler. Pada vasokonstriksi arteriol terjadi peningkatan tekanan glomerulus yang akan menyebabkan kerusakan pada nefron, sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Sebagai kompensasi dari penurunan laju filtrasi, maka kerja nefron yang masih sehat akan meningkat sampai akhirnya juga akan mengalami kerusakan, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.

2.1.6. Manifestasi Klinis Hipertensi

Menurut Corwin (2008) kebanyakan manifestasi klinis hipertensi muncul setelah bertahun-tahun, dan termasuk diantaranya:

a. Sakit kepala, terkadang disertai mual dan muntah, disebabkan oleh karena peningkatan tekanan darah intrakranial.

b. Penglihatan kabur disebabkan oleh karena kerusakan pembuluh darah di retina.

c. Ketidakstabilan cara berjalan disebabkan oleh karena kerusakan sistem nervus.

d. Nokturia disebabkan oleh karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.

e. Edema disebabkan oleh karena peningkatan tekanan kapiler. 2.1.7. Diagnosis Hipertensi


(9)

Penegakan diagnosis pada pasien hipertensi harus termasuk anamnesis lengkap, pemeriksan fisik, skrining untuk mengetahui resiko terjadinya penyakit kardiovaskular lainnya, skrining untuk mengetahui penyebab sekunder hipertensi, identifikasi komplikasi dan faktor komorbid lainnya, dan intervensi yang mungkin diperlukan. (Kotchen, 2008).

Hal-hal yang perlu dievaluasi dalam mendiagnosis hipertensi menurut Kotchen (2008) antara lain:

a. Anamnesis

Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat anamnesis: Tabel 2.2. Anamnesis pada Pasien Hipertensi

Lama terjadinya hipertensi

Riwayat terapi sebelumnya: respon dan efek samping

Riwayat keluarga yang menderita hipertensi atau penyakit kardiovaskular lainnya Asupan makan dan riwayat psikososial

Faktor resiko lainnya: berat badan, dislipidemia, merokok, diabetes dan kurang aktifitas fisik

Adanya bukti yang mengarah pada hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal, kelemahan otot, berkeringat, palpitasi, tremor, gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme, dan penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan tekanan darah

Adanya gejala kerusakan organ target: riwayat transient ischemic attack (TIA), stroke, gangguan penglihatan, angina, infark miokard dan gagal jantung kongestif Faktor komorbid lainnya

Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 2008

Sakit kepala hanya didapati pada pasien dengan hipertensi menahun, dengan karakteristik terjadi di pagi hari dan terasa di bagian oksipital. Gejala klinis lainnya yakni pusing, palpitasi, dan mudah lelah.

b. Pengukuran tekanan darah

Pengukuran tekanan darah yang baik tergantung pada teknik kondisi pada saat dilakukan pengukuran. Sebelum melakukan pengukuran tekanan darah, pasien harus dalam keadaan istirahat selama 5 menit. Perhatikan letak manset, stetoskop, dan laju deflasi dari manset (2 mmHg/detik).


(10)

c. Pemeriksaan fisik

Postur tubuh, yakni berat dan tinggi badan serta denyut nadi harus diperiksa. Pada pemeriksaan awal, pengukuran tekanan darah dilakukan pada kedua lengan, dan sebaiknya dilakukan dalam posisi telentang, duduk dan berdiri untuk menentukan ada tidaknya hipotensi postural. Leher harus dipalpasi untuk melihat ada tidaknya pembesaran kelenjar tiroid. Evaluasi adanya gejala gagal jantung dan pemeriksaan neurologis juga dibutuhkan pada pemeriksaan fisik pasien hipertensi.

d. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada pasien hipertensi lebih difokuskan untuk mencari bukti yang mengarah pada hipertensi sekunder dan apakah telah muncul komplikasi akibat hipertensi pada pasien.

Tabel 2.3. Pemeriksaan laboratorium dasar pada evaluasi awal pasien hipertensi

Sistem Tes

Renal Urinalisis mikroskopis, ekskresi albumin, serum BUN (Blood Urea Nitrogen) dan/atau kreatinin.

Endokrin Serum sodium, potassium, kalsium dan TSH Metabolik Gula darah puasa, total kolesterol, HDL, LDL,

trigliserida

Lainnya Hematokrit, elektrokardiogram (EKG) Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 2008 2.1.8. Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: (a) target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal ginjal, proteinuria) <130/80 mmHg, (b) penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, dan (c) menghambat laju penyakit ginjal proteinuria. Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga mencapai target terapi masing-masing kondisi. (Yogiantoro, 2009).


(11)

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit penyerta lainnya. Terapi nonfarmakologis terdiri dari:

a) Menghentikan rokok

b) Menurunkan berat badan berlebih

c) Menurunkan konsumsi alkohol berlebihan d) Latihan fisik

e) Menurunkan asupan garam

f) Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak. (Yogiantoro, 2009).

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi dianjurkan oleh JNC 7 adalah:

a) Diuretika, terutama jenis thiazide atau aldosterone antagonist b) Beta blocker

c) Calcium channel blocker atau calcium antagonist d) Angiotensin converting enzyme inhibitor

e) Angiotensin II receptor blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker. (Yogiantoro, 2009).

2.1.9. Komplikasi Hipertensi

Jantung, otak, ginjal dan pembuluh darah merupakan organ target utama yang dapat mengalami kerusakan sebagai akibat dari peningkatan tekanan darah. Tekanan darah tinggi merupakan faktor resiko utama dari penyakit jantung koroner, dan komplikasi hipertensi pada jantung bertanggung jawab sebagai penyebab meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada pasien hipertensi. (Graettinger, 2002).

Berbagai kerusakan organ target sebagai komplikasi hipertensi menurut Graettinger (2002):


(12)

Penyebab utama kematian pada pasien hipertensi adalah komplikasi akibat aterosklerosis. Penelitian eksperimental menunjukkan penurunan tekanan darah secara signifikan hanya menurunkan sedikit angka kejadian komplikasi aterosklerosis, namun jika terapi difokuskan pada penurunan tekanan darah dan perbaikan kadar kolesterol, hasilnya menjadi lebih baik.

b. Disfungsi jantung

Gejala dari hipertensi adalah disfungsi tekanan darah sistolik dan diastolik. Penurunan fungsi tekanan darah sistolik dapat mengakibatkan infark miokard, iskemia miokard, fibrosis dan/atau kardiomiopati. Disfungsi diastolik disebabkan langsung oleh hipertrofi ventrikel kiri (LVH), dan mengakibatkan gejala gagal jantung.

c. Stroke

Hipertensi merupakan faktor resiko utama terjadinya stroke hemoragik dan infark serebral. Tekanan darah sistolik lebih berhubungan erat dengan kejadian stroke dibandingkan tekanan darah diastolik. Terapi antihipertensi yang efektif dapat menurunkan resiko terjadinya stroke secara signifikan.

d. Penyakit ginjal hipertensi

Nefrosklerosis dengan insufisiensi bahkan gagal ginjal kronis merupakan karakteristik dari penyakit ginjal akibat hipertensi. Mikroalbuminuria merupakan marker dari disfungsi ginjal asimptomatik pada pasien hipertensi dengan disfungsi ginjal. Kombinasi dari hipertensi dan diabetes mellitus dapat meyebabkan kerusakan lebih awal dan lebih progresif pada ginjal.

e. Aorta dan pembuluh darah perifer

Aorta dan pembuluh darah perifer terlibat dalam patogenesis peningkatan tekanan darah dan juga komplikasinya. Hipertensi berkontribusi besar pada kejadian aneurisma aorta abdominal melalui mekanisme aterosklerotik, juga pada penurunan elastisitas pembuluh darah perifer.


(13)

f. Mata

Hipertensi yang tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan pada vaskularisasi mata. Karateristik dari retinopati hipertensif adalah penyempitan lumen arteriolar, penumpukan eksudat dan papilledema.

2.2. Penyakit Ginjal Kronis (PGK) 2.2.1. Definisi PGK

PGK adalah kerusakan struktur ginjal yang bersifat progresif, biasanya terkait dengan keseimbangan cairan dan konsumsi garam. Manifestasi klinis gagal ginjal kronis baru akan muncul jika penurunan fungsi ginjal telah mencapai hingga kurang dari 25% dari fungsi normalnya, karena fungsi nefron yang telah rusak masih bisa diambil alih tugasnya oleh nefron yang masih sehat. Semakin banyak nefron yang rusak, semakin berat beban kinerja nefron yang masih sehat, yang pada akhirnya nefron yang masih sehat tersebut juga akan rusak. (Corwin, 2008).

United States National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative dalam Corwin (2008) mendeskripsikan tingkatan PGK berdasarkan gejala dan ada tidaknya penurunan progresif dari Laju Filtrasi Glomerular (LFG). Pada orang dewasa, LFG normal berkisar antara 120 hingga 130 mL/menit. Tingkatan PGK tersebut adalah:

• Tingkat 1: Kerusakan ginjal asimtomatik (patologis atau penanda kerusakan termasuk abnormalitas pada pemeriksaan darah atau urin atau studi radiologis) dengan LFG normal atau sedikit normal (>90 mL/menit, 75% dari fungsi normal ginjal)

• Tingkat 2: LFG 60-89 mL/menit (kira-kira 50% dari fungsi normal ginjal) dengan gejala kerusakan ginjal.

• Tingkat 3: LFG 30-59 mL/menit (25 hingga 50% dari fungsi normal ginjal). Tingkat ini sudah terjadi insufisiensi renal.


(14)

• Tingkat 4: LFG 15-29 mL/menit (12 hingga 24% dari fungsi normal ginjal), semakin sedikit nefron yang sehat tersisa.

• Tingkat 5: End-stage renal failure, LFG kurang dari 15 mL/menit (<12% dari fungsi normal ginjal). Hanya sedikit nefron sehat yang tersisa, terdapat jaringan parut dan atrofi tubular di ginjal.

Untuk menilai LFG, digunakan formula Cockcroft-Gault (Yogiantoro, 2009) yaitu:

Untuk Pria:

���= (140− ����) � (����) 72 ��������������� (��%) Untuk Wanita:

���= (140− ����) � (����)

72 ��������������� (��%) �0,85

2.2.2. Etiologi PGK

United Sates Renal Data System pada tahun 2004 merilis data penyebab PGK dan end-stage renal disease sepanjang tahun 1998-2002 seperti berikut (Goldfarb, 2007):

Tabel 2.4. Penyebab penyakit ginjal kronis dan end-stage renal disease

Diagnosis %

Diabetes mellitus 49.3

Hypertensive/large vessel disease 26.9

Glomerulonephritis 8.9

Secondary glomerulonephritis/vasculitis 2.2 Interstitial nephritis/pyelonephritis 4.2

Cause uncertain 3.9

Miscellaneous 4.1

Cystic hereditary/congenital disease 3.2

Neoplasms/tumor 2.0


(15)

Sumber: Campbell-Walsh Urology, 2007

2.2.3. Patofisiologi PGK Menyebabkan Hipertensi

Hipertensi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi akibat PGK dan biasanya berkembang pada tingkat-tingkat awal dari PGK. Perkembangan hipertensi pada PGK sering dikaitkan dengan prognosis yang buruk termasuk kemungkinan terjadinya hipertrofi ventrikular dan penurunan fungsi ginjal yang semakin cepat. (Bargman, 2008).

PGK dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah melalui peningkatan resistensi perifer total maupun melalui peningkatan volume darah, venous return dan cardiac output akibat retensi sodium . Patofisiologi terjadinya hipertensi pada PGK dapat dilihat di skema berikut:

Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Hipertensi pada PGK Sumber: Companion Animals-Remedica Journal


(16)

2.2.4. Manifestasi Klinis PGK

Gambaran klinis pasien PGK meliputi: (a) sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, Lupus Eritematosus sistemik (LES), dan lain sebagainya. (b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (Suwitra, 2009). 2.2.5. Diagnosis PGK

Menurut Corwin (2008), diagnosis PGK antara lain:

Radiografi atau ultrasound akan menunjukkan ginjal yang atrofi.

• Kadar serum BUN, kreatinin, dan LFG abnormal.

• Penurunan hematokrit and hemoglobin.

• Plasma pH rendah.

• Peningkatan frekuensi napas mengindikasikan adanya mekanisme kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik.

2.2.6. Komplikasi PGK

Komplikasi PGK menurut Corwin (2008) antara lain:

Progresi gagal ginjal mengakibatkan volume overload, ketidakseimbangan elektrolit, asidosis metabolik, azotemia dan uremia dapat terjadi.

• Hipertensi, anemia, osteodistrofi, ensefalopati uremik, dan pruritus adalah komplikasi paling utama.

• Penurunan produksi erythropoietin mengakibatkan sindroma anemia kardiorenal dan penyakit kardiovaskular.

• Dapat terjadi gagal jantung kongestif.


(17)

2.2.7. Penatalaksanaan PGK

Menurut Corwin (2008), penatalaksanaan sesuai dengan progresi dari penyakit:

• Untuk PGK tingkat 1, 2 dan 3 tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat kerusakan nefron, terutama dengan menggunakan Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors.

• Dikarenakan adanya hubungan erat antara kejadian gagal jantung kongestif dan anemia akibat PGK, maka digunakan Renal Anemia Management Period (RAMP), yaitu waktu antara saat awal PGK didiagnosis dan penatalaksanaan anemia yang akan memperlambat progresi penyakit ginjal, menunda komplikasi kardiovaskular, dan memperbaiki kualitas hidup. Obat yang diberikan yakni recombinant human erythropoietin (rHuEPO) yang terbukti dapat memperbaiki kualitas hidup, menurunkan indikasi transfusi ginjal, dan memperbaiki fungsi jantung.

• Untuk tingkat lanjutan, terapi difokuskan pada koreksi cairan dan keseimbangan elektrolit.

Untuk end-stage renal disease, terapi termasuk hemodialisis atau transplantasi ginjal.


(1)

Penyebab utama kematian pada pasien hipertensi adalah komplikasi akibat aterosklerosis. Penelitian eksperimental menunjukkan penurunan tekanan darah secara signifikan hanya menurunkan sedikit angka kejadian komplikasi aterosklerosis, namun jika terapi difokuskan pada penurunan tekanan darah dan perbaikan kadar kolesterol, hasilnya menjadi lebih baik.

b. Disfungsi jantung

Gejala dari hipertensi adalah disfungsi tekanan darah sistolik dan diastolik. Penurunan fungsi tekanan darah sistolik dapat mengakibatkan infark miokard, iskemia miokard, fibrosis dan/atau kardiomiopati. Disfungsi diastolik disebabkan langsung oleh hipertrofi ventrikel kiri (LVH), dan mengakibatkan gejala gagal jantung.

c. Stroke

Hipertensi merupakan faktor resiko utama terjadinya stroke hemoragik dan infark serebral. Tekanan darah sistolik lebih berhubungan erat dengan kejadian stroke dibandingkan tekanan darah diastolik. Terapi antihipertensi yang efektif dapat menurunkan resiko terjadinya stroke secara signifikan.

d. Penyakit ginjal hipertensi

Nefrosklerosis dengan insufisiensi bahkan gagal ginjal kronis merupakan karakteristik dari penyakit ginjal akibat hipertensi. Mikroalbuminuria merupakan

marker dari disfungsi ginjal asimptomatik pada pasien hipertensi dengan disfungsi

ginjal. Kombinasi dari hipertensi dan diabetes mellitus dapat meyebabkan kerusakan lebih awal dan lebih progresif pada ginjal.

e. Aorta dan pembuluh darah perifer

Aorta dan pembuluh darah perifer terlibat dalam patogenesis peningkatan tekanan darah dan juga komplikasinya. Hipertensi berkontribusi besar pada kejadian aneurisma aorta abdominal melalui mekanisme aterosklerotik, juga pada penurunan elastisitas pembuluh darah perifer.


(2)

f. Mata

Hipertensi yang tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan pada vaskularisasi mata. Karateristik dari retinopati hipertensif adalah penyempitan lumen arteriolar, penumpukan eksudat dan papilledema.

2.2. Penyakit Ginjal Kronis (PGK) 2.2.1. Definisi PGK

PGK adalah kerusakan struktur ginjal yang bersifat progresif, biasanya terkait dengan keseimbangan cairan dan konsumsi garam. Manifestasi klinis gagal ginjal kronis baru akan muncul jika penurunan fungsi ginjal telah mencapai hingga kurang dari 25% dari fungsi normalnya, karena fungsi nefron yang telah rusak masih bisa diambil alih tugasnya oleh nefron yang masih sehat. Semakin banyak nefron yang rusak, semakin berat beban kinerja nefron yang masih sehat, yang pada akhirnya nefron yang masih sehat tersebut juga akan rusak. (Corwin, 2008).

United States National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative dalam Corwin (2008) mendeskripsikan tingkatan PGK

berdasarkan gejala dan ada tidaknya penurunan progresif dari Laju Filtrasi Glomerular (LFG). Pada orang dewasa, LFG normal berkisar antara 120 hingga 130 mL/menit. Tingkatan PGK tersebut adalah:

• Tingkat 1: Kerusakan ginjal asimtomatik (patologis atau penanda kerusakan termasuk abnormalitas pada pemeriksaan darah atau urin atau studi radiologis) dengan LFG normal atau sedikit normal (>90 mL/menit, 75% dari fungsi normal ginjal)

• Tingkat 2: LFG 60-89 mL/menit (kira-kira 50% dari fungsi normal ginjal) dengan gejala kerusakan ginjal.

• Tingkat 3: LFG 30-59 mL/menit (25 hingga 50% dari fungsi normal ginjal). Tingkat ini sudah terjadi insufisiensi renal.


(3)

• Tingkat 4: LFG 15-29 mL/menit (12 hingga 24% dari fungsi normal ginjal), semakin sedikit nefron yang sehat tersisa.

• Tingkat 5: End-stage renal failure, LFG kurang dari 15 mL/menit (<12% dari fungsi normal ginjal). Hanya sedikit nefron sehat yang tersisa, terdapat jaringan parut dan atrofi tubular di ginjal.

Untuk menilai LFG, digunakan formula Cockcroft-Gault (Yogiantoro, 2009) yaitu:

Untuk Pria:

���= (140− ����) � (����)

72 ��������������� (��%) Untuk Wanita:

���= (140− ����) � (����)

72 ��������������� (��%) �0,85

2.2.2. Etiologi PGK

United Sates Renal Data System pada tahun 2004 merilis data penyebab

PGK dan end-stage renal disease sepanjang tahun 1998-2002 seperti berikut (Goldfarb, 2007):

Tabel 2.4. Penyebab penyakit ginjal kronis dan end-stage renal disease

Diagnosis %

Diabetes mellitus 49.3

Hypertensive/large vessel disease 26.9

Glomerulonephritis 8.9

Secondary glomerulonephritis/vasculitis 2.2 Interstitial nephritis/pyelonephritis 4.2

Cause uncertain 3.9

Miscellaneous 4.1

Cystic hereditary/congenital disease 3.2

Neoplasms/tumor 2.0


(4)

Sumber: Campbell-Walsh Urology, 2007

2.2.3. Patofisiologi PGK Menyebabkan Hipertensi

Hipertensi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi akibat PGK dan biasanya berkembang pada tingkat-tingkat awal dari PGK. Perkembangan hipertensi pada PGK sering dikaitkan dengan prognosis yang buruk termasuk kemungkinan terjadinya hipertrofi ventrikular dan penurunan fungsi ginjal yang semakin cepat. (Bargman, 2008).

PGK dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah melalui peningkatan resistensi perifer total maupun melalui peningkatan volume darah,

venous return dan cardiac output akibat retensi sodium . Patofisiologi terjadinya

hipertensi pada PGK dapat dilihat di skema berikut:

Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Hipertensi pada PGK Sumber: Companion Animals-Remedica Journal


(5)

2.2.4. Manifestasi Klinis PGK

Gambaran klinis pasien PGK meliputi: (a) sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, Lupus Eritematosus sistemik (LES), dan lain sebagainya. (b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (Suwitra, 2009).

2.2.5. Diagnosis PGK

Menurut Corwin (2008), diagnosis PGK antara lain:

Radiografi atau ultrasound akan menunjukkan ginjal yang atrofi.

• Kadar serum BUN, kreatinin, dan LFG abnormal.

• Penurunan hematokrit and hemoglobin.

• Plasma pH rendah.

• Peningkatan frekuensi napas mengindikasikan adanya mekanisme kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik.

2.2.6. Komplikasi PGK

Komplikasi PGK menurut Corwin (2008) antara lain:

Progresi gagal ginjal mengakibatkan volume overload, ketidakseimbangan elektrolit, asidosis metabolik, azotemia dan uremia dapat terjadi.

• Hipertensi, anemia, osteodistrofi, ensefalopati uremik, dan pruritus adalah komplikasi paling utama.

• Penurunan produksi erythropoietin mengakibatkan sindroma anemia kardiorenal dan penyakit kardiovaskular.

• Dapat terjadi gagal jantung kongestif.


(6)

2.2.7. Penatalaksanaan PGK

Menurut Corwin (2008), penatalaksanaan sesuai dengan progresi dari penyakit:

• Untuk PGK tingkat 1, 2 dan 3 tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat kerusakan nefron, terutama dengan menggunakan

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors.

• Dikarenakan adanya hubungan erat antara kejadian gagal jantung kongestif dan anemia akibat PGK, maka digunakan Renal Anemia

Management Period (RAMP), yaitu waktu antara saat awal PGK

didiagnosis dan penatalaksanaan anemia yang akan memperlambat progresi penyakit ginjal, menunda komplikasi kardiovaskular, dan memperbaiki kualitas hidup. Obat yang diberikan yakni recombinant

human erythropoietin (rHuEPO) yang terbukti dapat memperbaiki kualitas

hidup, menurunkan indikasi transfusi ginjal, dan memperbaiki fungsi jantung.

• Untuk tingkat lanjutan, terapi difokuskan pada koreksi cairan dan keseimbangan elektrolit.

Untuk end-stage renal disease, terapi termasuk hemodialisis atau transplantasi ginjal.